tugas termodinamika kimia (surfaktan)
DESCRIPTION
PERANAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA SEBAGAI BAHAN UNTUK MENINGKATKAN PEROLEHAN MINYAK BUMI PADA RESERVOIRTRANSCRIPT
Makalah Termodinamika
PERANAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA SEBAGAI
BAHAN UNTUK MENINGKATKAN PEROLEHAN
MINYAK BUMI PADA RESERVOIR
Disusun oleh:
Wisnu Rochman Hidayatullah
Kelas R2 / Semester 3
NIM 21112037
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK KIMIA
UNIVERSITAS SERANG RAYA
i
KATA PENGANTAR
Alhamdulillahirabil’alamin. Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt yang telah
melimpahkan segala nikmat-Nya sehingga karya ilmiah dalam bentuk makalah berhasil diselesaikan. Tugas
ini disusun sebagai salah satu syarat untuk mengikuti Ujian Tengah Semester mata kuliah TERMODINAMIKA I
di Universitas Serang Raya (UNSERA) jurusan Teknik Kimia. Judul makalah yang dipilih adalah “PERANAN
KELAPA SAWIT DI INDONESIA SEBAGAI BAHAN UNTUK MENINGKATKAN PEROLEHAN MINYAK BUMI PADA
RESERVOIR”.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih mempunyai berbagai kekurangan. Oleh karena itu,
Penulis mengharapkan segala masukan, saran, informasi, arahan dan bimbingan dari berbagai pihak guna
menyempurnakan karya tulis ini sehingga menjadi lebih baik lagi kedepannya, dan Penulis berharap makalah
ini dapat memberikan manfaat bagi semua pihak yang membutuhkan. Terima Kasih.
Cilegon, November 2013
Wisnu Rochman Hidayatullah
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................................................... i
DAFTAR ISI ............................................................................................................................................... ii
LATAR BELAKANG .................................................................................................................................... 1
ALASAN PEMILIHAN JUDUL ..................................................................................................................... 2
PENJELASAN INDUSTRI TERKAIT ............................................................................................................. 2
A. Profil Perusahaan ....................................................................................................................... 2
B. Kinerja Surfaktan Sebagai Bahan untuk Meningkatkan Perolehan Minyak Bumi (Enhanced Oil
Recovery) ................................................................................................................................... 3
C. Metil Ester Sulfonat.................................................................................................................... 5
D. Proses Pembuatan Metil Ester Sulfonat .................................................................................... 7
1) Tahap Sulfonasi ....................................................................................................................... 7
2) Tahap Pemucatan (Bleaching) ................................................................................................ 8
3) Tahap Netralisasi .................................................................................................................... 8
4) Tahap Pengeringan ................................................................................................................. 8
MANFAAT INDUSTRI TERKAIT ................................................................................................................. 9
KESIMPULAN ........................................................................................................................................... 9
REFERENSI ............................................................................................................................................... 9
1
LATAR BELAKANG
Minyak bumi dikategorikan sebagai golongan energi fosil. Peran energi fosil (minyak dan gas
bumi) bagi suatu negara adalah sebagai sumber perolehan devisa dan sebagai sumber energi. Sebagai sumber
energi, peranan minyak bumi saat ini belum tergantikan oleh bahan lain. Sampai tahun 2000, peran energi
fosil sebagai sumber energi di Indonesia mencapai 95 persen dari total energi primer komersial. Banyak
sumber daya lain yang keberlangsungannya sangat tergantung pada persediaan minyak bumi. Misalnya,
alat transportasi, alat pembangkit listrik dan alat produksi untuk industri. Industri pupuk dan petrokimia,
industri besi dan baja, dan kilang minyak merupakan industri yang menggunakan minyak dan gas bumi
dalam jumlah besar (Anonim, 2005; Redaksi Warta Pertamina, 2004).
