tulisan ta fa
DESCRIPTION
bukuTRANSCRIPT
BAB IPENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang
terdiri atas sekitar 17.504 buah pulau dengan panjang garis pantai sekitar
95.181 km (www.ppk-kp3k.dkp.go.id 2009) dengan kondisi fisik
lingkungan dan iklim yang beragam. Total luas wilayah Indonesia tersebut
adalah sekitar 9 juta km² yang terdiri atas 2 juta km² daratan dan 7 juta
km² lautan (Polunin, 1983). Oleh karena itu Indonesia mempunyai
ekosistem pesisir yang luas dan beragam antara lain hutan mangrove,
terumbu karang, padang lamun, dan rumput laut yang terbentang pada
jarak lebih dari 5.000 km dari timur ke barat kepulauan dan pada jarak
2.500 km dari arah utara ke selatan kepulauan.
Sebagaian besar daerah pantai Indonesia merupakan tempat
tumbuh ekosistem mangrove yang baik, sehingga mangrove merupakan
suatu ekosistem yang umum mencirikan morfologi sistem biologi pesisir di
Indonesia, yang mempunyai peranan penting dalam perlindungan
ekosistem pantai yaitu penahan abrasi, penahan amukan angin kencang,
dan penahan gelombang. Luas mangrove di Indonesia mencapai 4,25
juta hektar yang merupakan 25% dari total luas mangrove dunia
(Coremap, 2006).
Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem penting di
kawasan pesisir pantai terus mengalami tekanan di seluruh dunia. FAO
(2003) mencatat bahwa luas mangrove dunia pada tahun 1980 mencapai
19,8 juta ha, turun menjadi 16,4 juta ha pada tahun 1990, dan menjadi
14,6 juta ha pada tahun 2000. Sedangkan di Indonesia, luas mangrove
mencapai 4,25 juta ha pada tahun 1980, turun menjadi 3,53 juta ha pada
tahun 1990 dan tersisa 2,93 juta ha pada tahun 2000. Sedangkan menurut
BPDAS Tondano (2011) di Sulawesi Utara, luas hutan mangrove
mencapai 12.977 ha pada tahun 2000, turun menjadi 11.546 ha pada
1
tahun 2005. Apabila tidak diimbangi dengan kebijakan pengelolaan yang
tepat, maka ancaman degradasi mangrove menjadi semakin besar dan
dapat berpotensi terjadinya perubahaan luasan pulau serta berdampak
terhadap perubahan luasan perairan di Indonesia.
Untuk mengetahui luasan hutan mangrove, dikembangkan sistem
informasi yang berbasis teknologi tinggi dengan menggunakan sistem
penginderaan jauh melalui citra satelit yang kemudian dapat
diinterpretasikan dalam bentuk peta. Penginderaan jauh dapat
dimanfaatkan dalam pemantauan vegetasi mangrove, hal ini didasarkan
atas dua sifat penting yaitu bahwa mangrove mempunyai zat hijau daun
(klorofil) dan mangrove tumbuh di pesisir. Sifat optik klorofil sangat khas
yaitu bahwa klorofil menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan
kuat spektrum hijau (Susilo, 2000).
Kelebihan data satelit penginderaan jauh yang utama adalah
kecepatan dalam memperoleh data sehingga dimungkinkan pengukuran
real/near time, cakupan luas dapat menjangkau hampir seluruh
permukaan bumi, serta data yang diperoleh dapat berulang dengan cepat
untuk memantau daerah yang sama. Kadang-kadang sistem
penginderaan jauh dapat memberikan data spesifik yang tidak dapat
diperoleh dari sumber data lainnya, tetapi terutama penginderaan jauh
dapat digunakan untuk mengumpulkan data tanpa banyak bekerja di
lapangan (Hartono et al, 1996).
1.2 Perumusan MasalahInformasi mengenai perubahan luas ekosistem mangrove di
wilayah Kema sangatlah penting untuk diketahui sebagai bahan
pertimbangan, pengelolaan dan pelestarian terkait kerusakan mangrove
tanpa ijin yang terus terjadi menyebabkan rusaknya ekosistem pantai
sehingga proses abrasi, degradasi pantai dan ancaman terjangan
gelombang semakin besar.
2
Informasi mengenai luas dkeran penyebaran mangrove di wilayah
Kema dapat diketahui dengan pemanfaatan data penginderaan jauh yaitu
data citra Landsat-7 dan Landsat-8. Data tersebut diolah sedemikian rupa
untuk menghasilkan informasi mangrove dan non-mangrove yang ada di
wilayah penelitian. Setelah diketahui wilayah yang masuk ke dalam kelas
tutupan mangrove, dapat ditentukan luas areal, dapat dipetakan
sebarannya dan dapat diamati pola perubahan mangrove di wilayah
Kema.
Informasi mengenai kerapatan vegetasi merupakan hasil turunan
dari proses klasifikasi kelas indeks vegetasi. Kerapatan vegetasi
mangrove ini nantinya digunakan sebagai gambaran seberapa besar
kualitas mangrove yang ada. Untuk mendapatkan nilai kerapatan vegetasi
mangrove, data citra satelit yang sudah diklasifikasi dihitung nilai indeks
vegetasinya. Indeks vegetasi yang umum digunakan adalah NDVI
(Normalized Difference Vegetation Index).
1.3 Batasan MasalahPenelitian ini difokuskan pada mengidentifikasi perubahan luasan
dan kerapatan hutan mangrove dengan data penginderaan jauh yaitu data
citra Landsat-7 dan Landsat-8 secara temporal dalam periode waktu
tertentu dan acuan hasil validasi di lapangan yaitu penentuan koordinat
stasiun penelitian di Kema, Kabupaten Minahasa Utara.
1.4 Tujuan PenelitianTujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:
a. Untuk mendapatkan informasi perubahan luasan, dan
kerapatan vegetasi mangrove secara temporal yang berada di
Kema, kabupaten Minahasa Utara.
b. Untuk menganalisa mangrove sebagai pelindung pantai
terhadap gelombang.
3
1.5 Manfaat PenelitianManfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi perubahan
luasan dan kerapatan mangrove kepada pihak pemerintah terkait dan TNI
AL sebagai masukan, pengelolaan dan pelestarian, dimana TNI AL
mempunyai Peran Polisionil yaitu melindungi sumber daya alam dan
sumber daya buatan.
1.6 Tinjauan PustakaTinjauan pustaka dilakukan untuk menunjang penelitian, yang
terdiri dari teori maupun konsep dari berbagai literatur yaitu tentang
Ekosistem Pantai, Ekosistem Mangrove, Penginderaan Jauh,
penginderaan jauh untuk deteksi mangrove, indeks vegetasi, Satelit
Landsat, keadaan umum wilayah penelitian, serta jurnal hasil penelitian
terdahulu yang relevan untuk mendukung penulisan tugas akhir.
1.7 Metodologi Penelitian1.7.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan adalah analisis hasil
pengolahan citra satelit secara temporal, dan data lapangan
(ground thruthing).
1.7.2 Bahan dan AlatBahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 data
citra yaitu :
a. Data citra Landsat-7 tanggal 20-11-2000
b. Data citra Landsat-8 tanggal 30-05-2015
Selain itu peta kawasan penelitian yang digunakan sebagai peta
acuan groundtruth.
Peralatan yang digunakan berupa perangkat lunak
(Software) ErMapper v7.1, Mircosoft Office 2010, perangkat keras
4
komputer, flashdisk, printer, GPS (Global Positioning System),
Kamera Digital.
1.7.3 Metode Pengumpulan DataPengumpulan data menggunakan data primer maupun
sekunder dan pengolahan data citra.
1.7.4 Alur Penelitian
Dimana :
t1: data citra tahun 2000
t2: data citra tahun 2015
5
Data Citra Satelit (t1 & t2)
Pengolahan Data Citra Menggunakan Er Mapper
NDVI
Data Lapangan(Ground Truthing)
Analisis data dan Validasi
Peta Acuan
Penyiapan Data Citra
Peta Sebaran Mangrove dan Kerapatan Vegetasi Mangrove Analisis Mangrove
Untuk Pelindung Pantai
1.7.5 Waktu dan Tempat PenelitianLokasi penelitian di Kema, Kabupaten Minahasa Utara
dengan pengolahan data dan analisis dilaksanakan di kampus
STTAL, Dishidros, LAPAN dan Balitbang KP. Waktu penelitian
dilaksanakan selama 6 (enam) bulan, kurun waktu satu semester
terhitung mulai dari bulan Juli 2015 sampai dengan bulan
Desember 2015.
Tabel 1.1. Jadwal Kegiatan Penelitian
6
1.7.6 Lokasi PenelitianLokasi Penelitian di Kema, Kabupaten Minahasa
Utara, Sulawesi utara
Gambar 1.1. Peta Laut nomer 344 tahun 2000
skala 1: 200.000, Dishidros TNI AL.
7
Lokasi Penelitian (Ground Thruting)
BAB IIDASAR TEORI
2.1 Pantai dan EkosistemnyaSecara sederhana ekosistem dapat diartikan sebagai suatu sistem
ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup
dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan
kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan
hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem Pantai merupakan
ekosistem yang ada di wilayah perbatasan antara air laut dan daratan,
yang terdiri dari komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik
pantai terdiri dari tumbuhan dan hewan yang hidup di daerah pantai,
sedangkan komponen abiotik pantai terdiri dari gelombang, arus, angin,
pasir, batuan dan sebagainya.
Istilah pantai sering rancu dalam pemakainya antara pesisir (coast)
dan pantai (shore). Definisi pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang
masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut, dan
perembesan air laut. Sedangkan pantai adalah daerah di tepi perairan
yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Daerah
daratan adalah daerah yang terletak diatas dan dibawah permukaan
daratan dimulai dari batas garis pantai. Daerah lautan adalah daerah
diatas dan dibawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut
terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. Garis pantai
adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana
posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai pasang surut air laut dan
erosi yang terjadi. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang
pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan
kelestarian fungsi pantai.
8
Gambar 2.1. Daerah Pantai
Ekosistem pantai dipengaruhi oleh siklus harian pasang surut laut.
