tugas pengujian material

18
PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 1 BAB 1 PENGUJIAN TARIK 1.1 Prinsip pengujian Sampel atau benda uji dengan ukuran dan bentuk tertentu ditarik dengan beban kontinyu sambil diukur pertambahan panjangnya. Data yang didapat berupa perubahan panjang dan perubahan beban yang selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik tegangan-regangan, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1.1. Data-data penting yang diharapkan didapat dari pengujian tarik ini adalah: perilaku mekanik material dan karakteristik perpatahan. 1.1.1. Perilaku mekanik material Pengujian tarik yang dilakukan pada suatu material padatan (logam dan nonlogam) dapat memberikan keterangan yang relatif lengkap mengenai perilaku material tersebut terhadap pembebanan mekanis. Informasi penting yang bisa didapat adalah: a. Batas proporsionalitas (proportionality limit) Merupakan daerah batas dimana tegangan dan regangan mempunyai hubungan proporsionalitas satu dengan lainnya. Setiap penambahan tegangan akan diikuti dengan penambahan regangan secara proporsional dalam hubungan linier σ=Eε (bandingkan dengan hubungan y = mx; dimana y mewakili tegangan; x mewakili regangan dan m mewakili slope kemiringan dari modulus kekakuan). Titik P pada Gambar 1.1 di bawah ini menunjukkan batas proporsionalitas dari kurva tegangan-regangan. Gambar 1.1. Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat baja ulet

Upload: rachmadiady-hatedeui

Post on 21-Jul-2015

79 views

Category:

Engineering


5 download

TRANSCRIPT

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 1

BAB 1

PENGUJIAN TARIK

1.1 Prinsip pengujian

Sampel atau benda uji dengan ukuran dan bentuk tertentu ditarik dengan beban

kontinyu sambil diukur pertambahan panjangnya. Data yang didapat berupa perubahan

panjang dan perubahan beban yang selanjutnya ditampilkan dalam bentuk grafik

tegangan-regangan, sebagaimana ditunjukkan oleh Gambar 1.1. Data-data penting yang

diharapkan didapat dari pengujian tarik ini adalah: perilaku mekanik material dan

karakteristik perpatahan.

1.1.1. Perilaku mekanik material

Pengujian tarik yang dilakukan pada suatu material padatan (logam dan nonlogam)

dapat memberikan keterangan yang relatif lengkap mengenai perilaku material tersebut

terhadap pembebanan mekanis. Informasi penting yang bisa didapat adalah:

a. Batas proporsionalitas (proportionality limit)

Merupakan daerah batas dimana tegangan dan regangan mempunyai

hubungan proporsionalitas satu dengan lainnya. Setiap penambahan tegangan

akan diikuti dengan penambahan regangan secara proporsional dalam hubungan linier

σ=Eε (bandingkan dengan hubungan y = mx; dimana y mewakili tegangan; x mewakili

regangan dan m mewakili slope kemiringan dari modulus kekakuan). Titik P pada Gambar

1.1 di bawah ini menunjukkan batas proporsionalitas dari kurva tegangan-regangan.

Gambar 1.1. Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat baja ulet

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 2

b. Batas elastis (elastic limit)

Daerah elastis adalah daerah dimana bahan akan kembali kepada

panjang semula bila tegangan luar dihilangkan. Daerah proporsionalitas merupakan

bahagian dari batas elastik ini. Selanjutnya bila bahan terus diberikan tegangan (deformasi

dari luar) maka batas elastis akan terlampaui pada akhirnya sehingga bahan tidak akan

kembali kepada ukuran semula. Dengan kata lain dapat didefinisikan bahwa batas elastis

merupakan suatu titik dimana tegangan yang diberikan akan menyebabkan terjadinya

deformasi permanen (plastis) pertama kalinya. Kebanyakan material teknik memiliki

batas elastis yang hampir berimpitan dengan batas proporsionalitasnya.

c. Titik luluh (yield point) dan kekuatan luluh (yield strength)

