tugas uts

Upload: ninarumpa

Post on 17-Jul-2015

32 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

KEPENDUDUKANA. DEFINISI a. .Arti demografi berasal dari bahasa yunani yang berarti demos yang artinya rakyat atau penduduk dan grafein yang artinya menulis. b. Menurut Donald J Bogue dalam bukunya Principes of Demografi , demografi adalah ilmu yang mempelajari secara statistic dan matematik tentang besar, komposisi dan distribusi penduduk dan perubahan perubahannya sepanjang masa melalui bekerjanya 5 komponen : i. Fertilitas ii. Mortalitas iii. Perkawinan iv. Migrasi v. Mobilisasi social dan sosial c. Menurut Fhilipm Houser dan O D Duncan demografi adalah studi tentang : i. Jumlah ii. Distribusi dan komposisi penduduk iii. Perubahan-perubahan 1. Natalitas 2. Mortalitas 3. Gerak penduduk territorial 4. Mobilitas social

Dari keempat pengertian di atas maka demografi mempelajari : 1. Keadaan Penduduk, yaitu tentang jumlah penduduk, pertambahan penduduk, penyebaran penduduk serta komposisi/susunan penduduk 2. Vital statistic penduduk, yaitu tentang jumlah kelahiran, kematian, perkawinan dan perceraian. 3. Migrasi/perpindahan penduduk, yaitu tentang perpindahan dari usatu daerah ke daerah lain.

B. Perkembangan penduduk Pertumbuhan penduduk adalah perubahan populasi sewaktu-waktu, dan dapat dihitung sebagai perubahan dalam jumlah individu dalam sebuah populasi menggunakan "per waktu unit" untuk pengukuran. Sebutan pertumbuhan penduduk merujuk pada semua spesies, tapi selalu mengarah pada manusia, dan sering digunakan secara informal untuk sebutan demografi nilai pertumbuhan penduduk, dan digunakan untuk merujuk pada pertumbuhan penduduk dunia. Dalam demografi dan ekologi, nilai pertumbuhan penduduk (NPP) adalah nilai kecil dimana jumlah individu dalam sebuah populasi meningkat. NPP hanya merujuk pada perubahan populasi pada periode waktu unit, sering diartikan sebagai persentase jumlah individu dalam populasi ketika dimulainya periode. Ini dapat dituliskan dalam rumus: P = Poekt

Cara yang paling umum untuk menghitung pertumbuhan penduduk adalah rasio, bukan nilai. Perubahan populasi pada periode waktu unit dihitung sebagai persentase populasi ketika dimulainya periode. Yang merupakan:

Salah satu penyebab tingginya perkembangan penduduk adalah tingginya angka kelahiran yang ada. Tingginya angka kelahiran ini karena sulit dikendalikan. Sebenarnya pemerintah telah menetapkan aturan dan menjalankan program tentang jumlah anak, tetapi karena adanya factor lain yang menyebabakan masyarakat tidak dapat mengikuti prosedur yang ada. Salah penyebabnya adalah kurangnya pendidikan yang ada pada masyarakat. Masyarakat sekarang masih memiliki terutama di pedesaan masih memiliki anggapan bahwa banyak anak banyak rejeki. Itu merupakan anggapan yang salah, di mana rejeki itu tidak tergantung dari banyaknya anak yang di miliki. Angka kematian atau mortalitas juga mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan penduduk. Menurut penelitian, angka kelahiran lebih besar dari angka kematian.

Selain itu, terlihat dari adanya perpindahan penduduk, yaitu pergerakan penduduk yang dari suatu tempat ke tempat lainnya. Hali biasanya dikarenakan adanya factor penarik dari daerah tersebut yang menyebabkan masyarakat lebih tertarik untuk pindah dan menetap di sana. Menurut Thomas Robert Malthus pertambahan jumlah penduduk adalah seperti deret ukur (1, 2, 4, 8, 16, ...), sedangkan pertambahan jumlah produksi makanan adalah bagaikan deret hitung (1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, ...). Hal ini tentu saja akan sangat mengkhawatirkan di masa depan di mana kita akan kerurangan stok bahan makanan. Ketika pertumbuhan penduduk dapat melewati kapasitas muat suatu wilayah atau lingkungan hasilnya berakhir dengan kelebihan penduduk. Gangguan dalam populasi manusia dapat menyebabkan masalah seperti polusi dan kemacetan lalu lintas, meskipun dapat ditutupi perubahan teknologi dan ekonomi. Wilayah tersebut dapat dianggap "kurang penduduk" bila populasi tidak cukup besar untuk mengelola sebuah sistem ekonomi (lihat penurunan penduduk). Pertumbuhan penduduk akan selalu dikaitkan dengan tingkat kelahiran, kematian dan perpindahan penduduk atau migrasi baik perpindahan ke luar maupun ke luar. Pertumbuhan penduduk adalah peningkatan atau penurunan jumlah penduduk suatu daerah dari waktu ke waktu. Pertumbuhan penduduk yang minus berarti jumlah penduduk yang ada pada suatu daerah mengalami penurunan yang bisa disebabkan oleh banyak hal. Pertumbuhan penduduk meningkat jika jumlah kelahiran dan perpindahan penduduk dari luar ke dalam lebih besar dari jumlah kematian dan perpindahan penduduk dari dalam ke luar. Dinamika kependudukan adalah perubahan kependudukan untuk suatu daerah tertentu dari waktu ke waktu. Rumus menghitung pertumbuhan penduduk : p = (I - m) + (i - e) Keterangan lengkap : - p = pertumbuhan penduduk - l = total kelahiran - m = total kematian - e = total emigran atau pendatang dari luar daerah - i = total imigran atau penduduk yang pergi

Pertumbuhan penduduk juga berarti perubahan jumlah penduduk baik pertambahan maupun penurunannya. Faktor-faktor yang mempengaruhi pertumbuhan penduduk yaitu kelahiran (natalitas), kematian (mortalitas) dan perpindahan penduduk (migrasi).Kelahiran dan kematian dinamakan faktor alami, sedangkan perpindahan penduduk dinamakan faktor non alami. Migrasi ada dua yaitu migrasi yang dapat menambah jumlah penduduk disebut migrasi masuk (imigrasi),dan yang dapat mengurangi penduduk disebut migrasi keluar (emigrasi). Sebelum kita membahas perkembangan jumlah penduduk Indonesia, terlebih dahulu perhatikanlah tabel di bawah ini.

Secara garis besar, persoalan perkembangan penduduk didasarkan atas dua faktor, yaitu: 1. Faktor sosial ekonomi/teori sosial Teori sosial pertambahan penduduk menunjukkan bahwa pertambahan penduduk merupakan penjumlahan (resultante) dari keadaan-keadaan sosial (termasuk ekonomi) dimana orang-orang saling berhubungan. Teori ini dikemukakan atas dasar pikiran : perlunya usaha untuk mengadakan pengawasan yang efektif terhadap pertambahan penduduk untuk keperluan usaha tersebut, kita dapat mempelajari tingkat kelahiran, tingkat kematian, reproduksi dari suatu kelompok pada suatu waktu. Dalam dunia modern, kita tidak menjumpai hukum alam (natural law) tetapi kita menjumpai hokum sosial (sosial law) yaitu kombinasi antara natural law dan problemproblem dalam masyarakat. Keadaan sosial dan fisik dapat membatasi pertambahan penduduk. Keadaan sosial misalnya berupa peperangan, dan keadaan fisik berupa bencana alam. Yang mengemukakan pendapatnya tentang berhubungan dengan teori sosial antara lain : Thomas Robert Maltus, Godwin & Wallace, Kaarl Max, Arsene Dumont dll.

2. Faktor natural (alam) Dasar teori natural ini adalah bahwa manusia itu dalam hidupnya terikat erat kepada alam atau daerah dimana mereka hidup. Oleh karena itu, apa sebabnya penduduk dunia ini bertambah, oleh kaum natural dapat dikatakan karena birth rate lebih besar dari death rate, artinya bahwa manusia sebagai makhluk hiduo akan selalu berusaha agar

mempunyai keturunan, Dan perkembangan keturunan ini ditentukan oleh alam dengan tidak memperhatikan adanya bermacam-macam kemungkinan (karena sudah terikat dengan alam). Orang-oarang yang telah mengemukakan pendapatnya berhubungan dengan teori ini adalah Sadler, Cornado Gini, Thomas Doubleday, dan Herbert Spencer.

Pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali mengakibatkan penambahan terhadap ruang-ruang muka bumi yang mestinya tidak boleh dilakukan.Perambahan ini mengakibatkan berbagai kerusakan lingkungan yang pada gilirannya akan berdampak negatif terhadap kehidupan dan penghidupan manusia itu sendiri. Cara-cara yang dapat dilakukan untuk mengimbangi pertambahan jumlah penduduk : Penambahan dan penciptaan lapangan kerja Dengan meningkatnya taraf hidup masyarakat maka diharapkan hilangnya kepercayaan banyak anak banyak rejeki. Di samping itu pula diharapkan akan meningkatkan tingkat pendidikan yang akan merubah pola pikir dalam bidang kependudukan. Meningkatkan kesadaran dan pendidikan kependudukan Dengan semakin sadar akan dampak dan efek dari laju pertumbuhan yang tidak terkontrol, maka diharapkan masyarakat umum secara sukarela turut mensukseskan gerakan keluarga berencana. Mengurangi kepadatan penduduk dengan program transmigrasi Dengan menyebar penduduk pada daerah-daerah yang memiliki kepadatan penduduk rendah diharapkan mampu menekan laju pengangguran akibat tidak sepadan antara jumlah penduduk dengan jumlah lapangan pekerjaan yang tersedia. Meningkatkan produksi dan pencarian sumber makanan Hal ini untuk mengimbangi jangan sampai persediaan bahan pangan tidak diikuti dengan laju pertumbuhan. Setiap daerah diharapkan mengusahakan swasembada pangan agar tidak ketergantungan dengan daerah lainnya.

