uji efektifitas formulasi spora metarhizium sp. pada...
TRANSCRIPT
i
UJI EFEKTIFITAS FORMULASI SPORA Metarhizium sp. PADA LIMBAH
TAHU DAN TONGKOL JAGUNG SEBAGAI AGENS HAYATI LARVA
KUMBANG BADAK (Oryctes rhinoceros. L.)
Proposal Usulan Penelitian
Diajukan oleh :
Maretha Triyas Rakhmawati
20130210091
Program Studi Agroteknologi
Kepada
FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH YOGYAKARTA
YOGYAKARTA
2017
1
I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan teknologi pertanian terbarukan banyak memberikan
keuntungan dalam bidang pertanian. Namun pengunaan teknologi seperti pestisida
yang tidak terkontrol dan tidak efisien menyebabkan kerusakan pada ekosistem.
Menurut Perveen (2011) penggunaan pestisida di dunia mencapai 3,5 juta ton
pertahun, pengguna pestisida terbanyak dengan jenis highly toxic adalah negara-
negara berkembang seperti Indonesia. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan
bahwa semakin intensif penyemprotan pestisida menyebabkan hama semakin
tahan sehingga aplikasi pestisida memerlukan dosis yang lebih tinggi dan lebih
banyak. Akibat penggunaan pestisida yang berlebihan tersebut menyebabkan
terjadinya pencemaran terhadap tanah, air, udara dan produk yang dihasilkan dari
produksi dibidang pertanian (Sembel, 2010).
Pengendalian hayati adalah salah satu usaha yang dapat dilakukan untuk
pengendalian hama tanaman. Prinsip pengendalian hayati adalah pengendalian
serangga hama dengan cara biologi, yaitu dengan memanfaatkan musuh-musuh
alaminya (agen pengendali biologi), seperti predator, parasit dan patogen
(Sunarno, 2012). Metode ini dianggap aman bagi lingkungan karena mengunakan
agens hayati seperti mikrooganisme dan organisme seperti serangga yang hidup
di alam bebas serta bersifat selektif, sehingga pengunaan agens hayati tidak
memberikan dampak negatif bagi lingkungan karena agens hayati hanya akan
menyerang pada inangnya.
Kumbang badak adalah salah satu hama yang banyak menyerang tanaman
kelapa dan kelapa sawit. Hama kumbang badak banyak menimbulkan banyak
masalah bagi petani. Pada bulan Agustus 2011 hampir sebagian besar tanaman
kelapa di kabupaten Kulon Progo terserang Oryctes rhinoceros. Dari 6.250 pohon
kelapa yang ada, sebanyak 6.073 pohon terserang mulai ringan hingga berat
sehingga hanya menyisakan 213 pohon sehat (Sugiyanto, 2013). Kumbang badak
merusak tanaman kelapa dengan cara mengerek pucuk tanaman kelapa yang muda
dan banyak mengandung air serta memakan bunga-bunga kelapa yang belum
membuka. Hal tersebut menyebabkan puluhan ribu kelapa yang masih muda
2
hanya tersisah bagian tungulnya saja bahkan banyak tanaman muda yang mati
akibat titik tumbuh tanaman rusak sehingga tidak mampu membentuk daun
(Soedijanto, 1991).
Hama kumbang badak sangat sulit diberantas baik secara fisik atau secara
kimia karena cara hidup dan ekologinya. Kumbang badak memakan lapukan
bahan organik sebagai media tumbuh. Pengendalian kimia sulit dilakukan karena
kumbang ini mempunyai kulit atau sayap yang keras, selain itu pengendalian
secara kimia akan mencemari lingkungan dan biaya relatif mahal. Oleh karena itu
diperlukan pengendalian secara hayati seperti memanfaatkan jamur
entomopatogen Metarhizium anisopliae karena dipandang lebih murah dan efektif
(Wikardi, 1983).
Jamur M. anisopliae adalah salah satu jamur yang bersifat entomopatogen
pada beberapa jenis serangga dan larva, jamur ini dapat ditemukan ditanah,
dikompos atau sisa pelapukan dan diserangga sebagai inangnya. Secara umum
Metarhizium sp. memiliki sasaran inang yang luas. Sifat entomopatogen
Metarhizium anisopliae telah diteliti mampu menginfeksi dan mengendalikan
berbagai jenis hama tanaman seperti Stibaropus molginus (Rosmayuningsih dkk.
2014), Nilaparvata lugens (Effendy, 2010), S. furcifera (Herlinda dkk., 2008),
dan larva Oryctes rhinoceros (Mulyono, 2016 ; Putri, 2016). Jamur Metarhizium
anisopliae juga telah diteliti dapat hidup pada media pembawa seperti beras dan
jagung (Utari dkk., 2015), gandum (Agung-Astuti, 2005), dedak gandum (Agung
dkk., 2004) dan dedak + gula 1% (Effendy, 2010). Bahan-bahan carrier tersebut
masih memiliki nilai ekonomis tinggi bagi manusia, baik sebagai bahan pakan
pokok manusia dan pakan ternak. Oleh sebab itu perlu dicari bahan atau limbah
yang pemanfaatanya belum maksimal dan banyak serta dapat digunakan sebagai
bahan pembawa bagi jamur M. anisopliae.
Menurut Lay (1994) jamur dapat dibiakan pada berbagai media yang
mengandung karbohidrat dan protein dengan kisaran pH 5-7. Medium yang
digunakan untuk pertumbuhan jamur sekurang-kurangya harus memenuhi syarat
sebagai berikut; kebutuhan nutrisi pokok, sumber-sumber karbon dan energi zat-
zat pelengkap, blerang dan nitrogen serta oksigen. Protein mengandung asam-
3
asam amino yang sangat dibutuhkan jamur untuk membentuk bahan sel dan
memperoleh energi. Sumber karbon dibutuhkan sebagai sumber energi dan unsur
pembentukan struktur sel jamur, sedangkan sumber nitrogen akan membantu
mempercepat pertumbuhan miselium.
Ampas tahu dan tongkol jagung adalah limbah-limbah yang masih memiliki
kandungan nutrisi, namun masih belum banyak yang dimanfaatkan. Menurut
(Setiawan, 2014) jumlah industri tahu di Indonesia mencapai kurang lebih 84.000
unit usaha, dengan kapasitas produksi lebih dari 2,56 juta ton per tahun. Menurut
Indrianti (2013) ampas tahu yang terbentuk berkisar antara 25-35% dari produk
tahu yang dihasilkan sehingga apabilah dikonversi dengan jumlah produksi maka
jumlah ampas tahu dapat mencapai ± 896.000 ton. Sedangkan luas lahan panen
jagung menurut Badan Pusat Statistik (2016) pada tahun 2015 yaitu sebesar
3.787.367 ha, dengan hasil produksi jagung sebanyak 19.612.435 ton. Menurut
Fachry (2013) satu buah jagung utuh terdiri dari 30% limbah tongkol jagung
sehingga apabilah dikonversi dengan jumlah produksi jagung tahun 2015, maka
terdapat ± 5.883.730 ton tongkol jagung.