Titik ini merupakan suatu batas dimana material akan terus mengalami

deformasi tanpa adanya penambahan beban. Tegangan (stress) yang

mengakibatkan bahan menunjukkan mekanisme luluh ini disebut tegangan luluh (yield

stress). Titik luluh ditunjukkan oleh titik Y pada Gambar 1.1 di atas. Gejala luluh

umumnya hanya ditunjukkan oleh logam-logam ulet dengan struktur Kristal BCC dan

FCC yang membentuk interstitial solid solution dari atom-atom carbon, boron, hidrogen

dan oksigen. Interaksi antara dislokasi dan atom-atom tersebut menyebabkan baja ulet

eperti mild steel menunjukkan titik luluh bawah (lower yield point) dan titik luluh atas

(upper yield point). Baja berkekuatan tinggi dan besi tuang yang getas

umumnya tidak memperlihatkan batas luluh yang jelas. Untuk menentukan kekuatan

luluh material seperti ini maka digunakan suatu metode yang dikenal sebagai

Metode Offset. Dengan metode ini kekuatan luluh (yield strength) ditentukan sebagai

tegangan dimana bahan memperlihatkan batas penyimpangan/deviasi tertentu dari

proporsionalitas tegangan dan regangan. Pada Gambar 1.2 di bawah ini garis offset OX

ditarik paralel dengan OP, sehingga perpotongan XW dan kurva tegangan-regangan

memberikan titik Y sebagai kekuatan luluh. Umumnya garis offset OX diambil 0.1 – 0.2%

dari regangan total dimulai dari titik O.

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 3

Gambar 1.2. Kurva tegangan-regangan dari sebuah benda uji terbuat dari bahan getas

Kekuatan luluh atau titik luluh merupakan suatu gambaran kemampuan bahan

menahan deformasi permanen bila digunakan dalam penggunaan struktural yang

melibatkan pembebanan mekanik seperti tarik, tekan bending atau puntiran. Di sisi lain,

batas luluh ini harus dicapai ataupun dilewati bila bahan (logam) dipakai dalam proses

manufaktur produk-produk logam seperti proses rolling, drawing, stretching dan

sebagainya. Dapat dikatakan bahwa titik luluh adalah suatu tingkat tegangan yang:

Tidak boleh dilewati dalam penggunaan struktural (in service)

Harus dilewati dalam proses manufaktur logam (forming process)

d. Kekuatan tarik maksimum (ultimate tensile strength)

Merupakan tegangan maksiumum yang dapat ditanggung oleh material sebelum

terjadinya perpatahan (fracture). Nilai kekuatan tarik maksimum σ uts ditentukan

dari beban maksimum Fmaks dibagi luas penampang awal Ao.

𝑈𝑇𝑆 = 𝐹 𝑚𝑎𝑥

𝐴

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 4

Pada bahan ulet tegangan maksimum ini ditunjukkan oleh titik M (Gambar

1.1) dan selanjutnya bahan akan terus berdeformasi hingga titik B. Bahan

yang bersifat getas memberikan perilaku yang berbeda dimana tegangan

maksimum sekaligus tegangan perpatahan (titik B pada Gambar 1.2). Dalam

kaitannya dengan penggunaan structural maupun dalam proses forming bahan,

kekuatan maksimum adalah batas tegangan yang sama sekali tidak boleh dilewati.

e. Kekuatan Putus (breaking strength)

Kekuatan putus ditentukan dengan membagi beban pada saat benda uji putus (F

breaking) dengan luas penampang awal Ao. Untuk bahan yang bersifat ulet pada saat

beban maksimum M terlampaui dan bahan terus terdeformasi hingga titik putus B maka

terjadi mekanisme penciutan (necking) sebagai akibat adanya suatu deformasi yang

terlokalisasi. Pada bahan ulet kekuatan putus adalah lebih kecil daripada kekuatan

maksimum sementara pada bahan getas kekuatan putus adalah sama dengan kekuatan

maksimumnya.

f. Keuletan (ductility)

Keuletan merupakan suatu sifat yang menggambarkan kemampuan logam

menahan deformasi hingga terjadinya perpatahan. Sifat ini , dalam beberapa tingkatan,

harus dimiliki oleh bahan bila ingin dibentuk (forming) melalui proses rolling, bending,

stretching, drawing, hammering, cutting dan sebagainya. Pengujian tarik memberikan dua

metode pengukuran keuletan bahan yaitu:

Persentase perpanjangan (elongation)

Diukur sebagai penambahan panjang ukur setelah perpatahan terhadap panjang

awalnya.

