bab ii landasan teori 2.1 kajian pustaka ii skripsi... · karbon yang melebihi silikon dalam...

28
5 BAB II LANDASAN TEORI 2.1 Kajian Pustaka Penelitian tentang pengecoran dengan metode evaporative (lost foam casting) telah banyak dilakukan, diantaranya: Shin dan Lee (2004) meneliti dengan bahan paduan A356. Bichler dkk. (2002) meneliti dengan bahan mangnesium paduan AZ91. Droke (2006) meneliti dengan bahan magnesium AM60B. Qiming dan Ravindran (2000) meneliti dengan bahan alumunium paduan A356. Sands dan Sivkumar (2003) meneliti dengan bahan paduan alumuniun 319. Kim dan Lee, (2005) meneliti dengan bahan A356.2. Mirbagheri dkk. (2004) meneliti degan bahan grey iron. Serta Venkataramani dkk. (1995) meneliti dengan bahan paduan A356. Penelitian tentang mampu alir pada pengecoran evaporative (lost foam casting) dilakukan oleh beberapa peneliti. Shin dan Lee (2004) menggunakan test casting “T”. dengan memvariasikan temperatur tuang 670, 750, dan 830 o C dan ketebalan pola cetakan 7, 11, dan 17 mm. Sands dan Sivkumar (2003) meneliti dengan memvariasikan tinggi saluran turun 60 mm dan 360 mm serta ukuran pasir. Droke (2006) memvariasikan temperatur tuang 1450, 1475, dan 1500 o F dan polystyrene foam dengan kerapatan 1,3, 1,5, dan 1,6 lb/ft 3 Penelitian dengan mengunakan jenis polystyrene foam (PS) dikakukan oleh Shin dan Lee (2004) menggunakan polystyrene foam dengan kerapatan 0,026 g/cm 3 . Sands dan Sivkumar (2003) menggunakan polystyrene foam dengan kerapatan 20 kg/m 3 . Droke (2006) menggunakan polystyrene foam dengan kerapatan 1,3 lb/ft 3 , 1,5 lb/ft 3 , dan 1,6 lb/ft 3 . Penelitian dengan memvariasikan temperatur tuang pada pengecoran evaporative dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya: Shin dan Lee, (2004) pada temperatur 670, 750, dan 830 o C. Sands dan Sivkumar, (2003) menggunakan satu temperatur penuangan yaitu 760 o C. Droke (2006) pada temperatur 1450, 1475, dan 1500 o F. Penelitian tentang pengaruh temperatur penuangan terhadap mampu alir logam pada pengecoran evaporative dilakukan oleh: Shin dan Lee (2004) mengatakan mampu alir meningkat seiring dengan peningkatan temperatur tuang

Upload: dinhanh

Post on 07-Mar-2019

214 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Kajian Pustaka

Penelitian tentang pengecoran dengan metode evaporative (lost foam casting)

telah banyak dilakukan, diantaranya: Shin dan Lee (2004) meneliti dengan bahan

paduan A356. Bichler dkk. (2002) meneliti dengan bahan mangnesium paduan

AZ91. Droke (2006) meneliti dengan bahan magnesium AM60B. Qiming dan

Ravindran (2000) meneliti dengan bahan alumunium paduan A356. Sands dan

Sivkumar (2003) meneliti dengan bahan paduan alumuniun 319. Kim dan Lee,

(2005) meneliti dengan bahan A356.2. Mirbagheri dkk. (2004) meneliti degan bahan

grey iron. Serta Venkataramani dkk. (1995) meneliti dengan bahan paduan A356.

Penelitian tentang mampu alir pada pengecoran evaporative (lost foam

casting) dilakukan oleh beberapa peneliti. Shin dan Lee (2004) menggunakan test

casting “T”. dengan memvariasikan temperatur tuang 670, 750, dan 830oC dan

ketebalan pola cetakan 7, 11, dan 17 mm. Sands dan Sivkumar (2003) meneliti

dengan memvariasikan tinggi saluran turun 60 mm dan 360 mm serta ukuran pasir.

Droke (2006) memvariasikan temperatur tuang 1450, 1475, dan 1500oF dan

polystyrene foam dengan kerapatan 1,3, 1,5, dan 1,6 lb/ft3

Penelitian dengan mengunakan jenis polystyrene foam (PS) dikakukan oleh

Shin dan Lee (2004) menggunakan polystyrene foam dengan kerapatan 0,026 g/cm3.

Sands dan Sivkumar (2003) menggunakan polystyrene foam dengan kerapatan 20

kg/m3. Droke (2006) menggunakan polystyrene foam dengan kerapatan 1,3 lb/ft

3,

1,5 lb/ft3, dan 1,6 lb/ft

3.

Penelitian dengan memvariasikan temperatur tuang pada pengecoran

evaporative dilakukan oleh beberapa peneliti diantaranya: Shin dan Lee, (2004) pada

temperatur 670, 750, dan 830oC. Sands dan Sivkumar, (2003) menggunakan satu

temperatur penuangan yaitu 760oC. Droke (2006) pada temperatur 1450, 1475, dan

1500oF.

Penelitian tentang pengaruh temperatur penuangan terhadap mampu alir

logam pada pengecoran evaporative dilakukan oleh: Shin dan Lee (2004)

mengatakan mampu alir meningkat seiring dengan peningkatan temperatur tuang

6

serta ketebalan coran. Sands dan Sivkumar (2003) mengatakan pengaruh tinggi

saluran turun mempengaruhi panjang aliran, pada saluran turun (H) 60 mm tanpa

coating panjang aliran mencapai 150 mm dengan waktu 1,9 detik dengan

menggunakan jenis pasir AFS 55 sedangkan untuk saluran turun (H) 360 mm tanpa

coating aliran logam mencapai 150 mm dengan waktu 1,4 detik dengan

menggunakan jenis pasir AFS 55. Droke (2006) mengatakan temperatur tuang sangat

mempengaruhi mampu alir logam ini terlihat pada hasil coran dengan temperatur

1450oF mampu alir logam sangat jelek ditunjukan dengan bayaknya ruang kosong

pada hasil coran, sementara pada temperatur 1500oF mampu alir logam lebih baik

dengan memenuhi seluruh permukaan coran. Pengujian dilakukan pada jenis

polystyrene foam yang sama (1,5 lb/ft3).

Penelitian tentang pengaruh temperatur tuang terhadap porositas pada

pengecoran evaporative dilakukan oleh: Shin dan Lee (2004) mengatakan

peningkatan temperatur penuangan nilai prositas dan semakin inggi pada ketebalan

pola cetakan 7 mm. Menurut Kim dan Lee (2005) kerapatan polystyrene foam dapat

menentukan kualitas coran dengan memperlihatkan hubungan kerapatan polystyrene

foam dengan kerapatan coran, kerapatan coran meningkat dengan meningkatnya

kerapatan polystyrene foam hingga 20 kg/m3 yang dicor dengan menggunakan

metode lost foam casting. Bichler dkk. (2002) mengungkapkan seiring dengan

peningkatan temperatur tuang maka semakin besar persentase porositas.

