tugas ppd kelompok
TRANSCRIPT
Kata pengantar
Segala puji bagi Tuhan yang telah menolong hamba-Nya menyelesaikan makalah ini
dengan penuh kemudahan. Tanpa pertolongan Dia mungkin penyusun tidak akan sanggup
menyelesaikan dengan baik.
Makalah ini memuat tentang “Karakteristik Perkembangan Kognitif dan bahasa masa
remaja serta implikasinya dalam pendidikan”. Walaupun makalah ini mungkin kurang
sempurna tapi juga memiliki detail yang cukup jelas bagi pembaca.
Penyusun juga mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah perkembangan
peserta didik yang telah membimbing penyusun agar dapat mengerti tentang bagaimana cara
kami menyusun makalah yang baik.
Semoga makalah ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca.
Walaupun makalah ini memiliki kelebihan dan kekurangan. Penyusun mohon untuk saran
dan kritiknya. Terima kasih.
Bandung, Maret 2010
Penyusun
1. PERKEMBANGAN KOGNITIF (Intelektual)
Ditinjau dari perkembangan kognitif menurut piaget, masa remaja sudah mencapai
tahap operasi normal (operasi = kegiatan – kegiatan mental tentang berbagai gagasan).
Remaja, secara mental telah dapat berpikir logis tentang bebagai gagasan yang abstrak.
Dengan kata lain berpikir operasi formal lebih bersifat hipotetis dan abstrak, serta sistematik
dan ilmiah dalam memecahkan masalah daripada berpikir kongkret.
Sementara, proses pertumbuhan otak mencapai kesempurnaannya dari mulai usia 12-20
tahun. Pada usia 16 tahun, berat otak sudah menyamai orang dewasa. System syarap yang
memperoses informassi perkembangan secara tepat pada usia ini. Pada masa remaja terjadi
reorganisasi lingkaran syaraf lobe formal yang berfungsi sebagai kegiatan kognitif tingkat
tinggi, yaitu kemampuan merumuskan merencanakan strategi, atau mengambil keputusan.
Lobe Frontal ini terus berkembang sampai usia 20 tahun atau lebih. Perkembangan Lobe
Formal ini sangat mempengaruhi kepada kemampuan intelektual remaja., seperti pada usia
12 tahun, walaupun secara intelektual remaja itu termasuk anak berbakat atau pintar,
namun belum bijaksana. Maksutnya, remaja tersebut mampu memecahkan masalah secara
benar, tetapi tidak terampil seperti remaja yang lebih tua usianya yang menunjukan
wawasan atau perspektif yang luas terhadap masalah tersebut (Sigelman & Shaffer, 1995).
Pada periode konkret, anak mungkin mengartikan system keadilan dikaitkan dengan
polisi atau hakim, sedangkan remaja mungkin mengartikan secara abstrak, yaitu sebagai
suatu aspek kepedulian pemerintah terhadap hak-hak warga masyarakat yang mempunyai
interes yang beragam (Sigelman & Shaffer, 1995).
Keating (Adam & Gullotta, 1983: 143) merumuskan lima hal pokok yang berkaitan
dengan perkembangan berpikir operasi formal, yaitu sebagai berikut.
1. Berlainan dengan cara berpikir anak-anak, yang tekanannya kepada kesadarannya
sendiri di sini dan sekarang (here-and-now), cara berpikir remaja berkaitan berat dengan
dunia kemungkinan (word of possibilities). Remaja sudah mampu mengguanakan
abstraksi-abstraksi dan dapat membedakan antara yang nyata dan kongkret dengan
yang abstrak dan mungkin.
2. Melalui kemampuan untuk menguji hipotesis, muncul kemampuan secara ilmiah.
3. Remaja dapat memikirkan tentang masa depan dengan membuat perencanaan dan
mengeksplorasi kemungkinan untuk mencapainya.
4. Remaja meyadari tentang aktivitas kognitif dan mekanisme yang membuat proses
kognitif itu efesien atau tidak, serta menghabiskan waktunya untuk mempertimbangkan
pengaturan kognitif internal tentang bagaimana dan apa yang harus dipikirkannya.
Dengan demikian, intropeksi (pengujian diri) menjadi bagian kehidupannya sehari – hari.
