tugas milis hukum pertanahan

Upload: eck-graham-bell

Post on 08-Apr-2018

224 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/7/2019 Tugas Milis Hukum Pertanahan

    1/9

    Dari berbagai sumber

    HAK ULAYAT

    SEKILAS SEJARAH DAN PERKEMBANGANNYA

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Sejarah hukum pertanahan di Indonesia tidak terlepas dari hak ulayat. Jauh sebelum

    terciptanya UU No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA),

    masyarakat hukum adat kita telah mengenal hak ulayat. Hak ulayat sebagai hubungan hukum

    yang konkret, pada asal mulanya diciptakan oleh nenek moyang secara komunal (bersama) atau

    Kekuatan Gaib, pada waktu meninggalkan atau menganugerahkan tanah yang bersangkutan

    kepada orang-orang yang merupakan kelompok tertentu (Boedi Harsono, 1999). Hak ulayat itu

    sendiri bagian yang tidak terpisahkan dari masyarakat hukum adat.

    Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 mengamanatkan kepada pemerintah

    sebagai penyelenggara negara untuk dapat mengelola bumi, air dan kekayaan yang terkandung di

    dalamnya dengan sebaik-baiknya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Yang dimaksud

    dengan rakyat adalah seluruh penduduk Indonesia termasuk di dalamnya masyarakat adat.

    Berbicara mengenai masyarakat adat atau masyarakat hukum adat, tidak bisa dilepaskan

    dengan adanya hak ulayat. Pasal 3 UUPA menetapkan bahwa hak ulayat dan hak-hak yang

    serupa itu dari masyarakat hukum adat masih tetap dilaksanakan oleh masyarakat hukum adat

    yang bersangkutan sepanjang hak ulayat itu menurut kenyataannya masih ada.

  • 8/7/2019 Tugas Milis Hukum Pertanahan

    2/9

    Dari berbagai sumber

    Pada Pasal 1 ayat (1) Permeneg Agraria/Kepala BPN No. 5/1999 pengertian hak ulayat

    dan yang serupa itu dari masyarakat hukum adat (untuk selanjutnya disebut hak ulayat), adalah

    kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai oleh masyarakat hukum adat tertentu atas

    wilayah tertentu yang merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari

    sumber daya alam, termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan

    kehidupannya, yang timbul dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun menurun dan tidak

    terputus antara masyarakat hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

    Hak ulayat dan hak-hak yang serupa itu dari masyarakat hukum adat, didefinisikan

    sebagai kewenangan yang menurut hukum adat dipunyai masyarakat hukum adat tertentu yang

    merupakan lingkungan hidup para warganya untuk mengambil manfaat dari sumber daya alam,

    termasuk tanah, dalam wilayah tersebut, bagi kelangsungan hidup dan kehidupannya, yang timbul

    dari hubungan secara lahiriah dan batiniah turun temurun dan tidak terputus antara masyarakat

    hukum adat tersebut dengan wilayah yang bersangkutan.

    BAB II

    PEMBAHASAN

    Hak ulayat, sebutan yang dikenal dalam kepustakaan Hukum Adat dan dikalangan

    masyarakat hukum adat diberbagai daerah dikenal dengan nama yang berbeda-beda, merupakan

    hak penguasaan yang teringgi atas tanah dalam hukum adat, yang meliputi semua tanah yang

    termasuk dalam lingkungan wilayah suatu masyrakat hukum adat tertentu, yang merupakan

    tanah kepunyaan bersama para warganya. Hak ulayat mengandung 2 unsur yaitu unsur hukum

    perdata (hak kepunyaan bersama para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan atas

    tanah ulayat, yang dipercayai berasal mula-mula sebagai peninggalan nenek moyang mereka dan

    merupakan karunia suatu kekuatan gaib, sebagai pendukung utama kehidupan dan penghidupan

    serta lingkungan hidup seluruh warga masyrakat hukum adat itu) dan unsur hukum publik

    (kewenangan untuk mengelola dan mengatur peruntukan, penggunaan, dan penguasaan tanah

    ulayat tersebut, baik dalam hubungan intern dengan wargannya sendiri maupun ekstern dengan

    orang-orang bukan warga atau orang luar.

  • 8/7/2019 Tugas Milis Hukum Pertanahan

    3/9

    Dari berbagai sumber

    Seperti telah disebutkan bahwa pengakuan tentang keberadaan masyarakat hukum adat

    beserta hak ulayatnya tertuang dalam Pasal 18 B ayat (2) dan Pasal 28i ayat (3) UUD 1945,

    namun dalam kenyataannya pengakuan terhadap keberadaan masyarakat hukum adat beserta

    hak-hak tradisional, yang biasa disebut hak ulayat, seringkali tidak konsisten dalam pelaksanaan

    pembangunan nasional. Titik berat hak ulayat adalah penguasaan atas tanah adat beserta

    seluruh isinya oleh masyarakat hukum adat. Penguasaan di sini bukanlah dalam arti memiliki

    tetapi hanya sebatas mengelola.