Kandungan karbohidrat dan protein pada 100 g ampas tahu yaitu sebesar
66,24 % dan 17,72% (Wati, 2013). Sedangkan kandungan karbohidrat dan protein
pada 1 tongkol jagung sebesar 27,2 % dan 13 % (Anonim, 2017). Dengan tingkat
kandungan karbohidrat dari ampas tahu dan tongol jagung yang lumayan tinggi
diharapkan dapat mejadi bahan pembawa bagi jamur, oleh sebab itu perlu
dilakukan penelitian terhadap efektifitas pengunaan limbah ampas tahu dan
tongkol jagung sebagai bahan pembawa (Carrier) spora Metarhizium anisopliae
sebagai agens hayati larva kumbang badak (Oryctes rhinoceros L.).
B. Rumusan Masalah
1. Apakah limbah ampas tahu dan tongkol jagung dapat menjadi media
pembawa (carrier) bagi Metarhizium anisopliae?
2. Manakah formulasi bahan pembawa terbaik untuk pertumbuhan
Metarhizium anisopliae?
4
3. Bagaimana pengaruh pemberian Metarhizium anisopliae dengan media
pembawa (carrier) ampas tahu dan tongkol jagung terhadap larva
kumbang badak?
C. Tujuan
1. Mengetahui efektifitas pengunaan limbah ampas tahu dan tongkol sebagai
carrier bagi Metarhizium anisopliae.
2. Mengetahui formulasi bahan pembawa terbaik untuk pertumbuhan
Metarhizium anisopliae.
3. Mengetahui pengaruh pemberian Metarhizium anisopliae dengan media
pembawa (carrier) ampas tahu dan tongkol jagung terhadap larva
kumbang badak.
5
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Hama Kumbang Badak (Oryctes rhinoceros) dan Pengendaliannya
Kumbang Badak/Tanduk merupakan hama utama yang menyerang tanaman
kelapa sawit di Indonesia, khususnya di areal peremajaan kelapa sawit. Oryctes
rhinoceros menggerek pucuk kelapa sawit yang mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan dan rusaknya titik tumbuh sehingga mematikan tanaman (Susanto,
2005).
Kumbang tanduk betina bertelur pada bahan-bahan organik seperti di tempat
sampah, daun-daunan yang telah membusuk, pupuk kandang, batang kelapa,
kompos, dan lain-lain. Siklus hidup kumbang ini antara 4-9 bulan, namun pada
umumnya 4,7 bulan. Jumlah telurnya 30-70 butir atau lebih, dan menetas setelah
lebih kurang 12 hari. Telur berwarna putih, mula-mula bentuknya jorong,
kemudian berubah agak membulat. Telur yang baru diletakkan panjangnya 3 mm
dan lebar 2 mm (Desmendry, 2013).
Larva yang baru menetas berwarna putih dan setelah dewasa berwarna putih
kekuningan, warna bagian ekornya agak gelap dengan panjang 7-10 cm. Larva
dewasa berukuran panjang 12 mm dengan kepala berwarna merah kecoklatan.
Tubuh bagian belakang lebih besar dari bagian depan. Pada permukaan tubuh
larva terdapat bulu-bulu pendek dan pada bagian ekor bulu-bulu tersebut tumbuh
lebih rapat. Stadium larva 4-5 bulan (Sulhan, 2015).
Stadia telur, larva dan pupa hidup pada bahan organik seperti kotoran
ternak/pupuk kandang, limbah penggergajian kayu/grajen, sekam padi, sampah
yang telah melapuk, tunggul kelapa, dan bahan bahan organik lainnya. Imago
yang masih muda juga berada dalam sarang-sarang tersebut. Kumbang kelapa O.
rhinoceros merupakan hama yang sangat merugikan sehingga mengancam
pertanaman kelapa di daerah-daerah tertentu (Mulyono, 2007).
Pengendalian kumbang tanduk secara konvensional dilakukan dengan cara
pengutipan dan menggunakan insektisida kimiawi. Namun, cara tersebut dinilai
tidak efektif dan menimbulkan pencemaran bagi lingkungan. Sehingga
6
pengendalian dapat dilakukan dengan memanfaatkan musuh-musuh alaminya
seperti Santalus parallelus, Platymerys Laevicollis yang merupakan predator telur
dan larva, Agrypnus sp. yang merupakan predator larva, selain itu beberapa jenis
nematoda dan cendawan juga menjadi musuh alami kumbang kelapa. Cara lain
yang dapat digunakan yaitu dengan feromon yang dapat digunakan sebagai
insektisida alami untuk mengendalikan kumbang tanduk dengan efektif, ramah
lingkungan, dan lebih murah dibandingkan dengan pengendalian secara
konvensional (Apriyaldi, 2015).
Menurut Sihombing (2014) pengunaan entomopatogen B.thuringiensis, B.
bassiana, dan M. Anisopliae juga dapat mengendalikan larva O. rhinoceros
dengan presentase mortalitas dan infeksi hingga 100%. Sedangkan menurut
Erawati (2016) Metarhizium anisopliae dan Beauveria bassiana dari Kedu,
Jombang, Jember berpotensi sebagai pengendali hayati O. rhinoceros. dan M.
anisopliae Jombang memiliki tingkat virulensi tertinggi dengan mortalitas O.
rhinoceros 80% pada 144 jam setelah infeksi.
Jamur M. Anisopliae masuk melalui kulit, maka larva kumbang badak instar
III lebih rentan karena lebih aktif bergerak dan apabila dalam satu tempat populasi
tinggi akan terjadi saling menyerang diantara larva yang menyebabkan luka,
sehingga memudahkan penetrasi cendawan dalam tubuh larva (Mangoendiharjo,
1970).
B. Jamur Metarhizium Anisopliae
Cendawan M. Anisopliae mempunyai conidiophore berbentuk tongkat,
tegak dan bercabang, bersatu dalam bentuk kumpulan kompak atau tidak,
membentuk selaput spora. Koloni-koloni berbentuk bulat panjang sampai silindris
dengan ujung yang bundar. Massa berbentuk hijau olive, memparasit serangga
yang mengakibatkan “green muscardine desease” (Barnett, 1972).
