tujuan dan makna mansorandak ( studi antropologi teologis...

33
i Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis Terhadap Tradisi Upacara Mansorandak Dalam Masyarakat Biak Di Desa Mokmer ) Oleh RANO NELSON WILTON INFAINDAN 712008049 TUGAS AKHIR Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi Program Studi Teologi FAKULTAS TEOLOGI UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA SALATIGA 2015

Upload: dangphuc

Post on 03-Mar-2019

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

i

Tujuan dan Makna Mansorandak

( Studi Antropologi Teologis Terhadap Tradisi Upacara

Mansorandak Dalam Masyarakat Biak Di Desa Mokmer )

Oleh

RANO NELSON WILTON INFAINDAN

712008049

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi

Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi

Program Studi Teologi

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2015

Page 2: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

ii

LEMBAR PENGESAHAN

Tujuan dan Makna Mansorandak

(Studi Antropologis Teologis Terhadap Tradisi Upacara Mansorandak Dalam

Masyarakat Biak Di Desa Mokmer)

Oleh,

RANO NELSON WILTON INFAINDAN

NIM: 712008049

TUGAS AKHIR

Diajukan Kepada Program Studi Teologi, Fakultas Teologi Guna Memenuhi

Sebagian Dari Prasyarat Memperoleh Gelar Sarjana Sains Teologi

Disetujui oleh,

Pembimbing Utama Pembimbing Pendamping

Pdt. Prof. Drs. John. A. Titaley, Th. D Pdt. Dr. Retnowati, M. Si

Diketahui oleh, Disahkan oleh,

Kaprogdi Dekan

Pdt. Irene Ludji, MAR Pdt. Dr. Retnowati, M.Si

FAKULTAS TEOLOGI

UNIVERSITAS KRISTEN SATYA WACANA

SALATIGA

2015

Page 3: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

iii

PERNYATAAN TIDAK PLAGIAT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rano Nelson Wilton Infaindan

NIM : 712008049 Email : [email protected]

Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi

Judul TA : Tujuan dan Makna Mansorandak (Studi Antropologis Teologis

Terhadap Tradisi Upacara Mansorandak Dalam Masyarakat Biak Di

Desa Mokmer)

Pembimbing : 1. Pdt. Prof. Drs. John. A. Titaley, Th. D

2. Pdt. Dr. Retnowati, M. Si

Dengan ini menyatakan bahwa:

1. Hasil karya yang saya serahkan ini adalah asli dan belum pernah diajukan untuk

mendapatkan gelar kesarjanaan baik di Universitas Kristen Satya Wacana

maupun di institusi pendidikan lainnya.

2. Hasil karya saya ini bukan saduran/terjemahan melainkan merupakan gagasan,

rumusan, dan hasil pelaksanaan penelitian/implementasi saya sendiri, tanpa

bantuan pihak lain, kecuali arahan pembimbing akademik dan narasumber

penelitian.

3. Hasil karya saya ini merupakan hasil revisi terakhir setelah diujikan yang telah

diketahui dan disetujui oleh pembimbing.

4. Dalam karya saya ini tidak terdapat karya atau pendapat yang telah ditulis atau

dipublikasikan orang lain, kecuali yang digunakan sebagai acuan dalam naskah

dengan menyebutkan nama pengarang dan dicantumkan dalam daftar pustaka.

Pernyataan ini saya buat dengan sesungguhnya. Apabila di kemudian hari terbukti

ada penyimpangan dan ketidakbenaran dalam pernyataan ini maka saya bersedia

menerima sanksi akademik berupa pencabutan gelar yang telah diperoleh karena

karya saya ini, serta sanksi lain yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku di

Universitas Kristen Satya Wacana.

Salatiga, 28 September 2015

Rano N. W. Infaindan

Page 4: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

iv

PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Rano Nelson Wilton Infaindan

NIM : 712008049 Email : [email protected]

Fakultas : Teologi Program Studi : Teologi

Judul TA : Tujuan dan Makna Mansorandak (Studi Antropologis Teologis

Terhadap Tradisi Upacara Mansorandak Dalam Masyarakat Biak Di

Desa Mokmer)

Dengan ini saya menyatakan hak non-eksklusif * kepada Perpustakaan Universitas

Kristen Satya Wacana untuk menyimpan, mengatur akses serta

melakukan pengelolaan terhadap karya saya ini dengan mengacu

pada ketentuan akses tugas akhir elektronik sebagai berikut (beri

tanda pada kotak yang sesuai):

a. Saya mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi Repositori

Perpustakaan Universitas, dan /atau portal GARUDA

b. Saya tidak mengijinkan karya tersebut diunggah ke dalam aplikasi

Repositori Perpustakaan Universitas, dan/atau portal GARUDA**

* Hak yang tidak terbatas hanya bagi satu pihak saja. Pengajar, peneliti, dan mahasiswa yang

menyerahkan hak non-eksklusif kepada Repositori Perpustakaan Universitas saat mengumpulkan hasil

karya mereka masih memiliki hak copyright atas karya tersebut.

** Hanya akan menampilkan halaman judul dan abstrak. Pilihan ini harus dilampiri dengan

penjelasan/alasan tertulis dari pembimbing TA dan diketahui oleh pimpinan fakultas (dekan/kaprogdi)

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Salatiga, 28 September 2015

Rano. N. W. Infaindan

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

Pdt. Prof. Drs. John. A. Titaley, Th. D Pdt. Dr. Retnowati, M.Si

Page 5: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

v

PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI TUGAS AKHIR UNTUK

KEPENTINGAN AKADEMIS

Sebagai civitas akademika Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW), saya yang

bertanda tangan dibawah ini:

Nama : Rano Nelson Wilton Infaindan

NIM : 712008049

Program Studi : Teologi

Fakultas : Teologi, Universitas Kristen Satya Wacana

Jenis Karya : Tugas Akhir

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, menyetujui untuk memberikan kepada

UKSW Hak bebas royalty non-eksklusif (non-exclusive royalty free right) atas karya

ilmiah saya yang berjudul:

Tujuan dan Makna Mansorandak (Studi Antropologis Teologis

Terhadap Tradisi Upacara Mansorandak Dalam Masyarakat Biak Di

Desa Mokmer)

berserta perangkat yang ada (jika perlu).

Dengan hak bebas royalty non-eksklusif ini, UKSW berhak menyimpan, mengalih

media/mengalih format, mengelola dalam bentuk pangkalan data, merawat, dan

mempublikasikan tugas akhir saya, selama tetap mencantumkan nama saya sebagai

penulis/pencipta.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Salatiga, 28 September 2015

Rano N. W. Infaindan

Mengetahui,

Pembimbing I Pembimbing II

Pdt. Prof. Drs. John. A. Titaley, Th. D Pdt. Dr. Retnowati, M. S

Page 6: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

vi

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur dengan penuh kerendahan hati kepada Bapa di Sorga dalam

Tuhan Yesus Kristus atas berkat dan penyertaanNya sepanjang hidup penulis,

sehingga penulis bisa menyelesaikan Tugas Akhir dengan judul; Tujuan dan Makna

Mansorandak (Studi Antropologis Teologis Terhadap Tradisi Upacara Mansorandak

Dalam Masyarakat Biak Di Desa Mokmer) serta dalam rangka memperoleh gelar

Sarjana Sains Teologi.

Penghargaan dan ucapan terima kasih yang setulusnya juga bagi mama

terkasih yang selalu mendoakan, melakukan dan mengharapkan yang terbaik bagi

masa depan penulis. Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya Tuhan

selalu memberkati kesehatan mama dalam masa tua dan memberikan umur panjang

bagi mama agar penulis bias membalas semua kasih sayang dan kebaikan Tuhan

lewat mama terkasih bagi penulis.

Rasa terima kasih dan penghargaan juga penulis berikan bagi kakak-kakak

terkasih kepada penulis yang selalu membantu bukan hanya lewat doa tetapi juga

lewat pengorbanan materi yang mereka berikan bagi penulis sebagai adik. Terima

kasih kepada kak dr. Rosaline Rumaseuw, kak One, kak Pdta. Samparisna Koibur,

kak Rosse dan kak Igo. Terima kasih karena kalian sudah menjadi kakak-kakak

terbaik bagi penulis yang benyak membantu penulis, tetapi juga sering merepotkan

kalian. Tuhan Yesus kiranya memberkati kalian selalu.

Selain itu pada kesempatan ini juga penulis ingin mengucapkan terima kasih

kepada seluruh pihak yang telah membantu, diantaranya:

1. Pdt. Prof. Drs. John. A. Titaley, Th. D dan Pdt. Dr. Retnowati, M. Si sebagai

dosen dan pembimbing bagi penulis, yang telah meluangkan waktu dan

tempat bagi penulis, dan juga memberikan ide-ide dan masukan bagi penulis,

sehingga penulis dapat menyelesaikan tulisan ini dengan sangat baik.

2. Dekan, Kaprogdi dan dosen-dosen serta staff tata usaha Fakultas Fakultas

Teologi UKSW. Terutama Kak Caken and Bu Budi yang banyak membantu

dalam menyelesaikan studi penulis .