2.2 Pengertian Aluminium

Aluminium merupakan logam yang paling banyak digunakan di dunia,

dengan pemakaian tahunnya sekitar 24 juta ton. Mempunyai sifat yang unik, yaitu:

ringan, kuat, dan tahan terhadap korosi pada lingkungan luas termasuk udara, air

(termasuk air garam), petrokimia, dan beberapa sistem kimia. Pemakaian aluminium

dalam dunia industri yang semakin tinggi, menyebabkan pengembangan sifat dan

karakteristik aluminium terus menerus ditingkatkan. Aluminium dalam bentuk murni

memiliki kekuatan yang rendah dan tidak cukup baik digunakan untuk aplikasi yang

membutuhkan ketahanan deformasi dan patahan, maka dari itu perlu ditambahkan

unsur lain untuk meningkatkan kekuatannya. Aluminium dalam bentuk paduan yang

sering dikenal dengan istilah aluminium alloy merupakan jenis aluminium yang

7

digunakan cukup besar saat ini. Berdasarkan metode peleburannya,paduan

aluminium dikelompokkan menjadi dua kelompok utama yaitu paduan tempa

(wrought) dan paduan tuang (casting).Sifat teknik bahan aluminium murni dan

aluminium paduan dipengaruhi oleh konsentrasi bahan dan perlakuan yang diberikan

terhadap bahan tersebut.Aluminium terkenal sebagai bahan yang tahan terhadap

korosi. Hal ini disebabkan oleh fenomena pasivasi, yaitu proses pembentukan lapisan

aluminium oksida di permukaan logam aluminium segera setelah logam terpapar

oleh udara bebas. Lapisan aluminium oksida ini mencegah terjadinya oksidasi lebih

jauh. Sehingga pasivasi dapat terjadi lebih lambat jika dipadukan dengan logam yang

bersifat lebih katodik, karena dapat mencegah oksidasi aluminium (Zulaina Sari

Rahmawati, 2010).

2.3 Silikon

Kelimpahan silikon dalam kerak bumi terlampaui hanya dengan oksigen.

Perkiraan kelimpahan kosmik elemen lain sering dikutip dalam hal jumlah atom

mereka per 106 atom silikon. Hanya hidrogen, helium, oksigen, neon, nitrogen, dan

karbon yang melebihi silikon dalam kelimpahan kosmik. Silikon diyakini menjadi

produk kosmik penyerapan alpha-partikel, pada suhu sekitar 109 K, dengan inti

karbon-12, oksigen-16dan neon-20. Energi ikat partikel yang membentuk inti dari

silikon adalah sekitar 8,4 juta elektron volt (MeV) per nukleon (proton atau neutron).

Dibandingkan dengan energi ikat maksimum sekitar 8,7 juta elektron volt untuk inti

besi, hampir dua kali lebih besar seperti yang dilakukan oleh silikon, angka ini

menunjukkan stabilitas dari inti silikon (Barone, 2004).

Silikon murni terlalu reaktif untuk dapat ditemukan di alam, tetapi ditemukan

di hampir semua batuan serta dalam pasir, tanah liat, dan tanah, dikombinasikan baik

dengan oksigen sebagai silika (SiO2, silikon dioksida) atau dengan oksigen dan

elemen lainnya (misalnya , aluminium, magnesium, kalsium, natrium, kalium, atau

besi) sebagai silikat. Bentuknya teroksidasi, silikon dioksida dan terutama karena

silikat, juga sering terjadi pada kerak bumi dan merupakan komponen penting dari

mantel bumi. Senyawanya juga terjadi pada semua perairan alami, di atmosfer (debu

silika), dalam banyak tanaman, dan dalam kerangka, jaringan, dan cairan tubuh dari

beberapa hewan.Dalam senyawa, silikon dioksida terjadi baik dalam mineral kristal

(misalnya, kuarsa, kristobalit, tridimit) dan amorf atau dalam amorf mineral

8

(misalnya, batu akik, opal, kalsedon) di semua area lahan. Silikat alami yang ditandai

dengan kelimpahan mereka, distribusi yang luas, dan kompleksitas struktural dan

komposisi (Barone, 2004).

2.4 Pengecoran Lost Foam

Pengecoran lost foam (evaporative casting) adalah salah satu metode dengan

menggunakan pola polystyrene foam. Metode ini ditemukan dan dipatenkan oleh

Shroyer pada tahun 1958 (Shroyer, 1958). Pada tahun 1964, konsep penggunaan

cetakan pasir kering tanpa pengikat telah dikembangkan dan dipatenkan oleh Smith

(Smith, 1964). Proses pengecoran lost foam dilakukan dalam beberapa tahap

(Gambar 2.1). Pengecoran lost foam yang dikombinasikan dengan pemvakuman

cetakan (V-Proses) menjadikan jenis pengecoran ini sebagai salah satu teknologi

manufaktur yang sangat baik dan memiliki biaya yang cukup efektif dalam

memproduksi benda yang mendekati bentuk bendanya dibanding pengecoran

konvesional (Liu ,dkk., 2002). Vakum proses telah dikembangkan di Jepang pada

tahun 1971 dan diperkenalkan pada pengecoran logam saat pertemuan musim semi

tahun 1972 (Kumar dan Ghaindhar, 1998). Pengecoran lost foam dimulai dengan

membuat pola polystyrene foam (styrofoam) dengan kerapatan atau massa jenis

tertentu sesuai yang direncanakan. Dalam beberapa aplikasi, bagian-bagian pola

dilem untuk mendapatkan bentuk keseluruhan dari benda yang komplek. Sistem

saluran dirangkai dengan cara dilem menyatu dengan rangkaian pola. Beberapa pola

dapat dilakukan pengecoran dengan dirangkai dalam satu sistem saluran. Pola yang

telah terangkai dengan sistem saluran diistilahkan dengan cluster (Brawn, 1992).

Sistem saluran memiliki pengaruh besar terhadap adanya cacat pada benda cor

misalnya saluran masuk bawah akan menyebabkan porositas dan cacat lipatan

(folded) paling sedikit dibandingsaluran samping atau atas (Shahmiri dan Karrazi,

2007).

9

Gambar 2.1 Tahap proses pengecoran lost foam

Sumber : www.sfsa.org

Pola dan sistem saluran dilakukan pelapisan (coating) dengan cara

dimasukkan ke larutan pelapis dari bahan tahan panas (refractory) atau larutan

refractory tersebut langsung dicatkan pada pola dan sistem saluran lalu dikeringkan.

