ujian tengah semester (di ruba yahh)

36
Tugas Mata Kuliah Politik Multikulturalisme “Studi Kasus Multikulturalisme di Indonesia” Oleh : Galang Geraldy (070710134) Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik- Universitas Airlangga 2010 Studi Kasus : 1. Analisis persoalan keadilan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini di era globalisasi. Bagaimana konteks globalisasi merubah cara pandang dalam melihat keadilan sosial dan analisis satu kasus persoalan keadilan sosial di Indonesia menggunakan pendekatan Justice in Globalizing, Nancy Fraser. 2. Uraikan tiga artikulasi politik multikulturalisme dan analisis tiga contoh kasus di Indonesia menggunakan pendekatan tuntutan politik multikultural di Indonesia (Will Kymlicka; Politik Multikulturalisme). 1.Persoalan Keadilan di Indonesia Mengutip pendapat Thomas I Friedman, seorang wartawan senior The New York Times, globalisasi mempunyai tiga dimensi. Pertama, dimensi idea atau ideologi, yaitu kapitalisme. Dalam pengertian ini, termasuk seperangkat nilai yang menyertainya, yaitu falsafah invididualisme, demokrasi dan HAM. Kedua, dimensi ekonomi, yaitu "pasar bebas" dengan seperangkat tata- nilai lain yang harus membuka kesepakatan terbukanya arus

Upload: bagusdevil21

Post on 26-Jun-2015

148 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

Tugas Mata Kuliah Politik Multikulturalisme“Studi Kasus Multikulturalisme di Indonesia”

Oleh : Galang Geraldy (070710134)Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik-Universitas Airlangga

2010

Studi Kasus :

1. Analisis persoalan keadilan yang dihadapi oleh Indonesia saat ini di era globalisasi.

Bagaimana konteks globalisasi merubah cara pandang dalam melihat keadilan sosial dan

analisis satu kasus persoalan keadilan sosial di Indonesia menggunakan pendekatan Justice in

Globalizing, Nancy Fraser.

2. Uraikan tiga artikulasi politik multikulturalisme dan analisis tiga contoh kasus di Indonesia

menggunakan pendekatan tuntutan politik multikultural di Indonesia (Will Kymlicka; Politik

Multikulturalisme).

1.Persoalan Keadilan di Indonesia

Mengutip pendapat Thomas I Friedman, seorang wartawan senior The New York

Times, globalisasi mempunyai tiga dimensi. Pertama, dimensi idea atau ideologi, yaitu

kapitalisme. Dalam pengertian ini, termasuk seperangkat nilai yang menyertainya, yaitu

falsafah invididualisme, demokrasi dan HAM. Kedua, dimensi ekonomi, yaitu "pasar bebas"

dengan seperangkat tata-nilai lain yang harus membuka kesepakatan terbukanya arus barang

dan jasa dari satu negara ke negara lain. Ketiga, dimensi teknologi, khususnya teknologi

informasi. Dengan teknologi informasi akan terbuka batas-batas negara, sehingga negara

makin tanpa batas (borderless country).

Dengan kenyataan seperti itu, globalisasi tidak hanya membuka batas negara, tetapi

juga batas nilai ideologi, moral, warna kulit, agama, bahkan nilai kemanusiaan lainnya. Arus

barang dan jasa akan berjalan lebih cepat. Inilah yang menjanjikan lahirnya kemakmuran

bagi semua negara yang terlibat, meski ketimpangan akan tetap ada.

(blog;sulastomo;www.unisodem.org)

Page 2: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

Globalisasi muncul secara konsisten tahun 1980-an, yang didalangi oleh tiga institusi

ekonomi internasional. Peran itu di lakoni dengan baik oleh IMF, WTO dan World Bank.

Noam Chomsky mengingatkan : ” Globalisasi yang tidak memprioritaskan hak-hak rakyat

(masyarakat) sangat mungkin merosot terjerembab ke dalam bentuk tirani, yang dapat

bersifat oligarkis dan oligopolistis. Meskipun globalisasi saat ini merupakan sumber

permasalahan seperti kesenjangan keadilan, namun kita tidak bisa serta merta beralih ke jalur

yang kontradiktif, karena kehidupan globalisasi telah menjadi wahana bagi aktualisasi dunia.

Artinya bila kita berlari dari globalisasi justru akan semakin menenggelamkan eksistensi

negeri ini.

Secara garis besar persoalan keadilan di Indonesia pasca reformasi dan memasuki era

globalisasi berkutat pada kesenjangan distribusi dan pengakuan. Globalisasi yang membawa

efek liberalisasi ekonomi, sehingga kapitalistik begitu mempengaruhi sistem perekonomian

Indonesia. Globalisasi yang sarat dengan aliran pasar bebas, tentu tidak membawa etika

moralistik dalam mengembangkan perekonomian. Inilah titik episentrum ketika etika

moralistik jalur-jalur distribusi kekayaan alam, daerah-daerah vital eknomi dibelengggu oleh

kekuatan korporasi internasional. Keluarnya UU Migas no.21 tahun 2001, UU.Pendidikan,

UU Penanaman Modal Asing, UU Hak Milik Sewa tanah, UU Kepemilikan Modal dan lain-

lain jelas hanya mengalokasikan legitimasinya pada kepentingan kaum korporasi. Negara

tidak kuasa dalam membendung arus kapitalistik global sehingga sekiranya tepat apa yang

pernah dikemukakan oleh presiden pertama Indonesia, Ir. Soekarno. Beliau mengingatkan

tentang akan kemunculan penjajahan model baru, Necolim (Neocolonialisme-Imperialisme).

Betapa berbahanya model penjajahan ini, yang sentralistik pada pelumpuhan ekonomi

nasional secara sistemik. Sekiranya tepat pula apa yang tertuang dalam monograf Prof.

Amien Rais yang berjudul Selamatkan Indonesia. Adalah korporatokrasi yang terdiri dari

korporasi-korporasi, pemerintah, media, intelektual pragmatis, bank-bank internasional dan

lain-lain sebagai komponen yang bersatu padu mengenyampingkan keadilan sosial-ekonomi

guna memenuhi hasrat eksploitasi ekonomi.

Persoalan kedua, menyangkut politik pengakuan. Keadilan bagi kelompok-kelompok

minoritas yang termarginalkan oleh struktur dan kultur di Indonesia. Kalau kita ingin menarik

sebuah kasus, tengok saja diskriminasi terhadap kaum etnis Tionghoa ketika ingin mengurus

persoalan adminstrasi kependudukan, atau kelompok keyakinan agama lain, suku-suku lain

yang sifatnya bukan sebagai pelengkap namun sesuatu yang berbeda dan terpinggirkan.

Page 3: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

Gesekan etnisitas juga dapat disimak dari kasus di Kalimantan, antara kelompok pendatang

dengan kelompok setempat yang notabenenya berbeda suku dan ras.

Kesadaran historis kebangsaan ini menegaskan kemajemukan sebagai sebuah

keniscayaan. Tak bisa disangkal lagi, kenyataan bahwa Indonesia dibentuk oleh realitas

kemajemukan. Sehingga dapat dikatakan bahwa menolak kemajemukan berarti membiarkan

negeri ini hancur dengan sendirinya.

Meskipun pluralisme oleh sebagian elit agamawan dituduh sebagai biang pengeruhan

keyakinan, tetapi secara ontologis, pluralisme menjadi pendasaran etis bagi peneguhan sikap

keberagamaan yang lebih inklusif, terbuka dan toleran. Disekapnya makna pluralisme dalam

pendiskreditan pihak-pihak yang mengaku mewakili memiliki otoritas agama adalah

sebentuk kekerasan epistemik, kerancuan semantik bahkan sikap pembodohan.

Sentimen keagamaan seringkali dibangun oleh elit agamawan yang gencar

menerapkan politik representasi secara terus-menerus. Politik ini menegaskan sikap mewakili

rakyat, umat atau kelompok tertentu agar diakui legitimasinya sebagai pembela kelompok

subaltern. Dalam praktiknya, politik ini acapkali diselewengkan demi kepentingan politik

terselubung.