Di daerah pasang surut sendiri dapat terbentak hutan, yaitu hutan
mangrove. Hutan mangrove biasanya sangat sukar ditempuh manusia
karena banyaknya akar dan dasarnya terdiri atas lumpur. Bila tanah di
daerah pasang surut berlumpur, maka kawasan ini berupa hutan bakau
yang memiliki akar napas. Akar napas merupakan adaptasi tumbuhan di
daerah berlumpur yang kurang oksigen. Selain berfungsi untuk
mengambil oksigen, akar ini juga dapat digunakan sebagai penahan dari
pasang surut gelombang. Yang termasuk tumbuhan di hutan bakau antara
lain Nypa, Acathus, Rhizophora, dan Cerbera. Jika tanah pasang surut
tidak terlalu basah, pohon yang sering tumbuh adalah: Heriticra,
Lumnitzera, Acgicras, dan Cylocarpus.
2.2 Hutan Mangrove dan Ekosistemnya Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis
mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae 1968 dalam Khazali, 2006).
Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas
tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk
individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.
Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk
menyatakan individu spesies tumbuhan, dan kata mangal untuk
menyatakan komunitas tumbuhan tersebut.
9
Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis
tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis
yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung
garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob.
Adapun menurut Aksornkoae (1993), hutan mangrove adalah tumbuhan
halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang
tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang
tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.
Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat
didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang
surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang
tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut
yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan
ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme
(tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan factor lingkungan dan
dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove.
Hutan mangrove biasa ditemukan disepanjang pantai daerah tropis
dan subtropis, antara 32⁰Lintang Utara dan 38⁰ Lintang Selatan. Hutan
mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan
fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara
batas air pasang dan surut. Hutan mangrove tumbuh subur dan luas
didaerah delta dan aliran sungai yang besar dengan muara sungai yang
lebar.
Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies
dengan klasifikasi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua
tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam.
Tanaman yang mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan
terkena fluktuasi pasang surut. Tanaman tersebut mempunyai
kemampuan untuk reproduksi dengan mengembangkan buah vivipar yang
bertunas (seed germination) semasa masih berada pada pohon induknya
(Murdiyanto, 2003).
10
Adaptasi pohon mangrove terhadap kondisi tanah yang berlumpur
dan sedikit oksigen adalah dengan membentuk sistem perakaran yang
dapat berfungsi sebagai akar nafas (pneumatofora) dan penunjang
tegaknya pohon. Bentuk sistem perakaran pada pohon mangrove terdapat
tiga jenis, yaitu akar lutut (knee roots), akar pasak, dan akar tunjang (still
roots). Akar pasak terdapat pada jenis Sonneratia spp, Avicennia spp, dan
kadang-kadang pada Xylocarpus moluccensis. Sedangkan akar lutut dan
akar tunjang, masing-masing terdapat pada jenis Bruguiera spp. dan
Rhizophora spp (Istomo, 1992 dalam Budi, 2000).
Gambar 2.2. Bentuk-bentuk Akar Nafas Pohon Mangrove.
Vegetasi mangrove memiliki zonasi sesuai dengan karakter
habitatnya. Zonasi mangrove dicirikan dengan adanya suatu jenis spesies
mangrove tertentu yang menempati lokasi-lokasi tertentu. Terbentuknya
zonasi dan dominasi spesies bergantung pada tingkat genangan dan
frekuensi penggenangan gelombang pasang-surut, tingkat salinitas,
karakteristik tanah, dan percampuran air tawar dengan air laut.
Di pantai yang terbuka, vegetasi mangrove yang dominan adalah
komunitas pioner seperti Avicennia dan Sonneratia. Kemudian diikuti
berturut-turut dari laut ke darat jenis Rhizophora dan Bruguiera.
11
Akar Banir Akar Pasak
Akar TunjangAkar Lutut
Tumbuhan bawahnya didominasi oleh jenis Acrostichum aureum dan
Acanthus illicifolius (DEPHUT, 1995). Sedangkan Watson (1928) dalam
Hilmi dan Kusmana (1999) bahwa hutan mangrove dapat dibagi menjadi
lima zonasi berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu: (1) zonasi yang
terdekat dengan laut didomonasi oleh Avicennia spp. Dan Sonneratia
spp.; (2) zonasi yang tumbuh pada tanah cukup kuat dan dicapai air
didominasi oleh Bruguiera cylindrica; (3) zonasi pada tanah yang agak
basah dan lumpur yang dalam didominasi oleh Rhizophora mucronata; (4)
zonasi yang didominasi oleh Bruguiera parviflora; dan (5) zonasi paling
belakang yang didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza.
Gambar 2.3. Zonasi Vegetasi Mangrove.(sumber: Bengen, 2004)
Sebagai sebuah ekosistem yang berada di antara darat dan laut,
mangrove memiliki fungsi ekologis yang penting. Fungsi ekologis ini dapat
ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya aspek fisik, kimia, dan biologis.
Aspek fisik meliputi kemampuannya meredam gelombang laut, menahan
lumpur, dan melindungi pantai dari abrasi. Bila ditinjau dari aspek kimia,
mangrove memiliki peranan sebagai penyerap unsur-unsur pencemar,
sebagai sumber energi, dan sebagai produsen bahan organik. Sedangkan
dari aspek biologis, mangrove sangat penting sebagai tempat memijah,
mencari makan, berlindung, dan berkembangnya berbagai biota (TNC dan
12
P4L, 2003; Pramudji, 2001). Selain itu, mangrove juga memiliki potensi
sebagai kawasan wisata berwawasan lingkungan. Di beberapa negara,
kawasan mangrove dikelola secara lestari sebagai salah satu tujuan
wisata pendidikan seperti di Malaysia, Australia, dan Indonesia.
Di dunia, dikenal banyak jenis tumbuhan mangrove. Tercatat telah
dikenali sebayanak 24 famili dan antara 54 samapai 75 spesies,
tergantung ahli mangrove yang mengidentifikasinya (Tomlinson, 1986 and
Field, 1995 dalam Murdiyanto, 2003). Di Indonesia disebutkan memiliki
sebanyak 89 jenis pohon mangrove atau menurut FAO (1985) dalam
Murdiyanto (2003) terdapat sebanyak 37 jenis. Dari berbagai jenis
mangrove tersebut, yang hidup di daerah pasang surut, tahan air garam
dan berbuah vivipar terdapat sekitar 12 famili. Sedangkan, jenis mangrove
yang banyak ditemukan antara lain jenis api-api (Avicennia sp.), bakau
(Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.) dan pedada (Sonnetaria sp).
Gambar 2.4. Siklus Hidup Mangrove (Sumber: Kesemat, 2009)
13
Untuk bisa bertahan dan berkembang menyebar di kondisi alam
yang keras, jenis-jenis bakau sejati mempunyai cara yang khas yaitu
mekanisme reproduksi dengan buah yang disebut vivipara. Seperti yang
dilihat pada gambar 2.4 Cara berbiak vivipar adalah dengan menyiapkan
bakal pohon (propagule) dari buah atau bijinya sebelum lepas dari pohon
induk. Mangrove menghasilkan buah yang mengecambah, mengeluarkan
akar sewaktu masih tergantung pada ranting pohon dan berada jauh di
atas permukaan air laut. Bijinya mengeluarkan tunas akar tunjang sebagai
kecambah sehingga pada waktu telah matang dan jatuh lepas dari tangkai
nanti, telah siap untuk tumbuh. Buah ini akan berkembang sampai tuntas,
siap dijatuhkan ke laut untuk dapat tumbuh menjadi pohon baru. Bakal
pohon yang jatuh dapat langsung menancap di tanah dan tumbuh atau
terapung-apung terbawa arus, sampai jauh dari tempat pohon induknya,
mencari tempat yang lebih dangkal. Setelah matang dan jatuh ke dalam
air, bakal pohon bakau ini terapung-apung sampai mencapai tepi yang
dangkal. Pada saat menemukan tempat dangkal, posisi bakal pohon
menjadi tegak vertikal, kemudian menumbuhkan akar-akar, cabang dan
daun-daun pertamanya. Pertumbuhan mangrove tergolong lambat ± 1
meter pertahun tergantung dari faktor yang mempengaruhi seperti
gerakan gelombang yang minimal agar jenis tumbuhan mangrove dapat
menancapkan akarnya, salinitas payau (pertemuan air laut dan tawar),
Endapan Lumpur dan zona intertidal (pasang surut) yang lebar.
Mangrove dapat berkembang di habitat dengan ciri-ciri seperti yang
dikemukakan oleh Bengen (2001), sebagai berikut:
a. Tumbuh pada daerah intertidal yang tanahnya berlumpur
atau berpasir.
b. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai,
mata air atau air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas
menambahpasokan unsur hara dan lumpur.
14
c. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut
yang kuat. Air payau dengan salinitas 2-22 ppm atau asin dengan
salinitas mencapai 33 ppm.
2.3 Peranan Mangrove Bagi Ekosistem Pantai 2.3.1 Mangrove dan Tsunami
Mangrove sebagai Sea Wall alami untuk perlidungan alami pantai
untuk mempertahankan luasan pulau dari abrasi pantai dan hempasan
gelombang akibat dampak bencana tsunami. Semua tipe hutan mangrove
mampu untuk meredam energi dan kekuatan tsunami, mengurangi
kecepatan dan dalamnya aliran, dan membatasi wilayah penggenangan.
Hutan-hutan mangrove yang alami, sehat dan utuh memberikan
perlindungan yang baik bagi wilayah pesisir.
Kerapatan pohon dan sistem perakaran mangrove yang
berkembang di atas permukaan tanah (stilt root, knee root, plunk root,
pneumatophore), khususnya yang membentuk cable root system dapat
memproteksi garis pantai sehingga tidak terjadi abrasi dari terjangan
gelombang arus laut karena adanya penyerapan energi gelombang dan
pengurangan kecepatan arus oleh perakaran mangrove tersebut. Hutan
mangrove berumur enam tahun dengan lebar 1,5 km dapat mengurangi
tinggi gelombang setinggi 1 m di laut lepas menjadi hanya setinggi 0,05 m
di pantai. (Mazda et.al. 1997 a; Saenger 1982).