    Pada dasarnya pelaksanaan hak ulayat (sepanjang kenyataan masih ada) dilakukan oleh

    masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Ada 3 kriteria dan penentuan terkait adanya hak

    ulayat, yaitu unsur masyarakat adat, unsur wilayah, unsur hubungan antara masyarakat tersebut

    dengan wilayahnya. Namun dalam perkembangan dinamika kehidupan, keeksistensian hak ulayat

    di Indonesia masih terus dipertanyakan. Terus dipertanyakan karena pada dasarnya masih

    terdapat beberapa kasus di daerah yang membuat masyarakat adat yang berhak atas hak ulayat

    mereka dirampas oleh segelintir kepentingan pihak-pihak tertentu yang berkuasa bahkan

    pemerintah. Alasan pembangunan untuk mengambil tanah rakyat, sudah sering kali digunakan

    pemerintah dan pihak penguasa (pengusaha). Apalagi sekarang muncul RUU Pengadaan Tanah

    yang sedang digodok di DPR untuk kemudian dijadikan UU. Tentu saja ini membuat masyarakat

    hukum adat sebagai pihak yang berhak atas hak ulayat mereka, semakin tergusur keberadaanya

    oleh karena adanya RUU yang memihak kepada pihak penguasa (dicurigai karena RUU tersebut

    sebagai regulasi pesanan para pengusaha). Dapat digambarkan dalam RUU ini adanya legitimasi

    penggusuran tanah rakyat (hak ulayat dalam hal ini) tanpa mekanisme perlindungan korban. RUU

    ini mensyaratkan kepemilikan dengan bukti sertifikat yang menjadi dasar ganti rugi. Padahal,

    sebagian besar tanah rakyat tak dilengkapi dengan dokumen hukum yang lengkap yang dalam hal

    ini adalah hak ulayat masyarakat hukum adat. Bayangkan, sampai 2008 baru sekitar 39 juta dari

    85 juta bidang tanah yang bersertifikat. Data ini belum termasuk tanah di kawasan hutan (hak

    ulayat) yang dikuasai masyarakat adat. Artinya, bila RUU ini diberlakukan, 60% rakyat akan

    digusur tanpa adanya ganti rugi. Hak ulayat sebenarnya bukan milik pemerintah dan bukan pula

    milik orang tertentu, karena tanah ini diadakan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh

  • 8/7/2019 Tugas Milis Hukum Pertanahan

    4/9

    Dari berbagai sumber

    masyarakat, sehinngga tiadanya kepemilikan berarti bahwa semua masyarakat boleh

    memanfaatkan tanah itu untuk kepentingannya.

    BAB IIIKESIMPULAN

    Saya dan mungkin sebagian besar rakyat yang tentunya masyrakat hukum adat

    berharap keeksistensian hak ulayat di Indonesia dapat terjamin agar terciptanya

    kesejahteraan rakyat yang merata. Karena kita ketahui pengakuan hak ulayat dalam Pasal 3

    UUPA adalah sangat tegas yang menjadi dasar kuat bagi masyarakat hukum adat untuk

    menguasai, mengatur, dan memanfaatkan hak ulayatnya. Selain itu pula, dalam membuat

    RUU, pemerintah diharapkan mampu menyajikan RUU yang dapat menjaga intergrasi

    (keutuhan kesatuan) dan mampu memperpendek jurang antara yang kuat (pihak penguasa)

    dengan yang lemah (masyarakat hukum adat) serta memberi proteksi khusus kepada

    golongan yang lemah dalam berhadapan dengan golongan yang kuat. Sehingga apa yang

    dibuat dan kemudian disajikan oleh pemerintah melalui RUU kepada rakyat, rakyat tidak

    selalu suudzdzan (curiga/berprasangka buruk) bahwa produk hukum tersebut diproses

    secara licik, kucing-kucingan, dan transaksi di tempat gelap, melainkan produk hukum yang

    aspiratif, fair, transparan, dan akuntabel.

    Tugas Mata Kuliah : Hukum Pertanahan

    Dosen : Diana Napitupulu, SH., MH., M.Kn

    Disusun oleh : Eka Fridonal Bello (0940050904)

  • 8/7/2019 Tugas Milis Hukum Pertanahan

    5/9

    Dari berbagai sumber

    WAKAF TANAH: PERLUNYA SERTIFIKASI

    BAB I

    PENDAHULUAN

    Wakaf adalah adalah perbuatan yang dilakukan wakif (pihak yang melakukan wakaf)

    untuk menyerahkan sebagian atau untuk keseluruhan harta benda yang dimilikinya untuk

    kepentingan ibadah dan kesejahteraan masyarakat untuk selama-lamanya.

