ulu al-albab dalam al-qur'an

Download Ulu Al-Albab Dalam Al-Qur'An

If you can't read please download the document

Upload: jamridafrizal

Post on 01-Dec-2015

86 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Ulu al-Albab dalam al-Qur'anUlu al-Albab dalam al-Qur'anJamridafrizal,S.Ag.S.S.,M.HumIstilah ulu al-albab terdiri dari dua kata, yakni ulu dan al-albab. Kata ulu ini banyak dipakai dalam al-Qur'an dengan kombinasi lain. Di antara kata yang paling dikenal adalah kata ulu al-amr yang artinya (orang) yang memiliki atau memegang urusan. Ada pula yang menterjemahkan yang memegang kekuasaan, seperti tercantum dalam ayat 59 surat al-Nisa'. Artinya "Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. kemudian jika kamu berlainan Pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya".Kata lain yang tidak begitu dikenal, tetapi relevan dengan masalah yang sedang kita bahas ini adalah ulu al-`ilm, artinya orang yang memiliki ilmu atau memiliki pengetahuan. Dalam surat Alu `Imran/3:17 kata itu disebut dengan predikat tertentu, yakni orang yang berilmu dan berdiri di atas keadilan. Di sini dapat ditafsirkan bahwa orang yang berilmu itu mampu atau cenderung untuk bersikap adil. Sikap adil itu bisa diperoleh jika orang memiliki ilmu. Jika ada orang yang berilmu dan bersikap tidak adil, maka keilmuannya itu perlu diragukan.Dalam surat Alu `Imran/3:13 ada pul a istilah menarik perhatian yang bersifat kiasan, yakni ulu al-abshar yang dalam terjemahan tafsir The Holy Qur'an karya Muhammad `Ali dialihbahasakan sebagai mereka yang memiliki mata. Dari anak kalimat yang lebih panjang dikatakan: Sesungguhnya dalam hal ini ada pelajaran bagi mereka yang mempunyai mata. Memang dalam ayat itu kasus empirisnya adalah dua pasukan yang saling bertempur. Yang satu bertempur di jalan Allah dan yang lainnya di jalan kafir.Dari asbab al-nuzul diketahui bahwa yang dimaksud Perang Badr, dimana pasukan agresor dari Makkah berjumlah 1000 orang, sedangkan kaum Muslim yang bertahan di Madinah hanya berjumlah 313 orang. Tetapi, seperti yang tercatat dalam sejarah, kaum kafir bisa dikalahkan. Sesungguhnya pada yang demikian itu terdapat pelajaran bagi orang yang mempunyai mata-hati, kata ayat itu. Bagi orang kebanyakan, fakta empiris itu tidak berbicara apa-apa. Namun bagi ulu al-abshar, mereka yang mempunyai penglihatan, peristiwa itu memberikan pelajaran. Di situ, mereka yang mempunyai mata adalah suatu kiasan bagi mereka yang bisa mengambil kesimpulan dan pelajaran dari penglihatan mereka. Makna yang lebih jelas dari kata ulu al-abshar tersebut nampak pada surat al-Nur/24:44 yang berbunyi:Allah membuat malam dan siang silih berganti. Sesungguhnya, itu semua adalah pelajaran yang besar bagi orang yang mempunyai penglihatan (ulu al-abshar).Dalam ayat ini, orang yang memiliki penglihatan akan melihat bahwa gejala malam dan siang yang silih bcrganti itu mempunyai makna tertentu yang bisa memberikan pelajaran. Tetapi bukankah, selain yang buta, semua orang itu mempunyai mata dan penglihatan? Hanya saja tidak semua orang bisa menarik pelajaran. Dan yang bisa menarik pelajaran adalah mereka yang dengan penglihatannya itu berpikir, mempelajari bagaimana siang itu bisa berganti dengan malam, secara ajeg sepanjang masa sehingga menemukan teori-teori tentang hubungan antara matahari, bulan, dan bumi. Orang lalu menghitung perjalanan bulan mengelilingi bumi serta bumi mengitari matahari dan membagi-baginya dengan bilangan hari, bulan, dan tahun. Keteraturan gerakan bumi, bulan dan matahari tentu membuat manusia kagum. Tetapi dengan mempelajarinya pula, seorang ulu al-albab bisa mengetahui manfaatnya bagi manusia. Dalam surat Shad/38:45 disebut orangnya, sebagai contoh tentang siapa sebenarnya manusia ulu al-abshar itu:Dan ingatlah akan hamba-hamba Rami, Ibrahim, Ishaq dan Ya`qub, yang mempunyai kemampuan dan penglihatan (ulu al-ayd-i wa aladshar). Sekarang jelas, contoh dari orang-orang yang disebut sebagai ulu al-abshar, yakni tiga nabi berturut-turut, Ibrahim, lalu anaknya Ishaq dan cucunya, Ya`qub. Mereka itu tidak hanya mempunyai mata tetapi juga mempunyai tangan. Keduanya adalah kiasan untuk menggambarkan orang yang mempunyai ilmu (ulu al-abshar) dan kemampuan untuk bertindak (ulu al-ayd). Pada ayat kedua sebelumnya, yakni Shad/38:43 nampaknya ada istilah ulu al-albab yang pengertiannya mirip yang berbunyi:Dan Kami berikan kepadanya keluarganya dan (Kami tambahkan) kepada mereka sebanyak mereka pula, sebagai suatu rahmat dari Kami, dan peringatan bagi orang-orang yang berakal.Ayat di atas