Cendawan M. anisopliae masuk ke dalam tubuh serangga tidak melalui
saluran makanan, tetapi melalui kulit. Setelah konidia cendawan masuk ke dalam
tubuh serangga, cendawan memperbanyak diri melalui pembentukan hifa dalam
jaringan epidermis dan jaringan lainnya sampai dipenuhi miselia cendawan.
7
Perkembangan cendawan dalam tubuh inang sampai inang mati berjalan sekitar 7
hari dan setelah inang terbunuh, jaringan membentuk konidia primer dan sekunder
yang dalam kondisi cuaca yang sesuai muncul dari kutikula serangga. Konidia
akan menyebarkan sporanya melalui angin, hujan dan air. Penyebaran dan infeksi
cendawan sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain padatan inang
kesediaan spora, angin dan kelembaban. Kelembaban tinggi dan angin yang
kencang sangat membantu penyebaran konidia dan pemerataan infeksi patogen
pada seluruh individu pada populasi inang (Mulyono, 2007).
Perkembangan cendawan M. Anisopliae dalam tubuh inang sampai inang
mati berjalan sekitar 7 hari dan setelah inang terbunuh, jaringan membentuk
konidia primer dan sekunder yang dalam kondisi cuaca yang sesuai muncul dari
kutikula serangga. Konidia akan menyebarkan sporanya melalui angin, hujan dan
air. Penyebaran dan infeksi cendawan sangat dipengaruhi oleh beberapa
faktor,antara lain padatan inang kesediaan spora, angin dan kelembaban.
Kelembaban tinggi dan angin yang kencang sangat membantu penyebaran konidia
dan pemerataan infeksi patogen pada seluruh individu pada populasi inang
(Mulyono, 2007).
Menurut Mangoendiharja (1970) jamur M. Anisopliae menginfeksi larva O.
rhinoceros dan tidak menginfeksi kumbang karena pada saat kumbang kulitnya
terlalu keras dan tebal sgingga sulit untuk ditembus.
Temperatur optimum untuk pertumbuhan cendawan M. Anisopliae berkisar
22 – 27 ºC, walaupun beberapa laporan menyebutkan bahwa cendawan masih
dapat tumbuh pada temperatur yang lebih dingin. Konidia akan membentuk
kecambah pada kelembaban di atas 90 %, namun demikian konidia akan
berkecambah dengan baik patogenisitasnya meningkat bila kelembaban udara
sangat tinggi hingga 100 %. Patogenisitas cendawan M. anisopliae akan menurun
apabila kelembaban udara di bawah 86 % (Mulyono, 2007).
Menurut Effendy (2010) jenis bahan pembawa berpengaruh nyata tehadap
kerapatan spora dan viabilitas konidia Metarhizium sp. Kerapatan spora pada
Metarhizium sp tanpa bahan pembawa yaitu sebesar 8,3 x 107 berbeda nyata
dengan bioinsektisida yang menggunakan bahan pembawa Tepung abu sekam 2,9
8
x 107, tepung tanah 2,1 x 107, tepung dedak 1,6 x 107 dan tepung jagung 1,6 x 107.
konidia tanpa bahan pembawa menunjukkan viabilitas konidia Metarhizium sp.
terendah (43,9%) dan berbeda nyata dengan bioinsektisida berbahan pembawa
abu sekam+gula 1% viabilitasnya mencapai 65,1%. Penambahan bahan pembawa
menyebabkan viabilitas konidia Metarhizium sp dapat bertahan. Penambahan
bahan pembawa merupakan pelindung atau pengaman konidia ketika disimpan
maupun waktu diaplikasikan di lapangan.
Menurut Manurung (2012) perlakuan 20 g formulasi M. anisopliae di
tepung beras/kg media O. rhinoceros menghasilkan waktu kematian tercepat pada
larva O. rhinoceros.
C. Formulasi Bahan Pembawa
Prinsip dari formulasi adalah mencampurkan organisme dalam bahan
pembawa, yang dilengkapi dengan bahan tambahan untuk memaksimalkan
kemampuan bertahan hidup di penyimpanan, mengoptimalkan aplikasi organisme
target dan melindungi organisme pengendali hayati setelah aplikasi (Jones and
Burges 1998).
Fungsi dasar dari formulasi adalah untuk stabilisasi organisme selama
produksi, distribusi dan penyimpanan, mengubah aplikasi produk, melindungi
agen dari faktor lingkungan yang dapat menurunkan kemampuan bertahan
hidupnya serta meningkatkan aktivitas dari agen untuk mengendalikan organisme
target (Jones and Burges 1998).
Menurut Gusti (2014) bahan pembawa idealnya memiliki karakteristik
sebagai berikut; mempunyai kemampuan menahan air yang tinggi, tidak toksik
terhadap mikroba, mendukung pertumbuhan mikroba, secara umum steril atau
mudah disterilan, bahan mudah diperoleh dengan harga murah, mempunyai daya
lekat terhadap benih, secara kimiawi mempunyai komposisi yang seragam, mudah
diatur pH-nya, mudah didegradasi, tidak mencemari lingkungan, mudah
melepaskan mikroba jika digunakan di tanah dan mudah dicampur dan dikemas.
9
1. Ampas Tahu
Ampas tahu merupakan limbah padat yang dihasilkan oleh industri
pengolahan kedelai menjadi ampas. Ampas tahu mempunyai kadar gizi yang
tinggi dan dapat dimanfaatkan sebagai pakan ternak (Sarwono, 2006).
Menurut Setiawan (2014) jumlah industri tahu di Indonesia mencapai
kurang lebih 84.000 unit usaha. Dengan kapasitas produksi lebih dari 2,56 juta ton
per tahun.
Ampas tahu basah gizi karbohidrat 6,33 % protein 1,2%, lemak 2,2%, Abu
0,32%, air 89,88%, serat pangan tidak larut 0,96% dan serat pangan larut 4,73%
(Sulistiani, 2004).
Ampas tahu banyak dimanfaatkan dalam pembuatan tempe gembus, yaitu
makanan dari ampas tahu yang telah difermentasi dengan penambahan
mikroorganisme seperti jamur Rhizopus oligosporus dan R. Arrhizus. Ampas tahu
yang baik digunakan untuk membuat tempe gembus yaitu mengandung air
sebanyak 81-85% dan dikukus selama 45 menit. Fermentasi tempe gembus
dilakukan dengan cara menginokulasi 1 ml suspensi mikroorganisme pada 100 g
ampas tahu yang sudah dikukus. Dari proses fermentasi itu akan didapatkan
substrat padat yang dipenuhi oleh miselium berwarna putih dari jamur Rhizopus
sp. (Gandjar, 1972).
