tulisan ta fa

93
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang terdiri atas sekitar 17.504 buah pulau dengan panjang garis pantai sekitar 95.181 km (www.ppk- kp3k.dkp.go.id 2009) dengan kondisi fisik lingkungan dan iklim yang beragam. Total luas wilayah Indonesia tersebut adalah sekitar 9 juta km² yang terdiri atas 2 juta km² daratan dan 7 juta km² lautan (Polunin, 1983). Oleh karena itu Indonesia mempunyai ekosistem pesisir yang luas dan beragam antara lain hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, dan rumput laut yang terbentang pada jarak lebih dari 5.000 km dari timur ke barat kepulauan dan pada jarak 2.500 km dari arah utara ke selatan kepulauan. Sebagaian besar daerah pantai Indonesia merupakan tempat tumbuh ekosistem mangrove yang baik, sehingga mangrove merupakan suatu ekosistem yang umum mencirikan morfologi sistem biologi pesisir di Indonesia, yang mempunyai peranan penting dalam perlindungan ekosistem pantai yaitu penahan abrasi, penahan amukan angin kencang, dan penahan gelombang. Luas mangrove di Indonesia mencapai 4,25 juta hektar yang merupakan 25% dari total luas mangrove dunia (Coremap, 2006). 1

Upload: dady-suryanegara

Post on 17-Feb-2016

10 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

buku

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan di daerah tropika yang

terdiri atas sekitar 17.504 buah pulau dengan panjang garis pantai sekitar

95.181 km (www.ppk-kp3k.dkp.go.id 2009) dengan kondisi fisik

lingkungan dan iklim yang beragam. Total luas wilayah Indonesia tersebut

adalah sekitar 9 juta km² yang terdiri atas 2 juta km² daratan dan 7 juta

km² lautan (Polunin, 1983). Oleh karena itu Indonesia mempunyai

ekosistem pesisir yang luas dan beragam antara lain hutan mangrove,

terumbu karang, padang lamun, dan rumput laut yang terbentang pada

jarak lebih dari 5.000 km dari timur ke barat kepulauan dan pada jarak

2.500 km dari arah utara ke selatan kepulauan.

Sebagaian besar daerah pantai Indonesia merupakan tempat

tumbuh ekosistem mangrove yang baik, sehingga mangrove merupakan

suatu ekosistem yang umum mencirikan morfologi sistem biologi pesisir di

Indonesia, yang mempunyai peranan penting dalam perlindungan

ekosistem pantai yaitu penahan abrasi, penahan amukan angin kencang,

dan penahan gelombang. Luas mangrove di Indonesia mencapai 4,25

juta hektar yang merupakan 25% dari total luas mangrove dunia

(Coremap, 2006).

Ekosistem mangrove sebagai salah satu ekosistem penting di

kawasan pesisir pantai terus mengalami tekanan di seluruh dunia. FAO

(2003) mencatat bahwa luas mangrove dunia pada tahun 1980 mencapai

19,8 juta ha, turun menjadi 16,4 juta ha pada tahun 1990, dan menjadi

14,6 juta ha pada tahun 2000. Sedangkan di Indonesia, luas mangrove

mencapai 4,25 juta ha pada tahun 1980, turun menjadi 3,53 juta ha pada

tahun 1990 dan tersisa 2,93 juta ha pada tahun 2000. Sedangkan menurut

BPDAS Tondano (2011) di Sulawesi Utara, luas hutan mangrove

mencapai 12.977 ha pada tahun 2000, turun menjadi 11.546 ha pada

1

tahun 2005. Apabila tidak diimbangi dengan kebijakan pengelolaan yang

tepat, maka ancaman degradasi mangrove menjadi semakin besar dan

dapat berpotensi terjadinya perubahaan luasan pulau serta berdampak

terhadap perubahan luasan perairan di Indonesia.

Untuk mengetahui luasan hutan mangrove, dikembangkan sistem

informasi yang berbasis teknologi tinggi dengan menggunakan sistem

penginderaan jauh melalui citra satelit yang kemudian dapat

diinterpretasikan dalam bentuk peta. Penginderaan jauh dapat

dimanfaatkan dalam pemantauan vegetasi mangrove, hal ini didasarkan

atas dua sifat penting yaitu bahwa mangrove mempunyai zat hijau daun

(klorofil) dan mangrove tumbuh di pesisir. Sifat optik klorofil sangat khas

yaitu bahwa klorofil menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan

kuat spektrum hijau (Susilo, 2000).

Kelebihan data satelit penginderaan jauh yang utama adalah

kecepatan dalam memperoleh data sehingga dimungkinkan pengukuran

real/near time, cakupan luas dapat menjangkau hampir seluruh

permukaan bumi, serta data yang diperoleh dapat berulang dengan cepat

untuk memantau daerah yang sama. Kadang-kadang sistem

penginderaan jauh dapat memberikan data spesifik yang tidak dapat

diperoleh dari sumber data lainnya, tetapi terutama penginderaan jauh

dapat digunakan untuk mengumpulkan data tanpa banyak bekerja di

lapangan (Hartono et al, 1996).

1.2 Perumusan MasalahInformasi mengenai perubahan luas ekosistem mangrove di

wilayah Kema sangatlah penting untuk diketahui sebagai bahan

pertimbangan, pengelolaan dan pelestarian terkait kerusakan mangrove

tanpa ijin yang terus terjadi menyebabkan rusaknya ekosistem pantai

sehingga proses abrasi, degradasi pantai dan ancaman terjangan

gelombang semakin besar.

2

Informasi mengenai luas dkeran penyebaran mangrove di wilayah

Kema dapat diketahui dengan pemanfaatan data penginderaan jauh yaitu

data citra Landsat-7 dan Landsat-8. Data tersebut diolah sedemikian rupa

untuk menghasilkan informasi mangrove dan non-mangrove yang ada di

wilayah penelitian. Setelah diketahui wilayah yang masuk ke dalam kelas

tutupan mangrove, dapat ditentukan luas areal, dapat dipetakan

sebarannya dan dapat diamati pola perubahan mangrove di wilayah

Kema.

Informasi mengenai kerapatan vegetasi merupakan hasil turunan

dari proses klasifikasi kelas indeks vegetasi. Kerapatan vegetasi

mangrove ini nantinya digunakan sebagai gambaran seberapa besar

kualitas mangrove yang ada. Untuk mendapatkan nilai kerapatan vegetasi

mangrove, data citra satelit yang sudah diklasifikasi dihitung nilai indeks

vegetasinya. Indeks vegetasi yang umum digunakan adalah NDVI

(Normalized Difference Vegetation Index).

1.3 Batasan MasalahPenelitian ini difokuskan pada mengidentifikasi perubahan luasan

dan kerapatan hutan mangrove dengan data penginderaan jauh yaitu data

citra Landsat-7 dan Landsat-8 secara temporal dalam periode waktu

tertentu dan acuan hasil validasi di lapangan yaitu penentuan koordinat

stasiun penelitian di Kema, Kabupaten Minahasa Utara.

1.4 Tujuan PenelitianTujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Untuk mendapatkan informasi perubahan luasan, dan

kerapatan vegetasi mangrove secara temporal yang berada di

Kema, kabupaten Minahasa Utara.

b. Untuk menganalisa mangrove sebagai pelindung pantai

terhadap gelombang.

3

1.5 Manfaat PenelitianManfaat dari penelitian ini adalah memberikan informasi perubahan

luasan dan kerapatan mangrove kepada pihak pemerintah terkait dan TNI

AL sebagai masukan, pengelolaan dan pelestarian, dimana TNI AL

mempunyai Peran Polisionil yaitu melindungi sumber daya alam dan

sumber daya buatan.

1.6 Tinjauan PustakaTinjauan pustaka dilakukan untuk menunjang penelitian, yang

terdiri dari teori maupun konsep dari berbagai literatur yaitu tentang

Ekosistem Pantai, Ekosistem Mangrove, Penginderaan Jauh,

penginderaan jauh untuk deteksi mangrove, indeks vegetasi, Satelit

Landsat, keadaan umum wilayah penelitian, serta jurnal hasil penelitian

terdahulu yang relevan untuk mendukung penulisan tugas akhir.

1.7 Metodologi Penelitian1.7.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan adalah analisis hasil

pengolahan citra satelit secara temporal, dan data lapangan

(ground thruthing).

1.7.2 Bahan dan AlatBahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari 2 data

citra yaitu :

a. Data citra Landsat-7 tanggal 20-11-2000

b. Data citra Landsat-8 tanggal 30-05-2015

Selain itu peta kawasan penelitian yang digunakan sebagai peta

acuan groundtruth.

Peralatan yang digunakan berupa perangkat lunak

(Software) ErMapper v7.1, Mircosoft Office 2010, perangkat keras

4

komputer, flashdisk, printer, GPS (Global Positioning System),

Kamera Digital.

1.7.3 Metode Pengumpulan DataPengumpulan data menggunakan data primer maupun

sekunder dan pengolahan data citra.

1.7.4 Alur Penelitian

Dimana :

t1: data citra tahun 2000

t2: data citra tahun 2015

5

Data Citra Satelit (t1 & t2)

Pengolahan Data Citra Menggunakan Er Mapper

NDVI

Data Lapangan(Ground Truthing)

Analisis data dan Validasi

Peta Acuan

Penyiapan Data Citra

Peta Sebaran Mangrove dan Kerapatan Vegetasi Mangrove Analisis Mangrove

Untuk Pelindung Pantai

1.7.5 Waktu dan Tempat PenelitianLokasi penelitian di Kema, Kabupaten Minahasa Utara

dengan pengolahan data dan analisis dilaksanakan di kampus

STTAL, Dishidros, LAPAN dan Balitbang KP. Waktu penelitian

dilaksanakan selama 6 (enam) bulan, kurun waktu satu semester

terhitung mulai dari bulan Juli 2015 sampai dengan bulan

Desember 2015.

Tabel 1.1. Jadwal Kegiatan Penelitian

6

1.7.6 Lokasi PenelitianLokasi Penelitian di Kema, Kabupaten Minahasa

Utara, Sulawesi utara

Gambar 1.1. Peta Laut nomer 344 tahun 2000

skala 1: 200.000, Dishidros TNI AL.

7

Lokasi Penelitian (Ground Thruting)

BAB IIDASAR TEORI

2.1 Pantai dan EkosistemnyaSecara sederhana ekosistem dapat diartikan sebagai suatu sistem

ekologi yang terbentuk oleh hubungan timbal balik antara makhluk hidup

dengan lingkungannya. Ekosistem bisa dikatakan juga suatu tatanan

kesatuan secara utuh dan menyeluruh antara segenap unsur lingkungan

hidup yang saling mempengaruhi. Ekosistem Pantai merupakan

ekosistem yang ada di wilayah perbatasan antara air laut dan daratan,

yang terdiri dari komponen biotik dan komponen abiotik. Komponen biotik

pantai terdiri dari tumbuhan dan hewan yang hidup di daerah pantai,

sedangkan komponen abiotik pantai terdiri dari gelombang, arus, angin,

pasir, batuan dan sebagainya.