2.3.2 Mangrove dan Angin KencangMangrove mampu melindungi dari tiupan angin kencang. Fractional
drag di atas kanopi mangrove adalah jauh lebih tinggi dibandingkan di
atas permukaan air, sehingga semakin ke arah mangrove pedalaman
kecepatan angin semakin berkurang. Saenger (1982) melaporkan bahwa
mangrove yang tersusun oleh tegakan pohon dengan tinggi 3 – 5 m hanya
sedikit mengalami kerusakan (1% dari jumlah pohon) akibat tiupan angin
topan.
15
2.3.3 Mangrove dan SedimentasiHutan mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari
sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai. Erosi di pantai Marunda,
Jakarta yang tidak bermangrove selama dua bulan mencapai 2 m,
sementara yang berbakau hanya 1 m (Sediadi, 1991). Dalam kaitannya
dengan kecepatan pengendapan tanah di hutan mangrove, Anwar (1998)
dengan mengambil lokasi penelitian di Suwung Bali dan Gili Sulat
Lombok, menginformasikan laju akumulasi tanah adalah 20,6 kg/m2/th
atau setara dengan 14,7 mm/th (dominasi Sonneratia alba); 9 kg/m2/th
atau 6,4 mm/th (dominasi Rhizophora apiculata); 6 kg/m2/th atau 4,3
mm/th (bekas tambak); dan 8,5 kg/m2/th atau 6 mm/th (mangrove
campuran). Dengan demikian, rata-rata akumulasi tanah pada mangrove
Suwung 12,6 kg/m2/th atau 9 mm/th, sedang mangrove Gili Sulat 8,5
kg/m2/th atau 6 mm/th. Data lain menunjukkan adanya kecenderungan
terjadinya pengendapan tanah setebal antara 6 sampai 15 mm/ha/th atas
kehadiran mangrove. Informasi semacam ini sangat diperlukan guna
mengantisipasi permasalahan sosial atas lahan timbul di kemudian hari.
2.3.4 Mangrove dan Blue CarbonMangrove sebagai penyerab karbon. Karbon Biru adalah karbon
yang diserap ekositem pantai dan laut. Menurut Andreas A. Hutahaean,
2013, Dari ekosistem padang lamun (seagrass) dan mangrove saja,
Indonesia mampu menyerap 138 juta ton karbon per tahun. Penyerap
karbon biru adalah ekosistem mangrove, rawa payau dan padang-lamun.
Karbon yang diserap dan disimpan oleh organisme lingkungan laut ini
tersimpan dalam bentuk sedimen. Karbon tersebut dapat tertimbun tidak
hanya selama puluhan tahun atau ratusan tahun (seperti halnya karbon di
ekosistem hutan) tetapi selama ribuan tahun.
16
2.4 Penginderaan JauhPenginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh
informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data
yang diperoleh dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung
dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer,
1979 dalam Solichia, 2011).
2.4.1 Sistem Penginderaan Jauh
Gambar 2.5. Sistem Penginderaan Jauh (Sutanto,1986)
2.4.2 LandsatLandsat-1 merupakan satelit pengamat permukaan bumi (earth
observation sattelite/EOS) pertama yang diluncurkan AS pada tahun
1972. Kemampuannya dalam mengamati permukaan bumi jauh dari ruang
angkasa telah diakui. Setelah Landsat-1, Landsat-2, 3, 4, 5 dan 7
diluncurkan. Landsat-7 masih digunakan sampaim sekarang sebagai
satelit utama
(sumber: http://landsat.usgs.gov/images/squares/timeline.jpg)
Gambar 2.6. Perkembangan citra satelit Landsat
17
Landsat-7 berhasil diluncurkan pada 15 April 1999 dari markas
angkatan udara Vanderburg. Landsat-7 memiliki berat sekitar 5.000 pound
dan mengorbit Bumi pada ketinggian 705 km. Orbita satelit diprogram
dengan siklus 16 hari sesuai Landsat Worlwide Reference System.
Landsat-7 dilengkapi dengan sensor Enhanched Thematic Mapper Plus
(ETM+) yang merupakan penerus dari sensor TM pada Landsat-5 (SIC,
2001-2010).
(sumber:http://science.nasa.gov/media/medialibrary/2010/03/31/landsat_7.gif)
Gambar 2.7. Konfigurasi Satelit Landsat-7
Sensor ETM+ tidak jauh berbeda dengan sensor TM. Prinsip
pengamatan spektral menggunakan tujuh band spektral dengan
penembahan pankromatik band-8 dengan resolusi 15x15 m².
Satelit Landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land
Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal
sebanyak 11 buah. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9)
berada pada OLI dan 2 lainnya (band 10 dan 11) pada TIRS. Sebagian
besar kanal memiliki spesifikasi mirip dengan Landsat-7. Dibandingkan
versi-versi sebelumnya, Landsat-8 memiliki beberapa keunggulan
khususnya terkait spesifikasi band-band yang dimiliki maupun panjang
rentang spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap.
Sebagaimana telah diketahui, warna objek pada citra tersusun atas 3
warna dasar, yaitu Red, Green dan Blue (RGB). Dengan makin
18
banyaknya band sebagai penyusun RGB komposit, maka warna-warna
obyek menjadi lebih bervariasi.
Gambar 2.8. Landsat-8 (Sumber : USGS)
Terkait resolusi spasial, Landsat-8 memiliki kanal-kanal dengan
resolusi tingkat menengah, setara dengan kanal-kanal pada Landsat-5
dan 7. Umumnya kanal pada OLI memiliki resolusi 30 m, kecuali untuk
pankromatik 15 m. Dengan demikian produk-produk citra yang dihasilkan
oleh Landsat-5 dan 7 pada beberapa dekade masih relevan bagi studi
data time series terhadap Landsat-8.
Tabel 2.1 Karakteristik Landsat-7 dan Landsat-8Sistem Landsat-7 Landsat-8
Orbit 705 km, 98,2o, sun-synchronous, 10:00 AM
705 km, 98,2o, sun-synchronous, 10:00 AM
Crossing, Rotasi 16 hari (repeat cycle) 16 hari (repeat cycle)
Sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper)
Operating Land Imagery (OLI)
Swath Width 185 km (FOV=15o) 185 km (FOV=15o)Off-track viewing Tidak tersedia Tidak tersedia
Revisit Time 16 hari 16 hari
Resolusi spasial
15 m (pankromatik), 30 m (multispektral), 60 m (termal)
15 m (pankromatik), 30 m (multispektral), 100 m (termal)
(Sumber: NASA, 2010).
19
2.5 Penginderaan Jauh untuk Deteksi MangroveKemampuan teknologi inderaja untuk menghasilkan informasi objek
dari jarak jauh melalui deteksi gelombang elektromagnetik memungkinkan
untuk memperoleh informasi suatu daerah yang terpencil sekalipun.
Aplikasi penginderaan jauh multispektral mangrove meliputi perkiraan
jumlah, kerapatan, dan distribusi vegetasi. Penginderaan jauh dapat
dimanfaatkan dalam pemantauan vegetasi mangrove, hal ini didasarkan
atas dua sifat penting yaitu bahwa mangrove mempunyai zat hijau daun
(klorofil) dan mangrove tumbuh di pesisir. Sifat optik klorofil sangat khas
yaitu bahwa klorofil menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan
kuat spektrum hijau (Susilo, 2000).
2.6 Indeks VegetasiIndeks vegetasi merupakan salah satu peubah baru yang
berhubungan dengan pertumbuhan tanaman yang diturunkan dari
beberapa reflektansi saluran spektral. Beberapa indeks vegetasi
berhubungan erat dengan parameter fisik tanaman yang penting sehingga
dapat digunakan untuk menduga indeks luas daun, persentase penutupan
lahan, tinggi tanaman, biomassa hijau dan populasi/kerapatan tanaman.
Beberapa diantaranya mampu menghilangkan atau setidaknya
memperkecil gangguan radiometrik pada suatu liputan, dan memperkecil
perbedaan radiometrik antar liputan dan antar sensor, sehingga
memungkinkan pengintegrasian data spektral yang dikumpulkan pada
waktu berbeda dan oleh sensor yang berbeda.
Indeks vegetasi yang umum digunakan adalah normalised
difference vegetation index (NDVI). Formula untuk menghitung nilai NDVI
adalah:
NDVI = (kanal NIR – kanal Red) / (kanal NIR + kanal Red)
20
Nilai NDVI mempunyai rentang -1 hingga 1. Nilai yang mewakili
vegetasi pada rentang 0,1 hingga 0,8 menggambarkan tingkat kesehatan
tutupan vegetasi. Data dari bermacam sensor satelit yang dapat
digunakan dalam formulasi ini, antara lain:
* Landsat TM/ETM – kanal 3 (0,63-0,69 µm) dan 4 (0,76-0,90 µm)
* NOAA AVHRR – kanal 1 (0,58-0,68 µm) dan 2 (0,72-1,0 µm)
* Terra MODIS – kanal 1 (0,62-0,67 µm) dan 2 (0,841-0,876 µm)
* SPOT – kanal 1 (0,49-0,61 µm) dan 2 (0,61-0,68 µm)
Menurut Schowengerdt, 1997 dalam Arhatin, 2007 menyebutkan
bentuk sederhana dari rasio antara kanal near-infrared dan red adalah
Ratio Vegetation Index (RVI) = NIR/Red dan Normalised Difference
Vegetation Index (NDVI) = (NIR-red)/(NIR+Red) dengan nilai indeks
vegetasi tinggi memberi gambaran bahwa di areal yang diamati memiliki
tingkat kehijauan tinggi, seperti areal hutan rapat dan lebat. Sebaliknya
nilai indeks vegetasi yang rendah mengindikasikan bahwa di areal
tersebut memiliki tingkat kehijauan yang rendah atau lahan vegetasi
rendah atau kemungkinan bukan objek vegetasi.
