ujian bph
DESCRIPTION
medicalTRANSCRIPT
BENIGN HYPERPLASIA PROSTATE (BPH)
PENDAHULUAN
Prostat adalah kelenjar pada pria yang terletak di sebelah inferior buli-buli, di depan rectum dan
membungkus uretra posterior. Bentuknya seperti buah kemiri dengan ukuran 4x3x2,5 cm dan
beratnya kurang lebih 20 gram. Kelenjar ini terdiri atas jaringan fibromuskular dan glandular
yang oleh McNeal dibagi menjadi beberapa daerah atau zona, yaitu zona perifer, zona sentral,
zona transisional, zona preprostatic sfingter, dan zona anterior. Secara histopatologik kelenjar
prostat terdiri atas komponen kelenjar dan stroma. Kelenjar stroma terdiri dari otot polos,
fibroblast, pembuluh darah, saraf, dan jaringan penyangga yang lain. Prostat menghasilkan
cairan yang merupakan salah satu komponen dari cairan ejakulat. Prostat mendapatkan inervasi
otonomik simpatik dan parasimpatik dari pleksus prostatikus.1,2,3
BPH merupakan pembesaran kelenjar prostat yang bersifat jinak yang hanya timbul pada laki-
laki yang biasanya pada usia pertengahan atau lanjut. Pada usia 40an, seorang pria mempunyai
kemungkinan terkena BPH sebesar 25%. Menginjak usia 60-70 tahun, kemungkinannya menjadi
50%. Dan pada usia diatas 70 tahun, akan menjadi 90%.1,2,3,4,5
Sampai saat ini etiologi dan patogenesis dari BPH belum diketahui secara pasti, tetapi
secara umum telah diketahui bahwa BPH hanya dapat timbul pada pria yang berusia tua dan
mempunyai testis yang berfungsi normal dimana hormon androgen diduga mempunyai peran
yang sangat penting.1,4 Namun demikian sampai saat ini terdapat beberapa teori yang telah
dikemukakan mengenai etiologi dan patogenesis dari BPH, yaitu:1,2,3,4
Ø Teori Dihidrotestosteron (DHT).
DHT merupakan metabolit yang sangat penting pada pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat.
Dibentuk dari testosteron dalam sel prostat oleh enzim 5ά-reduktase dengan bantuan koenzim
NADPH. DHT yang terbentuk akan berikatan dengan reseptor androgen membentuk kompleks
DHT-RA pada inti sel dan selanjutnya terjadi transkripsi DNA sehingga terjadi sintesis protein
growth factor yang menstimulasi pertumbuhan sel-sel kelenjar prostat. Berdasarkan penelitian
kadar DHT pada BPH dan prostat normal tidak jauh berbeda hanya saja aktivitas dari enzim 5ά-
reduktase dan jumlah reseptor androgen pada BPH lebih banyak dibanding prostat normal.
Ø Teori ketidakseimbangan antara estrogen dan testosteron.
Estrogen (dalam bentuk estradiol) dapat ditemukan pada konsentrasi rendah pada darah pria.
Hormon ini dibentuk dari aromatisasi testosteron dengan bantuan enzim aromatase dalam
jaringan perifer yaitu jaringan lemak. Pada usia lanjut, testosteron bebas pada sirkulasi semakin
menurun, sedangkan kadar estradiol bebas relatif tidak berubah. Estrogen dalam prostat berperan
dalam terjadinya proliferasi sel-sel kelenjar prostat dengan cara meningkatkan sensitifitas sel-sel
kelenjar prostat terhadap rangsangan hormon androgen, meningkatkan jumlah reseptor androgen,
dan menurunkan jumlah kematian sel-sel kelenjar prostat.
Ø Teori interaksi stroma-epitel.
Hal ini banyak dipengaruhi oleh growth factor. Basic fibroblast growth factor (b-FGF) dapat
menstimulasi sel stroma dan ditemukan dengan konsentrasi yang lebih besar pada pasien
dengan BPH. b-FGF dapat dicetuskan oleh mikrotrauma karena miksi , ejakulasi atau infeksi.
Ø Teori berkurangnya kematian sel.
Secara fisiologis program kematian sel (apoptosis) dan proliferasi sel pada pertumbuhan prostat
sampai pada prostat dewasa terjadi secara seimbang. Berkurangnya jumlah kematian sel
dibanding dengan proliferasi sel menyebabkan jumlah sel-sel prostat secara keseluruhan menjadi
meningkat sehingga menyebabkan pertambahan massa prostat. Hal inilah yang terjadi pada BPH,
namun sampai saat ini belum dapat diterangkan secara pasti faktor-faktor yang menghambat
apoptosis. Diduga hormon androgen dan estrogen berperan dalam menghambat proses apoptosis
ini, karena setelah dilakukan kastrasi, terjadi peningkatan aktivitas kematian sel kelenjar prostat.