5. Berpikir operasi formal memungkinkan terbukanya topik-topik baru, dan ekspansi
(perluasan) berpikir. Horizon berpikirnya semakin meluas, bisa meliputi aspek agama,
keadilan, moralitas, dan identitas.
Berzonsky (Adam & Gullota, 1983: 144) mengajukan model cabang-cabang yang
membangun berpikir operasi formal. Menurut dia, berpikir formal itu memiliki dua isi yang
khusus, yaitu (1) pengetahuan estetika: yang bersumber dari pengalaman main musik,
membaca literature atau seni; dan (2) pengetahuan personal: yang bersumber dari
hubungan interpersonal dan pengalaman-pengalaman konkret. Lebih lanjut, kemmampuan
mengaplikasikan operasi formal tidah hanya berkaitan dengan pengalaman belajar khusus,
tetapi juga denagan (1) tingkah laku nonverbal: sikap, motif, atau kenginan, (2) simbolik:
simbol-simbol tertulis, (3) semantik: gagasan dan makna, dan (4) figural: representasi visual
dari objek-objek konkret.
Implikasi pendidikan atau bimbingan dari periode berpikir operasi formal ini, adalah
perlunya dipersiapkan program pedidikan atau bimbingan yang memfasilitasi
perkembangan kemampuan berpikir siswa (remaja). Upaya yang dapat dilakukan, seperti (1)
penggunaan metode pengajaran yang mendorong anak untuk aktif bertanya,
mengemukakan gagasan atau mengujicobakan suatu materi; dan (2) melakukan dialog,
diskusi atau curah pendapat (brain storming) dengan siswa, tentang masalah sosial, atau
berbagai aspek kehidupan, seperti agama, etika pergaulan dan pacaran, politik, lingkungan
hidup, bahayanya minuman keras dan obat-obat terlarang.
Ditinjau dari segi pendidikan khususnya dalam segi pembelajaran, yang
penting adalah bahwa potensi setiap peserta didik (termasuk kemampuan
intelektualnya) harus dipupuk dan dikembangkan. Untuk itu sangat diperlukan
kondisi-kondisi lingkungan yang memungkinkan berkembangnya kemampuan intelektual
tersebut. Conny Semiawan (1994) mengemukakan bahwa dua buah kondisi yaitu
keamanan psikologis dan kebebasan psikologis. Peserta didik akan merasa aman
secara psikologis apabila:
1.Pendidik dapat menerima peserta didik sebagaimana adanya tanpa syarat dengan segala
kekuatan dan kelemahannnya serta memberi kepercayaan padanya bahwa ia baik dan
mampu.
2.Pendidik mengusahakan suasana dimana peserta didik tidak merasa dinilai oleh orang lain.
3.Pendidik memberi pengertian dalam arti dapat memahami pemikiran, perasaan dan perilaku
peserta didik, dapat menempatkan diri dalam situasi anak, dan melihat dari sudut
pandang anak.
Teorri Pieget mengenai perkembangan kognitif, sangat erat dan penting
hubungannya dengan umur serta perkembangan moral. Konsep tersebut menunjukan
bahwa aktifitas adalah sebagai unsur pokok dalam perkembangan kognitif.
Pengalaman belajar yang aktif cenderung untuk memajukan perkembangan kognitif,
sedangkan pengalaman belajar yang pasif dan hanya menikmati pengalaman orang
laian saja akan mempunyai konsekuensi yang minimal terhadap perkembangan
kognitif termasuk didalamnya perkembangan intelektual.
Model Pendidikan yang aktif adalah model yang tidak menunggu sampai
peserta didik siap sendiri. Tetapi sekolahlah yang mengatur lingkungan belajar
sedemikan rupa sehingga dapat memberi kemungkinan maksimal pada peserta didik
untuk berinteraksi. Dengan lingkungan yang penuh rangsangan untuk belajar
tersebut, proses pembelajaran yang aktif akan terjadi sehingga mampu membawa
peserta didik utuk maju ke taraf/tahap berikutnya. Dalam hal ini pendidik
handaknya menyadari benar-benar bahwa perkembangan intelektual anak berada
ditangannya. Beberapa cara yang dapat dilakukan antara lain:
1.Menciptakan
interksi atau hubungan yang akrab dengan peserta didik.
2.Memberi
kesempatan kepada para peserta didik untuk berdialog dengan orang-orang yang
ahli dan berpengalaman dalam berbagai bidang ilmu pengetahuan akan sangat
menunjang perkembangan intelaktual anak.