Elongasi, ε (%) = [(Lf-Lo)/Lo] x 100%

dimana Lf adalah panjang akhir dan Lo panjang awal dari benda uji.

Persentase pengurangan/reduksi penampang (Area Reduction)

Diukur sebagai pengurangan luas penampang (cross-section) setelah perpatahan

terhadapluas penampang awalnya.

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 5

Reduksi penampang, R (%) = [(Ao-Af)/Ao] x 100%

dimana Af adalah luas penampang akhir dan Ao luas penampang awal.

g. Modulus elastisitas (E)

Modulus elastisitas atau modulus Young merupakan ukuran kekakuan

suatu material. Semakin besar harga modulus ini maka semakin kecil regangan elastis

yang terjadi pada suatu tingkat pembebanan tertentu, atau dapat dikatakan

material tersebut semakin kaku (stiff). Pada grafik tegangan-regangan (Gambar 1.1

dan 1.2), modulus kekakuan tersebut dapat dihitung dari slope kemiringan garis elastis

yang linier, diberikan oleh:

E = σ/ε atau E = tan α (1.4)

dimana α adalah sudut yang dibentuk oleh daerah elastis kurva tegangan-regangan.

Modulus elastisitas suatu material ditentukan oleh energi ikat antar atom-atom, sehingga

besarnya nilai modulus ini tidak dapat dirubah oleh suatu proses tanpa merubah struktur

bahan. Sebagai contoh diberikan oleh Gambar 1.3 di bawah ini yang menunjukkan grafik

tegangan-regangan beberapa jenis baja:

Gambar 1.3. Grafik tegangan-regangan beberapa baja yang memperlihatkan kesamaan

modulus kekakuan

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 6

h. Modulus kelentingan (modulus of resilience)

Mewakili kemampuan material untuk menyerap energi dari luar tanpa terjadinya

kerusakan. Nilai modulus dapat diperoleh dari luas segitiga yang dibentuk oleh area

elastik diagram tegangan-regangan pada Gambar 1.1.

i. Modulus ketangguhan (modulus of toughness)

Merupakan kemampuan material dalam menyerap energi hingga

terjadinya perpatahan. Secara kuantitatif dapat ditentukan dari luas area

keseluruhan di bawah kurva teganganregangan hasil pengujian tarik seperti

Gambar 1.1. Pertimbangan disain yang mengikut sertakan modulus ketangguhan

menjadi sangat penting untuk komponen-komponen yang mungkin mengalami

pembebanan berlebih secara tidak disengaja. Material dengan modulus

ketangguhan yang tinggi akan mengalami distorsi yang besar karena pembebanan berlebih,

tetapi hal ini tetap disukai dibandingkan material dengan modulus yang rendah dimana

perpatahan akan terjadi tanpa suatu peringatan terlebih dahulu.

j. Kurva tegangan-regangan rekayasa dan sesungguhnya

Kurva tegangan-regangan rekayasa didasarkan atas dimensi awal (luas area dan

panjang) dari benda uji, sementara untuk mendapatkan kurva tegangan-regangan

sesungguhnya diperlukan luas area dan panjang aktual pada saat pembebanan setiap saat

terukur. Perbedaan kedua kurva tidaklah terlampau besar pada regangan yang kecil, tetapi

menjadi signifikan pada rentang terjadinya pengerasan regangan (strain hardening),

yaitu setelah titik luluh terlampaui. Secara khusus perbedaan menjadi demikian besar

di dalam daerah necking. Pada kurva tegangan-regangan rekayasa, dapat diketahui bahwa

benda uji secara aktual mampu menahan turunnya beban karena luas area awal Ao bernilai

konstan pada saat penghitungan tegangan σ = P/Ao. Sementara pada kurva tegangan-

regangan sesungguhnya luas area actual adalah selalu turun hingga terjadinya perpatahan

dan benda uji mampu menahan peningkatan tegangan karena σ = P/A. Gambar 1.4 di

bawah ini memperlihatkan contoh kedua kurva tegangan-regangan tersebut pada baja

karbon rendah (mild steel).