Ø Teori stem sel.
Untuk mengganti sel-sel yang mengalami apoptosis, selalu akan dibentuk sel baru. Dalam
kelenjar prostat dikenal suatu stem sel yang mempunyai kemampuan berproliferasi sangat
ekstensif. Sel-sel ini berubah menjadi amplifying cell kemudian menjadi transit cell, dimana
kehidupan sel ini sangat bergantung dari keberadaan hormon androgen.
Pembesaran prostat menyebabkan penyempitan lumen uretra pars prostatika dan akan
menghambat aliran urine. Keadaan ini menyebabkan peningkatan tekanan intravesikal. Untuk
dapat mengeluarkan urin, buli-buli harus berkontraksi lebih kuat guna melawan tahanan itu.
Kontraksi yang terus-menerus ini menyebabkan perubahan anatomik dari buli-buli berupa
hipertrofi otot detrusor, trabekulasi, terbentuknya selula, sakula, dan divertikel buli-buli. Fase
penebalan otot detrusor ini disebut fase kompensasi. Perubahan struktur pada buli-buli dirasakan
oleh pasien sebagai keluhan pada saluran kemih sebelah bawah atau lower urinary tract symptom
(LUTS) yang dahulu dikenal dengan gejala-gejala prostatismus. Dengan semakin meningkatnya
resistensi uretra, otot detrusor masuk ke dalam fase dekompensasi dan akhirnya tidak mampu
lagi untuk berkontraksi sehingga terjadi retensi urin. Tekanan intravesikal yang semakin tinggi
akan diteruskan ke seluruh bagian buli-buli tidak terkecuali pada kedua muara ureter. Tekanan
pada kedua muara ureter ini dapat menimbulkan aliran balik urin dari buli-buli ke ureter atau
terjadi refluks vesico-ureter. Keadaan ini jika berlangsung terus akan mengakibatkan hidroureter,
hidronefrosis, bahkan akhirnya dapat jatuh ke dalam gagal ginjal.1,2,4,6,7,8
Pada BPH terdapat dua komponen yang berpengaruh untuk terjadinya gejala yaitu komponen
mekanik dan komponen dinamik. Komponen mekanik ini berhubungan dengan adanya
pembesaran kelenjar periuretra yang akan mendesak uretra pars prostatika sehingga terjadi
gangguan aliran urine (obstruksi infra vesikal) sedangkan komponen dinamik berhubungan
dengan tonus otot polos yang ada pada stroma dan kapsul prostat serta pada leher buli-buli. Otot
polos ini dipersarafi oleh serabut simpatis yang berasal dari serabut pudendus. Pada BPH terjadi
peningkatan rasio komponen stroma terhadap epitel sehingga terjadi peningkatan tonus otot
polos prostat yang mengakibatkan terjadinya obstruksi prostat.1,2,8
Obstruksi prostat dapat menimbulkan keluhan pada saluran kemih dan diluar saluran kemih.
Keluhan pada saluran kemih dapat terjadi pada bagian bawah maupun pada bagian atas. Keluhan
pada saluran kemih bawah atau disebut juga LUTS (Lower Urinary Tract Symptoms) terdiri atas
gejala obstruktif maupun gejala iritatif. Gejala iritatif yaitu sering miksi (frequency), terbangun
untuk miksi pada malam hari (nocturia), perasaan ingin miksi yang sangat mendesak (urgency),
dan nyeri pada saat miksi (dysuria). Sedangkan gejala obstruktif adalah pancaran melemah, rasa
tidak lampias sehabis miksi, kalau mau miksi harus menunggu lama (hesitancy), harus mengedan
(straining), kencing terputus-putus (Intermittency), dan waktu miksi memanjang yang akhirnya
menjadi retensio urin dan inkontinen karena overflow. Bila keadaan ini berlanjut terus dapat
menyebabkan keluhan pada saluran kemih atas berupa nyeri pinggang, benjolan di pinggang
yang merupakan tanda dari hidronefrosis atau demam yang merupakan tanda dari infeksi atau
urosepsis. Selain itu dapat menimbulkan hemoroid maupun hernia ingunalis akibat dari sering
mengejan pada saat miksi.1-8
Untuk mendiagnosis suatu BPH dapat dilakukan melalui berbagai tahap yaitu: dimulai
dengan anamnesis kemudian pemeriksaan fisik dan dapat dilanjutkan dengan berbagai
pemeriksaan penunjang.2,3,5,9
Anamnesis atau wawancara perlu dilakukan dengan cermat guna untuk mendapatkan data
tentang riwayat penyakit penderita secara lengkap sehingga dapat menunjang dalam
mendiagnosis. Untuk menentukan berat ringannya suatu BPH berdasarkan gejala yang diperoleh
dari anamnesis, terdapat dua sistem skoring yaitu skoring menurut Madsen-Iversen dan skoring
menurut International Prostate Scoring System (IPSS).1,2,4
Pemeriksaan fisik yang penting yang dapat dilakukan pada pasien dengan BPH yaitu
colok dubur atau digital rectal examination disamping pemeriksaan fisik pada regio suprapubik
untuk mencari kemungkinan adanya distensi buli-buli dan regio costovertebra (CVA) untuk
mencari kemungkinan adanya komplikasi ke ginjal akibat BPH. Pada pemeriksaan colok dubur
ini dapat diperkirakan adanya pembesaran prostat, konsistensi prostat, dan adanya nodul yang
merupakan salah satu tanda dari keganasan prostat serta nyeri tekan yang biasanya terdapat pada
prostatitis.1,2,3,9
Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan, yaitu: pemeriksaan laboratorium darah
(Hb, leukosit, trombosit) ,urinalisis, pemeriksaan fungsi ginjal (ureum dan kreatinin),
pemeriksaan PSA (Prostate Specific Antigen), uroflometri, pemeriksaan IVP, USG dan
pemeriksaan ultrasonografi transrektal (TRUS).1,2,3,4,9
Terapi pada pasien BPH mempunyai tujuan untuk mengembalikan kualitas hidup pasien.