Penambah, pengalir dan saluran masuk ditempatkan pada tempat yang diperlukan

(Butler, 1964). Cluster yang telah kering diletakkan pada wadah dan pasir silika

dimasukkan di sekeliling pola. Pasir yang menimbun pola dipadatkan dengan cara

digetarkan pada frekuensi dan amplitudo tertentu. Pasir yang dipadatkan dengan

penggetaran densitas pasir meningkat 12,5% dibandingkan tanpa digetarkan (Butler,

1964). Pasir dengan ukuran AFS (Average Fineness Number) grain fineness number

tertentu akan mengisi bagian-bagian yang kosong dari cluster dan akan menahan

clustersaat pengisian logam cair. Pola tersebut dapat dibungkus/ dikapsul dengan

dua lapis plastik dan pasirnya divakum. Vakum akan mengeraskan cetakan dan

kekerasan cetakan diatas 85 dapat tercapai (Kumar ,dkk., 2007). Logam cair

dimasukkan melalui saluran tuang dan pola akan terurai karena panas logam cair saat

masuk ke pola. Hasil uraian pola akan melewati lapisan dan keluar melalui pasir.

Setelah cukup dingin, benda cor diambil dan dilakukan perlakuan panas jika

diperlukan (Matson ,dkk., 2007). Perkembangan penggunaan metode pengecoran

lost foam mengalami peningkatan cukup besar sejak tahun 1990 (Gambar 2.2). Pada

tahun 1997 sebanyak 140.700 ton aluminium, besi cor dan baja sudah diproduksi

dengan proses pengecoran lost foam (Hunter, 1998).

10

Gambar 2.2 Perkembangan pasar pengecoran lost foam

Sumber : Wong, 1998

2.4.1 Kelebihan dan Kekurangan Lost Foam Casting

Pengecoran lost foam memiliki banyak keuntungan. Cetakan dari pola

berbahan polystyrene foam mudah dibuat dan murah (Barone, 2005). Pasir yang

digunakan dapat dengan mudah digunakan lagi karena tidak menggunakan pengikat

(Behm ,dkk., 2003). Penggunaan cetakan foam meningkatkan keakuratan dimensi

dan memberikan peningkatan kualitas coran dibandingkan dengan cetakan

konvensional (Monroe, 1992). Sudut-sudut kemiringan draf dapat dikurangi atau

dieliminasi (Barone, 2005). Pengecoran lost foam dapat memproduksi benda yang

kompleks/ bentuknya rumit, tidak ada pembagian cetakan, tidak memakai inti,

mengurangi tenaga kerja dalam pengecorannya (Monroe,1992) sehingga cepat untuk

membuat benda-benda prototip. Pengecoran lost foam dapat memproduksi benda-

benda ringan (Kim dan Lee, 2005) dan penambah pada dasarnya tidak diperlukan

untuk mengontrol penyusutan saat pembekuan (Askeland, 2001). Proses perbersihan

dan pemesinan dapat dikurangi secara dramatis (Kumar ,dkk., 2007). Pencemaran

lingkungan karena emisi bahan-bahan pengikat dan pembuangan pasir dapat

dikurangi karena tidak menggunakan bahan pengikat dan pasir dapat langsung

digunakan kembali (Kumar ,dkk., 2007).

Pengecoran lost foam juga memiliki beberapa kekurangan. Pasir yang tidak

diikat akan memicu terjadinya cacat pada benda cor karena pasir yang jatuh ke logam

cair (Kumar dkk, 2007). Usaha untuk mengikat cetakan lost foam adalah dengan

11

membuat cetakan tersebut vakum dimana cetakan dilapisi dengan lapisan polietilen

dimana proses ini menghasilkan emisi ke gas hasil pembakaran polystyrene foam

yang dapat membahayakan lingkungan dan kesehatan pekerja (Behm dkk, 2003).

Porositas dalam pengecoran aluminium dengan pola polystyrene foam lebih tinggi

dibandingkan dengan cetakan CO2. Hal ini menunjukkan bahwa sulit untuk

mendapatkan kekuatan mekanik yang lebih baik pada pengecoran aluminium tanpa

perlakuan tertentu (Kim dan Lee, 2007).

2.4.2. Dekomposisi Polystyrene Foam

Polystyrene yang digunakan dalam pengecoran lost foam terdiri dari 92% C

dan 8% H (Niemann, 1980). Rantai benzena C6H5 dalam polystyrene relatif stabil

sedangkan rantai -CH=CH2- cenderung terurai pertama kali. Rantai benzena bertahan

dalam bentuk cair dan bereaksi dengan cairan logam yang dapat menyebabkan cacat

cor. polystyrene co-polymer dan polymethylmetacrylate (PMMA) dikembangkan

untuk mengurangi karbon yang berhubungan dengan cacat cor pada pengecoran

logam ferro (Shivkumar, 1993). PMMA sebagian besar (sekitar 80%) terdekomposisi

menjadi fase gas pada suhu 700oC sedangkan polystyrene hanya sekitar 40% pada

suhu yang sama (Moilbog dan Littleton, 2001). Hasil dekomposisi polystyrene foam

akan menghalangi logam jika tidak segera keluar dari cetakan (Walling dan Dantzig,

1994). Analisa dan pemodelan tentang dekomposisi polystyrene foam telah diteliti

oleh beberapa peneliti. Tsai dan Chen(1988), Hirt dan Barkhudarov (1998), Liu

,dkk.,(2002) menentukan koefisien perpindahan panas konstan pada pertemuan

antara logam cair dan polystyrene foam. Mereka menghitung kecepatan aliran cairan

muka dengan menghubungkan fluks panas yang diperloleh terhadap energi

dekomposisi polystyrene foam. Wang ,dkk., (1993) dan Gurdogan ,dkk., (1996)

mengasumsikan kecepatan aliran muka cairan sebagai fungsi linier terhadap

temperatur dan tekanan logam dengan suatu koefisien empiris yang diperoleh dalam

percobaan pengisian cairan satu dimensi. Shivkumar (1994) menetapkan kecepatan

logam cair secara langsung berdasarkan data pengisian satu arah. Pendekatan-

pendekatan ini mampu mendiskripsikan aliran logam cair dalam cetakan namun tetap

belum mampu menjelaskan mekanisme fisik yang menghubungkan antara pengisian

logam cair dengan porositas karena mekanisme dekomposisi polystyrene foam

12

masih belum jelas. Untuk mendapatkan hasil yang baik, dekomposisi harus

dimodelkan dalam proses fisis yang terpisah (Barone, 2005).

Pola polystyrene foam yang dituang cairan logam dapat membentuk gap

(adanya ruang pemisah) antara logam cair dan pola yang belum terkena cairan. Pada

pengecoran aluminium, pola terurai menjadi cair dan gas (Zhao dkk, 2003).