Istilah pantai sering rancu dalam pemakainya antara pesisir (coast)

dan pantai (shore). Definisi pesisir adalah daerah darat di tepi laut yang

masih mendapat pengaruh laut seperti pasang surut, angin laut, dan

perembesan air laut. Sedangkan pantai adalah daerah di tepi perairan

yang dipengaruhi oleh air pasang tertinggi dan air surut terendah. Daerah

daratan adalah daerah yang terletak diatas dan dibawah permukaan

daratan dimulai dari batas garis pantai. Daerah lautan adalah daerah

diatas dan dibawah permukaan laut dimulai dari sisi laut pada garis surut

terendah, termasuk dasar laut dan bagian bumi di bawahnya. Garis pantai

adalah garis batas pertemuan antara daratan dan air laut, dimana

posisinya tidak tetap dan dapat berpindah sesuai pasang surut air laut dan

erosi yang terjadi. Sempadan pantai adalah kawasan tertentu sepanjang

pantai yang mempunyai manfaat penting untuk mempertahankan

kelestarian fungsi pantai.

8

Gambar 2.1. Daerah Pantai

Ekosistem pantai dipengaruhi oleh siklus harian pasang surut laut.

Di daerah pasang surut sendiri dapat terbentak hutan, yaitu hutan

mangrove. Hutan mangrove biasanya sangat sukar ditempuh manusia

karena banyaknya akar dan dasarnya terdiri atas lumpur. Bila tanah di

daerah pasang surut berlumpur, maka kawasan ini berupa hutan bakau

yang memiliki akar napas. Akar napas merupakan adaptasi tumbuhan di

daerah berlumpur yang kurang oksigen. Selain berfungsi untuk

mengambil oksigen, akar ini juga dapat digunakan sebagai penahan dari

pasang surut gelombang. Yang termasuk tumbuhan di hutan bakau antara

lain Nypa, Acathus, Rhizophora, dan Cerbera. Jika tanah pasang surut

tidak terlalu basah, pohon yang sering tumbuh adalah: Heriticra,

Lumnitzera, Acgicras, dan Cylocarpus.

2.2 Hutan Mangrove dan Ekosistemnya Kata mangrove merupakan kombinasi antara bahasa Portugis

mangue dan bahasa Inggris grove (Macnae 1968 dalam Khazali, 2006).

Dalam bahasa Inggris kata mangrove digunakan baik untuk komunitas

tumbuhan yang tumbuh di daerah jangkauan pasang-surut maupun untuk

individu-individu spesies tumbuhan yang menyusun komunitas tersebut.

Sedangkan dalam bahasa Portugis kata mangrove digunakan untuk

menyatakan individu spesies tumbuhan, dan kata mangal untuk

menyatakan komunitas tumbuhan tersebut.

9

Menurut Snedaker (1978), hutan mangrove adalah kelompok jenis

tumbuhan yang tumbuh di sepanjang garis pantai tropis sampai sub-tropis

yang memiliki fungsi istimewa di suatu lingkungan yang mengandung

garam dan bentuk lahan berupa pantai dengan reaksi tanah anaerob.

Adapun menurut Aksornkoae (1993), hutan mangrove adalah tumbuhan

halofit yang hidup di sepanjang areal pantai yang dipengaruhi oleh pasang

tertinggi sampai daerah mendekati ketinggian rata-rata air laut yang

tumbuh di daerah tropis dan sub-tropis.

Dengan demikian secara ringkas hutan mangrove dapat

didefinisikan sebagai suatu tipe hutan yang tumbuh di daerah pasang

surut (terutama di pantai yang terlindung, laguna, muara sungai) yang

tergenang pada saat pasang dan bebas dari genangan pada saat surut

yang komunitas tumbuhannya bertoleransi terhadap garam. Sedangkan

ekosistem mangrove merupakan suatu sistem yang terdiri atas organisme

(tumbuhan dan hewan) yang berinteraksi dengan factor lingkungan dan

dengan sesamanya di dalam suatu habitat mangrove.

Hutan mangrove biasa ditemukan disepanjang pantai daerah tropis

dan subtropis, antara 32⁰Lintang Utara dan 38⁰ Lintang Selatan. Hutan

mangrove merupakan ekosistem yang kompleks terdiri atas flora dan

fauna daerah pantai, hidup sekaligus di habitat daratan dan air laut, antara

batas air pasang dan surut. Hutan mangrove tumbuh subur dan luas

didaerah delta dan aliran sungai yang besar dengan muara sungai yang

lebar.

Istilah mangrove tidak selalu diperuntukkan bagi kelompok spesies

dengan klasifikasi tertentu saja, tetapi dideskripsikan mencakup semua

tanaman tropis yang bersifat halophytic atau toleran terhadap garam.

Tanaman yang mampu tumbuh di tanah basah lunak, habitat air laut dan

terkena fluktuasi pasang surut. Tanaman tersebut mempunyai

kemampuan untuk reproduksi dengan mengembangkan buah vivipar yang

bertunas (seed germination) semasa masih berada pada pohon induknya

(Murdiyanto, 2003).

10

Adaptasi pohon mangrove terhadap kondisi tanah yang berlumpur

dan sedikit oksigen adalah dengan membentuk sistem perakaran yang

dapat berfungsi sebagai akar nafas (pneumatofora) dan penunjang

tegaknya pohon. Bentuk sistem perakaran pada pohon mangrove terdapat

tiga jenis, yaitu akar lutut (knee roots), akar pasak, dan akar tunjang (still

roots). Akar pasak terdapat pada jenis Sonneratia spp, Avicennia spp, dan

kadang-kadang pada Xylocarpus moluccensis. Sedangkan akar lutut dan

akar tunjang, masing-masing terdapat pada jenis Bruguiera spp. dan

Rhizophora spp (Istomo, 1992 dalam Budi, 2000).

Gambar 2.2. Bentuk-bentuk Akar Nafas Pohon Mangrove.

Vegetasi mangrove memiliki zonasi sesuai dengan karakter

habitatnya. Zonasi mangrove dicirikan dengan adanya suatu jenis spesies

mangrove tertentu yang menempati lokasi-lokasi tertentu. Terbentuknya

zonasi dan dominasi spesies bergantung pada tingkat genangan dan

frekuensi penggenangan gelombang pasang-surut, tingkat salinitas,

karakteristik tanah, dan percampuran air tawar dengan air laut.

Di pantai yang terbuka, vegetasi mangrove yang dominan adalah

komunitas pioner seperti Avicennia dan Sonneratia. Kemudian diikuti

berturut-turut dari laut ke darat jenis Rhizophora dan Bruguiera.

11

Akar Banir Akar Pasak

Akar TunjangAkar Lutut

Tumbuhan bawahnya didominasi oleh jenis Acrostichum aureum dan

Acanthus illicifolius (DEPHUT, 1995). Sedangkan Watson (1928) dalam

Hilmi dan Kusmana (1999) bahwa hutan mangrove dapat dibagi menjadi

lima zonasi berdasarkan frekuensi air pasang, yaitu: (1) zonasi yang

terdekat dengan laut didomonasi oleh Avicennia spp. Dan Sonneratia

spp.; (2) zonasi yang tumbuh pada tanah cukup kuat dan dicapai air

didominasi oleh Bruguiera cylindrica; (3) zonasi pada tanah yang agak

basah dan lumpur yang dalam didominasi oleh Rhizophora mucronata; (4)

zonasi yang didominasi oleh Bruguiera parviflora; dan (5) zonasi paling

belakang yang didominasi oleh Bruguiera gymnorrhiza.

Gambar 2.3. Zonasi Vegetasi Mangrove.(sumber: Bengen, 2004)

Sebagai sebuah ekosistem yang berada di antara darat dan laut,

mangrove memiliki fungsi ekologis yang penting. Fungsi ekologis ini dapat

ditinjau dari beberapa aspek, diantaranya aspek fisik, kimia, dan biologis.

Aspek fisik meliputi kemampuannya meredam gelombang laut, menahan

lumpur, dan melindungi pantai dari abrasi. Bila ditinjau dari aspek kimia,

mangrove memiliki peranan sebagai penyerap unsur-unsur pencemar,

sebagai sumber energi, dan sebagai produsen bahan organik. Sedangkan

dari aspek biologis, mangrove sangat penting sebagai tempat memijah,

mencari makan, berlindung, dan berkembangnya berbagai biota (TNC dan

12

P4L, 2003; Pramudji, 2001). Selain itu, mangrove juga memiliki potensi

sebagai kawasan wisata berwawasan lingkungan. Di beberapa negara,

kawasan mangrove dikelola secara lestari sebagai salah satu tujuan

wisata pendidikan seperti di Malaysia, Australia, dan Indonesia.

Di dunia, dikenal banyak jenis tumbuhan mangrove. Tercatat telah

dikenali sebayanak 24 famili dan antara 54 samapai 75 spesies,

tergantung ahli mangrove yang mengidentifikasinya (Tomlinson, 1986 and

Field, 1995 dalam Murdiyanto, 2003). Di Indonesia disebutkan memiliki

sebanyak 89 jenis pohon mangrove atau menurut FAO (1985) dalam

Murdiyanto (2003) terdapat sebanyak 37 jenis. Dari berbagai jenis

mangrove tersebut, yang hidup di daerah pasang surut, tahan air garam

dan berbuah vivipar terdapat sekitar 12 famili. Sedangkan, jenis mangrove

yang banyak ditemukan antara lain jenis api-api (Avicennia sp.), bakau

(Rhizophora sp.), tancang (Bruguiera sp.) dan pedada (Sonnetaria sp).

Gambar 2.4. Siklus Hidup Mangrove (Sumber: Kesemat, 2009)

13

Untuk bisa bertahan dan berkembang menyebar di kondisi alam

yang keras, jenis-jenis bakau sejati mempunyai cara yang khas yaitu

mekanisme reproduksi dengan buah yang disebut vivipara. Seperti yang

dilihat pada gambar 2.4 Cara berbiak vivipar adalah dengan menyiapkan

bakal pohon (propagule) dari buah atau bijinya sebelum lepas dari pohon

induk. Mangrove menghasilkan buah yang mengecambah, mengeluarkan

akar sewaktu masih tergantung pada ranting pohon dan berada jauh di

atas permukaan air laut. Bijinya mengeluarkan tunas akar tunjang sebagai

kecambah sehingga pada waktu telah matang dan jatuh lepas dari tangkai

nanti, telah siap untuk tumbuh. Buah ini akan berkembang sampai tuntas,

siap dijatuhkan ke laut untuk dapat tumbuh menjadi pohon baru. Bakal

pohon yang jatuh dapat langsung menancap di tanah dan tumbuh atau

terapung-apung terbawa arus, sampai jauh dari tempat pohon induknya,

mencari tempat yang lebih dangkal. Setelah matang dan jatuh ke dalam

air, bakal pohon bakau ini terapung-apung sampai mencapai tepi yang

dangkal. Pada saat menemukan tempat dangkal, posisi bakal pohon

menjadi tegak vertikal, kemudian menumbuhkan akar-akar, cabang dan

daun-daun pertamanya. Pertumbuhan mangrove tergolong lambat ± 1

meter pertahun tergantung dari faktor yang mempengaruhi seperti

gerakan gelombang yang minimal agar jenis tumbuhan mangrove dapat

menancapkan akarnya, salinitas payau (pertemuan air laut dan tawar),

Endapan Lumpur dan zona intertidal (pasang surut) yang lebar.

