tugas penyerapan karbon
TRANSCRIPT
PENYERAPAN KARBON PADA TUMBUHAN TINGKAT TINGGI DAN RENDAH
KONSERVASI SUMBERDAYA HAYATI PERAIRAN
OLEH
RIYADINIM. 1123205013
UNIVERSITAS SAM RATULANGIPROGRAM PASCA SARJANA
PROGRAM STUDI ILMU PERAIRAN2012
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Saat ini pemanasan global telah berada pada tingkat yang semakin mengkhawatirkan
hingga diperlukan langkah-langkah untuk mencegah dan menguranginya. Salah satu cara
yang paling efektif adalah dengan menanam lebih banyak pohon dan melindungi hutan.
Pohon dan tetumbuhan lainnya menyerap karbon dioksida selama proses fotosintesis. Proses
ini mampu mengurangi gas rumah kaca yang paling melimpah di atmosfer tersebut dan
menyimpannya di dalam jaringan kayu.
Suatu riset terbaru yang dipimpin oleh Jerry Melillo dari Marine Biological Laboratory
(MBL) selama 7 tahun memperlihatkan bahwa pemanasan global dapat mempengaruhi
kapasitas penyimpanan karbon dari pohon. Studi ini dilakukan di hutan Harvard tengah kota
Massachussets dengan luas sekitar seperempat acre (sekitar 1000 m2). Hutan ini dihangatkan
secara buatan sekitar 9°F di atas suhu normal untuk mensimulasikan keadaan pemanasan
global dan respon tumbuhan terhadap kondisi tersebut.
Studi sebelumnya menjelaskan bahwa naiknya temperatur tanah dapat meningkatkan
dekomposisi materi organik tanah sehingga pelepasan karbon dioksida juga meningkat.
Tetapi studi ini juga menunjukkan bahwa temperatur yang lebih hangat menstimulasi
tumbuhan untuk menyerap lebih banyak karbon sebagai jaringan kayu. Hal tersebut
dipengaruhi oleh senyawa nitrogen yang terbentuk saat temperatur tanah meningkat.
Sebagian besar hutan di daerah subtropis hingga sedang, seperti di daerah Amerika Utara,
Eropa, dan Eurasia kekurangan senyawa nitrogen untuk tumbuh kembangnya. Sehingga
dengan meningkatnya senyawa nitrogen yang diserap tumbuhan dapat mempercepat
pertumbuhannya.
Pemanasan pada tanah membuat senyawa nitrogen yang terdapat pada materi organik
tanah terlepas sebagai senyawa nitrogen anorganik seperti ammonium. Ammonium
merupakan komponen utama yang terdapat pada pupuk buatan. Ketika tumbuhan menyerap
senyawa nitrogen anorganik ini pertumbuhannya akan semakin cepat dan mampu menyerap
lebih banyak karbon.
Proses biologis yang menghubungkan pemanasan tanah, meningkatnya penguraian
materi organik, peningkatan senyawa nitrogen, dan peningkatan pertumbuhan pohon terlihat
berhubungan erat untuk hutan daerah subtropis. Namun hasil studi ini kurang relevan
diterapkan untuk hutan tropis karena studi ini dilakukan di daerah hutan subtropis yang
kekurangan nitrogen. Sementara hutan tropis melimpah akan senyawa-senyawa nitrogen.
1.2 Tujuan
Tujuan penulisan ini adalah untuk mengetahui tingkat penyerapan karbon pada
beberapa tumbuh-tumbuhan tingkat tinggi dan rendah
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Karbon Trading
Kalau kita berbicara tentang carbon trading makan tidak lepas dari ketentuan dari
Protokol Kyoto yang merupakan sebuah amandemen terhadap Konvensi Rangka Kerja PBB
tentang Perubahan Iklim (UNFCCC), secara garis besar berisi tentang persetujuan
internasional mengenai pemanasan global. Negara-negara yang meratifikasi protokol ini
berkomitmen untuk mengurangi emisi/pengeluaran karbon dioksida dan lima gas rumah kaca
lainnya, atau bekerja sama dalam perdagangan emisi jika mereka menjaga jumlah atau
menambah emisi gas-gas tersebut, yang telah dikaitkan dengan pemanasan global.