Penggunaan NDVI untuk analisis vegetasi sudah cukup banyak
dilakukan. Beberapa peran penting NDVI adalah dalam pendugaan
pertukaran CO dari tanaman selama masa pertumbuhan, monitoring
tanaman pertanian, pendugaan hubungan antara klorofil daun dan nilai
reflektannya, pendugaan klorosis yang terjadi pada daun tanaman
terganggu dengan yellowness index dan dalam pengukuran fluks suhu
tanah atau radiasi tanah.
21
BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Lokasi PenelitianPengumpulan data lapangan dilakukan pada bulan Mei 2015,
Sedangkan data digital berupa data satelit dikumpulkan dalam rentang
waktu bulan Juni 2015 sampai dengan bulan Juli 2015. Kegiatan
pengolahan data dilakukan di LAPAN. Lokasi yang dipilih untuk penelitian
ini adalah di Kema, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.
Gambar 3.1. Peta lokasi penelitian (ground thruting)
22
Penelitian lapangan (ground thruting) dilakukan pada tanggal 27
April - 3 Mei 2015 di lokasi yang berada di Kema, Kabupaten Minahasa
Utara dengan mengambil titik koordinat stasiun sampling mangrove.
3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data citra
Landsat-7 path/row 111/059 tahun 2000 dan data citra Landsat-8 tahun
2015 dengan spesifikasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.1. Selain
itu, Peta laut Digital Kawasan penelitian yaitu Peta Laut nomer 344 tahun
2000 skala 1: 200.000 Dishidros TNI AL, digunakan sebagai peta acuan
area kerja.
Tabel 3.1. Citra Landsat yang digunakan
NO Kode Perekaman Jenis Citra Tahun
1 L7111059_20001120INCAS Landsat-7 2000
2 LC81110592015150DKI00 Landsat-8 2015
Peralatan yang digunakan berupa perangkat lunak (Software)
ErMapper v7.1, Mircosoft Office 2010, perangkat keras komputer,
flashdisk, printer, GPS (Global Positioning System), Kamera Digital.
.
3.3 Data dan Informasi yang Diperlukan Data dan informasi yang diperlukan pada penelitian ini adalah:
a. Data hasil pengolahan citra satelit Landsat, yaitu:
1) Nilai indeks vegetasi (NDVI) area mangrove.
2) Peta klasifikasi penutupan lahan (mangrove dan non-
mangrove) kawasan penelitian.
3) Peta sebaran dan kerapatan vegetasi mangrove.
b. Data hasil penelitian lapangan berupa koordinat groundtruth
atau lokasi sampling mangrove
c. Data pendukung yaitu Foto lokasi mangrove.
23
3.4 Metode PenelitianUntuk memperoleh hasil sebaran dan luasan mangrove serta
kerapatan vegetasi mangrove diperlukan beberapa tahap. Langkah –
langkah pengolahan data citra Satelit Landsat-7 dan Landsat-8 untuk
mendapatkan informasi luasan dan kerapatan mangrove pada daerah
penelitian disajikan pada Gambar 3.2.
dimana, t1: data citra tahun 2000
t2: data citra tahun 2015
Gambar 3.2. Alur pengolahan data
24
Pengkelasan kerapatan Mangrove (rendah, sedang, tinggi)
NDVI
Koreksi Radiometrik dan Geometrik
Digitasi Pemisahan Ekosistem Mangrove dan Non Mangrove
Menghitung Luas Sebaran dan Kerapatan Vegetasi
Mangrove
Croping Lokasi Penelitian
Penentuan Threshold Memisahkan Mangrove Dari Air dan Lahan Terbuka
Citra Landsat-7 (t1) dan Landsat-8 (t2))
Peta Sebaran Mangrove dan Peta Kerapatan Vegetasi Mangrove
Kerapatan Vegetasi Mangrove (t1 dan t2)
mangrove Data Lapangan(Ground
Truthing)
Analisis Data dan Validasi
Analisis Mangrove Untuk Pelindung
Pantai
3.4.1 Penyiapan CitraLangkah pertama dalam pengolahan citra adalah mengimport data
satelit yang digunakan ke dalam format ER Mapper. Dua bentuk utama
data yang diimport ke dalam ER Mapper adalah data raster dan data
vektor. Data raster adalah tipe data yang menjadi bahan utama kegiatan
pengolahan citra. Contoh data raster adalah citra satelit dan foto udara.
Pada saat mengimport data raster, ER Mapper membuat dua files yaitu:
file data binary yang berisikan data raster dalam format BIL tanpa
ekstension dan file header dalam format ASCII dengan extension .ers.
Data vektor adalah data yang tersimpan dalam bentuk garis, titik dan
polygon. Contoh data vector adalah data yang dihasilkan dari hasil
digitasi. Sistem proyeksi yang digunakan adalah koordinat UTM; Spheroid
dan Datum WGS84; UTM Zona 51; dan lintang utara.
Untuk mengidentifikasi hutan mangrove dengan data citra satelit
Landsat-7 ETM+ mengacu pada eskplorasi citra komposit RGB-453.
Sedangkan pada citra satelit Landsat-8 digunakan komposit RGB-564 di
mana ketiga band tersebut termasuk dalam kisaran spektrum tampak dan
inframerah - dekat dan mempunyai panjang gelombang yang sesuai
dengan panjang gelombang band 4, band 5 dan band 3 pada citra satelit
landsat-7 ETM+. Tabel 3.2 adalah perbandingan spesifikasi band pada
Landsat-7 ETM+ dan Landsat-8.
Tabel 3.2. Perbandingan Spesifikasi Band Landsat-7 dan Landsat-8
(Sumber : NASA, 2008)
L7 ETM+ Bands LDCM OLI/TIRS BandBand Spesifikasi Band Spesifikasi
Band 1 Coastal/Aerosol, (0.433 – 0.453 µm), 30
Band 1 Blue, (0.450 – 0.515 µm), 30 m Band 2 Blue, (0.450 – 0.515 µm), 30 m
Band 2 reen, (0.525 – 0.605 µm), 30 m Band 3 Green, (0.525 – 0.600 µm), 30 m
Band 3 Red, (0.630 – 0.690 µm), 30 m Band 4 Red, (0.630 – 0.680 µm), 30 m
Band 4Near-Infrared, (0.775 – 0.900 µm), 30
Band 5 Near-Infrared, (0.845 – 0.885 µm), 30 m
25
Band 5SWIR 1, (1.550 – 1.750 µm), 30 m
Band 6 SWIR 1, (1.560 – 1.660 µm), 30 m
Band 7SWIR 2, (2.090 – 2.350 µm), 30 m
Band 7 SWIR 2, (2.100 – 2.300 µm), 30 m
Band 8 pan, (0.520 – 0.900 µm), 15 m Band 8 Pan, (0.500 – 0.680 µm), 15 m
Band 9 Cirrus, (1.360 – 1.390 µm), 30 m
Band 6 LWIR, (10.00– 12.50 µm), 15 m Band 10 LWIR 1, (10.3 – 11.3 µm), 100 m
Band 11 WIR 2, (11.5 – 12.5 µm), 100 m
Sebelum pemrosesan data dilakukan pemotongan (cropping) data
citra Landsat-7, dan Landsat-8 sehingga diperoleh data sesuai dengan
daerah yang diteliti.
3.4.2 Koreksi Geometrik Koreksi Geometrik adalah koreksi posisi citra akibat kesalahan
yang disebabkan oleh konfigurasi sensor, perubahan ketinggian, posisi
dan kecepatan wahana. Koreksi geometrik dilakukan untuk mengurangi
kesalahan yang disebabkan oleh gerak sapuan penjelajah dan satelit,
gerak perputaran dari bumi dan faktor kelengkungan bumi yang
mengakibatkan pergeseran posisi terhadap system koordinat referensi.
Dalam hal ini proses koreksi geometrik dilakukan dengan
mentransformasikan posisi setiap piksel yang ada di citra terhadap posisi
obyek sama dipermukaan bumi dengan memakai beberapa titik kontrol
tanah (Sukojo dan Kustarto 2002).
Tujuan dilakukannya koreksi geometrik adalah untuk menyamakan
posisi piksel-piksel dari data citra Landsat yang dianalisis, sekaligus
memperbaiki piksel-piksel tersebut dari distorsi yang mungkin terjadi.
3.4.3 Koreksi RadiometrikKoreksi radiometrik adalah proses untuk meningkatkan akurasi dari
reflektansi (pantulan) permukaan bumi, emisi dan hamburan yang
diperoleh dari sistem penginderaan jauh. Koreksi error sensor, koreksi
sudut dan jarak matahari, koreksi topografi dan koreksi atmosferik.
26
Tujuan dari koreksi radiometrik adalah untuk memperbaiki nilai
piksel pada data menjadi radian atau reflektansi yang sebenarnya “true”
dari objek di permukaan bumi (Sukojo dan Kustarto 2002). Dalam
penelitian ini koreksi radiometrik yang digunakan untuk memperbaiki citra
akibat distorsi dari gangguan atmosfer dengan metode memperbaiki
reflektansi obyek yang diterima oleh satelit dengan mengkonversi nilai
digital number (DN) citra ke spectral yang dipancarkan obyek yang
disebut TOA.
Metode koreksi radiometrik TOA adalah untuk mendukung proses
klasifikasi obyek yang mempunyai karakteristik reflektansi yang berbeda
pada setiap obyek yang berbeda dan koreksi nilai digital dari obyek yang
kenampakannya dipengaruhi oleh sudut matahari. Koreksi radiometrik
diperlukan karena belum adanya system remote sensing yang sempurna
(sensor pada system remote sensing tidak dapat merekam seluruh
fenomena pada atmosfir, daratan dan lautan yang sangat komplek).
Terdapat dua sumber kesalahan dalam koreksi radiometrik, yaitu:
a. Internal errors yang disebabkan oleh system remote
sensing. Pada umumnya sistematis (dapat diprediksi). Sehingga
memungkinkan untuk diidentifikasi dan diperbaiki dengan
menggunakan hasil kalibrasi (sebelum peluncuran dan periodik),
missal: striping.
b. External errors yang disebabkan oleh berbagai fenomena
yang terjadi di alam meliputi ruang dan waktu. Factor External yang
disebabkan error pada data meliputi: gangguan atmosfir, kondisi
terrain permukaan bumi, viewing geometry dll. Umumnya diperbaiki
dengan hubungan empiris antara nilai sensor dengan pengukuran
lapangan.