menyebutkan ada sesuatu yang dapat menjadi peringatan bagi orang-orang yang berakal atau ulu al-albab. Sesuatu itu adalah riwayat Nabi Ayyub a.s., seperti yang disebut pada awal ruku ke-4 surat ini.Dalam tafsir Muhammad `Ali disebutkan bahwa Nabi Ayyub pernah mengalami kesulitan yang sama sepeni halnya Nabi Muhammad s.a.w., yaitu ketika beliau harus meninggalkan kota kelahiran dan kampung halaman yang dicintainya. Ketika itu Nabi Ayyub a.s. menyeru kepada Tuhannya: Sesungguhnya setan telah menimpakan kepayahan dan siksaan kepadaku. Sebutan setan di situ menurut ta`wil adalah kehausan yang menimpanya di padang pasir. Dalam ayat 43 disebut pula istilah ahl-a hu. Kata ahl disitu selain berarti keluarga yang mengingatkan pula pada istilah ahl al-bayt-juga mempunyai banyak arti dalam adalah al-Qur'an atau digunakan dalam arti yang berbeda-beda, seperti yang memiliki, rumah tangga, kelompok manusia atau penghuni. Tetapi dalam ayat itu yang dimaksud adalah keluarga Nabi Ayyub. Cerita tentang Nabi Ayyub yang akan disambut keluarganya dan simpatisan-simpatisan yang mengelu-elukan ajarannya dari jauh supaya bisa menjadi pelajaran bagi Nabi Muhammad yang juga akan berjumpa dengan keluarganya yang terlebih dahulu hijrah ke Madinah bersama kaum Muhajirin (yang berpindah) dan simpatisan-simpatisannya di Madinah yang juga akan menjadi seperti keluarga sendiri, yakni yang kemudian dikenal sebagai kaum Anshor (para penolong). Selain menjadi pelajaran bagi Nabi s.a.w., kisah Nabi Ayyub a.s. itu juga menjadi pelajaran bagi ulu al-albab. Perihal Cendekiawan MuslimDari berbagai istilah yang didahului dengan kata ulu, artinya yang memiliki, maka kita memperoleh pengertian yang lebih jelas tentang kata ulu al-albab. Dari kata ulu ini tersirat makna bahwa tidak semua orang itu memiliki. Sebab dalam al-Qur'an disebutkan juga orang-orang yang memiliki beberapa hal seperti kekuatan atau ulic al-ba's (Bani Isra'il/17:5) atau yang memiliki kekayaan ulu al fadll (dalam surat al-Nur/24:22). Jadi orang yang disebut memiliki sesuatu itu adalah mereka yang memiliki kelebihan atau keunggulan. Dalam sosiologi dikenal pengertian tentang orang-orang yang memiliki kelebihan atau keunggulan (notion of superiority) yang disebut dengan istilah elite (elit). Karena itu orang-orang kaya, penguasa atau kaum militer yang memiliki kekuatan, jika mereka merupakan kelompok minoritas tetapi unggul, disebut sebagai kaum elit. Demikian pula kelompok kecil dalam masyarakat yang memiliki ilmu atau pengetahuan dan mempunyai pengaruh karena keunggulannya itu bisa uga disebut kaum elit.Kata albab, berasal dari kata l-b-b, yang membentuk kata al-lubb yang artinya otak atau pikiran (intellect). Kata albab adalah bentuk jamak dari kata al-lubb tersebut. Albab di sini bukan mengandung arti otak atau pikiran beberapa orang, melainkan hanya dimiliki oleh seseorang. Dengan demikian, ulu al-albab artinya orang yang memiliki otak berlapis-lapis. Ini sebenarnya membentuk arti kiasan tentang orang yang memiliki otak tajam.Dalam al-Qur'an, u1u al-albab, bisa mempunyai berbagai arti tergantung dari penggunaannya. Dalam A Concordance of the Qur an (Hanna E. Kassis, 1983), kata ini bisa mempunyai beberapa arti:orang yang mempunyai pemikiran (mind) yang luas atau mendalam, orang yang mempunyai perasaan (heart) yang peka, sensitif atau yang halus perasaannya, orang yang memiliki daya pikir (intellect) yang tajam atau kuat, orang yang memiliki pandangan dalam atau wawasan (insight) yang luas, dan mendalam, orang yang memiliki pengertian (understanding) yang akurat, tepat atau luas, dan orang yang memiliki kebijakan (wisdom), yakni mampu mendekati kebenaran, dengan pertimbangan-pertimbangan yang terbuka dan adil, Jadi, ulu al-albab itu adalah seorang yang mempunyai otak yang berlapis-lapis dan sekaligus, memiliki perasaan yang peka terhadap sekitarnya. Tetapi yang jelas, jika kata tersebut dapat kita terjemahkan dengan istilah Indonesia cendekiawan,'' maka ulu al-albab atau cendekiawan itu adalah orang yang memiliki berbagai kualitas.Cendekiawan adalah istilah Indonesia untuk kata intellectual atau ditranslitrasi menjadi intelektual. Agaknya kata cendekiawan berasal dari kata cerdik-cendekia yang dikenal dalam budaya Minangkabau. Ada tiga elit dalam masyarakat Minang, ninikmamak, ulama, dan cerdik-cendekia. Ninik-mamak adalah orang yang dituakan, yang diharapkan kebijaksanaanya. Ulama adalah ahli agama, sedangkan cerdik-cendekia adalah orang pintar seperti guru dan kaum terpelajar, termasuk yang berpendidikan Barat. Dari kata