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 7

1.1.2. Mode Perpatahan Material

Sampel hasil pengujian tarik dapat menunjukkan beberapa tampilan perpatahan

seperti diilustrasikan oleh Gambar 1.5 di bawah ini:

Perpatahan ulet memberikan karakteristk berserabut (fibrous) dan gelap (dull),

sementara perpatahan getas ditandai dengan permukaan patahan yang berbutir (granular)

dan terang. Perpatahan ulet umumnya lebih disukai karena bahan ulet umumnya

lebih tangguh dan memberikan peringatan lebih dahulu sebelum terjadinya

kerusakan Pengamatan kedua tampilan perpatahan itu dapat dilakukan baik dengan mata

telanjang maupun dengan bantuan stereoscan macroscope. Pengamatan lebih detil

dimungkinkan dengan penggunaan SEM (Scanning Electron Microscope).

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 8

a. Perpatahan Ulet

Gambar 1.6 di bawah ini memberikan ilustrasi skematis terjadinya perpatahan ulet

pada suatu spesimen yang diberikan pembebanan tarik:

Gambar 1.6 . Tahapan terjadinya perpatahan ulet pada sampel uji tarik:

a) Penyempitan awal

b) Pembentukan rongga-rongga kecil (cavity)

c) Penyatuan rongga-rongga membentuk suatu Retakan

d) Perambatan retak

e) Perpatahangeser akhir pada sudut 45°.

b. Perpatahan Getas

Perpatahan getas memiliki ciri-ciri sebagai berikut:

1. Tidak ada atau sedikit sekali deformasi plastis yang terjadi pada material

2. Retak/perpatahan merambat sepanjang bidang-bidang kristalin membelah atom-atom

material (transgranular).

3. Pada material lunak dengan butir kasar (coarse-grain) maka dapat dilihat pola-pola yang

dinamakan chevrons or fan-like pattern yang berkembang keluar dari daerah awal

kegagalan.

4. Material keras dengan butir halus (fine-grain) tidak memiliki pola-pola yang

mudah dibedakan.

5. Material amorphous (seperti gelas) memiliki permukaan patahan yang

bercahaya dan mulus.

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 9

BAB 2

PENGUJIAN KEKERASAN

2.1 Prinsip pengujian

Dari uraian singkat di atas maka kekerasan suatu material dapat

didefinisikan sebagai ketahanan material tersebut terhadap gaya penekanan dari material

lain yang lebih keras. Penekanan tersebut dapat berupa mekanisme penggoresan

(scratching), pantulan ataupun indentasi dari material keras terhadap suatu permukaan

benda uji.Berdasarkan mekanisme penekanan tersebut, dikenal 3 metode uji kekerasan:

2.1.1. Metode gores

Metode ini tidak banyak lagi digunakan dalam dunia metalurgi dan material lanjut,

tetapi masih sering dipakai dalam dunia mineralogi. Metode ini dikenalkan oleh Friedrich

Mohs yang membagi kekerasan material di dunia ini berdasarkan skala (yang kemudian

dikenal sebagai skala Mohs). Skala ini bervariasi dari nilai 1 untuk kekerasan yang paling

rendah, sebagaimana dimiliki oleh material talk, hingga skala 10 sebagai nilai kekerasan

tertinggi, sebagaimana dimiliki oleh intan. Dalam skala Mohs urutan nilai kekerasan

material didunia ini diwakili oleh:

1. Talc 6. Orthoclase

2. Gipsum 7. Quartz

3. Calcite 8. Topaz

4. Fluorite 9. Corundum

5. Apatite 10. Diamond (intan)

Prinsip pengujian:

Bila suatu mineral mampu digores oleh Orthoclase (no. 6) tetapi tidak mampu digores oleh

Apatite (no. 5), maka kekerasan mineral tersebut berada antara 5 dan 6. Berdasarkan hal

ini, jelas terlihat bahwa metode ini memiliki kekurangan utama berupa ketidak akuratan

nilai kekerasan suatu material. Bila kekerasan mineral-mineral diuji dengan

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 10

metode lain, ditemukan bahwa nilai-nilainya berkisar antara 1-9 saja, sedangkan

nilai 9-10 memiliki rentang yang besar.

2.1.3. Metode elastik/pantul (rebound)

Dengan metode ini, kekerasan suatu material ditentukan oleh alat

Scleroscope yang mengukur tinggi pantulan suatu pemukul (hammer) dengan berat

tertentu yang dijatuhkan dari suatu ketinggian terhadap permukaan benda uji.