Mangrove dapat berkembang di habitat dengan ciri-ciri seperti yang

dikemukakan oleh Bengen (2001), sebagai berikut:

a. Tumbuh pada daerah intertidal yang tanahnya berlumpur

atau berpasir.

b. Menerima pasokan air tawar yang cukup dari darat (sungai,

mata air atau air tanah) yang berfungsi untuk menurunkan salinitas

menambahpasokan unsur hara dan lumpur.

14

c. Terlindung dari gelombang besar dan arus pasang surut

yang kuat. Air payau dengan salinitas 2-22 ppm atau asin dengan

salinitas mencapai 33 ppm.

2.3 Peranan Mangrove Bagi Ekosistem Pantai 2.3.1 Mangrove dan Tsunami

Mangrove sebagai Sea Wall alami untuk perlidungan alami pantai

untuk mempertahankan luasan pulau dari abrasi pantai dan hempasan

gelombang akibat dampak bencana tsunami. Semua tipe hutan mangrove

mampu untuk meredam energi dan kekuatan tsunami, mengurangi

kecepatan dan dalamnya aliran, dan membatasi wilayah penggenangan.

Hutan-hutan mangrove yang alami, sehat dan utuh memberikan

perlindungan yang baik bagi wilayah pesisir.

Kerapatan pohon dan sistem perakaran mangrove yang

berkembang di atas permukaan tanah (stilt root, knee root, plunk root,

pneumatophore), khususnya yang membentuk cable root system dapat

memproteksi garis pantai sehingga tidak terjadi abrasi dari terjangan

gelombang arus laut karena adanya penyerapan energi gelombang dan

pengurangan kecepatan arus oleh perakaran mangrove tersebut. Hutan

mangrove berumur enam tahun dengan lebar 1,5 km dapat mengurangi

tinggi gelombang setinggi 1 m di laut lepas menjadi hanya setinggi 0,05 m

di pantai. (Mazda et.al. 1997 a; Saenger 1982).

2.3.2 Mangrove dan Angin KencangMangrove mampu melindungi dari tiupan angin kencang. Fractional

drag di atas kanopi mangrove adalah jauh lebih tinggi dibandingkan di

atas permukaan air, sehingga semakin ke arah mangrove pedalaman

kecepatan angin semakin berkurang. Saenger (1982) melaporkan bahwa

mangrove yang tersusun oleh tegakan pohon dengan tinggi 3 – 5 m hanya

sedikit mengalami kerusakan (1% dari jumlah pohon) akibat tiupan angin

topan.

15

2.3.3 Mangrove dan SedimentasiHutan mangrove mampu mengikat sedimen yang terlarut dari

sungai dan memperkecil erosi atau abrasi pantai. Erosi di pantai Marunda,

Jakarta yang tidak bermangrove selama dua bulan mencapai 2 m,

sementara yang berbakau hanya 1 m (Sediadi, 1991). Dalam kaitannya

dengan kecepatan pengendapan tanah di hutan mangrove, Anwar (1998)

dengan mengambil lokasi penelitian di Suwung Bali dan Gili Sulat

Lombok, menginformasikan laju akumulasi tanah adalah 20,6 kg/m2/th

atau setara dengan 14,7 mm/th (dominasi Sonneratia alba); 9 kg/m2/th

atau 6,4 mm/th (dominasi Rhizophora apiculata); 6 kg/m2/th atau 4,3

mm/th (bekas tambak); dan 8,5 kg/m2/th atau 6 mm/th (mangrove

campuran). Dengan demikian, rata-rata akumulasi tanah pada mangrove

Suwung 12,6 kg/m2/th atau 9 mm/th, sedang mangrove Gili Sulat 8,5

kg/m2/th atau 6 mm/th. Data lain menunjukkan adanya kecenderungan

terjadinya pengendapan tanah setebal antara 6 sampai 15 mm/ha/th atas

kehadiran mangrove. Informasi semacam ini sangat diperlukan guna

mengantisipasi permasalahan sosial atas lahan timbul di kemudian hari.

2.3.4 Mangrove dan Blue CarbonMangrove sebagai penyerab karbon. Karbon Biru adalah karbon

yang diserap ekositem pantai dan laut. Menurut Andreas A. Hutahaean,

2013, Dari ekosistem padang lamun (seagrass) dan mangrove saja,

Indonesia mampu menyerap 138 juta ton karbon per tahun. Penyerap

karbon biru adalah ekosistem mangrove, rawa payau dan padang-lamun.

Karbon yang diserap dan disimpan oleh organisme lingkungan laut ini

tersimpan dalam bentuk sedimen. Karbon tersebut dapat tertimbun tidak

hanya selama puluhan tahun atau ratusan tahun (seperti halnya karbon di

ekosistem hutan) tetapi selama ribuan tahun.

16

2.4 Penginderaan JauhPenginderaan jauh merupakan ilmu dan seni untuk memperoleh

informasi tentang suatu objek, daerah atau fenomena melalui analisis data

yang diperoleh dengan menggunakan suatu alat tanpa kontak langsung

dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji (Lillesand and Kiefer,

1979 dalam Solichia, 2011).

2.4.1 Sistem Penginderaan Jauh

Gambar 2.5. Sistem Penginderaan Jauh (Sutanto,1986)

2.4.2 LandsatLandsat-1 merupakan satelit pengamat permukaan bumi (earth

observation sattelite/EOS) pertama yang diluncurkan AS pada tahun

1972. Kemampuannya dalam mengamati permukaan bumi jauh dari ruang

angkasa telah diakui. Setelah Landsat-1, Landsat-2, 3, 4, 5 dan 7

diluncurkan. Landsat-7 masih digunakan sampaim sekarang sebagai

satelit utama

(sumber: http://landsat.usgs.gov/images/squares/timeline.jpg)

Gambar 2.6. Perkembangan citra satelit Landsat

17

Landsat-7 berhasil diluncurkan pada 15 April 1999 dari markas

angkatan udara Vanderburg. Landsat-7 memiliki berat sekitar 5.000 pound

dan mengorbit Bumi pada ketinggian 705 km. Orbita satelit diprogram

dengan siklus 16 hari sesuai Landsat Worlwide Reference System.

Landsat-7 dilengkapi dengan sensor Enhanched Thematic Mapper Plus

(ETM+) yang merupakan penerus dari sensor TM pada Landsat-5 (SIC,

2001-2010).

(sumber:http://science.nasa.gov/media/medialibrary/2010/03/31/landsat_7.gif)

Gambar 2.7. Konfigurasi Satelit Landsat-7

Sensor ETM+ tidak jauh berbeda dengan sensor TM. Prinsip

pengamatan spektral menggunakan tujuh band spektral dengan

penembahan pankromatik band-8 dengan resolusi 15x15 m².

Satelit Landsat 8 memiliki sensor Onboard Operational Land

Imager (OLI) dan Thermal Infrared Sensor (TIRS) dengan jumlah kanal

sebanyak 11 buah. Diantara kanal-kanal tersebut, 9 kanal (band 1-9)

berada pada OLI dan 2 lainnya (band 10 dan 11) pada TIRS. Sebagian

besar kanal memiliki spesifikasi mirip dengan Landsat-7. Dibandingkan

versi-versi sebelumnya, Landsat-8 memiliki beberapa keunggulan

khususnya terkait spesifikasi band-band yang dimiliki maupun panjang

rentang spektrum gelombang elektromagnetik yang ditangkap.

Sebagaimana telah diketahui, warna objek pada citra tersusun atas 3

warna dasar, yaitu Red, Green dan Blue (RGB). Dengan makin

18

banyaknya band sebagai penyusun RGB komposit, maka warna-warna

obyek menjadi lebih bervariasi.

Gambar 2.8. Landsat-8 (Sumber : USGS)

Terkait resolusi spasial, Landsat-8 memiliki kanal-kanal dengan

resolusi tingkat menengah, setara dengan kanal-kanal pada Landsat-5

dan 7. Umumnya kanal pada OLI memiliki resolusi 30 m, kecuali untuk

pankromatik 15 m. Dengan demikian produk-produk citra yang dihasilkan

oleh Landsat-5 dan 7 pada beberapa dekade masih relevan bagi studi

data time series terhadap Landsat-8.

Tabel 2.1 Karakteristik Landsat-7 dan Landsat-8Sistem Landsat-7 Landsat-8

Orbit 705 km, 98,2o, sun-synchronous, 10:00 AM

705 km, 98,2o, sun-synchronous, 10:00 AM

Crossing, Rotasi 16 hari (repeat cycle) 16 hari (repeat cycle)

Sensor ETM+ (Enhanced Thematic Mapper)

Operating Land Imagery (OLI)

Swath Width 185 km (FOV=15o) 185 km (FOV=15o)Off-track viewing Tidak tersedia Tidak tersedia

Revisit Time 16 hari 16 hari

Resolusi spasial

15 m (pankromatik), 30 m (multispektral), 60 m (termal)

15 m (pankromatik), 30 m (multispektral), 100 m (termal)

(Sumber: NASA, 2010).

19

2.5 Penginderaan Jauh untuk Deteksi MangroveKemampuan teknologi inderaja untuk menghasilkan informasi objek

dari jarak jauh melalui deteksi gelombang elektromagnetik memungkinkan

untuk memperoleh informasi suatu daerah yang terpencil sekalipun.

Aplikasi penginderaan jauh multispektral mangrove meliputi perkiraan

jumlah, kerapatan, dan distribusi vegetasi. Penginderaan jauh dapat

dimanfaatkan dalam pemantauan vegetasi mangrove, hal ini didasarkan

atas dua sifat penting yaitu bahwa mangrove mempunyai zat hijau daun

(klorofil) dan mangrove tumbuh di pesisir. Sifat optik klorofil sangat khas

yaitu bahwa klorofil menyerap spektrum sinar merah dan memantulkan

kuat spektrum hijau (Susilo, 2000).

2.6 Indeks VegetasiIndeks vegetasi merupakan salah satu peubah baru yang

berhubungan dengan pertumbuhan tanaman yang diturunkan dari

beberapa reflektansi saluran spektral. Beberapa indeks vegetasi

berhubungan erat dengan parameter fisik tanaman yang penting sehingga

dapat digunakan untuk menduga indeks luas daun, persentase penutupan

lahan, tinggi tanaman, biomassa hijau dan populasi/kerapatan tanaman.