Bahwa di mana negara-negara perindustrian akan mengurangi emisi gas rumah kaca
mereka secara kolektif sebesar 5,2% dibandingkan dengan tahun 1990 (namun yang perlu
diperhatikan adalah, jika dibandingkan dengan perkiraan jumlah emisi pada tahun 2010 tanpa
Protokol, target ini berarti pengurangan sebesar 29%). Tujuannya adalah untuk mengurangi
rata-rata emisi dari enam gas rumah kaca - karbon dioksida, metan, nitrous oxide, sulfur
heksafluorida, HFC, dan PFC - yang dihitung sebagai rata-rata selama masa lima tahun antara
2008-12. Target nasional berkisar dari pengurangan 8% untuk Uni Eropa, 7% untuk AS, 6%
untuk Jepang, 0% untuk Rusia, dan penambahan yang diizinkan sebesar 8% untuk Australia
dan 10% untuk Islandia.
Ada dua jenis perdagangan karbon. Pertama adalah perdagangan emisi (emission
trading). Yang kedua adalah perdagangan kredit berbasis proyek (trading in project based
credit). Ilustrasi perdagangan emisi adalah bila Seandainya anda memiliki 2 perusahaan, A
dan B. Masing-masing mengeluarkan emisi karbondioksida 100.000 ton tiap tahun.
Pemerintah ingin perusahaan-perusahaan menurunkan emisinya hingga 5 persen. Masing-
masing perusahaan memiliki hak atau diperbolehkan untuk mengemisi 95,000 ton tahun ini.
Setiap perusahaan harus mengurangi emisi 5000 ton atau membeli hak mengemisi sebesar
5000 ton dari perusahan/orang lain.
Ilustrasi Perdagangan kredit berbasis proyek adalah bila Seandainya 2 perusahaan yang
sama, A dan B, masing-masing mengemisi 100,000 ton karbondioksida per tahun. Lagi-lagi,
pemerintah ingin agar mereka mengurangi emisi hingga 5 persen, jadi masing-masing
perusahaan dibolehkan membuang karbondioksida sebesar 95,000 ton.Tetapi sekarang,
pemerintah mengatakan pada masing-masing perusahaan bahwa jika mereka tidak ingin
mengurangi emisinya 5000 ton pertahun, mereka memiliki pilihan lain. Mereka dapat
melakukan investasi di luar negeri pada proyek-proyek yang dapat mereduksi karbon hingga
5000 ton atau hingga 5000 ton. Proyek-proyek tersebut dapat berupa menanam tanaman yang
dapat memproduksi biofuel yang dapat digunakan sebagai pengganti minyak; memasang
mesin pada sebuah perusahaan kimia untuk menghancurkan gas rumah kaca; membakar
metan yang keluar dari tambang batu bara atau dari pembuangan sampah, sehingga gas metan
ini tidak terlepas ke atmosfer; atau membangun sebuah pembangkit listrik tenaga angin.
Harga kredit dari masing-masing proyek adalah 4$ karena rendahnya biaya buruh, asumsi
perusahaan kotor, dan subsidi pemerintah maupun Bank Dunia yang menutupi sebagain dari
biaya pengembangan proyek dan perhitungan berapa karbon ekuivalen yang dapat disimpan.
Karena Indonesia masih memiliki cadangan hutan yang relatif cukup besar yang dikenal
sebagai “paru-paru dunia” karena masuk dalam hutan tropis, dimana secara fisika dalam
proses fotosintesis hutan menghasilkan O2 dan menyerap CO2, merupakan siklus penting bagi
kelangsungan seluruh makhluk hidup di dunia. Fungsi hutan disini sebagai penyerap buangan
atau emisi yang dikeluarkan dari aktifitas maskhluk hidup secara keseluruhan yakni CO2,
sehingga keseimbangan dapat terjaga.
Maka sebenarnya Indonesia masuk didalam Mekanisme perdagangan karbon berkaitan
dengan hutan adalah negara-negara industri dan negara-negara penghasil polutan terbesar
diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara membayar negara-negara
berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki sehingga terjadi
“sequestration” (penyimpanan sejumlah besar karbon). Indonesia dengan luasan hutan yang
cukup besar, dengan adanya kompensasi perdagangan karbon, tentunya merupakan peluang
besar untuk menambah pemasukan, guna kegiatan pembangunan, yang tentunya tidak
terlepas dari persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh negara-negara yang membeli
sertifikat perdagangan karbon dari Indonesia.
Memang saat ini kita masih relative susah dalam perdagangan karbon ini banyak hal
yang menjadi factor kendala bagi terealisasinya salah satu sebab adalah masih maraknya
illegal loging dewasa ini dan lemahnya penegakan hukum di Indonesia tetapi secara seporadis
wilayah hutan kita sudah ada yang reduksi karbonnya dijual semisal aktivitas perdagangan
karbon telah dilakukan di Wana Riset Semboja (kalimantan), kerjasama Gibon Indonesia dan
BOS (Balikpapan Orang Utan Survive Foundation), dimana terdapat areal hutan seluas 100
ha, yang telah disertifikasi dan dijual ke Jerman dengan harga USD 5 /ton. Jumlah karbon per
hektar adalah 25 ton. Kompensasi yang dihasilkan pertahun adalah kurang lebih Rp.