Tinggi pantulan (rebound) yang dihasilkan mewakili kekerasan benda uji. Semakin

tinggi pantulan tersebut, yang ditunjukkan oleh dial pada alat pengukur, maka kekerasan

benda uji dinilai semakin tinggi.

2.1.3. Metode indentasi

Pengujian dengan metode ini dilakukan dengan penekanan benda uji dengan

indentor dengan gaya tekan dan waktu indentasi yang ditentukan. Kekerasan suatu

material ditentukan oleh dalam ataupun luas area indentasi yang dihasilkan

(tergantung jenis indentor dan jenis pengujian). Berdasarkan prinsip bekerjanya

metode uji kekerasan dengan cara indentasi dapat diklasifikasikan sebagai berikut:

a. Metode Brinell

Metode ini diperkenalkan pertama kali oleh J.A. Brinell pada tahun

1900. Pengujian kekerasan dilakukan dengan memakai bola baja yang diperkeras

(hardened steel ball) dengan beban dan waktu indentasi tertentu, sebagaimana

ditunjukkan oleh Gambar 2.1. Hasil penekanan adalah jejak berbentuk lingkaran

bulat, yang harus dihitung diameternya di bawah mikroskop khusus pengukur jejak.

Contoh pengukuran hasil penjejakan diberikan oleh Gambar 2.2. Pengukuran

nilai kekerasan suatu material diberikan oleh rumus:

dimana P adalah beban (kg), D diameter indentor (mm) dan d diameter jejak (mm).

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 11

Prosedur standar pengujian mensyaratkan bola baja dengan diameter 10 mm dan

beban 3000 kg untuk pengujian logam-logam ferrous, atau 500 kg untuk logam-logam

non-ferrous. Untuk logam-logam ferrous, waktu indentasi biasanya sekitar 10 detik

sementara untuk logamlogam non-ferrous sekitar 30 detik. Walaupun demikian

pengaturan beban dan waktu indentasi untuk setiap material dapat pula ditentukan

oleh karakteristik alat penguji. Nilai kekerasan suatu material yang dinotasikan

dengan ‘HB’ tanpa tambahan angka di belakangnya menyatakan kondisi pengujian

standar dengan indentor bola baja 10 mm, beban 3000 kg selama waktu 1—15 detik.

Untuk kondisi yang lain, nilai kekerasan HB diikuti angka-angka yang menyatakan kondisi

pengujian. Contoh: 75 HB 10/500/30 menyatakan nilai kekerasan Brinell sebesar 75

dihasilkan oleh suatu pengujian dengan indentor 10 mm, pembebanan 500 kg selama 30

detik.

b. Metode Vickers

Pada metode ini digunakan indentor intan berbentuk piramida dengan sudut 136o,

seperti diperlihatkan oleh Gambar 2.3. Prinsip pengujian adalah sama dengan

metode Brinell, walaupun jejak yang dihasilkan berbentuk bujur sangkar

berdiagonal. Panjang diagonal diukur dengan skala pada mikroskop pengujur jejak.

Nilai kekerasan suatu material diberikan oleh:

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 12

𝑉𝐻𝑁 = 1.854 𝑃

𝑑2

dimana d adalah panjang diagonal rata-rata dari jejak berbentuk bujur sangkar.

Gambar 2.3. Skematis prinsip indentasi dengan metode Vickers

c. Metode Rockwell

Berbeda dengan metode Brinell dan Vickers dimana kekerasan suatu

bahan dinilai dari diameter/diagonal jejak yang dihasilkan maka metode Rockwell

merupakan uji kekerasan dengan pembacaan langsung (direct-reading). Metode ini

banyak dipakai dalam industry karena pertimbangan praktis. Variasi dalam beban dan

indetor yang digunakan membuat metode ini memiliki banyak macamnya. Metode yang

paling umum dipakai adalah Rockwell B (dengan indentor bola baja berdiameter

1/6 inci dan beban 100 kg) dan Rockwell C (dengan indentor intan dengan beban

150 kg). Walaupun demikian metode Rockwell lainnya juga biasa dipakai. Oleh

karenanya skala kekerasan Rockwell suatu material harus dispesifikasikan dengan

jelas. Contohnya 82 HRB, yang menyatakan material diukur dengan skala B: indentor