3.Menjaga
Dan meningkatkan pertumbuhan fisik peserta didik baik mlalui kegiatan olah raga
maupun menyediakan gizi yang cukup, sangat penting bagi perkembangan berfikir
peserta didik.
4.Meningkatkan
kemampuan berbahasa peserta didik baik melalui mass-media cetak maupun
menyediakan situasi yang memungkinkan peserta didik berpendapat atau
mengemukakan ide-idenya, sengat besar pengaruhnya bagi perkembangan intelektual
peserta didik.
Masalah Pekembangan Kognitif
Perkembangan kognitif remaja, dalam pandangan Jean Piaget
(seorang ahli perkembangan kognitif) merupakan periode terakhir dan
tertinggi dalam tahap pertumbuhan operasi formal (period of formal
operations).
Pada periode ini, idealnya para remaja sudah memiliki pola pikir sendiri
dalam usaha memecahkan masalah-masalah yang kompleks dan abstrak.
Kemampuan berpikir para remaja berkembang sedemikian rupa sehingga
mereka dengan mudah dapat membayangkan banyak alternatif pemecahan
masalah beserta kemungkinan akibat atau hasilnya. Kapasitas berpikir
secara logis dan abstrak mereka berkembang sehingga mereka mampu
berpikir multi-dimensi
seperti ilmuwan. Para remaja tidak lagi menerima informasi apa adanya,
tetapi mereka akan memproses informasi itu serta mengadaptasikannya
dengan pemikiran mereka sendiri. Mereka juga mampu mengintegrasikan
pengalaman masa lalu dan sekarang untuk ditransformasikan menjadi
konklusi, prediksi, dan rencana untuk masa depan. Dengan kemampuan
operasional formal ini, para remaja mampu mengadaptasikan diri dengan
lingkungan sekitar mereka.
Pada kenyataan, di negara-negara berkembang (termasuk Indonesia)
masih sangat banyak remaja (bahkan orang dewasa) yang belum mampu
sepenuhnya mencapai tahap perkembangan kognitif operasional formal ini.
Sebagian masih tertinggal pada tahap perkembangan sebelumnya, yaitu
operasional konkrit, dimana pola pikir yang digunakan masih sangat
sederhana dan belum mampu melihat masalah dari berbagai dimensi. Hal ini
bisa saja diakibatkan sistem pendidikan di Indonesia yang tidak banyak
menggunakan metode belajarmengajar satu arah (ceramah) dan kurangnya
perhatian pada pengembangan cara berpikir anak. penyebab lainnya bisa
juga diakibatkan oleh pola asuh orangtua yang cenderung masih
memperlakukan remaja sebagai anak-anak, sehingga anak tidak memiliki
keleluasan dalam memenuhi tugas perkembangan sesuai dengan usia dan
mentalnya.
Semestinya, seorang remaja sudah harus mampu mencapai tahap
pemikiran abstrak supaya saat mereka lulus sekolah menengah, sudah
terbiasa berpikir kritis dan mampu untuk menganalisis masalah dan mencari
solusi terbaik.
Perkembangan emosi peserta didik sengat erat kaitannya dengan
factor-faktor: perubahan jasmani, perubahan dalam hubungannya dengan orang tua,
perubahan dalam hubungannya dalam teman-teman, perubahan pandangan luar (dunia
luar) dan perubahan dalam hubungannya dengan sekolah. Oleh karena itu perbedaan
individual dalam perkembangan emosi sangat dimungkinkan terjadi, bahkan
diramalkan pasti dapat terjadi.
Dalam rangka menghadapi luapan emosi remaja, sebaiknya ditangani dengan
sikap yang tenang dan santai. Orang tua dan pendidik harus bersikap tenang,
bersuasana hati baik dan penuh pengertian. Orang tua dan pendidik sedapat
mungkin tidak memperlihatkan kegelisahannya maupun ikut terbawa emosinya dalam
menghadapi emosi remaja.
Dengan singkat dapat dikatakan bahwa untuk mengurangi luapan emosi peserta didik
perlu dihindari larangan yang tidak terlalu penting. Mengurangi pembatasan dan
tututan terhadap remaja harus disesuaikan dengan kemampuan mereka. Sebaiknya
memberi tugas yang dapat diselesaikan dan jangan memberi tugas dan peraturan
yang tidak mungkin di lakukan.