cerdik-cendekia, diambil kata cendekia dan ditambah wan. Barangkali kata cerdik dihindari, karena cerdik terasa mengandung makna licik atau akal-akalan. Orang cerdik itu pintar, tetapi belum tentu jujur dan benar, walaupun ini hanya kesan saja. Karena cerdik juga bisa berarti positif. Orang seperti Haji Agus Salim yang dikenal pandai berdiplomasi, sering juga disebut cerdik.Sebenarnya ada kata yang juga berkaitan dengan makna cerdik, yakni saudagar yang artinya, seribu akal. Mestinya, saudagar juga bisa menjadi sebutan bagi semua orang yang cerdik, tetapi saudagar sudah mempunyai arti khusus yang mapan, yakni pedagang. Memang, pedagang adalah orang dengan seribu akal yang mempunyai kemampuan bersiasat dalam membeli dan menjual barang demi mendapat keuntungan. Karena itu, saudagar tidak sama artinya, bahkan mengandung unsur yang bertentangan, dengan cerdik-cendekia atau cendekiawan.Maka menjadi lebih jelas bahwa cendekiawan itu, walaupun maknanya mengarah kepada orang yang berpendidikan dan bergelar sarjana, namun secara implisit bisa ditangkap bahwa cendekiawan itu bisa saja bukan sarjana. Sebagai contoh, Sudjatmoko adalah seorang yang drop-out dalam proses belajarnya. Ia tidak bisa menjadi seorang dokter yang semula dicita-citakannya. Hanya saja, sebagai pengakuan terhadap kecendekiawanannya, Sudjatmoko akhirnya mendapat gelar Doktor Honoris Causa dari beberapa universitas.Dari kata cendekia, sebenarnya sulit bagi kita untuk menangkap apa yang menjadi esensi kecendekiawanannya itu. Lain halnya dengan kata intelektual, yang berasal dari kata intellect itu. Dalam al-Qur'an, intellect adalah al-`aql. Banyak sekali istilah al-`aql ini disebut dalam al-Qur'an. Dalam penggunaannya, al-`aql mengandung pengertian kemampuan berpikir atau menggunakan nalar. Kata itu telah terserap ke dalam bahasa Indonesia dan menjadi kata akal. Dalam perkembangannya, orang yang memiliki kemampuan berpikir dan nalar sangat tinggi, serta menguasai suatu pengetahuan tertentu secara sistematis lazim disebut pakar. Seorang pakar belum tentu seorang sarjana. Tetapi pakar berbeda artinya dengan cendekiawan. Untuk mencari substansi makna cendekiawan, kita harus merujuk kepada pengertian intelektual atau intelegensia, sebuah istilah yang berasal dari Rusia. Namun, sebagai seorang Musjim, kita juga harus mencari makna itu dari al-Qur'an, yakni dari makna kata ulu al-albab.Kata intelektual, yang artinya sebanding dengan kata ulu al-albab, adalah orang yang memiliki dan menggunakan daya intelek (pikir)-nya untuk bekerja atau melakukan kegiatannya. Biasanya intelektual itu adalah orang yang berpendidikan akademis. Tetapi makna kata intelektual tidak begitu saja jadi, misalnya orang yang mempunyai dan menggunakan inteleknya dalam bekerja dan melakukan kegiatan tertentu, melainkan mengalami evolusi. Menurut Jary & Jary dalam The Harper Collins Dictionary of Sociology (1991), kata intelektual sebagai kata benda, pertama kaii digunakan dalam bahasa Inggris pada abad ke-19. Untuk pertama kali maknanya seringkali pejoratif. Seorang intelektual itu belum tentu orang baik. Kata itu muncul sebagai sebutan kelompok masyarakat yang mempunyai peran dan ciri-ciri tersendiri yang disebut intelektual itu. Di Indonesia pun kata cendekiawan baru muncul setelah berkembang kelompok tertentu dengan ciri tertentu pula. Di Perancis, kata ini mula-mula dipergunakan oleh Saint-Simon pada awal abad ke-19. Makna intelektual dalam pengguna Saint-Simon tidak seperti yang kita pahami sekarang. Kata itu menunjuk kepada kelompok saintis yang mempelopori gerakan mengembangkan dan menggunakan pengetahuan positif dalam membentuk suatu masyarakat industri di Perancis dan negeri-negeri lain. Saint-Simon menggunakan istilah militer avantgarde bagi peran kepeloporan kaum intelektual yang saintis itu. Kedua, pada tahun 1896 politikus Clemenceau menggunakan istilah itu kepada mereka yang membela Dreyfus, seorang Yahudi yang mengalami ketidakadilan politik, hanya karena ia seorang Yahudi. Oleh Durkheim (pelopor sosiologi Perancis) dan yang lain menggunakannya sebagai sebutan/gelar kehormatan bagi mereka yang disebut intelektual. Dan ketiga, filsuf Perancis Julien Benda, dalam bukunya yang masyhur, La Trahison des Clercs (1927), melakukan sinyalemen tentang penghianatan kaum intelektual, karena untuk kepentingan politik dan sosialnya yang sempit bersedia berkhianat terhadap panggilan yang benar, yakni mencari kebenaran (truth) dan keadilan (justice) yang universal.Secara harfiah, intelektual adalah orang yang memiliki intelek yang kuat atau