Polystyrene foam terdekomposisi menjadi hidrogen dan karbon saat penuangan

cairan. Sebagian karbon masih tersisa pada pori-pori dalam benda cor yang

dibuktikan dari analisis WDS pada pengecoran ingot aluminium A 356.2 (Kim dan

Lee, 2007). Gas hasil penguraian keluar dari cetakan dengan berdifusi melalui

coating (pelapis). Coating menyerap cairan yang terurai dari polystyrene foam dan

sisanya tertinggal dipermukaan dalam coating. Cairan logam langsung menyusul

cairan yang tersisa tersebut dan menguapkannya menjadi gelembung-gelembung gas

kecil. Gelembung-gelembung gas dari seluruh bagian cetakan akan bergerak naik ke

bagian atas. Gelembung-gelembung ini akan mengalir dan saling bertemu pada

bagian yang lebih tinggi dari cetakan dan membentuk gap/ pemisah antara cairan

logam dan polystyrene foam (Gambar 2.3). Dengan membesarnya ukuran gap,

perpindahan panas konduksi dari logam cair ke polystyrene foam berkurang dan

kecepatan pengisian cairan berkurang sehingga polystyrene foam mengalami

pengurangan lebih banyak dengan cara mencair daripada dengan cara terbakar

(ablation). Ketika hal ini terjadi, kita katakan polystyrene foam terdekomposisi pada

daerah gap. Gap yang terbentuk ini pada kenyataannya tidak terjadi pada satu tempat

saja karena gelembung-gelembung gas ini terjadi pada seluruh permukaan cairan

logam dalam cetakan (Caulk, 2006). Dekomposisi polystyrene foam akan

menghasilkan tekanan balik yang berlawanan dengan aliran logam sehingga

menghasilkan gaya tekan yang menahan cetakan tetap berada pada tempatnya

(Ballmann, 1988).

13

Gambar 2.3 Skema terbentuknya gap antara polystyrene foam dengan cairan logam

Sumber : Caulk, 2006

Salah satu permasalahan unik dalam produksi cor dengan pengecoran lost

foam adalah terbentuknya cacat pengecoran yang berkaitan dengan dekomposisi

polystyrene foam. Berbagai macam bentuk cacat yang disebabkan karen dekomposisi

ini diantaranya porositas di dalam benda cor, blister (melepuh), fold (lipatan) dan

permukaan yang kasar (Benneth, 2007). Porositas di dalam benda cor disebabkan

hasil dekomposisi polystyrene foam yang terjebak dalam logam cair. Logam

membeku sebelum hasil dekomposisi polystyrene foam keluar melalui pori-pori pada

coating (Kim dan Lee, 2007). Dekomposisi polystyrene foam juga mempengaruhi

waktu pengisian logam cair (Xao dan Shivkumar, 1997). Pada pengecoran

aluminium, tahap awal terbentuk residu cair di bagian depan logam dan menembus

pori-pori pada coating dalam bentuk gas. Gas yang terbentuk dapat dikurangi

dengan pori-pori pada lapisan coating. Laju eliminasi gas tergantung pada beberapa

faktor diantaranya jumlah produksi gas, permeabilitas pada coating dan pasir, sifat

termal dari coating dan pasir serta temperatur cair (Borg, 1996).

Residu cair terutama terdiri dari dimer, trimer, tetramer dan oligomer yang

lain (Shivkumar, 1994). Gas atau residu hasil dekomposisi polystyrene foam yang

terperangkap karena adanya aliran turbulen ketika pengisian cetakan dalam proses

pengecoran konvensional akan menghasilkan porositas. Urutan pengisian cetakan

pada.pengecoran.foam.berbeda dengan pengecoran konvesional. Konsekuensinya

porositas pada pengecoran lost foam lebih tinggi dari pengecoran biasa karena pola

yang terbakar saat cairan dimasukkan (Kim dan Lee, 2007).

14

2.4.3 Pelapisan / Coating

Coating merupakan suatu kesatuan dalam pengecoran logam karena

menghasilkan permukaan yang halus tanpa pengeleman dan pembakaran pasir.

Coating memiliki peran penting dalam beberapa hal. Coating menjamin kekerasan

dan kekakuan pola serta mengontrol pelepasan gas atau cairan dari dekomposisi

polystyrene foam (Acimovic, 2000). Coating menentukan waktu pembongkaran

benda cor dan laju hilangnya panas logam (Zhao, 2006). Seiring peningkatan

teknologi pengecoran, permintaan kualitas coating ditingkatkan dengan

menggunakan jenis bahan refraktrory baru, suspensi dan binder yang mampu

meningkatkan proses manufaktur (Acimovic,dkk, 2003). Ballman (1988)

menyarankan bahwa bahan coating untuk pengecoran lost foam hendaknya

memiliki beberapa kriteria sebagai berikut:

1. Coating dengan permeabilitas tinggi digunakan pasir yang lebih

kasar/besar sedangkan coating dengan permeabilitas sedang atau rendah

digunakan untuk pasir yang lebih halus/ kecil.

2. Coating harus cepat kering.

3. Coating harus mudah menempel ke pola dan mudah untuk mengontrol

ketepatan tebal coating.

4. Kekuatannya bagus, tahan abrasi, tahan retak apabila disimpan, tahan

beban lengkung dan perubahan bentuk selama dibuat cetakan.

5. Coating seharusnya lebih tebal apabila untuk pengecoran pada suhu lebih

tinggi dan pasir yang lebih kasar/ besar.

Ada beberapa jenis coating pola pengecoran lost foam yang memiliki

karakteristik berbeda. Coating ini didesain untuk memenuhi beberapa tuntutan

dalam pengecoran lost foam (Acimovic, 2003). Dieter (1965) menggunakan tepung

zircon untuk coating paduan aluminium sementara Trumbuvolic (2003)

menggunakan kaolin dan talk. Pelapis sodium silikat tidak direkomendasikan untuk

coating karena permeabilitasnya rendah dan memicu terjadinya percikan logam saat

pengisian logam cair. Coating untuk pengecoran besi cor menggunakan coating

berbahan dasar besi mampu menahan permasalahan penetrasilogam (Clegg, 1978).

Kumar ,dkk., (2004) telah menganalisi coating dengan menggunakan filler dari

15

material siliminite, kuarsa, aluminium silikat yang dikombinasikan dengan zirkon

dan binder untuk mempertimbangkan segi ekonomisnya. Tepung zirconia dan

aluminium silikat memiliki dielektrik kostan rendah, massa jenis tinggi, viskositas

tinggi dan pH mendekati bahan refraktorti netral (Kumar ,dkk., 2004).

Waktu pengisian cetakan akan lebihlama jika menggunakan lapisan coating

yanglebih tebal. Jika menggunakan coating makatambahan waktu pengisian kurang

dari 50% dibanding waktu yang terukur dalam kondisinormal di industri. Dalam

kondisi ekstrim dimana cetakan tidak memiliki permeabilitaswaktu pengisian dapat

mencapai 500% lebih lama dibandingkan pada kondisi normal. Haini dapat terjadi

karena coating menutup polaatau ada aglomerasi pasir yang mengkondensasi hasil

degradasi polystyrene foam (Sand dan Shivkumar, 2003).