27
Dalam penelitian ini, koreksi radiometrik dilakukan 2 tahap, yaitu
konversi ke dalam TOA reflektansi dan koreksi TOA reflektansi dengan
menggunakan sudut matahari:
a. Koreksi ke dalam TOA reflektansi
Data OLI band juga dapat dikonversi ke TOA reflektansi
dengan menggunakan skala koefisien yang tersedia dalam produk
file metadata (MTL file). Persamaan berikut digunakan untuk
mengubah nilai Digital Number (DN) ke TOA reflektansi untuk data
OLI :
ρλ' = MρQcal + Aρdimana:
ρλ ' = TOA reflektansi, tanpa koreksi untuk sudut matahari.
Mρ = REFLECTANCE_MULT_BAND_x, di mana x adalah
nomor Band.
Aρ = REFLECTANCE_ADD_BAND_x, di mana x adalah nomor
Band.
Qcal = Nilai digital number (DN).
b. Koreksi TOA reflektansi dengan menggunakan sudut
matahari
Koreksi dengan menggunakan sudut matahari dilakukan
dengan memasukkan nilai dari sun elevation yang di dapat dari
tabel metadata. Berikut adalah rumus dari TOA reflektansi dengan
sudut matahari:
ρλ= ρλ'/(cos(θSZ))=ρλ'/(sin(θSE))dimana:
ρλ = TOA reflektansi
θSE = sun elevation
θSZ = sudut zenith matahari , θSZ = 90° - θSE
= 90° - 48,92714932
= 41,07285068
28
3.4.4 Penentuan Area Mangrove dan Non-MangroveMangrove dapat diidentifikasi dengan menggunakan teknologi
penginderaan jauh, dimana letak geografi hutan mangrove yang berada
pada daerah peralihan darat dan laut dapat terlihat jelas dari citra yang
sudah dikombinasikan setiap bandnya sehingga penentuan mangrove dan
non-mangrove dapat di teliti dengan mendigitasi metode poligon.
3.4.5 Analisis Indek Vegetasi Untuk menghitung nilai indek vegetasi mangrove digunakan
metode rasio band Inframerah dekat (NIR) dan band merah. Indeks
vegetasi yang digunakan adalah normalised difference vegetation index
(NDVI). Formula untuk menghitung nilai NDVI adalah :
NDVI = (kanal NIR – kanal Red) / (kanal NIR + kanal Red)dimana, NIR = Near Infra Red ( infra merah dekat)
R = Red (merah)
Kanal infra merah dekat mempunyai pantulan tinggi (penyerapan
rendah) terhadap objek vegetasi dan kanal merah memiliki pantulan
rendah (penyerapan tinggi) terhadap objek vegetasi. Perbedaan pantulan
diantaranya keduanya sangat kontras sehingga berguna untuk
menentukan indek kerapatan dan luas vegetasi. Nilai index mempunyai
rentang -1 hingga 1.
3.4.6 Penentuan Threshold dan Kelas KerapatanThresholding merupakan salah satu teknik segmentasi yang baik
digunakan untuk citra dengan perbedaan nilai intensitas yang signifikan
antara objek utama dan objek lain (Katz, 2000 dalam Johan 2015 ). Dalam
pelaksanaannya Threshold membutuhkan suatu nilai yang digunakan
sebagai nilai pembatas antara objek utama (mangrove) dengan objek lain
(non mangrove) dari tiap-tiap piksel data citra yang diteliti.
29
Untuk menentukan nilai kerapatan tajuk mangrove menggunakan
hasil dari perhitungan NDVI. Kemudian nilai kelas NDVI tersebut
diklasifikasi ulang (reclass) menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu kerapatan rendah,
sedang dan tinggi. Perhitungan interval kelas kerapatan berdasarkan
rumus sebagai berikut (Setiawan, 2013):
KI = (xt - xr) / kDimana KI adalah kelas interval, xt adalah nilai tertinggi, xr adalah nilai
terendah dan k adalah jumlah kelas yang diinginkan.
3.4.7 Survei LapanganSurvei lapangan adalah suatu aktivitas atau kegiatan penelitian
yang dilakukan untuk mendapatkan suatu kepastian informasi dengan
cara mengambil data dilapangan yang diperlukan untuk penelitian yang
akan dianalisa. Kegiatan survei lapangan di daerah penelitian di Kema
yaitu pengambilan data lapangan berupa pengambilan titik koordinat
stasiun ground thruting, pengambilan gambar ekosistem mangrove.
3.4.8 Analisis DataUntuk mendapatkan perubahan dari suatu informasi sebaran dan
kerapatan vegetasi mangrove diperlukan teknik overlay dua data dari data
citra tahun 2000 dan data citra tahun 2015 yang telah diolah sehingga
menghasilkan luasan mangrove dan kerapatan vegetasi mangrove.
30
BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Luas wilayah Kabupaten Minahasa Utara sebesar 1.261 km² luas
lautan dan luas daratan 1.059.244 km² dengan garis pantai sepanjang
292,20 km yang terbagi pada 10 kecamatan, diantaranya adalah
kecamatan Kema luas wilayahnya 78,755 km² dengan panjang garis
pantai sepanjang 20 km. Tipe iklim diwilayah ini yaitu iklim tropis yang
cenderung basah yang dipengaruhi oleh angin muson dimana pada bulan
Mei – Oktober yaitu musim kemarau. Bulan November sampai dengan
April dipengaruhi oleh angin barat yang membawa hujan. Angka curah
hujan rata-rata setiap tahun berkisar 2.000 – 3.000 mm dengan jumlah
hari hujan 90-130 hari per tahun, suhu udara rata-rata 26,2 C dengan
suhu terendah 25,7 C, suhu tertinggi 27,1 C. Kondisi pantai yang
ditumbuhi mangrove rata-rata berpasir hitam dan bersedimen rata-rata 90
cm.
4.1.2 Proses Data CitraCitra yang sudah dikonversi masih terdiri dari file-file tiap band
yang terpisah (Lampiran A). Setiap band tersebut memiliki fungsi masing-
masing dalam menampilkan karateristik suatu objek liputan. Band-band
tersebut perlu untuk disatukan agar dapat dilakukan analisis multi-band
pada data citra. Citra yang terdiri dari multiband disebut citra komposit.
Kombinasi band yang paling baik untuk pengamatan mangrove adalah
band 453 (RGB) untuk citra Landsat-7 dan band 564 (RGB) untuk citra
Landsat-8. Band (RGB) tersebut merupakan band yang paling baik untuk
mendeteksi keberadaan mangrove karena mangrove memberikan
penampakan yang lebih jelas dibanding objek-objek lain.
31
Gambar 4.1. Data citra Landsat-7 tahun 2000 dan Landsat-8 tahun 2015
Band 4 pada citra Landsat-7 tahun 2000 dan band 5 pada citra
Landsat-8 tahun 2015 digunakan dalam penonjolan obyek vegetasi
karena pada kisaran band tersebut, vegetasi akan memantulkan radiasi
gelombang elektromagnetik paling besar yaitu 50%-60% yang mempunyai
kenampakan berwarna cerah/terang. Sedangkan untuk kenampakan
obyek yang menyerap gelombang elektromagnetik cenderung berwarna
terang.
Band 3 pada citra Landsat-7 tahun 2000 dan band 4 pada citra
Landsat-8 tahun 2015 merupakan band yang memperkuat kontras antara
kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi, karena itu band ini digunakan
untuk memisahkan vegetasi. Pada band tersebut, pantulan nilai air cukup
tinggi dibandingkan nilai pantulan air pada band lainnya, serta pantulan
nilai vegetasi cukup rendah karena band ini merupakan band penyerap
klorofil. Air merupakan obyek yang banyak menyerap gelombang
elektromagnetik sehingga kenampakan air cukup gelap. Demikian juga
untuk vegetasi yang mana klorofil cenderung menyerap cahaya.
Mangrove merupakan vegetasi yang berada di lahan basah. Karena itu
32
kenampakan mangrove terlihat lebih gelap bila dibandingkan dengan
vegetasi-vegetasi lainnya yang ada di lahan kering.
Band 5 pada citra Landsat-7 tahun 2000 dan band 6 pada citra
Landsat-8 tahun 2015 digunakan untuk penonjolan obyek tanah. Tanah
memantulkan radiasi gelombang elektromagnetik yang optimal pada band
tersebut.
Area liputan citra yang luas melebihi objek penelitian perlu
dipersempit dengan melakukan pemotongan citra (cropping) di daerah
bagian selatan Kabupaten Minahasa Utara, tidak semua data yang
tercakup dalam lokasi tersebut dibutuhkan, maka lokasi tersebut di crop
sesuai dengan lokasi kajian penelitian yaitu di Kema.
Gambar 4.2. Tampilan cropping citra Landsat di Kema
33
Data citra Landsat-7 tahun 2000 dan citra Landsat-8 tahun 2015
mempunyai level-1T yang artinya telah terkoreksi dari USGS
menggunakan referensi GLS2000 sehingga tidak dilakukan koreksi
geometrik. Data Landsat produk level-1T tersebut mempunyai ketelitian
geometrik yang lebih baik, sehingga memungkinkan analisis tumpang
susun (overlay) antar waktu dengan pergeseran geometri kurang dari 1
piksel. Dengan demikian maka perubahan tutupan lahan dapat diukur
melalui data penginderaan jauh Landsat dengan lebih akurat, sehingga
perubahan yang terjadi adalah perubahan objek yang nyata bukan akibat
pergeseran geometrik. Sistem koordinat yang dipakai adalah Datum
geodetic WGS84, proyeksi Transverse Mercator, dan Zona 51Utara.
