tugas mattek.doc

31
PENGUJIAN MEKANIK I. Pengujian Tarik Pengujian tarik merupakan salah satu pengujian untuk mengetahui sifat-sifat suatu bahan. Dengan menarik suatu bahan kita akan segera mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material itu bertambah panjang. Alat eksperimen untuk uji tarik ini harus memiliki cengkeraman (grip) yang kuat dan kekakuan yang tinggi (highly stiff). Banyak hal yang dapat kita pelajari dari hasilPengujian tarik . Bila kita terus menarik suatu bahan (dalam hal ini suatu logam) sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap yang berupa kurva seperti digambarkan pada Gambar 1. Kurva ini menunjukkan hubungan antara gaya tarikan dengan perubahan panjang. Profil ini sangat diperlukan dalam desain yang memakai bahan tersebut Gambar 1 Gambaran singkat uji tarik Hukum Hooke (Hooke's Law) Hampir semua logam, pada tahap sangat awal dari uji tarik, hubungan antara beban atau gaya yang diberikan berbanding lurus dengan perubahan panjang bahan tersebut. Ini disebut daerah linier atau linear zone. Di daerah ini, kurva pertambahan panjang vs beban mengikuti aturan Hooke yaitu rasio tegangan (stress) dan regangan

Upload: pascal-rachman

Post on 05-Dec-2014

110 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

material teknik

TRANSCRIPT

PENGUJIAN MEKANIK I. Pengujian TarikPengujian tarik merupakan salah satu pengujian untuk mengetahui sifat-sifat suatu bahan. Dengan menarik suatu bahan kita akan segera mengetahui bagaimana bahan tersebut bereaksi terhadap tenaga tarikan dan mengetahui sejauh mana material itu bertambah panjang. Alat eksperimen untuk uji tarik ini harus memiliki cengkeraman (grip) yang kuat dan kekakuan yang tinggi (highly stiff). Banyak hal yang dapat kita pelajari dari hasilPengujian tarik . Bila kita terus menarik suatu bahan (dalam hal ini suatu logam) sampai putus, kita akan mendapatkan profil tarikan yang lengkap yang berupa kurva seperti digambarkan pada Gambar 1. Kurva ini menunjukkan hubungan antara gaya tarikan dengan perubahan panjang. Profil ini sangat diperlukan dalam desain yang memakai bahan tersebut

Gambar 1 Gambaran singkat uji tarik Hukum Hooke (Hooke's Law) Hampir semua logam, pada tahap sangat awal dari uji tarik, hubungan antara beban atau gaya yang diberikan berbanding lurus dengan perubahan panjang bahan tersebut. Ini disebut daerah linier atau linear zone. Di daerah ini, kurva pertambahan panjang vs beban mengikuti aturan Hooke yaitu rasio tegangan (stress) dan regangan (strain) adalah konstan. Stress adalah beban dibagi luas penampang bahan strain adalah pertambahan panjang dibagi panjang awal bahan Dirumuskan, Stress (Tegangan Mekanis): = F/A , F = gaya tarikan, A = luas penampang Strain (Regangan): = L/L , L = Pertambahan panjang, L = Panjang awal

Maka, hubungan antara stress dan strain dirumuskan: E= / Untuk memudahkan pembahasan, Gambar 1 kita modifikasi sedikit dari hubungan antara gaya tarikan dan pertambahan panjang menjadi hubungan antara tegangan mekanis dan regangan ( stress vs strain). Selanjutnya kita dapatkan Gambar 2, yang merupakan kurva standar ketika melakukan eksperimen uji tarik. E adalah gradien kurva dalam daerah linier, di mana perbandingan tegangan () dan regangan () selalu tetap. E diberi nama "Modulus Elastisitas" atau " Modulus Young". Kurva yang menyatakan hubungan antara strain dan stress seperti ini sering disingkat dengan kurva SS (SS curve).