2.4.4 Pasir Cetak

Pasir cetak dapat digunakan secara terus menerus selama masih mampu

menahan temperatur cairan ketika dituangkan (Lal, 1981). Pasir silika, pasir zirkon,

pasir olivine dan kromate dapat digunakan sebagai pasir cetak pada pengecoran lost

foam. Penggunaan pasir yang mahal seperti pasir zirkon dan kromite dapat dilakukan

untuk mendapatkan tingkat reklamasi pasir yang tinggi (Clegg, 1985). Kekuatan

cetakan pasir ditentukan oleh resistansi gesek antar butir pasir. Kekuatan cetakan

pasir akan lebih tinggi jika menggunakan pasir dengan bentuk angular walaupun jika

menggunakan bentuk rounded/ bulat akan memberikan densitas yang lebih tinggi

(Dieter, 1967; Green, 1982). Perubahan bentuk pasir dari angular ke rounded akan

menaikkan densitasnya sekitar 8-10% (Hoyt dkk, 1991). Densitas pasir cetak dapat

ditingkatkan dengan digetarkan. Pasir leighton buzzard dapat dinaikkan densitasnya

sebesar 12,5% dengan digetarkan (Butler, 1964).

Waktu pengisian logam cair ke dalam cetakan akan lebih lama apabila

menggunakan pasir cetak yang memiliki ukuran lebih kecil. Kecepatan penuangan

semakin besar dengan bertambahnya ukuran pasir cetak (Sands dan shivkumar,

2003). Hal ini karena rongga-rongga antar pasir akan semakin kecil dengan

mengecilnya ukuran pasir sehingga gas hasil degradasi lebih sulit keluar melalui

pasir. Pada pengecoran Al-7%Si, ukuran pasir cetak memiliki faktor dominan dalam

menentukan nilai tegangan tarik dan elongasi benda cor (Kumar dkk, 2008).

16

Pemilihan jenis pasir cetak dan metode pemadatan sangat penting untuk

mendapatkan permeabilitas yang tepat dan mencegah deformasi pola. Ukuran butir

pasir yang dipilih tergantung pada kualitas dan ketebalan lapisan coating. Ukuran

butir pasir AFS 30-45 menjamin permeabilitas yang baik untuk pola yang

terdekomposisi menjadi gas dan cairan (Acimovic, 1991).

2.4.5 Pola Polystyrene Foam / Styrofoam

Massa jenis dan ukuran butiran polystyrene foam memegang peranan penting

dalam pengecoran lost foam. Massa jenis yang rendah diperlukan untuk

meminimalisir jumlah gas yang terbentuk pada saat pola menguap. Gas akan keluar

ke atmosfer melalui coating/ pelapis dan celah-celah pasir. Jika pembentukan gas

lebih cepat daripada keluarnya gas tersebut ke atmosfer maka akan terbentuk cacat

dalam benda cor. Pembentukan gas tergantung pada massa jenis pola polystyrene

foam dan temperatur penuangan. Gas terbentuk makin banyakapabila massa jenis

pola dinaikkan pada temperatur tuang konstan. Jika massa jenis pola tetap dan

temperatur tuang dinaikkan maka gas akan terbentuk lebih banyak karena pola akan

terurai menjadi molekul-molekul yang lebih banyak pada temperatur lebih tinggi.

Pengecoran pada baja memerlukan massa jenis polystyrene foam yang lebih rendah

dibanding pada pengecoran besi cor kelabu, besi cor bergrafit bulat atau besi cor

mampu tempa. Pengecoran besi cor memerlukan massa jenis polystyrene foam lebih

rendah dibanding pada pengecoran tembaga dan pengecoran tembaga memerlukan

massa jenis polystyrene foam lebih rendah dibanding pada aluminium (Kumar dkk,

2007). Perbandingan luas permukaan dan volume pola harus diperhatikan. Gas yang

terbentuk harus keluar melalui coating dipermukaan pola. Ukuran butir polystyrene

foam yang lebih kecil akan meningkatkan kehalusan pola dan mampu untuk mengisi

tempat-tempat yang sempit dari pola (Sikora, 1978). Massa jenis polystyrene foam

secara umum berbanding terbalik dengan massa jenis hasil benda cor. Hal ini berarti

jika pengecoran menggunakan dengan massa jenis polystyrene foam lebih rendah

makamassa jenis benda cor akan lebih tinggi (Kim dan Lee, 2007).

Perbandingan luas permukaan dan volume pola harus diperhatikan. Gas yang

terbentuk harus keluar melalui coating dipermukaan pola. Ukuran butir polystyrene

foam yang lebih kecil akan meningkatkan kehalusan pola dan mampu untuk mengisi

17

tempat-tempat yang sempit dari pola (Sikora, 1978). Massa jenis polystyrene foam

secara umum berbanding terbalik dengan massa jenis hasil benda cor. Hal ini berarti

jika pengecoran menggunakan dengan massa jenis polystyrene foam lebih rendah

maka massa jenis benda cor akan lebih tinggi (Kim dan Lee, 2007).

Polystyrene foam (PS) atau yang biasanya disebutkan dengan nama styrofoam

diproduksi dalam bentuk busa atau gabus. Busa polystyrene foam (PS) terdiri dari

gelembung-gelembung kecil yang bebas sehingga dapat menghalangi panas atau

suara. Akan lunak pada temperatur sekitar 95oC dan menjadi cairan kental pada

120oC sampai 180

oC dan menjadi encer diatas 250

oC, kemudian terurai diatas 320

oC

sampai 330oC (Surdia dan Saito, 2000).

Gambar 2.4. Skema polimerisasi polystyrene

Sumber : www. wikipedia.org/wiki/Polystyrene

Polystyrene foam (PS) yang digunakan pada proses pengecoran evaporative

terdiri 92 wt% C, 8 wt% H. C6H5 benzene relatif stabil pada polystyrene dan CH =

CH2 cenderung terpisahkan terlebih dahulu. Ketika fasa cair bereaksi menyebabkan

tuangan terus mengikuti pola cetakan hingga padat (Shin dan Lee, 2004).

2.4.6 Penggetaran (Vibration)

Kekasaran permukaan Al-7%Si menurun dengan peningkatan amplitudo

penggetaran sampai 485µm. Hal ini terjadi karena peningkatan amplitudo getaran

akan menyebabkan partikel-partikel pasir yang lebih halus bergerak mengisi ruangan

diantara butir-butir pasir. Amplitudo yang lebih besar dari 485 µm menyebabkan

butir-butir pasir yang lebih besar bergerak dan gaya antar butir pasir akan

menyebabkan pasir begerak menuju ke permukaan pola. Hal ini menyebabkan

keruncingan permukaan pola lebih besar dan kekasaran permukaan benda cor

menjadi lebih kasar (Kumar ,dkk., 2007).

18

Peningkatan lama penggetaran cetakan akan menyebabkan kekasaran

permukaan benda cor Al-7%Si menurun. Hal ini karena semakin lama waktu

penggetaran akan menyebabkan partikel-partikel yang lebih kecil berada pada batas

antara pola dan pasir. Keruncingan permukaan pasir pada perbatasan pola akan

berkurang sehingga permukaan benda cor lebih halus (Kumar dkk, 2007). Lama

penggetaran Pada pengecoran Al-7%Si memiliki faktor kurang berpengaruh dalam

menentukan nilai tegangan tarik dan elongasi benda cor (Kumar dkk, 2008).