Berdasarkan data dari Badan Koordinasi Energi Nasional yang dilaporkan oleh Hehuwat (1992)
diketahui bahwa total cadangan minyak bumi di Indonesia adalah 195 milyar barrel(1 barrel= 158,987 liter).
Dari jumlah tersebut telah diproduksi sejumlah 48,4 milyar barrel. Bila diasumsikan bahwa produksi
minyak bumi menggunakan teknologi konvensional mampu memproduksi 44 persen dari totalminyak bumi,
maka sisa minyak bumi yang masih dapat diusahakan adalah sekitar 38 milyar barrel. OPEC World Energy
Model (OWEM) melaporkan bahwa permintaan minyak bumi dunia pada tahun 2002-2010 diperkirakan
akan tumbuh 1,8 persen per tahun, atau meningkat sebesar 12 juta barrel per hari (bph) menjadi 89
juta bph. Pada tahun 2010-2020, permintaan akan tumbuh lagi menjadi 106 juta bph dengan tambahan
sebesar 17 juta bph. Pada tahun 2025 permintaan minyak bumi mentah dunia meningkat hingga 115 juta
bph dengan pertumbuhan rata-rata 1,7 persen per tahun pada periode 2010-2025 (Kusuma, 2004). Bila
kebutuhan minyak bumi dunia (Indonesia) yang terus meningkat tidak diimbangi dengan produksi yang
mencukupi, maka akan mendatangkan krisis energi. Krisis energi tersebut akan mengganggu roda
kehidupan (perekonomian) dunia. Pada tahun 2000 pernah terjadi krisis energi nasional dan
internasional berupa kelangkaan bahan bakar minyak (BBM). Bahkan harga minyak mentah dunia sempat
menembus US$ 74 per barrel pada awal Mei 2006.
Krisis energi (BBM) yang terjadi dapat diatasi dengan cara mencari sumber energi alternatif
atau meningkatkan produksi minyak bumi. Sumber energi alternatif yang telah digunakan antara lain
biodisel, energi matahari, energi dari alam (air, geothermal/panas bumi, angin dan lain sebagainya).
Namun, penggunaannya masih sangat terbatas dan dari segi kepraktisannya masih jauh dari yang
diharapkan. Misalnya saja biodisel. Biodisel dapat disintesis dari beberapa sumber yang terbarukan
seperti jarak (Jatropha sp) dan kelapa sawit (Elaeis guineensis). Namun, pengembangan teknologi untuk
produksi secara komersial di Indonesia masih dalam tahap uji coba dan diperkirakan baru siap pada
tahun 2015.
Alternatif lain untuk mengatasi krisis energi adalah meningkatkan produksi minyak bumi.
Peningkatan produksi minyak bumi dapat dilakukan dengan cara eksplorasi sumur baru (cekungan
hidrokarbon) dan meningkatkan perolehan kembali (recovery) minyak bumi yang terdapat pada sumur lama.
Eksplorasi sumur baru terbentur pada kendala semakin terbatasnya sumur baru. BPMIGAS menyatakan
bahwa Indonesia memiliki 60 cekungan hidrokarbon, dimana 22 cekungan diantaranya belum di
eksplorasi serta 38 cekungan telah dieksplorasi. Dari 38 cekungan ini yang telah diproduksi minyak dan
gas buminya adalah 15 cekungan, 11 cekungan belum produksi serta 12 cekungan sisanya belum terbukti
(BPMIGAS, 2005).
Menurut Lake (1995) residu minyak bumi yang terdapat pada sumur yang telah diproduksi masih
besar, berkisar 40-70 persen dari jumlah minyak bumi semula. Minyak bumi yang tertinggal tersebut
merupakan minyak bumi yang terperangkap pada pori-pori batuan dan tidak dapat diproduksi dengan
teknologi konvensional (tahap primer dan sekunder). Salah satu metode perolehan kembali minyak bumi
setelah dengan teknologi konvensional diterapkan adalah peningkatan perolehan minyak bumi tahap
lanjut (Enhanced Oil Recovery) melalui mekanisme penurunan tegangan antarmuka (Interfacial Tension
disingkat IFT).