Karenanya, dibutuhkan ideal politik multikulturalisme untuk membongkar sekat-sekat

politik representasi yang cenderung mengkooptasi dan memanipulasi potensi sentimen

etnoreligius atas nama subaltern, yaitu kelompok yang jauh dari pusat kekuasaan.

Gesekan antara kelompok fundamentalisme dan liberal menyangkut agama,

menambah daftar panjang serangkaian tingginya intensitas konlik horizontal di Indonesia.

Demokrasi yang mensyaratkan kebebasan, justru menjadi ladang tumbuh-kembangnya

radikalisme agama. John V Voll sendiri mengakui bahwasanya demokratisasi yang

berlangsung bukan saja tidak secara otomatis menghilangkan radikalisme melainkan justru

menjadi inspirasi bangkitnya radikalisme, karena kebebasan berpendapat tersebut. Anggap

saja demokrasi melegitimasi ‘pertarungan’ antara dua kutub yang telah lama bersembunyi

dalam ketiak rezim otoriter orde baru. Begitu halnya juga dengan globalisasi, deregulasi

ekonomi-sosial, persinggungan budaya antar bangsa, menjadi sangat rancu sampai sebatas

apa sebuah budaya mengalami tekanan dan represif, ataukah itu sekedar kompetisi dalam

sebuah dunia model baru. Teringat pula pada teori Charles Darwin, bagaimana konsistensi

makhluk hidup terlihat pada sejauh mana mereka bertahan pada proses dan seleksi alam.

Alam yang akan menentukan hasil akhirnya. Maka sudah menjadi tanggungan negara

semacam Indonesia, yang mana tingkat pluralitasnya begitu tinggi, dari yang sifatnya

Page 4: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

horizontal sampai vertikal. Agama memang menarik, masuk dalam skala konflik horizontal

yang mempertautkan kepentingan vertikal, sebagai misi suci agama. Hal inilah yang sulit

diatasi oleh negara, mengingat negara tidak bisa serta merta masuk begitu saja dalam ranah

vertikalisasi agama.

Kita semua sepakat, agama diturunkan ke bumi ini untuk menciptakan kedamaian dan

ketenteraman. Tidak pernah ada cita-cita agama manapun yang ingin membuat anarkisme,

terorisme, suasana mencekam, pembunuhan, sadisme dan perusakan. Sebelum adanya agama,

masyarakat dibayangkan sebagai kelompok tak beraturan, suka berkonflik, saling membunuh,

saling menjelekkan dan seterusnya. Kemudian agama datang untuk membawa cahaya

kedamaian bagi manusia di bumi ini. Agama, dengan demikian harus kita sepakati terlebih

dahulu, hadir untuk menciptakan ketenteraman, untuk saling menghormati dan memahami

satu sama lain. Ada banyak agama dan kepercayaan di bumi ini. Logisnya, antaragama dan

kepercayaan semestinya tumbuh sikap saling menghormati itu. Sayang sekali, gejala

demokrasi yang dipandang terlalu berlebihan sehingga lebih pada tindakan-tindakan euforia

semata tanpa memahami aspek substansial di dalamnya, setidaknya dalam sepuluh tahun

awal demokrasi di Indonesia, menyebabkan kebebasan yang kebablasan dari praktek-praktek

agama justru mengkontraproduktifkan nilai-nilai agama sebenarnya.

Suatu agama kerap memandang dirinya sebagai satu kebenaran tunggal dalam

memotret agama lain, demikian pula dengan agama yang lain. Antaragama jarang

menemukan titik temu atas realitas perbedaan yang sudah semestinya niscaya ini. Lalu

terjadilah konflik yang berdarah-darah, pembunuhan korban tak bersalah atas nama agama.

Sebagai pemeluk agama yang benar-benar memanifestasikan imannya untuk kedamaian di

dunia, kita benar-benar dibuat sedih. Jika konflik atas nama agama dibenarkan, hilanglah

nurani dan hakikat agama itu sendiri. Agama tak lagi menjadi payung perdamaian karena

sudah mengalami politisasi dan fanatisme.

Terlebih dengan gelombang globalisasi, munculnya transnasional agama. Intervensi

sosial-budaya luar menjadi tren globalisasi. Kemandirian dan kedaulatan negara, hanya

menyisakan sebuah keperkasaan dari segi geopolitik semata, sedang dari ekonomi sampai

politik pencampuran dengan aset-aset asing terkadang justru memperlemah identias

kebangsaan kita. Salah satunya tentu, budaya yang sifantnya muamalah dari timur tengah di

klaim sebagai budaya ubbhudiyah. Transnasional agama lambat laun jelas akan mengerosi

karakteristik nilai-nilai bangsa. Masdar Hilmy dalam bukunya Membaca agama: Islam

Page 5: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

sebagai realitas terkosntruksi, menjelentrehkan dengan cantik teori-teori kemunculan

transnasional di Indonesia yakni travelling theory, teori hibriditas dan teori diaspora.

Gerakan Islam transnasional mengusung ideology tunggal ‘khilafah Islamiyah’ guna

memanifestasikan kembali romantika masa lalu kejayaan Islam di bawah naungan sistem

kekhalifahan. Ideologi ini hanya bisa berkembang ketika term negara-bangsa dapat di

selimuti dengan jubah khilafah Islamiyah, sehingga asas-asas sekularisme tergantikan oleh

paham-paham Islamisme. Untuk itu perkembangannya harus lintas negara, bukan hanya di

satu negara, karena esensinya gerakan ini menyatukan negara-negara muslim untuk berdiri

atas satu nama, Daulah Islamiyah.

Inilah potret betapa variasinya varian aliran agama di Indonesia, dalam skala internal

satu agama saja terpolarisasikan beragam perspektif. Pluralitas agama menjadi semacama

hakekat yang semestinya terjaga dengan elegan tanpa ada kesempatan untuk

mengaktualisasikan dengan cara-cara kekerasan. Aktualisasi dan eksistensialisasi adalah

wujud dari perjuangan politik pengakuan, politik yang berlindung dari induknya, yakni

politik multikuturalisme.

Dialog antaragama dan komunikasi antariman dengan demikian, akan menjadi sesuatu

yang amat berharga dalam rangka menyelesaikan konflik. Ia adalah suatu konsep di mana

penghargaan pada masing- masing keyakinan menjadi poin utama. Logisnya, menganggap

keyakinan sendiri paling benar adalah ketidakdewasaan menghadapi dan memahami hakikat

atau substansi agama. Untuk membangun pergaulan agama-agama yang lebih manusiawi dan

untuk meredam potensi-potensi kekerasan umat beragama yang bisa muncul dari klaim-klaim

kebenaran sepihak itu, tampaknya jalan untuk mengatasinya adalah dengan memperluas

pandangan inklusif (terbuka) dari visi religiusitas kaum beragama.

Paradigma Keadilan sosial dalam konteks Globalisasi

Di dalam perdebatan filsafat politik kontemporer, politik selalu didefinisikan

setidaknya dengan dua kategori, yakni kategori redistribusi (redistribution), dan kategori

pengakuan (recognition). Kategori redistribusi berarti setiap orang menginginkan distribusi

kekayaan alam, dalam bentuk modal maupun sumber daya, secara adil dan merata. Sementara

kategori pengakuan berarti bahwa setiap orang ingin menciptakan masyarakat yang ‘ramah-

terhadap-perbedaan’ (difference-friendly-culture). Artinya masyarakat haruslah ditata,

Page 6: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

sehingga kultur yang minoritas tidaklah harus berasimilasi dengan kultur mayoritas untuk

bisa mendapatkan pengakuan yang sepantasnya. Pihak-pihak yang menyetujui kategori

redistribusi menginginkan pembagian kekayaan yang adil merata bagi seluruh pihak.

Sementara pihak-pihak yang lebih menyetujui kategori pengakuan hendak memperjuangkan

pengakuan bagi partikularitas etnis, ras, orientasi seksual, dan gender mereka. Dua kutub ini

telah menjadi pusat perdebatan di dalam filsafat politik kontemporer.