C. PERTUMBUHAN PENDUDUK DAN LINGKUNGAN HIDUP Populasi manusia adalah ancaman terbesar dari masalah lingkungan hidup di Indonesia dan bahkan dunia. Setiap orang memerlukan energi, lahan dan sumber daya yang besar untuk bertahan hidup. Kalau populasi bisa bertahan pada taraf yang ideal, maka keseimbangan antara lingkungan dan regenerasi populasi dapat tercapai. Tetapi kenyataannya adalah populasi bertumbuh lebih cepat dari kemampuan bumi dan lingkungan kita untuk memperbaiki sumber daya yang ada sehingga pada akhirnya kemampuan bumi akan terlampaui dan berimbas pada kualitas hidup manusia yang rendah. Antara 1960 dan 1999, populasi bumi berlipat ganda dari 3 milyar menjadi 6 milyar orang. Pada tahun 2000 populasi sudah menjadi 6.1 milyar. PBB memprediksi bahwa populasi dunia pada tahun 2050 akan mencapai antara 7.9 milyar sampai 10.9 milyar, tergantung ada apa yang kita lakukan sekarang. Dapatkah anda bayangkan berapa banyak bahan pangan, lahan untuk pertanian, lahan untuk perumahan, dan barang konsumsi lainnya yang dibutuhkan oleh penduduk yang begitu banyak? Dengan tingginya laju pertumbuhan populasi, maka jumlah kebutuhan makanan pun meningkat padahal lahan yang ada sangat terbatas. Untuk memenuhi kebutuhan makanan, maka hutan pun mulai dibabat habis untuk menambah jumlah lahan pertanian yang ujungnya juga makanan untuk manusia. Konversi hutan menjadi tanah pertanian bisa menyebabkan erosi. Selain itu bahan kimia yang dipakai sebagai pupuk juga menurunkan tingkat kesuburan tanah. Dengan adanya pembabatan hutan dan erosi, maka kemampuan tanah untuk menyerap air pun berkurang sehingga menambah resiko dan tingkat bahaya banjir. Perkembangan urbanisasi di Indonesia perlu dicermati karena dengan adanya urbanisasi ini, kecepatan pertumbuhan perkotaan dan pedesaan menjadi semakin tinggi. Pada tahun 1990, persentase penduduk perkotaan baru mencapai 31 persen dari seluruh penduduk Indonesia. Pada tahun 2000 angka tersebut berubah menjadi 42 persen. Diperkirakan pada tahun 2025 keadaan akan terbalik dimana 57 persen penduduk adalah perkotaan, dan 43 persen sisanya adalah rakyat yang tinggal di pedesaan. Dengan adanya sentralisasi pertumbuhan dan penduduk, maka polusi pun semakin terkonsentrasi di kotakota besar sehingga udara pun semakin kotor dan tidak layak.

Kota-kota besar terutama Jakarta adalah sasaran dari pencari kerja dari pedesaan dimana dengan adanya modernisasi teknologi, rakyat pedesaan selalu dibombardir dengan kehidupan serba wah yang ada di kota besar sehingga semakin mendorong mereka meninggalkan kampungnya. Secara statistik, pada tahun 1961 Jakarta berpenduduk 2,9 juta jiwa dan melonjak menjadi 4,55 juta jiwa 10 tahun kemudian. Pada tahun 1980 bertambah menjadi 6,50 juta jiwa dan melonjak lagi menjadi 8,22 juta jiwa pada tahun 1990. Yang menarik, dalam 10 tahun antara 1990-2000 lalu, penduduk Jakarta hanya bertambah 125.373 jiwa sehingga menjadi 8,38 juta jiwa. Data tahun 2007 menyebutkan Jakarta memiliki jumlah penduduk 8,6 juta jiwa, tetapi diperkirakan ratarata penduduk yang pergi ke Jakarta di siang hari adalah 6 hingga 7 juta orang atau hampir mendekati jumlah total penduduk Jakarta. Hal ini juga disebabkan karena lahan perumahan yang semakin sempit dan mahal di Jakarta sehingga banyak orang, walaupun bekerja di Jakarta, tinggal di daerah Jabotabek yang mengharuskan mereka menjadi komuter. Pada akhirnya, pertumbuhan populasi yang tinggi akan mengakibatkan lingkaran setan yang tidak pernah habis. Populasi tinggi yang tidak dibarengi dengan lahan pangan dan energi yang cukup akan mengakibatkan ketidakseimbangan antara supply dan demand yang bisa menyebabkan harga menjadi mahal sehingga seperti yang sedang terjadi sekarang, inflasi semakin tinggi, harga bahan makanan semakin tinggi sehingga kemiskinan pun semakin banyak. Semakin menurunnya konsumsi masyarakat akan menyebabkan perusahaan merugi dan mem-PHK karyawannya sebagai langkah efisiensi, sehingga semakin banyak lagi kemiskinan. Jadi, kita mudah saja bilang, kapan negara kita bisa swasembada? Apa bisa kalau masih mau punya banyak anak? Bagaimana dengan masa depan anak cucu kita kalau lahan sudah tidak tersedia, tanah rusak akibat bahan kimia, air tanah tercemar dan bahkan habis sehingga tidak bisa disedot lagi? Bagaimana kita mau menghemat makanan dan air kalau populasi terus berkembang gila-gilaan? Populasi seperti hal yang besar dan politis yang diomongkan banyak orang. Tetapi hal ini juga merupakan hal yang dapat dilakukan oleh setiap orang. Seperti yang telah kita lakukan dahulu dan berhasil, kita bisa Ikut program Keluarga Berencana (KB) atau paling tidak memiliki rencana KB sebagai komposisi keluarga yang ideal. Kalau tidak

mau pusing soal KB, paling tidak pakai kondom dan jika anda malu untuk beli kondom di tempat publik maka sekarang sudah bisa beli lewat internet melalui kondomku.com sehingga tidak perlu malu lagi untuk membeli di toko. Krisis pangan sudah dimulai di seluruh dunia. Harga semakin melejit dan pada akhirnya bukan karena kita tidak mampu membeli makanan, tetapi apakah makanan itu bisa tersedia. Kalau bukan kita yang bertindak dari sekarang, masa depan anak dan cucu kita bisa benar-benar hancur sehingga kita yang berpesta pora pada saat ini baru akan merasakan akibatnya nanti.

D. PERTUMBUHAN PENDUDUK DAN TINGKAT PENDIDIKAN Ada beberapa ciri kependudukan Indonesia dimasa depan yang harus dicermati dengan benar oleh para perencana pembangunan baik di tingkat pusat maupun di tingkat daerah. Beberapa ciri tersebut di antaranya adalah penduduk dimasa depan akan semakin tinggi Pendidikannya. Penduduk yang makin berpendidikan dan sehat akan membentuk sumber daya manusia yang makin produktif. Tantangannya adalah menciptakan lapangan kerja yang memadai. Sebab bila tidak, jumlah penganggur yang makin berpendidikan akan bertambah. Keadaan ini dengan sendirinya merupakan pemborosan terhadap investasi nasional. Karena sebagian besar dana tercurah dalam sektor pendidikan, disamping kemungkinan terjadinya implikasi sosial lainnya yang mungkin timbul. Modal fisik, tenaga kerja dan kemajuan teknologi adalah tiga faktor pokok masukan (input) dalam produksi pendapatan nasional. Semakin besar jumlah tenaga kerja (yang berarti laju pertumbuhan penduduk tinggi) semakin besar pendapatan nasional dan semakin tinggi pertumbuhan ekonomi. Di negara berkembang dan terbelakang, laju pertumbuhan penduduk lebih tinggi daripada di negara maju. Meski demikian,

umumnya, tingkat pertumbuhan ekonomi lebih tinggi di negara maju. Kenapa demikian? Jawabnya adalah: kedua faktor selain tenaga kerja, sangat berperan penting dalam pertumbuhan ekonomi. Studi yang dilakukan Prof ekonomi dari Harvard Dale Jorgenson et al. (1987) pada ekonomi Amerika Serikat dengan rentang waktu 1948-79 misalnya menunjukkan bahwa 46 persen pertumbuhan ekonomi adalah disebabkan pembentukan

modal (capital formation), 31 persen disebabkan pertumbuhan tenaga kerja dan modal manusia serta 24 persen disebabkan kemajuan teknologi. Meski modal manusia memegang peranan penting dalam pertumbuhan penduduk, para ahli mulai dari ekonomi, politik, sosiologi bahkan engineering lebih menaruh prioritas pada faktor modal fisik dan kemajuan teknologi. Ini beralasan karena melihat data AS misalnya, total kombinasi kedua faktor ini menyumbang sekitar 65 persen pertumbuhan ekonomi AS pada periode 1948-79. Tetapi, sesungguhnya faktor teknologi dan modal fisik tidak independen dari faktor manusia. Suatu bangsa dapat mewujudkan kemajuan teknologi, termasuk ilmu pengetahuan dan manajemen, serta modal fisik seperti bangunan dan peralatan mesin-mesin hanya jika negara tersebut memiliki modal manusia yang kuat dan berkualitas. Bila demikian, secara tidak langsung kontribusi faktor modal manusia dalam pertumbuhan penduduk seharusnya lebih tinggi dari angka 31 persen. Perhatian terhadap faktor manusia menjadi sentral akhir-akhir ini berkaitan dengan perkembangan dalam ilmu ekonomi pembangunan dan sosiologi. Para ahli di kedua bidang tersebut umumnya sepakat pada satu hal yakni modal manusia berperan secara signifikan, bahkan lebih penting daripada faktor teknologi, dalam memacu pertumbuhan ekonomi. Modal manusia tersebut tidak hanya menyangkut kuantitas tetapi yang jauh lebih penting adalah dari segi kualitas. Lalu pertanyaan, apa ukuran yang menentukan kualitas manusia? Ada berbagai aspek yang dapat menjelaskan hal ini seperti aspek kesehatan, pendidikan, kebebasan berbicara dan lain sebagainya. Di antara berbagai aspek ini, pendidikan dianggap memiliki peranan paling penting dalam menentukan kualitas manusia. Lewat pendidikan, manusia dianggap akan memperoleh pengetahuan, dan dengan pengetahuannya manusia diharapkan dapat membangun keberadaan hidupnya dengan lebih baik. Implikasinya, semakin tinggi pendidikan, hidup manusia akan semakin berkualitas. Dalam kaitannya dengan perekonomian secara umum (nasional), semakin tinggi kualitas hidup suatu bangsa, semakin tinggi tingkat pertumbuhan dan kesejahteraan bangsa tersebut. Ini adalah anggapan umum, yang secara teoritis akan diuraikan lebih detail.