Beberapa diantaranya mampu menghilangkan atau setidaknya

memperkecil gangguan radiometrik pada suatu liputan, dan memperkecil

perbedaan radiometrik antar liputan dan antar sensor, sehingga

memungkinkan pengintegrasian data spektral yang dikumpulkan pada

waktu berbeda dan oleh sensor yang berbeda.

Indeks vegetasi yang umum digunakan adalah normalised

difference vegetation index (NDVI). Formula untuk menghitung nilai NDVI

adalah:

NDVI = (kanal NIR – kanal Red) / (kanal NIR + kanal Red)

20

Nilai NDVI mempunyai rentang -1 hingga 1. Nilai yang mewakili

vegetasi pada rentang 0,1 hingga 0,8 menggambarkan tingkat kesehatan

tutupan vegetasi. Data dari bermacam sensor satelit yang dapat

digunakan dalam formulasi ini, antara lain:

* Landsat TM/ETM – kanal 3 (0,63-0,69 µm) dan 4 (0,76-0,90 µm)

* NOAA AVHRR – kanal 1 (0,58-0,68 µm) dan 2 (0,72-1,0 µm)

* Terra MODIS – kanal 1 (0,62-0,67 µm) dan 2 (0,841-0,876 µm)

* SPOT – kanal 1 (0,49-0,61 µm) dan 2 (0,61-0,68 µm)

Menurut Schowengerdt, 1997 dalam Arhatin, 2007 menyebutkan

bentuk sederhana dari rasio antara kanal near-infrared dan red adalah

Ratio Vegetation Index (RVI) = NIR/Red dan Normalised Difference

Vegetation Index (NDVI) = (NIR-red)/(NIR+Red) dengan nilai indeks

vegetasi tinggi memberi gambaran bahwa di areal yang diamati memiliki

tingkat kehijauan tinggi, seperti areal hutan rapat dan lebat. Sebaliknya

nilai indeks vegetasi yang rendah mengindikasikan bahwa di areal

tersebut memiliki tingkat kehijauan yang rendah atau lahan vegetasi

rendah atau kemungkinan bukan objek vegetasi.

Penggunaan NDVI untuk analisis vegetasi sudah cukup banyak

dilakukan. Beberapa peran penting NDVI adalah dalam pendugaan

pertukaran CO dari tanaman selama masa pertumbuhan, monitoring

tanaman pertanian, pendugaan hubungan antara klorofil daun dan nilai

reflektannya, pendugaan klorosis yang terjadi pada daun tanaman

terganggu dengan yellowness index dan dalam pengukuran fluks suhu

tanah atau radiasi tanah.

21

BAB IIIMETODOLOGI PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi PenelitianPengumpulan data lapangan dilakukan pada bulan Mei 2015,

Sedangkan data digital berupa data satelit dikumpulkan dalam rentang

waktu bulan Juni 2015 sampai dengan bulan Juli 2015. Kegiatan

pengolahan data dilakukan di LAPAN. Lokasi yang dipilih untuk penelitian

ini adalah di Kema, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara.

Gambar 3.1. Peta lokasi penelitian (ground thruting)

22

Penelitian lapangan (ground thruting) dilakukan pada tanggal 27

April - 3 Mei 2015 di lokasi yang berada di Kema, Kabupaten Minahasa

Utara dengan mengambil titik koordinat stasiun sampling mangrove.

3.2 Bahan dan Alat Bahan yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data citra

Landsat-7 path/row 111/059 tahun 2000 dan data citra Landsat-8 tahun

2015 dengan spesifikasi seperti yang ditunjukkan pada Tabel 3.1. Selain

itu, Peta laut Digital Kawasan penelitian yaitu Peta Laut nomer 344 tahun

2000 skala 1: 200.000 Dishidros TNI AL, digunakan sebagai peta acuan

area kerja.

Tabel 3.1. Citra Landsat yang digunakan

NO Kode Perekaman Jenis Citra Tahun

1 L7111059_20001120INCAS Landsat-7 2000

2 LC81110592015150DKI00 Landsat-8 2015

Peralatan yang digunakan berupa perangkat lunak (Software)

ErMapper v7.1, Mircosoft Office 2010, perangkat keras komputer,

flashdisk, printer, GPS (Global Positioning System), Kamera Digital.

.

3.3 Data dan Informasi yang Diperlukan Data dan informasi yang diperlukan pada penelitian ini adalah:

a. Data hasil pengolahan citra satelit Landsat, yaitu:

1) Nilai indeks vegetasi (NDVI) area mangrove.

2) Peta klasifikasi penutupan lahan (mangrove dan non-

mangrove) kawasan penelitian.

3) Peta sebaran dan kerapatan vegetasi mangrove.

b. Data hasil penelitian lapangan berupa koordinat groundtruth

atau lokasi sampling mangrove

c. Data pendukung yaitu Foto lokasi mangrove.

23

3.4 Metode PenelitianUntuk memperoleh hasil sebaran dan luasan mangrove serta

kerapatan vegetasi mangrove diperlukan beberapa tahap. Langkah –

langkah pengolahan data citra Satelit Landsat-7 dan Landsat-8 untuk

mendapatkan informasi luasan dan kerapatan mangrove pada daerah

penelitian disajikan pada Gambar 3.2.

dimana, t1: data citra tahun 2000

t2: data citra tahun 2015

Gambar 3.2. Alur pengolahan data

24

Pengkelasan kerapatan Mangrove (rendah, sedang, tinggi)

NDVI

Koreksi Radiometrik dan Geometrik

Digitasi Pemisahan Ekosistem Mangrove dan Non Mangrove

Menghitung Luas Sebaran dan Kerapatan Vegetasi

Mangrove

Croping Lokasi Penelitian

Penentuan Threshold Memisahkan Mangrove Dari Air dan Lahan Terbuka

Citra Landsat-7 (t1) dan Landsat-8 (t2))

Peta Sebaran Mangrove dan Peta Kerapatan Vegetasi Mangrove

Kerapatan Vegetasi Mangrove (t1 dan t2)

mangrove Data Lapangan(Ground

Truthing)

Analisis Data dan Validasi

Analisis Mangrove Untuk Pelindung

Pantai

3.4.1 Penyiapan CitraLangkah pertama dalam pengolahan citra adalah mengimport data

satelit yang digunakan ke dalam format ER Mapper. Dua bentuk utama

data yang diimport ke dalam ER Mapper adalah data raster dan data

vektor. Data raster adalah tipe data yang menjadi bahan utama kegiatan

pengolahan citra. Contoh data raster adalah citra satelit dan foto udara.

Pada saat mengimport data raster, ER Mapper membuat dua files yaitu:

file data binary yang berisikan data raster dalam format BIL tanpa

ekstension dan file header dalam format ASCII dengan extension .ers.

Data vektor adalah data yang tersimpan dalam bentuk garis, titik dan

polygon. Contoh data vector adalah data yang dihasilkan dari hasil

digitasi. Sistem proyeksi yang digunakan adalah koordinat UTM; Spheroid

dan Datum WGS84; UTM Zona 51; dan lintang utara.

Untuk mengidentifikasi hutan mangrove dengan data citra satelit

Landsat-7 ETM+ mengacu pada eskplorasi citra komposit RGB-453.

Sedangkan pada citra satelit Landsat-8 digunakan komposit RGB-564 di

mana ketiga band tersebut termasuk dalam kisaran spektrum tampak dan

inframerah - dekat dan mempunyai panjang gelombang yang sesuai

dengan panjang gelombang band 4, band 5 dan band 3 pada citra satelit

landsat-7 ETM+. Tabel 3.2 adalah perbandingan spesifikasi band pada

Landsat-7 ETM+ dan Landsat-8.

Tabel 3.2. Perbandingan Spesifikasi Band Landsat-7 dan Landsat-8

(Sumber : NASA, 2008)

L7 ETM+ Bands LDCM OLI/TIRS BandBand Spesifikasi Band Spesifikasi

Band 1 Coastal/Aerosol, (0.433 – 0.453 µm), 30

Band 1 Blue, (0.450 – 0.515 µm), 30 m Band 2 Blue, (0.450 – 0.515 µm), 30 m

Band 2 reen, (0.525 – 0.605 µm), 30 m Band 3 Green, (0.525 – 0.600 µm), 30 m

Band 3 Red, (0.630 – 0.690 µm), 30 m Band 4 Red, (0.630 – 0.680 µm), 30 m

Band 4Near-Infrared, (0.775 – 0.900 µm), 30

Band 5 Near-Infrared, (0.845 – 0.885 µm), 30 m

25

Band 5SWIR 1, (1.550 – 1.750 µm), 30 m

Band 6 SWIR 1, (1.560 – 1.660 µm), 30 m

Band 7SWIR 2, (2.090 – 2.350 µm), 30 m

Band 7 SWIR 2, (2.100 – 2.300 µm), 30 m

Band 8 pan, (0.520 – 0.900 µm), 15 m Band 8 Pan, (0.500 – 0.680 µm), 15 m

Band 9 Cirrus, (1.360 – 1.390 µm), 30 m

Band 6 LWIR, (10.00– 12.50 µm), 15 m Band 10 LWIR 1, (10.3 – 11.3 µm), 100 m

Band 11 WIR 2, (11.5 – 12.5 µm), 100 m

Sebelum pemrosesan data dilakukan pemotongan (cropping) data

citra Landsat-7, dan Landsat-8 sehingga diperoleh data sesuai dengan

daerah yang diteliti.

3.4.2 Koreksi Geometrik Koreksi Geometrik adalah koreksi posisi citra akibat kesalahan

yang disebabkan oleh konfigurasi sensor, perubahan ketinggian, posisi

dan kecepatan wahana. Koreksi geometrik dilakukan untuk mengurangi

kesalahan yang disebabkan oleh gerak sapuan penjelajah dan satelit,

gerak perputaran dari bumi dan faktor kelengkungan bumi yang

mengakibatkan pergeseran posisi terhadap system koordinat referensi.

Dalam hal ini proses koreksi geometrik dilakukan dengan

mentransformasikan posisi setiap piksel yang ada di citra terhadap posisi

obyek sama dipermukaan bumi dengan memakai beberapa titik kontrol

tanah (Sukojo dan Kustarto 2002).

Tujuan dilakukannya koreksi geometrik adalah untuk menyamakan

posisi piksel-piksel dari data citra Landsat yang dianalisis, sekaligus

memperbaiki piksel-piksel tersebut dari distorsi yang mungkin terjadi.

3.4.3 Koreksi RadiometrikKoreksi radiometrik adalah proses untuk meningkatkan akurasi dari

reflektansi (pantulan) permukaan bumi, emisi dan hamburan yang

diperoleh dari sistem penginderaan jauh. Koreksi error sensor, koreksi

sudut dan jarak matahari, koreksi topografi dan koreksi atmosferik.