Dewasa ini perdebatan di antara dua kutub tersebut semakin meningkat intensitasnya.

Dalam banyak kasus perjuangan untuk memperoleh pengakuan dari kultur minoritas

seringkali terpisah sama sekali dari perjuangan untuk mewujudkan pembagian kekayaan yang

merata. Misalnya tentang perjuangan feminisme. Bagi kaum feminis pembagian kekayaan

yang adil dan merata justru semakin memperkuat dominasi kaum laki-laki di dalam ruang

publik, yakni ketika bantuan dipandang sebagai sumbangan ataupun bantuan semata. Yang

dibutuhkan oleh kaum feminis adalah pengakuan akan perbedaan, dan bukan bantuan. Dalam

konteks akademis para pemikir feminis, yang melihat gender sebagai suatu kontruk sosial,

juga seringkali berdebat keras dengan para pemikir lainnya yang melihat gender sebagai

suatu bentuk identitas ontologis yang bersifat statis. Seluruh perdebatan ini sebenarnya

dapatlah dilihat sebagai munculnya suatu gejala baru, yakni terpisahnya politik kultural

(cultural politics) dari politik praktis (sosial politics), dan terpisahnya politik perbedaan

(politics of difference) dari politik kesetaraan (politics of equality).   

Nancy Fraser, seorang filsuf politik perempuan asal Amerika, lebih jauh melihat

bahwa keterpisahan ini semakin mengarah pada keterpisahan radikal, atau apa yang

disebutnya sebagai polarisasi (polarization). Para pemikir yang memihak pada politik

redistribusi, atau politik pembagian kekayaan secara adil dan merata, berpendapat bahwa

perjuangan untuk mendapatkan pengakuan adalah suatu bentuk ‘kesadaran palsu’ (false

consciousness) yang justru dapat menjadi halangan besar untuk menciptakan keadilan sosial.

Kontras dengan itu para pemikir yang pro dengan perjuangan untuk mendapatkan pengakuan,

atau politik pengakuan, berpendapat bahwa politik redistribusi sama sekali tidak dapat

mengartikulasikan pengalaman ketidakadilan yang dialami oleh orang-orang yang berasal

dari kultur minoritas. Dalam konteks ini kita seolah pada dua pilihan, yakni memilih politik

redistribusi, atau memilih politik pengakuan.

Salah satu ancaman terhadap keadilan sosial dalam globalisasi adalah hasil dari suatu

ironi sejarah: pergeseran dari redistribusi atas pengakuan yang terjadi meskipun (atau karena)

Page 7: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

percepatan globalisasi ekonomi. Dengan demikian, konflik identitas telah mencapai status

paradigmatik tepat pada saat ketika kapitalisme pimpinan Amerika agresif globalisasi secara

radikal memperburuk kesenjangan ekonomi. Akibatnya, giliran untuk pengakuan telah

dovetailed terlalu rapi dengan neoliberalisme hegemonik yang ingin tidak lebih dari untuk

menekan memori egalitarianisme sosialis. Dalam konteks ini, perjuangan untuk pengakuan

melayani kurang untuk melengkapi, menyulitkan, dan memperkaya redistribusi perjuangan

daripada meminggirkan, gerhana, dan menggantikan mereka. 

Pemindahan mengancam kemampuan kita untuk membayangkan keadilan sosial

dalam dunia yang mengglobal. Untuk menghindari memotong visi kami emansipasi, dan

tanpa disadari berkolusi dengan neoliberalisme, kita perlu meninjau kembali konsep

keadilan. Apa yang dibutuhkan adalah sebuah konsep yang luas dan luas, yang dapat

menampung setidaknya dua set keprihatinan. 

Di satu sisi, seperti konsepsi harus mencakup keprihatinan tradisional teori keadilan

distributif, terutama kemiskinan, eksploitasi, ketimpangan, dan perbedaan kelas. Pada saat

yang sama, ia juga harus mencakup kekhawatiran baru-baru ini disorot dalam filsafat

pengakuan, terutama tidak hormat, imperialisme budaya, dan hirarki status. Menolak

formulasi sektarian yang melemparkan distribusi dan pengakuan sebagai pemahaman yang

saling bertentangan keadilan, seperti konsepsi harus mengakomodasi keduanya. Hasilnya

harus menjadi dua dimensi konsepsi keadilan. Hanya konsepsi semacam dapat memahami

besarnya penuh ketidakadilan dalam globalisasi. 

Membutuhkan melihat keadilan sosial bifocally, secara bersamaan melalui dua lensa

yang berbeda.Dilihat melalui satu lensa, keadilan adalah masalah distribusi yang adil; dilihat

melalui yang lain, ini adalah masalah pengakuan timbal balik. lensa Masing-masing

membawa ke dalam fokus aspek penting dari keadilan sosial, tetapi tidak saja sudah

cukup. Pemahaman yang lengkap tersedia hanya ketika dua lensa ditumpangkan. Pada saat

itu, keadilan muncul sebagai sebuah konsep yang mencakup dua dimensi sosial pemesanan,

dimensi distribusi dan dimensi pengakuan. 

Dari perspektif distributif, ketidakadilan muncul dalam kedok kesenjangan kelas-

seperti, berakar dalam struktur ekonomi masyarakat. Di sini, ketidakadilan klasik adalah

maldistribution, dipahami secara luas, untuk mencakup tidak ketimpangan pendapatan saja,

tetapi juga eksploitasi, perampasan, dan marginalisasi atau pengecualian dari pasar tenaga

kerja.  Adalah redistribusi, juga dipahami secara luas, untuk mencakup tidak hanya transfer

pendapatan, tetapi juga reorganisasi pembagian kerja, mengubah struktur kepemilikan

properti, dan demokratisasi prosedur dimana keputusan investasi dilakukan. 

Page 8: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

Dari perspektif pengakuan, sebaliknya, ketidakadilan muncul dalam kedok

subordinasi status, berakar dalam hierarki dilembagakan nilai budaya.Ketidakadilan

paradigmatik di sini adalah misrecognition, yang juga harus dipahami secara luas, untuk

mencakup dominasi budaya, nonrecognition, dan tidak hormat. obat tersebut, sesuai, adalah

pengakuan, dipahami secara luas juga, sehingga tidak mencakup reformasi hanya bertujuan

upwardly menilai kembali identitas tidak dihormati dan produk budaya kelompok difitnah

tetapi juga upaya untuk mengenali, dan menaikkan harga, keragaman, di satu sisi, dan upaya

untuk mengubah tatanan simbolik, membongkar istilah yang mendasari diferensiasi status

yang ada, dan dengan demikian perubahan identitas sosial setiap orang, di sisi lain. 

Dari perspektif distributif, kemudian, keadilan memerlukan politik redistribusi. Dari

perspektif pengakuan, sebaliknya, keadilan politik membutuhkan pengakuan. Ancaman

perpindahan muncul ketika dua perspektif tentang keadilan yang dipandang sebagai saling

bertentangan. Kemudian, klaim pengakuan menjadi dipisahkan dari klaim redistribusi,

akhirnya gerhana terakhir. 

Ketika dua perspektif keadilan ditumpangkan, bagaimanapun, risiko perpindahan bisa

dijinakkan. Kemudian, keadilan muncul sebagai kategori dua dimensi, yang meliputi klaim

dari kedua jenis. Dari perspektif ini yg bertitik api dua, maka tidak perlu lagi memilih antara

pengakuan politik dan politik redistribusi. Apa yang diperlukan, sebaliknya, adalah sebuah

politik yang meliputi keduanya. 