Dewasa ini berkembang paling tidak tiga perspektif secara teoritis yang menjelaskan hubungan antara pendidikan dan pertumbuhan ekonomi, yakni teori modal manusia, teori alokasi dan teori reproduksi strata sosial. Teori modal manusia menjelaskan proses dimana pendidikan memiliki pengaruh positif pada pertumbuhan ekonomi. Teori ini mendominasi literatur pembangunan ekonomi dan pendidikan pada pasca perang dunia kedua sampai pada tahun 70-an. Termasuk para pelopornya adalah pemenang hadian Nobel ilmu ekonomi Gary Becker dari Universitas Chicago, Amerika Serikat, Edward Denison dan Theodore Schultz, juga pemenang hadiah nobel ekonomi atas penelitiannya tentang masalah ini. Argumen yang disampaikan pendukung teori ini adalah manusia yang memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi, yang diukur juga dengan lamanya waktu sekolah, akan memiliki pekerjaan dan upah yang lebih baik dibanding yang pendidikannya lebih rendah. Apabila upah mencerminkan produktivitas, maka semakin banyak orang yang memiliki pendidikan tinggi, semakin tinggi produktivitas dan hasilnya ekonomi nasional akan bertumbuh lebih tinggi. Pada tahun 70-an, teori ini mendapat kritik tajam. Argumen yang disampaikan adalah tingkat pendidikan tidak selalu sesuai dengan kualitas pekerjaan, sehingga orang yang berpendidikan tinggi ataupun rendah tidak berbeda produktivitasnya dalam menangani pekerjaan yang sama. Juga ditekankan bahwa dalam ekonomi modern sekarang ini, angkatan kerja yang berkeahlian tinggi tidak begitu dibutuhkan lagi karena perkembangan teknologi yang sangat cepat dan proses produksi yang semakin dapat disederhanakan. Dengan demikian, orang berpendidikan rendah tetapi mendapat pelatihan (yang memakan periode jauh lebih pendek dan sifatnya noon formal) akan memiliki produktivitas relatif sama dengan orang berpendidikan tinggi dan formal. Argumen ini diformalkan dalam suatu teori yang dikenal dengan teori alokasi atau persaingan status yang mendapat dukungan dari Lester Thurow (1974), John Meyer (1977) dan Randall Collins (1979). Teori persaingan status ini memperlakukan pendidikan sebagai suatu lembaga sosial yang salah satu fungsinya mengalokasikan personil secara sosial menurut strata pendidikan. Keinginan mencapai status lebih tinggi menggiring orang untuk mengambil pendidikan lebih tinggi.

Meskipun orang-orang berpendidikan tinggi memiliki proporsi lebih tinggi dalam pendapatan nasional, tetapi peningkatan proporsi orang yang bependidikan lebih tinggi dalam suatu bangsa tidak akan secara otomatis meningkatkan ekspansi ataupun pertumbuhan ekonomi. Akan halnya teori pertumbuhan kelas atau strata sosial berargumen bahwa fungsi utama pendidikan adalah menumbuhkan struktur kelas dan ketidakseimbangan sosial. Pendidikan pada kelompok elit lebih menekankan studi-studi tentang hal-hal klasik, kemanusiaan dan pengetahuan lain yang tidak relevan dalam pembangunan ekonomi masyarakat. Sementara pendidikan untuk rakyat kebanyakan diciptakan sedemikian rupa untuk melayani kepentingan kelas yang dominan. Hasilnya, proses pertumbuhan kelas menghambat kontribusi pendidikan terhadap pertumbuhan ekonomi. Ini didukung antara lain oleh Samuel Bowles dan Herbert Gintis (1976). Teori mana yang relevan dalam situasi sekarang? Seperti disebutkan di atas, pandangan baru dalam pertumbuhan produktivitas, yang dimulai pada akhir 1980-an dengan pionir seperti Paul Romer dan Robert Lucas, menekankan aspek pembangunan modal manusia. Menurut Romer misalnya (1991), modal manusia merujuk pada stok pengetahuan dan keterampilan berproduksi seseorang. Pendidikan adalah satu cara dimana individu

meningkatkan modal manusianya. Semakin tinggi pendidikan seseorang, diharapkan stok modal manusianya semakin tinggi. Karena modal manusia, seperti dikemukakan dalam awal tulisan ini, memiliki hubungan positif dengan pertumbuhan ekonomi, maka implikasinya pendidikan juga memiliki hubungan positif dengan produktivitas atau pertumbuhan ekonomi. Secara implisit, pendidikan menyumbang pada penggalian pengetahuan. Ini sebetulnya tidak hanya diperoleh dari pendidikan tetapi juag lewat penelitian dan pengembangan ide-ide, karena pada hakikatnya, pengetahuan yang sama sekali tidak dapat diimplementasikan dalam kehidupan manusia akan mubazir. Karenanya, aspek penelitian dan pengembangan menjadi salah satu agenda utama apabila bangsa Indonesia berkeinginan untuk hidup sejajar dengan bangsa-bangsa yang sudah jauh lebih maju. Dengan keterbatasan modal kapital dan manusia, tugas pengembangan penelitian ini tidak

mungkin hanya diusahakan pemerintah. Seharusnya, pihak swasta menjadi ujung tombak dalam usaha kegiatan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan. Contoh : Propinsi A mengklaim dirinya sebagai wilayah yang sukses melaksanakan wajib belajar 9 tahun. Gubernur menyebutkan bahwa kesuksesan tersebut ditunjukkan oleh jumlah murid SMP yang mencapai 250.000 pada tahun 2000. Tetapi pemerintah pusat malah memberikan penghargaan kepada Propinsi B sebagai daerah yang sukses dengan wajib belajar. Menurut pemerintah propinsi B berhasil meningkatkan angka partisipasi sekolah mencapai 45 persen, sedangkan propinsi A baru mencapai 38 persen. Mengapa pemerintah menggunakan angka partisipasi sekolah dalam menilai kesuksesan program wajib belajar? Mengapa jumlah murid tidak bisa dijadikan ukuran? Umumnya, terdapat dua ukuran partisipasi sekolah yang utama, yaitu Angka Partisipasi Kasar (APK) dan Angka Partisipasi Murni (APM). Keduanya mengukur penyerapan penduduk usia sekolah oleh sektor pendidikan. Perbedaan diantara keduanya adalah penggunaan kelompok usia "standar" di setiap jenjang pendidikan. Usia standar yang dimaksud adalah rentang usia yang dianjurkan pemerintah dan umum dipakai untuk setiap jenjang pendidikan, yang ditampilkan pada tabel berikut: Tabel : Usia standar di setiap jenjang pendidikan Jenjang Kelompok usia SD 7 - 12 tahun SMP 13 - 15 tahun SMA 16 - 18 tahun Perguruan tinggi 19 tahun keatas

E. PERTUMBUAHN PENDUDUK DAN TINGKAT PENYAKIT YANG BERKAITAN DENGAN LINGKUNGAN Pertumbuhan penduduk yang semakin hari semakin meningkat mengakibatkan

kebutuhan akan lahan yang semakin banyak dan menyebabkan pencemaran dan kerusakan lingkungan. Kerusakan lingkungan menyebabkan timbulnya berbagai macam penyakit berbasis lingkungan seperti Diare, DBD dan Malaria. Untuk Mengantisipasi munculnya berbagai penyakit yang berbasis lingkungan seperti Diare, DBD dan Malaria dimana masyarakat sangat berperan aktif dalam upaya menjaga Kebersihan Lingkungan, dimana yang paling terpenting adalah memutuskan rantai penularan dan menberantas penyakit yang berbasis lingkungan itu. Untuk tetap menjaga kebersihan lingkungan untuk memberantas penyakit Malaria dengan cara 3M Plus yaitu : Menguras tempat tempat penampungan air minimal seminggu sekali atau menaburinya dengan bubuk Abate untuk membunuh Jentik Nyamuk Aedes Aegypti, menutup rapatrapat tempat penampungan air agar Nyamuk Aedes Aegypti tidak bertelur di tempat itu, Mengubur atau membuang pada tempanya barang-barang bekas seperti ban bekas, kaleng bekas yang dapat menampung air hujan. Masyarakat dapat juga melakukan upaya mencegah gigitan nyamuk tidur menggunakan kelambu, menyemporot rumah dengan obat Nyamuk yang tersedia luas di pasaran. Hal sederhana lainnya yang dapat dilakukan sendiri oleh masyarakat adalah menata gantungan dengan baik agar tidak menjadi tempat hinggap dan istirahat nyamuk Aedes Aegypti. Adapaun Faktor yang bisa menyebabkan penyakit ketika hal tersebut tidak di kelola dengan baik dan akan menyebabkan adanya ke tidak seimbangan sehingga hal tersebut dapat mengakibatkan terjadinya penyakit. Jenis penyakit yang berbasis lingkungan diantaranya : Disebabkan oleh Virus diantaranya ISPA, TBC Paru, Diare, Campak, Cacingan.

Disebabkan oleh binatang seperti Flu Burung, Pes, Antraks. Disebabkan oleh faktor nyamuk diantaranya DBD, Chikungunya, Malaria. Berdasarkan jumlah yang tercatat berdasarkan kejadian, yang menjadi tiga urutan terbesar adalah penyakit ISPA kedua Penyakit Diare dan ke tiga Infeksi TBC Paru. Faktor-faktor yang menghambat yang bisa menyebabkan terjadinya penyakit tersebut adalah : Faktor kesadaran manusia terhadap kepentingan kesehatan dan perlakuan terhadap lingkungan. Faktor pendataan penduduk yang cukup padat sehingga faktor penyebarannya akan sangat cepat. Faktor kultur atau kebiasaan kepercayaan yang merugikan, misalnya kebiasaan tidak memakan ikan padahal ikan merupakan sumber makanan yang cukup baik. Dalam upaya pemberatasan atau pencegahan penyakit-penyakit berbasis lingkungan ini harus ditangani secara bersama-sama tidak bisa sendiri-sendiri. Maka dari itu di perlukan promosi kesehatan melalui berbagai media, baik cetak, eletronik, ataupun di pertemuan pertemuan. Pengaturan lingkungan dengan sistem management lingkungan yang cukup baik diharapkan lingkungan akan sangat mendorong terciptanya lingkungan yang sehat sehingga tidak menjadi sumber panyakit bagi manusia. Diadakannya perlindungan secara khusus misalnya dengan adanya Imunisasi yang dilakukan secara rutin dan konsisten, serta pemulihan dan pelestarian lingkungan hidup. F. PERTUMBUHAN PENDUDUK DAN KELAPARAN Jumlah dan pertumbuhan yang semakin meningkat menyebabkan kebutuhan akan pangan yang semakin banyak sedangkan berbanding terbalik dengan ketersediaan pangan yang semakin berkurang, hal inilah yang menyebabkan terjadinya kelaparan. Berdasarkan data, saat ini lebih dari 850 juta orang di dunia menderita kelaparan kronis. Dari jumlah itu, 820 juta di antaranya tinggal di negara berkembang. Selain itu, 50 persen dari penderita kelaparan kronis adalah anak-anak. Data Organisasi Pangan dan Pertanian