Gambar 2 Kurva tegangan-regangan Sekarang akan kita bahas profil data dari uji tarik secara lebih detail. Untuk keperluan kebanyakan analisa teknik, data yang didapatkan dari uji tarik dapat digeneralisasi seperti pada Gambar 3, yaitu :

Gambar 3 Profil data hasil uji tarik

Kita akan membahas istilah mengenai sifat-sifat mekanik bahan dengan berpedoman pada hasil uji tarik seperti pada Gambar 3. Asumsikan bahwa kita melakukan uji tarik mulai dari titik O sampai D sesuai dengan arah panah dalam gambar. Batas elastic E (elastic limit), Pada Gambar 3 dinyatakan dengan titik A. Bila sebuah bahan diberi beban sampai pada titik A, kemudian bebannya dihilangkan, maka bahan tersebut akan kembali ke kondisi semula (tepatnya hampir kembali ke kondisi semula) yaitu regangan nol pada titik O (lihat Gambar 3). Tetapi bila beban ditarik sampai melewati titik A, hukum Hooke tidak lagi berlaku. Batas proporsional p (proportional limit). Titik di mana penerapan hukum Hooke masih bisa ditolerir. Tidak ada standarisasi tentang nilai ini. Dalam praktek, biasanya batas proporsional sama dengan batas elastis. Deformasi plastis (plastic deformation). Perubahan bentuk yang tidak kembali ke keadaan semula. Pada Gambar 3 yaitu bila bahan ditarik sampai melewati batas proporsional dan mencapai daerah landing. Tegangan luluh atas uy (upper yield stress). Tegangan maksimum sebelum bahan memasuki fase daerah landing peralihan deformasi elastis ke plastis.

Tegangan luluh bawah ly (lower yield stress). Tegangan rata-rata daerah landing sebelum benar-benar memasuki fase deformasi plastis. Bila hanya disebutkan tegangan luluh ( yield stress), maka yang dimaksud adalah tegangan mekanis pada titik ini. Regangan luluh y (yield strain). Regangan permanen saat bahan akan memasuki fase deformasi plastis. Regangan elastis e (elastic strain). Regangan yang diakibatkan perubahan elastis bahan. Pada saat beban dilepaskan regangan ini akan kembali ke posisi semula. Regangan plastis p (plastic strain). Regangan yang diakibatkan perubahan plastis. Pada saat beban dilepaskan regangan ini tetap tinggal sebagai perubahan permanen bahan. Regangan total (total strain). Merupakan gabungan regangan plastis dan regangan elastic (T = e+p). Perhatikan beban dengan arah OABE. Pada titik B, regangan yang ada adalah regangan total. Ketika beban dilepaskan, posisi regangan ada pada titik E dan besar regangan yang tinggal (OE) adalah regangan plastis. Tegangan tarik maksimum (UTS, Ultimate Tensile Strength). Pada Gambar 3 ditunjukkan dengan titik C (), merupakan besar tegangan maksimum yang didapatkan dalam uji tarik. Kekuatan patah (breaking strength). Pada Gambar 3 ditunjukkan dengan titik D, merupakan besar tegangan di mana bahan yang diuji putus atau patah.

Hardness TestKekerasan (Hardness) adalah salah satu sifat mekanik ( Mechanical properties) dari suatu

material. Kekerasan suatu material harus diketahui khususnya untuk material yang dalam penggunaanya akan mangalami pergesekan ( frictional force) dan deformasi plastis. Deformasi plastis sendiri suatu keadaan dari suatu material ketika material tersebut diberikan gaya maka struktur mikro dari material tersebut sudah tidak bisa kembali ke bentuk asal artinya material tersebut tidak dapat kembali ke bentuknya semula. Lebih ringkasnya kekerasan didefinisikan sebagai kemampuan suatu material untuk menahan beban identasi atau penetrasi (penekanan).

Mengapa diperlukan pengujian kekerasan? Di dalam aplikasi manufaktur, material dilakukan pengujian dengan dua pertimbangan yaitu untuk mengetahui karakteristik suatu material baru dan melihat mutu untuk memastikan suatu material memiliki spesifikasi kualitas tertentu. Didunia teknik, umumnya pengujian kekerasan menggunakan 4 macam metode pengujian kekerasan, yakni :

1.