2
Fenomena tegangan antarmuka (IFT) memainkan perananpenting di dalam metode perolehan
minyak bumi (Lakatos-Szabó dan Lakatos, 2001). Bahan yang umum digunakan untuk memodifikasi
tegangan antarmuka dan tegangan permukaan suatu zat adalah surfaktan yang berasal dari istilah asing
surfactant (singkatan dari surface active agent). Proses perolehan kembali minyak bumi dengan
menggunakan surfaktan termasuk ke dalam fase tersier atau tahap lanjut dalam produksi minyak bumi.
Teknik perolehan minyak bumi menggunakan surfaktan dikenal dengan nama surfactant flooding.
ALASAN PEMILIHAN JUDUL
Surfaktan yang biasa digunakan dalam proses EOR adalah petroleum sulfonate yang merupakan
turunan dari minyak bumi. Kelemahan surfaktan tersebut adalah sifatnya yang tidak terbarukan, tidak
ramah lingkungan dan memiliki ketahanan yang buruk terhadap kondisi sadah, sedangkan kelebihannya
adalah mempunyai kinerja maksimal dalam menurunkan tegangan antarmuka, bahkan dilaporkan
mencapai 0,1 µN/m atau 10-4 dyne/cm (Salager, 2002). Surfaktan lain yang memiliki prospek cerah untuk
dipalikasikan pada proses EOR adalah surfaktan yang diperoleh metil ester minyak kelapa sawit yang
disebut dengan metil estersulfonat (MES). Sifatnya yang terbarukan, dapat didegradasi oleh
lingkungan/mikroorganisme (biodegradable), karakteristik deterjensi yang baik menjadi keunggulan
surfaktan MES. Bila dibandingkan dengan petroleum sulfonate, MES memiliki kinerja yang lebih rendah
dalam menurunkan tegangan antarmuka.
Apabila dikaitkan dengan produksi surfaktan MES yang akan diaplikasikan dalam surfactant
flooding, Indonesia mempunyai potensi besar untuk menjadi produsen surfaktan. Indonesia merupakan
salah satu negara yang memiliki areal perkebunan kelapa sawit yang cukup luas. Luas perkebunan kelapa
sawit di Indonesia pada tahun 2004 adalah 5 juta hektar dengan produksi 11,08 juta ton per tahun. Luas
areal kelapa sawit terus bertambah, demikian pula produksi dan ekspornya. Indonesia menempati
produsen minyak sawit kasar (CPO dan PKO) kedua terbesar di dunia dan diprediksikan pada tahun 2010
(bahkan pemerintah menargetkan tahun 2008) sebagai nomor satu di dunia, melampaui Malaysia. Pangsa
pasar produksi CPO Indonesia adalah 36 persen dari total produksi dunia, Malaysia 47 persen. Bersama-
sama, Indonesia dan Malaysia menguasai 85 persen produksi CPO dunia atau 23 persen dari produksi
minyak hayati dunia (Samhadi, 2006).
PENJELASAN INDUSTRI TERKAIT
A. Profil Perusahaan
Pusat Penelitian Surfaktan dan Bioenergi
Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC )
Surfactant and Bioenergy Research Center (SBRC) merupakan salah satu pusat penelitian di bawah
Lembaga Penelitian dan Pemberdayaan Masyarakat (LPPM) , Institut Pertanian Bogor (IPB) . Daerah penelitian
utama adalah surfaktan dan bioenergi .
Pusat Penelitian ini didirikan pada tahun 2004 dengan nama Surfactant Research & Development
Center (SRDC) sebagai acuan IPB atas ketergantungan Indonesia pada impor surfaktan. Selanjutnya, isu krisis
energi dan perubahan iklim juga memicu pusat penelitian ini untuk mengambil peran dalam penelitian dan
pengembangan. Dengan dua subjek yang difokuskan tersebut, maka pada tahun 2006 pusat penilitian ini
berubah menjadi Surfactant and Bioenergy Research Center ( SBRC ).