26

Tujuan dari koreksi radiometrik adalah untuk memperbaiki nilai

piksel pada data menjadi radian atau reflektansi yang sebenarnya “true”

dari objek di permukaan bumi (Sukojo dan Kustarto 2002). Dalam

penelitian ini koreksi radiometrik yang digunakan untuk memperbaiki citra

akibat distorsi dari gangguan atmosfer dengan metode memperbaiki

reflektansi obyek yang diterima oleh satelit dengan mengkonversi nilai

digital number (DN) citra ke spectral yang dipancarkan obyek yang

disebut TOA.

Metode koreksi radiometrik TOA adalah untuk mendukung proses

klasifikasi obyek yang mempunyai karakteristik reflektansi yang berbeda

pada setiap obyek yang berbeda dan koreksi nilai digital dari obyek yang

kenampakannya dipengaruhi oleh sudut matahari. Koreksi radiometrik

diperlukan karena belum adanya system remote sensing yang sempurna

(sensor pada system remote sensing tidak dapat merekam seluruh

fenomena pada atmosfir, daratan dan lautan yang sangat komplek).

Terdapat dua sumber kesalahan dalam koreksi radiometrik, yaitu:

a. Internal errors yang disebabkan oleh system remote

sensing. Pada umumnya sistematis (dapat diprediksi). Sehingga

memungkinkan untuk diidentifikasi dan diperbaiki dengan

menggunakan hasil kalibrasi (sebelum peluncuran dan periodik),

missal: striping.

b. External errors yang disebabkan oleh berbagai fenomena

yang terjadi di alam meliputi ruang dan waktu. Factor External yang

disebabkan error pada data meliputi: gangguan atmosfir, kondisi

terrain permukaan bumi, viewing geometry dll. Umumnya diperbaiki

dengan hubungan empiris antara nilai sensor dengan pengukuran

lapangan.

27

Dalam penelitian ini, koreksi radiometrik dilakukan 2 tahap, yaitu

konversi ke dalam TOA reflektansi dan koreksi TOA reflektansi dengan

menggunakan sudut matahari:

a. Koreksi ke dalam TOA reflektansi

Data OLI band juga dapat dikonversi ke TOA reflektansi

dengan menggunakan skala koefisien yang tersedia dalam produk

file metadata (MTL file). Persamaan berikut digunakan untuk

mengubah nilai Digital Number (DN) ke TOA reflektansi untuk data

OLI :

ρλ' = MρQcal + Aρdimana:

ρλ ' = TOA reflektansi, tanpa koreksi untuk sudut matahari.

Mρ = REFLECTANCE_MULT_BAND_x, di mana x adalah

nomor Band.

Aρ = REFLECTANCE_ADD_BAND_x, di mana x adalah nomor

Band.

Qcal = Nilai digital number (DN).

b. Koreksi TOA reflektansi dengan menggunakan sudut

matahari

Koreksi dengan menggunakan sudut matahari dilakukan

dengan memasukkan nilai dari sun elevation yang di dapat dari

tabel metadata. Berikut adalah rumus dari TOA reflektansi dengan

sudut matahari:

ρλ= ρλ'/(cos(θSZ))=ρλ'/(sin(θSE))dimana:

ρλ = TOA reflektansi

θSE = sun elevation

θSZ = sudut zenith matahari , θSZ = 90° - θSE

= 90° - 48,92714932

= 41,07285068

28

3.4.4 Penentuan Area Mangrove dan Non-MangroveMangrove dapat diidentifikasi dengan menggunakan teknologi

penginderaan jauh, dimana letak geografi hutan mangrove yang berada

pada daerah peralihan darat dan laut dapat terlihat jelas dari citra yang

sudah dikombinasikan setiap bandnya sehingga penentuan mangrove dan

non-mangrove dapat di teliti dengan mendigitasi metode poligon.

3.4.5 Analisis Indek Vegetasi Untuk menghitung nilai indek vegetasi mangrove digunakan

metode rasio band Inframerah dekat (NIR) dan band merah. Indeks

vegetasi yang digunakan adalah normalised difference vegetation index

(NDVI). Formula untuk menghitung nilai NDVI adalah :

NDVI = (kanal NIR – kanal Red) / (kanal NIR + kanal Red)dimana, NIR = Near Infra Red ( infra merah dekat)

R = Red (merah)

Kanal infra merah dekat mempunyai pantulan tinggi (penyerapan

rendah) terhadap objek vegetasi dan kanal merah memiliki pantulan

rendah (penyerapan tinggi) terhadap objek vegetasi. Perbedaan pantulan

diantaranya keduanya sangat kontras sehingga berguna untuk

menentukan indek kerapatan dan luas vegetasi. Nilai index mempunyai

rentang -1 hingga 1.

3.4.6 Penentuan Threshold dan Kelas KerapatanThresholding merupakan salah satu teknik segmentasi yang baik

digunakan untuk citra dengan perbedaan nilai intensitas yang signifikan

antara objek utama dan objek lain (Katz, 2000 dalam Johan 2015 ). Dalam

pelaksanaannya Threshold membutuhkan suatu nilai yang digunakan

sebagai nilai pembatas antara objek utama (mangrove) dengan objek lain

(non mangrove) dari tiap-tiap piksel data citra yang diteliti.

29

Untuk menentukan nilai kerapatan tajuk mangrove menggunakan

hasil dari perhitungan NDVI. Kemudian nilai kelas NDVI tersebut

diklasifikasi ulang (reclass) menjadi 3 (tiga) kelas, yaitu kerapatan rendah,

sedang dan tinggi. Perhitungan interval kelas kerapatan berdasarkan

rumus sebagai berikut (Setiawan, 2013):

KI = (xt - xr) / kDimana KI adalah kelas interval, xt adalah nilai tertinggi, xr adalah nilai

terendah dan k adalah jumlah kelas yang diinginkan.

3.4.7 Survei LapanganSurvei lapangan adalah suatu aktivitas atau kegiatan penelitian

yang dilakukan untuk mendapatkan suatu kepastian informasi dengan

cara mengambil data dilapangan yang diperlukan untuk penelitian yang

akan dianalisa. Kegiatan survei lapangan di daerah penelitian di Kema

yaitu pengambilan data lapangan berupa pengambilan titik koordinat

stasiun ground thruting, pengambilan gambar ekosistem mangrove.

3.4.8 Analisis DataUntuk mendapatkan perubahan dari suatu informasi sebaran dan

kerapatan vegetasi mangrove diperlukan teknik overlay dua data dari data

citra tahun 2000 dan data citra tahun 2015 yang telah diolah sehingga

menghasilkan luasan mangrove dan kerapatan vegetasi mangrove.

30

BAB IVHASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil4.1.1 Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Luas wilayah Kabupaten Minahasa Utara sebesar 1.261 km² luas

lautan dan luas daratan 1.059.244 km² dengan garis pantai sepanjang

292,20 km yang terbagi pada 10 kecamatan, diantaranya adalah

kecamatan Kema luas wilayahnya 78,755 km² dengan panjang garis

pantai sepanjang 20 km. Tipe iklim diwilayah ini yaitu iklim tropis yang

cenderung basah yang dipengaruhi oleh angin muson dimana pada bulan

Mei – Oktober yaitu musim kemarau. Bulan November sampai dengan

April dipengaruhi oleh angin barat yang membawa hujan. Angka curah

hujan rata-rata setiap tahun berkisar 2.000 – 3.000 mm dengan jumlah

hari hujan 90-130 hari per tahun, suhu udara rata-rata 26,2 C dengan

suhu terendah 25,7 C, suhu tertinggi 27,1 C. Kondisi pantai yang

ditumbuhi mangrove rata-rata berpasir hitam dan bersedimen rata-rata 90

cm.

4.1.2 Proses Data CitraCitra yang sudah dikonversi masih terdiri dari file-file tiap band

yang terpisah (Lampiran A). Setiap band tersebut memiliki fungsi masing-

masing dalam menampilkan karateristik suatu objek liputan. Band-band

tersebut perlu untuk disatukan agar dapat dilakukan analisis multi-band

pada data citra. Citra yang terdiri dari multiband disebut citra komposit.

Kombinasi band yang paling baik untuk pengamatan mangrove adalah

band 453 (RGB) untuk citra Landsat-7 dan band 564 (RGB) untuk citra

Landsat-8. Band (RGB) tersebut merupakan band yang paling baik untuk

mendeteksi keberadaan mangrove karena mangrove memberikan

penampakan yang lebih jelas dibanding objek-objek lain.

31

Gambar 4.1. Data citra Landsat-7 tahun 2000 dan Landsat-8 tahun 2015

Band 4 pada citra Landsat-7 tahun 2000 dan band 5 pada citra

Landsat-8 tahun 2015 digunakan dalam penonjolan obyek vegetasi

karena pada kisaran band tersebut, vegetasi akan memantulkan radiasi

gelombang elektromagnetik paling besar yaitu 50%-60% yang mempunyai

kenampakan berwarna cerah/terang. Sedangkan untuk kenampakan

obyek yang menyerap gelombang elektromagnetik cenderung berwarna

terang.

Band 3 pada citra Landsat-7 tahun 2000 dan band 4 pada citra

Landsat-8 tahun 2015 merupakan band yang memperkuat kontras antara

kenampakan vegetasi dan bukan vegetasi, karena itu band ini digunakan

untuk memisahkan vegetasi. Pada band tersebut, pantulan nilai air cukup

tinggi dibandingkan nilai pantulan air pada band lainnya, serta pantulan

nilai vegetasi cukup rendah karena band ini merupakan band penyerap

klorofil. Air merupakan obyek yang banyak menyerap gelombang

elektromagnetik sehingga kenampakan air cukup gelap. Demikian juga

untuk vegetasi yang mana klorofil cenderung menyerap cahaya.

Mangrove merupakan vegetasi yang berada di lahan basah. Karena itu

32

kenampakan mangrove terlihat lebih gelap bila dibandingkan dengan

vegetasi-vegetasi lainnya yang ada di lahan kering.

Band 5 pada citra Landsat-7 tahun 2000 dan band 6 pada citra

Landsat-8 tahun 2015 digunakan untuk penonjolan obyek tanah. Tanah

memantulkan radiasi gelombang elektromagnetik yang optimal pada band

tersebut.

Area liputan citra yang luas melebihi objek penelitian perlu

dipersempit dengan melakukan pemotongan citra (cropping) di daerah

bagian selatan Kabupaten Minahasa Utara, tidak semua data yang

tercakup dalam lokasi tersebut dibutuhkan, maka lokasi tersebut di crop

sesuai dengan lokasi kajian penelitian yaitu di Kema.