Page 7: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

vii

3. Sahabat dan saudara terkasih Jery “Konya” dan Felix yang sudah menjadi

saudara di tanah rantau dalam berbagai suka dan duka bersama.. Terima kasih

juga kepada Christian yang membantu penulis dalam menyelesaikan Tugas

Akhir. Kalian adalah sahabat dan saudara bagi saya.

4. Teman-teman PKMST Salatiga; Adit, Anto, Atonk, Uga, Ari, Boni, Jaja,

Anas, Hendra, Juna, Bang Shalom, John, Obed, Rixi, Oci, Mardi, Ardin, Oke,

James, Naruto, dan teman-teman PKMST Salatiga lainnya yang belum sempat

penulis sebutkan. Melalui kalian saya belajar mengenai kekeluargaan dalam

perbedaan dan turut menjadi keluarga bagi penulis di tanah rantau.

5. Kak Denis Koibur, Kak Surya Hari Wirawan, dan Kak Demas. R yang sudah

menyempatkan waktu dan juga masukan bagi penulis dalam menyelesaikan

tugas akhir ini

6. Kak Joan Damista, Mami sastro dan Toni yang telah banyak membantu

penulis selama masa studi di Salatiga.

7. Juga bagi Dessy yang telah banyak membantu dan mengajarkan penulis

tentang banyak hal dalam dalam relasi pribadi. Tuhan menyertai dan

memberkati kau selalu di sana untuk mendapatkan yang terbaik.

8. Teman-teman angkatan seperjuangan dan sependeritaan; Ariel, Timo,Tasya,

Lily, Ivona dan teman-teman lainnya.

9. Semua pihak yang telah membantu penulis menyelesaikan studi dan Tugas

Akhir yang tidak bisa penulis sebutkan satu per satu karena keterbatasan

penulis sebagai manusia

Akhir kata, semoga kasih Bapa dalam Tuhan Yesus Kristus selalu memberkati

dan menaungi semua pihak selama masa studi dan dalam menyelesaikan Tugas Akhir

dari penulis. Semoga tulisan ini juga dapat memberikan manfaat bagi pembaca dan

penulis. Tuhan Yesus memberkati.

Salatiga, 28 September 2015

Rano Nelson W. Infaindan

Page 8: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ……………………………………………………..….. i

HALAMAN PENGESAHAN ………………………………….………........ ii

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN ……….…………….………......... iii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN AKSES ………………......... iv

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI……………...... v

KATA PENGANTAR …………………………………………………….... vii

DAFTAR ISI ………………………………………………………………... ix

ABSTRAK ……………………………………………………..………….... xi

LATAR BELAKANG MASALAH

Pendahuluan …………………………………………………………… 1

LANDASAN TEORI

Kebudayaan …………………………………………………………… 6

Ritus …………………………………………………………………... 7

Teologi Kontekstuasl …………………………………………………. 9

HASIL PENELITIAN

Gambaran Daerah Penelitian ………………………………………….. 13

Mansorandak ...………………………………………………………. 13

ANALISA

Mansorandak Dalam Kajian Antropologi ……….............................. 18

Page 9: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

ix

Mansorandak Dalam Kajian Kontekstual …………………………….. 19

Penutup

Kesimpulan ……………………………………………………………... 22

Saran ……………………………………………………………………. 23

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 24

Page 10: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

1

TUJUAN DAN MAKNA MANSORANDAK

(Studi Antropologis-Teologis Terhadap Tradisi Upacara Mansorandak Dalam Masyarakat Biak

di Desa Mokmer)

Abstrak

Kurangnya pemahaman masyarakat Biak terhadap makna dan tujuan tradisi Mansorandak dan prosesinya yang

mereka terus lakukan menjadi dasar berpikir untuk dilakukannya penelitian ini. Penelitian ini kemudian

dilakukan di desa Mokmer. Tujuannya untuk mendeskripsikan prosesi, makna dan tujuan dari upacara

Mansorandak. Metode yang digunakan yakni deskriptif dengan pendekatan kualitatif. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa Masorandak merupakan tradisi penyambutan turun-temurun yang telah diwariskan dari

leluhur dalam masyarakat Biak. Upacara ini atau yang sebut sebagai upacara injak piring merupakan suatu

bentuk ungkapan rasa syukur masyarakat Biak kepada Manseren atau Tuhan. Orang yang akan dimansorandak

di sambut oleh beberapa orang, dan salah satu orang akan mengalungkan bunga kepadanya, kemudian diiringi

dengan tarian dan diarahkan oleh para penyambutnya menuju ke tempat di mana piring yang disediakan bagi

orang yang dimansorandak itu untuk memasukan kakinya ke dalam piring tersebut. Sebelum kaki dimasukan ke

dalam piring yang disediakan, wajah dan kaki dari orang itu haruslah dahulu dibasuh dengan air yang

disediakan. Ketika orang tersebut tiba ke tempat di mana piring tersebut berada, kaki dan muka dibasuh

terdahulu dengan air. Makna dari pembasuhan ini ialah untuk membersihkan hati dari orang yang disambut itu

agar dapat melihat ketulusan dari masyarakat tersebut dan tanahnya. Setelah pembasuhan dilakukan barulah

orang tersebut akan memasukan kakinya ke dalam piring tersebut sebagai tanda bahwa ia sudah diterima dalam

masyarakat tersebut. Tujuan utama dari upacara ini ialah untuk dapat menghadirkan dan menciptakan rasa

kebersamaan serta kekeluargaan yang merangkul masyarakat atau warga masyarakat yang datang ke Biak

dengan kasih dan sukacita sekaligus melestarikan budaya turun-temurun yang telah diwariskan para leluhur.

Kesimpulan dan saran dicantumkan.

Keywords: Masorandak, wor, mokmer, ungkapan syukur, upacara dan Manseren.

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Masyarakat suku Biak memiliki satu tradisi yang disebut Mansorandak. Mansorandak berasal

dari tiga susunan kata dalam bahasa biak. Man berarti laki-laki atau orang, so dari kata beso yang

artinya ikut, dan randak yang berarti pemula atau pertama kali. Jadi Mansorandak berarti orang

yang pertama kali ikut atau hadir, dalam tradisi masyarakat Biak tersebut. Mansorandak

merupakan acara adat untuk menyambut/penyambutan bagi seseorang yang baru pulang dari

perantauan untuk waktu yang lama, atau orang tersebut baru pertama kali datang atau berkunjung

ke tempat tersebut.1 Dengan kata lain Mansorandak adalah tradisi penyambutan dan acara

syukuran adat bagi mereka yang bepergian jauh atau merantau, dan bisa juga bagi mereka yang

1 Demas R, budayawan Biak, 11 November 2014.

Page 11: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

2

baru pertama kali menginjakan kakinya di tempat Mansorandak itu diadakan setalah sekian

waktu lamanya.2

Tradisi ini seringkali dikenal juga dengan upacara injak piring. Karena dalam upacara adat

ini orang yang disambut atau dimansorandak diterima secara simbolik dengan memasukan atau

meletakan kakinya ke dalam piring porselen antik dari Cina sebagai tanda penyambutan bagi

orang tersebut.

Setiap tradisi yang ada pada budaya masyarakat di Biak termasuk masorandak, tidak dapat

dipisahkan dari peran wor. Wor adalah nyanyian, dan gerak tari yang muncul secara spontanitas

dari orang yang membawakan wor tersebut, dan wor itu diyakini sebagai suatu nyanyian sakral

yang memiliki arti atau makna sebagai nyanyian spiritual, pembangkit semangat, pesan-pesan

moral atau nasehat-nasehat.3 Namun dalam prakteknya dalam masa kini, peran wor sudah mulai

berkurang, bahkan menurun drastis. Karena struktur wor yang tidak bisa sembarangan dibuat,

serta penggunaan dari Wos Bekwar (bahasa Biak tinggi, atau jika dalam bahasa jawa dikenal

dengan kromo inggil) yang sekarang ini perlahan-lahan mulai jarang dijumpai orang-orang yang

masih fasih menggunakannya karena perkembangan zaman. Selain itu, wor dikenal bukan saja

berisi nyanyian tapi juga berupa puisi atau pantun yang sakral bagi orang Biak sehingga

perlahan-lahan wor mulai tidak digunakan saat ini. Alasan masyarakat Biak hanya lebih

menampilkan Mansorandak tanpa wor. Karena mereka sekarang lebih melihat dan menekankan

pada nilai kekeluargaan-kekerabatan (dalam interaksi sosialnya)4 dan rohani dari Mansorandak

sebagai pengucapan syukur kepada Tuhan (Manseren) atas berkat dan keselamatan yang sudah

diberikan kepada orang yang sudah kembali dan berkumpul bersama keluarga atau kerabat dalam

pesta adat tersebut, dan juga bersyukur kepada Tuhan karena telah mengumpulkan semua sanak

saudara dan kerabat untuk berkumpul dan bertemu dalam Mansorandak. Bukan hanya itu, jika

dilihat dari asal mulanya sebenarnya sebelum kekristenan masuk tradisi ini juga memang sebagai

bentuk syukuran, tetapi ditujukan kepada Dewa di langit (Manseren Ro nanggi).