Pengembangan surfaktan meliputi bahan baku eksplorasi, pengolahan surfaktan dan teknologi, dan
pengaplikasian produknya di berbagai industri. Di sisi lain, pengembangan bioenergi dirancang sebagai
kegiatan terpadu mulai dari hulu ke hilir mencakup pembibitan dan teknik budidaya tanaman bioenergi, proses
dan teknologi, pola kelembagaan dan model pengembangan untuk bisnis bioenergi, sosialisasi dan promosi
3
kegiatan terkait. Baru-baru ini, Jatropha curcas Linn. merupakan salah satu tanaman bioenergi yang dijadikan
fokus pada penelitian dan pengembangan di pusat ini selain ubi kayu sebagai bahan baku bioetanol dan
ganggang mikro sebagai bahan baku biofuel alternatif ramah lingkungan berikutnya .
VISI
Visi SBRC adalah menjadi pusat penelitian surfaktan dan bioenergi terkemuka yang melibatkan multidisiplin
keilmuan dan mampu memberikan manfaat yang seluas-luasnya kepada masyarakat secara nasional maupun
global
MISI
Menjadi pelopor pengembangan surfaktan dan bioenergi di Indonesia
Menyediakan teknologi terpadu bagi pengembangan surfaktan dan bioenergi
Membentuk masyarakat yang mandiri dan peduli lingkungan (green country)
MANDAT UTAMA :
Melakukan kajian dan pengembangan di bidang surfaktan dan bioenergi
Staf Pimpinan Pusat Penelitian Surfaktan & Bioenergi
Kepala : Prof. Dr. Ir. Erliza Hambali, Msi
Sekretaris : Dr. Dwi Setyaningsih, S.TP, M.Si
Alamat : Kampus IPB Baranangsiang, Jl Raya Pajajaran Bogor 16153
Telp : 0251-8330970 Fax : 0251-8330977
Email : [email protected]
Website : http://www.sbrc-ipb.com
B. Kinerja Surfaktan Sebagai Bahan untuk Meningkatkan Perolehan
Minyak Bumi (Enhanced Oil Recovery)
Menurut Nummedal et al.(2003) peningkatan perolehan minyak bumi (oil recovery) dapat dilakukan
dengan cara menambahkan surfaktan ke dalam air injeksi. Proses perolehan minyak bumi menggunakan
surfaktan disebut dengan surfactant flooding dan dikategorikan ke dalam proses tersier produksi minyak
bumi. Dalam surfactant flooding, karakteristik air yang diinjeksikan ke dalam sumur minyak bumi harus
sesuai dengan karakteristik air formasi yaitu air yang berada di dalam cekungan minyak bumi(reservoir).
Demikian pula dengan penginjeksian surfaktan (umumnya bahan kimia), disyaratkan tidak mengubah
kondisi formasi yang telah ada di dalam reservoir minyak bumi. Pada gambar diperlihatkan ilustrasi
proses dalam surfactant flooding.
4
Pada umumnya tidak hanya surfaktan yang digunakan dalam surfactant flooding, namun juga
polimer (umumnya poliakrilamida). Polimer diijeksikan setelah campuran surfaktan air injeksi dipompakan
ke dalam sumur minyak. Tujuannya adalah meningkatkan stabilitas genangan (flood) dan meningkatkan
efisiensi penyapuan (sweep efficiency) minyak. Masih menurut Nummedal (2003), surfactant flooding
paling jarang digunakan dalam proses recovery minyak bumi karena persoalan rancangannya yang sulit
dan mahalnya harga bahan kimia (surfaktan). Hal senada juga diungkapkan oleh Technology Assesment
Board 1978 bahwa surfactant flooding merupakan proses yang sangat kompleks, namun demikian
mempunyai potensi recoveryminyak yang superior.