Percepatan globalisasi membuat seperti politik mungkin pada prinsipnya. Dalam

masyarakat ini, seperti yang kita lihat, identitas tidak lagi terikat secara eksklusif untuk

tenaga kerja, dan isu-isu budaya yang sangat dipolitisir. Namun ketimpangan ekonomi tetap

merajalela, sebagai ekonomi informasi baru global memicu proses-proses utama dari

rekomposisi kelas. Selain itu, populasi beragam saat ini pekerja simbolis, pekerja jasa,

pekerja manufaktur, paruh waktu dan pekerja sementara, dan mereka yang menderita

pengucilan sosial sangat sadar hierarki status ganda, termasuk gender, "ras", etnisitas,

seksualitas, dan agama. Dalam konteks ini, tidak ekonomisme reduktif atau culturalism

vulgar adalah layak. Sebaliknya, hanya perspektif yang memadai adalah mencakup satu yg

bertitik api dua baik pengakuan dan distribusi. 

Bagian dari kebingungan terletak pada ambiguitas tentang apa yang kita maksud

dengan globalisasi dan bagaimana kita berpikir tentang keadilan sosial. Tetapi lebih dari itu:

juga bahwa rasa keadilan sosial kita dipengaruhi oleh apa yang kita yakini adalah

mungkin. Dengan tidak adanya alternatif Kekaisaran AS, dan tidak adanya kapasitas politik

untuk menempatkan alternatif tersebut dalam agenda, mimpi kita dipangkas agar sesuai

Page 9: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

dengan tempat tidur "realitas." Keadilan sosial dibuat kompatibel dengan globalisasi, bukan

dengan mengubah masyarakat.

Ini dari perspektif inilah saya ingin mempertimbangkan, dan menarik beberapa

kesimpulan dari, dua berlawanan alternatif rupanya yang mencoba untuk menemukan

beberapa kompatibilitas antara globalisasi dan keadilan sosial: satu berusaha kembali ke

demokrasi sosial kapitalisme "zaman keemasan", sementara yang lain menekankan

membangun ekonomi. "masyarakat berbasis" sosial. Tapi pertama, titik sejarah singkat

tentang globalisasi.

Dalam doktrin neoliberal, kompetisi menjadi nilai sentral. Kompetisi menjadi strategi

terbaik guna meraih profit maksimal sekaligus mendapat alokasi sumber daya secara optimal.

Prinsipnya, one person’s crisis is another person’s opportunity for enrichment. Dalam

hegemoni ekonomi pasar, perilaku yang didasarkan solidaritas berarti ketololan.

Globalisasi neoliberal sarat dengan hiperkompetisi langsung, bahkan antara orang-

orang yang tak pernah bertemu sekalipun. Mengikuti petuah Thomas Hobbes, every man is

enemy to every man. Kanibalisme hukum rimba berlaku secara brutal dan kejam. Siapa kuat,

dia menang. Sistem ekonomi pasar hanya mengambil yang terbaik dan meninggalkan

sisanya, menciptakan para pecundang ketimbang pemenang. Afrika adalah wajah kekalahan.

Alih-alih menciptakan kemakmuran, globalisasi justru menimbulkan ketimpangan

mendalam, baik intra maupun antarnegara. Globalisasi ekonomi tidak seketika membawa

dunia menuju kemakmuran dalam meraih standar hidup, pemenuhan hak asasi, dan akses

pasar, tetapi justru menciptakan kemiskinan global.

Menurut Laporan Tahunan UNDP 2006, 40 persen populasi penduduk termiskin di

dunia—2,5 miliar manusia hidup di bawah dua dollar AS per hari— setara dengan 5 persen

pendapatan global, sementara 10 persen populasi orang terkaya memiliki aset sekitar 54

persen pendapatan global.

Lebih dari 800 juta orang kelaparan dan kekurangan gizi, 1,1 miliar orang tidak

memiliki akses air minum, dan tiap jam sebanyak 1.200 anak-anak mati karena penyakit yang

mestinya bisa dicegah. Meski ekonomi global dan kemajuan teknologi tumbuh pesat, banyak

orang di negara berkembang tak dapat menikmati kue globalisasi.

Page 10: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

The New York Times (28/6/ 2006) menyebutkan, setiap tahun lebih dari 800.000 anak

di Afrika mati karena malaria. Padahal, obat pencegah bisa didapat 55 sen per dosis, kelambu

penghadang nyamuk hanya satu dollar setahun dan pembasmi nyamuk hanya seharga 10

dollar AS per tahun untuk satu rumah tangga.

Kompetisi pasar global membutuhkan manusia dengan inisiatif, terlatih, melek

teknologi informasi, dan semangat wirausaha. Masyarakat miskin—terutama Afrika—jelas

tidak memiliki akses dan modal untuk belajar keahlian baru. Untuk makan saja susah, apalagi

menikmati bangku pendidikan.

Tentu begitu banyak potret polemik keadilan sosial di negara-negara berkembang

semacam Indonesia dalam menghadapi era globalisasi. Tapi di antara itu semua, mungkin

kasus yang begitu mencolok adalah terkait keadilan ekonomi. Salah satu studi yang menarik

sekaligus mencengangkan ketika Amien Rais dalam monografnya Selamatkan Indonesia-

Agenda Mendesak Bangsa, secara teoritis dan kontekstual menjelaskan betapa Indonesia

mengalami degradasi ekonomi yang sangat parah ketika menuruti salah satu tiang penyangga

globalisasi, yaitu Washington Consensus. Indonesia terjebak dalam korporatokrasi

internasional, sehingga belenggu ekonomi yang terjalin sangat sistematis dan koordinatif.

Pasar bebas adalah mesin utama dari Globalisasi yang saat ini sedang naik daun. Dan

untuk memahami Pasar Bebas ini, maka orang perlu memahami Neo-Liberalisme

(liberalisme baru). Inilah ideologi mutakhir kapitalisme yang saat ini sedang jaya-jayanya,

terutama slogan TINA (There is No Alternatives) dari mulut Margaret Thatcher. Semenjak

1970-an hingga kini, Neo-Liberalisme mulai menanjak naik menjadi kebijakan dan praktek

negara-negara kapitalis maju, dan didukung oleh pilar-pilar badan dunia: Bank Dunia, IMF

dan WTO. Dengan memahami Neo-Liberal, maka kita dapat memahami berbagai sepak

terjang badan-badan multilateral dunia; kita dapat memahami perubahan kebijakan domestik

di negara-negara maju; kita dapat memahami mengapa terjadi krisis moneter dan ekonomi

yang tidak berkesudahan; kita dapat memahami mengapa Indonesia didikte dan ditekan terus

oleh IMF; kita dapat memahami mengapa Rupiah tidak pernah stabil; kita dapat memahami

mengapa BUMN didorong untuk diprivatisasi; kita dapat memahami mengapa listrik, air,

BBM, dan pajak naik; kita dapat memahami mengapa impor beras dan bahan pangan lain

masuk deras ke Indonesia; kita dapat memahami mengapa ada BPPN, Paris Club, Debt

Rescheduling dan lain-lain; dan banyak lagi soal-soal yang membingungkan dan

memperdayai publik.

Page 11: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

Tuntutan keadilan

Globalisasi tak lepas dari anomali. Arus uang seharusnya bergerak dari negara kaya

ke negara miskin, tetapi yang terjadi justru sebaliknya. Globalisasi justru menjadi ajang

mentransfer kekayaan dari si miskin kepada yang kaya (George, 2006). Pada tahun 1980,

negara-negara Selatan memiliki stok utang sekitar 540 miliar dollar AS. Angka itu meningkat

hampir lima kali lipat menjadi 2.600 miliar dollar AS pada tahun 2004. Padahal, dalam kurun

waktu itu, mereka membayar utang 5.300 miliar dollar AS, hampir 10 kali lipat utang mereka

tahun 1980. Bahkan, kawasan Sahara Afrika, bagian termiskin di dunia, terus menyumbang

kreditor 28.000 dollar AS per menit.

Globalisasi neoliberal tidak lahir secara alami, tidak pula diciptakan oleh kekuatan

supranatural. Pasar bukan Tuhan dan bukan tugasnya untuk mengatur, apalagi mendikte

aturan kepada manusia. Pendewaan terhadap pasar harus dihentikan. Masyarakat dunia

berhak menentukan peran yang harus dimainkan oleh pasar, yakni sebagai pelayan dan bukan

sebagai majikan.