2 diakses dari http://www.papua.us/2013/04/mansorandak-tradisi-unik-menjaga-ikatan.html, pada tanggal

14 November 2014, pukul 23:31 wib. 3 Surya H. W, tokoh adat Kawasa Biak, Salatiga 11 November 2014 4 Soejono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi tentang Struktur Masyarakat, (Jakarta: CV. Rajawali,

1983), 45.

Page 12: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

3

Berdasarkan perkembangannya kini, upacara adat Mansorandak tidak hanya dilaksanakan

atau dilakukan bagi mereka yang berasal dari keluarga besar suku Biak saja yang merantau

sekian tahun lamanya atau yang baru pertama kalinya menginjakkan kakinya di tempat di mana

ia datang dan disambut secara adat Mansorandak. Tetapi juga dilaksanakan dan diberikan bagi

orang yang bukan berasal dari keluarga besar suku Biak di Papua. Karena ia dianggap pantas atas

alasan tertentu sebagai bentuk penyambutan dan penghormatan kepadanya sebagai sesuatu

kebiasaan atau budaya masyarakat yang tinggal di Biak.

Kebudayaan merupakan salah satu faktor yang membedakan antara suatu kelompok etnis dan

bangsa dari yang satu dengan yang lainnya. Menurut ilmu antropologi, “kebudayaan” adalah:

keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan

masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. Menurut Tylor, kebudayaan adalah

keseluruhan aktivitas manusia, termasuk pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, adat-

istiadat, dan kebiasaan-kebiasaan lain.5 Mansorandak adalah tradisi dari masyarakat Biak yang

mengandung nilai-nilai sosial dan religi. Diturunkan dari generasi ke genarasi sehingga tetap

dipelihara sampai saat ini.

Setiap kebudayaan terdapat upacara atau ritual atau yang disebut juga ritus. Susanne Langer

menunjukkan bahwa ritual merupakan ungkapan yang bersifat logis daripada hanya bersifat

psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobyekkan. Simbol-simbol

ini mengungkapkan perilaku dan perasaan serta membentuk disposisi pribadi dan para pemuja

yang mengikuti modelnya masing-masing. Menurutnya, ritual dapat dibedakan dalam empat

macam; Pertama Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja

karena daya-daya mistis, Kedua tindakan religious, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara

yang pertama. Ketiga Ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial

dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan

menjadi khas. Keempat Ritual faktitif yang meningkatkan produktifitas atau kekuatan, atau

pemurnian dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu

kelompok6

5 Ratna, Nyoman Kutha, Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. (Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2005), 5. 6Ghazali, A. M, Antropologi Agama (Bandung: Alfabeta, 2011), 52.

Page 13: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

4

Sementara itu Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan upacara dapat dibagi ke

dalam tiga bagian, yaitu; (1) perpisahan, atau separation, manusia melepaskan kedudukannya

yang semula (2) peralihan, atau merge, manusia dianggap mati atau “tak ada” lagi, dan dalam

keadaan seperti tak tergolong dalam lingkungan sosial di manapun. Namun mereka perlu

dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang baru nanti. (3)

integrasi kembali, atau aggregation, mereka diresmikan ke dalam tahap kehidupannya serta

lingkungan sosialnya yang baru.7 Data etnografi dalam buku Van Gennep menunjukan bahwa

ritus perpisahan itu sering berkaitan dengan ritus peralihan, sedangkan upacara integrasi dan

pengukuhan lebih sering dapat berdiri sendiri, lepas dari kedua macam ritus tersebut pertama.8

Berdasarkan penjelasan diatas, terutama mengenai tradisi masorandak yang merupakan

bagian dari budaya yang berkaitan dengan ritus khususnya penyambutan maka penulisan Tugas

akhir ini diberi judul ;

Tujuan dan Makna Mansorandak

(Studi sosio-teologis terhadap tradisi mansorandak dalam masyarakat biak)

1. 2 Rumusan Permasalahan

1. Bagaimana prosesi tradisi Mansorandak dilakukan?

2. Apa tujuan dan makna (antropologis-teologis) dari Mansorandak?

1.3. Tujuan Penelitian

1. mendeskripsikan prosesi Mansorandak

2. Mendeskripsikan tujuan dan makna Mansorandak

7 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I (Jakarta: UI-Press, 1980), 76. 8 Ibid., 77.

Page 14: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

5

1.4. Signifikansi Penelitian

1. Manfaat Teoretis

Memberikan sumbangan informasi atau pengetahuan tentang makna dan tujuan

dari tradisi Mansorandak. Juga referensi bagi mahasiswa yang melakukan penelitian

dalam bidang antropologi dan teologi kontekstual

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian dan penulisan ini diharapkan dapat memberikan dorongan bagi

masyarakat suku Biak untuk tetap melestarikan salah satu kebudayaan dari masyarakat

suku Biak itu sendiri. Karena, seiring perkembangan zaman sering terjadi pengikisan

secara perlahan-lahan, baik budaya dan bahasa Biak, oleh karena itu, tulisan ini

merupakan salah satu cara agar budaya di suku Biak dapat dilestarikan oleh penulis

maupun masyarakatnya.

1.5. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kualitatif.9 Menurut

Kirk dan Miller, penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang

secara fundamental bergantung pada pengamatan terhadap manusia dalam kawasannya sendiri

dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan peristiwanya10 Oleh karena

itu penelitian ini mendeskripsikan upacara Mansorandak dari masyarakat Biak.

1.6 Teknik Pengumpulan Data

1. Wawancara

Wawancara, merupakan satu proses interaksi dan komnikasi verbal dengan tujuan untuk

mendapatkan informasi penting yang diinginkan. Pada saat proses wawancara terjadi hubungan

antara dua orang atau lebih, di mana keduanya berperilaku sesuai dengan status dan peranan

9 Lexy J. M, Metode Penelitian Kualitatif (Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006),6. 10Nurul Zuriah, Metodologi dan Penelitian Sosial dan Pendidikan, (Bumi Aksara: Jakarta, 2006), 92.

Page 15: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

6

mereka masing-masing.11 Penulis secara langsung mewawancara informan seperti tokoh adat

atau juga masyarakat yang memiliki pengetahuan dan keterampilan tentang Mansorandak.

1.7 Sistematika Penulisan

Pada bagian I berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian,

dan metode penelitian yang digunakan. Bagian II, penulis membahas mengenai teori yang akan

digunakan untuk mengkaji dan menganalisa upacara Mansorandak. Pada bagian III, berisi

kondisi tempat penelitian, dan pembahasan masalah, mengenai prosesi dari mansorandak, makna

dan tujuan dari dilakukannya upacara Mansorandak bagi masyarakat suku Biak. Pada Bagian IV,

berisi tentang analisa masalah yang mencakup hasil penelitian lapangan dianalisa dengan teori

yang digunakan. Bagian terakhir, ke V berisi, kesimpulan, dan saran-saran yang membangun

bagi pihak-pihak yang terkait.

2. Landasan Teori

2.1 Kebudayaan

Kebudayaan tidak bisa terlepas dari kehidupan masyarakat di manapun. Karena melekat

dalam segala aspek kehidupan masyarakat. Bahkan dalam aspek atau bidang yang berkenaan

dengan undang-undang atau peraturan seperti hukum, masih harus menyesuaikan dengan budaya

setempat. Budaya memiliki nilai, ciri khas dan karakternya masing-masing. Herskovits

memandang kebudayaan sebagai sesuatu yang turun-temurun dari satu generasi ke generasi yang

lain. Sementara menurut Andreas Eppink, kebudayaan mengandung keseluruhan pengertian,

nilai, norma, ilmu pengetahuan serta keseluruhan struktur-struktur sosial, religiuus, dan lain-lain.

Demikian pula, Edward B. Tylor berpendapat, bahwa kebudayaan merupakan keseluruhan yang

kompleks, yang didalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum,

adat-istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang dari anggota

masyarakat.12

11Ibid., 69. 12 Ghazali, A. M, Antropologi Agama, 32. Bandingkan juga, Soerjono Soekanto, Kamus Sosiologi,

(Jakarta: CV.Rajawali, 1985), hal. 440.

Page 16: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

7

Berdasarkan pengertian kebudayaan tersebut maka dapat dikatakan bahwa kebudayaan

merupakan sistem pengetahuan yang meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam

pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak.

Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai

makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata. Misalnya pola-

pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang

kesemuanya ditunjukkan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan

bermasyarakat. Jadi kebudayaan dalam suatu masyarakat merupakan system nilai tertentu yang

dijadikan pedoman hidup oleh warga yang mendukung kebudayaan tersebut.13

2.2 Ritus

Kata ritus diartikan sebagai tata cara di upacara keagamaan dan kata ritual atau rituil

sebagai hal ihwal ritus.14

Ritus menjadi salah satu wujud dari kebudayaan, ritual memiliki bentuk yang bermacam-

macam dan turut menjadi identitas dari suatu budaya atau suatu agama kelompok masyarakat.