125.000.000,-/tahun. Jika dikaji secara ekonomis, maka ini cukup besar, apalagi dengan
luasan hutan Indonesia yang 91 juta hektar, bisa dibayangkan berapa pendapatan yang
dihasilkan dari penjualan karbon ini.
2.2. Fotosintesis pada tumbuhan tingkat tinggi
Tumbuhan terutama tumbuhan tingkat tinggi, untuk memperoleh makanan sebagai
kebutuhan pokoknya agar tetap bertahan hidup, tumbuhan tersebut harus melakukan suatu
proses yang dinamakan proses sintesis karbohidrat yang terjadi dibagian daun satu tumbuhan
yang memiliki klorofil, dengan menggunakan cahaya matahari. Cahaya matahari merupakan
sumber energi yang diperlukan tumbuhan untuk proses tersebut. Tanpa adanya cahaya
matahari tumbuhan tidak akan mampu melakukan proses fotosintesis, hal ini disebabkan
klorofil yang berada di dalam daun tidak dapat menggunakan cahaya matahari karena
kloropil hanya akan berfungsi bila ada cahaya matahari (Dwidjoseputro, 1986)
Karbohidrat merupakan senyawa karbon yang terdapat di alam sebagai molekul yang
kompleks dan besar. Karbohidrat sangat beraneka ragam contohnya seperti sukrosa,
monosakarida, dan polisakarida. Monosakarida adalah karbohidrat yang paling sederhana.
Monosakarida dapat diikat secara bersama-sama untuk membentuk dimer, trimer dan lain-
lain. Dimer merupakan gabungan antara dua monosakarida dan trimer terdiri dari tiga
monosakarida (Kimball, 2002).
Fotosintesis berasal dari kata foton yang berarti cahaya dan sintesis yang berarti
penyusunan. Jadi fotosintesis adalah proses penyusunan dari zat organik H2O dan CO2
menjadi senyawa organik yang kompleks yang memerlukan cahaya. Fotosintesis hanya dapat
terjadi pada tumbuhan yang mempunyai klorofil, yaitu pigmen yang berfungsi sebagai
penangkap energi cahaya matahari (Kimball, 2002).
Energi foton yang digunakan untuk menggerakkan elektron melawanan gradient panas
di dalam fotosistem I dari sebuah agen dengan tenaga reduksi kuat, yang secara termodinamis
mampu mereduksi CO2 di dalam fotosistem II dari air dengan pelepasan O2, jika sebuah
molekul pigmen menyerap sebuah foton masuk ke dalam sebuah keadaan tereksitasi, karena
satu elektronnya pada keadaan dasar pindah ke orbit (Anwar, 1984).
Fotosintesis merupakan proses sintesis senyawa organik (glukosa) dari zat anorganik (CO2 dan
H2O) dengan bantuan energi cahaya matahari. Dalam proses ini energi radiasi diubah menjadi energi
kimia dalam bentuk ATP dan NADPH + H yang selanjutnya akan digunakan untuk mereduksi CO2
menjadi glukosa. Maka persamaan reaksinya dapat dituliskan :
Kloropil
6CO2 + 6H2O → C6H12O6 + 6O2 + Energi
Sinar matahari
Tergantung pada bahan yang digunakan, maka jumlah mol Co2 yang dilepaskan dan jumlah mol O2
yang diperlukan tidak selalu sama. Persamaan reaksi kimia respirasi merupakan kebalikan dari reaksi
kimia fotosintesis (Syamsuri, 2000).
2.3 Karbon hutan
Biomassa hutan sangat relevan dengan isu perubahan iklim. Biomasa
hutan berperan penting dalam siklus biogeokimia terutama dalam siklus
karbon. Dari keseluruhan karbon hutan, sekitar 50% diantaranya
terseimpan dalam vegetasi hutan. Sebagai konsekuensi, jika terjadi
kerusakan hutan, kebakaran, pembalakan dan sebagainya akan
menambah jumlah karbon di atmosfer.
Dinamika karbon di alam dapat dijelaskan secara sederhana dengan
siklus karbon. Siklus karbon adalah siklus biogeokimia yang mencakup
pertukaran /perpindahan karbon diantara biosfer, pedosfer, geosfer,
hidrosfer dan atmosfer bumi. Siklus karbon sesungguhnya merupakan
suatu proses yang rumit dan setiap proses saling mempengaruhi proses
lainnya.
Gambar 1. Gambar siklus karbon yang disederhanakan.
