tugas visitasi nasionalisme _ eygner talakua
DESCRIPTION
tugasTRANSCRIPT
-
1
TUGAS PRIBADI
Nama : Eygner G. Talakua
Nomor/Angkatan : 14/12
Mata Diklat : Nasionalisme ASN
BUNG HATTA DI BANDA NAIRA (MALUKU)
Pengantar
Pulau Neira di Kepulauan Banda Neira
adalah penjara sekaligus surga bagi para
tahanan politik zaman Hindia Belanda
pada awal abad ke-20. Sejumlah tokoh
besar Republik Indonesia, yakni Tjipto
Mangunkusumo, Iwa Kusuma Sumantri,
Sutan Syahrir, dan Mohammad Hatta,
pernah dibuang di Kepulauan Banda dan
bermukim di Pulau Neira sebelum Jepang
mengalahkan Hindia Belanda dalam
Perang Dunia II. Banda Naira di Maluku Tengah, bisa dicapai dengan kapal laut selama
tujuh jam dari Kota Ambon. Memasuki Kota Banda Naira, seperti kembali ke masa
kolonial. Benteng Belgica, masih berdiri kokoh di barat daya kota ini dan menjadi
peninggalan penjajah Portugis yang dibangun di Abad 16, sebagai benteng pertahanan.
Pada masa penjajahan Belanda, Benteng Belgica beralih fungsi untuk memantau lalu
lintas kapal dagang di Laut Banda.
Di dalam kota, rumah-rumah penduduk masih kental dengan gaya
arsitektur Belanda. Salah satunya rumah Bung Hatta, saat menjalani
pengasingan sebagai tahanan politik Pemerintah Hindia Belanda
1936-1942. Benda-benda pribadi proklamtor seperti koleksi foto,
buku, dan beberapa stel pakaian masih tersimpan rapi di bangunan
paling bersejarah di Kota Banda Naira, tersebut. Berbagai perabot
-
2
dan perlengkapan kerja asli peninggalan Bung Hatta juga masih tertata di tiap ruangan
seperti kondisi aslinya.
Satu lagi bangunan bersejarah yang tak kalah penting, rumah
pengasingan mantan Perdana Menteri Sutan Sjahrir. Foto-foto
perjalanan hidup Sutan Sjahrir terpampang di dinding-dinding ruangan.
Mulai dari pertemuannya dengan Bung Karno hingga perannya
berdiplomasi memperjuangkan kedaulatan Negara Kesatuan RI.
Rumah Bung Hatta
-
3
Rumah Bung Sjahrir
-
4
Perasaan
Jika masih hidup, dan diminta
melukiskan situasi sekarang,
Mohammad Hatta hanya akan perlu
mencetak ulang tulisannya 40 tahun lalu:
"Di mana-mana orang merasa tidak
puas. Pembangunan tak berjalan
sebagaimana semestinya.
Kemakmuran rakyat masih jauh dari cita-cita, sedangkan nilai uang makin
merosot. "Perkembangan demokrasi pun telantar karena percekcokan politik
senantiasa. Pelaksanaan otonomi daerah terlalu lamban sehingga memicu
pergolakan daerah. Tentara merasa tak puas dengan jalannya pemerintahan di
tangan partai-partai." Hampir tidak ada yang perlu diubah-kalimat demi kalimat, kata
demi kata. Membaca tulisan ini yang tertera di sana, menambah perasaan:
Bung Hatta, kau bukanlah 100 tahun kesendirian. Percakapan antara kita, sebuah dialog
dengan masa silam, adalah percakapan yang tak terhingga. Gajah pergi meninggalkan
gading. Tapi ia tak memilih bagaimana gading itu diukir. Generasi datang dan pergi,
membentuknya, menatahnya, dan menimbang-nimbangnya. Mungkin mencampakkannya.
Seorang besar memperoleh arti karena beribu-ribu orang yang tak dikenal datang
sebelumnya, bersamanya, sesudahnya.