Terapi yang ditawarkan tergantung pada derajat keluhan, keadaan pasien, maupun kondisi
objektif kesehatan pasien yang diakibatkan oleh penyakitnya. Pilihannya adalah mulai dari:1-7
1. Observasi (watchfull waiting). Biasanya dilakukan pada pasien dengan keluhan ringan
(skor IPSS < 7 atau skor Madsen Iversen ≤9) yang tidak mengganggu aktivitas sehari-
hari. Nasehat yang diberikan ialah jangan banyak minum dan mengkonsumsi kopi atau
alkohol setelah makan malam, kurangi makanan atau minuman yang menyebabkan iritasi
pada buli-buli, batasi penggunaan obat-obat dekongestan seperti fenilpropanolamin dan
jangan menahan kencing terlalu lama. Kemudian setiap 3 bulan pasien diminta untuk
datang kontrol dengan ditanya dan diperiksa tentang perubahan keluhan.
2. Terapi medikamentosa. Tujuannya adalah untuk mengurangi resistensi otot polos prostat
atau mengurangi volume prostat sebagai komponen statik. Jenis obat yang digunakan
yaitu: (1) antagonis reseptor adrenergik-ά seperti fenoksibenzamin, prazosin dan
doksazosin, (2) inhibitor 5-ά reduktase seperti finasteride dan dutasteride, (3) fitofarmaka
yang berupa ekstrak tumbuh-tumbuhan yang dapat memperbaiki gejala akibat obstruksi
prostat, seperti eviprostat.
3. Terapi intervensi yang terdiri dari 2 golongan, yaitu (1) teknik ablasi jaringan prostat atau
pembedahan, seperti open prostatektomi, (Transurethral Resection of the Prostate)
TURP, (Transurethral Incision of the Prostate) TUIP dan elektrovaporisasi. (2) teknik
instrumentasi alternatif (invasif minimal) yaitu interstitial laser coagulation (ILC),
(Transurethral Needle Ablation of the Prostate) TUNA, dilatasi balon, termoterapi,
(High Intensity Focused Ultrasound) HIFU, dan stent uretra.
LAPORAN KASUS
Identitas Pasien
Nama : Tn. AD
Jenis Kelamin : Laki- laki
Umur : 72 tahun
Pekerjaan : Pensiunan
Kebangsaan : Indonesia
Agama : Islam
Tempat/ tanggal lahir : Lolak, 21 Desember 1936
Tempat tinggal : Malalayang I
Masuk Rumah Sakit : 11 November 2009 jam 12.00
Anamnesis
Keluhan Utama :
Tidak bisa buang air kecil
Riwayat Penyakit Sekarang :
Tidak bisa buang air kecil dengan kateter buli terpasang dialami penderita sejak 2 bulan yang lalu. Awalnya penderita susah buang air kecil dialami sejak ±3 bulan sebelum masuk rumah sakit. Setiap kali mau buang air kecil penderita harus menunggu lama sampai urinnya keluar. Penderita harus mengedan pada saat buang air kecil dan keluarnya urine menetes. Penderita buang air kecil terputus-putus dan pancarannya lemah. Penderita juga mengeluh sering merasa tidak puas setelah buang air kecil dimana penderita merasa masih ada sisa urine dalam buli-bulinya. Rasa nyeri juga dirasakan oleh penderita pada perut bagian bawah terutama saat buang air kecil. Penderita tidak bisa menahan rasa buang air kecil. Pada malam hari buang air kecil lebih dari 4 kali sehingga mengganggu tidur penderita dan pada siang hari buang air kecil biasanya tiap 1-2 jam. Kencing berdarah tidak ada, kencing bernanah tidak ada, sakit pinggang tidak ada, panas tidak ada, tidak ada penurunan berat badan, dan BAB biasa. Penderita mempunyai riwayat pemakaian obat anti tuberkulosis 6 bulan. Penderita datang ke rumah sakit dengan dirujuk oleh dokter ahli.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Kencing batu/pasir tidak ada, hipertensi disangkal penderita, DM tidak ada, penyakit
jantung disangkal penderita, penyakit hati tidak ada. Penderita pernah menderita penyakit TBC
dan pernah dioperasi apendectomi tahun 1969 serta cystostomi 2 bulan yang lalu.