Hutan, tanah laut dan atmosfer semuanya menyimpan karbon yang
berpindah secara dinamis diantara tempat-tempat penyimpanan tersebut
sepanjang waktu.
Tempat penyimpanan ini disebut dengan kantong karbon aktif (active
carbon pool). Penggundulan hutan akan mengubah kesetimbangan carbon
dengan meningkatkan jumlah karbon yang berada di atmosfer dan
mengurangi karbon yang tersimpan di hutan, tetapi hal ini tidak
menambah jumlah keseluruhan karbon yang berinteraksi dengan
atmosfer.
Simpanan karbon lain yang penting adalah deposit bahan bakar fosil.
Simpanan karbon ini tersimpan jauh di dalam perut bumi dan secara alami
terpisah dari siklus karbon di atmosfer, kecuali jika simpanan tersebut di
ambil dan dilepaskan ke atmosfer ketika bahan-bahn tersebut dibakar.
Semua pelepasan karbon dari simpanan ini akan menambah karbon yang
berada di kantong karbon aktif (active carbon pool). Apa yang terjadi saat ini
selain kerusakan hutan, adalah begitu tingginya laju pembakaran bahan
bakar fosil sehingga jumlah karbon yang berada
di atmosfer meningkat dengan pesat.
Tumbuhan akan mengurangi karbon di atmosfer (CO2) melalui proses
fotosinthesis dan menyimpannya dalam jaringan tumbuhan. Sampai
waktunya karbon tersebut tersikluskan kembali ke atmosfer, karbon
tersebut akan menempati salah satu dari sejumlah kantong karbon.
Semua komponen penyusun vegetasi baik pohon, semak, liana dan epifit
merupakan bagian dari biomassa atas permukaan. Di bawah permukaan
tanah, akar tumbuhan juga merupakan penyimpan karbon selain tanah itu
sendiri. Pada tanah gambut, jumlah simpanan karbon mungkin lebih besar
dibandingkan dengan simpanan karbon yang ada di atas permukaan.
Karbon juga masih tersimpan pada bahan organic mati dan produk-produk
berbasis biomassa seperti produk kayu baik ketika masih dipergunakan
maupun sudah berada di tempat penimbunan. Carbon dapat tersimpan
dalam kantong karbon dalam periode yang lama atau hanya sebentar.
Peningkatan jumlah karbon yang tersimpan dalam karbon pool ini
mewakili jumlah carbon yang terserap dari atmosfer.
Dalam inventarisasi karbon hutan, carbon pool yang diperhitungkan
setidaknya ada 4 kantong karbon. Keempat kantong karbon tersebut
adalah biomassa atas permukaan, biomassa bawah permukaan, bahan
organic mati dan karbon organic tanah.
Biomassa atas permukaan adalah semua material hidup di atas permukaan.
Termasuk bagian dari kantong karbon ini adalah batang, tunggul,
cabang, kulit kayu, biji dan daun dari vegetasi baik dari strata pohon
maupun dari strata tumbuhan bawah di lantai hutan.
Biomassa bawah permukaan adalah semua biomassa dari akar tumbuhan
yang hidup. Pengertian akar ini berlaku hingga ukuran diameter
tertentu yang ditetapkan. Hal ini dilakukan sebab akar tumbuhan
dengan diameter yang lebih kecil dari ketentuan cenderung sulit untuk
dibedakan dengan bahan organic tanah dan serasah.
Bahan organic mati meliputi kayu mati dan serasah. Serasah dinyatakan
sebagai semua bahan organic mati dengan diameter yang lebih kecil
dari diameter yang telah ditetapkan dengan berbagai tingkat
dekomposisi yang terletak di permukaan tanah. Kayu mati adalah
semua bahan organic mati yang tidak tercakup dalam serasah baik
yang masih tegak maupun yang roboh di tanah, akar mati, dan tunggul
dengan diaeter lebih besar dari diameter yang telah ditetapkan.
Karbon organic tanah mencakup carbon pada tanah mineral dan tanah
organic termasuk gambut.