Brinnel (HB / BHN)

Pengujian kekerasan dengan metode Brinnel bertujuan untuk menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap bola baja (identor) yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut (spesimen). Idealnya, pengujian Brinnel diperuntukan untuk material yang memiliki permukaan yang kasar dengan uji kekuatan berkisar 500-3000 kgf. Identor (Bola baja) biasanya telah dikeraskan dan diplating ataupun terbuat dari bahan Karbida Tungsten.

Uji kekerasan brinnel dirumuskan dengan :

Gambar 1 Pengujian Brinnel

Dimana : D = Diameter bola (mm) d = impression diameter (mm) F = Load (beban) (kgf) HB = Brinell result (HB)

Gambar 2 Perumusan untuk pengujian Brinell

2. Rockwell (HR / RHN) Pengujian kekerasan dengan metode Rockwell bertujuan menentukan kekerasan suatu material dalam bentuk daya tahan material terhadap indentor berupa bola baja ataupun kerucut intan yang ditekankan pada permukaan material uji tersebut. Untuk mencari besarnya nilai kekerasan dengan Gambar 3 Pengujian Rockwell menggunakan metode Rockwell dijelaskan pada gambar 4, yaitu pada langkah 1 benda uji ditekan oleh indentor dengan beban minor (Minor Load F0) setelah itu ditekan dengan beban mayor (major Load F1) pada langkah 2, dan pada langkah 3 beban mayor diambil sehingga yang tersisa adalah minor load dimana pada kondisi 3 ini

indentor ditahan seperti kondisi pada saat total load F yang terlihat pada Gambar 4. Besarnya minor load maupun major load tergantung dari jenis material yang akan di uji, jenis-jenisnya bisa dilihat pada Tabel 1.

Gambar 4 Prinsip kerja metode pengukuran kekerasan Rockwell Dibawah ini merupakan rumus yang digunakan untuk mencari besarnya kekerasan dengan metode Rockwell. HR = E - e Dimana : F0 F1 F e = Beban Minor(Minor Load) (kgf) = Beban Mayor(Major Load) (kgf) = Total beban (kgf) = Jarak antara kondisi 1 dan kondisi 3 yang dibagi dengan 0.002 mm

E = Jarak antara indentor saat diberi minor load dan zero reference line yang untuk tiap jenis indentor berbeda-beda yang bias dilihat pada table 1 HR = Besarnya nilai kekerasan dengan metode hardness Tabel dibawah ini merupakan skala yang dipakai dalam pengujian Rockwell skala dan range uji dalam skala Rockwell. Tabel 1 Rockwell Hardness Scales Scale Indentor F0 F1 F (kgf) (kgf) (kgf) 10 50 60 E Jenis Material Uji 100 Exremely hard materials, tugsen carbides,

A

Diamond cone

dll B 1/16" steel ball 10 90 100 130 Medium hard materials, low dan medium carbon steels, kuningan, perunggu, dll 100 Hardened steels, hardened and tempered alloys 100 Annealed kuningan dan tembaga 130 Berrylium copper,phosphor bronze, dll 130 Alumunium sheet 130 Cast iron, alumunium alloys 130 Plastik dan soft metals seperti timah 130 Sama dengan H scale 130 Sama dengan H scale 130 Sama dengan H scale 130 Sama dengan H scale 130 Sama dengan H scale 130 Sama dengan H scale 130 Sama dengan H scale

C

Diamond cone

10

140

150

D E F G H K L M P R S V

Diamond cone 1/8" steel ball 1/16" steel ball 1/16" steel ball 1/8" steel ball 1/8" steel ball 1/4" steel ball 1/4" steel ball 1/4" steel ball 1/2" steel ball 1/2" steel ball 1/2" steel ball

10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10 10

90 90 50 140 50 140 50 90 140 50 90 140

100 100 60 150 60 150 60 100 150 60 100 150

3.