    Obyek wakaf yang dapat diwakafkan adalah benda bergerak maupun benda tidak

    bergerak yang dimiliki secara utuh dan dimiliki secara sah oleh pihak yang akan melakukan wakaf

    (wakif). Obyek wakaf benda tidak bergerak dapat dalam bentuk tanah, hak milik atas rumah,

    atau hak milik atas rumah susun. Sementara untuk obyek wakaf benda bergerak dapat dengan

    bentuk uang.

    Syarat wakaf yang menjadi syarat utama agar dapat sahnya suatu akad wakaf adalah

    seorang wakif telah dewasa, berakal sehat, tidak berhalangan membuat perbuatan hukum, dan

    pemilik utuh dan sah dari harta benda yang diwakafkan.

    Akad wakaf yang diikrarkan seorang wakif harus disaksikan oleh dua orang saksi dan

    pejabat pembuat akta wakaf. Ikrar akad wakaf dilaksanakan dengan ikrar dari wakif untuk

    menyerahkan harta benda yang dimiliki secara sah untuk diurus oleh nazhir (orang yang

    mengurus harta wakaf) demi kepentingan ibadah dan kesejahteraan masyarakat.

  • 8/7/2019 Tugas Milis Hukum Pertanahan

    6/9

    Dari berbagai sumber

    Wakaf menurut Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah, perbuatan hukum seseorang atau kelompok

    orang atau badan hukum yang memisahkan sebagian dari benda miliknya dan melembagakannya untuk

    selama-lamanya guna kepentingan ibadat atau keperluan umum lainnya sesuai dengan ajaran Islam (pasal

    215) Dalam pelaksanaannya, wakaf harus memenuhi unsur-unsur wakaf. Dalam Pasal 6 UU No.41 Tahun

    2004 dikatakan, unsur wakaf:

    1. Wakif2. Nazhir3. Harga Benda Wakaf4. Ikrar Wakaf5. Peruntukan harta benda wakaf6. Jangka waktu wakaf

    BAB II

    PEMBAHASAN

    Wakaf merupakan perbuatan hukum yang dilakukan wakif untuk memisahkan atau

    menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamamya atau jangka waktu

    tertentu sesuai dengan kepentingan untuk kesejahteraan menurut syariah. Tanah yang telah

    diwakafkan, dapat dimanfaatkan untuk sarana dan kegiatan ibadah, sarana dan kegiatan

    pendidikan serta kesehatan, bantuan pada fakir miskin, anak terlantar, yatim piatu, beasiswa,

    kemajuan dan peningkatan ekonomi umat atau kemajuan kesejahteraan umum lainnya yang tidak

    bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-undangan.

    Tanah wakaf sangat banyak ditemui di Indonesia, tetapi banyak dari tanah wakaf

    tersebut belum memiliki sertifikat yang menerangkan keberadaan pewakafan tanah tersebut.

    Akibatnya banyak ahli waris wakif (pemberi wakaf) mengklaim tanah yang dikelola nadzir

    (penerima dan pengelola wakaf) adalah miliknya, sehingga setiap saat bisa dialihfungsikan ataudiambil. Jika sudah demikian kejadiannya, nazhir tak akan mampu melakukan perlawanan dan

    mempertahankan tanah wakaf tersebut. Menurut pengembangan zakat dan wakaf Departemen

    Agama (Depag), langkah pengamanan yang wajib dilakukan, nazhir harus memiliki dan mengurus

    sertifikat tanah wakaf. Sertifikat tanah wakaf ini dapat dibuat di kantor urusan Agama dengan

  • 8/7/2019 Tugas Milis Hukum Pertanahan

    7/9

    Dari berbagai sumber

    menghadirkan nazhir serta beberapa orang saksi. Sertifikat atau akta tanah ini dapat menjadi

    pegangan bagi nazhir bahwa tanah yang dikelolanya benar-benar tanah wakaf dan tidak akan ada

    konflik di kemudian hari. Pejabat yang berwenang yang ditetapkan menteri untuk membuat akta

    wakaf ialah Pejabat Pembuat Akta IkrarWakaf (PPAIW).

    Sehari sebelum masa tugasnya berakhir, Menteri Agama Said Agil Husin Al Munawar

    menandatangani Keputusan Bersama dengan Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No.422

    tahun 2004 dan No.3/SKB/BPN/2004 tentang Sertifikasi Tanah Wakaf. Nota kerjasama

    ditandatangi Said Agil Husin al Munawar dan Kepala BPN Luthfi Ibrahim Nasoetion di kantor

    Departemen Agama, Jalan Lapangan Banteng, Jakarta Pusat.