Tabel. 1 Total biomassa dan penyerapan karbon pohon-pohon di hutan
Karbon pool Total Biomassa(Ton/Ha)
C-org(%)
Total C-stock(Ton/Ha)
- PohonBagian atasDaunCabangBatangBagian bawahAkar
36.8263230.69506
2.353126.6469
21.695046.13126
6.13126
50 (est)50 (est)50 (est)50 (est)50 (est)50 (est)50 (est)
18.4131615.34753
1.176563.32345
10.847523.06563
3.06563Tumbuhan bawah 2.423879 50 (est) 1.21194Serasah 3.768549 50 (est) 1.870885Nekromash 22.63489 50 (est) 11.31744Soil0-5 cm (BD=1.106 gr/cm3)5-10 cm (BD=1.252 gr/cm3)10-20 cm (BD=1.286 gr/cm3)20-30 cm (BD=1.331 gr/cm3)30-50 cm (BD=1.345 gr/cm3)
2.4501.2120.8330.6670.593
56.72813.524
7.56910.694
8.92116.020
TOTAL 89.541425
2.4. Vegetasi Lamun Sebagai Blue Carbon Sink Di Laut
Perubahan iklim disebabkan karena meningkatnya kandungan gas rumah kaca dan
partikel di atmosfir. Pertama, disebabkan karena pembakaran bahan bakar fosil, pelepasan
gas rumah kaca seperti CO2, dikenal sebagai “brown carbon”, dan partikel debu, dikenal
sebagai “black carbon”. Kedua, disebabkan karena emisi yang berasal dari penebangan
vegetasi hutan, kebakaran hutan, dan emisi dari kegiatan pertanian (pupuk). Ketiga,
disebabkan karena pengurangan kemampuan ekosistem alami untuk menyerap karbon dalam
proses fotosintesis dan menyimpannya, dikenal sebagai “green carbon” (Trumper et al.,
2009).
Istilah baru dalam penyerapan karbon dikenal sebagai “blue carbon” yang
diperkenalkan sebagai penyerapan karbon yang dilakukan oleh lautan termasuk di dalamnya
organisme hidup. Diperkirakan blue carbon dapat menyerap sekitar 55% karbon yang berada
di atmosfer dan digunakan untuk proses fotosintesis. Siklus karbon di laut tersebut
penyerapannya didominasi oleh mikro, nano, dan pikoplankton, termasuk bakteria dan jamur.
Penyerapan karbon di lautan dunia tersimpan dalam bentuk sedimen yang berasal dari
mangrove, salt marshes, dan padang lamun. Blue carbon ini tersimpan sampai dengan jutaan
tahun dan lebih lama dibandingkan dengan hutan yang hanya tersimpan puluhan sampai
ratusan tahun karena mengalami pencucian. Walaupun biomas tumbuhan laut jika
dibandingkan dengan tumbuhan darat hanya sekitar 0,05%, tetapi siklus karbon yang terjadi
di laut jika dijumlahkan selama setahun hampir sama bahkan lebih dibandingkan dengan
tumbuhan darat. Sehingga hal ini menunjukkan efisiensi tumbuhan laut sebagai carbon sinks.
Aliran karbon dioksida (CO2) dari udara melewati muka air laut merupakan fungsi dari
kelarutan (solubility) CO2 di dalam air laut dan dikenal sebagai solubility pump. Jumlah CO2
terlarut di air laut adalah utamanya dipengaruhi oleh kondisi fisika-kimia (suhu air laut,
salinitas, total alkalinitas) dan proses biologi (produktivitas primer) yang terjadi di laut.
Melalui proses pertukaran gas, CO2 ditransfer dari udara ke laut dan berubah bentuk menjadi
dissolved inorganik carbon (DIC). Proses ini terjadi secara terus menerus karena laut tidak
jenuh oleh kandungan CO2 jika dibandingkan atmosfer. Proses ini sangat efisien terjadi di
wilayah dengan posisi lintang tinggi (temperate) karena kelarutan CO2 sangat efisien pada
kondisi suhu rendah. Pada proses seperti ini, CO2 di atmosfer dalam jumlah banyak akan
terlarut dan tersimpan sehingga tidak menjadi gas rumah kaca di atmosfer. Produktivitas
primer di laut sangat ditentukan oleh keberadaan CO2 untuk melakukan proses fotosintesis
utamanya oleh fitoplankton dan proses ini dikenal sebagai biological pump. Bersama dengan
solubility pump, proses biological pump akan berjalan dan mengendapkan karbon (carbon
sinks) di dasar laut.
Padang lamun sebagai vegetasi ekosistem pesisir bersama sama dengan mangrove dan
hutan di darat merupakan pusat keanekaragaman (hot spot) yang menyediakan fungsi penting
dan bernilai yaitu sebagai karbon sinks seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya. Akan
tetapi pengurangan luasan habitat pesisir empat kali lebih cepat dibandingkan dengan hutan
dan rata-rata pengurangannya juga mengalami peningkatan. Kondisi ini diduga disebabkan
karena masyarakat lebih banyak menerima informasi tentang keberadaan, keuntungan dan
fungsi hutan jika dibandingkan dengan vegetasi ekosistem pesisir. Kurangnya perhatian
masyarakat tentang vegetasi ekosistem pesisir bisa juga disebabkan karena masih berorientasi
darat dan tidak terlihatnya vegetasi pesisir ini secara kasat mata sehingga sepertinya tidak
berperan di dalam kehidupan. Perubahan pola pikir ini menjadi salah satu tanggung jawab di
dalam pemberdayaan masyarakat pesisir dan targetnya adalah bukan saja masyarakat pesisir
tetapi semua masyarakat Indonesia dan dunia.