intelegensi yang tinggi. Intelegensi adalah kemampuan kognitif atau kemampuan memahami yang dimiliki seseorang untuk berpikir dan bertindak rasional atau berdasar nalar. Kemampuan itu bisa diperoleh karena keturunan atau bakat yang ada pada seseorang dari faktor biologisnya, tetapi bisa pula diperoleh sebagai hasil pengalaman lingkungan dan sosialisasi (penerimaan norma-norma yang baik-buruk dan benar-salah menurut masyarakat). Tentu saja intelegensi dimiliki seseorang karena kedua-duanya. Dalam sosiologi ada debat mengenai ini yang terkenal dengan nama Nature-Nurture Debate.Tetapi apakah hanya intelegensi ini yang membuat seseorang itu disebut intelektual? Tentu saja tidak, karena intelektual itu adalah julukan terhadap seseorang atau kelompok tertentu sebagai kehormatan, karena jasa dan peranan dalam memajukan kehidupan manusia. Pada tingkat pertama adalah orang yang mempergunakan kekuatan intelegensinya untuk perubahan sosial. Kedua, karena sikap dan perbuatannya untuk mencari kebenaran dan keadilan yang universal. Dan ketiga karena keberaniannya untuk membela kebenaran. Karena itu, di sini ada tiga unsur yang membentuk kecendekiawanan, yakni pengetahuan, orientasi, dan keberanian yang ada pada seseorang.Peranan seperti itu secara jelas dimiliki pertama-tama oleh para nabi dan filsuf seperti Confucious, Lao-tze, Zoroaster, dan Shidharta Gautama. Kemudian dikenal juga kelompok masyarakat yang menyerupai para nabi, yaitu pendeta, `ulama ; atau pastor. Hanya saja mereka itu hanya bergerak di bidang rohani saja, sedangkan nabi itu tidak hanya terlihat pada soal-soal kerohanian, tetapi juga sosial dan politik. Dalam Hadist Nabi dikatakan bahwa `ulama' itu ahli waris para nabi. Tetapi pada umumnya, kualitas mereka tidak komprehensif seperti nabi. Jika kombinasikan kualitas rohaniawan dan intelektual, maka itu membentuk kepribadian nabi sehingga benar-benar bisa berperan sebagai pengganti dan penerus misi para nabi dari generasi kegenerasi. Dalam diskursus mengenai cendekiawan Muslim timbul konsep tentang pikir dan dzikr. Pikir itu mengarah kepada manusia, alam dan diri sendiri, sedangkan dzikr itu mengarah ke ada Tuhan. Pembedaan itu tidak pas untuk menggabungkan pengertian cendekiawan yang memiliki kualitas pikir dan `ulama' yang memiliki kualitas dzikr. Cendekiawan Muslim itu dipikirkan sebagai memiliki kedua-duanya. Karena itu ia bisa seorang yang pada dasarnya kyai atau pada dasarnya cendekiawan, tetapi memiliki kedua kualitas tersebut. Dalam diskursus mengenai konsep cendekiawan Muslim, gumen Dr. Ir. Muhammad Imaduddin Abdurrahim tentang kualitas pikir dan dzikr mulai dikenal dikalangan luas. Kualitas inilah yang dilekatkan pada ulu al-albab. Boleh dikatakan pengertian itu mulai marak sejak berdirinya ICMI. Jika semboyan Muhammadiyah itu mengambil tema surat Alu `Imran/3:103 dan 110 dan Nahdlatul Ulama surat Alu Imran/ 3:102, maka ICMI mengambil surat Alu Imran/3:189 dan 190. Bunyi lengkap dua ayat yang tidak bisa dipisah-pisahkan dan selalu dikumandangkan dalam berbagai pertemuan ICMI dalam pembacaan ayat-ayat suci al-Qur'an, sebagai berikut:Sesungguhnya, dalam terciptanya langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang, semuanya itu adalah tanda (ayat) bagi orang yang berakal (ulu al-albab).Pada bagian terakhir ayat itulah disebut kata ulu al-albab. Sebagaimana halnya ayat 43 surat Shad yang telah dikutip di atas, maka ulu al-albab disini mengkaitkan akal dengan fakta empiris. Hanya saja pada ayat yang tersebut pertama, faktanya bersifat sosial, pada ayat ini bersifat fisika. Tetapi keduanya menyangkut pengetahuan positif, seperti yang disebut oleh SaintSimon.Ayat di atas mengatakan bahwa bagi orang yang mempunyai akal, yakni intelek atau intelegensi yang tinggi, maka seluruh gejala langit dan bumi yang tercipta itu merupakan kenyataan ontologis. Demikian pula gejala bergantinya siang dan malam memberikan makna-pertama-tama mungkin menimbulkan pertanyaan yang m lama makin mendalam-tertentu. Orang yang berakal itu mungkin mengambil kesimpulan yang sederhana bahwa ada gejala keteraturan dan keajegan. Pergantian malam dan siang itu mungkin dikaitkan dengan datangnya musim yang silih berganti dan ajeg pula. Lalu orang yang berakal pun melihat gejala lain, yakni peredaran waktu. Dalam surat Yasin/36:40 terdapat keterangan sebagai berikut:Tidak ada bagi matahari menyusul bulan dan tidak pula malam hari mendahului siang. Dan kesemuanya mengapung di atas garis edarnya.Ayat di atas memberikan keterangan bahwa matahari dan bulan itu beredar pada orbitnya