Kesan (bekas atau jejak)
Kesan dari kata dan tulisan-tulisan yang diucapkan:
"Di timur matahari, mulai bercahya," kata lagu yang ditulis W.R. Supratman di masa itu,
sebelum ia menggubah Indonesia Raya. Itu sebabnya kau bersiteguh, juga ketika
pemerintah kolonial membuangmu, kau siap untuk sedikitnya hidup 10 tahun, tapi kau
tampik tambahan bantuan apa pun dari komandan kamp. Kau bilang kepada Kapten Van
Langen, dengan sedikit angkuh, "Tuan..., tidak ada yang tetap di dunia ini". Angkuh?
Bukan, kau cuma yakin. Pernah kau tulis bahwa tiap keadaan menimbulkan syarat
yang mesti mengubah keadaan itu sendiri". Kau pembaca Marx yang baik, Bung. Kau
percaya kepada dialektik dan perubahan, maka kau optimistis. Kau juga percaya bahwa
-
5
keadaan obyektiflah yang menentukan sikap manusia. Sebab itu kau tahu sejarah tak
hanya bergantung pada segelintir manusia.
Nilai
Salah satu nilai yang penulis ingin bagikan dengan mengutip pemikiran Bung Hatta:
menjadi bangsa yang mandiri secara ekonomi dan berdaulat dalam segala
bidang. Sebagaimana ditulisnya, "Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan
persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku
demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan
persaudaraan belum ada. Sebab itu cita-cita demokrasi Indonesa ialah demokrasi
sosial., melingkupi seluruh lingkungan hidup yang menentukan nasib manusia (Hatta,
1960).
Pada 20 Nopember 1931 muncul istilah Perekonomian rakyat sebagai lawan dikotomis
dari Perekonomian kolonial-kapital di harian Daulat Rakyat oleh Bung Hatta.
Perekonomian kolonial-kapital ini bermula dari kolonialisme VOC dan Cultuurstelsel
serta pelaksanaan UU Agraria 1870 boleh dibilang masih berkelanjutan dalam wujud
konglomerasi ekonomi saat ini. Karena itu cita-cita merubah ekonomi kolonial menjadi
ekonomi nasional berdasar Pasal 33 UU 1945 belum tercapai sampai hari ini.
Kemudian, masih ingatkah kita apa yang dilakukan Bung Hatta dengan tokoh-tokoh
Islam dalam menanggapi keberatan pemeluk agama lain tentang rumusan sila pertama
Pancasila? Dengan semangat kebersamaan untuk menjaga persatuan dan kesatuan
bangsa, Bung Hatta dan tokoh-tokoh Islam menyetujui kalimat yang menjadi keberatan
pemeluk agama lain untuk dihilangkan. Hal ini menunjukkan bahwa tokoh-tokoh
tersebut menjunjung tinggi nilai kebersamaan demi untuk menjaga persatuan bangsa
dan negara. Selain itu, para negarawan itu lebih mengutamakan kepentingan bangsa
dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan. Sikap seperti itu perlu kita
contoh dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari.
-
6
Selain itu:
Integritas dan kesederhanaan hidup menjadikannya mutiara yang langka di antara
deretan pemimpin Indonesia masa kini maupun lampau. Tapi dia lebih langka lagi
sebagai negarawan yang menulis.
Komentar
Nilai-nilai kebangsaan sebagai nilai dasar atau nilai intrinsik adalah nilai yang lestari
dan abadi. Nilai ini eksis baik di masa lampau, masa kini maupun masa depan dalam
kehidupan bangsa.
PUSTAKA Hatta, M., 1960, Ekonomi Terpimpin, Penerbit Fasco, Jakarta.
Tim Buku Tempo, 2010. Hatta: Jejak Yang Melampaui Zaman. Penerbit Kepustakaan
Populer Gramedia, Jakarta.
http://news.liputan6.com/read/132508/wisata-sejarah-di-kota-pengasingan-banda-naira (Diakses Tanggal 21 Mei 2015).