Dua data citra tersebut juga telah terkoreksi radiometrik dengan
menggunakan metode TOA (Top of Atmospheric) sehingga nilai digital
number (DN) dirubah menjadi nilai reflektansi. TOA menghitung nilai
reflectance dengan memperhitungkan :
a. Sudut kedatangan (sudut zenit matahari) karena optical
satellite memanfaatkan cahaya matahari yang dipantulkan oleh
objek yang ada di permukaan bumi.
b. Radiance, adalah intensitas cahaya yang diterima oleh
sensor satelit.
c. Jarak matahari dengan bumi berdasarkan Julian date (beda
hari beda jarak). Karena bumi mengelilingi matahari dengan
lintasan menyerupai elips.
d. Nilai Irradiance, masing masing band memiliki konstanta
yang berbeda.
e. Untuk objek yang sama seharusnya memiliki nilai
reflectance yang sama.
34
4.1.3 Penentuan Area Mangrove dan Non-MangroveMangrove dapat diidentifiikasi dengan cara melakukan kombinasi
band RGB-453 di citra tahun 2000 dan RGB-564 di citra tahun 2015,
sehingga dapat dilakukan penentuan ekosistem mangrove dan non
mangrove dengan cara digitasi polygon.
Citra tahun 2000 Citra tahun 2015
Keterangan : Batas area ekosistem mangrove
Gambar 4.3. Area batas ekosistem mangrove dan non-mangrove
Pemotongan citra area ekosistem mangrove dilakukan agar dapat
menentukan luasan dan kerapatan mangrove sehingga pengolahan data
tersebut terfokus terhadap area yang diolah seperti ditunjukkan pada
gambar 4.4.
35
Citra tahun 2000 Citra tahun 2015
Gambar 4.4. Tampilan area cropping ekosistem mangrove
4.1.4 NDVINDVI (Normalized Difference Vegetation Index) adalah perhitungan
citra yang digunakan untuk mengetahui tingkat kehijauan, yang sangat
baik sebagai awal dari pembagian daerah vegetasi. NDVI dapat
menunjukkan parameter yang berhubungan dengan parameter vegetasi,
antara lain, biomass dedaunan hijau, daerah dedaunan hijau yang
merupakan nilai yang dapat diperkirakan untuk pembagian vegetasi. Nilai
NDVI mempunyai rentang dari -1.0 (minus 1) hingga 1.0 (positif 1). Nilai
yang mewakili vegetasi berada pada rentang 0.1 hingga 0.8 yang
menunjukkan tingkat kesehatan dari tutupan vegetasi yang lebih baik
(Prahasta, 2008 dalam Waas, 2010).
36
Hasil pengolahan NDVI dalam penelitian ini diperoleh range nilai
-0,210 – 0,790 untuk citra tahun 2000 dan range nilai -0,690 – 0,834 untuk
citra tahun 2015.
NDVI citra tahun 2000 NDVI citra tahun 2015
Gambar 4.5. Tampilan hasil pengolahan NDVI
37
Berdasarkan gambar 4.5 dapat dijelaskan bahwa nilai merah
memiliki nilai NDVI yang tinggi, sedangkan nilai warna hijau memiliki nilai
NDVI yang rendah. Nilai NDVI yang tinggi dapat diidentifikasi memiliki
vegetasi yang lebat atau rapat, sedangkan nilai NDVI yang rendah dapat
diidentifikasi memiliki vegetasi yang jarang atau non-vegetasi.
4.1.5 Penentuan Threshold dan Kelas KerapatanPenentuan threshold (ambang batas) NDVI untuk identifikasi nilai
pembatas antara objek utama (mangrove) dengan objek lain (non
mangrove) dari tiap-tiap piksel data citra tahun 2000 dan tahun 2015.
Tabel 4.1. Threshold nilai NDVI mangrove
Tahun Ambang Batas
NDVI 2000 0,40
NDVI 2015 0,40
Berdasarkan tabel diatas, ambang batas untuk tiap data citra tahun
2000 dan data citra tahun 2015 memiliki nilai 0,40. Nilai tiap-tiap piksel
dari data citra yang lebih dari 0,40 mengidentifikasi adanya mangrove,
sedangkan nilai tiap-tiap piksel data citra kurang dari 0,40 mengidentifikasi
bukan mangrove yang merupakan lahan terbuka dan perairan.
Untuk mengetahui luasan mangrove di daerah Kema dilakukan
dengan melakukan unsupervised classification atau klasifikasi tidak
terbimbing yang merupakan langkah pengolahan data yang digunakan
untuk membuat penggolongan berdasarkan 2 (dua) kategori antara lain
mangrove dan non-mangrove.
38
Tabel 4.2. Luas ekosistem mangrove
Tahun Luas mangrove(ha)
Luas non-mangrove(ha)
Total luas(ha)
2000 172,52 50,96 223,48
2015 174,92 48,56 223,48
Citra tahun 2000 Citra tahun 2015
Gambar 4.6. Tampilan kelas klasifikasi mangrove dan non-mangrove
39
Gambar 4.7. Peta sebaran mangrove citra tahun 2000
Gambar 4.8. Peta sebaran mangrove citra tahun 2015
40
Berdasarkan tabel 4.2 dan gambar 4.6 dari hasil klasifikasi tidak
terbimbing menunjukkan bahwa citra tahun 2000 terdiri dari 2 kategori
yaitu mangrove dengan tampilan warna merah dengan luas 172,52 ha,
sedangkan non-mangrove dengan tampilan warna biru dengan luas 50,96
ha, total luas ekosistem mangrove 223,48 ha. Untuk citra tahun 2015 yaitu
mangrove dengan tampilan warna merah dengan luas 174,92 ha,
sedangkan non-mangrove dengan tampilan warna biru dengan luas 48,56
ha, total luas ekosistem mangrove 223,48 ha.
Dari hasil perhitungan NDVI dapat ditentukan nilai kerapatan
mangrove dengan mengklasifikasi ulang menjadi 3 (tiga) kelas yaitu kelas
kerapatan rendah, sedang, dan tinggi. Perhitungan NDVI untuk citra tahun
2000 dan citra tahun 2015 diperoleh range nilai 0,40 – 0,83. Sehingga
dapat dirumuskan yaitu:
KI = (xt - xr) / k = (0,83 – 0,40) / 3
= 0,43 / 3
KI = 0,143
Dimana KI adalah Kelas interval, xt adalah Nilai tertinggi NDVI mangrove,
xr adalah Nilai terendah NDVI mangrove dan k adalah Jumlah kelas
kerapatan mangrove
Tabel 4.3. Klasifikasi kelas interval kerapatan mangrove
Kelas kerapatan Kelas interval
Rendah 0,543 ≥ NDVI ≥ 0,40
Sedang 0,686 ≥ NDVI > 0,543
Tinggi 0,83 ≥ NDVI > 0,686
Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa perhitungan NDVI
untuk kelas kerapatan mangrove terbagi menjadi 3 (tiga) kelas yaitu kelas
kerapatan rendah diidentifikasi dengan nilai range 0,40 – 0,543.
Sedangkan kelas kerapatan sedang diidentifikasi dengan nilai range
41
>0,543 – 0,686. Serta kelas kerapatan tinggi diidentifikasi dengan nilai
range >0,686 – 0,83. Adapun rumus formula kelas kerapatan di
pengolahan Er Mapper yaitu :
if i1 ≤0.4 then 1 else (non mangrove)
if i1>0.4 and i1≤0.543 then 2 else (kelas kerapatan rendah)
if i1>0.543 and i1≤0.686 then 3 else (kelas kerapatan sedang)
if i1>0.686 and i1≤0.83 then 4 else null (kelas kerapatan tinggi)
Kelas kerapatan citra tahun 2000 Kelas kerapatan citra tahun 2015
Gambar 4.9. Tampilan kelas kerapatan mangrove
42
Kelas kerapatan citra tahun 2000 Kelas kerapatan citra tahun 2015
Gambar 4.10. Tampilan zoom kelas kerapatan mangrove
Gambar 4.11. Klasifikasi warna kelas kerapatan mangrove
Hasil sebaran kerapatan mangrove pada daerah Kema dapat
dilihat pada Gambar 4.9 dan gambar 4.10 . Warna Mangrove hasil olahan
dapat menentukan tingkat kerapatan pada daerah Kema. Warna merah
merupakan vegetasi mangrove dengan kerapatan tinggi, warna hijau
merupakan vegetasi dengan kerapatan sedang, warna kuning merupakan
vegetasi dengan kerapatan rendah dan warna biru merupakan non-
mangrove.
43
Tabel 4.4. Luas kerapatan Mangrove
Kelas kerapatan
Tahun 2000(ha)
Persentase(%)
Tahun 2015(ha)
Persentase(%)
Rendah 26 15,07 15,84 9,06
Sedang 94,48 54,76 34,24 19,57
Tinggi 52,04 30,16 124,84 71,37
Total 172,52 100 174,92 100
Gambar 4.12. Peta kerapatan vegetasi mangrove citra tahun 2000
44
Gambar 4.13. Peta kerapatan vegetasi mangrove citra tahun 2015
Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan bahwa luas kerapatan
mangrove yang berada di Kema terbagi menjadi 3 (tiga) kelas kerapatan
yaitu rendah, sedang dan tinggi. Untuk citra tahun 2000 kelas kerapatan
rendah seluas 26 ha atau 15,07 % dari total luas mangrove. Sedangkan
kelas kerapatan sedang seluas 94,48 ha atau 54,76% dari total luas
mangrove serta kelas kerapatan tinggi seluas 52,04 ha atau 30,16% dari
total luas mangrove. Untuk citra tahun 2015 kelas kerapatan rendah
seluas 15,84 ha atau 9,06 % dari total luas mangrove. Sedangkan kelas
kerapatan sedang seluas 34,24 ha atau 19,57% dari total luas mangrove
serta kelas kerapatan tinggi seluas 124,84 ha atau 71,37% dari total luas
mangrove.
45
4.1.6 Survei LapanganHasil survei lapangan di daerah penelitian di Kema didapatkan data
6 titik koordinat lokasi stasiun sampling mangrove atau ground thruting.
Dokumentasi kegiatan lapangan dapat dilihat pada lampiran C.