Ritus adalah alat manusia religius untuk melakukan perubahan. Ia juga bisa dikatakan sebagai

tindakan simbolik agama, atau ritual itu merupakan “agama dalam tindakan”. Meskipun hanya

iman mungkin merupakan bagian dari ritual atau bahkan ritual itu sendiri, iman keagamaan

berusaha menjelaskan makna dari ritual serta memberikan tafsiran dan mengarahkan vitalitas

dari pelaksanaan ritual tersebut.15 Fokus penulisan tentang, bukan apa yang terletak dibalik aksi

yang dilakukan, akan tetapi penekanannya pada esensinya, dan apa yang memberikan arti kepada

aksi tersebut.16 Mengenai hal itu Van Gennep menekankan bahwa gejala turunnya semangat

kehidupan sosial biasanya terjadi pada masa akhir suatu musim alamiah, seperti pada musim

berburu, menangkap ikan, atau pada akhir suatu tahap dalam produksi pertanian, sewaktu energi

manusia seolah-olah sudah habis terpakai dalam aktivitas sosial selama musim yang hampir lalu

13Ghazali, A. M, Antropologi Agama , 32. 14 Departemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka,

1990) 588. 15 Ghazali, A. M, Antropologi Agama, 50. 16 Ibid., 51.

Page 17: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

8

itu. Oleh karena itu, dalam menghadapi tiap musim yang baru masyarakat memerlukan

“regenerasi” semangat kehidupan sosial dalam jiwa para warganya. Van Gennep menjelaskan

bahwa semua kebudayaan memiliki suatu kelompok ritual yang memperingati masa peralihan

individu dari suatu status sosial ke status sosial yang lain.17 Fungsinya juga secara langsung

untuk menghidupi mitos-mitos masa lalu.18

Susanne Langer berpendapat bahwa ritual merupakan ungkapan yang bersifat logis

daripada yang hanya bersifat psikologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang

diobyekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan serta membentuk

disposisi pribadi dari para pemuja yang mengikuti modelnya masing-masing.19 Menurutnya

ritual dapat dibedakan dalam empat macam:20

a. Tindakan magi, yang dikaitkan dengan penggunaan bahan-bahan yang bekerja

karena daya-daya mistis;

b. Tindakan religious, kultur para leluhur, yang juga bekerja dengan cara yang

pertama;

c. Ritual konstitutif, yang mengungkapkan atau mengubah hubungan sosial dengan

merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara

kehidupan menjadi khas;

d. Ritual faktiktif, yang meningkatkan produktivitas atau kekuatan, atau pemurnian

dan perlindungan, atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu

kelompok

Van Gennep menyatakan bahwa semua ritus dan upacara itu dapat dibagi ke dalam tiga

bagian, yaitu:21

a. “Ritus perpisahan” (separation); manusia melepaskan kedudukannya yang

semula. Acaranya ditandai dengan tindakan-tindakan yang melambangkan

perpisahan;

17 Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama (Yogyakarta : Kanisius, 1995), 179. 18 Sneijders, Aldelberd, Mitos dan Ritus Suatu Refleksi Filosofis. Jurnal Filsafat Teologi Universitas St.

Thomas SU. Vol 5.No. 1 Juni, 2007. 19 Dhavamony, Mariasusai, Fenomenologi Agama , 174. 20 Ibid., 177. 21 Ghazali, A. M, Antropologi Agama , 54.

Page 18: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

9

b. “ritus peralihan” (marge); manusia dianggap mati atau “tak ada” lagi, dan dalam

keadaan seperti tak tergolong dalam lingkungan sosial manapun. Mereka

dipersiapkan untuk menjadi manusia baru dalam lingkungan sosialnya yang baru

pula. Misalnya, diberikan pelajaran adat-istiadat keramat nenek moyangnya,

diperlihatkan benda-benda suci pusaka nenek moyangnya, diceritakan cerita-

cerita mitologi suci, dipelajari sopan-santun, dan sebagainya.

c. “ritus integrasi kembali’ (aggregation); upacara peresmian menuju tahap

kehidupan dan lingkungan sosial yang baru, sebagaimana dilakukan pada

upacara-upacara inisiasi lainnya, di mana individu yang bersangkutan secara

perlambang seakan-akan dilahirkan kembali, dan mengukuhkan integrasinya ke

dalam lingkungan sosial yang baru.

Ritus penerimaan, dijalani melalui tiga tahap, yaitu ”perpisahan, peralihan, dan

penggabungan”. Pada tahap perpisahan, individu dipisahkan dari suatu tempat atau

kelompok atau status; dalam tahap peralihan, ia disucikan dan menjadi subyek bagi

prosedur-prosedur perubahan; sedangkan pada masa penggabungan ia secara resmi

ditempatkan pada suatu tempat, kelompok, atau status yang baru.22

Data etnografi dalam buku Van Gennep menunjukan bahwa ritus perpisahan itu,

sering berkaitan dengan ritus peralihan, sedangkan upacara inegrasi dan pengukuhan

lebih sering dapat berdiri sendiri, lepas dari kedua macam ritus tersebut yang pertama.

Berdasarkan fakta itu mungkin dapat dusulkan untuk membedakan dengan seksama

antara dua macam upacara religi, yaitu: (1) yang bersifat perpisahan menjadi satu dengan

yang bersifat peralihan, (2) yang bersifat integrasi dan pengukuhan. Mungkin baik juga

untuk membedakan kedua macam upacara religi itu dengan dua istilah juga, yaitu “ritus”

untuk yang pertama, dan “upacara” untuk yang kedua.23

22Ibid., 55. 23 Koentjaraningrat, Sejarah Teori Antropologi I, 77.

Page 19: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

10

2.3 Teologi Kontekstual

Kontekstualisasi bukanlah semata-mata mode atau semboyan melainkan suatu kebutuhan

teologis yang dituntut oleh sifat Firman yang telah menjadi daging di dunia. Apakah sifat

implikasi istilah ini?24

(Prinsip 1) Kontekstualisasi mencakup segala sesuatu yang tersirat dalam istilah

“pempribumian”, namun lebih dalam daripada itu.Kontekstualisasi berkaitan dengan

penilaian manusia terhadap konteks-konteks dalam dunia ketiga. Istilah “pempribumian”

cenderung dipergunakan dalam pengertian menanamkan Injil ke dalam suatu budaya

tradisional. Sedangkan kontekstualisasi, dengan tidak mengabaikan konteks-konteks

budaya, memperhitungkan juga proses sekularisasi, teknologi dan perjuangan manusia

demi keadilan, yang menjadi ciri saat ini dalam sejarah bangsa-bangsa dunia ketiga.

(Prinsip 2) Harus membeda-bedakan dengan cermat antara bentuk-bentuk

kontekstualisasi yang autentik dan yang palsu. Kontekstualisasi palsu menyerah kepada

akomodasi (penyesuaian) yang tidak kritis, suatu iman budaya. Kontekstualisasi autentik

selalu bersifat kenabian, yang selalu muncul dari suatu pertemuan yang sungguh-sungguh

antara Firman Allah dan dunia-Nya, sehingga bergerak maju menuju tujuan untuk

menantang dan mengubah situasi melalui keberakaran dan komitmen pada satu saat

historis tertentu.

(Prinsip 3) Kontekstualisasi bersifat dinamis bukan statis.Kontekstualisasi

mengakui sifat terus-menerus berubah dari setiap situasi sifat manusia dan kemungkinan

akan terjadinya perubahan, hingga membuka jalan bagi masa depan.

(Prinsip 4) Suatu program kontekstualisasi teologi di dunia ketiga akan

mempunyai prioritas-prioritasnya sendiri. Mungkin ia harus mengungkapkan tekad untuk

menentukan diri sendiri dengan cara terbuka memilih “teologi perubahan” atau dengan

mengakui arti-arti teologis yang penting dan jelas dalam masalah seperti keadilan,

pembebasan, kuasa ekonomis, dialog dengan orang yang beriman dan berideologi lain, dan

lain-lain.

24Drewes, B. F & Mojau, Julianus, Apa itu Teologi?: Pengantar Ke Dalam Ilmu Teologi (Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2007), 156.

Page 20: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

11

(Prinsip 5) Namun kontekstualisasi tidak menyiratkan isolasi bangsa-bangsa dan

budaya-budaya.Sementara di dalam masing-masing situasi budaya yang berbeda-beda

orang harus bergumul kembali untuk mendapatkan identitas mereka dan menguasai sejarah

mereka sendiri namun, masih terdapat kesalingtergantungan konteks dengan demikian

kontekstualisasi berarti bahwa kemungkinan-kemungkinan pembaruan harus pertama-tama

dirasakan pada tempatnya masing-masing dalam tiap situasi, namun selalu dalam kerangka

kesalingtergantungan pada masa kini yang mengikat masalah-masalah masalalu dan masa

kini pada kemungkinan-kemungkinan pada masa depan.