1/6 inci dan beban 100 kg. Berikut ini diberikan Tabel 2.1 yang

memperlihatkan perbedaan skala dan range uji dalam skala Rockwell:

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 13

Tabel 2.1. Skala pada Metode Uji Kekerasan Rockwell

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 14

BAB 3

PENGUJIAN IMPAK

3.1. Prinsip pengujian

Dasar pengujian impak ini adalah penyerapan energi potensial dari pendulum

beban yang berayun dari suatu ketinggian tertentu dan menumbuk benda uji

sehingga benda uji mengalami deformasi. Gambar 3.1 di bawah ini memberikan ilustrasi

suatu pengujian impak dengan metode Charpy:

Gambar 3.1. Ilustrasi skematis pengujian impak dengan benda uji Charpy

Pada pengujian impak ini banyaknya energi yang diserap oleh bahan

untuk terjadinya perpatahan merupakan ukuran ketahanan impak atau ketangguhan

bahan tersebut. Pada Gambar 3.1 di atas dapat dilihat bahwa setelah benda uji patah

akibat deformasi, bandul pendulum melanjutkan ayunannya hingga posisi h’. Bila bahan

tersebut tangguh yaitu makin mampu menyerap energi lebih besar maka makin rendah

posisi h’. Suatu material dikatakan tangguh bila memiliki kemampuan menyerap beban

kejut yang besar tanpa terjadinya retak atau terdeformasi dengan mudah. Pada pengujian

impak, energi yang diserap oleh benda uji biasanya dinyatakan dalam satuan Joule dan

dibaca langsung pada skala (dial) penunjuk yang telah dikalibrasi yang terdapat pada

mesin penguji. Harga impak (HI) suatu bahan yang diuji dengan metode Charpy diberikan

oleh :

𝐻𝐼 = 𝐸

𝐴

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 15

dimana E adalah energi yang diserap dalam satuan Joule dan A luas penampang di bawah

takik dalam satuan mm2. Secara umum benda uji impak dikelompokkan ke

dalam dua golongan sampel standar yaitu : batang uji Charpy sebagaimana telah

ditunjukkan pada Gambar 1, banyak digunakan di Amerika Serikat dan batang uji Izod

yang lazim digunakan di Inggris dan Eropa. Benda uji Charpy memiliki luas penampang

lintang bujur sangkar (10 x 10 mm) dan memiliki takik (notch) berbentuk V dengan sudut

45o, dengan jari-jari dasar 0,25 mm dan kedalaman 2 mm. Benda uji diletakkan pada

tumpuan dalam posisi mendatar dan bagian yang bertakik diberi beban impak dari ayunan

bandul, sebagaimana telah ditunjukkan oleh Gambar 3.1. Benda uji Izod mempunyai

penampang lintang bujur sangkar atau lingkaran dengan takik V di dekat ujung

yang dijepit. Perbedaan cara pembebanan antara metode Charpy dan Izod

ditunjukkan oleh Gambar 3.2 di bawah ini:

Gambar 3.2. Ilustrasi skematik pembebanan impak pada benda uji Charpy dan Izod

Serangkaian uji Charpy pada satu material umumnya dilakukan pada berbagai

temperature sebagai upaya untuk mengetahui temperatur transisi (akan diterangkan pada

paragrafparagraf selanjutnya). Sementara uji impak dengan metode Izod

umumnya dilakukan hanya pada temperatur ruang dan ditujukan untuk material-

material yang didisain untuk berfungsi sebagai cantilever. Takik (notch) dalam benda

uji standar ditujukan sebagai suatu konsentrasi tegangan sehingga perpatahan diharapkan

akan terjadi di bagian tersebut. Selain berbentuk V dengan sudut 45o, takik dapat

pula dibuat dengan bentuk lubang kunci (key hole).

Pengukuran lain yang biasa dilakukan dalam pengujian impak Charpy adalah

penelaahan

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 16

permukaan perpatahan untuk menentukan jenis perpatahan (fracografi) yang terjadi.

Secara umum sebagaimana analisis perpatahan pada benda hasil uji tarik maka perpatahan

impak digolongkan menjadi 3 jenis, yaitu:

1. Perpatahan berserat (fibrous fracture), yang melibatkan mekanisme

pergeseran bidang-bidang kristal di dalam bahan (logam) yang ulet

(ductile). Ditandai dengan permukaan patahan berserat yang berbentuk dimpel

yang menyerap cahaya dan berpenampilan buram.