Bagaimana dengan posisi Indonesia?sampai dengan saat ini masih ada ketidakpastian
mengenai peran laut sebagai karbon sink atau source. Untuk vegetasi dan fitoplankton di laut
adalah mutlak sebagai karbon sink karena proses fotosintesis oleh tumbuhan yang
membutuhkan CO2 dan kemudian terjadi pengendapan material tumbuhan yang gugur dan
tidak terpakai dalam jaring makanan. Tetapi untuk kehidupan lain di laut, seperti respirasi
organisme yang juga menghasilkan CO2 belum dilakukan penelitian secara intensif mengenai
ini di seluruh laut Indonesia. Selain itu adalah solubility pump di perairan Indonesia seperti
apa perannya.
Blue carbon sink di Indonesia dapat diawali dengan data dan informasi luasan vegetasi
pesisir dan densitas fitoplankton di berbagai lokasi laut Indonesia. Sampai dengan saat ini
terdapat ketidakpastian data mengenai luasan ekosistem mangrove, contohnya adalah data
luas penutupan mangrove di Indonesia yang dikeluarkan oleh Kehutanan berbeda dengan
data Bakosurtanal. Bagaimana dengan lamun?pendugaan luasan lamun sampai dengan saat
ini masih dengan menggunakan data citra dengan sistem informasi geografis. Data ini perlu
diperbaharui setiap saat dan secara terpadu dengan pengecekan lapangan agar keakuratannya
bisa dijamin. Data luasan ini dibutuhkan di dalam pendugaan seberapa banyak karbon yang
diendapkan di dasar lautan Indonesia. Demikian juga dengan peran estuari dan kontinental
shelf sehingga data secara total dapat diketahui. Sebagai contoh area yang berperan sebagai
blue carbon sink secara global disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Perkiraan rata-rata area yang potensi sebagai blue carbon sink dan karbon organik yang mengendap per tahun
Komponen AreaJuta km2
Pengendapan Karbon OrganikTon C ha-1y-1 TgCy-1
Vegetasi Mangrove Salt marsh LamunTotal
0.170.400.330.90
1.391.510.831.23
17.0-23.6 (57)60.0-70 (190)27.4-44 (82)
114-131 (329)Keterangan : T = Tera (1012), sumber UNEP (2009)
Blue carbon sink adalah murni autotrop yang berarti bahwa ekosistem yang berperan
sebagai blue carbon menfiksasi CO2 sebagai bahan organik hasil fotosintesis sebagai ekses
dari CO2 dalam proses respirasi yang dilakukan oleh biota. Kondisi ini sangat nyata terjadi
pada ekosistem lamun, yaitu akumulasi material sedimen terjadi di permukaan dan
membentuk lapisan sampai mencapai beberapa meter di dasar perairan. Sebagai konsekuensi
dari kapasitas vegetasi pesisir untuk mengakumulasi material di dasar perairan yaitu dengan
bertindak sebagai carbon sink, dan secara global bertanggung jawab terhadap sekitar 120-329
TgCy-1, dan merupakan hitungan rata-rata terendah dari pendugaan karbon yang tertimbun di
sedimen dasar laut (Tabel 1). Dan blue carbon memiliki peran utama pada siklus karbon di
lautan. Kapasitas karbon yang mengendap dan berasal dari vegetasi laut mencapai 180 kali
lebih besar dibandingkan dengan rata-rata kecepatan pengendapan di laut dalam.
Pengendapan karbon di laut mencapai sekitar 10% dari kapasitas yang ada dan
berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti mencapai 2.000TgCy-1
(Sarmiento and Gruber, 2002). Karbon ini merupakan karbon yang berasal dari atmosfer yang
terlarut di laut dan disimpan dalam bentuk DIC (dissolved inorganic carbon). Blue carbon
sink memberikan kontribusi sebesar 50% dari total pengendapan karbon organik di lautan.
Beberapa tumbuhan laut yang hidup pada substrat berbatu tidak dapat mengendapkan karbon
karena kondisi substrat yang tidak memungkinkan contohnya adalah makroalga yng tumbuh
pada karang, Halimeda sp.
Bagaimana peran karbon laut pada siklus global?kondisi tersebut dijelaskan pada Tabel 2.