2. Tongkol Jagung
Menurut Badan Pusat Statistik (2016) pada tahun 2015 yaitu sebesar
3.787.367 ha, dengan hasil produksi jagung sebanyak 19.612.435 ton. Naik
sebesar 604.009 ribu ton dibandingkan tahun 2014.
Tongkol jagung merupakan simpanan makanan untuk pertumbuhan biji
jagung selama melekat pada tongkol. Panjang tongkol jagung bervariasi antara 8-
12 cm. Pada umumnya satu tongkol jagung mengandung 300-600 biji jagung
(Effendi dan Sulistiati, 1991).
Tongkol jagung atau janggel, merupakan bagian dari buah jagung setelah
biji dipipil. Kandungan nutrisi tongkol jagung berdasarkan analisis di
Laboratorium Ilmu Makanan Ternak meliputi kadar air, bahan kering, protein
10
kasar dan serat kasar berturut-turut sebagai berikut 29,54; 70,45; 2,67 dan 46,52%
dalam 100% bahan kering (Suryani dkk, 2016). Tongkol jagung (ukuran 19,5 cm -
23 cm) memiliki kandungan gizi karbohidrat 76% (27,2 g), Protein 13 % (4,6 g),
Lemak 11% (1,69 g) (Anonim, 2017).
Menurut Ariyanti (2015) tongkol jagung dapat diinokulasi dengan jamur
Trichoderma sp yang dapat menurunkan bahan organik dan meningkatkan
kandungan protein kasar pada tongkol jagung sebagai pakan ternak ruminansia.
Inokulasi dilakukan dengan cara mencampur 5 % inokulum Trichoderma sp
kedalam 1 kg tongkol jagung yang telah disemprot air dan dikukus.
D. Hipotesis
Diduga Ampas tahu dan tongkol jagung efektif untuk digunakan sebagai
media pembawa jamur M. anisopliae sebagai agens hayati larva kumbang badak
(Oryctes rhinoceros).
11
III. TATA CARA PENELITIAN
A. Tempat dan Waktu
Penelitian akan dilaksanakan di Laboratorium Agrobioteknologi, Fakultas
Pertanian, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Penelitian akan dilaksanakan
pada bulan Juli hingga September 2017.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan diantaranya biakan murni jamur Metarhizium
anisopliae koleksi dari Laboratorium Agrobioteknologi, Fakultas Pertanian,
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Media PDA, aquades, alcohol 70%,
kompos/pupuk kandang, larva kumbang badak instar III.
Alat-alat yang digunakan terdiri atas glass ware (petridish, gelas ukur,
Erlenmayer, botol jam, beaker glass), kompor gas, sprayer, mikroskop, lampu
bunsen, autoclaf, kertas Ph, plastik 0,5 kg, botol jam, kertas lebel, timbangan
analitik, pipet ukur dan kamera digital.
C. Metode Peneltian
Penelitian eksperimen ini dilaksanakan dalam 2 tahap yaitu;
Tahap I Formulasi Metarhizium anisopliae pada berbagai macam media
yang disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan rancangan
percobaan faktor tunggal yang terdiri dari 3 perlakuan. Adapun perlakuan yang
diujikan pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:
A. Metarhizium anisopliae dengan Carrier Ampas Tahu
B. Metarhizium anisopliae dengan Carrier Tongkol Jagung
C. Metarhizium anisopliae dengan Carrier Ampas tahu (50 %) + Tongkol
Jagung (50 %)
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga didapat 9 unit
percobaan (Lampiran 1.).
Tahap II Aplikasi Berbagai Formulasi Metarhizium anisopliae pada larva
Kumbang badak yang disusun dalam Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan
12
rancangan percobaan faktor tunggal yang terdiri dari 3 perlakuan. Adapun
perlakuan yang diujikan pada penelitian ini yaitu sebagai berikut:
P. Formula M. anisopliae Ampas Tahu pada Larva Kumbang Badak dalam
Media Pertumbuhan Serbuk Gergaji dan Kompos
Q. Formula M. anisopliae Tongkol Jagung pada Larva Kumbang Badak
dalam Media Pertumbuhan Serbuk Gergaji dan Kompos
R. Formula M. Anisopliae Ampas tahu (50%) + Tongkol Jagung (50%) pada
Larva Kumbang Badak dalam Media Pertumbuhan Serbuk Gergaji dan
Kompos
S. Kontrol (Kumbang badak dalam Media Pertumbuhan Serbuk Gergaji dan
Kompos tanpa perlakuan)
Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 3 kali sehingga didapat 12 unit
percobaan. Setiap unit percobaan terdapat 5 larva/trapping (sarang buatan)
sehingga total larva yang diuji yaitu sebanyak 60 larva (Lampiran 2).
D. Tata Laksana Penelitian
1. Sterilisasi Alat
1. Alat yang terbuat dari logam dan gelas direbus dengan air dan deterjen
selama 10 menit, kemudian dibilas sampai bersih dan dibungkus dengan
kertas kemudian disterilisasi dalam autoklaf dengan temperatur 121 oC
tekanan 1 atm selama 30 menit.
2. Media PDA disterilkan dengan autoklaf dengan temperatur 121 oC selama
15 menit. Sedangkan untuk air steril disterilisasi dalam autoklaf
temperatur 121 oC selama 15 menit.
2. Pembuatan Media Potato Dextrose Agar (PDA)
Kentang yang telah dikupas dan dipotong-potong dengan ukuran ± 1 cm
sebanyak 200 gram di rebus dalam 500 ml Aquades sampai cukup empuk. Hal ini
dapat diketahui dengan menusuk kentang dengan garpu. Jika di tusuk terasa
mudah, berarti kentang telah mengeluarkan sarinya. Kemudian ekstrak kentang
disaring campuran dengan kain tipis sehingga diperoleh cairan ekstrak kentang
yang bening. Setelah itu 20 gram agar-agar dan dekstrosa sebanyak 15 gram
13
dimasukkan ke dalam ekstrak kentang dan ditambahkan air steril sampai
volumenya menjadi 1.000 ml, larutan campuran kemudian diaduk sampai
homogen diatas api kecil dan diukur pH 6-7. Setelah mendidih, larutan PDA
dimasukkan ke dalam erlenmayer kemudian ditutup dengan kapas steril dan
ditutup lagi dengan menggunakan aluminium foil. Kemudian di sterilkan di dalam
autoklaf selama kurang lebih 15 menit dengan suhu 1210C pada tekanan 1,5
atm. Setelah itu PDA dikeluarkan dan dibiarkan hingga dingin (10-200C),
kemudian di tuangkan kedalam cawan petri dan tabung reaksi (miring).