Gambar 4.2. Tampilan cropping citra Landsat di Kema

33

Data citra Landsat-7 tahun 2000 dan citra Landsat-8 tahun 2015

mempunyai level-1T yang artinya telah terkoreksi dari USGS

menggunakan referensi GLS2000 sehingga tidak dilakukan koreksi

geometrik. Data Landsat produk level-1T tersebut mempunyai ketelitian

geometrik yang lebih baik, sehingga memungkinkan analisis tumpang

susun (overlay) antar waktu dengan pergeseran geometri kurang dari 1

piksel. Dengan demikian maka perubahan tutupan lahan dapat diukur

melalui data penginderaan jauh Landsat dengan lebih akurat, sehingga

perubahan yang terjadi adalah perubahan objek yang nyata bukan akibat

pergeseran geometrik. Sistem koordinat yang dipakai adalah Datum

geodetic WGS84, proyeksi Transverse Mercator, dan Zona 51Utara.

Dua data citra tersebut juga telah terkoreksi radiometrik dengan

menggunakan metode TOA (Top of Atmospheric) sehingga nilai digital

number (DN) dirubah menjadi nilai reflektansi. TOA menghitung nilai

reflectance dengan memperhitungkan :

a. Sudut kedatangan (sudut zenit matahari) karena optical

satellite memanfaatkan cahaya matahari yang dipantulkan oleh

objek yang ada di permukaan bumi.

b. Radiance, adalah intensitas cahaya yang diterima oleh

sensor satelit.

c. Jarak matahari dengan bumi berdasarkan Julian date (beda

hari beda jarak). Karena bumi mengelilingi matahari dengan

lintasan menyerupai elips.

d. Nilai Irradiance, masing masing band memiliki konstanta

yang berbeda.

e. Untuk objek yang sama seharusnya memiliki nilai

reflectance yang sama.

34

4.1.3 Penentuan Area Mangrove dan Non-MangroveMangrove dapat diidentifiikasi dengan cara melakukan kombinasi

band RGB-453 di citra tahun 2000 dan RGB-564 di citra tahun 2015,

sehingga dapat dilakukan penentuan ekosistem mangrove dan non

mangrove dengan cara digitasi polygon.

Citra tahun 2000 Citra tahun 2015

Keterangan : Batas area ekosistem mangrove

Gambar 4.3. Area batas ekosistem mangrove dan non-mangrove

Pemotongan citra area ekosistem mangrove dilakukan agar dapat

menentukan luasan dan kerapatan mangrove sehingga pengolahan data

tersebut terfokus terhadap area yang diolah seperti ditunjukkan pada

gambar 4.4.

35

Citra tahun 2000 Citra tahun 2015

Gambar 4.4. Tampilan area cropping ekosistem mangrove

4.1.4 NDVINDVI (Normalized Difference Vegetation Index) adalah perhitungan

citra yang digunakan untuk mengetahui tingkat kehijauan, yang sangat

baik sebagai awal dari pembagian daerah vegetasi. NDVI dapat

menunjukkan parameter yang berhubungan dengan parameter vegetasi,

antara lain, biomass dedaunan hijau, daerah dedaunan hijau yang

merupakan nilai yang  dapat diperkirakan untuk pembagian vegetasi. Nilai

NDVI mempunyai rentang dari -1.0 (minus 1) hingga 1.0 (positif 1). Nilai

yang mewakili vegetasi berada pada rentang 0.1 hingga 0.8 yang

menunjukkan tingkat kesehatan dari tutupan vegetasi yang lebih baik

(Prahasta, 2008 dalam Waas, 2010).

36

Hasil pengolahan NDVI dalam penelitian ini diperoleh range nilai

-0,210 – 0,790 untuk citra tahun 2000 dan range nilai -0,690 – 0,834 untuk

citra tahun 2015.

NDVI citra tahun 2000 NDVI citra tahun 2015

Gambar 4.5. Tampilan hasil pengolahan NDVI

37

Berdasarkan gambar 4.5 dapat dijelaskan bahwa nilai merah

memiliki nilai NDVI yang tinggi, sedangkan nilai warna hijau memiliki nilai

NDVI yang rendah. Nilai NDVI yang tinggi dapat diidentifikasi memiliki

vegetasi yang lebat atau rapat, sedangkan nilai NDVI yang rendah dapat

diidentifikasi memiliki vegetasi yang jarang atau non-vegetasi.

4.1.5 Penentuan Threshold dan Kelas KerapatanPenentuan threshold (ambang batas) NDVI untuk identifikasi nilai

pembatas antara objek utama (mangrove) dengan objek lain (non

mangrove) dari tiap-tiap piksel data citra tahun 2000 dan tahun 2015.

Tabel 4.1. Threshold nilai NDVI mangrove

Tahun Ambang Batas

NDVI 2000 0,40

NDVI 2015 0,40

Berdasarkan tabel diatas, ambang batas untuk tiap data citra tahun

2000 dan data citra tahun 2015 memiliki nilai 0,40. Nilai tiap-tiap piksel

dari data citra yang lebih dari 0,40 mengidentifikasi adanya mangrove,

sedangkan nilai tiap-tiap piksel data citra kurang dari 0,40 mengidentifikasi

bukan mangrove yang merupakan lahan terbuka dan perairan.

Untuk mengetahui luasan mangrove di daerah Kema dilakukan

dengan melakukan unsupervised classification atau klasifikasi tidak

terbimbing yang merupakan langkah pengolahan data yang digunakan

untuk membuat penggolongan berdasarkan 2 (dua) kategori antara lain

mangrove dan non-mangrove.

38

Tabel 4.2. Luas ekosistem mangrove

Tahun Luas mangrove(ha)

Luas non-mangrove(ha)

Total luas(ha)

2000 172,52 50,96 223,48

2015 174,92 48,56 223,48

Citra tahun 2000 Citra tahun 2015

Gambar 4.6. Tampilan kelas klasifikasi mangrove dan non-mangrove

39

Gambar 4.7. Peta sebaran mangrove citra tahun 2000

Gambar 4.8. Peta sebaran mangrove citra tahun 2015

40

Berdasarkan tabel 4.2 dan gambar 4.6 dari hasil klasifikasi tidak

terbimbing menunjukkan bahwa citra tahun 2000 terdiri dari 2 kategori

yaitu mangrove dengan tampilan warna merah dengan luas 172,52 ha,

sedangkan non-mangrove dengan tampilan warna biru dengan luas 50,96

ha, total luas ekosistem mangrove 223,48 ha. Untuk citra tahun 2015 yaitu

mangrove dengan tampilan warna merah dengan luas 174,92 ha,

sedangkan non-mangrove dengan tampilan warna biru dengan luas 48,56

ha, total luas ekosistem mangrove 223,48 ha.

Dari hasil perhitungan NDVI dapat ditentukan nilai kerapatan

mangrove dengan mengklasifikasi ulang menjadi 3 (tiga) kelas yaitu kelas

kerapatan rendah, sedang, dan tinggi. Perhitungan NDVI untuk citra tahun

2000 dan citra tahun 2015 diperoleh range nilai 0,40 – 0,83. Sehingga

dapat dirumuskan yaitu:

KI = (xt - xr) / k = (0,83 – 0,40) / 3

= 0,43 / 3

KI = 0,143

Dimana KI adalah Kelas interval, xt adalah Nilai tertinggi NDVI mangrove,

xr adalah Nilai terendah NDVI mangrove dan k adalah Jumlah kelas

kerapatan mangrove

Tabel 4.3. Klasifikasi kelas interval kerapatan mangrove

Kelas kerapatan Kelas interval

Rendah 0,543 ≥ NDVI ≥ 0,40

Sedang 0,686 ≥ NDVI > 0,543

Tinggi 0,83 ≥ NDVI > 0,686

Berdasarkan tabel 4.3 menunjukkan bahwa perhitungan NDVI

untuk kelas kerapatan mangrove terbagi menjadi 3 (tiga) kelas yaitu kelas

kerapatan rendah diidentifikasi dengan nilai range 0,40 – 0,543.

Sedangkan kelas kerapatan sedang diidentifikasi dengan nilai range

41

>0,543 – 0,686. Serta kelas kerapatan tinggi diidentifikasi dengan nilai

range >0,686 – 0,83. Adapun rumus formula kelas kerapatan di

pengolahan Er Mapper yaitu :

if i1 ≤0.4 then 1 else (non mangrove)

if i1>0.4 and i1≤0.543 then 2 else (kelas kerapatan rendah)

if i1>0.543 and i1≤0.686 then 3 else (kelas kerapatan sedang)

if i1>0.686 and i1≤0.83 then 4 else null (kelas kerapatan tinggi)

Kelas kerapatan citra tahun 2000 Kelas kerapatan citra tahun 2015

Gambar 4.9. Tampilan kelas kerapatan mangrove

42

Kelas kerapatan citra tahun 2000 Kelas kerapatan citra tahun 2015

Gambar 4.10. Tampilan zoom kelas kerapatan mangrove

Gambar 4.11. Klasifikasi warna kelas kerapatan mangrove

Hasil sebaran kerapatan mangrove pada daerah Kema dapat

dilihat pada Gambar 4.9 dan gambar 4.10 . Warna Mangrove hasil olahan

dapat menentukan tingkat kerapatan pada daerah Kema. Warna merah

merupakan vegetasi mangrove dengan kerapatan tinggi, warna hijau

merupakan vegetasi dengan kerapatan sedang, warna kuning merupakan

vegetasi dengan kerapatan rendah dan warna biru merupakan non-

mangrove.

43

Tabel 4.4. Luas kerapatan Mangrove

Kelas kerapatan

Tahun 2000(ha)

Persentase(%)

Tahun 2015(ha)

Persentase(%)

Rendah 26 15,07 15,84 9,06

Sedang 94,48 54,76 34,24 19,57

Tinggi 52,04 30,16 124,84 71,37

Total 172,52 100 174,92 100

Gambar 4.12. Peta kerapatan vegetasi mangrove citra tahun 2000

44

Gambar 4.13. Peta kerapatan vegetasi mangrove citra tahun 2015

Berdasarkan tabel 4.4 menunjukkan bahwa luas kerapatan

mangrove yang berada di Kema terbagi menjadi 3 (tiga) kelas kerapatan

yaitu rendah, sedang dan tinggi. Untuk citra tahun 2000 kelas kerapatan

rendah seluas 26 ha atau 15,07 % dari total luas mangrove. Sedangkan

kelas kerapatan sedang seluas 94,48 ha atau 54,76% dari total luas

mangrove serta kelas kerapatan tinggi seluas 52,04 ha atau 30,16% dari

total luas mangrove. Untuk citra tahun 2015 kelas kerapatan rendah

seluas 15,84 ha atau 9,06 % dari total luas mangrove. Sedangkan kelas

kerapatan sedang seluas 34,24 ha atau 19,57% dari total luas mangrove

serta kelas kerapatan tinggi seluas 124,84 ha atau 71,37% dari total luas

mangrove.

45

4.1.6 Survei LapanganHasil survei lapangan di daerah penelitian di Kema didapatkan data

6 titik koordinat lokasi stasiun sampling mangrove atau ground thruting.