Riwayat penyakit keluarga :
Hanya penderita yang mengalami penyakit seperti ini.
Riwayat keadaan sosial :
Penderita sudah menikah dan mempunyai lima orang anak, penderita tidak mempunyai riwayat
merokok dan minum alkohol.
Skor menurut Madsen-Iversen:
Pancaran menetes = 4
Mengedan saat berkemih = 2
Harus menunggu saat akan kencing = 3
Buang air kecil terputus-putus = 3
Kencing tidak lampias = 2
Inkontinensia = 2
Kencing sulit ditunda = 3
Kencing malam hari (>4 kali) = 3
Kencing siang hari (tiap 1-2 jam 1x) = 2
Jumlah skor = 24
Pemeriksaan Fisik
Tanda Vital : Tekanan Darah : 130/90 mmHg
Nadi : 84x/menit
Respirasi : 20x/menit
Suhu : 36,7oC
Kepala : Konjungtiva anemis (-/-), sclera ikterik (-/-), pupil bulat isokor diameter 3mm, reflek
cahaya (+/+)
Leher : Tidak ada pembesaran kelenjar getah bening
Thorax : Inspeksi : simetris kanan = kiri
Auskultasi : rhonki (+) pada ICS II ke bawah thorax sinistra
Palpasi : strem fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor kanan = kiri
Abdomen : Inspeksi : datar, DC (-), DS (-)
Auskultasi : bising usus normal
Palpasi : defans muscular (-), lemas, nyeri tekan (-)
Perkusi : timpani, pekak hepar (+)
Extremitas : Akral hangat
Rektum/Anal :
- Rectal Toucher :TSA cekat, ampula kosong, prostat kesan membesar (pool bawah yang
membesar, pool atas tidak terjangkau), tidak ada nodul, prostat konsistensi kenyal
- Sarung Tangan : feses (-), darah (-), lendir (-)
CVA : nyeri ketok (-), bulging (-), ballotement (-)
Suprapubis : terpasang kateter cystotomi, urine jernih
Genitalia : darah (-)
Diagnosis Sementara
Post cystostomi dengan kateter buli terpasang ec retensi urine ec Benign Prostatic Hyperplasia (BPH) + KP
Sikap
- Pemeriksaan Hb, leukosit, trombosit
- EKG
- X-foto thorax
- Pro Transurethral Resection of the Prostate (TURP)
Hasil Laboratorium
Hb : 14,2 gr/dl
Leukosit : 10.000/mm3
Trombosit : 191.000/mm3
Ureum : 44 mg/dl
Kreatinin : 0,9 mg/dl
SGOT : 42
SGPT : 32
GDS : 78 mg/dl
Asam Urat : 4,3
Pemeriksaan Penunjang
X-foto thorax : KP lama bilateral dengan penebalan pleura hemithorax kiri, terkesan masih ada tanda aktif
Follow up pre operasi
13 November 2009
S : tidak ada
O : T =130/90 mmHg, N = 88 x/menit, R = 22 x/menit, S = 36,7oC
Status Urologis :
RT :TSA cekat, ampula kosong, prostat kesan membesar, tidak ada nodul, prostat konsstens kenyal
ST : feses (-), lendir (-), darah (-)
CVA : nyeri ketok (-), bulging (-), ballotement (-)
Suprapubis : terpasang kateter cystostomi, urine jernih
OUE : darah (-)
A : Post cystostomi dengan kateter buli terpasang ec retensi urine ec BPH + KP
P : - pemeriksaan laboratorium
- EKG
- Pro TURP tanggal 18 November 2009
14 November 2009
S : tidak ada
O : T =130/90 mmHg, N = 88 x/menit, R = 22 x/menit, S = 36,7oC
Status Urologis :
CVA : nyeri ketok (-), bulging (-), ballotement (-)
Suprapubis : terpasang kateter cystostomi, urine jernih
OUE : darah (-)
A : Post cystostomi dengan kateter buli terpasang ec retensi urine ec BPH + KP
P : - bawa hasil konsul interna
- Tunggu hasil EKG
- Pro TURP tanggal 18 November 2009
Hasil konsul interna :
Diagnosis : TB paru lama, klinis tidak aktif
Penatalaksanaan : - OAT 2 minggu
- Periksa sputum BTA, LED, albumin, globulin, Na, K, Cl
15 November 2009
S : tidak ada
O : T =130/90 mmHg, N = 88 x/menit, R = 22 x/menit, S = 36,7oC
Status Urologis :
CVA : nyeri ketok (-), bulging (-), ballotement (-)
Suprapubis : terpasang kateter cystostomi, urine jernih
OUE : darah (-)
A : Post cystostomi dengan kateter buli terpasang ec retensi urine ec BPH + KP
P : - OAT 2 minggu
- Pro TURP tanggal 18 November 2009
Hasil EKG : dalam batas normal
16 November 2009