3. Perbanyakan Inokulum Metarhizium anisopliae
Biakan murni jamur Metarhizium anisopliae yang didapat dari
Laboratorium Agrobioteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta diperbanyak dengan menginokulasi Metarhizium anisopliae dalam
medium PDA tabung reaksi miring secara goresan, Kemudian diinkubasi selama
5-7 hari pada suhu ruang. Diharapkan dalam media PDA hanya terdapat satu jenis
mikroba saja.
4. Formulasi Metarhizium anisopliae Pada Berbagai Bahan Pembawa
a. Formulasi Metarhizium anisopliae Dengan Ampas tahu
Proses formulasi M. anisopliae pada ampas tahu mengunakan prosedur
pembuatan tempe gembus (Gandjar, 1972) dengan beberapa modifikasi. Tahap
pertama memasukan ampas tahu segar (basah) kedalam kain saring dan diperas
dengan tangan untuk menghilangkan sebagian besar dari air yang terkandung
didalamnya, kemudian mengukus ampas tahu selama ± 45 menit lalu diangkat dan
diangin-anginkan hingga suhu 30-350C dan kadar air 81-85%. Setelah dingin
disterilkan dengan menggunakan autoklaf selama ±15 menit dengan suhu 121-
1240C pada tekanan 1,5 atm. Kemudian ampas tahu diberi chlorampenicol 200
ml/kg (0,1%) dan diaduk hingga homogen, Setelah itu ampas tahu dan tongkol
jagung dimasukan kedalam plastik (anti panas) 0,5 kg sebanyak 100 g/kantong
plastik dan dibentuk segitiga dan diberi lubang kemudian pangkal plastik dilipat
dan disteples. Kemudian masukan media pembawa kedalam autoklaf untuk
disterilkan selama 15 menit dengan suhu 121-1240C pada tekanan 1,5 atm.
14
Setelah itu media pembawa dikeluarkan dari autoklaf dan didinginkan dalam
ruang inokulasi. Setelah dingin media pembawa diinokulasikan dengan spora
Metarhizium anisopliae dari Inokulum murni dengan mengunakan ose sebanyak 3
kali dan diinkubasi dengan suhu ruang hingga 14 hari.
b. Formulasi Metarhizium anisopliae Dengan Tongkol Jagung
Formulasi M.anisopliae pada tongkol jagung dilakukan dengan cara
mencacah tongkol jagung kering mengunakan alat giling, kemudian tongkol
jagung diberi air dan diremas hingga basah (kelembaban 55-60%) dan homogen,
kemudian dikukus selama 15 menit lalu diangkat dan diangin-anginkan. Setelah
dingin disterilkan dengan mengunakan autoklaf selama kurang lebih 15 menit
dengan suhu 121-1240C pada tekanan 1,5 atm. Kemudian tongkol jagung diberi
chlorampenicol 200 ml/kg (0,1%) dan dicampur hingga homogen, Setelah itu
tongkol jagung dimasukan kedalam plastik (anti panas) 0,5 kg sebanyak 100
g/kantong plastik dan dibentuk segitiga dan diberi lubang kemudian pangkal
plastik dilipat dan disteples. Kemudian masukan media pembawa kedalam
autoklaf untuk disterilkan selama 15 menit dengan suhu 121-1240C pada tekanan
1,5 atm. Setelah itu media pembawa dikeluarkan dari autoklaf dan didinginkan
dalam ruang inokulasi. Setelah dingin media pembawa diinokulasikan dengan
spora Metarhizium anisopliae dari Inokulum murni mengunakan ose sebanyak 3
kali dan diinkubasi dengan suhu ruang hingga 14 hari.
c. Formulasi Metarhizium anisopliae Dengan Ampas Tahu dan Tongkol
Jagung
Formulasi Metarhizium anisopliae dengan ampas tahu dan tongkol jagung
dilakukan dengan cara memasukan ampas tahu segar (basah) kedalam kain saring
dan diperas dengan tangan untuk menghilangkan sebagian besar dari air yang
terkandung didalamnya, sedangkan tongkol jagung dicacah dengan penggiling.
Setelah itu campurkan 50 g ampas tahu dan 50 g tongkol jagung dalam wadah
nampan, kemudian diberi air dan diremas hingga basah dan homogen, kemudian
mengukus ampas tahu dan tongkol jagung selama ± 45 menit lalu diangkat dan
diangin-anginkan hingga suhu 30-350C. Setelah dingin disterilkan dengan
mengunakan autoklaf selama kurang lebih 15 menit dengan suhu 121-1240C pada
15
tekanan 1,5 atm. Kemudian media pembawa diberi chlorampenicol 200 ml/kg
(0,1%) dan dicampur hingga homogen, Setelah itu ampas tahu dan tongkol jagung
dimasukan kedalam plastik (anti panas) 0,5 kg sebanyak 100 g/kantong plastik
dan dibentuk segitiga dan diberi lubang kemudian pangkal plastik dilipat dan
disteples. Kemudian masukan media pembawa kedalam autoklaf untuk disterilkan
selama 15 menit dengan suhu 121-1240C pada tekanan 1,5 atm. Setelah itu media
pembawa dikeluarkan dari autoklaf dan didinginkan dalam ruang inokulasi.
Setelah dingin media pembawa diinokulasikan dengan spora Metarhizium
anisopliae dari Inokulum murni mengunakan ose sebanyak 3 kali dan diinkubasi
dengan suhu ruang hingga 14 hari.
5. Aplikasi Formula Metarhizium anisopliae Pada Larva Kumbang Badak
Formula Metarhizium anisopliae digiling hingga halus sebanyak 2 g/5 kg
media (Putri, 2016), Pupuk kandang dan serbuk gergaji dicampur merata
sebanyak 5 kg sebagai media aplikasi. kemudian media aplikasi dan formula
jamur dibagi dalam 5 trapping berupa pot karena larva kumbang badak bersifat
kanibal, masing-masing botol diberi 1 kg media aplikasi, 0,4 g formula M.
anisopliae dan 1 larva kumbang badak. Larva kumbang badak yang digunakan
adalah larva kumbang badak instar III dengan berat rata-rata 9-11 gram dan
panjang 7-10 cm (Litayani, 2016). Aplikasi formula M. anisopliae hanya
dilakukan sekali.