2.4.7 Penuangan

Suhu penuangan paduan Al-7%Si yang lebih tinggi akan meningkatkan

kekasaran permukaan benda cor. Superheat (suhu diatas temperatur cair) yang lebih

tinggi akan menurunkan tegangan permukaan cairan logam. Hal ini akan menjadikan

cairan logam mudah terserap ke celah-celah diantara pasir yang menyebabkan

kekasaran benda cor meningkat (Kumar dkk, 2007). Temperatur tuang memiliki

faktor dominan dalam menentukan nilai tegangan tarik dan elongasi benda cor

(Kumar dkk, 2008).

Kecepatan penuangan logam cair memiliki pengaruh besar terhadap kualitas

benda cor. Kecepatan penuangan aluminium cair berkisar 0,015-0,02 m/s untuk

mendapatkan jumlah dan jenis cacat pada benda cor yang minimal (Bates dkk, 2001).

Kecepatan pengisian logam dan keluarnya hasil dekomposisi polystyrene foam

tergantung pada banyak faktor diantaranya massa jenis foam, ikatan foam, ketebalan

coating, temperatur logam dan kecepatan bagian depan logam cair (Bates dkk, 1995).

Kecepatan aliran logam meningkat dengan bertambahnya temperatur tuang. Gas

tidak terdeteksi sampai pada suhu 525oC, terdeteksi sepanjang 5 mm pada suhu

750oC dan lebih panjang dari 2 cm pada suhu 1050

oC (Shivkumar dkk, 1995). Gas

yang terbentuk meningkat 230% pada temperatur 750 – 1300oC (Yao dkk, 1997).

2.4.8 Tingkat Kevakuman Cetakan

Tingkat kevakuman cetakan lebih tinggi akan meningkatkan kekasaran

permukaan benda hasil cor. Tekanan vakum yang dikenakan pada cetakan akan

mengisap cairan logam dan membuat ketajaman pada batas cetakan. Semakin tinggi

tingkat kevakuman akan meningkatkan penghisapan ke cairan logam sehingga

19

ketajaman pada batas cetakan semakin tinggi dan kekasaran permukaan benda cor

semakin meningkat (Kumar dkk, 2007).

2.5 Paduan Al-Si

Paduan Al-Si sangat baik kecairannya, mempunyai permukaan bagus, tanpa

kegetasan panas, sangat baik untuk paduan coran serta baik pula dalam ketahanan

korosi, sangat ringan, koefisien pemuaian yang kecil dan sebagai penghantar untuk

listrik dan panas (Surdia dan Saito, 2000). Karena itu paduan Al-Si sangat sering

dipakai dalam produksi pengecoran.

Gambar 2.5 Diagram fasa Al-Si

Sumber :Tottendan MacKenzie, 2003

Diagram fasa Al-Si memperlihatkan jenis paduan Al dengan komposisi Si

yang berbeda melalui pengkodean yang di standarkan (Gambar 2.4).

2.6 Cacat-Cacat Pada Hasil Pengecoran

Pada proses pengecoran, ada beberapa jenis cacat pada hasil akhir produk

pengecoran. Kualitas produk hasil-hasil pengecoran, dapat dinilai memiliki kualitas

yang baik jika produknya hampir tidak ada cacat (Lampman, 2008).

Pada proses pengecoran dilakukan dengan beberapa tahap mulai dari

menyiapkan cetakan, proses peleburan, penuangan dan pembongkaran.

Menghasilkan produk coran yang baik maka semuanya harus direncanakan dan

800

20

dilakukan dengan sebaik-baiknya. Hasil coran sering terjadi cacat, cacat yang terjadi

pada coran dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu :

1. Desain atau pola dari cetakan

2. Komposisi paduan logam

3. Proses peleburan dan penuangan

4. Temperatur penuangan

5. Sistem saluran masuk dari cairan logam

6. Laju pendinginan

2.7 Jenis-Jenis Cacat Pengecoran

Menurut Lampman (2009) cacat-cacat pengecoran terdiri dari 6 jenis cacat

seperti :

1. Porositas

Porositas dapat terjadi karena terjebaknya gelembung-gelembung gas pada

logam cair ketika dituangkan ke dalam cetakan.Porositas pada produk cor dapat

menurunkan kualitas benda tuang. Salah satu penyebab terjadinya porositas pada

penuangan logam adalah gas hidrogen (Budinski, 1996).

Porositas oleh gas hidrogen dalam paduan akan memberikan pengaruh yang

buruk pada kekuatan, serta kesempurnaan dari benda tuang tersebut. Penyebab

porositas antara lain kontrol yang kurang sempurna terhadap absorbsi gas oleh

paduan, pegeluaran gas dari dalam logam karena interaksi antara gas dengan logam

selama peleburan dan penuangan, perbedaan suhu yang sangat tinggi antara cetakan

dengan logam cair yang dituang. Proses pembekuan diawali pada bagian logam cair

yang lebih dahulu mengenai dinding cetakan. Disebabkan oleh suhu dinding cetakan

yang sangat rendah dibandingkan dengan suhu logam cair. Pembekuan yang cepat

dan proses pendinginan yang tidak merata mengakibatkan sejumlah gas

terperangkap, sehingga terbentuk pori. Porositas oleh gas dalam benda cetak paduan

aluminium silikon akan memberikan pengaruh yang buruk pada kesempurnaan dan

kekuatan dari benda tuang tersebut. Cacat ini dapat dihindari dengan penuangan

logam yang cukup temperature, mengontrol jumlah gas yang dihasilkan oleh material

(pengurangan unsur Si dan P akan sangat membantu) (Firdaus, 2002).

21

Cacat pengecoran logam yang terjadi karena gas terlarut dalam logam cair dan

terjebak pada proses solidifikasi disebut porositas gas, dan cacat pengecoran dapat

terjadi karena penyusutan disebut porositas penyusutan (shrinkage) (Suprapto 2007).

a). Cacat porositas gas

Wibowo (2011) menyatakan. Cacat porositas gas disebabkan karena adanya

pembentukan gas ketika logam cair dituangkan. Cacat porositas gas berbentuk bulat

akibat tekanan gas ini pada proses pembekuan. Ukuran cacat porositas gas sebesar ±

2 mm sampai 3 mm, lebih kecil bila dibandingkan dengan cacat porositas shrinkage.

Bentuk cacat gas seperti yang terlihat pada gambar berikut:

Gambar 2.6 Porositas gas

Sumber : Wibowo (2011)

b). Cacat porositas shrinkage

Cacat porositas shrinkage mempunyai bentuk yang tidak bulat (irregular).

Ukurannya lebih besar jika dibandingkan dengan cacat porositas gas. Penyebab

adanya cacat porositas shrinkage adalah adanya gas hidrogen yang terserap dalam

logam cair selama proses penuangan, gas yang terbawa dalam logam cair selama

proses peleburan, dan pencairan yang terlalu lama.

22

2. Hot Tears and Cracks

Hot tears adalah cacat berupa retakan yang terjadi selama pembekuan akibat

tekanan berlebih pada pembekuan logam karena berkembangnya arus panas yang

tinggi .