Dokumentasi kegiatan lapangan dapat dilihat pada lampiran C.

Keterangan : Titik lokasi sampling mangrove

Gambar 4.14. Lokasi sampling mangrove bagian utara

keterangan : Titik lokasi sampling mangrove

Gambar 4.15. Lokasi sampling mangrove bagian selatan

46

Tabel 4.5. Titik koordinat sampling mangrove

Samping Mangrove Titik Koordinat (X/Y) Foto Lapangan

M1 125,1005601,388220

M2 125.0996801,385120

M3 125,0638801,319550

47

M4 125,0613301,311570

M5 125,0638201,308290

M6 125,0644401,289360

48

4.2 Pembahasan4.2.1 Pengolahan Data Citra

Luasan mangrove yang berada di pesisir pantai Kema disetiap

stasiun berbeda kerapatannya tergantung pada banyaknya jumlah dan

luasan mangrove di daerah tersebut. Dengan adanya teknologi

penginderaan jauh, mangrove dapat dideteksi dan di analisa dengan data

citra Landsat-7 tahun 2000 dan data citra Landsat-8 tahun 2015 dengan

software ER Mapper 7.1. Berikut contoh gambar perbandingan antara foto

digital mangrove hasil penelitian di lapangan, titik koordinat stasiun

sampling mangrove dan hasil citra, selengkapnya lihat di lampiran B.

Foto lapangan Titiik sampling Hasil citra

Gambar 4.16. Perwakilan perbandingan hasil penelitian

Berdasarkan hasil penelitian yang sudah dijelaskan sebelumnya,

data citra Landsat terdiri dari file band citra yang berdiri sendiri. File

tersebut harus disatukan menjadi satu kesatuan citra menggunakan

software Er Mapper 7.1 agar dapat ditampilkan dalam berbagai kombinasi

band. Citra yang terdiri dari beberapa kombinasi band disebut citra

multiband atu citra komposit. Mangrove dapat diidentifikasi dengan citra

komposit RGB-453 untuk Landsat-7, sedangkan untuk Landsat-8

menggunakan citra komposit RGB-564.

49

Titik sampling mangrove Citra Landsat-8 tahun 2015

Diperlukan pemotongan (cropping) di data citra yang sesuai

dengan lokasi penelitian di daerah pesisir pantai Kema sehingga dapat

terfokus untuk menganalisa. Data citra tersebut mempunyai level-1T

sehingga tidak dilakukan koreksi geometrik karena memiliki ketelitian

geometrik yang baik. Koreksi radiometrik diperlukan agar citra dapat

diperbaiki akibat distorsi dari gangguan atmosfer dengan metode TOA

(Top of Atmospheric) sehingga mendapatkan nilai reflektansi yang

sebelumnya nilai digital number (DN). Penentuan mangrove dan non-

mangrove ditentukan dengan cara pemotongan citra melalui digitasi

polygon sehingga menghasilkan wilayah ekosistem mangrove saja.

Pengolahan NDVI untuk data citra Landsat tahun 2000 dan citra

Landsat tahun 2015 dilakukan untuk menentukan wilayah yang

bervegetasi. Nilai NDVI mempunyai rentang -1 hinga +1. Vegetasi yang

baik ditunjukkan dengan nilai rentang 0,1 hingga 0,8. Pada hasil

pengalahan NDVI ini didapatkan nilai -0,21 hingga 0,79 untuk citra tahun

2000 dan nilai -0,69 hingga 0,834 untuk citra tahun 2015. Untuk

menentukan mangrove dan non-mangrove, dilakukan proses penentuan

ambang batas. Threshold (ambang batas) ini digunakan untuk

mengidentifikasi nilai dari tiap-tiap piksel antara objek utama (mangrove)

dengan objek lain (non-mangrove) dengan nilai threshold NDVI 0,40 dari

tiap data citra tahun 2000 dan citra tahun 2015. Nilai piksel dari data citra

yang lebih dari 0,40 merupakan adanya mangrove, sedangkan untuk nilai

piksel kurang dari 0,40 merupakan bukan mangrove atau lahan terbuka.

Setelah dilakukan proses threshold, dapat diketahui luasan mangrove

melalui proses unsupervised classification atau klasifikasi tidak terbimbing

yang terdiri dari dua kategori yaitu luasan mangrove dan luasan non-

mangrove. Total luas ekosistem mangrove pada citra tahun 2000 dan citra

tahun 2015 seluas 223,48 ha, yang mana pada citra tahun 2000 luas

mangrove seluas 172,52 ha dan luas non-mangrove seluas 50,96 ha.

Pada citra tahun 2015 luas mangrove seluas 174,92 ha dan luas non-

50

mangrove seluas 48,56 ha, yang berarti pada kurun waktu 15 tahun

luasan mangrove bertambah seluas 2,4 ha atau 1,4%.

Penentuan kerapatan mangrove didapatkan dari hasil proses NDVI

dengan mengklasifikasikan menjadi 3 kelas kerapatan yaitu kelas

kerapatan rendah, sedang dan tinggi yang menghasilkan nilai NDVI

mangrove dengan range nilai 0,40 hingga 0,83 sehingga didapatkan

luasan dari kerapatan mangrove seperti yang terlihat pada tabel 4.4

diatas. Pada kelas kerapatan rendah pada citra tahun 2000 didapatkan

seluas 26 ha dan 15,84 ha pada citra tahun 2015, yang berarti perubahan

kerapatannya seluas 10,16 ha. Pada kelas kerapatan sedang pada citra

tahun 2000 seluas 94,48 ha menjadi 34,24 ha pada citra tahun 2015, yang

berarti perubahan kerapatan seluas 64,24 ha. Sedangkan di kelas

kerapatan tinggi pada citra tahun 2000 seluas 52,04 ha menjadi 124,84 ha

pada citra tahun 2015, yang artinya perubahan kerapatan seluas 72,8 ha.

Dari ketiga kelas kerapatan dapat disimpulkan bahwa pada kurun waktu

15 tahun mangrove mengalami perubahan kerapatan vegetasi yang

signifikan.

Untuk mendapatkan informasi hasil luasan mangrove serta

kerapatan vegetasi mangrove diperlukan overlay dua data citra yaitu citra

tahun 2000 dan citra tahun 2015. Data citra yang telah di proses

sedemikian rupa yang mengasilkan luasan dan kerapatan mangrove

kemudian dianalisa perubahan luasan dan kerapatan mangrove dengan

cara menggunakan tabel pivot. Tabel pivot merupakan suatu fasilitas yang

terdapat di dalam Microsoft Excel yang berupa tabel interaktif yang sangat

cepat dalam menganalisa, mongkombinasikan dan membandingkan

sejumlah data baik sedikit maupun banyak.

51

Tabel 4.6. Perubahan luasan mangrove

2015 2000

Non-mangrove Mangrove Total luas (ha)

Non-mangrove 36,932 14,165 51,097

Mangrove 11,765 160,618 172,383

Total luas (ha) 48,697 174,783 223,48

Berdasarkan tabel pivot diatas dapat dijelaskan bahwa luasan

ekosistem mangrove mengalami perubahan dari data citra tahun 2000 ke

data citra tahun 2015. Perubahan terjadi pada citra tahun 2000 ke citra

tahun 2015 atau dalam kurun waktu 15 tahun yaitu non-mangrove menjadi

mangrove seluas 14,165 ha, sedangkan mangrove menjadi non-

mangrove seluas 11,765 ha. Dapat disimpulkan bahwa dalam kurun

waktu 15 tahun perubahan mangrove yang berada di wilayah penelitian di

Kema seluas 2,4 ha.

Tabel 4.7. Perubahan kelas kerapatan mangrove

2015 2000

Non Mangrove

Rendah Sedang Tinggi Total luas (ha)

Non Mangrove

36,932 6,62 5,871 1,674 51,097

Rendah 6,354 4,779 5,551 6,85 23,534

Sedang 3,521 4,646 15,664 75,176 99,007

Tinggi 1,89 0,299 4,124 43,529 49,842

Total luas (ha)

48,697 16,344 31,21 127,229 223,48

Berdasarkan tabel pivot yang mengenai perubahan kerapatan

mangrove di Kema dapat dijelaskan bahwa kerapatan ekosistem

mangrove mengalami perubahan dari data citra tahun 2000 ke data citra

tahun 2015. Dalam kurun waktu 15 tahun ini dijelaskan bahwa perubahan

kelas non-mangrove manjadi 3 kelas kerapatan yaitu kerapatan rendah

seluas 6,62 ha, kerapatan sedang seluas 5,871 ha, dan kerapatan tinggi

52

seluas 1,674 ha. Untuk kerapatan rendah menjadi 3 kelas kerapatan yaitu

kelas non-mangrove seluas 6,354 ha, kerapatan sedang seluas 5,551 ha,

dan kerapatan tinggi seluas 6,85 ha. Untuk kerapatan sedang menjadi 3

kelas kerapatan yaitu kelas non-mangrove seluas 3,521 ha, kerapatan

rendah seluas 4,646 ha, dan kerapatan tinggi seluas 75,176 ha.

Sedangkan untuk perubahan kelas kerapatan tinggi menjadi 3 kelas

kerapatan yaitu kelas non-mangrove seluas 1,89 ha, kerapatan rendah

seluas 0,299 ha, kerapatan sedang seluas 4,124 ha. Dapat disimpulkan

bahwa perubahan kelas kerapatan dalam kurun waktu 15 tahun dari tahun

2000 sampai tahun 2015 yang mendominasi adalah kelas kerapatan

sedang mengalami perubahan ke kelas kerapatan tinggi seluas 75,176

ha.

4.2.2 Mangrove Sebagai Pelindung Ekosistem PantaiMangrove merupakan salah satu ekosistem yang khas dan unik

yang mempunyai akar yang berbeda dengan tumbuh-tumbuhan di darat.

Akar mangrove berfungsi antara lain membantu mangrove bernafas dan

tegak berdiri. Mangrove dapat melindungi ekositem pantai dari abrasi

pantai, banjir rob, hempasan gelombang laut dan ombak, serta angin

kencang.

Perakaran mangrove yang rapat dan terpancang mempunyai fungsi

ekologis yaitu meredam hantaman gelombang dan ombak. Kekuatan

angin dan badai yang dahsyat akan berkurang ketika mencapai ekosistem

mangrove yang memiliki kerapatan tinggi atau lebat. Demikian pula

gelombang pasang atau tsunami akan mengecil ketika mencapai

ekosistem mangrove yang rapat atau lebat. Daya rusak gelombang akan

berkurang karena kekuatannya telah direduksi oleh ekosistem mangrove.

Peneliti asal jepang, Kenji Harada dan Fumihiko Imamura dari

Universitas Tohoku (2003) meneliti efektifitas hutan pantai (ekositem

mangrove dan non-mangrove) dalam meredam terjangan gelombang

atau tsunami. Hasilnya, gelombang setinggi 3 m yang menerjang hutan

53

pantai setebal 50 m, maka jangkauan run up yang masuk ke daratan

tinggal 81% (lihat tabel 4.8).