6. Pengamatan
Pengamatan yang dilakukan diantaranya pertumbuhan miselium, jumlah
spora, viabilitas spora, % mortalitas, kecepatan kematian, dan efikasi.
1. Tahap I. Formulasi Metarhizium Anisopliae Pada Berbagai Macam Media
a. Pertumbuhan Miselium
Miselia adalah kumpulan hifa jamur. Penghitungan miselia bertujuan untuk
mengetahui jumlah miselia yang dihasilkan oleh jamur. Pertumbuhan miselia
dilihat dari berat miselia pada inokulum setelah diinkubasi yang ditimbang 3 hari
sekali selama 3 minggu.
16
b. Jumlah spora
Mengambil 1 g formulasi padat dari masing-masing perlakuan dan
dimasukan ke dalam 99 ml aquades. Setelah itu dihomogenkan dengan rotamixer
hingga spora terpisah dari carrier, kemudian melakukan pengenceran 101-1010 lalu
dihitung jumlah sporanya dengan bantuan alat Haemocytometer. Dengan cara
meneteskan suspensi Metarhizium anisopliae yang dimulai dari pengenceran 10¹
hingga ke pengenceran 1010 ke atas permukaan Haemocytometer menggunakan
mikropipet dan ditambah metilen blue, kemudian permukaan Haemocytometer
ditutup dengan gelas objek, sehingga suspensi mengalir ke bawah kaca obyek dan
mengisi ruang hitung. Lalu jumlah konidia/spora dihitung dalam 5 kotak ukuran
sedang. Semua pekerjaan perhitungan dilakukan di bawah mikroskop binokuler
dengan perbesaran 10 x 40.
c. Viabilitas
Viabilitas (populasi mikroba yang hidup) ditentukan dengan metode plate
count pada media PDA. Dasarnya adalah dengan membuat seri pengenceran 108 -
1010 dengan 99 ml aquades dalam botol suntik, kemudian mengambil 1 ml seri
pengenceran 108-1010 menggunakan mikropipet dan menginokulasikan suspensi
ke media PDA dalam cawan petri, selanjutnya diinkubasikan selama 48 jam,
Setelah itu mengitung jumlah koloni yang hidup pada setiap cawan petri.
2. Tahap II. Aplikasi Berbagai Formulasi Metarhizium anisopliae pada
Larva Kumbang Badak
a. Mortalitas
Mortalitas dihitung dengan cara menghitung larva kumbang badak yang
mati setelah pengaplikasiian jamur Metarhizium anisopliae dari berbagai media
pebanyakan. Pengamatan dilakukan setiap hari selama dua minggu atau hingga
hama mati semua.
b. Kecepataan Kematian Larva Kumbang Badak
Pengamatan dilakukan untuk mengetahui kecepatan kematian larva
kumbang badak setelah diaplikasikan dengan jamur Metarhizium anisopliae .
17
c. Efikasi
Pengamatan dilakukan dengan membandingkan jumlah hama sebelum dan
sesudah diaplikasikan dengan Metarhizium anisopliae yaitu dengan cara
menghitung hama yang mati.
E. Parameter Pengamatan
1. Tahap I. Formulasi Metarhizium Anisopliae Pada Berbagai Macam Media
a. Pertumbuhan Miselium
Rumus menghitung berat miselia yaitu;
M = berat akhir inokulum - berat awal inokulum
b. Jumlah Spora
Jumlah spora dapat dihitung dengan rumus ;
𝑆 =𝑡. 𝑑
(𝑛 x 0,25) 𝑥 106
Keterangan :
S : Jumlah spora
t : jumlah total spora dalam kotak sampel yang diamati
d : tingkat pengenceran (ml)
n : jumlah kotak sampel (5 kotak besar x 16 kotak kecil = 80 kotak)
0,25 : Ukuran standar haemocytometer kecil (mm) (faktor koreksi
penggunaan kotak sampel skala kecil)
c. Viabilitas
Penghitungan viabilitas harus memenuhi syarat sbagai berikut;
i. Jumlah koloni dalam cawan petri antara 30-300 koloni
ii. Tidak ada kolooni yang menutupi lebih besar dari setengah luas cawan
petri (Spreader)
iii. Perbandingan jumlah koloni dan pengenceran yang berturut-turut antara
pengenceran yang lebih besar dengan pengenceran sebelumnya. Jika sama
atau lebih kecil dari 2 maka hasil dirata-rata, dan jika lebih besar dari 2
maka yang dipakai adalah jumlah koloni dari hasil pengenceran
sebelumnya
iv. Jika dengan ulangan setelah memenuhi syarat hasilnya dirata-rata
18
2. Tahap II. Aplikasi Berbagai Formulasi Metarhizium anisopliae pada
Larva Kumbang Badak
a. Mortalitas
Mortalitas dihitung dengan rumus :
𝑉 =T
n 𝑥 100%
Keterangan :
V : Kecepatan mortalitas
T : Jumlah Larva yang mati
n : Jumlah Serangga yang diujikan
b. Kecepataan Kematian Larva Kumbang Badak
Kecepataan kematian larva kumbang badak dihitung dengan rumus :
𝑉 =𝑇1𝑁1 + 𝑇2𝑁2 + 𝑇3𝑇3 + 𝑇4𝑁4 … 𝑇𝑛𝑁𝑛
𝑛
Keterangan :
V : Kecepatan mortalitas perhari
T : Hari/waktu Pengamatan
N : Jumlah Larva yang mati
n : Jumlah serangga yang diujikan
c. Efikasi
Efikasi dihitung dengan rumus;
𝐸𝑓𝑖𝑘𝑎𝑠𝑖 = 1 − [𝑇𝑎
𝐶𝑎𝑥
𝐶𝑏
𝑇𝑏] 𝑥 100 %
Keterangan :
Tb = Jumlah hama yang hidup dalam media sebelum aplikasi
Ta = Jumlah hama yang hidup dalam media sesudah aplikasi pada hari ke 4
Cb = Jumlah hama yang hidup dalam media kontrol sebelum aplikasi
Ca = Jumlah hama yang hidup dalam media kontrol sesudah aplikasi pada hari ke
4
F. Analisis Data
Data yang diperoleh dari pengamatan dalam penelitian ini dianalisis dengan
menggunakan sidik ragam (analysis of variance = ANOVA) dengan taraf α 5%.
Apabila terdapat bedanyata dari perlakuan yang dicobakan maka akan dilakukan
19
uji lanjutan menggunakan Duncan's Multiple Range Test (DMRT) dengan taraf α
5%. Data yang didapat ditampilkan dalam bentuk tabel dan grafik.