Crack adalah retak yang terjadi selama tahap pendinginan pada pengecoran

setelah pembekuan selesai karena penyusutan yang tidak seimbang.

3. Inclusion

Inclusion adalah kehadiran material asing dalam strukturmikro benda cor ,

material tersebut dapat berasal dari tungku waktu pembakaran, dari cetakan waktu

penuangan material kecetakan atau dari material itu sendiri.

Gambar 2.7 Porositas shrinkage

Sumber : Wibowo (2011)

Sumber : Wibowo (2011)

Gambar 2.8 Hot tear and Crack

Sumber : http://keytometals.com

23

4. Misruns

Misruns adalah cacat yg terjadi karena logam cair tidak mengisi seluruh rongga

cetakan sehingga benda cor menjadi tidak lengkap atau ada bagian yg kurang dari

benda cor. Penyebabnya adalah fluiditas logam lebur kurang, temperatur tuang

rendah ,dan kecepatan penuangan lambat.

5. Cold Shuts

Cold Shuts adalah dua aliran logam lebur bertemu tetapi kurang terjadi fusi

atau penggabungan antara keduanya sehingga menimbulkan pendinginan yang

premature.

Gambar 2.9 Inclusion

Sumber : http://www.themetalcasting.com

Gambar 2.10 Misruns

Sumber : http://www.themetalcasting.com

24

6. Shrinkage

Shrinkage adanya rongga-rongga dengan permukaan kasar serta dendritic baik

merupakan rongga tunggal yang besar sampai rongga-rongga kecil yang mengumpul

pada lokasi tertentu.

2.7.1 Porositas

Salah satu penyebab terjadinya porositas pada penuangan paduan aluminium

adalah gas hidrogen. Porositas oleh gas hidrogen dalam hasil coran paduan

aluminium-silikon akan memberikan pengaruh yang buruk pada kekuatan, serta

kesempurnaan dari benda tuang tersebut. Penyebabnya antara lain kontrol yang

kurang sempurna terhadap absorbsi gas, pegeluaran gas dari dalam logam karena

interaksi antara gas dengan logam selama peleburan dan penuangan. Porositas adalah

suatu cacat pada produk cor yang dapat menurunkan kualitas hasil coran (Firdaus,

2002).

Pada proses penuangan, hidrogen yang larut selama peleburan akan tertinggal

setelah proses pembekuannya, karena kelarutannya pada fasa cair lebih tinggi dari

pada fasa padat. Gas yang dikeluarkan dari larutan akan terperangkap pada struktur

padat. Gas yang dikeluarkan bernukliasi pada cairan selama pembekuan dan diantara

fasa padat cair. Banyaknya porositas yang terjadi pada pengecoran paduan

aluminium tidak saja tergantung dengan banyaknya kandungan gas hidrogen yang

terabsorbsi oleh logam, tetapi tergantung juga pada kecepatan pembekuan logam

Gambar 2.11 Cold shut

Sumber : http://www.themetalcasting.com

25

dalam cetakan. Makin rendah kecepatan pembekuan kemungkinan terjadinya

porositas akan lebih besar. (Ifan, 1998)

Berikut dapat adalah tabel cacat-catat yang terjadi beserta penyebab dan cara

mengatasi cacat-cacat yang terjadi pada benda cor :

Tabel 2.1 Cacat-cacat pengecoran

Cacat

pengecoran

Penjelasan Pencegahan

Porositas Terperangkapnya gas (hidrogen) dalam

logam cair pada waktu proses pengecoran.

Penyebab :

1. Gas terbawa dalam logam cair

selama pencairan.

2. Gas terserap dalam logam cair dari

cetakan.

3. Reaksi logam induk dengan uap

air dari cetakan.

4. Titik cair terlalu tinggi dan waktu

pencairan terlalu lama.

1. Pemanasan Cetakan.

2. Penghilangan

dengan.fluks,

terutama.fluorida

dan.klorida.dari logam

alkali tanah.

3. Pencairan Ulang.

4. Temperatur.tuang

yang sesuai.

Hot Tears and

cracks

1. Hot tears adalah cacat berupa

retakan yang terjadi selama

pembekuan akibat tekanan

berlebih pada pembekuan logam

karena berkembangnya arus panas

yang tinggi.

2. Crack adalah retak yang terjadi

selama tahap pendinginan pada

pengecoran setelah pembekuan

selesai karena penyusutan yang

tidak seimbang.

1. Isi cetakan secepat

mungkin.

2. Ubah.saluran

penuangan.

3. Modifikasi.desain

cetakan.dengan

menghindari transisi

tajam diantara bagian

tipis dan tebal.

26

Inclusion

Inclusion adalah kehadiran

material.asing,dalam.strukturmikro

benda cor , material tersebut dapat

berasal dari tungku waktu

pembakaran, dari cetakan waktu

penuangan material kecetakan atau

dari material itu sendiri.

1. Penyaringan material.

2. Menghindari.aliran

logam dalam sistem

pengecoran.yang

dapat.mengikis

cetakan.

Misruns Cacat yang terjadi karena logam cair tidak

mengisi seluruh rongga cetakan sehingga

benda cor menjadi tidak lengkap atau ada

bagian yang kurang dari benda cor.

Penyebab :

1. Ketidakseragaman benda cor,

sehingga mengganggu aliran dari

logam cair.

2. Benda cor terlalu tipis dan

temperatur terlalu rendah.

3. Kecepatan penuangan yg terlalu

lambat.

4. Lubang angin yang kurang pada

cetakan.

1. Temperatur.tuang

jangan terlalu tinggi.

2. Kecepatan penuangan

yang tinggi.

3. Jumlah saluran harus

ditambah dan logam

cair harus diisikan

secara seragam dari

beberapa tempat pada

cetakan.

4. Lubang angin harus

ditambah dan pada inti

harus cukup.

Cold Shuts dua aliran logam lebur bertemu tetapi

kurang terjadi fusi atau penggabungan

antara keduanya sehingga menimbulkan

pendinginan yang premature.

1. Tuangkan.secepat

mungkin.

2. Desain sistem saluran

cairan ,untuk mengisi

saluran cetakan tanpa

gangguan.

3. Panaskan cetakan.

4. Menghindari

pengecoran.yang

panjang dan tipis

27

2.8 Pengujian Spesimen

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik dari pengecoran

paduan aluminium silikon (Al-7%Si) baik itu karakteristik porositas dan densitas.

Pengaruh temperatur penuangan terhadap benda cor. Dilakukan dengan pengujian

seperti : pengujian besarnya porositas dengan menggunakan pengukuran densitas ,

untuk struktur mikronya dan karakteristik porositas dapat diuji dengan menggunakan

Uji SEM (Scanning Electron Microscopy).

2.8.1 Pengujian Porositas

Pada pengujian porositas dapat dilakukan dengan menggunakan dua cara yaitu:

pengujian menggunakan perhitungan densitas dari spesimen dan dapat dilakukan

mengunakan uji SEM (Scanning Electron Microscopy).