PBB (Food and Agriculture Organization FAO) 2006 menyebutkan, 350 juta hingga 450 juta anak menderita kelaparan kronis di dunia. Yang memprihatinkan, 13 juta orang di antaranya adalah anak Indonesia. Dalam hal ini, kita harus cermati masa depan pangan kita. Bahwa masa depan pangan Indonesia tidak perlu dikhawatirkan adalah benar adanya. Asal dikelola dengan baik, Indonesia bukan hanya mampu mengatasi ancaman krisis, bahkan berpotensi menjadi penyuplai utama pangan tropis dunia. Salah satu solusi yang harus ditempuh adalah melalui pembaruan teknologi pertanian serta pemberian jaminan perlindungan areal pertanian. Sejak dulu ada kekhawatiran akan terjadinya krisis pangan yang selalu muncul. Namun, faktanya manusia selalu berhasil mengatasinya, baik melalui perluasan lahan pertanian maupun intensifikasi. Namun, Indonesia tetap memerlukan terobosan teknologi untuk mengatasi masalah pangan di tahun-tahun mendatang. Pembaruan teknologi adalah jalan tunggal dalam upaya bangsa kita menggenjot produktivitas pertanian di tengah keterbatasan lahan. Untuk mengatasi menyempitnya lahan pertanian, pemerintah perlu kembali memfungsikan 9 juta hektare lahan tidur yang kini ada di seluruh Indonesia. Dan untuk itu, rakyat sudah siap mengayunkan kaki dan tangan untuk bekerja. Sudah saatnya pemerintah dan dunia usaha bahu-membahu dalam mewujudkan ketahanan pangan yang lebih terjamin.

G. KEMISKINAN DAN KETERBELAKANGAN A. Masalah Kemiskinan Kemiskinan dan keterbelakangan merupakan fenomena sosial yang menjadi atribut negara-negara dunia ketiga. Fenomena ini juga merupakan kebalikan dari kondisi yang dialami oleh negara-negara maju yang memiliki atribut sebagai model. Untuk memahami definisi dan asal mula kemiskinan dan keterbelakangan, kita dapat melakukan kajian dengan cara :

1. Mengadakan telaah terhadap kemiskinan dan kosakata kemiskinan seperti yang dilakukan oleh Friedmann (1992: 160) dan Korten (1985: 67);

2. Membandingkan dengan konsep-konsep modernisasi sebagai kebalikan yang diametral dari kemiskinan dan keterbelakangan seperti yang dikemukakan oleh para pakar yang terkumpul dalam ontology Modernization : The Dinamics of Growth (Myron Weiner, 1967). Hampir di setiap negara, kemiskinan selalu terpusat di tempat-tempat tertentu, yaitu biasanya di perdesaan atau di daerah-daerah yang kekurangan sumber daya. Persoalan kemiskinan juga selalu berkaitan dengan masalahmasalah lain, misalnya lingkungan. Beban kemiskinan paling besar terletak pada kelompok-kelompok tertentu. Kaum wanita pada umumnya merupakan pihak yang dirugikan. Dalam rumah tangga miskin, mereka sering merupakan pihak yang menanggung beban kerja yang lebih berat dari pada kaum pria. Demikian pula dengan anak-anak, mereka juga menderita akibat adanya ketidak merataan tersebut dan kualitas hidup masa depan mereka terancam oleh karena tidak tercukupinya gizi, pemerataan kesehatan dan pendidikan. Selain itu timbulnya kemiskinan sangat sering terjadi pada kelompok-kelompok minoritas tertentu. Kemiskinan berbeda dengan ketimpangan distribusi pendapatan (inequality). Perbedaan ini sangat perlu ditekankan. Kemiskinan berkaitan erat dengan standar hidup yang absolut dari bagian masyarakat tertentu, sedangkan ketimpangan mengacu pada standar hidup relatif dari seluruh masyarakat. Pada tingkat ketimpangan yang maksimum, kekayaan dimiliki oleh satu orang saja dan tingkat kemiskinan sangat tinggi. Menurut Kuncoro, (1997: 102103). Mengemukakan bahwa kemiskinan didefinisikan sebagai ketidakmampuan untuk memenuhi standar hidup minimum. Definisi tersebut menyiratkan tiga pernyataan dasar, yaitu : 1. Bagaimanakah mengukur standar hidup ? 2. Apa yang dimaksud dengan standar hidup minimum ? 3. Indikator sederhana yang bagaimanakah yang mampu mewakili masalah kemiskinan yang begitu rumit ? Untuk memahami lebih jauh persoalan kemiskinan ada baiknya memunculkan beberapa kosakata standar dalam kajian kemiskinan (Friedman 1992 : 89) 1. Powerty line (garis kemiskinan). Yaitu tingkat konsumsi rumah tangga minimum yang dapat diterima secara sosial. Ia biasanya dihitung berdasarkan income yang dua pertiganya digunakan untuk keranjang

pangan yang dihitung oleh ahli statistik kesejahteraan sebagai persediaan kalori dan protein utama yang paling murah. 2. Absolute and relative poverty (kemiskinan absolut dan relatif) . Kemiskinan absolut adalah kemiskinan yang jatuh dibawah standar konsumsi minimum dan karenanya tergantung pada kebaikan (karitas/amal). Sedangkan relative adalah

kemiskinan yang eksis di atas garis kemiskinan absolut yang sering dianggap sebagai kesenjangan antara kelompok miskin dan kelompok non miskin berdasarkan income relatif. 3. Deserving poor adalah kaum miskin yang mau peduli dengan harapan orang-orang non-miskin, bersih, bertanggungjawab, mau menerima pekerjaan apa saja demi memperoleh upah yang ditawarkan. 4. Target population (populasi sasaran) adalah kelompok orang tertentu yangdijadikan sebagai objek dan kebijakan serta program pemerintah. Merekadapat berupa rumah tangga yang dikepalai perempuan, anak-anak, buruh tani yang tak punya lahan, petani tradisional kecil, korban perang dan wabah, serta penghuni kampung kumuh perkotaan.

Friedmann juga merumuskan kemiskinan sebagai minimnya kebutuhan dasar sebagaimana yang dirumuskan dalam konferensi ILO tahun 1976. Kebutuhan dasar menurut konferensi itu dirumuskan sebagai berikut : 1. Kebutuhan minimum dari suatu keluarga akan konsumsi privat (pangan, sandang, papan dan sebagainya). 2. Pelayanan esensial atas konsumsi kolektif yang disediakan oleh dan untuk komunitas pada umumnya (air minum sehat, sanitasi, tenaga listrik, angkutan umum, dan fasilitas kesehatan dan pendidikan). 3. Partisipasi masyarakat dalam pembuatan keputusan yang mempengaruhi mereka 4. Terpenuhinya tingkat absolut kebutuhan dasar dalam kerangka kerja yang lebih luas dari hak-hak dasar manusia. 5. Penciptaan lapangan kerja (employment) baik sebagai alat maupun tujuan dari strategi kebutuhan dasar.

Batas garis kemiskinan yang digunakan setiap negara ternyata berbedabeda. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan lokasi dan standar kebutuhan hidup. Badan Pusat Statistik (BPS) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan per kapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan digunakan patokan 2.100 kalori per hari. Adapun pengeluaran kebutuhan minimum bukan makanan meliputi pengeluaran untuk perumahan, sandang, serta aneka barang dan jasa. Selama periode 1976 sampai 1993, telah terjadi peningkatan batas garis kemiskinan, yang disesuaikan dengan kenaikan harga barang-barang yang dikonsumsi oleh masyarakat. Batas garis kemiskinan ini dibedakan antara daerah perkotaan dan pedesaan. Garis kemiskinan lain yang paling dikenal adalah garis kemiskinan Sajogyo, yang dalam studi selama bertahun-tahun menggunakan suatu garis kemiskinan yang didasarkan atas harga beras. Sajogyo mendefinisikan batas garis kemiskinan sebagai tingkat konsumsi per kapita setahun yang sama dengan beras. Dengan menerapkan garis kemiskinan ini kedalam data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) dari tahun 1976 sampai dengan 1987, akan diperoleh persentasi penduduk yang hidup di bawah kemiskinan (dalam Kuncoro, 1997: 116). Kemiskinan bersifat multidimensional, dalam arti berkaitan dengan aspek sosial, ekonomi, budaya, politik dan aspek lainnya (Sumodiningrat, 1989: 26). Sedangkan Kartasasmita (1997: 234) mengatakan bahwa kemiskinan merupakan masalah dalam pembangunan yang ditandai dengan pengangguran dan keterbelakangan, yang kemudian meningkat menjadi ketimpangan. Masyarakat miskin pada umumnya lemah dalam kemampuan berusaha dan terbatas aksesnya kepada kegiatan ekonomi sehingga tertinggal jauh dari masyarakat lainnya yang mempunyai potensi lebih tinggi(Kartasasmita, 1997: 234). Hal tersebut senada dengan yang dikatakan Friedmann yang mengatakan bahwa kemiskinan sebagai akibat dari ketidak-samaan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial (Friedmann , 1992: 123). Namun menurut Brendley (dalam Ala, 1981: 4) kemiskinan adalah

ketidaksanggupan untuk mendapatkan barang-barang dan pelayanan-pelayanan yang memadai untuk memenuhi kebutuhan sosial yang terbatas. Hal ini diperkuat oleh Salim yang mengatakan bahwa kemiskinan biasanya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan

untuk memperoleh kebutuhan hidup yang pokok(Salim dalam Ala, 1981: 1). Sedangkan Lavitan mendefinisikan kemiskinan sebagai kekurangan barang-barang dan pelayanan yang dibutuhkan untuk mencapai suatu standar hidup yang layak.

Faktor Penyebab Kemiskinan Menurut Baswir, (1997: 23), Sumodiningrat, (1998: 90).Secara sosioekonomis, terdapat dua bentuk kemiskinan, yaitu : 1. Kemiskinan absolut adalah suatu kemiskinan di mana orang-orang miskin memiliki tingkat pendapatan dibawah garis kemiskinan, atau jumlah pendapatannya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup minimum, kebutuhan hidup minimum antara lain diukur dengan kebutuhan pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan, kalori, GNP per kapita, pengeluaran konsumsi dan lain-lain. 2. Kemiskinan relatif adalah kemiskinan yang dilihat berdasarkan perbandingan antara suatu tingkat pendapatan dengan tingkat pendapatan lainnya. Contohnya, seseorang yang tergolong kaya (mampu) pada masyarakat desa tertentu bisa jadi yang termiskin pada masyarakat desa yang lain. Di samping itu terdapat juga bentuk-bentuk kemiskinan yang sekaligus menjadi faktor penyebab kemiskinan (asal mula kemiskinan). Ia terdiri dari: (1) Kemiskinan natural, (2) Kemiskinan kultural, dan (3) Kemiskinan structural (Kartasasmita, 1996: 235, Sumodiningrat, 1998: 67, dan Baswir, 1997:23).