S : tidak ada
O : T =130/90 mmHg, N = 88 x/menit, R = 22 x/menit, S = 36,7oC
Status Urologis :
CVA : nyeri ketok (-), bulging (-), ballotement (-)
Suprapubis : terpasang kateter cystostomi, urine jernih
OUE : darah (-)
A : Post cystostomi dengan kateter buli terpasang ec retensi urine ec BPH + KP
P : - OAT 2 minggu
- Advis interna : periksa sputum BTA
- Pro TURP tanggal 18 November 2009
Hasil BNO :
· Spondylosis thoracolumbalis
· Suspect nephrolithiasis dextra setinggi para lumbal II dextra (bayangan semi opaque ± 0,6 x 0,4 cm) DD fecal material
· Tidak tampak bayangan kalsifikasi di daerah prostat
17 November 2009
S : tidak ada
O : T =130/90 mmHg, N = 88 x/menit, R = 22 x/menit, S = 36,7oC
Status Urologis :
CVA : nyeri ketok (-), bulging (-), ballotement (-)
Suprapubis : terpasang kateter cystostomi, urine jernih
OUE : darah (-)
A : Post cystostomi dengan kateter buli terpasang ec retensi urine ec BPH + KP
P : Pro TURP besok
18 November 2009
S : tidak ada
O : T =130/90 mmHg, N = 88 x/menit, R = 22 x/menit, S = 36,7oC
Status Urologis :
CVA : nyeri ketok (-), bulging (-), ballotement (-)
Suprapubis : terpasang kateter cystostomi, urine jernih
OUE : darah (-)
A : Post cystostomi dengan kateter buli terpasang ec retensi urine ec BPH + KP
P : - Pro TURP hari ini
- Pemeriksaan DL, elektrolit, dan penanda tumor PSA
Hasil Laboratorium :
Hb : 13 gr/dl
Leukosit : 8200/mm3
Trombosit : 256.000/mm3
Natrium : 139 mmol/L
Kalium : 3,9 mmol/L
Clor : 106 mmol/L
Hasil penanda tumor PSA : 8,78 ng/dl
Laporan Operasi
Operasi tanggal 18 November 2009 pukul 10.00-12.00 WITA
Pembedah : dr.A.Monoarfa SpB,SpU
Ahli Anatesi : dr.H.Tambajong.SpAn
Jenis Anastesi : Spinal
Diagnosis pra bedah : BPH
Diagnosis post bedah : BPH
Jenis Operasi : TURP
Desinfeksi kulit dengan : Povidone Iodine
- Posisi litotomi
- Lumbal spinal anastesi
- Introduksi dengan obturator
- Cytoscopy :
· Tumor (-)
· Trabekulasi sedang
· Muara ureter kiri & kanan bentuk normal
· Bladder neck tinggi
· Prostat kissing lobe 1½ S
· Dilakukan TURP
· Pasang kateter three way balon 20cc
Instruksi post operasi :
- IVRL
- Ferzobat 2x1 gr iv
- Ranitidin 3x1 amp iv
- Ketorolac 3% 3x1 amp drips/8jam
- Boleh makan bila flatus (+) dan bising usus (+)
- Cek Hb post operasi à pro transfuse
- Observasi spooling jangan sampai macet
Follow up post operasi
19 November 2009
S : urine : darah (+)
O : T =130/90 mmHg, N = 88 x/menit, R = 24 x/menit, S = 37oC
Status Urologis :
CVA : nyeri ketok (-), bulging (-), ballotement (-)
Suprapubis : terpasang kateter cystostomi
OUE : terpasang kateter three way
A : Post TURP hari I
P : - Spooling NaCl 0,9%
- Rawat luka
- Ferzobat 2x1 gr iv
- Ranitidin 3x1 amp iv
- Ketorolac 3% 3x1 amp drips/8jam
- Crome 2x1 amp iv
- Pemeriksaan Hb, leukosit, trombosit
Hasil Laboratorium :
Hb : 8,9 gr/dl
Leukosit : 12900/mm3
Trombosit : 155.000/mm3
20 November 2009
S : urine : darah (+)
O : T =130/90 mmHg, N = 88 x/menit, R = 24 x/menit, S = 37oC
Status Urologis :
CVA : nyeri ketok (-), bulging (-), ballotement (-)
Suprapubis : terpasang kateter cystostomi
OUE : terpasang kateter three way
A : Post TURP hari II
P : - Spooling kateter
- Rawat luka
- Ferzobat 2x1 gr iv
- Ranitidin 3x1 amp iv
- Ketorolac 3% 3x1 amp drips/8jam
- Crome 2x1 amp iv
- Pemeriksaan laboratorium
Hasil Laboratorium :
Hb : 8,6 gr/dl
Leukosit : 15700/mm3
Trombosit : 143.000/mm3
Natrium : 127 mmol/L
Kalium : 4,1 mmol/L
Clor : 105 mmol/L
21 November 2009
S : urine : darah (-)
O : T =130/90 mmHg, N = 88 x/menit, R = 24 x/menit, S = 37oC
Status Urologis :
CVA : nyeri ketok (-), bulging (-), ballotement (-)