Vikers (HV / VHN)

Pengujian kekerasan dengan metode Vickers bertujuan menentukan kekerasan suatu material dalam yaitu daya tahan material terhadap indentor intan yang cukup kecil dan mempunyai bentuk geometri berbentuk piramid seperti ditunjukkan pada gambar 3. Beban yang dikenakan juga jauh lebih kecil dibanding dengan pengujian rockwell dan brinel yaitu antara 1 sampai 1000 gram. Angka kekerasan Vickers (HV) didefinisikan sebagai hasil bagi (koefisien) dari beban uji (F)

dengan luas permukaan bekas luka tekan (injakan) dari indentor(diagonalnya) (A) yang dikalikan dengan sin (136/2). Rumus untuk menentukan besarnya nilai kekerasan dengan metode vikers yaitu :

Gambar 3 Pengujian Vikers

Gambar 4 Bentuk indentor Vickers (Callister, 2001)

(1)

.(2)

(3)

Dimana, HV F d = Angka kekerasan Vickers = Beban (kgf) = diagonal (mm)

4.

Micro Hardness (knoop hardness)

Mikrohardness test tahu sering disebut dengan knoop hardness testing merupakan pengujian

yang cocok untuk pengujian material yang nilai kekerasannya rendah. Knoop biasanya digunakan untuk mengukur material yang getas seperti keramik.

Gambar 5 Bentuk indentor Knoop ( Callister, 2001) Dimana, HK F l = Angka kekerasan Knoop = Beban (kgf) = Panjang dari indentor (mm)

Nah, setelah kita mengetahui macam-macam pengujian untuk uji kekerasan maka kita harus memikirkan apa yang harus kita ketahui untuk menentukan metode uji kekerasan yang digunakan, untuk itu kita harus memperhatikan hal-hal dibawah ini : a. b. c. d. Permukaan material Jenis dan dimensi material Jenis data yang diinginkan Ketersedian alat uji

III. Impact test III.2Charpy Impact TestCharpy Impact Test, juga dikenal sebagai tes V-notch Charpy, adalah tinggi standar regangan-tingkat tes yang menentukan jumlah energi yang diserap oleh material selama fraktur. Ini energi yang diserap adalah ukuran ketangguhan takik bahan tertentu dan bertindak sebagai alat untuk belajar bergantung pada suhu transisi. Hal ini banyak digunakan pada industri, karena mudah untuk mempersiapkan dan melakukan dan hasilnya dapat diperoleh dengan cepat dan murah. Tes ini dikembangkan sekitar tahun 1900 oleh SB Russell (1898, American) dan G. Charpy (1901, Perancis). Tes dikenal sebagai tes Charpy pada awal 1900-an karena kontribusi teknis dan upaya standarisasi oleh Georges Charpy. Tes ini penting dalam memahami masalah

fraktur kapal selama Perang Dunia II Pada saat ini, Charpy Impact Test digunakan di banyak industri untuk pengujian bahan yang digunakan dalam pembangunan kapal tekanan dan jembatan dan untuk menentukan bagaimana badai akan mempengaruhi bahan yang digunakan di dalamnya. Alat untuk pegujian Charpy Impact tersebut adalah Charpy Impact Tester atau Charpy Impact Testing Machine. Alat ini tersusun dari pendulum massa diketahui dan panjang yang dijatuhkan dari ketinggian diketahui dampak spesimen berlekuk bahan. Energi yang ditransfer ke material dapat disimpulkan dengan membandingkan perbedaan ketinggian palu sebelum dan setelah fraktur (energi yang diserap oleh peristiwa fraktur). Notch dalam sampel mempengaruhi hasil tes dampak, sehingga perlu bagi kedudukan menjadi dimensi reguler dan geometri. Ukuran sampel juga dapat mempengaruhi hasil, karena dimensi menentukan apakah atau tidak material berada dalam plane strain. Perbedaan ini sangat mempengaruhi kesimpulan yang dibuat. Metode Standar untuk Pengujian Impact Test ditemukan pada ASTM E23, ISO 148-1 atau EN 10.045-1, di mana semua aspek dari tes dan peralatan yang digunakan akan dijelaskan secara rinci. Kuantitatif hasil Hasil kuantitatif dari dampak tes energi yang diperlukan untuk fraktur material dan dapat digunakan untuk mengukur ketangguhan material dan kekuatan luluh. Juga, laju regangan dapat dipelajari dan dianalisis untuk efeknya pada fraktur. Suhu transisi (DBTT) dapat diturunkan dari temperatur di mana energi yang diperlukan untuk fraktur materi drastis berubah. Namun, dalam prakteknya tidak ada transisi tajam dan sulit untuk mendapatkan suhu transisi yang tepat (itu benar-benar wilayah transisi). Sebuah DBTT yang tepat dapat diperoleh secara empiris dalam banyak cara: energi diserap tertentu, perubahan aspek fraktur . Kualitatif hasil Hasil dari uji kualitatif dampak dapat digunakan untuk menentukan daktilitas material. Jika istirahat materi pada bidang datar, fraktur itu rapuh, dan jika istirahat material dengan tepi bergerigi atau bibir geser, maka fraktur. adalah ulet. Biasanya material tidak pecah hanya dalam satu cara atau yang lain, dan dengan demikian membandingkan bergerigi ke daerah permukaan datar dari fraktur akan memberikan perkiraan persentase patah ulet dan rapuh.