2. Perpatahan granular/kristalin, yang dihasilkan oleh mekanisme pembelahan

(cleavage) pada butir-butir dari bahan (logam) yang rapuh (brittle). Ditandai dengan

permukaan patahan yang datar yang mampu memberikan daya pantul cahaya yang

tinggi (mengkilat).

3. Perpatahan campuran (berserat dan granular). Merupakan kombinasi dua jenis

perpatahan di atas.

Selain dengan harga impak yang ditunjukkan oleh alat uji, pengukuran

ketangguhan suatu bahan dapat dilakukan dengan memperkirakan berapa persen patahan

berserat dan patahan kristalin yang yang dihasilkan oleh benda uji yang diuji pada

temperatur tertentu. Semakin banyak persentase patahan berserat maka dapat dinilai

semakin tangguh bahan tersebut.Cara ini dapat dilakukan dengan mengamati permukaan

patahan benda uji di bawah miskroskop stereoscan. Informasi lain yang dapat dihasilkan

dari pengujian impak adalah temperatur transisi bahan. Temperatur transisi adalah

temperatur yang menunjukkan transisi perubahan jenis perpatahan suatu bahan bila diuji

pada temperatur yang berbeda-beda. Pada pengujian dengan temperatur yang berbeda-

beda maka akan terlihat bahwa pada temperatur tinggi material akan bersifat ulet

(ductile) sedangkan pada temperatur rendah material akan bersifat rapuh atau getas

(brittle). Fenomena ini berkaitan dengan vibrasi atom-atom bahan pada temperatur yang

berbeda dimana pada temperatur kamar vibrasi itu berada dalam kondisi kesetimbangan

dan selanjutnya akan menjadi tinggi bila temperatur dinaikkan (ingatlah bahwa

energi panas merupakan suatu driving force terhadap pergerakan partikel atom bahan).

Vibrasi atom inilah yang berperan sebagai suatu penghalang (obstacle) terhadap

pergerakan dislokasi pada saat terjadi deformasi kejut/impak dari luar. Dengan semakin

tinggi vibrasi itu maka pergerakan dislokasi mejadi relatif sulit sehingga dibutuhkan energi

yang lebih besar untuk mematahkan benda uji. Sebaliknya pada temperatur di

bawah nol derajat Celcius, vibrasi atom relatif sedikit sehingga pada saat bahan

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 17

dideformasi pergerakan dislokasi menjadi lebih mudah dan benda uji menjadi lebih

mudah dipatahkan dengan energi yang relatif lebih rendah. Informasi mengenai temperatur

transisi menjadi demikian penting bila suatu material akan didisain untuk aplikasi yang

melibatkan rentang temperatur yang besar, misalnya dari temperatur di bawah nol derajat

Celcius hingga temperatur tinggi di atas 100 derajat Celcius, contoh sistem penukar

panas (heat exchanger). Hampir semua logam berkekuatan rendah dengan struktur

kristal FCC seperti tembaga dan aluminium bersifat ulet pada semua temperatur sementara

bahan dengan kekuatan luluh yang tinggi bersifat rapuh. Bahan keramik, polimer dan

logam-logam BCC dengan kekuatan luluh rendah dan sedang memiliki transisi rapuh-

ulet bila temperatur dinaikkan. Hampir semua baja karbon yang dipakai pada

jembatan, kapal, jaringan pipa dan sebagainya bersifat rapuh pada temperatur rendah.

Gambar 3.4 memberikan ilustrasi efek temperatur terhadap ketangguhan impak

beberapa bahan, sedangkan Gambar 3.5 menyajikan bentuk benda uji impak berdasarkan

ASTM E-23-56T.

Gambar 3.4. Efek temperatur terhadap ketangguhan impak beberapa material

PROSEDURE UJI TARIK , KEKERASAN DAN IMPACT PADA MATERIAL

BERDASARKAN STANDAR ASTM E23-56T

SISTEM MANUFACTURE TERPADU Teknik Mesin STT Wastukancana Purwakarta Page 18

Gambar 3.5. Bentuk dan dimensi benda uji impak berdasarkan ASTM E23-56T