Globalisasi, menurut Stiglitz (2006), diyakini memiliki potensi besar jika ditata dan

dikontrol. Agar globalisasi berjalan lebih manusiawi, dibutuhkan lembaga yang kuat dan

transparan, seperangkat institusi yang dapat memandu kebijakan ekonomi, politik dan sosial

lebih adil, sekaligus memihak dunia yang miskin. Di bawah komando supremasi kapitalisme

global yang culas dan kejam, globalisasi yang manusiawi menjadi tuntutan zaman yang tak

terelakkan.

Kini saatnya memformulasikan kebijakan ekonomi yang berkeadilan sosial yang

memutus keterikatan dan ketergantungan kepada agenda globalisasi. WTO dan IMF telah

membatasi pilihan-pilihan kebijakan yang ada dan memaksakan kebijakan yang hanya sesuai

dengan agenda mereka. Pada masa lalu mereka memakai pendekatan “Economic Growth”

(pertumbuhan ekonomi) sebagai doktrin, dan sekarang mereka menambahkan “Kompetisi

Bebas” sebagai doktrin. Ini harus ditentang dan dicarikan alternatifnya. Ada banyak alternatif

yang tersedia sebenarnya, asalkan kita tidak “turut dan manut” saja terhadap pasar bebas /

globalisasi. Oleh karena itu berbagai kelompok nasional harus berembuk dan berdialog

bersama guna menetapkan pokok-pokok pandangan dan visi nasional yang non-Pasar Bebas.

Banyak alternatif yang mungkin dilakukan (There Are Many Alternatives), yaitu:

1) Sistem ekonomi jangan berprinsip pasar bebas (liberalisme ekonomi). Haruslah

Page 12: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

mencontoh berbagai pengalaman negara lain, termasuk AS, Jerman dan Jepang, yang

dalam sejarahnya juga memakai ekonomi merkantilis dan proteksionis ketimbang

pasar bebas di masa awal pembangunannya. Indonesia masih dalam tahap-tahap awal

perkembangannya, dan karenanya perlu menerapkan ekonomi yang proteksionis dan

kerakyatan.

2) Sistem ekonomi haruslah mendahulukan pasar domestik dan menaruh di belakang

orientasi pada pasar ekspor. Sistem ekonomi dikembangkan untuk memperkuat

produksi domestik untuk pasar dalam negeri, sehingga memperkuat perekonomian

rakyat; dan bukan untuk melayani kepentingan TNC dan konglomerat atas pasar

eksport.

3) Pertanian dijadikan prioritas utama perekonomian, karena di sinilah hidup

mayoritas rakyat. Karena itu alokasi untuk sektor pertanian (termasuk kelautan dan

perikanan) harus lebih besar dari yang lain-lainnya. Pertanian harus dirubah melalui

agrarian reform, sehingga terjadi distribusi tanah dan sumberdaya yang merata.

Selain itu diadakan berbagai kemudahan dan fasilitas serta perlindungan bagi petani

untuk memperkuat sektor pertanian.

4) Industrialisasi berdasarkan pada bahan baku setempat, sehingga tidak tergantung

impor dari luar. Ini berarti di satu pihak memperkuat sektor pertanian, sektor kelautan

dan lain-lainnya; serta memperkuat sektor industri itu sendiri serta industri-industri

kecil yang terkait dengannya.

5) Diadakan perekonomian yang berorientasi kepada kesejahteraan, yaitu negara

menjalankan berbagai peran penyelenggaraan barang publik (public goods) dan

prasarana publik (public facilities), seperti air, listrik, transportasi, kesehatan,

pendidikan dan lainnya. Segala sesuatu yang bersifat publik haruslah bersifat gratis.

6) Tidak tergantung kepada badan-badan multilateral, dan ikut serta merubah badan

badan tersebut agar menjadi badan yang terutama melayani kepentingan negara

negara Dunia Ketiga

7) Penghapusan sebagian besar hutang karena alasan-alasan etika, moral, dan

ekonomi yang layak.

8) Melepaskan diri dari rejim devisa bebas dan rejim nilai tukar mengambang bebas

(free-floatexchange rate); dan sebagai gantinya menetapkan kontrol modal (capital

control) dan nilai tukar tetap (fixed exchange).

9) Menyokong diadakannya Tobin Tax terhadap arus keluar masuk modal swasta

yang saat ini merupakan ‘hot money’ dan volatilitasnya sangat tinggi.

Page 13: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

10) Menolak paham Neo-liberal dan mencari alternatif ilmu ekonomi yang lebih

mencerminkankepentingan rakyat dan nasional, seperti dengan neo-protectionism,

neo-keynesianism, welfare state, ekonomi kerakyatan dan lain-lainnya.

11) Demokrasi yang diarahkan bagi penguatan aspirasi rakyat dan organisasi rakyat;

kebebasan berpikir, berbicara, berorganisasi; dan pemenuhan HAM sepenuhnya.

12) Kerjasama Dunia Ketiga untuk bersama-sama menghadapi kepentingan negara

negara maju (G-7, OECD), untuk di dapat resolusi yang layak bagi Dunia Ketiga,

seperti memperkuat kembali hasil yang telah dicapai UNCTAD lewat GSP

(Generalized System of Preference) dan pengurangan hutang.

c. Problematika Keadilan Sosial di Indonesia dalam konteks Globalisasi

Ada empat pertanyaan filosofis yang mendasar yang dihadapi oleh setiap pemikir

yang hendak mengkombinasikan politik pengakuan di satu sisi, dan politik redistribusi di sisi

lain. Yang pertama apakah pengakuan adalah soal keadilan, atau masalah realisasi diri (self-

realization) sepenuhnya di dalam masyarakat? Kedua apakah pandangan keadilan distributif,

yang menjadi dasar pemikiran politik redistribusi, mengandung subtansi konseptual yang

sepenuhnya berbeda dengan pandangan politik pengakuan, sehingga semua upaya

rekonsiliasi konseptual di antara keduanya menjadi tidak mungkin? Ketiga apakah keadilan

justru membutuhkan semacam pengakuan tentang hal-hal khusus yang hanya dimiliki oleh

suatu kelompok tertentu? Dan keempat bagaimana kita dapat membedakan klaim-klaim

pengakuan dari suatu kelompok, dan kemudian menentukan pengakuan mana yang tepat, dan

pengakuan mana yang tidak tepat?

            Jawaban atas pertanyaan ini sungguh tergantung bagaimana pemahaman seseorang

terhadap konsep politik pengakuan. Menurut Fraser konsep keadilan yang ada sekarang ini

harus diperluas, sehingga mampu menampung kompleksitas politik pengakuan. Walaupun

begitu keadilan haruslah tetap berada di ranah moralitas ala Kantian yang bersifat universal,

dan tidak terjatuh ke dalam sittlichkeit yang cenderung bersifat partikular. Marilah kita mulai

dengan pertanyaan pertama, apakah politik pengakuan ini soal keadilan, yang berarti soal

moralitas, atau soal realisasi diri untuk mencapai kehidupan yang baik, yang berarti masalah

etika? Di dalam filsafat politik klasik pengakuan (recognition) biasanya dikaitkan dengan

masalah etika, yakni masalah tentang bagaimana mencapai hidup yang baik. Ini jugalah yang

menjadi pandangan dari Charles Taylor dan Axel Honneth, dua teoritikus tentang politik

Page 14: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

pengakuan yang paling berpengaruh sekarang ini. Bagi mereka berdua subyektifitas yang

seutuhnya baru bisa dicapai, jika setiap orang dikenali dan diakui sepenuhnya sebagai subyek

dalam keberlainan maupun kesamaannya. Menolak mengakui orang lain sebagai subyek

berarti juga memangkasnya dari kondisi-kondisi kemungkinan yang membuat ia mampu

berkembang seutuhnya sebagai manusia.