Tabel 4.8. Kemampuan Meredam Gelombang atau Tsunami

dari Hutan Pantai (Harada dan Imamura, 2003)

Tinggi Gelombang (m) 1 2 3

Hutan Pantai Tebal (m)

Mitigasi Kerusakan, Menghentikan, Meredam

Gelombang (%)Jarak run-up 50 98 86 81

100 83 80 71

200 79 71 64

400 78 65 57

Tinggi genangan

50 86 86 82

100 76 74 66

200 46 55 50

400 - 11 18

Gaya hidrolis 50 53 48 39

100 33 32 17

200 0,1 13 0,8

400 - 0,2 0,1

54

Citra Landsat-8 tahun 2015

Keterangan: Titik sampling 1 dan 2 mangrove

Gambar 4.17. Luas ekosistem mangrove di titik sampling 1 dan 2

Berdasarkan hasil pengolahan data citra Landsat-8 tahun2015,

kondisi mangrove di wilayah penelitian yaitu di Kema Minahasa Utara

rata-rata memiliki kerapatan yang cukup tinggi. Di titik sampling 1 dan 2

merupakan ekositem mangrove yang sangat luas yaitu lebar ± 2,3 km

dengan tebal ± 400 m (lihat gambar 4.17). Untuk titik sampling lainnya

hanya terdapat spot-spot mangrove.

Berdasarkan tabel 4.9 dapat di simpulkan bahwa gelombang

setinggi 3 meter yang menerjang ekosistem mangrove setebal 400 meter

pada titik sampling 1 dan 2, maka jangkauan run up yang masuk

kedaratan tinggal 57%. Jadi mangrove sangat efektif sebagai pelindung

pantai dari terjangan gelombang jika dibandingkan pantai yang tidak

ditumbuhi mangrove.

55

2300 m

400 m

BAB VKESIMPULAN DAN SARAN

5.1 KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka dapat diambil

kesimpulan sebagai berikut:

a. Total luas ekosistem mangrove yang berada di wilayah

Kema Minahasa Utara seluas 223,48 ha. luas mangrove pada citra

Landsat tahun 2000 seluas 172,52 ha dan luas mangrove pada

citra Landsat tahun 2015 seluas 174,92 ha. jadi dalam kurun waktu

15 tahun luasan mangrove yang berada di Kema Minahasa Utara

bertambah seluas 2,4 ha atau 1,4%.

b. Perubahan kelas kerapatan mangrove dalam kurun waktu

15 tahun dari tahun 2000 sampai tahun tahun 2015 yang

mendominasi adalah kelas kerapatan sedang mengalami

perubahan ke kelas kerapatan tinggi seluas 75,176 ha.

c. Ekosistem mangrove sangat efektif sebagai pelindung pantai

dari terjangan gelombang.

5.2 SaranEkosistem mangrove sangat efektif sebagai pelindung pantai, maka

perlu adanya peran pemerintah dan TNI AL untuk pengelolaan dan

pelestarian sumber daya pesisir khususnya ekositem mangrove tersebut

serta reboisasi atau penanaman mangrove pada pantai yang belum

ditumbuhi mangrove.

56

DAFTAR PUSTAKA

Anwar 1998 dalam soemarno 2013. Ketahanan Lingkungan: Kelestarian &

Konservasi.

Arhatin, R. E. 2007. Pengkajian algorithma indeks vegetasi dan metode

klasifikasi mangrove dari data satelit LANDSAT-5 TM dan

LANDSAT-7 ETM+ (studi kasus di kabupaten Berau, Kalimantan

Timur). Tesis (tidak dipublikasikan). Sekolah pascasarjana. IPB.

Bogor.

Bengen DG. 2001. Sinopsis Ekosistem dan Sumberdaya Alam Pesisir dan

Laut. Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir dan Laut, Institut Pertanian

Bogor.

BPDAS Tondano. 2011. Rencana Teknis Rehabilitasi Hutan Lahan

Mangrove dan Sempadan Pantai Propinsi Sulawesi Utara.

Disampaikan dalam acara Rapat Fasilitasi Kelompok Kerja

Mangrove di Provinsi Sulawesi Utara 18 Oktober 2011.

Budi, Chandra. 2000. Model Penduga Biomassa dan Indeks Luas Daun

Menggunakan Data Landsat iThematic Mapper (TM) dan Spot

Multispektral (XS) Di Hutan Mangrove (Studi Kasus Segara

Anakan, Cilacap). [Thesis]. Program Pascasarjana IPB. Bogor.

Butler, M.J.A, M.C. Mouchot, V. Barole, and C. Le Blanc. 1988. The

Application of Remote Sensing Technology to Marine Fisheries: An

Introduction manual. FAO Fisheries Technical Paper No. 295. FAO.

Rome.

Coremap. 2006. Hutan Mangrove (Online), (http://www.coremap.or.id,

diakses 14 November 2010).

[DEPHUT] Departemen Kehutanan-Dirjen PHPA. 1995. Rencana

Pengelolaan Taman Nasional Ujung Kulon (Master Plan). Dephut-

Dirjen PHPA. Pandeglang.

Dishidros TNI AL, 2000. Peta Laut Indonesia No 0344. Skala 1 : 200.000

Dinas Hidrooseanografi TNI Angkatan Laut.

57

Geshayulian, 2013 Kompasiana. Litbang karbon biru, gunakan ekosistem

laut turunkan emisi.

Harada, K dan Imamura, F. 2003. Study on The Evaluation of Tsunami

Reducing by Coastal Control Forest for Actual Conditions. Asia and

Pasific Coast Japan.

Hartono, Dulbahri, Suharyadi, Danoedoro P, Jatmiko RH. 1996.

Penginderaan Jauh Untuk Sumberdaya Hutan: Teori dan Aplikasi.

Yogyakarta: GadjahMada University Press. 580 hlm. Jensen J,R,

1998. Introductory Digital Image Processing A Remote Sensing

Perspective. Prentice Hall. New Jersey.

Hilmi, E dan C. Kusmana. 1999. Ekosistem Mangrove: Antara

Karakteristik, Teknik Sampling, dan Analisis Sistem. Program

Pascasarjana IPB. Bogor.

Katz, 2000 dalam Johan 2015. Implementasi Metode Thresholding Dan

Metode Regionprops Untuk Mendeteksi Marka Jalan Secara Live

Video.

Khazali M, 2006. Panduan pengenalan mangrove PHKA/WI-IP, Bogor

Lillesand, TM dan Kiefer, RW. 1979. Penginderaan Jauh dan Interpretasi

Citra (Alih Bahasa: Dulbahri, dkk). Gajah Mada University Press.

Yogyakarta.

Mazda, Y., M. Magi, M. Kogo and P.Ng. Hong. 1997. Mangrove as A

Coastal Protection from Waves in The Tong King Delta, Vietnam.

Mangroves and Salt Marshes 1:127-135.

Murdiyanto, Bambang. 2003. Mengenal, Memelihara dan Melestarikan

Ekosistem Bakau. COFISH Project. Jakarta.

NASA. 2010. Landsat Data Continuity Mission Brochure.

http://www.landsat.gsfc.nasa.gov [November 2013].

Polunin NVC. 1983. The Marine Resources of Indonesia. Oceonogr. Mar.

Biol. Ann. Rev.1983, 21:455-531.

Ramudji. 2001. Mangrove di Pesisir Delta Mahakan Kalimantan Timur.

LIPI. Jakarta.

58

Saenger, P. 1982. Morphological, Anatomical, and Reproductive

Adaptations of Australian Mangroves. In: Clough, B.F. (Ed.),

Mangrove Ecosystems in Australia. Australian National University

Press, Canberra, pp. 153-191.

Sediadi, A. 1991. Pengaruh hutan bakau terhadap sedimentasi di pantai

teluk Jakarta. Prosidings seminar IV, Ekosistem mangrove, Bandar

Lampung, 7-9 Agustus 1990: 101-110. Program MAB Indonesia-

LIPI. Jakarta.

Setiawan, H., Sudarsono, B., Awaluddin, M., 2013. Identifikasi Daerah

Prioritas Rehabilitasi Lahan Seminar Nasional Penginderaan Jauh

2014 24 Kritis Kawasan Hutan dengan Penginderaan Jauh dan

Sistem Informasi Geografis (Studi Kasus: Kabupaten Pati). Jurnal

Geodesi Undip, Volume 2, Nomor 3, Tahun 2013, (ISSN : 2337-

845X).

[SIC] Satellite Imaging Corporation. 2001-2010. LANDSAT 7 +ETM

Satellite Imagery.

Sukojo, BM dan Kustarto, H. 2002. Perbaikan Geometrik Trase Jaringan

Jalan dengan Menggunakan Teknologi Penginderaan Jauh dan

Sistem Informasi Geografis. Jurnal Makara, Sains. Vol 6(3): 136-

141.

Susilo, S.B. 2000. Penginderaan Jauh Terapan. Fakultas Perikanan dan

Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Sutanto. 1986. Penginderaan Jauh, Jilid I dan II. Gadjah Mada University

Press.Yogyakarta.

UNEP. 2006. Daftar Pulau yang Memiliki Luas Lebih Besar dari 2.000 km²

. http://www.ppkkp3k.dkp.go.id/index.php?option=com_context.

Diakses:12 Juli 2009.

USGS, 2013. Maps, Imagery, and Publications. Landsat-8.

Waas, H.J.D., Nababan. B. 2005. Pemetaan dan Analisis Index Vegetasi

Mangrove di Pulau Saparua, Maluku Tengah. E-Jurnal Ilmu dan

Teknologi Kelautan Tropis, Vol. 2, No. 1, Hal. 50-58, Juni 2010.

59

LAMPIRAN A

Raw Data Citra Landsat-8 Tahun 2015 Path/Row 111/059

Band 1 Band 2

Band 3 Band 4

60

Band 7 Band 8

Band 9 Band 10

61

Band 5 Band 6

Band 11

Raw Data Citra Landsat-7 Tahun 2000 Path/Row 111/059

Band 1 Band 2

62

Band 3 Band 4

Band 5 Band 6

Band 7 Band 8

63

LAMPIRAN B

Perbandingan Antara Foto Digital Mangrove Hasil Penelitian di Lapangan, Titik Koordinat Stasiun Sampling Mangrove dan Hasil

Citra

Foto lapangan Titiik sampling Hasil citra

64

65

Titik sampling mangrove Citra Landsat-8 tahun 2015

66

LAMPIRAN C

Dokumentasi Kegiatan Sampling Mangrove di Lokasi Penelitian

67

Kegiatan Transek

Kegiatan Transek

68

Kegiatan Transek

Kegiatan Transek

69

Pengambilan Sedimen

Pengambilan Sedimen

70

Mangrove

Mangrove

71

Mangrove

Mangrove

72