G. Jadwal Penelitian
No
. Kegiatan
Juli Agustus Sepember
1 2 3 4 1 2 3 4 1 2 3
1 Sterilisasi Alat
2 Pembuatan media
PDA
3
Perbanyakan
Inokulum M.
Anisopliae
4 Formulasi M.
Anisopliae
5
Aplikasi
Formulasi pada
Kumbang Badak
6 Pengamatan
20
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2017. Jagung. www.fatsecret.co.id. Akses 20 April 2017.
Agung-Astuti, Darmawan S.S., dan Agus P. 2005. Pengendalian hama kelapa
larva kumbang badak (Oryctes Rhinoceros L.) instar III dengan M.
anisopliae metch yang ditumbuhkan pada berbagai macam dedak gandum.
Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Yogyakarta.
Yogyakarta.http://journal.umy.ac.id/. Akses 7 Desember 2017.
Apriyaldi, R. 2015. Analisis Intensitas Serangan Hama Kumbang Tanduk
(Oryctes Rhinocero S) Pada Kelapa Sawit Di Ptpn V Sei. Galuh Kab Upaten
Kampar Provinsi Riau. Politeknik Pertanian Negeri Payakumbuh.
http://repository.politanipyk.ac.id/342/1/TA.pdf. Akses 1 Mei 2017.
Ariyanti S, Yatti D. 2015. Kandungan Bahan Organik Dan Protein Kasar Tongkol
Jagung (Zea Mays) Yang Diinokulasi Dengan Fungi Trichoderma Sp. Pada
Lama Inkubasi Yang Berbeda. Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin,
Makassar. Hal 19 – 30.
Astuti, A., Darmawan dan Rini. 2004. Uji Patogeneitas Metharizium anisopliae
metch yang ditumbuhkan pada berbagai media alami terhadap larva
kumbang badak (Oryctes Rhinoceros L.) instar III. Fakultas Pertanian
Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. Yogyakarta. 25-35 p.
Badan Pusat Statistik. 2016. Produksi Jagung Menurut Provinsi (ton), 1993-2015.
www.bps.go.id. Akses 1 Mei 2017.
Barnet, H.L dan B.N. Hunter, 1972, Illustrated Genera of Fungi Imperpecti.
Thried Edition. Burges Publishing Compan. Minnosota. Hal 90 – 96.
Desmendry E.S., Darma Bakti, dan Marheni. 2013. Penggunaan Suspensi
Baculovirus Terhadap Oryctes Rhinoceros L. (Coleoptera : Scarabaeidae) Di
Laboratorium. Jurnal Online Agroekoteknologi 1:4, September 2013 ISSN
No. 2337-6597. Fakultas Pertanian USU. http://jurnal.usu.ac.id. Akses 1
Mei 2017.
Effendi, S. dan N. Sulistiati. 1991. Bercocok Tanam Jagung. Jakarta:
CV.Yasaguna. 103 hlm.
Effendy, TA. 2010. Uji Toksisitas Bioinsektisida Jamur Metarhizium Sp.
Berbahan Pembawa Bentuk Tepung Untuk Mengendalikan Nilaparvata
Lugens (Stal.) (Homoptera: Delphacidae). FakultasPertanian Universitas
Sriwijaya Palembang. http://eprints.unsri.ac.id/. Akses 19 April 2017.
Erawati, D. N. dan Irma Wardati. 2016. Teknologi Pengendali Hayati
Metarhizium Anisopliae Dan Beauveria Bassiana Terhadap Hama Kumbang
21
Kelapa Sawit (Oryctes Rhinoceros). Politeknik Negeri Jember, Jember.
Akses 1 Mei 2017.
Fachry, A. R. Puji A. dam Tri G. P. 2013. Pembuatan Bietanol Dari Limbah
Tongkol Jagung Dengan Variasi Konsentrasi Asam Klorida Dan Waktu
Fermentasi. Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya.
http://jtk.unsri.ac.id/index.php/jtk/article/viewFile/131/129. Akses 15 juni
2017.
Gandjar, Indrawati dan Dewi S.S. 1972. Tempe Gambus Hasil Fermentasi Ampas
Tahu. ejournal.litbang.depkes.go.id/ index.php/pgm/article/download/2021
/2269. Akses 7 Mei 2017.
Gusti A.K.S., Andi K. R., dan Muhidin. 2014. Biofertilizer: Solusi Teknologi
Pengembangan Lahan Sub Optimal. Unhalu Press Kampus Hijau Bumi
Tridharma. Hal 24.
Herlinda, S., Hartono dan Chandra I. 2008. Efikasi Bioinsektisida Formulasi Cair
Berbahan Aktif Beauveria Bassiana (Bals.) Vuill. Dan Metarhizium Sp.
Pada Wereng Punggung Putih (Sogatella furcifera HORV.). Jurusan Hama
dan Penyakit Tumbuhan Faperta dan Program Pascasarjana Universitas
Sriwijaya. http://eprints.unsri.ac.id/. Akses 19 April 2017.
Indrianti, U. 2013. Makalah Ampas Tahu.
http://indryqhy.blogspot.co.id/2013/02/makalah-limbah-tahu.html. Akses 15
Juni 2017.
Jones KA and Burges HD. 1998. Technology of Formulation and Application. Di
dalam: Beneficial Microorganisms, Nematodes and Seed Treatments.
Dodnecht: Klower Academic Publisher. http://link.springer.com. Akses 6
April 2017.
Lay, B.W. 1994. Analisis Mikroba di Laboraturium. PT. Raja Grafindo Jakarta.
110 p.
Litayani, Dafrosa B. S. 2016. Aplikasi Nematoda Entomopatogen Pada Larva
Oryctes Rhinoceros L Menggunakan Tiga Variasi Dosis Yang Berbeda.
Universitas Negeri Semarang. http://lib.unnes.ac.id/25655/1
/4411412016.pdf. Akses 17 Juli 2017.
Mangoendihardjo dan Mahrud. 1970. Ilmu Hama Khusus Tanaman Keras.
Pembina Fakultas Pertanian UGM, Yogyakarta. 45-67 p.
Manurung, E. M., Maryani C. T., Lahmuddin L. Dan Hari P. 2012. Efikasi
Beberapa Formulasi Metarhizium Anisopliae Terhadap Larva Oryctes
Rhinoceros L. (Coleoptera: Scarabaeidae) Di Insektarium. Fakultas
Pertanian USU, Medan. jurnal.usu.ac.id. Akses 27 April 2017.