    Kerjasama ini dilakukan menyusul lahirnya Undang-Undang Wakaf. Sebab masalah yang

    sangat mendasar setelah lahirnya UU Wakaf adalah perlindungan dan pengamanan terhadap

    tanah wakaf, kata Said Agil. Hal senada juga diungkapkan oleh Direktur Jenderal Bimas Islam

    dan Penyelenggaraan Haji, Taufiq Kamil, yang mengatakan masih banyak tanah wakaf yang belum

    memiliki aspek legal, alias belum bersertifikat.

    Akibat ketiadaan bukti tertulis ini, menurut Said Agil, banyak tanah wakaf yang

    terlantar atau bahkan beralih ke pihak ketiga. Berdasarkan catatan, saat ini terdapat 105.147

    persil tanah wakaf yang belum bersertifikat di seluruh Indonesia. Angka ini setara dengan

    26,04% dari jumlah seluruh tanah wakaf yang ada.

    Dengan keluarnya putusan ini, kata Said Agil, pihak departemennya di pusat dan daerah

    punya tanggungjawab melakukan inventarisasi letak dan batas tanah wakaf. Untuk bidang-bidang

    tanah wakaf yang telah jelas letak dan batasnya, dipercepat penyelesaian Akta Ikrar Wakaf-

    nya. Dan dengan ditekennya kerjasama dengan BPN, Said Agil mengharapkan agar penyelesaian

    sertifikat tanah wakaf yang telah diajukan ke kantor pertanahan, akan diprioritaskan. Dana

    untuk pendataan, inventarisasi dan sertifikasi tanah wakaf ini disediakan oleh Departemen

    Agama. Menyusul kesepakatan, Departemen Agama dan Kepala BPN akan membentuk tim teknis

    dan tim kerja untuk koordinasi sertifikasi tanah wakaf.

  • 8/7/2019 Tugas Milis Hukum Pertanahan

    8/9

    Dari berbagai sumber

    Persyaratan yang wajib dipenuhi untuk mendaftarkan tanah wakaf adalah menyerahkan

    sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan atau tanda bukti pemilikan tanah lainnya. Selain itu

    juga harus menyerahkan surat pernyataan dari wakif bahwa tanah tersebut tidak dalam

    sengketa, ikatan sitaan dan tidak dijaminkan di bank yang diketahui lurah atau pejabat

    setingkat lainnya yang diperkuat camat. Tatacara pendaftaran sertifikat tanah wakaf harus

    dilakukan berdasarkan akta ikrar wakaf atau akta pengganti akta ikrar wakaf. Terhadap tanah

    yang sudah berstatus hak milik didaftarkan menjadi tanah wakaf atas nama nazhir. Untuk tanah

    yang hanya sebagian diwakafkan, harus terlebih dahulu melakukan pemecahan sertifikat hak

    atas tanah, baru kemudian didaftrakan sebagai tanah wakaf atas nama nazhir. Bila tanah

    tersebut berstatus hak milik, atau bekas tanah adat, dapat langsung menjadi tanah wakaf.

    Tanah yang sudah terdaftar dengan hak lain ditingkatkan terlebih dahulu statusnya menjadi hakmilik baru kemudian didaftarkan menjadi tanah wakaf. Tanah yang sudah diwakafkan dilarang

    dijadikan jaminan, disita, dihibahkan, dijual, diwariskan, ditukar atau dialihkan dalam bentuk

    pengalihan hak lainnya. Tanah yang sudah diwakafkan hanya dapat diubah peruntukannya bila

    digunakan untuk kepentingan umum sesuai RUTR (Rencana Umum Tata Ruang), setelah

    memperoleh izin tertulis dari Menteri atas persetujuan badan Wakaf Indonesia. Bila tanah

    wakaf telah diubah statusnya, wajib ditukar dengan harta benda yang bermanfaat dan nilai

    tukarnya sama dengan benda wakaf semula.

    BAB III

    KESIMPULAN

    Karena telah adanya UU No. 41/2004 tentang Wakaf, diharapkan tanah-tanah yang

    diwakafkan oleh wakif di seluruh Indonesia, dapat terjamin peruntukannya demi kepentingan

    kegiatan ibadah, sarana dan kegiatan pendidikan serta kesehatan, bantuan pada fakir miskin,

    anak terlantar, yatim piatu, beasiswa, kemajuan dan peningkatan ekonomi umat atau kemajuan

    kesejahteraan umum lainnya yang tidak bertentangan dengan syariah dan peraturan perundang-

    undangan.

  • 8/7/2019 Tugas Milis Hukum Pertanahan

    9/9

    Dari berbagai sumber

    Tugas Mata Kuliah : Hukum Pertanahan

    Dosen : Diana Napitupulu, SH., MH., M.Kn

    Disusun oleh : Eka Fridonal Bello (0940050904)