Suprapubis : terpasang kateter cystostomi
OUE : terpasang kateter three way
A : Post TURP hari III
P : - Rawat luka
- Ferzobat 2x1 gr iv
- Ranitidin 3x1 amp iv
- Ketorolac 3% 3x1 amp drips/8jam
- Crome 2x1 amp iv
22 November 2009
S : urine : darah (-)
O : T =130/90 mmHg, N = 88 x/menit, R = 24 x/menit, S = 37oC
Status Urologis :
CVA : nyeri ketok (-), bulging (-), ballotement (-)
Suprapubis : terpasang kateter cystostomi
OUE : terpasang kateter three way
A : Post TURP hari IV
P : - Rawat luka
- Ferzobat 2x1 gr iv
- Ranitidin 3x1 amp iv
- Ketorolac 3% 3x1 amp drips/8jam
- Crome 2x1 amp iv
DISKUSI
Penegakan diagnosis pada penderita ini didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik termasuk colok dubur dan pemeriksaan penunjang lainnya.
Pada anamnesis didapatkan bahwa usia penderita adalah 72 tahun yang berarti usia ini merupakan usia dimana sekitar 90% pria dapat mengalami pembesaran prostat jinak dan menampakkan gejala-gejala prostatismus. Gejala BPH sendiri terbagi atas gejala obstruktif dan gejala iritatif. Pada penderita ini didapatkan kedua gejala tersebut.
Gejala obstruktif pada penderita ini adalah pancaran kencing yang lemah, penderita harus menunggu lama waktu kencing (hesitancy), waktu kencing penderita harus mengedan (straining), kencing yang terputus-putus (intermittency), dan merasa tidak puas setelah berkemih. Gejala-gejala obstruksi ini disebabkan oleh menyempitnya uretra pars prostatika karena proses hiperplasia dari jaringan kelenjar periuretra yang terdiri dari stroma murni, jadi disini terjadi hiperplasia stroma. Hiperplasia juga terjadi di zona transisional yang terdiri dari kelenjar-kelenjar yang berbentuk nodul-nodul sehingga menyebabkan pembesaran nodul-nodul kelenjar ini. Keadaan ini akan membuat penekanan pada uretra yang dikelilingi oleh “smooth muscle” sehingga akan timbul gejala-gejala obstruksi dari aliran air seni yang melewati uretra. Gejala obstruksi yang mula-mula terjadi adalah penurunan kekuatan dari berkemih oleh karena penekanan uretra dan apabila telah menetap dapat menimbulkan perasaan tidak puas waktu berkemih karena kompensasi otot-otot detrusor akibat peningkatan tekanan yang disebabkan oleh hambatan di uretra dan apabila otot detrusor buli-buli tidak dapat mengatasi peningkatan tekanan yang ada maka akan timbul gejala-gejala sukar kencing pada bagian akhir miksi dan terasa pengosongan buli-buli tidak sempurna karena jumlah residu urin yang banyak dalam buli-buli. Bila keadaan ini terus berlangsung maka dapat menimbulkan retensi urin karena otot detrusor mengalami kelelahan.
Gejala iritatif yang terjadi pada penderita ini adalah rasa nyeri saat kencing (dysuria) dan frekuensi kencing yang bertambah (frequency), terutama pada malam hari (nocturia). Gejala-
gejala ini dapat timbul karena beberapa alasan. Yang pertama adalah karena pengosongan buli-buli yang tidak sempurna setiap kali berkemih sehingga interval antar berkemih semakin pendek yang artinya akan semakin sering berkemih. Yang kedua adalah dengan adanya pembesaran dari prostat (enlargement) akan menyebabkan buli-buli merangsang respon kencing supaya lebih sering lagi, terutama bila prostat berkembang kedalam buli-buli. Nokturi dapat terjadi karena inhibisi kortikal yang normal pada malam hari berkurang dan juga karena tonus uretra dan sfingter menurun selama tidur. Nyeri pada waktu kencing dan urgensi timbul karena tekanan pada otot detrusor yang meningkat sehingga terjadi inkoordinasi antara kontraksi otot detrusor dengan relaksasi sfingter dan terjadinya stasis urin yang mengakibatkan timbulnya infeksi dan terbentuknya batu di traktus urinarius.