Tabel 2 menampilkan peran laut sebagai penyerap karbon dan mencapai 2.200 Tg Cy-1 karbon yang dapat dilarutkan di laut, tetapi yang tersimpan hanya yang berbentuk sedimen dan dikenal sebagai blue carbon yang
berasal dari vegetasi laut1980s (Tg Cy-1) 1990 (Tg Cy-1) 2000-2005 (Tg Cy-1)
Emisi fossil fuelAtmosferLautanDaratanPerubahan penggunaan lahanResidu Daratan
5.200-2.900-1.900
-4001.500
-1.900
6.400-3.200-2.200
-1001.600
-2.600
7.200-4.200-2.200
-8001.500
-2.300Sumber : UNEP (2009)
2.5. Pengukuran Karbon
Beberapa tumbuhan laut melakukan serapan karbon. Sebagai contoh adalah penelitian tingkat
serapan karbon pada beberapa jenis rumput laut Kappaphycus spp meliputi :
1. Menghitung berat basah (standing stock)
2. Menghitung biomas
3. Menghitung kandungan karbon
Proses ini merupakan proses pengabuan yang mengacu pada prosedur pengujian abu pada
SNI 01- 2891-1992, mengacu pada prosedur yang dilakukan oleh International Standard
tahun 1984 dan Ludang dan Jaya, 2007.
a. Kadar Air
Kadar air merupakan bobot yang hilang setelah pemanasan sampel 105 0C sampai diperoleh
bobot tetap. Kadar air diperoleh dengan rumus:
Kadar Air (%) = a−b
ax 100 % (SNI, 1992 dan 1995)
Keterangan: a : Bobot sampel (gr)
b : Bobot sampel setelah pemanasan (gr)
b. Kadar zat mudah menguap
Kadar zat mudah menguap diperoleh dengan rumus:
Kadar zat mudah menguap (%) = a−b
ax 100 % (SNI, 1995; IS. 1984)
Keterangan: a : Bobot sampel kering pada pemanasan suhu 105 0 C (gr)
b : Bobot sampel setelah pemanasan pada suhu 900 0C (gr)
c. Standing Stock
Standing stok adalah bobot basah sampel per meter persegi (Mauro, 1924).
Standing stock (g
m2) = ab
Keterangan: a : Bobot sampel basah (gr)
b : Luas titik sampel (m2)
d. Biomass
Biomass adalah bobot yang dihitung setelah dipanaskan menggunakan oven selama 2-4 hari
pada suhu suhu 80-90 0C.
Biomass (%) = ab
x 100 % (Ludang dan Jaya, 2007)
Keterangan: a : Bobot sampel basah (gr)
b : Bobot sampel setelah pemanasan pada suhu 90 0C (gr)
e. Rasio Berat basah-Biomass (Rasio P-B)
Rasio Berat basah – Biomass adalah perbandingan antara Berat Basah dengan Biomass
dengan rumus sebagai berikut :
Rasio P − B = ab
(Ludang dan Jaya, 2007)
Keterangan: a : Bobot sampel Basah (gr)
b : Bobot sampel Biomass (gr)
f. Kadar abu
Kadar abu diperoleh setelah dilakukan pengabuan sampel pada suhu 550 OC sampai sampel
terabukan secara sempurna. Kadar abu diperoleh dengan rumus:
Kadar Abu (%) = ab
x 100 % (SNI, 1992)
Keterangan: a : Bobot sampel (gr)
b : Bobot abu. (gr)
g. Kandungan Karbon (carbon content)
Serapan karbon diperoleh dengan rumus :
Serapan Karbon (%) = 100% - kadar air – kadar zat mudah menguap – kadar abu
(UNEP, 2004, SNI 06-3730-1995).
h. Penghitungan estimasi karbon
Penghitungan serapan karbon menggunakan persamaan yang digunakan oleh Muraoka,
(2004) dengan memasukkan variabel luas area budidaya (km2), standing stock (g/m2), rasio
produksi-biomasa, dan kandungan karbon (%). Dimana serapan karbon per siklus adalah :
Total Serapan Karbon (C) = [Total area]x[Standing stock]x[Rasio P-B]x[Kandungan
karbon]
Dimana :
Total serapan karbon (ton C/siklus)
Total area (Km2) = Luas area budidaya
Standing stok = produktivitas (g/m2)
Rasio P-B = Produksi basah/Biomas
Kandungan karbon (%) = (berat abu/berat biomas) x 100
Tabel 3. Kandungan air, zat mudah terbang , abu karbon pada setiap satuan berat biomas kering rumput rumput.