Keterangan : Titik lokasi sampling mangrove
Gambar 4.14. Lokasi sampling mangrove bagian utara
keterangan : Titik lokasi sampling mangrove
Gambar 4.15. Lokasi sampling mangrove bagian selatan
46
Tabel 4.5. Titik koordinat sampling mangrove
Samping Mangrove Titik Koordinat (X/Y) Foto Lapangan
M1 125,1005601,388220
M2 125.0996801,385120
M3 125,0638801,319550
47
4.2 Pembahasan4.2.1 Pengolahan Data Citra
Luasan mangrove yang berada di pesisir pantai Kema disetiap
stasiun berbeda kerapatannya tergantung pada banyaknya jumlah dan
luasan mangrove di daerah tersebut. Dengan adanya teknologi
penginderaan jauh, mangrove dapat dideteksi dan di analisa dengan data
citra Landsat-7 tahun 2000 dan data citra Landsat-8 tahun 2015 dengan
software ER Mapper 7.1. Berikut contoh gambar perbandingan antara foto
digital mangrove hasil penelitian di lapangan, titik koordinat stasiun
sampling mangrove dan hasil citra, selengkapnya lihat di lampiran B.
Foto lapangan Titiik sampling Hasil citra
Gambar 4.16. Perwakilan perbandingan hasil penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dijelaskan sebelumnya,
data citra Landsat terdiri dari file band citra yang berdiri sendiri. File
tersebut harus disatukan menjadi satu kesatuan citra menggunakan
software Er Mapper 7.1 agar dapat ditampilkan dalam berbagai kombinasi
band. Citra yang terdiri dari beberapa kombinasi band disebut citra
multiband atu citra komposit. Mangrove dapat diidentifikasi dengan citra
komposit RGB-453 untuk Landsat-7, sedangkan untuk Landsat-8
menggunakan citra komposit RGB-564.
49
Titik sampling mangrove Citra Landsat-8 tahun 2015
Diperlukan pemotongan (cropping) di data citra yang sesuai
dengan lokasi penelitian di daerah pesisir pantai Kema sehingga dapat
terfokus untuk menganalisa. Data citra tersebut mempunyai level-1T
sehingga tidak dilakukan koreksi geometrik karena memiliki ketelitian
geometrik yang baik. Koreksi radiometrik diperlukan agar citra dapat
diperbaiki akibat distorsi dari gangguan atmosfer dengan metode TOA
(Top of Atmospheric) sehingga mendapatkan nilai reflektansi yang
sebelumnya nilai digital number (DN). Penentuan mangrove dan non-
mangrove ditentukan dengan cara pemotongan citra melalui digitasi
polygon sehingga menghasilkan wilayah ekosistem mangrove saja.
Pengolahan NDVI untuk data citra Landsat tahun 2000 dan citra
Landsat tahun 2015 dilakukan untuk menentukan wilayah yang
bervegetasi. Nilai NDVI mempunyai rentang -1 hinga +1. Vegetasi yang
baik ditunjukkan dengan nilai rentang 0,1 hingga 0,8. Pada hasil
pengalahan NDVI ini didapatkan nilai -0,21 hingga 0,79 untuk citra tahun
2000 dan nilai -0,69 hingga 0,834 untuk citra tahun 2015. Untuk
menentukan mangrove dan non-mangrove, dilakukan proses penentuan
ambang batas. Threshold (ambang batas) ini digunakan untuk
mengidentifikasi nilai dari tiap-tiap piksel antara objek utama (mangrove)
dengan objek lain (non-mangrove) dengan nilai threshold NDVI 0,40 dari
tiap data citra tahun 2000 dan citra tahun 2015. Nilai piksel dari data citra
yang lebih dari 0,40 merupakan adanya mangrove, sedangkan untuk nilai
piksel kurang dari 0,40 merupakan bukan mangrove atau lahan terbuka.
Setelah dilakukan proses threshold, dapat diketahui luasan mangrove
melalui proses unsupervised classification atau klasifikasi tidak terbimbing
yang terdiri dari dua kategori yaitu luasan mangrove dan luasan non-
mangrove. Total luas ekosistem mangrove pada citra tahun 2000 dan citra
tahun 2015 seluas 223,48 ha, yang mana pada citra tahun 2000 luas
mangrove seluas 172,52 ha dan luas non-mangrove seluas 50,96 ha.
Pada citra tahun 2015 luas mangrove seluas 174,92 ha dan luas non-
50
mangrove seluas 48,56 ha, yang berarti pada kurun waktu 15 tahun
luasan mangrove bertambah seluas 2,4 ha atau 1,4%.
Penentuan kerapatan mangrove didapatkan dari hasil proses NDVI
dengan mengklasifikasikan menjadi 3 kelas kerapatan yaitu kelas
kerapatan rendah, sedang dan tinggi yang menghasilkan nilai NDVI
mangrove dengan range nilai 0,40 hingga 0,83 sehingga didapatkan
luasan dari kerapatan mangrove seperti yang terlihat pada tabel 4.4
diatas. Pada kelas kerapatan rendah pada citra tahun 2000 didapatkan
seluas 26 ha dan 15,84 ha pada citra tahun 2015, yang berarti perubahan
kerapatannya seluas 10,16 ha. Pada kelas kerapatan sedang pada citra
tahun 2000 seluas 94,48 ha menjadi 34,24 ha pada citra tahun 2015, yang
berarti perubahan kerapatan seluas 64,24 ha. Sedangkan di kelas
kerapatan tinggi pada citra tahun 2000 seluas 52,04 ha menjadi 124,84 ha
pada citra tahun 2015, yang artinya perubahan kerapatan seluas 72,8 ha.
Dari ketiga kelas kerapatan dapat disimpulkan bahwa pada kurun waktu
15 tahun mangrove mengalami perubahan kerapatan vegetasi yang
signifikan.
Untuk mendapatkan informasi hasil luasan mangrove serta
kerapatan vegetasi mangrove diperlukan overlay dua data citra yaitu citra
tahun 2000 dan citra tahun 2015. Data citra yang telah di proses
sedemikian rupa yang mengasilkan luasan dan kerapatan mangrove
kemudian dianalisa perubahan luasan dan kerapatan mangrove dengan
cara menggunakan tabel pivot. Tabel pivot merupakan suatu fasilitas yang
terdapat di dalam Microsoft Excel yang berupa tabel interaktif yang sangat
cepat dalam menganalisa, mongkombinasikan dan membandingkan
sejumlah data baik sedikit maupun banyak.
51
Tabel 4.6. Perubahan luasan mangrove
2015 2000
Non-mangrove Mangrove Total luas (ha)
Non-mangrove 36,932 14,165 51,097
Mangrove 11,765 160,618 172,383
Total luas (ha) 48,697 174,783 223,48
Berdasarkan tabel pivot diatas dapat dijelaskan bahwa luasan
ekosistem mangrove mengalami perubahan dari data citra tahun 2000 ke
data citra tahun 2015. Perubahan terjadi pada citra tahun 2000 ke citra
tahun 2015 atau dalam kurun waktu 15 tahun yaitu non-mangrove menjadi
mangrove seluas 14,165 ha, sedangkan mangrove menjadi non-
mangrove seluas 11,765 ha. Dapat disimpulkan bahwa dalam kurun
waktu 15 tahun perubahan mangrove yang berada di wilayah penelitian di
Kema seluas 2,4 ha.
Tabel 4.7. Perubahan kelas kerapatan mangrove
2015 2000
Non Mangrove
Rendah Sedang Tinggi Total luas (ha)
Non Mangrove
36,932 6,62 5,871 1,674 51,097
Rendah 6,354 4,779 5,551 6,85 23,534
Sedang 3,521 4,646 15,664 75,176 99,007
Tinggi 1,89 0,299 4,124 43,529 49,842
Total luas (ha)
48,697 16,344 31,21 127,229 223,48
Berdasarkan tabel pivot yang mengenai perubahan kerapatan
mangrove di Kema dapat dijelaskan bahwa kerapatan ekosistem
mangrove mengalami perubahan dari data citra tahun 2000 ke data citra
tahun 2015. Dalam kurun waktu 15 tahun ini dijelaskan bahwa perubahan
kelas non-mangrove manjadi 3 kelas kerapatan yaitu kerapatan rendah
seluas 6,62 ha, kerapatan sedang seluas 5,871 ha, dan kerapatan tinggi
52
seluas 1,674 ha. Untuk kerapatan rendah menjadi 3 kelas kerapatan yaitu
kelas non-mangrove seluas 6,354 ha, kerapatan sedang seluas 5,551 ha,
dan kerapatan tinggi seluas 6,85 ha. Untuk kerapatan sedang menjadi 3
kelas kerapatan yaitu kelas non-mangrove seluas 3,521 ha, kerapatan
rendah seluas 4,646 ha, dan kerapatan tinggi seluas 75,176 ha.
Sedangkan untuk perubahan kelas kerapatan tinggi menjadi 3 kelas
kerapatan yaitu kelas non-mangrove seluas 1,89 ha, kerapatan rendah
seluas 0,299 ha, kerapatan sedang seluas 4,124 ha. Dapat disimpulkan
bahwa perubahan kelas kerapatan dalam kurun waktu 15 tahun dari tahun
2000 sampai tahun 2015 yang mendominasi adalah kelas kerapatan
sedang mengalami perubahan ke kelas kerapatan tinggi seluas 75,176
ha.
4.2.2 Mangrove Sebagai Pelindung Ekosistem PantaiMangrove merupakan salah satu ekosistem yang khas dan unik
yang mempunyai akar yang berbeda dengan tumbuh-tumbuhan di darat.
Akar mangrove berfungsi antara lain membantu mangrove bernafas dan
tegak berdiri. Mangrove dapat melindungi ekositem pantai dari abrasi
pantai, banjir rob, hempasan gelombang laut dan ombak, serta angin
kencang.
Perakaran mangrove yang rapat dan terpancang mempunyai fungsi
ekologis yaitu meredam hantaman gelombang dan ombak. Kekuatan
angin dan badai yang dahsyat akan berkurang ketika mencapai ekosistem
mangrove yang memiliki kerapatan tinggi atau lebat. Demikian pula
gelombang pasang atau tsunami akan mengecil ketika mencapai
ekosistem mangrove yang rapat atau lebat. Daya rusak gelombang akan
berkurang karena kekuatannya telah direduksi oleh ekosistem mangrove.