1. Kemiskinan natural adalah keadaan miskin karena dari awalnya memang miskin. Kelompok masyarakat tersebut menjadi miskin karena tidak memiliki sumberdaya yang memadai baik sumberdaya alam, sumberdaya manusia maupun sumberdaya

pembangunan, atau kalaupun mereka ikut serta dalam pembangunan, mereka hanya mendapat imbalan pendapatan yang rendah. Menurut Baswir (1997: 21) kemiskinan natural adalahkemiskinan yang disebabkan oleh faktor-faktor alamiah seperti karena cacat, sakit, usia lanjut atau karena bencana alam. Kondisi kemiskinan seperti ini menurut Kartasasmita (1996: 235) disebut sebagai Persisten Poverty yaitu kemiskinan yang telah kronis atau turun temurun. Daerah seperti ini pada umumnya merupakan daerah yang kritis sumberdaya alamnya atau daerah yang terisolir.

2. Kemiskinan kuktural mengacu pada sikap hidup seseorang atau kelompok masyarakat yang disebabkan oleh gaya hidup, kebiasaan hidup dan budaya di mana mereka merasa hidup berkecukupan dan tidak merasa kekurangan. Kelompok masyarakat seperti ini tidak mudah untuk diajak berpartisipasi dalam pembangunan, tidak mau berusaha untuk memperbaiki dan merubah tingkat kehidupannya. Akibatnya tingkat pendapatan mereka rendah menurut ukuran yang dipakai secara umum. Hal ini sejalan dengan apa yang dikatakan Baswir (1997: 21) bahwa ia miskin karena faktor budaya seperti malas, tidak disiplin, boros dan lain-lainnya. 3. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang disebabkan oleh faktorfaktor buatan manusia seperti kebijakan ekonomi yang tidak adil, distribusi aset produksi yang tidak merata, korupsi dan kolusi serta tatanan ekonomi dunia yang cenderung menguntungkan kelompok masyarakat tertentu (Baswir, 1997: 21). Selanjutnya Sumodiningrat (1998: 27) mengatakan bahwa munculnya kemiskinan struktural disebabkan karena berupaya menanggulangi kemiskinan natural, yaitu dengan direncanakan bermacammacam program dan kebijakan. Namun karena pelaksanaannya tidak seimbang, pemilikan sumber daya tidak merata, kesempatan yang tidak sama menyebabkan keikutsertaan masyarakat menjadi tidak merata pula, sehingga menimbulkan struktur masyarakat yang timpang. Menurut Kartasasmita (1996: 236) hal ini disebut accidental poverty, yaitu kemiskinan karena dampak dari suatu kebijaksanaan tertentu yang menyebabkan menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat.

Masalah-masalah kemiskinan tersebut di atas menurut Nurkese (dalam Sumodiningrat. 1999: 150) sebagai suatu lingkaran setan kemiskinan yang meliputi enam unsur, yaitu : Keterbelakangan, Kekurangan modal, Investasi rendah, Tabungan rendah, Pendapatan rendah, Produksi rendah. Lain halnya dengan pendapat Chambers yang mengatakan bahwa inti dari masalah kemiskinan dan kesenjangan sebenarnya, di mana deprivation trap atau jebakan kemiskinan ini terdiri dari lima unsur yaitu: Kemiskinan, Kelemahan jasmani, Isolasi, Kerentanan, Ketidakberdayaan. Kelima unsur tersebut saling kait mengait antara satu dengan yang lain dan saling mempengaruhi(Chambers, 1983 : 145-147).

Pemberdayaan Keluarga MiskinDalam mengkaji pemberdayaan, sebagian besar literatur mengakui pentingnya rumah tangga sebagai sumber utama pemberdayaan . Rumah tangga disini dapat diartikan sebagai sekelompok penduduk yang hidup dibawah satu atap, makan dari panci yang sama, dan bersama-sama terlibat dalam proses pembuatan keputusan sehari-hari. Pada dasarnya, rumah tangga merupakan suatu unit yang proaktif dan produktif. Sebagai unit dasar dari masyarakat sipil, maingmasing rumah tangga membentuk pemerintahan dan ekonomi dalam bentuk miniatur(Pranarka dalam Priyono, 1998; 61). Menurut Friedmann(1992:32-33), rumah tangga menempatkan tiga macam kekuatan, yaitu sosial, politik, dan psikologis. Kekuatan sosial menyangkut akses terhadap dasar-dasar produksi tertentu suatu rumah tangga, misalnya informasi, pengetahuan dan ketrampilan. Partisipasi dalam organisasi sosial, dan sumbersumber keuangan. Bila ekonomi rumah tangga tersebut meningkatkan aksesnya pada dasar-dasar produksi diatas, maka kemampuannya dalam menentukan dan mencapai tujuannya juga meningkat. Peningkatan akses rumah tangga terhadap dasar-dasar kekayaan produktif mereka. Pemahaman keluarga dibedakan menurut pendekatannya. Pendekatan struktural fungsional memandang keluarga sebgai group kecil yang memiliki cirri tertentu(struktur dan fungsi) untuk memelihara kelangsungan hidup(Soemardjan, 1986: ). Pendekatann antropologi memandang keluarga memilikiarti yang berbeda sesuai adat istiadat setempat. Secara umum memiliki ciri-ciri yang relatif sama, terbentuk dari ikatan perkawinan yang diakui masyarakat, daerah dan adopsi sesuai dengan adat, merupakan unit orang yang berinteraksi, diidentifikasi sebagai sistem penanaman kekerabatan( Geertz, 1985 ). Didalam wadah keluarga, penting untuk melengkapi pembagian kerja dan fungsi(peranan) yang terorganisasi berdasarkan status setiap anggota keluarga yang terdiri ayah, ibu, dan anak(Sumantri, 2000 ) Penggunaan kata empowerment dan to empower diterjemahkan menjadi pemberdayaan dan memberdayakan. Konsep empowerment (pemberdayaan) yang dirintis oleh Friedmann (1992: 124) memunculkan adanya 2 (dua) premis mayor, yaitu kegagalan dan harapan dalam memandang konsep konsep keneysian. Kegagalan yang dimaksud adalah gagalnya model-model pembangunan ekonomi terdahulu dalam

menanggulangi masalah kemiskinan dan menjamin kelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Sedangkan harapan muncul karena adanya model-model pembangunan alternatif yang memasukkan nilai-nilai demokrasi, persamaan gender, persamaan antar generasi dan pertumbuhan ekonomi yang memadai. Kegagalan dan harapan menurut Friedman bukanlah merupakan alat ukur dari hasil kerja ilmu sosial melainkan lebih merupakan cermin dari nilai - nilai normatif dan moral yang berkembang dalam lokalitas. Kegagalan dan harapan akan terasa sangat nyata pada tingkat individu dan masyarakat. Pada tingkat yang lebih luas, yang dirasakan hanyalah gejala dari kegagalan dan harapan. Dengan demikian, pemberdayaan masyarakat pada hakekatnya adalah nilai kolektif dari pemberdayaan individu. Sementara itu Blanchard(2001: 6) mendefisikan bahwa pemberdayaan sebagai upaya untuk menguraiakan belenggu yang membelit masyarakat terutama yang berkaitan dengan pengetahuan, pengalaman, motivasinya. The real essence of empowerment comes from releasing the knowledge, experience, and motivarional power that is already in people but is being severely underutilized Memberdayakan masyarakat adalah upaya untuk meningkatkan harkat dan martabat lapisan masyarakat di mana kondisi sekarang tidak mampu untuk melepaskan diri dari perangkap kemiskinan dan keterbelakangan. Dengan kata lain, memberdayakan adalah meningkatkan kemampuan dan meningkatkan kemandirian masyarakat. Konsep partisipasi yang aktif dan kreatif atau seperti yang dikemukakan oleh Paul dalam Cohen sebagai berikut : Participation refers to an active process whereby beneficiaries influence the direction and excution of development projects rather than merely receive a share of project benefits. Definisi di atas memandang keterlibatan masyarakat mulai dari tahap pembuatan keputusan, penerapan keputusan, penikmatan hasil evaluasi (Cohen & Uphoff, 1980: 215-223). Partisipasi mendukung masyarakat untuk mulai sadar akan situasi dan masalah yang dihadapinya, serta berupaya untuk mencari jalan keluar yang dapat dipakai demi mengatasi masalahnya. Partisipasi juga membantu masyarakat miskin untuk melihat

realitas sosial ekonomi dan proses desentralisasi yang dilakukan dengan memperkuat Delivery system (sistem distribusi) ditingkat bawah. Soetrisno (1995: 74) menyatakan bahwa ada dua definisi partisipasi yang beredar di masyarakat yaitu: Definisi pertama partisipasi rakyat dalam pembangunan sebagai dukungan rakyat terhadap rencana proyek pembangunan yang dirancang dan ditentukan tujuannya oleh perencana. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi masyarakat dalam definisi inipun disamakan dengan kemauan rakyat untuk ikut menanggung biaya pembangunan baik berupa uang maupun tenaga dalam melaksanakan proyek pembangunan pemerintah. Dipandang dari sudut sosiologis definisi ini tidak dapat dikatakan sebagai partisipasi rakyat dalam pembangunan melainkan mobilisasi rakyat dalam pembangunan. Definisi kedua partisipasi dalam pembangunan merupakan kerjasama yang erat antara perencana dan rakyat dalam merencanakan, melaksanakan, melestarikan dan mengembangkan hasil pembangunan yang telah dicapai. Ukuran tinggi rendahnya partisipasi rakyat dalam pembangunan tidak hanya diukur dengan kemauan rakyat untuk menanggung biaya pembangunan tetapi juga dengan ada tidaknya hak rakyat untuk ikut menentukan arah dan tujuan proyek yang dibangun diwilayah mereka serta ada tidaknya kemauan rakyat untuksecara mandiri melestarikan hasil proyek itu. Sementara itu para ahli yang berpendapat bahwa partisipasi dikonsepsikan secara baru sebagai suatu insentif moral yang mengijinkan kaum miskin yang tidak berdaya untuk merundingkan insentif-insentif material baru bagi diri mereka dan sebagai suatu terobosan yang memperbolehkan masyarakat grassroot berhasil mendapatkan jalan menuju bidang-bidang makro pembuatan keputusan. Dengan demikian, partisipasi merupakan aspek terpenting dalam upaya memberdayakan masyarakat baik secara individu maupun kelompok. Kemampuan masyarakat untuk mewujudkan dan mempengaruhi arah serta pelaksanaan suatu program ditentukan dengan mengandalkan power yang dimilikinya sehingga pemberdayaan (empowerment) merupakan tema sentral atau jiwa partisipasi yang sifatnya aktif dan kreatif. Participation is concerned with the distribution of power in society, for it is power which enables groups to determine which needs, and whose needs will be met through the distribution of resources (Curtis, et. Al.,1978: 1).