masing-masing. Kenyataan itu masih jauh dari pengetahuan umum oangsa Arab abad ke-7. Tetapi al-Qur'an. memberitahukannya terlebih dahulu. Hanya saja tidak secara detail. Tetapi justru dengan keterangan singkat itu perhatian orang lalu terpancing untuk melakukan penelitian. Kita mengetahui dari sejarah bahwa bangsa Arab kemudian melakukan penelitian astronomi dan berhasil mencapai kemajuan yang luar biasa. Puncak pengetahuan alam berkembang di negeri-negeri Islam pada waktu itu. Di sinilah kita melihat makna intelektual dalam perspektif Saint-Simon. Namun, baru sekadar itulah penjelasan siapa yang disebut ulu al-albab. Di situ ulu al-albab artinya sama dengan ulu al-abshar, seperti yang disebut dalam surat al-Nur/24:44 yang sama-sama memberikan tantangan kepada akal untuk menieriksa dan memahami gejala alam semesta. Tetapi jika kita baca ayat berikutnya, maka kita akan mendapatkan penjelasan yang substansial tentang ulu al-abshar tersebut, yakni sebagai berikut (Q.S. Alu `Imran/ 3:191), (Yaitu) orang yang mengingat-ingat (yadzkurun) Allah sambil berdiri dan sambil duduk dan sambil berbaring di atas lambung mereka Dan mereka memikirkan (yatafakkarin) tentang penciptaan langit dan bumi. (lalu meagambil kesimpulan): Tuhan kami, Engkau tidak menciptakan itu semua sia-sia. Maha-Suci Engkau. Selamatkan kami dari siksa Neraka.Dalam ayat di atas tercantum dua kata yang disebut Imaduddin, yaitu dzikr dan pikir, keduanya sudah menjadi kata Indonesia.Dalam bahasa sehari-hari dzikr memang berarti mengingat-ingat, umumnya tertuju kepada Allah. Dalam surat al-Ra`d disebut: Hanya ulu al-afbab yang bisa berdzikir. Pada bagian terdahulu dalam ayat yang satu itu juga ditanyakan: Apakah yang tahu itu sama dengan yang buta? Karena itu maka dzikr di sini menyangkut soal pengetahuan juga. Dengan perkataan lain, ada unsur pikir dalam berdzikir itu.Dzikr, dalam ayat yang dikutip terdahulu, disebut pada awalnya. Dan kemudian pikir. Sebenarnya ada dua spekulasi atas makna dari keduanya. Jika kita disuruh berpikir dahulu tentang kejadian alam semesta, seperti banyak sekali tersebut dalam al-Qur'an, dan kemudian kita disuruh berdzikir, maka kita bisa mengambil kesimpulan bahwa dzikr itu adalah tingkat yang lebih tinggi dari pikir, sebab dzikr adalah kegiatan transendensi, mengarah kepada pemikiran yang dalam, yang lebih tinggi, karena mengarah kepada hakekat, lebih mendekati kebenaran yang selalu akan diraih, seperti disebut Benda. Tetapi dalam ayat di atas, dzikr disebut dahulu, baru pikir. Ini mengandung arti bahwa dzikr itu mencakup pikir atau pikir itu terkandung dalam pengertian dzikr, sebab dalam dzikr terkandung unsur pikir.Sebaliknya kita bisa mengatakan bahwa dalam berpikir itu, terkandung pula dzikr. Dalam Concordance, kata fakkara, diterjemahkan dengan to reflect yang dalam bahasa Indonesia disebut sebagai refleksi. Kata ini mengandung unsur makna merenung. Tetapi dalam renungan itu terdapat kegiatan berpikir. Jika kita melihat urut-urutan kata dalam ayat di atas maka kegiatan pikir itu mencakup dzikr. Karena setelah orang berpikir, maka tersimpullah pelajaran bagi ulu al-albab.Seringkali kita mendengar interpretasi bahwa pikir itu harus diimbangi dengan dzikr, seolah-olah pikir itu hanya menyangkut kegiatan rasional saja, sedangkan dzikr itu bersifat supra-rasional atau mungkin tidak rasional, karena menyangkut iman. Pada waktu pikir tidak lagi berbicara maka iman tampil berbicara mengenai kebenaran. Karena itu seorang cendekiawan Muslim bukan hanya orang yang memiliki kualitas pikir, tetapi juga dzikr.Dari ayat di atas, kita bisa menyimpulkan bahwa seorang ulu al-albab itu adalah orang yang berdzikir dan berpikir. Hanya saja, dzikr itu merupakan bagian dari berpikir, yang tingkatannya lebih tinggi, karena mengarah kepada transendensi. Pada ayat 21 dalam surat al-Zumar/39, lagi-lagi disebut bahwa orang yang mampu melakukan dzikr itu hanyalah ulu al-albab:Apakah engkau tidak melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit, lalu dialirkannya air itu ke dalam bumi dan menjadi mata-air, lalu air itu menumbuhkan tumbuh-tumbuban yang bermacaat-macam warnanya; lalu tetumbuhan itu menjadi layu sehingga engkau melihat warnanya yang kekuning-kuningan, lalu Ia membuatnya hancur. Sesungguhnya, dalam gejala itu terdapat tanda peringatan bagi orang yang berakal (ulu al-albab)Kalimat yang mengadung kata ulu al-albab dalam ayat di atas bernada sama dengan yang lain, yakni berbagai gejala dalam hidup ini merupakan tantangan bagi orang yang berakal untuk berpikir, agar dapat diambil