Shrinkage Adanya rongga-rongga dengan permukaan

kasar serta dendritic baik merupakan

rongga tunggal yang besar sampai rongga-

rongga kecil yang mengumpul pada lokasi

tertentu.

Penyebab :

1. Perbedaan ketebalan benda cor

yang terlalu besar.

2. Terdapatnya bagian tebal yang

tidak dapat dialiri logam cair

secara utuh.

3. Saluran masuk dan penambah

tidak mendukung adanya

solidifikasi progesif.

4. Saluran masuk dan penambah

yang kurang banyak.

5. Saluran masuk dan penambah

yang salah dalam peletakannya

dan terlalu kecil.

1. Digunakan

pembekuan mengarah

sehingga.penambah

dapat bekerja secara

efektif.

2. Penggunaan cil yang

dimaksudkan.agar

terjadi.pembekuan

mengarah.dan

pengaruh.penambah

meningkat.

3. Daerah pengisian yang

efektif dari penambah.

Sumber : ( Casting Design and Performance 2009 )

28

a). Pengujian porositas menggunakan perhitungan densitas

Menurut Taylor (2000) porositas yang terbentuk dapat diketahui dengan

melakukan pengukuran densitas dengan menggunakan metode Piknometri dan

perhitungan presentase porositas yang terjadi dapat diketahui dengan

membandingkan densitas sempel material dengan densitas berdasarkan teori.

Densitas adalah besaran fisis yaitu perbandingan massa (m) dengan volume benda

(V). Pengukuran densitas yang materialnya berbentuk padatan atau bulk digunakan

metode Archimedes.Untuk menghitung nilai densitas sample dan theoritis digunakan

persamaan :

Densitas Sample

Dimana :

ρm = Densitas sample (gram/cm3)

ms = Massa sample kering (gram)

mg = Massa sample yang direndam dalam air (gram)

ρH2O = Massa jenis air (1 gram/cm3)

Densitas teoritis

ρth= ρAl. VAl + ρSi .VSi (Paduan aluminium silikon)

ρth = Densitas teoritis (gram/cm3)

ρAl = Densitas aluminium (gram/cm3) (2,7g/m

3)

ρSi = Densitas silikon (gram/cm3) (2,32g/cm

3)

VAl = Fraksi volume Al (93% = 0,93)

VSi = Fraksi volume Si (7% = 0,07)

Perhitungan porositas

Porositas dapat didefinisikan sebagai perbandingan antara jumlah volume

ruang kosong (rongga pori) yang dimiliki oleh zat padat terhadap jumlah dari volume

zat padat itu sendiri. Porositas suatu bahan pada umumnya dinyatakan sebagai

porositas terbuka atau apparent porositydan dapat dinyatakan dengan persamaan.

……………………………………………...............(2.1)

………………(2.2)

………………………………………............................………...(2.3)

29

ρm = Densitas sample (gram/cm3)

ρth = Densitas teoritis (gram/cm3)

b). Pengamatan karakteristik porositas

Pada pengukuran porositas menggunakan perhitungan densitas bertujuan untuk

mencari besarnya porositas yang terjadi akan tetapi karakteristik dari cacat porositas

spesimen tidak dapat diketahui. Perlu dilakukan pengujian SEM untuk mengetahui

karakteristik bentuk porositas yang terjadi.Pengujian dilakukan menggunakan uji

SEM (Scanning Electron Microscopy).

Uji SEM (Scanning Electron Microscopy)

SEM (Scanning Electron Microscopy) merupakan salah satu jenis mikroscop

electron yang menggunakan berkas electron untuk menggambarkan bentuk

permukaan dari material yang dianalisis.Elektron memiliki resolusi yang lebih tinggi

daripada cahaya. Cahaya hanya mampu mencapai 200nm, sedangkan elektron bisa

mencapai resolusi sampai 0,1 – 0,2 nm. Dibawah ini diberikan perbandingan hasil

gambar mikroskop cahaya dengan elektron (Nugroho,2012).

Gambar 2.12 Pengukuran densitas

Sumber : Wardoyo, dkk., 2011

30

Prinsip kerja dari SEM ini adalah dengan menggambarkan permukaan benda

atau material dengan berkas electron yang dipantulkan dengan energi

tinggi. Permukaan material yang disinari atau terkena berkar electron akan

memantulkan kembali berkas electron atau dinamakan berkas electron sekunder ke

segala arah. Tetapi dari semua berkas electron yang dipantulkan terdapat satu berkas

electron yang dipantulkan dengan intensitas tertinggi. Detector yang terdapat di

dalam SEM akan mendeteksi berkas electron berintensitas tertinggi yang

dipantulkan oleh benda atau material yang dianalisis. Selain itu juga dapat

menentukan lokasi berkas electron yang berintensitas tertinggi .

Prinsip kerja dari SEM adalah sebagai berikut:

1. Sebuah pistol elektron memproduksi sinar elektron dan dipercepat dengan anoda.

2. Lensa magnetik memfokuskan elektron menuju ke sampel.

3. Sinar elektron yang terfokus memindai (scan) keseluruhan sampel dengan

diarahkan oleh koil pemindai.

4. Ketika elektron mengenai sampel maka sampel akan mengeluarkan elektron baru

yang akan diterima oleh detektor dan dikirim ke monitor (CRT).

Gambar 2.13 Perbandingan hasil uji SEM

Sumber : https://materialcerdas.wordpress.com

31

Ada beberapa sinyal yang penting yang dihasilkan oleh SEM.

Tabel 2.2 Sinyal-sinyal pada alat uji SEM

Sinyal Deteksi

Informasi yang Didapat

Resolusi

Lateral

Kedalaman

dari Informasi

Secondary

Electrons

Topografi permukaan,

kontras komposisi

5 - 100 nm

5 - 50 nm

Backscattered

electrons

Kontras komposisi,

topografi permukaan ,

orientasi kristal, domain

magnet

50 - 100 nm

30 - 1000 nm

Specimen

Current

Kontras yang lengkap

ke backscattered dan

sinyal secondary electron

50 - 100 nm

30 - 1000 nm

Characteristic

x-rays

Komposisi elemen,

distribusi elemen

0,5 - 2 μm

0,1 - 1 μm

Gambar 2.14 Skema kerja dari SEM

Sumber : https://materialcerdas.wordpress.com

32

(Sumber: Nugroho,2012)

Aplikasi dari teknik SEM – EDS dirangkum sebagai berikut:

1. Topografi: Menganalisa permukaan dan teksture (kekerasan, reflektivitas)

2. Morfologi: Menganalisa bentuk dan ukuran dari benda sampel

3. Komposisi: Menganalisa komposisi dari permukaan benda secara

kuantitatif dan kualitatif.

Sedangkan kelemahan dari teknik SEM antara lain:

1. Memerlukan kondisi vakum

2. Hanya menganalisa permukaan

3. Resolusi lebih rendah dari TEM

4. Sampel harus bahan yang konduktif, jika tidak konduktor maka perlu

dilapis logam seperti emas.

(primary

Fluorescence)

Cathodolumine

-scence

Deteksi fasa nonmetal

dan semikonduksi