Pemberdayaan merupakan the missin ingredient (unsur tersembunyi) dalam mewujudkan partisipasi masyarakat yang aktif dan kreatif. Secara sederhana, pemberdayaan mengacu pada kemampuan masyarakat untuk mendapatkan dan memanfaatkan akses ke dan kontrol atas sumber sumber hidup penting. Upaya masyarakat miskin melibatkan diri dalam proses pembangunan melalui power yang dimilikinya merupakan bagian dari pembangunan manusia (personal/human development). Pembangunan manusia merupakan proses kemandirian (self-reliance), kesediaan bekerjasama dan toleran terhadap sesamanya dengan manyadari potensi yang dimilikinya. Hal ini dapat terwujud dengan menimba ilmu dan ketrampilan baru, serta aktif berpartisipasi dalam pembangunan ekonomi, sosial, dan politik dalam komunitas mereka. Bagaimana pemberdayaan masyarakat merupakan satu masalah sendiri yang berkaitan dengan hakekat dari kekuasaan, serta hubungan antar individu atau lapisanlapisan sosial yang lain. Pada dasarnya setiap individu dilahirkan dengan kekuasaan. Hanya saja kadar dari kekuasaan itu akan berbeda antara satu individu dengan individu yang lain. Kondisi ini dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling terkait (interlinking factors) antara lain seperti pengetahuan, kemampuan, status, harta, kedudukan, dan jenis kelamin. Faktor-faktor yang saling terkait itu pada akhirnya membuat hubungan antar individu dengan dikotomi subyek (penguasa) dan obyek (yang dikuasai). Bentuk relasi sosial yang dicirikan dengan dikotomi subyek dan obyek tersebut merupakan relasi yang ingin diperbaiki melalui proses pemberdayaan. Pemberdayaan merupakan proses rekonstruksi hubungan antara subyek dan obyek. Proses ini mensyaratkan adanya pengakuan subyek atas kemampuan atau power yang dimiliki obyek. Secara garis besar, proses ini melihat pentingnya flow of power (transfer kekuasaan) dari subyek ke obyek. Pemberian kekuasaan, kebebasan dan pengakuan dari subyek ke obyek dengan memberinya kesempatanuntuk meningkatkan hidupnya dengan memakai sumber daya tersebut. Pada akhirnya, kemampuan individu miskin untuk dapat mewujudkan harapannya dengan pemberian pengakuan oleh subyek merupakan bukti bahwa individu tersebut memiliki kekuasaan/daya. Dengan kata lain, mengalirnya daya ini dapat terwujud suatu upaya aktualisasi diri dari obyek untuk meningkatkan hidupnya dengan memakai daya yang ada padanya serta dibantu juga

dengan daya yang dimiliki subyek. Dalam pengertian yang lebih luas, hasil akhir dari proses pemberdayaan adalah beralihnya fungsi individu yang semula obyek menjadi subyek (yang baru), sehingga relasi sosial yang ada nantinya hanya akan ditandai dengan relasi antar subyek (lama) dengan subyek (baru) yang lain. atau proses pemberdayaan adalah mengubah pola relasi lama subyek-obyek menjadi relasi subyek-subyek. Dengan demikan, transfer kekuasaan ini merupakan faktor yang penting dalam mewujudkan pemberdayaan. Terdapat dua perspektif atas dimensi power itu, yaitu perspektif distributif yang menghambat pemberdayaan, dan perspektif generatif yang cenderung mendukung pemberdayaan (Masoed, 1994: 100-101). Bila power ditinjau dalam perspektif distributif, maka ia bersifat zero-sum dan sangat kompetitif. Kalau yang satu mempunyai daya berarti yang lain tidak tidak punya. Kalau satu pihak memperoleh tambahan daya, berarti pihak yang lain kehilangan. Dalam hubungan kekuasaan seperti ini, aktor yang berperilaku rasional dianggap tidak mungkin bekerjasama karena hanya akan merugikan diri sendiri. Kalau pemberdayaan si miskin dapat dilakukan dengan mengurangi kekuasaan si pemegang kekuasaan, maka pasti si penguasa akan berusaha mencegah proses pemberdayaan itu. Sebaliknya, yang berlaku pada sisi perspektif generatif bersifat positivesum. Artinya, pemberian pada pihak lain dapat meningkatkan daya sendiri. Kalau daya suatu unit sosial secara keseluruhan meningkat, semua anggotanya dapat menikmati bersamasama. Dalam kasus ini, pemberian daya kepada lapisan miskin secara tidak langsung juga akan meningkatkan daya si pemberi, yaitu si penguasa. Dengan menggunakan kajian teori yang ditawarkan oleh Sarah Cook dan Steve ini, maka perubahan yang akan dihasilkan merupakan suatu perubahan yang bersifat terencana karena input yang akan digunakan dalam perubahan telah diantisipasi sejak dini sehingga out put yang akan dihasilkan mampu berdaya guna secara optimal. Upaya pemberdayaan dapat juga dilakukan melalui 3 (tiga) jurusan (Kartasasmita, 1995: 4) yaitu: 1.Menciptakan iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang. Titik tolaknya adalah pengenalan bahwa setiap manusia dan masyarakat memiliki potensi (daya) yang dapat dikembangkan. Pemberdayaan adalahupaya untuk membangun daya

itu dengan mendorong, memberikan motivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya serta berupaya untuk mengembangkan. 2. Memperkuat potensi atau daya yang dimiliki masyarakat (empowering). Dalam rangka ini diperlukan langkah-langkah yang lebih positif dan nyata, penyediaan berbagai masukan (input), serta pembukaan akses ke berbagai peluang yang akan membuat masyarakat menjadi makin berdaya dalam memanfaatkan peluang. 3. Memberdayakan mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan harus dicegah yang lemah menjadi semakin lemah, dan menciptakan kebersamaan serta kemitraan antara yang sudah maju dan yang belummaju/berkembang. Secara khusus perhatian harus diberikan dengan keberpihakan melalui pembangunan ekonomi rakyat, yaitu ekonomi usaha kecil termasuk koperasi, agar tidak makin tertinggal jauh, melainkan justru dapat memanfaatkan momentum globalisasi bagi pertumbuhannya. Namun Friedmann juga mengingatkan bahwa sangatlah tidak realistic apabila kekuatan-kekuatan ekonomi dan struktur-struktur di luar masyarakat madani diabaikan. Oleh karena itu, menurut Friedmann pemberdayaan masyarakat tidak hanya sebatas ekonomi saja namun juga secara politis, sehingga pada akhirnya masyarakat akan memiliki posisi tawar menawar yang kompetitif, baik secara nasional maupun internasional. Paradigma pemberdayaan ingin mengubah kondisi yang serba sentralistik ke situasi yang lebih otonom dengan cara member kesempatan pada kelompok orang miskin untuk merencanakan dan kemudian melaksanakan program pembangunan yang mereka pilih sendiri, kelompok orang miskin ini, juga diberi kesempatan untuk mengelola pembangunan, baik yang berasal dari pemerintah maupun pihak luar (Soetrisno, 1995: 80). Peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang menyangkut diri masyarakat sendiri merupakan unsur yang sungguh penting dalam hal ini. Dengan dasar pandang demikian, maka pemberdayaan masyarakat amat erat kaitannya dengan pemantapan, pembudayaan dan pengalaman demokrasi. Dalam konteks dan alur pikir ini Friedmann (1992: 34) menyatakan : The empowerment approach, which is fundamental to alternative development, places the emphasis on autonomy in decesion making of territotially organized communities, local self-reliance (but not autarchy)

democracy and experiental social learning. Titik fokus dari pemberdayaan ini adalah lokalitas, karena civil society, menurut Friedmann lebih siap diberdayakan lewat isu-isu lokal. Empowerment dapat berarti menumbuhkan kekuasaan dan wewenang yang lebih besar kepada si miskin. Hal senada diberikan oleh Paulo Freire (dalam Soetrisno, 1995: 27) yang menyatakan bahwa empowerment bukanlah sekedar memberi kesempatan pada rakyat untuk menggunakan sumber-sumber alam dan dana pembangunan saja, akan tetapi lebih dari itu, empowerment merupakan upaya untuk mendorong masyarakat untuk mencari cara menciptakan kebebasan dari struktur-struktur yang represif (bersifat menekan). Dengan kata lain, empowerment berarti partisipasi masyarakat dalam politik. Rumusan lain tentang konsep empowerment ini ditemui dalam pernyataan Schumacher yang kurang berbau politik dan lebih menekankan pada hal sebagai berikut : Economic development can succed only if it is carried forward as a broad popular movement reconstruction with the primary emphasis on the full utilization of the drive, enthusiasm, intelligence and labour power of every one (Schumacher, 1973: 132). Dengan demikian pemberdayaan masyarakat adalah sebuah konsep pembangunan ekonomi dan politik yang merangkum berbagai nilai sosial. Konsep ini mencerminkan paradigma baru pembangunan, yakni bersifat people centered, participatory, empowering, and sustainable (Berpusat pada rakyat, partisipatoris, memberdayakan dan berkelanjutan) (Chambers, 1983: 290). Konsep ini lebih luas dari hanya semata-mata memenuhi kebutuhan dasar (basic needs) atau menyediakan mekanisme untuk mencegah proses pemiskinan lebih lanjut (safety net). Alternatif konsep pertumbuhan ini oleh Friedmann (1992:68) disebut sebagai alternative development (pembangunan alternatif) yang menghendaki inclusive democracy, appropriate economic growth, gender equality and intergenarational equity (demokrasi inklusif, pertumbuhan ekonomi yang memadai, kesetaraan gender dan persamaan antara generasi). Konsep ini tidak mempertentangkan pertumbuhan dengan pemerataan, karena, keduanya tidak harus diasumsikan sebagai incompatible and anthithetical (tidak cocok dan antitetis). Konsep ini mencoba melepaskan diri dari perangkap Zero sum game dan trade-off (prinsip pilih salah satu). Ia bertitik tolak

dari pandangan bahwa dengan pemerataan tercipta landasan yang lebih luas untuk pertumbuhan serta akan menjamin pertumbuhan yang berkelanjutan. Oleh karena itu seperti dikatakan oleh Kirdar dan Silk (dalam Kartasasmita, 1996: 90), the right kinds of growth (pertumbuhan yang benar), yakni bukan pertumbuhan vertikal yang menghasilkan trickle-down seperti yang terbukti tidak berhasil, tetapi yang bersifat horisontal (horizontal flows), yakni broadly based, employment intensive, and compartmentalized (berbasis luas, intensif tenaga kerja, dan saling melengkapi).