Mekanisme reaksi yang terjadi di dalam sumur minyak setelah surfaktan diinjeksikan dijelaskan
sebagai berikut. Pada dasarnya, mekanisme reaksi yang terjadi mirip dengan proses emulsifikasi kotoran pada
pencucian menggunakan deterjen. Awalnya surfaktan tunggal yang disebut monomer akan mengikat
minyak pada permukaan minyak (adsorpsi). Karena tenaga dorong dari pompa dan bobotnya yang
ringan, surfaktan terlepas dari permukaan minyak dengan mengikat minyak pada bagian ekornya (lipofilik).
Surfaktan tersebut kemudian membentuk agregat setelah bertemu dengan monomer surfaktan lain
dalam larutan. Proses pengikatan minyak oleh surfaktan akan lebih mudah bila minyak terdispersi di
dalam larutan. Mekanisme tersebut diilustrasikan pada gambar.
Mikroemulsi terbentuk setelah larutan surfaktan bereaksi dengan minyak. Mikroemulsi yang
mengandung minyak tersebut kemudian didorong menggunakan larutan polimer (poliakrilamida) dan minyak
bumi diproduksi pada sumur produksi. Pada kenyataannya, mekanisme reaski yang terjadi tidak
sesederhana seperti yang telah dijelaskan. Kondisi geologis batuan turut mempengaruhi kinerja surfaktan.
Surfaktan diharapkan dapat menurunkan tegangan antarmuka antara minyak dan batuan sehingga gaya
adhesi minyak dan batuan berkurang. Gaya adhesi tersebut diperkuat oleh gaya kapiler, karena minyak
5
terperangkap pada pori-pori batuan. Dengan turunnya tegangan antarmuka tersebut, minyak akan
terkonsentrasi pada permukaan batuan. Pada akhirnya, surfaktan dapat mengikat minyak dan minyak
dapat diproduksi.
Produksi minyak menggunakan proses surfactant flooding sangat dipengaruhi oleh kemampuan
surfaktan dalam menurunkan tegangan antarmuka (Drelich et al., 2002). Maka dari itu, formula surfaktan
yang dibuat harus memiliki kinerja dan stabilitas tinggi pada kondisi reservoir. Selain itu, surfaktan juga harus
tersedia dalam jumlah yang cukup atau dengan kata lain availability-nya tinggi. Oleh karena itu kombinasi
penggunaan surfaktan MES yang bersifat terbarukan dan surfaktan nonyl phenol ethoxylateyang memiliki
kinerja tinggi dalam satu formula merupakan salah satu terobosan baru.
C. Metil Ester Sulfonat
MES merupakan surfaktan anionik yang bermuatan negatif sehingga cocok digunakan pada sumur
yang batuannya mengandung silikat yang juga bermuatan negatif. Namun demikian MES tidak cocok bila
digunakan pada sumur yang batuannya mengandung kapur karena kapur bermuatan positif. Perbedaan
muatan akan mengakibatkan terikatnya MES pada batuan dan kehilangan sifat aktif permukaannya
(Hidayati, 2006). ).
Penelitian pembuatan MES telah dilakukan oleh Chemiton Corporation, Inc. Sheats dan
MacArthur (2002) melaporkan bahwa metil ester sulfonat dapat disintesis dari beberapa tanaman seperti
kelapa, kelapa sawit (CPO dan PKO), tallow dan kedelai. Metil ester termasuk ke dalam golongan ester.
Ester dibuat dengan mereaksikan asam karboksilat dan alkohol. Cox dan Weerasoriya (2001) melaporkan
bahwa sebagian besar metil ester diproduksi dari oleokimia. Metil ester dapat diproduksi melalui
esterifikasi asam lemak dengan metanol. Reaksi transesterifikasi dapat dilihat pada Gambar 3. Metil
ester juga dapat diperoleh melalui reaksi esterifikasi antara asam lemak dengan alkohol, seperti pada reaksi
yang terlihat pada Gambar 4 berikut (Hart, 1990). Minyak/lemak Metanol Metil ester Gliserin Gambar 3.