pelajaran atau hikmahnya.Permasalahan yang disodorkan untuk diperhatikan dalam ayat di atas adalah gejala fisika yang bergandengan dengan gejala botani. Pertama adalah air hujan yang jatuh ke bumi dan kemudian menjadi mata-air. Lalu disebut bahwa dengan air itu maka tumbuh-tumbuhan menjadi hidup. Mereka yang mengambil pelajaran dari gejala alam ini tentunya akan melakukm sesuatu, misalnya membuat irigasi, bendungan atau kanal untuk mendistribusikan air hujan ke daerah-daerah yang bisa ditanami. Seorang yang mempunyai kualitas ulu al-albab bisa berkembang menjadi ahli teknik, botanikus atau petani biasa yang bisa memanfaatkan air. Tetapi ia tidak berhenti di situ saja. Seorang ulu al-albab akan merenung juga bahwa semua tetumbuhan itu mempunyai masa hidup tertentu, lalu akan layu dan akhirnya mati. Demikan pula kehidupan manusia. Di sini maka seseorang melakukan transendensi, berpikir lebih jauh tentang hakekat hidup.Ciri-ciri Ulu al AlbabGejala lain yang ditunjukkan oleh al-Qur'an adalah sejarah sebagaimana yang dapat dikutip dari surat Yusuf/12:111. Surat ini banyak menceritakan kisah Nabi Yusuf yang dibuang ke sumur oleh kakak-kakaknya, lalu tertolong. Bahkan perjalanan hidup membawanya ke Istana Kekaisaran Mesir Kuna. Ia pernah masuk penjara karena fitnah. Tetapi karena kepandaiannya meramal mimpi dan memperkirakan kcjadian di masa mendatang, menjadi semacam futurolog di masa sekarang ini, akhirnya ia diangkat menjadi pejabat yang mengurus perbendaharaan negara oleh Kaisar. Dalan surat Yusuf/12:55 disebut bahwa Yusuf yang nabi itu memiliki dua kualitas untuk mengemban jabatan itu, yakni ilmu pengetahuan dan kepribadian yang bisa dipercaya.Dari kisah Yusuf a.s. yang panjang itu, seseorang bisa mengambil pelajaran:Sesungguhnya, dalam kisah mereka, terdapat pelajaran bagi orang yang berakal (ulu al-albab).Itu bukanlah cerita yang dibuat-buat, melainkan kisah yang membenarkan apa yang telah terjadi sebelumnya, dan menjelaskan segala sesuatu, dan petunjuk serta rahmat bagi kaum yang beriman.Bagi ulu al-albab, berbagai kejadian di masa lampau adalah sebuah bahan sejarah. Sejarah itu tidak menceritakan seluruh riwayat, tetapi hanya kejadian-kejadian yang penting saja untuk bisa diambil pelajaran. Sejarah disusun dengan historiografi.Dengan itu maka kisah masa lampau itu bukan hanya kisah yang dibuat-buat atau rekayasa sejarah belaka. Dan yang bisa menarik pelajaran, yakni sejarawan adalah mereka yang mempunyai ulu al-albab. Tetapi berbeda dengan sejarawan biasa, seorang ulu al-albab dapat mengambil pelajaran dari sejarah, sebagai petunjuk dan rahmat sebagai orang yang beriman kepada Kebenaran.Itulah sebabnya tidak semua orang, bahkan tidak semua orang pandai adalah ulu al-albab. Mereka itu adalah yang memperoleh hikmah atau kebijakan. Dalam surat al-Baqarah/ 2:269 dijelaskan bahwa tidak sembarang orang itu mampu memperoleh hikmah:Ia menganugerahkan hikmah kepada siapa saja yang ia kehendaki. Dan barangsiapa diberi hikmah, maka ia itu sebenarnya diberi kebaikan yang sangat besar. Dan tidak seorang pun mendanat tanda ingat, kecuali orang yang berakal (ulu al-albab).Karena tidak sembarang orang mampu meraih hikmah, maka yang diberi hikmah itu adalah orang yang mendapatkan kebaikan. Adalah logis bahwa yang memperoleh hikmah itu adalah suatu kelompok kecil. Kelompok kecil itu bisa menjadi elit dalam masyarakatnya.Dalam penjelasan lain, ulu al-albab itu tidak hanya yang berpikir tentang alam fisik, botani, dan sejarah. Mereka pun ternyata mempunyai ciri-ciri yang berkaitan tidak hanya dengan aktivitas pikirnya, melainkan juga dengan amal konkretnya. Kata ulu al-albab dalam surat al-Ra`d/13:19, ternyata ada keterangannya pada ayat-ayat-berikutnya. Secara ringkas, ulu al-albab adalah orang dengan ciri-ciri sebagai berikut:mempunyai pengetahuan atau orang yang tahu,yang memenuhi perjanjian dengan Allah dan tidak akan ingkar dari janji tersebut (yaitu beriman, berbuat baik dan menjauhi yang keji dan yang munkar)yang menyambung apa yang diperintahkan oleh Allah untuk disambung, (misalnya ikatan cinta kasih),takut kepada Tuhan (jika berbuat dosa) karena takut kepada hasil perhitungan yang buruk,yang sabar karena ingin mendapat keridlaan Tuhan, H menegakkan shalat, membelanjakan rizki yang diperoleh untuk kemanfaatan orang lain, baik secara terbuka maupun tersembunyi, dan menolak kejahatan dengan kebaikan.Kualitas-kualitas tersebut diuraikan dari ayat 19 hingga 22 dalam satu tarikan nafas. Sejumlah kualitas dirinci dalam ayatayat itu. Kita bisa mengambil kesimpulan bahwa pemilikan