Berbeda dengan kemampuan yang menunjuk pada suatu “performance” yang
dapat dilakukan sekarang, bakat sebagai potensi masih memerlukan latihan dan
pendidikan agar “suatu performance” dapat dilakukan pada masa yang akan datang
(Semiawan, 1987; Munandar, 1992). Hal ini memberikan pemahaman bahwa bakat
khusus sebagai “potential ability” untuk dapat terwujud sebagai “performance”
atau perilaku yang nyata dalam bentuk suatu prestasi yang menonjol masih
memerlukan latihan dan pengembangan lebih lanjut.
Dalam kaitan ini untuk menunjang perkembangan bakat umum maupun bakat
khusus terlebih supaya mencapai titik optimal di kalangan peserta didik usia
sekolah menengah perlu dilakukan langkah-langkah antara lain:
1.Dikembangkan suatu situasi dan kondisi yang memberikan kesempatan bagi peserta didik
untuk mengembangkan bakat-bakatnya, dengan selalu mengusahakan adanya dukungan
psikologis maupun fisiologis.
2.Dilakukan usaha menumbuh kembangkan minat dan motivasi berprestasi yang tinggi serta
kegigihan dalam melakukanusaha dikalangan anak dan remaja, baik dalam lingkungan
keluarga, sekolah, maupun masyarakat oleh semua pihak yang terkait secara
terpadu.
3. Dikembangkannya program pendidikan berdiferensi di lingkungan lembaga pendidikan
formal (sekolah) guna memberikan pelayanan secara lebih efektif kepada peserta
didik yang memiliki bakat khusus menojol.
Tiga tingkatan kemampuan peserta didik sebagaimana dikemukakan di atas tentunya
akan sangat mempengaruhi aktivitas komunikasi dua arah antara pendidik dengan
peserta didik. Persoalannya adalah bagaimana untuk menjadi pendidik yang
memiliki kemampuan berkomunikasi yang baik ? Beberapa hal dibawah ini dapat
digunakan sebagai acuan oleh orang-orang yang berkecimpung dalam dunia
pendidikan .
1.Memberi penjelasan
Dalam menyampaikan informasi kepada peserta didik (yang berkaitan dengan
iptek), hendaknya:
a.Menentukan hal-hal pokoknya dan hubungannya satu sama lainnya.
b.Memberi penjelasan yang meyakinkan artinya menerangkan hal-hal yang benar dan
menghindari penjelasan yang salah baik disengaja maupun tidak.
c.Memberi penjelasan secara gamblang dan sederhana sehingga sehingga semua peserta
didik dapat menangkapnya dengan baik.
d.Menghindari berbicara dengan bahasa yang muluk, dan mengusahakan berbicara
dengan bahasa yang mudah dimengerti oleh peserta didik.
e.Menghindari penggunaan kata-kata yang tidak jelas, tidak pasti dan tidak tegas.
f.Memeriksa kembali penjelasan apakah semua peserta didik telah mengerti terhadap
informasi yang disampaikannya.
2.Mengajukan pertanyaan
Pertanyaan yang diajukan oleh pengajar dapat digolongkan dalam dua jenis,
yaitu pertanyaan “tingkat tinggi” dan pertanyaan “tingkat rendah”. Pertanyaan
tingkat tinggi adalah pertanyaan yang menuntut pemikiran abstrak, sedangkan
pertanyaan tingkat rendah adalah pertanyaan yang menyangkut fakta, pengetahuan
sederhana, dan penerapan pengertian.
Hal yang perlu diusahakan oleh pendidik dalam kaitannya dengan kegiatan
ini adalah :
a.Mengulangi pertanyaan yang diajukan oleh peserta didik dengan maksud agar peserta
didik yang lain mengetahui secara jelas masalah yang ditanyakan.
b.Menempatkan pertanyaan peserta didik dalam konteks keseluruhan bahan pelajaran.
c.Merangsang peserta didik agar mau mengajukan pertanyaan.
d.Merespon pertanyaan dengan baik.
3.Memberikan Umpan Balik
Dengan umpan balik akan diketahui apakah komunikasi dua arah sudah
tercapai dengan baik atau belum. Umpan balik ini berlaku baik dari pengajar
kepada peserta didik atau sebaliknya.