Jenis Biomass kering (gr)
Bobot kering oven (gr)
Kadar air (%)
Zat mudah terbang (%)
Kadar abu (%)
Kadar Karbon (%)
K. alvarezii (Maumere)
4,14±0,05 3,89±0,06 5,83 ±1,36 45,74 ±1,07 25,34±2,57 23,09±3,74
K.denticulatum 3,44±0,03 3,36±0,02 2,26 ±1,23 40,13±1,63 14,52±2,29 43,10±5,13
K.alvarezii (golo-golo)
3,38±0,10 3,32±0,10 1,80±0,26 52,26±1,92 25,20±1,10 20,73±1,73
K. striatum 3,91±0,10 3,64±0,08 6,97±1,09 41,89±2,51 21,38±4,15 29,76±6,80
Tabel 4. Tingkat serapan karbon beberapa jenis rumput laut Genus Kappaphycus spp
Jenis LuasArea
(Km2)
Standing stok* (g/m2)
RasioP-B**
KandunganKarbon (%)
Serapan Karbon (TonC/siklus tanam)
K. alvarezii (Maumere)
0,15 508,00±48,37 12,45±0,12 23,09±3,74 219,12±36,89
K.denticulatum 0,15 473,00±28,60 14,98±0,23 43,10±5,13 458,33±58,04 K.alvarezii (golo-golo)
0,15 502,50±74,02 15,15±0,44 20,73±1,73 236,57±18,80
K. striatum 0,15 624,00±119,07 13,13±0,27 29,76±6,80 367,07±90,42 Total 0,60 1281,09
Keterangan : *Produksi Basah pada saat pengambilan sampel per meter persegi ** Rasio antara Bobot basah dengan bobot biomas kering
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Saat ini pemanasan global telah berada pada tingkat yang semakin mengkhawatirkan
hingga diperlukan langkah-langkah untuk mencegah dan menguranginya. Salah satu cara
yang paling efektif adalah dengan menanam lebih banyak pohon dan melindungi hutan.
Pohon dan tetumbuhan lainnya menyerap karbon dioksida selama proses fotosintesis. Proses
ini mampu mengurangi gas rumah kaca yang paling melimpah di atmosfer tersebut dan
menyimpannya di dalam jaringan kayu.
Indonesia memiliki cadangan hutan yang relatif cukup besar yang dikenal sebagai
“paru-paru dunia” karena masuk dalam hutan tropis, dimana secara fisika dalam proses
fotosintesis hutan menghasilkan O2 dan menyerap CO2, merupakan siklus penting bagi
kelangsungan seluruh makhluk hidup di dunia. Fungsi hutan disini sebagai penyerap buangan
atau emisi yang dikeluarkan dari aktifitas makhluk hidup secara keseluruhan yakni CO2,
sehingga keseimbangan dapat terjaga. Sebenarnya Indonesia masuk didalam Mekanisme
perdagangan karbon berkaitan dengan hutan adalah negara-negara industri dan negara-negara
penghasil polutan terbesar diberi kesempatan untuk melakukan kompensasi dengan cara
membayar negara-negara berkembang untuk mencadangkan hutan tropis yang mereka miliki
sehingga terjadi “sequestration” (penyimpanan sejumlah besar karbon). Indonesia dengan
luasan hutan yang cukup besar, dengan adanya kompensasi perdagangan karbon, tentunya
merupakan peluang besar untuk menambah pemasukan, guna kegiatan pembangunan, yang
tentunya tidak terlepas dari persyaratan-persyaratan yang ditetapkan oleh negara-negara yang
membeli sertifikat perdagangan karbon dari Indonesia.
3.2 Saran
Pelestarian kondisi hutan di Indonesia perlu terus ditingkatkan.
DAFTAR PUSTAKA
Anwar, A. 1984. Ringkasan Biologi. Ganeca Exact. Bandung.
Dwidjoseputro. 1986. Biologi. Erlangga. Jakarta.
Kimball, J. W. 1993. Biologi Umum. Erlangga. Jakarta.
Kimball, J.W. 2002. Fisiologi Tumbuhan. Erlangga. Jakarta.
Malcome. B. W. 1990. Fisiologi Tanaman. Bumi Aksara. Bandung.
Simbolon, Hubu dkk. 1989. Biologi Jilid 3. Erlangga. Jakarta.
Syamsuri. I. 2000. Biologi. Erlangga. Jakarta.
Dandun Sutaryo, 2009., Penghitungan Biomassa Sebuah Pengantar Untuk Studi Karbon Dan
Perdagangan Karbon, Wetlands International Indonesia Programme
Adinugroho, W. Catur dan K. Sidiyasa, 2006. Model Pendugaan Biomassa Pohon
Mahoni (Swietenia macrophyla King) Di Atas Permukaan Tanah. Jurnal
penelitian Hutan dan Konservasi alam Vol III No.1 hal: 103 – 117.