Peneliti asal jepang, Kenji Harada dan Fumihiko Imamura dari
Universitas Tohoku (2003) meneliti efektifitas hutan pantai (ekositem
mangrove dan non-mangrove) dalam meredam terjangan gelombang
atau tsunami. Hasilnya, gelombang setinggi 3 m yang menerjang hutan
53
pantai setebal 50 m, maka jangkauan run up yang masuk ke daratan
tinggal 81% (lihat tabel 4.8).
Tabel 4.8. Kemampuan Meredam Gelombang atau Tsunami
dari Hutan Pantai (Harada dan Imamura, 2003)
Tinggi Gelombang (m) 1 2 3
Hutan Pantai Tebal (m)
Mitigasi Kerusakan, Menghentikan, Meredam
Gelombang (%)Jarak run-up 50 98 86 81
100 83 80 71
200 79 71 64
400 78 65 57
Tinggi genangan
50 86 86 82
100 76 74 66
200 46 55 50
400 - 11 18
Gaya hidrolis 50 53 48 39
100 33 32 17
200 0,1 13 0,8
400 - 0,2 0,1
54
Citra Landsat-8 tahun 2015
Keterangan: Titik sampling 1 dan 2 mangrove
Gambar 4.17. Luas ekosistem mangrove di titik sampling 1 dan 2
Berdasarkan hasil pengolahan data citra Landsat-8 tahun2015,
kondisi mangrove di wilayah penelitian yaitu di Kema Minahasa Utara
rata-rata memiliki kerapatan yang cukup tinggi. Di titik sampling 1 dan 2
merupakan ekositem mangrove yang sangat luas yaitu lebar ± 2,3 km
dengan tebal ± 400 m (lihat gambar 4.17). Untuk titik sampling lainnya
hanya terdapat spot-spot mangrove.
Berdasarkan tabel 4.9 dapat di simpulkan bahwa gelombang
setinggi 3 meter yang menerjang ekosistem mangrove setebal 400 meter
pada titik sampling 1 dan 2, maka jangkauan run up yang masuk
kedaratan tinggal 57%. Jadi mangrove sangat efektif sebagai pelindung
pantai dari terjangan gelombang jika dibandingkan pantai yang tidak
ditumbuhi mangrove.
55
2300 m
400 m
BAB VKESIMPULAN DAN SARAN
5.1 KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil
kesimpulan sebagai berikut:
a. Total luas ekosistem mangrove yang berada di wilayah
Kema Minahasa Utara seluas 223,48 ha. luas mangrove pada citra
Landsat tahun 2000 seluas 172,52 ha dan luas mangrove pada
citra Landsat tahun 2015 seluas 174,92 ha. jadi dalam kurun waktu
15 tahun luasan mangrove yang berada di Kema Minahasa Utara
bertambah seluas 2,4 ha atau 1,4%.
b. Perubahan kelas kerapatan mangrove dalam kurun waktu
15 tahun dari tahun 2000 sampai tahun tahun 2015 yang
mendominasi adalah kelas kerapatan sedang mengalami
perubahan ke kelas kerapatan tinggi seluas 75,176 ha.
c. Ekosistem mangrove sangat efektif sebagai pelindung pantai
dari terjangan gelombang.
5.2 SaranEkosistem mangrove sangat efektif sebagai pelindung pantai, maka
perlu adanya peran pemerintah dan TNI AL untuk pengelolaan dan
pelestarian sumber daya pesisir khususnya ekositem mangrove tersebut
serta reboisasi atau penanaman mangrove pada pantai yang belum
ditumbuhi mangrove.
56
DAFTAR PUSTAKA
Anwar 1998 dalam soemarno 2013. Ketahanan Lingkungan: Kelestarian &
Konservasi.
Arhatin, R. E. 2007. Pengkajian algorithma indeks vegetasi dan metode
klasifikasi mangrove dari data satelit LANDSAT-5 TM dan
LANDSAT-7 ETM+ (studi kasus di kabupaten Berau, Kalimantan
Timur). Tesis (tidak dipublikasikan). Sekolah pascasarjana. IPB.
Bogor.
Bengen DG. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan
Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institut Pertanian
Bogor.
BPDAS Tondano. 2011. Rencana Teknis Rehabilitasi Hutan Lahan
Mangrove dan Sempadan Pantai Propinsi Sulawesi Utara.
Disampaikan dalam acara Rapat Fasilitasi Kelompok Kerja
Mangrove di Provinsi Sulawesi Utara 18 Oktober 2011.
Budi, Chandra. 2000. Model Penduga Biomassa dan Indeks Luas Daun
Menggunakan Data Landsat iThematic Mapper (TM) dan Spot
Multispektral (XS) Di Hutan Mangrove (Studi Kasus Segara
Anakan, Cilacap). [Thesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Butler, M.J.A, M.C. Mouchot, V. Barole, and C. Le Blanc. 1988. The
Application of Remote Sensing Technology to Marine Fisheries: An
Introduction manual. FAO Fisheries Technical Paper No. 295. FAO.
Rome.
Coremap. 2006. Hutan Mangrove (Online), (http://www.coremap.or.id,
diakses 14 November 2010).
[DEPHUT] Departemen Kehutanan-Dirjen PHPA. 1995. Rencana
Pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon (Master Plan). Dephut-
Dirjen PHPA. Pandeglang.
Dishidros TNI AL, 2000. Peta Laut Indonesia No 0344. Skala 1 : 200.000
Dinas Hidrooseanografi TNI Angkatan Laut.
57
Geshayulian, 2013 Kompasiana. Litbang karbon biru, gunakan ekosistem
laut turunkan emisi.
Harada, K dan Imamura, F. 2003. Study on The Evaluation of Tsunami
Reducing by Coastal Control Forest for Actual Conditions. Asia and
Pasific Coast Japan.
Hartono, Dulbahri, Suharyadi, Danoedoro P, Jatmiko RH. 1996.
Penginderaan Jauh Untuk Sumberdaya Hutan: Teori dan Aplikasi.
Yogyakarta: GadjahMada University Press. 580 hlm. Jensen J,R,
1998. Introductory Digital Image Processing A Remote Sensing
Perspective. Prentice Hall. New Jersey.
Hilmi, E dan C. Kusmana. 1999. Ekosistem Mangrove: Antara
Karakteristik, Teknik Sampling, dan Analisis Sistem. Program
Pascasarjana IPB. Bogor.
Katz, 2000 dalam Johan 2015. Implementasi Metode Thresholding Dan
Metode Regionprops Untuk Mendeteksi Marka Jalan Secara Live
Video.
Khazali M, 2006. Panduan pengenalan mangrove PHKA/WI-IP, Bogor
Lillesand, TM dan Kiefer, RW. 1979. Penginderaan Jauh dan Interpretasi
Citra (Alih Bahasa: Dulbahri, dkk). Gajah Mada University Press.
Yogyakarta.
Mazda, Y., M. Magi, M. Kogo and P.Ng. Hong. 1997. Mangrove as A
Coastal Protection from Waves in The Tong King Delta, Vietnam.
Mangroves and Salt Marshes 1:127-135.
Murdiyanto, Bambang. 2003. Mengenal, Memelihara dan Melestarikan
Ekosistem Bakau. COFISH Project. Jakarta.
NASA. 2010. Landsat Data Continuity Mission Brochure.
http://www.landsat.gsfc.nasa.gov [November 2013].
Polunin NVC. 1983. The Marine Resources of Indonesia. Oceonogr. Mar.
Biol. Ann. Rev.1983, 21:455-531.
Ramudji. 2001. Mangrove di Pesisir Delta Mahakan Kalimantan Timur.
LIPI. Jakarta.
58
Saenger, P. 1982. Morphological, Anatomical, and Reproductive
Adaptations of Australian Mangroves. In: Clough, B.F. (Ed.),
Mangrove Ecosystems in Australia. Australian National University
Press, Canberra, pp. 153-191.
Sediadi, A. 1991. Pengaruh hutan bakau terhadap sedimentasi di pantai
teluk Jakarta. Prosidings seminar IV, Ekosistem mangrove, Bandar
Lampung, 7-9 Agustus 1990: 101-110. Program MAB Indonesia-
LIPI. Jakarta.
Setiawan, H., Sudarsono, B., Awaluddin, M., 2013. Identifikasi Daerah
Prioritas Rehabilitasi Lahan Seminar Nasional Penginderaan Jauh
2014 24 Kritis Kawasan Hutan dengan Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus: Kabupaten Pati). Jurnal
Geodesi Undip, Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, (ISSN : 2337-
845X).
[SIC] Satellite Imaging Corporation. 2001-2010. LANDSAT 7 +ETM
Satellite Imagery.
Sukojo, BM dan Kustarto, H. 2002. Perbaikan Geometrik Trase Jaringan
Jalan dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan
Sistem Informasi Geografis. Jurnal Makara, Sains. Vol 6(3): 136-
141.
Susilo, S.B. 2000. Penginderaan Jauh Terapan. Fakultas Perikanan dan
Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh, Jilid I dan II. Gadjah Mada University
Press.Yogyakarta.
UNEP. 2006. Daftar Pulau yang Memiliki Luas Lebih Besar dari 2.000 km²
. http://www.ppkkp3k.dkp.go.id/index.php?option=com_context.
Diakses:12 Juli 2009.
USGS, 2013. Maps, Imagery, and Publications. Landsat-8.
Waas, H.J.D., Nababan. B. 2005. Pemetaan dan Analisis Index Vegetasi
Mangrove di Pulau Saparua, Maluku Tengah. E-Jurnal Ilmu dan
Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 1, Hal. 50-58, Juni 2010.
59
LAMPIRAN B
Perbandingan Antara Foto Digital Mangrove Hasil Penelitian di Lapangan, Titik Koordinat Stasiun Sampling Mangrove dan Hasil
Citra
Foto lapangan Titiik sampling Hasil citra
64