pengetahuan saja tidak cukup untuk membuat seseorang beroleh kualifikasi ulu al-albab. Ia adalah juga seorang yang mempunyai keterikatan moral, memiliki komitmen sosial dan melaksanakan sesuatu dengan cara-cara yang baik (lihat juga, Visi Sosial alQur'an dan Fungsi `Ulama', dalam Penutup).Agaknya, ulu al-albab itu selalu dihubungkan dengan aktivitas dzikr, yakni berpikir pada tingkat yang lebih tinggi. Pada tingkat yang lebih tinggi itu, pemikir bukan hanya melihat apa adanya, melainkan mampu pula menarik hikmahnya. Dalam surat Alu `Imran/3:190 yang tersebut terdahulu, dijelaskan bahwa ulu al-albab itu mampu mengambil kesimpulan bahwa semua yang diciptakan oleh Allah itu tidak sia-sia, yakni mengandung fungsi-fungsi tertentu dalam kehidupan umat manusia.Filsuf Belanda Van Peursen, dalam bukunya Strategi Kebudayaan (1976), menteorikan suatu tahapan berpikir manusia. Pertama orang berada dalam suasana mitis, yakni bersatu dengan alam, tidak bisa mengambil jarak. Setelah itu, ia mulai bisa mengambil jarak dan melihat yang lain sebagai obyek berpikir. Di sini ia mulai berpikir ontologis. Pada tahap yang lebih tinggi, orang bisa melihat relasi-relasi dan fungsi-fungsi hubungan. Pada tahap ini manusia mencapai tingkat berpikir fungsional. Secara ringkas keterangan Van Peursen dalam menjelaskan tahap-tahap kebudayaan manusia sebagai berikut:Dalam alam pikiran mitis, hubungan antara manusia (subyek) dan dunia (obyek) dapat digambarkan sebagai saling meresapi, partisipasi. Dalam alam pikiran ontologis, kita jumpai distansi, jarak, usaha mencari pengertian. Dalam alam pikiran fungsional nampak bagaimana manusia daa dunia saling menunjukkan, relasi, bertautan antara yang satu dengan yang lain. Berdasarkan teori filsuf Belanda ini, maka seseorang baru bisa mengatakan: Tuhanku, tidaklah Engkau ciptakan semua ini dengan sia-sia, sebelum ia mencapai tahapan berpikir fungsional. Namun, seorang ulu al-albab lebih dari itu. Ia telah mencapai tahap transendensi, yakni menghubungkan segala sesuatu yang ia lihat dan pikirkan ke atas, ke arah yang lebih tinggi, kepada kebenaran yang universal.Hubungan antara kepemilikan akal dan imun diterangkan da]am surat Alu `Imran/3:7 mengenai bagaimana menafsirkan ayat-ayat al-Qur-'an yang tidak semuanya jelas bagi semua orang itu: yang lain bersifat ibarat. Adapun orang yang hatinya busuk, mereka mengikuti bagian yang bersifat ibarat (mutasyabihat), karena ingin menyesatkan dan ingin membuat tafsiran tersendiri. Dan tidak ada orang yang tahu tafsirnya selain Allah dan orang-orang yang kuat ilmunya. Mereka berkata: kami beriman kepadanya, semua ini adalah dari Tuhan kami. Dan tidak ada yang mau berpikir selain orang yang memiliki akal (ulu al-albab).Surat ini agak kompleks keterangannya, yakni mengenai bagaimana menafsirkan al-Qur'an (lihat, Menciptakan Masa Depan dengan al-Qur'an, dalam Pendahuluan). Kata ulu al-albab disebut untuk menunjuk kepada orang yang memperoleh tandatanda peringatan tentang masalah ini.Al-Qur'an itu terdiri dari dua bagian, pertama yang disebut muhkamat, yakni yang menentukan dan itulah Induk Kitab yang dapat dijadikan landasan. Menurut suatu tafsir, Induk al-Qur'an itu adalah al-Fatihah. Sedangkan yang lain bersifat ibarat atau ungkapan. Bisa pula disebut yang menjelaskan. Jika orang hanya melihat yang detail atau yang menjelaskan tanpa merujuknya ke landasan tafsir, maka seseorang bisa memperoleh salah pengertian. Dan kesalahpengertian itu bisa dimanfaatkan oleh mereka yang berhati busuk untuk menyesatkan. Seorang ulu al-albab harus mengetahui persoalan ini. Jelasnya, ulu al-albab adalah orang yang juga beriman, selain mendalam ilmunya (rasikh fi al-ilm). Sebagai orang yang beriman, maka dalam membuat tafsir terhadap ayat-ayat al-Qur'an, ia harus mengacu kepada hal yang sudah jelas kebenarannya, yaitu esensi al-Qur'an itu sendiri.Dapatkah kita jumpai orang-orang yang memiliki kualitas yang berat itu? Tentu saja sulit. Tetapi di antara yang sulit itu kita menjumpai tokoh para Rasul dan Nabi, khususnya yang disebut dalam surat al-Ahqaf/46:35 sebagai ulu al- azm yang memiliki keteguhan hati dan mampu mengambil keputusan, dengan segala risiko. Sungguhpun demikian, dengan menjalankan syarat-syarat yang telah dikemukakan dalam al-Qur'an itu, maka orang-orang biasa pun dapat mencapai kualitas ulu al-albab. Jika tidak, mengapa berkali-kali kata itu disebut dalam al-Qur'an, yakni sebanyak 16 kali, untuk diteladani, jika kualitas itu tidak dapat dicapai. Namun begitu, ulu al-albab memang hanya kecil jumlahnya dan ia merupakan