Akhirnya, kontekstualisasi yang menekankan keprihatinan menurut tempat dan

situasinya masing-masing, memperoleh kekuatan dasarnya dari Injil yang dimaksudkan

bagi semua orang. Jadi kontekstualisasi pada akhirnya membantu solidaritas semua orang

dalam ketaatan dalam Tuhan yang sama.25

Song menjelaskan teologinya dalam tiga bukunya: Christian Missionin

Reconstruction: An Asian Attemp,Third-eye Theology: Theology in Formation in Asian

Setting, dan The Compassionate God. Buku-buku ini merupakan trilogi teologi, di mana

Song membangun kembali misi kristiani dari perspektif asia, mengembangkan suatu

teologi dengan segi yang menguntungkan dari mata asia yang bukan-Barat, dan akhirnya

menunjuk ke masa yang akan datang dalam arti suatu gerakan dengan Allah yang penuh

kasih sayang. Di dalam ketiga bukunya, Song menaruh perhatiannya pada apa yang dia

sebut “teologi transposisi”, yaitu teologi Kristen yang dipindahkan dari konteks Barat ke

konteks Asia. Menurut Song, ada beberapa segi dari teologi transposisi ini – suatu

pergesseran dalam hal tempat dan waktu, suatu alat berkomunikasi, dan yang paling pokok

ialah inkarnasi. Langkah terakhir ini menghasilkan suatu teologi yang seluruhnya

kontekstual, sebab tidak ada alasan teologi maupun ontologis mengapa teologi Kristen

harus dikerjakan di semua tempat dan sepanjang waktu dari perspektif filsafat Barat

dengan penggolongan dan pola pikir Barat.26

Pada karangan sebelumnya yang berjudul “From Israel to Asia – A Theological

Leap”, Song mempertanyakan mengenai gagasan tradisional bahwa bagaimanapun juga

25Ibid., 156. 26 Daniel, J. A. Teologi Lintas Budaya: Refleksi Barat di Asia (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010), 91.

Page 21: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

12

semua bangsa dan budaya harus dicakup dalam satu sejarah keselamatan. Song tidak

melihat satu alasanpun, mengapa tidak boleh ada banyak sejarah keselamatan dan mengapa

Allah tidak dapat bekerja dalam budaya-budaya bangsa lain sebagaimana yang Allah

perbuat dalam sejarah dan budaya Israel. Namun Song tidak lagi memakai gagasan sejarah

keselamatan; melainkan menggantikannya dengan memakai motif-motif alkitabiah

mengenai penciptaan dan pembebasan. Ia memahami penciptaan dan pembebasan sebagai

yang bersama-sama menempatkan semua budaya dan agama pada tempat berpijak yang

sama dipandang dari segi anugerah dan kasih sayang Allah. Song melanjutkan

pengembangan teologinya dengan tidak hanya berbicara mengenai penciptaan dan

pembebasan, tetapi juga mengenai penciptaan ulang, di mana orang Kristen dilibatkan

dalam karya Allah yang terus berlangsung, yaitu menciptakan langit yang baru dan bumi

yang baru. 27

Makna teologi kontekstual pada umumnya dan dalam teologi Song pada khususnya

adalah bahwa teologi kontekstual dengan sungguh-sungguh sangat memperhatikan konteks

sejarah dan budaya dimana seseorang hidup dan berkarya. Tidak hanya ada jawaban

teologis yang tradisional dan dipahami dengan cara yang berbeda, melainkan adanya

pertanyaan-pertanyaan yang juga berbeda-beda dalam setiap budaya. Artinya, teologi

kontekstual mempunyai tugas rangkap, yaitu menafsir dan membangun.28

Iman Kristen yang datang ke Asia, sebagai contoh, melalui kurun waktu 2000

tahun dari sejarah gereja, harus ditafsir ulang dengan mata orang Asia, dan pertanyaan-

pertanyaan teologis harus diajukan yang timbul dari interaksi antara penafsiran ulang iman

Kristen dengan suatu konteks budaya dan sejarah. Song telah memusatkan perhatiannya

pada kedua bagian dari tugas ini – pada tugas penafsiran dalam Christian Mission in

Reconstruction dan tugas membangun dalam Third-Eye Theology dan The Compassionate

God.Dalam menangani keseluruhan tugas kontekstual teologi, Song menampilkan suatu

contoh yang kreatif dan terkenal mengenai bagaimana teologi dapat dan harus

dilaksanakan dalam konteks Asia.29

27 Ibid, 92. 28 Ibid., 29 Ibid.,

Page 22: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

13

Lebih lanjut ide tersebut diperkuat secara langsung oleh Stephen Bevans dengan

menyimpulkan bahwa suatu teologi akan disebut kontekstual apabila mempertimbangkan

empat aspek30, yaitu berita rohaniah tentang Injil, tradisi orang-orang Kristen, kebudayaan

bangsa dan wilayah tertentu dan perubahan social dalam kebudayaan tersebut sejalan

dengan kemajuan teknologi serta perjuangan demi keadilan dan kebebasan. Oleh karena

itu, dapat dikatakan bahwa kontekstualisasi sebagai suatu pendekatan teologis seharusnya

bersifat kompherensif.31

3. Hasil Penelitian

3.1 Gambaran Daerah Penelitian

Kabupaten Biak Numfor merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Papua, Dengan

Letak kabupaten yang strategis, di bagian utara Pulau Yapen di Teluk Cenderawasih. Biak

Numfor semula dikenal sebagai satu-satunya kabupaten kepulauan di antara 14 kabupaten/kota

di Provinsi Papua, namun kini tidak lagi setelah ada pemekaran menjadi 28 kabupaten/kota.Tiga

pulau besar dan 62 pulau-pulau kecil di kawasan Biak Numfor yang sangat mengandalkan

pelabuhan laut dan bandara bagi lalu lintas perekonomiannya. Letak pelabuhan lautnya dapat

mengakses langsung ke kawasan Asia Pasifik, Australia dan Amerika, begitu juga dengan

bandara udara yang ada.32

Mokmer adalah salah satu kampung terbesar di Distrik Biak Kota, Kabupaten Biak

Numfor dan sampai saat ini sudah dimekarkan menjadi lima kampung, yakni Kampung Parai,

Anggraidi, Manggandisapi, Sanumi dan Mokmer sebagai desa induk.33 Penduduk dari desa

Mokmer bermata pencaharian sebagai nelayan ikan laut, dikarenakan desanya yang terletak

pesisir pantai. Selain itu ada juga yang bercocok tanam, sepeti sayur-sayuran dan ubi-ubian.

3.2 Mansorandak

Upacara ini melambangkan siklus hidup masyarakat setempat. Dilaksanakan apabila ada

anak-anak atau anggota dalam suatu keluarga pergi keluar dari kampung atau pulau tempat

30 Stephen B. Bevans, Model-Model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero, 2002), 1- 29. 31Partonadi, S. S, Komunitas Sadrakh dan Akar Kontekstualnya: Suatu ekspresi Kekristenan Jawa Pada

Abad XIX (Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2001), 5. 32Surya H. W, tokoh adat Kawasa Biak, Salatiga 11 November 2014 33Diakses dari http://tabloidjubi.com/2014/09/05/kampung-mokmer-biak-sosialisasi-uu-desa/, pada tanggal

4 Juli, pada pukul 00:00

Page 23: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

14

tinggalnya ke tempat yang baru atau asing baginya. Selain itu, upacara ini juga dilakukan orang

setempat terhadap saudara, anak atau kerabat, bahkan tamu mereka yang baru datang. Karena

upacara ini dilakukan apabila ada anggota keluarga atau orang baru keluar atau datang, sehingga

upacara ini bersifat insidentil. Mansorandak seringkali dikenal juga dengan upacara injak piring,

karena dalam upacara adat ini orang yang disambut atau dimansorandak diterima secara simbolik

dengan memasukan atau meletakan kakinya ke dalam piring porselen antik dari China sebagai

tanda penyambutan bagi orang tersebut.34 Mansorandak memiliki dua bentuk:

Pertama upacara yang dilakukan oleh keluarga bagi sanak saudara atau kerabat mereka

yang akan melakukan suatu perjalanan keluar dari tempat atau kampung mereka. Upacara yang

dilakukan merestui keberangkatan seorang saudara atau anak-anak mereka yang pergi adalah

untuk meminta pertolongan dari Nanggi atau Langit dan arwah-arwah nenek moyang mereka

agar menjaga, melindungi mereka dari bahaya-bahaya yang mengancam saudara dan anak-anak.

Upacara ini dilakukan selama berada di dalam perjalanan, yaitu sejak saudara atau anak-anak

berangkat, orang tua maupun kerabat-kerabatnya pergi ke pantai untuk mengambil air laut. Air

laut ini disimpan dalam bambu atau botol di rumah sehingga airnya tenang. Ketenangan air laut

ini (war bemasen) merupakan simbol dari ketenangan alam (angin, hujan) sehingga mereka akan

tiba dengan selamat pada tempat tujuan. Setelah seminggu, mereka anggap bahwa saudara atau

anak-anak mereka sudah tiba ditempat tujuan, maka mereka pun melakukan suatu upacara.

Dalam upacara tersebut akan disajikan makanan yang dimasak air laut yang mereka timba pada

seminggu lalu. Dalam upacara tersebut mereka menyanyikan nyanyian adat/tradisional yang juga

di kenal dengan wor.