Apabila keadaan diatas terus berlangsung maka dapat timbul komplikasi yaitu akan terjadi dilatasi traktus urinarius bagian atas karena residu urin yang semakin banyak, sehingga mengakibatkan hidronefrosis dan bila terjadi infeksi keatas (ascending infection), maka dapat terjadi pyelonefritis dan yang paling fatal dapat terjadi gagal ginjal dengan timbulnya gejala-gejala uremia. Pada penderita ini tidak ditemukan komplikasi-komplikasi tersebut karena penderita langsung datang berobat ke dokter dan oleh dokter dilakukan penanganan konservatif dengan pemasangan kateter urin sehingga retensi urin dapat teratasi.
Berdasarkan gejala-gejala yang didapatkan dari anamnesis maka menurut skoring dari Madsen-Iversen BPH dibagi 3 tingkatan, yaitu BPH bergejala ringan (skor < 10), bergejala sedang (skor 11-20) dan BPH bergejala berat (skor >20). Pada pasien ini setelah dilakukan skoring ternyata termasuk pada BPH yang bergejala berat dengan jumlah skor 24. Penentuan skor ini nantinya akan menentukan jenis tindakan yang akan dilakukan.
Pada anamnesis juga penderita mengaku tidak terjadi penurunan berat badan yang biasanya dialami oleh pasien-pasien yang menderita keganasan berupa kanker. Selain itu penderita juga mengaku pernah di terapi dengan obat anti tuberculosis selama 6 bulan dan tidak putus obat.
Pemeriksaan fisik pada penderita ini yang terutama adalah dengan colok dubur. Pada rectal toucher ditemukan TSA cekat, ampula kosong, prostat membesar dengan konsistensi kenyal,dan tidak ada nodul. Pada sarung tangan tidak ditemukan feses, darah, maupun lendir. Tidak terabanya nodul dan konsistensi yang kenyal muncul karena perubahan histopatologi pada BPH hanya terjadi pada jaringan periuretral dan zona transisional yang terbungkus dengan zona perifer, yang membedakannya dengan suatu keganasan prostat yang akan teraba keras dan berbenjol-benjol (nodul) karena letak kelainan biasanya pada zona perifer. Pemeriksaan fisik lainnya yang bertujuan untuk mengetahui apakah telah terjadi komplikasi ke ginjal adalah pemeriksaan pada regio costovertebra, dimana pada penderita ini tidak ditemukan adanya nyeri ketok ataupun bulging yang biasanya terjadi pada suatu kelainan ginjal seperti hidronefrosis. Pemeriksaan pada regio suprapubik dimaksudkan untuk mengetahui apakah terdapat batu buli-buli atau sistitis yang ditandai dengan terabanya masa dan nyeri tekan pada suprapubik. Retensio urin juga dapat diketahui dengan terabanya masa pada suprapubik. Pada penderita ini pemeriksaan pada regio suprapubik menunjukkan tidak ada kelainan dan retensio urin tidak terjadi karena pada pasien telah dilakukan pemasangan kateter cystostomi sebelum datang ke RSUP.
Pemeriksaan fisik lainnya di daerah thorax pada saat auskultasi di temukan adanya ronkhi di ICS II ke bawah pada paru kiri, namun secara klinis tidak ditemukan adanya tanda-tanda TB paru.
Pemeriksaan laboratorium pada penderita ini menunjukkan bahwa tidak ditemukan adanya anemia, infeksi ataupun gagal ginjal sebab Hb, leukosit, serta ureum-kreatinin masih dalam batas normal. Pemeriksaan penunjang berupa penanda tumor PSA didapatkan hasil 8,78 ng/dl, hal ini kurang menunjukkan adanya keganasan, dan hasil yang meningkat juga dapat disebabkan karena tindakan-tindakan manipulasi yang dilakukan seperti kateter cystostomi. Pemeriksaan penunjang lainnya seperti uroflometri, IVP, uretrosistoskopi tidak dilakukan pada penderita ini karena dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, laboratorium dan penanda tumor PSA sudah cukup untuk mendiagnosis suatu BPH dan menyingkirkan kemungkinan komplikasi pada penderita ini. Pemeriksaan X-foto thorax didapatkan hasil KP lama bilateral dengan penebalan pleura hemithorax kiri dan terkesan masih ada tanda aktif, selain itu EKG dilakukan sebagai persiapan untuk operasi karena pada penderita ini akan dilakukan pembedahan dengan anestesi umum.