Reaksi transesterifikasi antara trigliserida dan metanol
Karakteristik MES disajikan pada Tabel 1 dan gambarproduk dan struktur MES dapat dilihat pada
Gambar 5 dan Gambar 6. Dari tabel tersebut dapat dilihat bahwa selain MES sebagai produk utama juga
dihasilkan produk lain yang tidak diinginkan seperti garam di-natrium karboksi sulfonat (di-salt), metanol,
hidrogen peroksida, air, petroleum eter, natrium karboksilat, natrium sulfat, dan natrium metil sulfat.
Metanol sisa yang terdapat dalam produk komersial adalah 0.5 persen (bobot). Menurut Hovda (2002) dan
6
MacArthur et al. (2002), di-natrium karboksi sulfonat merupakan pengotor pada MES yang dapat menurunkan
deterjensi MES.
Keterangan :
Sumber bahan baku MES tersebut :
A : Minyak Kelapa (C12-C14)
B : Minyak inti sawit (C8-C18)
C : Stearin sawit (C16-C18)
D : Lemak Tallow (C16-18)
E : Minyak kedelai (C18)
7
Menurut Hovda (2002), ada tiga tipe proses pembuatan MES yaitu proses yang menggunakan dua
tahap pemucatan sehingga diperlukan halogen, proses yang menggunakan pemurnian ultra,
proses/teknologi yang dikembangkan Chemiton Corporation menggunakan agen peroksida untuk tahap
pemucatan.
Foster (1997) berpendapat bahwa untuk mendapatkan produk yang unggul dari reaksi sulfonasi,
rasio mol reaktan merupakan faktor utama yang harus dikendalikan. Faktor lainnya adalah suhu reaksi,
konsentrasi reaktan (gas SO3), pH netralisasi, lama penetralan, dan suhu selama penetralan. Faktor-
faktor tersebut memang memberikan pengaruh pada kualitas produk, namun pengaruhnya tidak sebesar
pengaruh akibat rasio mol. Agen sulfonasi yang digunakan secara luas pada reaksi sulfonasi adalah asam
sulfat (H2SO4) dan oleum (SO3 · H2SO4). Tipe reaksi proses sulfonasi dibedakan berdasar agen sulfonasi
yang digunakan. Faktor-faktor yang menentukan dalam pemilihan tipe reaksi sulfonasi adalah kuantitas
dan kualitas produk yang diinginkan, harga reagen (bahan pereaksi), biaya peralatan, dan biaya pengolahan
limbah.
D. Proses Pembuatan Metil Ester Sulfonat
Produksi metil ester sulfonat dalam skala industri terdiri dari 4 (empat) tahap yaitu tahap sulfonasi,
tahap pemucatan, tahap netralisasi, dan tahap pengeringan.
1) Tahap Sulfonasi
MES diproduksi melalui proses sulfonasi metil ester dengan campuran SO3/udara. Reaksi
pengontakkan SO3 dan bahan organik terjadi di dalam suatu falling film reactor. Gas dan organik
mengalir di dalam tube secara co-current dari bagian atas reaktor pada temperatur 45oC dan keluar
reaktor pada temperatur sekitar 30oC. Proses pendinginan dilakukan dengan air pendingin yang
berasal dari cooling tower. Air pendingin ini mengalir pada bagian shell dari reaktor. Hal ini bertujuan
untuk menjaga kestabilan temperatur reaksi akibat reaksi eksoterm yang berlangsung di dalam
reaktor.
8
Agar campuran MESA mencapai waktu yang tepat dalam reaksi sulfonasi yang sempurna,
MESA harus dilewatkan kedalam digester yang memilki temperature konstan (~80oC) selama kurang
lebih satu jam. Efek samping dari MESA digestion adalah penggelapan warna campuran asam sulfonat
secara signifikan. Sementara itu, gas-gas yang meninggalkan reaktor menuju sistem pembersihan gas
buangan (waste gas cleaning system).