Kedua upacara yang dilakukan oleh penduduk setempat untuk menyambut anak, saudara

atau kerabat, atau juga tamu yang baru datang. Upacara ini bertujuan untuk memperlihatkan

kepada para penghuni wilayah baru bahwa yang datang adalah saudara mereka, sehingga alam

dan penguasa-penguasa lainnya dapat menerima orang tersebut dengan baik. Sebagai orang

baru, mereka mempunyai kewajiban untuk memberikan suguhan atau persembahan. Bisa berupa

kakes atau pinang kepada roh-roh dan juga kepada manusia yang ada di tempat yang baru.

34 Hasil wawancara dengan Demas R, Budayawan Biak, 11 November 2014.

Page 24: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

15

Sedangkan masyarakat setempat menjemput anak, saudara, kerabat atau tamu mereka itu dengan

menggunakan benda atau harta untuk membasuh kaki/mban wemin dan muka/mban mgamor35

Tradisi atau upacara Mansorandak ini sudah dilaksanakan sebelum kekristenan masuk di

Biak. Mansorandak juga memiliki nilai sakral, karena terdapat unsur pengorbanan dan

penghargaan sehingga dalam ritual tersebut seharusnya dimaknai dengan penuh penghayatan dan

perasaan dalam pelaksanaannya. Sebab, seluruh budaya, adat-istiadat dan ritual yang ada di

dalam masyarakat Biak, tidak bisa dilepaskan dari mite Swandibru atau mitos tentang asal mula

laut di Biak. Dari mitos inilah asal mula nenek moyang orang Biak dengan segala adat-istiadat,

budaya, contohnya mitos Koreri yang disampaikan oleh Manarmakeri, sebenarnya dimulai dari

mite ini. 36

Nilai teologis lainnya dari upacara Mansorandak adalah sebagai sebuah bentuk ungkapan

syukur kepada Tuhan atas berkat dan penyertaan bagi orang yang disambut. Sebelum kekristenan

masuk ke dalam masyarakat Biak, upacara ini dilaksanakan sebagai salah satu bentuk ungkapan

syukur masyarakat kepada Manseren ro nanggi (Dewa di langit) atas penyertaan dan kasih

sayangnya sehingga saudara, anak atau kerabat yang di sambut bisa tiba di tempat itu dengan

selamat. Tetapi, ketika kekristenan masuk ke dalam kehidupan masyarakat Biak sapaan

Manseren ro nanggi yang dahulu diperuntukan bagi Dewa dalam kepercayaan masyarakat Biak

pra-Kristen kini digantikan dengan menurut iman Kristen kepada Yesus ataupun Allah Bapa.37

Jadi semua bentuk adat-istiadat, budaya dan ritual atau upacara yang dilakukan oleh

masyarakat Biak dalam pelaksanaannya, adalah bukan saja sebagai bentuk pemahaman mereka

terhadap adat-istiadat atau sebagai bentuk pemeliharaan dan pelestarian budaya, tetapi itu

merupakan bentuk penghormatan terhadap Sinan Bepon atau Roh Leluhur. Selain Mansorandak

itu dilaksanakan sebagai bentuk penyambutan dan penghargaan terhadap seseorang yang

merupakan kerabat dari suatu keret atau marga, ataupun ia seorang asing atau seorang tamu ke

dalam masyarakat atau komunitas tersebut untuk pertama kalinya, hal ini sifatnya adalah

penghormatan. Jadi, dalam seni, budaya dan adat-istiadat dengan bentuk-bentuknya masing-

35Hasil wawancara dengan Surya W. R, Budayawan Biak, 1 Juni 2015 36Ibid., 37Hasil wawancara dengan Denis Koibur, Budayawan Biak, 29 Juni 2015.

Page 25: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

16

masing dalam masyarakat Biak semuanya merupakan suatu bentuk penghormatan terhadap Sinan

Bepon, di sinilah bentuk dari kesakralannya masing-masing, termasuk Mansorandak.38

Piring merupakan sarana yang diperlukan bagi kelangsungan acara ini terutama pada saat

prosesi dari upacara Mansorandak. Sebutan lain bagi tradisi Mansorandak ini adalah tradisi injak

piring, sebab dalam acara ini piring porselen atau piring antik sebagai sarana penting bagi acara

ini. Sebab, jika tidak ada piring antik tersebut maka acara tersebut seharusnya tidak bisa

dilaksanakan. Meskipun benda hanya merupakan simbol, tetapi turut menyertakan makna

penting di dalam acara tersebut. Piring antik atau piring keramik yang digunakan untuk acara

tersebut juga sebenarnya tidaklah sembarang piring keramik atau piring antik, tetapi piring yang

bermotif naga dan merupakan warisan dalam sebuah keluarga, bukan nilai jual atau harga dari

piring tersebut yang menjadi masalah tapi nilai warisan dari generasi ke generasi tersebut yang

menjadi makna pengorbanan dan penghargaan dari piring tersebut.39

Bila ada kerabat, atau tamu yang akan dimansorandak, seharusnya menggunakan piring

keramik yang merupakan warisan dari keluarga yang telah bersepakat untuk menentukan piring

yang akan digunakan, dan merupakan warisan dari generasi ke generasi yang bisa berusia ratusan

tahun. Namun, dalam pelaksanaannya ada orang-orang Biak sendiri yang tidak memaknai makna

dari piring tersebut, sehingga hanya asal-asalan melihat bentuk dan harga. Misalkan saja, akan

ada kerabat atau tamu yang datang dan keluarganya bersepakat membeli sebuah piring antik atau

piring keramik yang baru karena beranggapan bahwa, piring yang lama dalam generasi mereka

tidak layak digunakan, atau bisa juga dengan alasan gengsi untuk menunjukan bahwa mereka

mampu membeli sebuah piring antik atau piring cina yang harganya bisa puluhan juta untuk

menaikan gengsi atau status. Hal-hal seperti ini sebenarnya melanggar adat dan tidak memaknai

makna sebenarnya dari piring tersebut, meskipun piring tersebut hanya sebagai simbol saja

dalam ritual tersebut. Hal ini juga bisa dibilang menghina adat, dan tidak menghormati Sinan

Bepon, atau Roh Leluhur yang mewariskan adat-istiadat dan budaya dari orang Biak.40

Pada saat prosesinya berlangsung, orang yang akan Mansorandak, akan disambut oleh

beberapa orang dan diantara para penyambut itu, ada seorang yang bertugas mengalungkan

38Ibid., 39Hasil wawancara dengan Surya W. R, Budayawan Biak, 1 Juni 2015 40Ibid.,

Page 26: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

17

bunga sebagai tanda sambutan, dan orang yang disambut tersebut akan dituntun ke tempat di

mana ia akan mencelupkan, atau memasukan kakinya ke dalam piring tersebut, dan dalam proses

pengiringannya ia diantar dengan nyanyian dan tarian menuju ke tempat piring tersebut

disediakan. Ketika orang tersebut tiba ke tempat di mana piring tersebut, kaki dan muka orang

tersebut akan dibasuh terdahulu dengan air. Pembasuhan ini bermakna, pembersihan hati untuk

menapak dan memandang kembali ketulusan dari masyarakat tersebut dan tanahnya. Setelah

pembasuhan dilakukan barulah orang tersebut akan memasukan kakinya ke dalam piring tersebut

sebagai tanda bahwa ia sudah diterima dalam masyarakat tersebut. Sedangkan piring tersebut

sebagai simbol penerimaan dari keret/marga atau warga yang melaksanakan upacara

Mansorandak. Adapun makna dari orang tersebut memasukan kakinya ke dalam piring itu

adalah, bahwa dalam perjalanan pulang dan perginya orang tersebut dalam perlindungan dan

penyertaan Yang Kuasa di langit, sehingga ia bisa hadir di tengah-tengah warga. 41

Perkembangan saat ini kebudayaan masyarakat Biak secara perlahan mulai kehilangan

rohnya. Artinya, dalam pelaksanaan kegiatan adat-istiadat, bisa dikatakan bahwa ada beberapa

kelompok masyarakat Biak yang melakukan atau mengadakan misalnya, upacara Mansorandak

hanya dilakukan begitu saja, tanpa memaknai atau menghayati kesakralan dari upacara tersebut.