Penanganan pada penderita ini adalah dengan pemasangan keteter yang telah dilakukan dan dilakukan penanganan dengan pembedahan yaitu TURP (Transurethtral Resection of The Prostat). TURP menjadi pilihan untuk penderita ini karena sampai sekarang TURP masih merupakan standar emas untuk penanganan BPH dengan gejala-gejala sedang sampai berat, karena dibandingkan dengan prosedur bedah terbuka maka TURP lebih sedikit menimbulkan trauma dan komplikasi seperti striktura uretra serta memerlukan masa pemulihan yang lebih singkat. Secara umum TURP juga dapat memperbaiki gejala BPH hingga 90% dan meningkatkan laju pancaran urin hingga 100%. Penanganan dengan medikamentosa tidak dianjurkan pada penderita ini karena sampai saat ini efektifitas dari terapi dengan obat-obatan saja tidak memberi hasil yang memuaskan dibanding dengan pembedahan, disamping perlu dipikirkan pula efek samping dari penggunaan obat dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan untuk KP lamanya diberikan terapi obat anti tuberculosis untuk 2 minggu.
Prognosa pada penderita ini adalah baik dimana tidak ditemukan komplikasi-komplikasi sebelum pembedahan seperti trabekulasi, sakulasi, divertikel, batu buli-buli, infeksi, hidroureter, hidronefrosis ataupun gagal ginjal. Begitu juga komplikasi setelah pembedahan seperti perdarahan banyak, infeksi, hiponatremi (TUR Syndrom) ataupun retensi oleh karena bekuan darah tidak terjadi pada pasien ini.
PENUTUP
Kesimpulan
Diagnosis BPH pada penderita ini didasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang lainnya.
Dari anamnesis terdapat gejala obstruksi, yaitu pancaran kencing yang lemah, hesitensi,
harus mengedan waktu kencing, kencing yang terputus-putus dan merasa tidak puas setelah
berkemih. Sedangkan gejala iritatif, yaitu frekuensi kencing yang bertambah terutama pada
malam hari (nocturia) dan disuria.
Pemeriksaan fisik yang terutama adalah dengan colok dubur. Dari colok dubur
didapatkan prostat dengan konsistensi yang kenyal, permukaan licin, pool bawah yang
membesar, pool atas tidak terjangkau, tidak terdapat nodul dan tidak ada nyeri tekan. Dari hasil
ini sudah jelas suatu BPH.
Dari pemeriksaan laboratorium tidak ditemukan adanya kelainan akibat komplikasi dari
BPH. Pemeriksaan penunjang berupa penanda tumor PSA didapatkan hasil 8,78 ng/dl yang
kurang menunjukkan adanya keganasan prostat.
Penanganan terpilih pada penderita ini adalah dengan pembedahan yaitu dengan TURP.
Keadaan penderita paska operasi adalah sangat baik dan tidak ditemukan adanya komplikasi
akibat dari pembedahan.
Saran
Anamnesis yang lengkap dan cermat perlu dilakukan disamping pemeriksaan fisik
dengan colok dubur yang teliti untuk dapat mendiagnosis suatu BPH. Pemeriksaan laboratorium
dan penunjang lainnya dapat dilakukan untuk memastikan suatu BPH apabila dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik masih meragukan dan untuk mengetahui adanya komplikasi akibat BPH.
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnomo B Basuki. Hiperplasia Prostat. Dalam: Dasar-dasar Urologi Edisi Kedua.
Jakarta : Sagung Seto; 2008.p.69-85
2. Jr. Lawrence M Tierney, McPhee J Stephen, Papadakis A Maxine. Benign Prostatic
Hyperplasia. Dalam: LANGE Current Medical Diagnosis & Treatment Adult Ambulatory &
Inpatient Management. United States of America : The McGraw-Hill Companies;
2002.p.978-85
3. National Kidney and Urologid Diseases Information Clearinghouse (NKUDIC). Prostate
Enlargment : Benign Prostatic Hyperplasia [online]. 2006 Jun [cited 2009 Nov 22]; Available
from: http://kidney.niddk.nih.gov
4. Mansjoer Arif, Suprohaita, Wardhani Wahyu Ika, Setiowulan Wiwiek. Pembesaran Prostat
Jinak. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid 2. Jakarta : Medica Aesculaplus
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2007.p.329-34
5. Benign Prostatic Hyperplasia [online]. 2009 Nov 22 [cited 2009 Nov 22]; Available from:
http://www.wikipedia.com
6. Sjamsuhidayat R, de Jong Wim. Hipertrofi Prostat. Dalam: Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2.
Jakarta : EGC; 2005.p.782-6
7. Leveilee J Raymond,MD,FRCS(Glasg). Prostate Hyperplasia, Benign [online]. 2009 Jun 8
[cited 2009 Nov 22]; Available from: http://www.emedicine.com
8. McVary T Kevin,MD. Prostatic Hypertrophy. United States of America : Humana Press Inc;
2004
9. Pembesaran Prostat Jinak (BPH, Benign Prostatic Hyperplasia) [online]. 2009 [cited 2009 Nov
22]; Available from: http://www.medicastore.com