elit, yakni mereka yang memiliki kelebihan dalam masyarakat dan karena itu besar pengaruhnya.Pertanyaan yang barangkali masih mengganjal adalah di mana karakter kritis pada ulu al-albab yang hingga kini belum nampak dalam analisis tersebut ? Jika kita menelaah dan menggali makna cendekiawan atau intelektual itu sendiri secara harfiah, maka tidak akan muncul ciri kritis itu. Ciri kritis muncul dalam evolusi makna dan sejarah, misalnya ketika muncul sejumlah cendekiawan yang membela Dreyfus. Tetapi secara tekstual, ciri kritis pada cendekiawan akan muncul jika karakter dzikr itu berhadapan dengan kenyataan permasalahan konkret. Dzikr adalah mengingat atau mendapat peringatan. Dari situ maka watak seorang yang melakukan dzikr adalah mengingatkan. Tindakan mengingatkan itu hanya bisa muncul jika orang bersikap kritis. Karena itu, seorang ulu al-albab sudah dengan sendirinya menyimpan sikap kritis atau sikap peka untuk memberi peringatan.Seorang yang melakukan dzikr tentu akan merespon seruan Allah untuk membentuk kelompok yang berorientasi kepada kebajikaan (al-khayr) dan kemudian melakukan amr ma `ruf nahy al-munkar (Alu `Imran/3:103 dan 110). Dari sinilah seorang ulu al-albab akan bersikap kritis sebagai dasar dari tindakan amr ma `ruf nahy al-munkar. Tetapi sikap kritis itu mengandung juga tanggung-jawab ketika ia mengingat kepada nilai kebajikan dan amr ma'ruf.Sebenarnya banyak ayat al-Qur-'an yang mendorong dan membangkitkan kepekaan seseorang, lebih-lebih mereka yang memiliki kelebihan pengetahuan. Surat al-Ma`un umpamanya, akan menimbulkan kepekaan sosial. Karena itu, untuk membangun pengertian kita tentang kualitas cendekiawan Muslim, kajian tentang kata ulu al-albab perlu diperluas lebih lanjut dengan meneliti ayat-ayat lain.Dari Ulu al-Albab ke RizqSebenarnya, pengertian cendekiawan itti tercakup dalam istilah `ulama', sepetti yang disebutkan dalam surat Fathir/35:28 (lihat, Visi Sosial al-Qur'an, dan Fungsi `Ulama', dalam Penutup). Tetapi karena ulama itu sudah memiliki pengertian baku di Indonesia maupun di Dunia Islam, yakni yang ahli di bidang agama saja, maka kita perlu pula memunculkan istilah cendekiawan.Pengertian cendekiawan Muslim dapat dicari dari kualitas-kualitas yang disebutkan dalam al-Qur'an, yang banyak terdapat walaupun tidak terbatas-pada istilah ulu al-albab. Namun pertama-tama kita perlu mengacu terlebih dahulu kepada pengertian yang berkembang di Barat, karena kata cendekiawan merujuk kepada pengertian intelektual. Dari istilah cendekia saja kita sulit memperoleh substansi dari pengertian cendekiawan. Karena itu, kita perlu mempelajari makna intelektual dan keterangan-keterangan yang terdapat dalam al-Qur'an.Baik dalam sejarah Barat, maupun al-Qur'an, cendekiawan bukan hanya mereka yang memiliki intelegensi yang tinggi. Cendekiawan adalah kelompok sosial yang memiliki misi dan komitmen terhadap perubahan sosial dan memiliki keberanian moral untuk membela dan mempertahankan kebenaran dan keadilan. Mengacu kepada al-Qur'an, seorang cendekiawan adalah orang yang berpikir dan merenung ke arah yang lebih tinggi dalam mendekati Kebenaran. Cendekiawan adalah juga orang yang memiliki kepekaan, sikap kritis, dan tanggung-jawab sosial dan karena itu memiliki komitmen untuk bertindak demi kebaikan sesama manusia. Sudah tentu, sikap kritis itu memerlukan keberanian moral untuk melakukannya.Dengan demikian, maka cendekiawan bukanlah orang yang bergantung di atas angin atau tinggal di menara gading. Cendekiawan, sering terdorong untuk mengotori tangannya dengan kegiatan konkret kemasyarakatan. Dewasa ini banyak cendeniawan yang terjun aktif dalam lembaga swadaya masyarakat, sebagaimana cendekiawan juga banyak yang terjun ke bidang politik. Di bidang mana pun ia bekerja, cendekiawan adalah yang mempergunakan ilmunya dengan berpedoman kepada kebenaran dan keadilan.Dalam entri berikut, akan dibicarakan mengenai rizq, yang merupakan sebuah konsep penting dalam al-Qur'an, berkaitan dengan hakikat sosial keberagamaan Islam. Salah satu konsep penting dalam al-Qur'an yang belum mendapat perhatian serius adalah konsep mengenari rezeki (rizq) ini. Padahal, dewasa ini, di mana sektor ekonomi merupakan primadona dalam arus perubahan sosial dan pemikiran, konsep ini mempunyai relevansi yang sangat mencolok. Dalam entri berikut, konsep penting al-Qur'an itu dipaparkan secara luas mulai dari pandangan Ibn Khaldun mengenai konsep itu pengungkapannya dalam al-Qur'an; kaitannya dengan konsep tawhid dan demokrasi ekonomi, hingga kandungan moral ekonomi di dalamnya.