Dengan memandang politik pengakuan dalam kerangka keadilan, kita mendapatkan

beberapa keuntungan penting. Pertama jika pengakuan adalah masalah keadilan, maka kita

bisa menempatkan politik pengakuan sebagai norma moral yang mengikat dan wajib ditaati

sebagai bagian dari tata masyarakat yang adil. Di dalam kondisi semacam ini tidak ada satu

pemahaman tunggal tentang bagaimana dan apa itu hidup yang baik. Tidak ada satu kriteria

tunggal yang bersifat universal untuk menentukan apa yang dimaksud sebagai ‘hidup yang

baik’. Semua bentuk upaya untuk menjadikan satu konsepsi tunggal tentang hidup yang baik

sebagai universal adalah sebuah tindakan sektarian-separatis. Klaim semacam ini tidak

pernah dapat menjadi suatu norma moral yang mengikat semua pihak, terutama pihak-pihak

yang berasal dari horison nilai yang berbeda.

Nah menurut Fraser, politik pengakuan model status sosial yang ditawarkannya

bersifat deontologis dan tidak sektarian. Dalam konteks ini ia sangat dipengaruhi dengan

pandangan modernitas tentang subyek, yakni sebagai subyek yang bebas, di mana setiap

individu maupun kelompok dapat mendefinisikan sendiri apa yang baik menurut mereka,

mengejar tujuan-tujuan pribadi mereka sejauh tidak melanggar kebebasan orang lain. Dengan

kata lain politik pengakuan model status sosial tidak mengacu pada satu konsepsi partikular

tentang hidup yang baik, melainkan kepada keadilan yang dapat dan harus diterima oleh

orang yang berasal dari horison nilai yang berbeda-beda. Yang menjadi alasan mengapa

‘tidak adanya pengakuan’ tidak pernah bisa dibenarkan secara moral adalah, karena sikap itu

menyangkal kapasitas individu atau kelompok untuk berpartisipasi secara penuh di dalam

interaksi sosial. “Politik pengakuan model status sosial,” demikian Fraser, “dapat

membenarkan klaim-klaim bagi pengakuan sesuatu yang mengikat secara normatif bagi

semua yang setuju untuk tinggal di dalam kosa kata adil mereka dalam konteks interaksi di

bawah kondisi-kondisi pluralisme nilai.”

Keuntungan kedua adalah bahwa dengan memahami semua bentuk ‘tidak adanya

pengakuan’ sebagai suatu bentuk subordinasi sosial, maka yang menjadi pokok persoalan

yang harus dianalisis adalah relasi-relasi sosial, dan bukan lagi merupakan masalah

Page 15: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

psikologis individual semata. Pada titik ini jika kita diperlakukan tidak adil tidak hanya

berarti kita dipandang sebagai orang ‘sakit’, direndahkan, atau dianggap tidak bernilai,

melainkan juga dianggap sebagai orang yang tidak memiliki status penuh di dalam interaksi

sosial, serta tidak memiliki hak untuk berpartisipasi secara maksimal di dalam kehidupan

sosial. Jika hal ini terjadi maka menurut Fraser, keadilan dan kesamaan juga tidak akan

pernah terwujud.

Kasus-kasus semacam diskriminasi kelompok-kelompok minoritas, seperti

ahmadiyah, kelompok gay serta kesetaraan gender dalam bentuk degradasi politik pengakuan

dalam konteks multikultualisme. Politik pengakuan model status sosial juga bisa menghindari

psikologisme, yakni ketika ‘tidak adanya pengakuan’ dipandang sebagai kesalahan atau

distorsi dari kesadaran subyektif-psikologis semata. Fraser menekankan bahwa apa yang ia

maksud sebagai ‘tidak adanya pengakuan’ adalah suatu kondisi, di mana keberadaan

seseorang ataupun suatu kelompok tidak diakui sepenuhnya di dalam interaksi sosial. Kondisi

semacam itu tidak ada hubungannya dengan struktur kesadaran subyek, melainkan lebih

berada di level relasi-relasi sosial. Dengan semua alasan ini maka pengakuan paling tepat

dipandang sebagai persoalan keadilan dan moralitas, serta bukan masalah mengenai hidup

yang baik saja, atau masalah etika. Cara praktisnya adalah dengan menempatkan soal

pengakuan (recognition) dalam konteks status sosial.

2. Artikulasi politik multikulturalisme

Parekh (2008), mendefinisikan multikulturalisme sebagai keanekaragaman

atau perbedaan yang dilekatkan secara kultural, namun juga multikulturalisme tidak

melulu mengenai perbedaan, ia bisa berbentuk satu kumpulan tentang keyakinan dan

praktekpraktek yang dijalankan oleh satu kelompok masyarakat untuk memahami diri

mereka sendiri dan dunianya.

  Selain itu Parekh, menegaskan bahwa multikultural bukan lah persoalan suatu pilihan

atau selera individu tertentu, tetapi multikultural merupakan persoalan keanekaragaman atau

perbedaan berdasarkan historis kultural. Diasumsikan manusia ketika dilahirkan, sejak saat

itu akan melekat dan tertanam budaya dalam jangka waktu lama oleh keluarga, masyarakat

dan lingkungannya, yang akhirnya menjadikannya memiliki karakteristik yang berbeda

dengan manusia lainnya yang berada di masyarakat dan lingkungan yang berbeda pula.

  Manusia dapat dikategorikan dalam berbagai kelompok. Pengelompokkan atas dasar

jenis kelamin secara konvensional dikenali dengan kategori wanita dan pria. Dari segi adat-

Page 16: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

istiadat dan bahasa dikenal dengan berbagai kelompok suku bangsa, seperti suku bangsa

Jawa, Sunda, Arab, dan Rusia. Lalu berdasarkan ciri fisik biologis manusia dikelompokkan

menjadi beberapa ras, seperti Mongoloid, Eropa, Melayu dan Melanesia

Parekh menyadari sepenuhnya bahwa filsafat politik Barat belum mampu (baca:

mempunyai sumber daya yang terbatas) menyelesaikan persoalan multikultural yang ruwet.

Hal ini mungkin karena realitas masyarakat Barat tidak terlalu kompleks jika dibandingkan

realitas masyarakat yang ada di Timur. Guru besar untuk perkuliahan Teori Politik di

Universitas of Hull ini menjelaskan multikulturalisme dengan cara pandang Filsafat Politik

Timur.

Dengan filsafat politik ala Timur ini, perbincangan multikultural menjadi lebih

bermakna karena didasarkan atas realitas masyarakat yang majemuk. Karya Parekh yang

dalam waktu singkat menjadi bacaan klasik saat pertama dipublikasikan ini, menurut

Azyumardi Azra, merupakan panduan akademis dan teoritis yang sangat penting untuk

penguatan multikulturalisme.

Dalam karyanya Multiculturalism: Consumerist or Transformational?, Bill Martin

mengemukakan gagasannya bahwa semua isu yang berkaitan dengan perkembangan

multikulturalisme tumbuh dalam sebuah pertanyaan tentang perbedaan dalam cara melihat,

sebagaimana yang dilakukan oleh para filsuf dan teoritikus sosial. Argumentasi dia kira-kira

demikian: jika multikulturalisme merupakan agenda sosial maupun politik, maka ia harus

lebih dari sekedar iklan di bawah penglihatan berbagai kelompok yang berbeda-beda.

Karenanya, semua yang melihatnya harus mendekatinya dengan satu maksud yang sama,

membawa mereka bersama-sama pada peluang bagi kemanusiaan.

Martin, melihat dorongan tradisionalis yang berpusat pada tradisi Afrika-sentris dan

tradisi Barat. Catatan penting dari Martin mengemukakan bahwa istilah multikulturalisme

harus dikonsumsi, dan kita harus menjadi seorang yang konsumeris terhadap paham tersebut

dan menjadikannya sebagai jaringan kerja. Hanya dengan itu, kita akan menjadikannya

sebagai bagian dari transformasi budaya kita. Kata dia, sementara ini ada isu tentang kelas,

ras, etnisitas, dan berbagai divergensi lainnya. Kita semua memang mengakui hal itu, dan

dalam kepedulian kita, kita harus melihat bahwa hal itu dapat mendorong konflik sosial-

politik yang perlu dicegah. Masyarakat harus secara kolektif dalam visi perubahan sosial

bekerja ke arah tipe baru multikulturalisme; salah satunya melalui transformasi.