Keterbelakangan dan kemiskinan merupakan salah satu akibat dari adanya pembangunan yang tidak merata. Juliman Harefa mengutuip Suara Yaahowu edisi perdana (yang penulis tidak miliki) yang merangkum 7 hal penyebab keterbelakangan Nias. Ketujuh hal tersebut adalah: (1) tingkat pendidikan masyarakat yang rata-rata rendah, (2) cara berpikir yang masih tradisional dan konservatif, apatis dan anti hal-hal baru, (3) mentalitas dan etos kerja yang kurang baik, (4) keadaan alam yang kurang mendukung, (5) keterisoliran secara geografis dari pusat, (6) tiadanya potensi atau produk andalan, (7) rendahnya kinerja dan budaya korup aparatur pemerintah daerah. Faktor-faktor di atas dapat diperdebatkan validitasnya karena sejumlah alasan berikut. Pertama, terlihat hubungan kausal dan sirkuler (berputar-putar) antara beberapa factor. Sebagai contoh, faktor pertama (tingkat pendidikan yang rendah) bisa menjadi penyebab (kausa) dari faktor kedua (cara berpikir tradisional dan konservatif); tetapi bisa juga sebaliknya (ingat kasus: telur-ayam-telur). Menurut hukum kausalitas, sebenarnya kedua factor itu tidak setara: yang satu menyebabkan yang lain, maka kedua faktor itu sebenarnya bisa dan harus direduksi menjadi satu, sementara yang lain hilang. Tetapi proses reduksi tidak mungkin karena adanya sifat sirkuler itu. Dengan demikian, kedua faktor tersebut gugur dengan sendirinya. Kedua, dan ini lebih serius sifatnya: ada tiga faktor yang merujuk kepada pengkambinghitaman alam, yakni faktor (4), (5) dan (6). Hal ini agak mengherankan, sebab berbagai kasus besar sepanjang sejarah dunia menunjukkan hal yang sebaliknya: alam yang sering mengganggu, mengambuk dan tidak bersahabat justru menjadi pemicu dan pendorong lahirnya kreativitas manusia sepanjang zaman, pendorong lahirnya ilmu dan teknologi yang memungkinkan manusia tidak saja berhasil menjinakkan alam tetapi

juga menaklukkannya. Dua dari begitu banyak contoh dapat dikemukakan di sini: Jepang yang terletak di daerah gempa (seperti juga Nias) dan miskin sumber daya alamnya dan Australia modern yang lahir dari perjuangan para orang buangan bangsa Eropa yang menantang alam terra incognita Australia. Memang, seperti dikemukakan van Peursen dalam bukunya Strategi Kebudayaan (1980), ada tahap kebudayaan yang disebutnya tahap ontologis di mana manusia pasrah pada alam, tahap di mana manusia mencari jawaban seadanya dari pertanyaan yang sering mengusik eksistensinya setiap saat. Pada tahap itulah, misalnya, masyarakat meyakini kausalitas antara bunyi gendang, tambur atau kentong yang dipukul dengan menghilangnya gerhana bulan. Hal (baca: tahap) itu masih dialami masyarakat Nias pada tahun 1970an ke bawah, bahkan masih dijumpai di sana sini hingga saat ini. Persoalannya adalah kita, yang bangga disebut kaum intelektual, kaum terdidik seperti masih berada dalam tahap ontologis itu. Ketiga, kemiskinan adalah hal yang dapat dikuantifikasi, artinya hal yang dapat (dan mestinya) dinyatakan secara kuantitatif. Kita misalnya mengenal apa yang disebut sebagai pendapatan per kapita yang menjadi ukuran apakah masyarakat di daerah tertentu berada di atas, tepat pada atau di bawah garis kemiskinan. Dengan demikian, faktorfaktor penyebabnya pun mesti dapat dikuantifikasi. Dengan cara ini kita dengan mudah melihat bobot pengaruh dari masing-masing faktor terhadap pokok masalah (kemiskinan). Faktor-faktor yang dikemukakan di atas terlalu sulit (kalau tidak mustahil) untuk dikuantifikasi, sehingga kita tidak akan pernah bisa memunculkan suatu rujukan bersama daripadanya. Dengan demikian, membicarakannya saja sudah akan menggiring kita ke dalam suatu perdebatan yang melingkar-lingkar dan tak berkesudaan. Keempat, dengan menggugat 5 (yaitu faktor no 1, 2, 4, 5, 6) dari ke 7 faktor yang dikemukakan di atas, rangkuman tersebut menjadi tidak relevan. Namun terlepas dari argumen ini, faktor ke 7 (rendahnya kinerja dan budaya korup aparat pemerintahan di daerah) semestinya tidak dimasukkan menjadi salah satu faktor penyebab keterpurukan. Faktor ke 7 justru seharusnya menjadi asumsi dasar atau prakondisi pembangunan itu sendiri: pembangunan daerah dilakukan oleh aparat pemerintahan daerah yang bersih, berkinerja tinggi, dan mempunyai visa dan misi yang jelas. Asumsi dasar atau prakondisi ini akan bisa direalisasikan oleh DPRD yang bekerja baik, jujur, berdedikasi tinggi,

berwawasan luas, yang akan memilih untuk masyarakat Nias seorang pemimpin yang pada dirinya melekat asumsi dasar tadi. Dalam kesempatan ini penulis mengemukakan beberapa hasil pengamatan dari hasil interaksi langsung dengan masyarakat yang menjadi subjek dan sekaligus objek amatan penulis. Hasil pengamatan tersebut menunjukkan ada tujuh (tujuh) faktor radikal penyebab keterpurukan ekonomi masyarakat Nias. Faktor-faktor tersebut bukan hal-hal baru, bukan artifisial berupa hasil permenungan seorang pengamat, tidak juga asbtrak atau mengambang sifatnya. Sebaliknya, ia dengan mudah dapat diamati karena memancar dari wajah, diucapkan dengan lantang, terekspresikan secara bening dan polos, dan terkadang meluap dalam impuls-impuls kekecewaan yang ditunjukkan oleh masyarakat Nias dalam keseharian mereka. Ketujuh faktor itu adalah: (1) perjudian yang merajalela, (2) biaya yang besar penyelenggaraan acara adat Nias, (3) kondisi usaha pertanian yang makin kritis, (4) pola ekonomi musim kemarau, (5) tiadanya lembaga keuangan terpercaya di desa-desa (6) harga barang-barang yang tak wajar, (7) minuman keras.

1. Perjudian yang merajalela Barangkali saat ini agak basi menuding judi sebagai salah satu penyebab kemiskinan masyarakat, karena untuk sementara (!) perjudian sudah merupakan perihal masa lalu. Namun perlu dikemukakan di sini, bahwa judi telah menjadi salah satu faktor penghancur kondisi sosial ekonomi masyarakat Nias yang paling efektif: ia merusak ekonomi, tatanan sosial dan mentalitas masyarakat. Berdasarkan penuturan seorang penjual kupon togel (toto gelap) kepada penulis, omzet penjualan sebesar Rp. 10 juta / malam di zaman boom nilam di suatu desa bukan sesuatu yang luar biasa. Dalam suatu perjalanan ke sebuah desa, supir kendaraan sewaan minta izin kepada penulis untuk berhenti sebentar karena ingin melihat nomor pelat kendaraan yang kebetulan terperosok ke dalam parit. Mana tahu nomor polisi kendaraan tersebut membawa rejeki, katanya sambil tersenyum puas. Fakta yang lebih menyedihkan lagi, ada aparat yang berbaju loreng di suatu desa dengan bangganya duduk-duduk di sekitar para penjudi menyemangati mereka yang sedang asyik beradu untung.

Kita tidak perlu meminta seorang ekonom untuk menghitung kehancuran ekonomis yang diakibatkan oleh judi; belum lagi ongkos sosial yang diakibatkannya seperti rusaknya generasi penerus, berantakannya tatanan nilai-nilai masyarakat (contoh kasus: pengurus gereja yang setiap minggu berdiri di depan mimbar mengkhotbahi jemaatnya, tetap setiap malam bersama jemaatnya membahas kode-kode togel). Konsekuensi ril dahsyat yang diakibatkan judi hendaknya selalu menjadi peringatan bagi kita, dan terutama para penyelenggara pemerintahan di daerah untuk selalu waspada dan tidak lengah, sehingga hantu ini tidak akan bangkit lagi. Agak ironis untuk senantiasa mendengung-dengungkan usaha peningkatan kesejahteraan masyarakat di tengah situasi di mana faktor ril penghancur kesejahteraan masyarakat dibiarkan merajalela. Seandainya saja pemerintah daerah agak kreatif, sebenarnya perjudian dapat diberantas secara efektif. Salah satu cara dari begitu banyak pilihan adalah: mengaitkan berbagai program pembangunan desa dengan tingkat kebersihan suatu desa dari perjudian. Jangan sebaliknya, seperti diungkapkan sejumlah warga desa kepada penulis, bahwa di masa pengucuran dana IDT, judi pun merajalela karena uang IDT yang diterima dipakai sebagai modal judi.