22
Mulyono. 2007. Kajian Patogenisitas Cendawan Metarhizium Anisopliae
Terhadap Hama Oryctes Rhinoceros L. Tanaman Kelapa Pada Berbagai
Waktu Aplikasi. Universitas Sebelas Maret Surakarta.
http://eprints.uns.ac.id/5681/1/71530607200905241.pdf. Akses 19 April
2017.
Perveen F. 2011. Pesticides-Advantages in Integrated Pest Management. Crotihia
In Tech. https://www.intechopen.com/books/insecticides-advances-in-
integrated-pest-management. Akses 29 April 2017.
Pulungan, H. dan Rangkuti, M. 1984. Ampas Tahu untuk Makanan Ternak. Warta
Penelitian dan Pengembangan Pertanian I Departemen Pertanian. Bogor
Hal. 331 –335.
Putri, R. I. Refa. 2016. Uji Patogenitas Jamur Metarhizium anisopliae Terhadap
Mortalitas Larva Oryctes rhinoceros L. Fakultas Matematika Dan Ilmu
Pengtahuan Alam., Universitas Negeri Semarang.
http://lib.unnes.ac.id/23878/1/4411412026.pdf. Akses 19 April 2017.
Rosmayuningsih, A., Bambang T.R., dan Rina R. 2014. Patogenisitas Jamur
Metarhizium anisopliae Terhadap Hama Kepinding Tanah (Stibaropus
Molginus) (Hemiptera: Cydnidae) Dari Beberapa Formulasi. Fakultas
Pertanian Universitas Brawijaya.
http://jurnalhpt.studentjournal.ub.ac.id/index.php/jhpt/article/view/86. Akses
19 April 2017.
Sarwono, B.f dan Yan Pieter S. 2006. Membuat Aneka Tahu. PT. Penebar
Swadaya. Jakarta. Hal 52-61.
Sembel, Dantje T. 2010. Pengendalian Hayati. C.V. Andi Offset. Yogyakarta. 286
hlm.
Setiawan, A. dan Retno R. 2014. Peningkatan Kualitas Biogas Limbah Cair Tahu
Dengan Metode Taguchi. Fakultas Teknik, Universitas Stikubank,
Semarang. http://jurnal.umk.ac.id. Akses 1 Juni 2017.
Sihombing, R.H., Syahrial O. dan Lahmuddin L. 2014. Uji Efektifitas Beberapa
Entomopatogen Pada Larva Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera:
Scarabaeidae) di Laboratorium. Fakultas Pertanian, USU, Medan.
http://jurnal.usu.ac.id/index.php/agroekoteknologi/article/view/8419. Akses
19 April. 2017.
Soedijanto, dan R.R.M. Sianipar. 1991. Kelapa. Yasaguna, Jakarta. Hal 162.
Sugiyanto. 2013. Upaya Pengendalian Kumbang Kelapa (Oryctes Rhinoceros) Di
Yogyakarta. Https://Www.Scribd.Com/Doc/293522144/Upaya-
23
Pengendalian-Kumbang-Kelapa-Oryctes-Rhinoceros-Di-Yogyakarta-Pdf.
Akses 20 Maret 2017.
Sulhan, Agus A., Hama Penting Tanaman Utama.
https://agusandisulhan.blogspot.co.id/. Akses 27 April 2017.
Sulistiani, 2004. Pemanfaatan Ampa Tahu dalam Pembuatan Tepung Tinggi Serat
dan Protein Sebagai Alternatif Bahan Baku Pangan Fungsional. Istitut
Pertanian Bogor, Bogor. http://repository.ipb.ac.id. Akses 1 Mei 2017.
Sunarno. 2012. Pengendalian Hayati (Biologi Control) Sebagai Salah Satu
Komponen Pengendalian Hama Terpadu (PHT). Universitas Halmahera.
http://journal.uniera.ac.id. Akses 29 April 2017.
Suryani, Ely N. dan Gohan O. M. 2016. Pemanfaatan Tongkol Jagung Sebagai
Pakan Ternak Ruminansia. http://lampung.litbang.pertanian.go.id. Akses 21
April 2017.
Susanto. 2005. Pengurangan populasi larva Oryctes rhinoceros pada system
lubang tanam besar J.Penelitian kelapa sawit April 2005. 14(1):2-3
Utari, N.M., I Putu Sudiarta Dan I Gusti Ngurah Bagus. 2015. Pengaruh Media
Dan Umur Biakan Jamur Metarhizium Anisopliae M. Terhadap Tingkat
Kematian Larva Oryctes Rhinoceros L. (Scarabaeidae ; Coleoptera).
Fakultas Pertanian, Universitas Udayana. http://erepo.unud.ac.id/3651/.
Akses 1 Juni 2017.
Wati, Rahma. 2013. Pengaruh Penggunaan Tepung Ampas Tahu Sebagai Bahan
Komposit Terhadap Kualitas Kue Kering Lidah Kucing. Fakultas Teknik
Universitas Negeri Semarang. http://lib.unnes.ac.id/19172. Akses 20 April
2017.
Wikardi, E.A, 1983, Penggunaan Baculovirus oryctes dan Metarhizium anisopliae
dalam Pengendalian Biologi Oryctes rhinoceros L. (Coleoptera;
Scarabaeidae). Balittri. Bogor. 16 hlm.
24
LAMPIRAN
A. Tahap I. Formulasi Metarhizium Anisopliae Pada Berbagai Macam
Media
1. Lay Out RAL (Rancangan Acak Lengkap) Fomulasi M. Anisopliae
Keterangan :
1. M1A = Metarhizium anisopliae dengan Carrier Ampas Tahu 2. M2T = Metarhizium anisopliae dengan Carrier Tongkol Jagung 3. M3C = Metarhizium anisopliae dengan Carrier Ampas Tahu (50%) + Tongkol
Jagung (50%)
M3C2 M1A3 M1A2
M1A1 M2T1 M2T3
M3C1 M3C3 M2T2
25
B. Tahap II. Aplikasi Berbagai Formulasi Metarhizium Anisopliae Pada
Larva Kumbang Badak
1. Lay Out RAL (Rancangan Acak Lengkap) Aplikasi formula
Keterangan;
1. MA = Formula M. anisopliae Ampas Tahu pada Larva Kumbang Badak 2. MT = Formula M.anisopliae Tongkol Jagung pada Larva Kumbang Badak 3. MC = Formula M. anisopliae Ampas Tahu (50%) + Tongkol Jagung (50%)
pada Larva Kumbang Badak
2. Lay Out Larva Kumbang Badak Pada Setiap Unit Perlakuan
M3A2
M1A3 M1A2
M1A1 M2A1 M2A3
M3A1 M3A3 M2A2