Page 17: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

Samuel Huntington (1997) merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal

munculnya perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam

bentuk perbenturan peradaban “clash of civilisation”. Sentimen ideologis yang selama ini

dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya.

Wacana etnisitas dan identitas lokal dijadikan sebagai alat politik untuk melakukan tawar-

menawar dengan pemerintah pusat agar daerah memperoleh otonomi yang lebih luas untuk

mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri.

Bahkan, tidak hanya tuntutan otonomi luas, sejumlah daerah pun “menekan”

pemerintah pusat akan memisahkan diri dari NKRI bila tidak dipenuhi tuntutannya. Sebagai

kompromi terhadap tuntutan pemisahan diri tersebut, dibuatlah UU Otonomi Khusus untuk

Nangroe Aceh Darusallam dan Papua, dengan pengaturan khusus untuk mengakomodasi

tuntutan pengakuan identitas lokal di kedua daerah tersebut. Aceh dengan identitas ke-Islam-

annya, dan Papua dengan identitas adatnya.

Selain itu, di sejumlah daerah pun berkembang kontroversi tentang wacana peraturan

daerah berdasarkan Syariat Islam. Daerah-daerah lain yang mayoritas penduduknya beragama

non-Muslim pun sempat memunculkan wacana sejenis. Bali, misalnya, memunculkan isu

Ajeg Bali yang intinya ingin mengembalikan nilai-nilai adat dan budaya Bali sebagai dasar

dalam kehidupan bermasyarakat dan berpemerintahan. Isu agama dan etnisitas mudah sekali

dipolitisasi untuk memicu konflik di masyarakat. Sejumlah daerah, seperti Poso, Kupang,

Sambas, Palangkaraya, Lombok, dan Ambon menjadi contoh rentannya masyarakat

menghadapi politisasi identitas etnis dan agama.

Berbagai kasus tersebut menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih menghadapi

pekerjaan yang cukup berat untuk membangun wawasan kebangsaan. Secara historis,

Indonesia sebagai suatu entitas kebangsaan merupakan hal yang baru terbentuk ketika

merdeka, sementara jauh sebelumnya, telah terdapat berbagai entitas etnisitas dengan

identitasnya masing-masing, yang memiliki status dan kedaulatan sendiri. Nasionalisme

Indonesia adalah nilai-nilai yang sengaja diformulasikan sebagai antitesis terhadap dominasi

kolonialisme Belanda oleh sekelompok masyarakat yang sebelumnya memiliki identitas

masing-masing yang terpisah (Purwanto, 2001: 244). Setelah Indonesia merdeka, salahsatu

tugas utama dari negara adalah menciptakan fondasi nasional bagi dirinya sendiri, namun

sangat rentan terhadap gejolak identitas.

Adanya campur tangan negara yang sangat besar dalam proses pembentukan identitas

kebangsaan pada negara yang baru itu mengakibatkan nasionalisme yang berkembang adalah

Page 18: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

nasionalisme negara dan bukan nasionalisme popular yang berakar kuat pada masyarakat

Indonesia. Pertentangan antara identitas etnis dan identitas nasional ini menjadi inti dari

persoalan penguatan wawasan kebangsaan. Menguatnya identitas etnis merefleksikan

surutnya loyalitas suatu kelompok etnis terhadap kesepakatan ikatan yang lebih besar (negara

bangsa). Hal ini akan mengarah pada persoalan yang lebih krusial karena dapat melemahkan

kohesi nasional atau soliditas nasional. Kohesi nasional merupakan hasil dari interaksi

berbagai faktor, sehingga kemampuan untuk memperkuat kohesi nasional ditentukan oleh

kapasitas dalam menangani komplikasi berbagai persoalan kebangsaan secara serius dan

komprehensif. Di sinilah wacana mengenai penguatan wawasan kebangsaan perlu

diorientasikan pada pemaknaan ulang nasionalisme dan relevansinya dengan berbagai

kecenderungan yang berkembang saat ini, seperti demokratisasi dan otonomi daerah,

sehingga dapat dirumuskan pendekatan-pendekatan alternatif untuk memperkuat wawasan

kebangsaan dengan tetap mengakomodasi beragam identitas masyarakat yang ada di

Indonesia.

Studi Kasus Multikulturalisme dalam pendekatan politik multikuturalisme

Indonesia layaknya laboratorium sosial-politik bagi perkembangan beberapa gejala

sosial kontemporer. Berbagai kasus horizontal menyeruak dipermukaan pasca reformasi

menandakan bahwa dinamika demokratisasi selalu menghadirkan kelompok-kelompok yang

tak sejalan baik antar masyarakat dengan masyarakat, masyarakat dengan negara maupun

masyarakat dengan negara. Persoalan multikulturalisme, terkait heterogenitas yang begitu

tinggi adalah salah satu faktor ancaman disintegrasi bangsa. Maka tak salah bila Bhineka

Tunggal Ika menjadi semacam falsafah dasar bagi pembangunan etos ke-Indonesian yang

unggul.

Multikulturalisme perlu memilah-milah bentuk keragaman "kultur" yang diwadahi

dalam negara. Will Kymlicka (1995) membedakan dua kategori keragaman yaitu negara

multibangsa dan negara polietnis. Negara multibangsa lahir dari koeksistensi beberapa

bangsa yang semula berdiri sendiri-sendiri dalam batas-batas teritorial masing-masing.

Koeksistensi itu mungkin terjadi lewat invasi dan penjajahan, mungkin terjadi secara

sukarela. Dalam negara multibangsa, unit politik yang relevan adalah bangsa atau suku

bangsa, dan biasanya menuntut otonomi atau pemerintahan sendiri demi mempertahankan

keunikannya berhadapan dengan kultur mayoritas.

Page 19: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

Keragaman dalam negara polietnis muncul dari gelombang migrasi secara individual

maupun berkelompok. Mereka bergabung secara longgar dalam suatu asosiasi atau

perkumpulan yang disebut "kelompok etnis." Kelompok-kelompok etnis itu umumnya

menghendaki diterima sebagai bagian masyarakat luas sambil tetap diakui keunikan etnisnya.

Lain dari suku bangsa, kelompok etnis tidak menuntut otonomi politik, tetapi sekadar

modifikasi lembaga-lembaga publik dan hukum dalam masyarakat agar dapat

mengakomodasi keunikannya.

Kedua bentuk keragaman kultur ini dapat terjadi di satu negara, dan Indonesia

tampaknya merupakan salah satunya. Otonomi Aceh dan Papua dapat dikategorikan sebagai

tuntutan dalam rangka negara multibangsa, sedangkan pengakuan terhadap etnis Tionghoa

dan penghapusan diskriminasi merupakan tuntutan dalam rangka negara polietnis.

Identifikasi seperti ini menghindari tumpang tindih dalam kategorisasi persoalan, dan

menyelamatkan istilah multikulturalisme dari bahaya menjadi slogan. Meski demikian, ada

potensi kebingungan di mana kita hendak menempatkan agama. Apakah komunitas agama

hendak dijadikan unit politik yang berhak mengajukan klaim yang sama sahnya dengan suku

bangsa atau kelompok etnis atau tidak dihitung sama sekali?

Kerangka kedua merupakan turunan kerangka pertama, akomodasi kepentingan. Bila

diperas dalam fakta kerasnya, isu terpenting multikulturalisme sebenarnya terletak pada

manajemen kepentingan. Aneka kelompok dalam masyarakat apakah itu suku bangsa atau

kelompok etnis, mengajukan klaim agar unit politik yang lebih besar seperti negara

melakukan sesuatu demi kelangsungan hidup kelompok-kelompok itu. Klaim-klaim itu

membungkus kepentingan yang biasanya lebih dasariah. Masalahnya kini, ada pada definisi

arti "kepentingan."