2. Biaya penyelenggaraan acara-acara adat yang besar

Biaya yang berkaitan dengan penyelenggaraan acara-acara adat di Nias boleh dimasukkan sebagai salah satu faktor penyebab keterpurukan ekonomi masyarakat Nias. Perkawinan, kematian, kunjungan ke si tengan b adalah contoh-contoh konkrit perhelatan adat yang membawa konsekuaensi ekonomi yang serius. Seorang warga dalam suatu perbincangan santai dengan penulis menyampaikan dengan sedikit bangga bahwa pada masa boom nilam, dia berhasil menikahkan seorang puteranya dengan biaya sebesar Rp 25.000.000- Itulah bekas yang masih melekat pada keluarga saya dari usaha nilam, sambil mengeluhkan bahwa kini kehidupan keluarganya begitu susah, hanya tergantung dari tetesan-tetesan getah pohon havea yang tidak lagi produktif. Pasca boom nilam, biaya pesta perkawinan menurun menjadi rata-rata 12 20 juta. Tidak mengherankan bahwa perkawinan menjadi pintu gerbang menuju kemiskinan bagi tidak

sedikit masyarakat desa di Nias. Hal yang sama dijumpai pada upacara-upacara adat yang lain, semisal kematian orang tua. Tidak jarang, demi menjaga harga diri keluarga di mata masyarakat, anggota keluarga yang ditinggalkan tidak segan-segan meminjam uang dengan bunga tinggi atau menggadaikan barang-barang berharga yang dimiliki, seperti tanah atau tanaman kepada para rentenir desa. Persoalan ini agak sensitif sifatnya karena menyangkut budaya yang telah begitu mengakar. Namun terhadap hal ini, sesuatu harus dilakukan, tidak boleh dibiarkan berlarut-larut. Pendekatan manusiawi kepada masyarakat akan bisa meluluhkan kekerasan hati mereka dalam kebiasaan ini. Ini tidak berarti bahwa sebuah keluarga dilarang mengeluarkan biaya besar untuk menikahkan putra/putirnya. Bukankah di kota-kota besar juga kita biasa menyaksikan biaya pesta perkawinan yang mencapai puluhan atau seratusan juta? Masalahnya adalah: biaya itu seharusnya disesuaikan dengan tingkat ekonomi keluarga yang terlibat. Lagi pula, pesta yang melibatkan orang-orang Nias yang relatif sudah maju, seharusnya meniru pola pesta di daerah-daerah lain, yang melibatkan kedua belah pihak (keluarga pengantin laki-laki dan perempuan) untuk membiayai pesta. Dengan demikian kelihatan juga bahwa kemajuan pola pikir dan keluasan wawasan berpengaruh terhadap tradisi secara positif.

3. Kondisi Usaha Pertanian/Peternakan Yang Makin Kritis

Hingga sekitar awal 1970an, kondisi tanah pertanian di Nias masih sehat dan kaya akan hara yang dibutuhkan tanaman, baik persawahan maupun perkebunan. Hal ini terlihat dari melimpahnya hasil-hasil pertanian saat itu. Panen ubi kayu atau ubi jalar misalnya, selalu menghasilkan umbi yang besar dan bermutu baik; hal yang kontras dengan keadaan sekarang di mana orang menanam ubi, bukan lagi untuk mendapatkan umbinya tetapi hanya untuk mendapatkan daunnya untuk makanan ternak. Demikian halnya dengan usaha persawahan yang akhir-akhir ini dirasakan sebagai beban ketimbang peluang ekonomi oleh kebanyakan warga karena berbagai faktor: ketidaksuburan tanah, merajalelanya hama yang terlalu sulit untuk dikendalikan, serta harga-harga sarana produksi pertanian yang tak terjangkau oleh masyarakat.

Kondisi yang sama menyedihkan terjadi pada usaha peternakan, khususnya peternakan babi, yang menjadi produk andalan daerah Nias hingga tahun 1960an. Untungnya (atau ironisnya) inisiatif untuk menggerakkan dan mengangkat kembali potensi ini lebih banyak diambil alih oleh lembaga swadaya masyarakat (lebih tepat: lembaga swadaya yang dikelola oleh lembaga keagamaan), sementara inisiatif pemerintah daerah yang memiliki dinas khusus untuk itu sangat minim (hampir tidak ada). Dari pengamatan langsung ternyata bahwa barulah melalui lembaga swadaya tadi para peternak mengenal vaksinasi secara cukup meluas.

4. Sistem Ekonomi Musim Kemarau

Sistem ekonomi musim kemarau dimaksudkan sebagai sistem perekonomian masyarakat Nias yang mengandalkan pendapat dari karet yang hasilnya hanya dapat diperoleh pada musim kemarau. Dalam sistem ekonomi musim kemarau, masyarakat hidup dalam dua musim: musim kemarau yang diasosiasikan dengan masa dapur mengepul dan musim hujan yang diasosiasikan dengan paceklik. Sistem ekonomi musim kemarau secara tak sengaja telah menyeret masyarakat Nias ke dalam kehidupan ekonomi yang melingkar: ia tak pernah melewati level kehidupan yang layak. Andaikan pun berlangsung kemarau panjang, pada periode mana para petani karet mendapat penghasilan yang lebih dari cukup, mereka seperti tak berdaya menyisihkan sebagian dari penghasilan untuk bekal pada musim hujan. Secara terus terang beberapa petani mengaku bahwa musim hujan yang panjang telah membuat kami begitu menderita, sehingga ketika musim kemarau tiba, malau mbalma, (artinya mereka balas dengan bersenang-senang ketika uang cukup atau bahkan berlebih. Pimpinan daerah periode mendatang harus melakukan sesuatu terhadap sistem ekonomi musim kemarau ini. Ia harus bisa memutus siklu ini atau sekurang-kurangnya memperkenalkan cara penanganan yang secara gradual tetapi meyakinkan akan bisa memutus siklus itu.

5. Tiadanya lembaga keuangan yang menampung tabungan masyarakat di desa-desa

Selama puncak krisis moneter antara akhir 1997 hingga awal 1998, ternyata masyarakat tani Nias meraup begitu banyak uang dari rejeki nomplok nilam yang harganya melambung tinggi secara tiba-tiba. Sayang, tidak ada inisiatif dari pemerintah daerah untuk memanfaatkan momentum ini untuk menggalakkan tabungan masyarakat. Akibatnya, masyarakat mengalami shock yang luar biasa dengan uang yang begitu banyak. Uang yang banyak itu menguap begitu saja untuk berbagai hal yang sangat tidak produktif: judi, mabuk-mabukan, belanja barang yang tak perlu, dan sebagainya. Seandainya saja saat itu ada himbauan (bahkan kalau perlu paksaan) untuk menabung, maka mungkin masyarakat kita tidak semelarat sekarang ini, atau minimal: belajar dari keadaan itu untuk selalu menyisihkan sebagian dari pendapatannya saat ini untuk bekal masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. Kita tidak dapat menyalahkan masyarakat desa dalam hal ini. Ketrampilan mereka mengelola uang sangat terbatas, yang diakibatkan antara lain oleh rendahnya pendidikan dan juga karena terbatasnya aktivitas ekonomi di desa. Tetapi penyebab utama sebenanrnya ialaha tiadanya lembaga keuangan yang terpercaya (bukan rentenir) seperti bank yang menjangkau desa-desa. Dengan demikian, masyarakat desa hanya mampu mengelola keuangannya secara tradisional: membeli tanah, meminjaman uang, atau menambah konsumsi. Akibatnya, pendapatan lebih masyarakat tidak pernah

dimanfaatkan untuk mengantisipasi paceklik, apalagi untuk meningkatkan kemampuan berusaha. Pengamatan faktual di lapangan menunjukkan bahwa umumnya kejayaan ekonomi masyarakat desa pada umumnya hanya pertahan selama satu generasi, artinya kemakmuran ekonomi orang tua tidak dapat diteruskan ke dan oleh anak-anaknya, apalagi cucu-cucunya. Hal ini terkait dengan manajemen keuangan tradisional tadi.

6. Harga barang-barang yang tak wajar

Secara kebetulan penulis mendapati bahwa harga barang-barang tertentu di toko-toko Gunungsitoli bisa mencapai dua kali lipat dari harga barang yang sama di Medan. Ini

berarti, masyarakat Nias dipaksa membeli barang dengan harga yang tidak wajar. Sebagai contoh, pompa air listrik untuk keperluan rumah tangga dengan kapasitas 125 watt bisa mencapai Rp. 250.000.- di Gunungsiotli sementara di Medan, bisa didapat dengan harga Rp 110.000 Rp 125.000.- (kondisi harga awal Maret 2000). Yang menjadi pertanyaan adalah: apakah Pemda menerapkan pajak yang begitu tinggi kepada pedagang atau pengusaha, ataukah pedagang yang mengambil keuntungan yang mencekik masyarakat? Ataukah pedagang mengeksploitasi secara maksimal keluguan orang-orang desa sehingga mematok harga barang semaunya? Hal yang terakhir ini ternyata klop dengan penuturan masyarakat, bahwa pada masa boom nilam harga barang-barang liar tak terkontrol. Pedagang bisa saja berdalih bahwa hukum permintaan dan penawaran dengan mudah menjelaskan hal ini. Akan tetapi hal ini tidak dapat diterima akal sehat, karena dalam keadaan kondisi normal pun (tingkat permintaan yang normal) hal itu tetap menjadi praktek sehari-hari. Hal ini perlu menjadi perhatian amat serius dari pemerintah daerah, karena melalui praktek dagang yang abnormal ini, masyarakat Nias secara langsung telah dikurangi daya belinya secara drastis yang berarti pemiskinan masyarakat secara terang-terangan. Hal ini juga berkaitan langsung dengan maju tidaknya usaha pertanian di Nias. Melambungnya harga berbagai sarana produksi pertanian dan peternakan akan membuat petani Nias malas mengusahakan lahan pertanian dan peternakannya.

7. Minuman Keras

Di samping beo Nias, barangkali faktor lain yang membuat Nias dikenal adalah minuman keras. Minuman keras bagi produsennya adalah sumber penghidupan, tetapi bagi yang lain merupakan sumber malapetaka. Ia menjadi pembunuh yang tak mengenal ampun yang akhirnya meinggalkan begitu banyak janda tak berdoa. Bukan itu saja, ia langsung mempengaruhi produksitivitas ekonomi sebuah keluarga atau sebuah desa.

DAFTAR PUSTAKA

Prof. Ida Bagoes Mantra. Ph.D, Agustus 2003. Demografi Umum. Jogja: Pustaka Pelajar A H Pollard{ terjemahan oleh Drs Rozy Munis M.Sc }.1984. Teknik Demografi. Jakarta : Bina Aksara Rachmad K Dwi. 2006.Sosiologi Kependudukan. Surakarta : Lindu Pustaka Ida Soewarni ST. 2005.Diktat Kependudukan. Malang www.statistik_indonesia.com www.wikipedia-demografi.com