Di sinilah acara itu kehilangan rohnya. 42

Selain kurangnya pemahaman dan pemaknaan terhadap kesakralan Mansorandak,

terdapat pelanggaran adat dalam upacara Mansorandak, juga terdapat pelanggaran adat dalam

upacara Mandorandak, yaitu ada yang melaksanakan upacara ini dengan memangkas secara

materi untuk pelaksanaan acara ini, bahkan ada yang juga melaksanakan acara ini dengan

maksud menunjukan gengsi kepada pihak keluarga lainnya. Padahal seharusnya Mansorandak

harus dilakukan dan terjadi dengan ketulusan hati, bukan dengan terpaksa ataupun gengsi dari

pihak pelaksana. Selain hal-hal tersebut, faktor lain yang menjadi tantangan dalam ritual

Mansorandak adalah Wor.43

Wor adalah bentuk nyanyian spontanitas yang menjadi unsur penting dalam setiap proses

acara adat dalam masyarakat Biak. Dalam Wor yang dibawakan, terdapat doa-doa, harapan,

41 Ibid., 42 Ibid., 43 Ibid.,

Page 27: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

18

puisi, kata-kata pembangkit semangat/motivasi, nasehat-nasehat dan lain sebagainya. Tetapi,

dalam prakteknya saat ini, unsur Wor jarang, bahkan sudah tidak di jumpai lagi dalam

penyertaannya ke dalam ritual Mansorandak. Hal ini dikarenakan, struktur Wor yang tidak bisa

sembarangan dibuat, serta penggunaan dari Wos Bekwar (bahasa Biak tinggi, atau jika dalam

bahasa jawa dikenal dengan kromo inggil) yang sekarang ini perlahan-lahan mulai jarang

dijumpai orang yang masih fasih menggunakannya karena perkembangan zaman, sebab wor

bukan saja nyanyian tapi juga berupa puisi atau pantun yang sakral bagi orang Biak.44

4. Analisa

4.1 Mansorandak Dalam Kajian Antropologi

Koentjaraningrat membagi dan membedakan dua macam upacara religi dari data

etnografi Van Gennep mengenai ritus. Koentjaraningrat membedakannya dengan istilah “ritus”

untuk yang berkaitan dengan perpisahan yang menjadi satu dengan peralihan sedangkan,

“upacara” untuk yang berkaitan dengan yang bersifat integrasi dan pengukuhan. Jadi, untuk

membedakan Mansorandak dan mengenal sifatnya, maka Mansorandak masuk ke dalam tipe

Upacara dari model-model ritus yang telah dibagi oleh Koentjaraningrat berdasarkan model ritus

dari Van Gennep. Karena, berdasarkan sifat ritus, Mansorandak adalah upacara integrasi dan

pengukuhan.

Van Gennep membagi ritus dan upacara ke dalam tiga bagian, yaitu; (1) ritus perpisahan

(sepparation); yang acaranya ditandai dengan tindakan-tindakan melepaskan kekuasaan. (2) ritus

peralihan (marge); di mana para anak muda dipersiapkan untuk menjadi manusia yang baru

dalam lingkungan sosialnya yang baru pula. Misalnya, mereka diberikan pelajaran mengenai

adat-istiadat keramat nenek moyangnya, diperlihatkan benda-benda suci pusaka nenek

moyangnya, dan lain sebagainya. (3) ritus integrasi kembali (aggregation) upacara peresmian

menuju tahap kehidupan dan sosial yang baru. Di mana individu yang bersangkutan secara

perlambang seakan-akan dilahirkan kembali dan mengukuhkan integrasinya ke dalam

lingkungan sosialnya yang baru.

44 Ibid.,

Page 28: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

19

Berdasarkan model-model ritus dan upacara dari Van Gennep, yang paling terkait dengan

Mansorandak, adalah model ritus integrasi kembali (aggregation). Karena upacara Mansorandak,

sebagaimana konsep individu yang dimaksud oleh Van Gennep atau pihak yang dimansorandak

dilahirkan kembali dan diperlambangkan dengan upacara Mansorandak. Individu tersebut

seolah-olah atau memang dia adalah orang yang baru bagi masyarakat yang mengadakan upacara

Mansorandak sebagai wujud penghargaan dan penyambutan bagi si individu tersebut.

Proses selama upacara itu berlangsung merupakan perlambang bagi si individu yang di

sambut sebagai tanda bahwa seolah-olah ia belum termasuk ke dalam komunitas yang

melaksanakan upacara Mansorandak bagi individu tersebut. Pengukuhan status sebagai bagian

dari komunitas masyarakat tersebut selesai dan ditandai dengan individu yang dimansorandak

membasuh kaki dan mukanya dengan air yang telah disiapkan. setelah itu individu tersebut

mencelupkan atau memasukan kakinya ke dalam piring tersebut menunjukkan statusnya sebagai

bagian dari masyarakat, telah dikukuhkan dan turut menjadi bagian dari keluarga besar

masyarakat tersebut di manapun ia berada. Menariknya bahwa Piring kemudian berperan

membentuk makna simbolis.45

4.2 Mansorandak Dalam Kajian Teologi Kontekstual

Upacara Mansorandak merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat suku Biak. Di

mulai sebelum kekristenan hadir dan hingga saat ini masih dilakukan oleh masyarakat Biak turun

temurun. Sebelum kekristenan hadir dalam masyarakat Biak upacara Mansorandak bukan hanya

dilakukan sebagai upacara penyambutan di dalam masyarakat. Namun sebagai bentuk ungakapan

syukur masyarakat Biak kepada Manseren ro Nanggi (Dewa di Langit) karena anak atau pihak

keluarga yang telah kembali dengan selamat ke dalam masyarakat atau warga, dan juga sebagai

bentuk penghormatan terhadap leluhur atau nenek moyang (Sinan Bepon) yang mewariskan

upacara Mansorandak.

Song tidak lagi memakai gagasan sejarah keselamatan; melainkan menggantikannya

dengan memakai motif-motif alkitabiah mengenai penciptaan dan pembebasan. Ia memahami

penciptaan dan pembebasan sebagai yang bersama-sama menempatkan semua budaya dan agama

45 Sneijders. Aldelberd, Mitos dan Ritus Suatu Refleksi Filosofis. Jurnal Filsafat Teologi Universitas St.

Thomas SU. Vol 5.No. 1 Juni, 2007.

Page 29: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

20

pada tempat berpijak yang sama dipandang dari segi anugerah dan kasih sayang

Allah.Mansorandak adalah salah satu kekayaan yang ada dalam budaya masyarakat Biak. Saat

ini, upacara ini memang bukan lagi diidentikkan sebagai bagian dalam kepercayaan nenek

moyang orang Biak yang melakukan upacara ini sebagai bentuk ungkapan syukur kepada

Manseren yang dahulu berperan sebagai dewa bagi orang Biak pra-kristen. Namun, ungkapan

atau sapaan Manseren ro Nanggi saat ini identik dan kental dengan kekristenan dalam

masyarakat Biak bagi panggilan yang ditujukkan kepada Tuhan dalam iman kepercayaan

Kristen.

Alasannya dilihat dari perspektif teologi kontekstual maka kondisi dan situasi yang

dihasilkan dari budaya, setempat dapat dikontekstualkan secara langsung.46 Karena Bevans

berpandangan bahwa suatu teologi akan disebut kontekstual apabila mempertimbangkan empat

aspek, yaitu berita rohaniah tentang Injil, tradisi orang-orang Kristen, kebudayaan bangsa dan

wilayah tertentu dan perubahan sosial dalam kebudayaan tersebut sejalan dengan kemajuan

teknologi serta perjuangan demi keadilan dan kebebasan.selain itu jika dipahami dari ide Song

bahwa budaya adalah anugerah Allah maka secara otomatis Mansorandak saat ini telah

dialamatkan kepada Yesus dengan makna yang baru.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kontekstualisasi sebagai suatu pendekatan

teologis bersifat komprhensif. Upacara Mansorandak dalam pengertian makna telah mampu

mengkomprehensifkan keempat aspek tersebut yang disebutkan oleh Bevans. Aspek pertama,

bahwa upacara mansorandak yang dahulu dilakukan pada zaman pra-kristen oleh masyarakat

Biak juga dilaksanakan sebagai bentuk ungkapan syukur bahwa salah satu sanak keluarga atau

kerabat yang telah selamat dalam perlindungan Manseren ro Nanggi sebagai dewa tertinggi

disamping menyembah roh para leluhur. Namun, dalam konteks pasca-Kristen, upacara ini juga

sebagai suatu bukan hanya sebatas upacara sambutan saja, tetapi juga sebagai bentuk ungkapan

syukur masyarakat atau warga kepada Tuhan Yesus dalam iman Kristen, yang dapat

46 Budaya atau dalam hal ini adat sejak dahulu bukanlah suatu hal yang tidak dapat berubah. Hal ini telah

disadari oleh para Zending sehingga mereka dapat membawa pembaharuan dalam adat atau suatu tradisi dengan

pendekatan yang kontekstual. Lothar Schreiner, Adat dan Injil Perjumpaan adat dan Injil di Tanah Batak (Jakarta:

BPK Gunung Mulia, 2008), hal 5.

Page 30: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

21

menyatukan47 dan mempererat relasi antar anggota masyarakat termasuk gereja dalam sudut

pandang sebagai tubuh Kristus.

Aspek kedua yang berkaitan dengan tradisi orang Kristen pada prosesi masorandak

adalah simbol dari kasih, dalam bentuk upacara penerimaan dan penyambutan. Bahkan

mansorandak memberi arti mendalam terhadap konsep kasih dalam iman kristen.48 Karena secara

konkrit tidak dilakukan bagi sanak keluarga atau kerabat saja. melainkan juga bagi orang asing

mereka diberi kebebasan untuk dapat melakukan tradisi ini. Berkaitan dengan itu, aspek ketiga

dan keempat terkait budaya bangsa dan wilayah tertentu dan perubahan sosial yang dimaksud

Bevans adalah tujuan bagi siapa upacara Mansorandak ini dilakukan menjadi terkait secara

konkrit dalam tradisi.