2) Tahap Pemucatan (Bleaching)
Untuk mengurangi warna sampai sesuai dengan spesifikasi, digested MESA harus diukur
didalam sistem kontinu acid bleaching, dimana dicampurkan dengan laju alir metanol yang terkontrol
dan hidrogen peroksida sesudahnya. Reaksi bleaching lalu dilanjutkan dengan metanol reflux dan
pengontrolan temperatur yang presisi.
3) Tahap Netralisasi
Acid ester yang terbentuk dalam proses sulfonasi bersifat tidak stabil dan mudah
terhidrolisis. Oleh karena itu, pencampuran yang sempurna antara asam sulfonat dan aliran basa
dibutuhkan dalam proses netralisasi untuk mencegah lokalisasi kenaikan pH dan temperatur yang
dapat mengakibatkan reaksi hidrolisis yang berlebih. Neutralizer beroperasi secara kontinu,
mempertahankan komposisi dan pH dari pasta secara otomatis.
4) Tahap Pengeringan
Selanjutnya, pasta netral MES dilewatkan ke dalam sistem TurboTubeTM
Dryer dimana
metanol dan air proses yang berlebih dipisahkan untuk menghasilkan pasta terkonsentrasi atau
produk granula kering MES, dimana produk ini tergantung pada berat molekul MES dan target aplikasi
produk. Langkah akhir adalah merumuskan dan menyiapkan produk MES dalam komposisi akhir, baik
itu dalam bentuk cair, batangan semi-padat atau granula padat, dengan menggunakan teknologi yang
tepat.
9
MANFAAT INDUSTRI TERKAIT Konversi minyak kelapa sawit menjadi surfaktan yang merupakan pengembanganan produk ke
arah hilir akan meningkatkan nilai tambah produk kelapa sawit. Pengembangan agroindustri yang lebih
berorientasi ke arah hilir merupakan strategi yang harus dilaksanakan untuk beberapa jenis komoditas
perkebunan yang berpotensi untuk dikembangkan menjadi produk hilir yang berorientasi ekspor (Suprihatini
et al., 2004). Keluaran dari pembangunan agroindustri adalah perolehan nilai tambah yang signifikan atas
input teknologi yang diberikan. Semakin canggih teknologi yang digunakan untuk melakukan diversifikasi
produk dari bahan baku, maka semakin tinggi pula nilai tambah produk diversifikasi tersebut serta memiliki
harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan harga komoditas awalnya (Gumbira Sa’id, 2001). Hambali
et al. (2004) penyatakan bahwa surfaktan memiliki nilai tambah hampir delapan kali lipat bila
dibandingkan dengan minyak sawit mentah (CPO dan PKO).
KESIMPULAN Penelitian mengenai penggunaan surfaktan yang merupakan turunan minyak bumi untuk proses
recovery minyak bumi telah banyak dilakukan, sedangkan penelitian mengenai penggunaan surfaktan
yang berasal dari sumber terbarukan untuk proses recovery minyak bumi masih jarang dilakukan. Apabila
surfaktan dari sumber yang berbeda tersebut dapat dikombinasikan dengan baik maka akan diperoleh
suatu formula yang persediaannya terjamin dan berkualitas.
REFERENSI Purwanto, Slamet. 2006. Penggunaan Surfaktan Metil Ester Sulfonat Dalam Formula Agen Pendesak Minyak
Bumi. Fakultas Teknologi Pertanian: Institut Pertanian Bogor, Indonesia
http://sbrc.ipb.ac.id/id/tentangkami/tentangsbrc
http://lppm.ipb.ac.id/index.php?option=com_content&view=article&id=64:surfactant-and-bioenergy-
research-center-sbrc-&catid=37:pusat-pusat-yang-dikoordinir-oleh-lppm-ipb-&Itemid=56
http://majarimagazine.com/2008/05/produksi-metil-ester-sulfonat-untuk-surfaktan/