Ada dua jenis kepentingan yang relevan, kepentingan umum dan kepentingan khusus

(Amy Gutman, 1994). Kepentingan umum adalah aneka kebutuhan yang pemenuhannya

sama untuk tiap orang, tanpa peduli identitas kulturalnya. Yang termasuk di dalamnya adalah

kebutuhan akan fasilitas kesehatan, perumahan, pendidikan, kebebasan berbicara, berkumpul

dan berserikat. Mengenai kebutuhan umum ini, semua warganegara harus mendapat

perlakuan sama. Siapa pun berhak menuntut bila kepentingan ini tidak terpenuhi.

Kepentingan khusus, menyangkut aneka kebutuhan yang pemenuhannya terkait

aspek-aspek khusus kehidupan (survival) kelompok bersangkutan. Orang Aceh, misalnya,

karena sejarah penjajahan berbeda, ingin tetap mempertahankan kesatuan identitasnya

sebagai orang Aceh meski ada dalam kerangka negara Indonesia. Kesatuan identitas itu

dipelihara lewat privilese seperti pengadilan adat dan peran khusus ulama dalam struktur

Page 20: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

politik lokal.

Bila dalam hal pemenuhan kepentingan umum yang hendak dicapai adalah

kesetaraan, dalam hal pemenuhan kepentingan khusus, yang terjadi justru sebaliknya yaitu

keistimewaan, pengecualian, atau privilese. Karena itu, kepentingan khusus berpeluang

melahirkan polemik dan konflik. Dalam hal ini, pemerintah dan masyarakat ditantang untuk

senantiasa merumuskan kembali paham keadilan dan kesetaraan. Kapankah suatu privilese

dianggap sah dan tidak menyalahi prinsip kesetaraan? Apalagi, dalam kasus Aceh misalnya,

selalu ada kekhawatiran dari pemerintah pusat mengenai pemberontakan.

Bhikhu Parekh (2000) mengajukan prinsip, kesetaraan seharusnya didasarkan bukan

pada uniformitas manusia, tetapi pada kait mengait antara uniformitas dan perbedaan.

Termasuk dalam kesetaraan adalah kesetaraan dalam hal kebebasan dan kesempatan untuk

berbeda. Memperlakukan orang secara setara menuntut kita untuk memerhatikan baik

kesamaan maupun perbedaan antarindividu atau kelompok.

Kerangka ketiga menyangkut ideologi politik yang memungkinkan multikulturalisme

berfungsi. Saya percaya, tidak ada yang bisa menjamin multikulturalisme selain demokrasi,

dan banyak gagasan yang berkembang menambah kualitas khusus mengenai karakter liberal

dari demokrasi (Rawls [1993], Taylor [1994], Kymlicka [1995], Parekh [2000]). Demokrasi

liberal memungkinkan tiap orang untuk mengekspresikan diri secara bebas dan mengejar

pemenuhan identitas tanpa khawatir menjadi sasaran penindasan.

Amy Chua (2003) khawatir, demokrasi dan pasar bebas niscaya memenangkan

mayoritas sambil mengeksploitasi minoritas yang kuat secara ekonomi. Bila ini yang terjadi,

yang digagalkan adalah prinsip kebebasan mengekspresikan diri karena minoritas di bawah

dominasi mayoritas tidak lagi punya kebebasan untuk mewujudkan identitas khususnya.

Dalam hal ini, demokrasi harus dijaga ketat sebagai mekanisme yang mempertahankan

kebebasan berekspresi, sehingga tidak mengurangi hak tiap individu dan kelompok

mewujudkan kekhususannya.

Kerangka keempat dan terakhir menyangkut telos atau puncak tujuan

multikulturalisme. Multikulturalisme pantas diperjuangkan karena di balik itu ada tujuan

mewujudkan hidup bersama yang sedekat mungkin pada kepenuhan "hidup baik." Setiap

orang ingin hidup baik, terpenuhi segala kebutuhan material dan spiritualnya, dan berhak

untuk hidup baik.

Menurut R.W. Hefner, perkembangan multikulturalisme di Indonesia, Malaysia, dan

Singapura mengalami semacam transisi cultural dari masa colonial ke pasca-kolonial.

Adanya transisi cultural itu, mengindikasikan bahwa perkembangan pluralitas dalam

Page 21: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

masyarakat di tiga Negara tersebut sangat pesat. Di samping itu, intervensi kekuasaan

(Negara) terhadap kewarganegaraan turut mempengaruhi lahirnya isu-isu etnisitas dan

etnoreligius. Kekuasaan Lee Kuan Yew (Singapura), Mahatir Muhammad (Malaysia), dan

Suharto (Indonesia), melahirkan isu etnisitas dan etnoreligius berbeda-beda.

Dalam sejarah kolonialnya, Singapura, Malaysia, dan Indonesia merupakan bagian

dari semenanjung Malaya. Meskipun begitu, situasi cultural dan politik Singapura berbeda

jauh dari Negara tetangganya. Jika Malaysia dan Indonesia didominasi oleh “pribumi” dan

muslim, masyarakat yang mendominasi Singapura adalah orang-orang keturunan Cina.

Dengan demikian, Isu etnisitas dan etnoreligius lebih banyak berkembang di Indonesia dan

Malaysia, daripada di Singapura. Secara de facto, Kasus-kasus pembantaian etnis cina yang

pernah terjadi di akhir pemerintahan Suharto, menjadi bukti betapa kuatnya etnisitas dan

etnoreligius di Indonesia.

Sebagaimana dikhawatirkan oleh Geertz, proses transisi cultural dari masa kolonial ke

pasca-kolonial, di satu sisi, telah memunculkan persaingan-persaingan yang menghancurkan

sivilitas, tetapi di lain sisi, proses itu juga meyakinkan semakin banyak orang tentang arti

penting mambangun politik sipil dan kewarganegaraan inklusif.

Di Indonesia, secara de jure, kesadaran membangun kewarganegaraan inklusif dan

politik sipil sudah ada sejak dibangunnya bangsa ini. Akan tetapi, secara de facto, kesadaran

tersebut belum tertanam dalam jiwa bangsa. Berbeda dengan Malaysia, di Negara ini, isu

etnisitas dan etnoreligius lebih kecil. Sebagaimana yang disebutkan Hefner dalam bunga

rampai ini, hubungan melayu-cina (pribumi-pendatang) di Malaysia lebih mapan daripada di

Indonesia.

Di semua hal tersebut, kita melihat perbedaan yang mendasar antara Malaysia dengan

Indonesia mengenai masalah pluralisme pasca-kolonial. Memang gagasan membeda-bedakan

kewarganegaraan mengikuti garis etnis, khususnya dalam hubungan “pribumi” versus “cina”,

dibahas panjang lebar pada pendirian negara Indonesia. Namun pada realitasnya, Indonesia

belum menjadi negara multikultur seperti yang diharapkan.

Page 22: Ujian Tengah Semester (Di Ruba Yahh)

Daftar Pustaka

Alo Liliweri, Prof. Dr. Prasangka & Konflik. Yogyakarta: LkiS.2005

Search google: Membumikan Pluralisme dan Multikulturalisme. Oleh Nanum Sofia.

Membumikan Wawasan Multikultural di Indonesia. Oleh Beni Susetyo

Mempertimbangkan Politik Multikultural. Oleh M. Nurkhoiron.

(Resensi buku) )POLITIK MULTIKULTURALISME, Menggugat Realitas

Kebangsaan.

Menuju Pandangan Integratif di dalam Wacana Multikulturalisme Catatan

Singkat atas Filsafat Politik Nancy Fraser. Oleh Reza A.A. Watimena.

Politik Multikulturalisme: Strategi Memperkuat Wawasan Kebangsaan. Oleh

Dede Mariana dan Caroline Paskarina

Stiglitz: Globalisasi Harus Adil. Oleh: Ninuk Mardiana Pambudy dan Maria

Hartiningsih

Kerangka Multikulturalisme. Oleh: B Hari Juliawan.