Lebih lanjut dilihat dari kronologinya awalnya, upacara ini dilaksanakan bagi anak,

saudara atau kerabat keluarga yang baru datang dari luar. Tetapi juga dilakukan bagi orang yang

merupakan orang baru di daerah tersebut atau seorang tamu yang berasal dari daerah luar Biak.

Turut menerima atau dimansorandak. Selain itu, upacara Mansorandak juga menjadi tempat atau

acara serta kesempatan untuk berkumpulnya bagi keluarga untuk memperat tali kekeluargaan.

Sehingga telah terjadi wujud teologi yang universal secara langsung maupun tidak langsung

Secara teologis Mansorandak jika dipahami dari sudut pandang sempit mungkin akan

tidak sesuai pada tempatnya. Pada contohnya perspektif dogmatika kristen maka akan kurang

relevan apalagi jika dipermasalahkan asal-usulnya. Karena akarnya berasal dari warisan budaya

dan kepercayaan nenek moyang orang Biak. Oleh karena itu sudah sangat tepat jika perlu

dipahami dari teologi kontekstual. Song secara langsung membuka alam berpikir yang cukup

berkesinambungan sehingga penciptaan dan pembebasan sebagai yang bersama-sama telah

menempatkan semua budaya dan agama pada tempat berpijak yang sama dipandang dari segi

47 Schmidt, “ekklēsia” Dalam Theological Dictionary of the New Testament. Ed. G. Kittel. Volume III.

(Michigan: Eerdmans, 1965), 501-536. 48 Pemahaman tersebut merujuk pada pemahaman bahwa Gereja terdiri dari umat yang berkelana dimana

dalam berkelana itu yang dihadirkan adalah ekspresi ungkapan syukur dalam pengalaman gembira.... David J.

Hesselgrave dan Edward Rommen. Kontekstualisasi Makna, Metode dan Model (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

2006) , 67.

Page 31: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

22

anugerah dan kasih sayang Allah sehingga menjadi suatu keyakinan religius yang kuat49 pada

diri masyarakat Biak berdasarkan pengalaman tradisinya maupun kepercayaan iman kristen.

Ritual atau upacara masorandak yang dilakukan pada intinya harus dimengerti dari

nilainya yang universal seperti konsep kasih, dan persaudaraan sehingga Gereja tidak perlu

kuatir bagi upacara Mansorandak yang masih dipertahankan dan berakar dari warisan nenek

moyang masyarakat Biak yang menganut kepercayaan animisme. Tetapi upacara Mansorandak

saat ini lebih sebagai salah satu bagian dari identitas teologi kontekstual dalam kehidupan

bergereja dan bermasyarakat di Biak yang bergerak terus ke masa depan berdasarkan konteks50

perkembangannya.

5. Penutup

5.1 Kesimpulan

Upacara Mansorandak merupakan suatu upacara yang sudah ada sebelum kekristenan

masuk ke Biak. Hingga saat ini, upacara ini masih tetap dilakukan turun-temurun hingga menjadi

salah satu identitas budaya dan teologi kontekstual bagi masyarakat Biak.

Pada waktu upacara Mansorandak dilakukan, orang yang akan dimansorandak di sambut

oleh beberapa orang, dan salah satu orang akan mengalungkan bunga kepada orang tersebut.

Orang tersebut kemudian diiringi dengan tarian dan diarahkan oleh para penyambutnya menuju

ke tempat di mana piring yang disediakan bagi orang yang dimansorandak itu untuk memasukan

kakinya ke dalam piring tersebut. Sebelum kaki orang tersebut dimasukan ke dalam piring yang

disediakan, wajah dan kaki dari orang itu haruslah dahulu dibasuh dengan air yang disediakan.

Ketika orang tersebut tiba ke tempat di mana piring tersebut tersedia, kaki dan muka orang

tersebut akan dibasuh terdahulu dengan air. Makna dari pembasuhan ini ialah, untuk

membersihkan hati dari orang yang disambut itu agar dapat melihat ketulusan dari masyarakat

tersebut dan tanahnya. Setelah pembasuhan dilakukan barulah orang tersebut akan memasukan

49 R.Stark And C.Y. Glock, American Piety : The Nature of Religious Commitment, (University of

California Press, 1968). Hal 256. 50 Emanuel G.Singgih, Mengatisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III

(Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) 58, 324.

Page 32: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

23

kakinya ke dalam piring tersebut sebagai tanda bahwa ia sudah diterima dalam masyarakat

tersebut. Piring tersebut sebagai simbol yang mewakili rasa penerimaan dari keret/marga dan

masyarakat Biak yang melakukan upacara penyambutan itu. Sedangkan makna menginjak atau

memasukan kaki oleh orang yang disambut adalah, orang tersebut telah memperoleh perkenaan

dan perlindungan dari Manseren atau Tuhan untuk bisa datang kembali berkumpul ditengah-

tengah warga masyarakat.

Prosesi Mansorandak seperti yang dijelaskan tersebut bukan hanya sekedar upacara

penyambutan saja. Tetapi lebih daripada itu merupakan suatu bentuk ungkapan rasa syukur

masyarakat Biak kepada Manseren atau Tuhan yang sudah dilakukan secara turun-temurun. Oleh

karenanya makna dan tujuan utama dari upacara ini ialah untuk dapat menghadirkan dan

menciptakan rasa kebersamaan serta kekeluargaan yang merangkul masyarakat atau warga.

Karena, melalui upacara ini mereka bisa berkumpul dengan kasih dan sukacita dalam

menyambut orang yang dimansorandak dan mengucap syukur atas kedatangan orang yang

dimansorandak itu karena telah datang dengan keadaan selamat di tengah-tengah masyarakat,

dan tidak hanya terbatas pada masyarakat lokal namun juga dapat berlaku bagi pendatang baru di

lingkungan masyarakat Biak.

5.2 Saran

1. Bagi gereja-gereja di Biak.

Agar dapat melestarikan budaya masorandak sebagai saran berteologi kontekstual.

2. Warga masyakat

Agar dapat terus menjaga dan mewariskan budaya ini sebagai identitas, masyarakat Biak

yang memiliki ikatan-ikatan kekeluargaan yang kuat, dan membuka diri bagi orang-orang

yang baru.

Page 33: Tujuan dan Makna Mansorandak ( Studi Antropologi Teologis ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/9839/2/T1_712008049_Full... · Doa bagi mama tidak pernah penulis lupakan, kiranya

24

DAFTAR PUSTAKA

Adams, J. D. Teologi Lintas Budaya: Refleksi Barat di Asia. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2010.

Bevans, S. B., Model-model Teologi Kontekstual, (Maumere: Ledalero, 2002).

Departemen pendidikan dan kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai

Pustaka, 1990.

Dhavamony, Mariasusai. Fenomenologi Agama. Yogyakarta : Kanisius, 1995.

Drewes, B. F & Mojau, Julianus. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.

Ghazali, A. M. Antropologi Agama. Bandung : Alfabeta, 2011.

Hesselgrave, J. D, dan Rommen, E. Kontekstualisasi Makna, Metode dan Model Jakarta: BPK

Gunung Mulia, 2006.

Kittel, G. Theological Dictionary of the New Testament. Volume III. Michigan: Eerdmans, 1965.

Koentjaraningrat. Sejarah Teori Antropologi I. Jakarta : UI-Press, 1980.

Moleong, J. L. Metode Penelitian Kualitatif Bandung : PT Remaja Rosdakarya, 2006.

Partonadi, S. S. Komunitas Sadrakh dan Akar Kontekstualnya: Suatu ekspresi Kekristenan Jawa

Pada Abad XIX. Yogyakarta: Taman Pustaka Kristen, 2001.

Ratna, N. K. Sastra dan Cultural Studies: Representasi Fiksi dan Fakta. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2005.

Schreiner, L. Adat dan Injil Perjumpaan adat dan Injil di Tanah Batak Jakarta: BPK Gunung

Mulia, 2008.

Singgih, E. G., Mengatisipasi Masa Depan: Berteologi dalam Konteks di Awal Milenium III,

Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004.

Sneijders, A. Mitos dan Ritus Suatu Refleksi Filosofis. Jurnal Filsafat Teologi Universitas

Khatolik St. Thomas Sumatra Utara. Vol 5.No. 1 Juni, 2007.

Soekanto, S. Kamus Sosiologi, Jakarta: CV.Rajawali, 1985.

Stark, R. and Glock, C.Y. American Piety: The Nature of Religious Commitment, (University of

California Press, 1968.

Zuriah, N. Metodologi dan Penelitian Sosial dan Pendidikan. Bumi Aksara: Jakarta, 2006.

Website

Papua Untuk Semua, 2013 Manorandak, Tradisi Unik Menjaga Ikatan Persaudaraan,

http://www.papua.us/

Arjuna Pademe, 2014, Kampung Mokmer Biak Sosialisasi UU Desa, tabloidjubi.com/