IV. Fatigue test FRACTURE TOUGHNESS Umum Fracture toughness merupakan indikasi untuk menentukan berapa harga stress yang diijinkan untuk meminimalisir perambatan cacat yang sudah ada sebelumnya. Cacat yang terjadi mungkin muncul sebagai retak, void, inklusi, cacat las, desain diskontinuitas, atau beberapa kombinasi dari semuanya. Sebuah parameter yang disebut faktor intensitas tegangan (K) digunakan untuk menentukan Fracture toughness sebagian besar bahan. Angka Romawi menunjukkan modus patahan. Mode I adalah kondisi di mana retak tegak lurus dengan arah loading tarik terbesar. Mode II adalah kondisi di mana retak sejajar dengan arah beban (shear stress). Sedangkan Mode III adalah kondisi akibat shear stress yang menyamping. Mode I adalah modus yang paling sering ditemui. Dibawah ini akan dibahas tentang persamaan untuk mempertimbangkan nilai KI. Faktor intensitas tegangan merupakan fungsi dari beban, ukuran retak, dan bentuk geometri. Faktor intensitas tegangan dapat diwakili oleh persamaan berikut: = . . Di mana: KI = Fracture toughness ( ) = tegangan (MPa atau psi) a = panjang retak (meter atau inci) = faktor geometri = 1,99 0,41 + 18,7 38,48 + 53,851 w = lebar specimen (sejajar a) Penngaruh ketebalan bahan Spesimen yang memiliki perbedaan ukuran secara absolut akan menghasilkan nilai KI berbeda. Tegangan yang terjadi pada ketebalan yang berbeda akan membuat perambatan retak yang berbeda pula. Setelah ketebalan melebihi dimensi kritis, nilai KI menjadi relatif konstan. Disebut sebagai KIC, yaitu sifat asli dari material atau planestrain fracture toughness. Hubungan antara KI dan KIC sama dengan hubungan antara stres ujung retak dan tegangan tarik. Jika sudah diketahui nilai KIC , maka dengan ketebalan berapapun fracture yang terjadi akan dapat stabil. Dan jika nilai KI melebihi nilai KIC, akan terjadi unstabil fracture.

Plane-Strain dan Plane-Stress Ketika material terdapat retak dan sedang dalam kondisi bertegangan, melebihi tegangan yieldnya maka akan terjadi deformasi plastis di daerah sekitar ujung retak. Ujung retak yang mengalami tegangan kurang dari tegangan yield akan sama dengan tegangan material yang bebas cacat, tetapi dapat mengalami deformasi lateral (dalam arah Z) karena tidak ada tegangan yang normal terhadap permukaan bebas. Sebagian daerah (surface) cenderung terjadi patah ulet dalam cara yang khas, dengan arah 45o akibat tegangan geser. Kondisi ini disebut plane-stres, terjadi pada material tipis di mana ketebalan tidak mampu menahan tegangan yang terjadi. Material yang terdapat tegangan triaxial akan membentuk perambatan retak yang tegak lurus dengan arah beban. Namun sebelumnya terjadi juga tegangan geser pada permukaan membentuk sudut 45o. Kondisi ini disebut plane-strain dan ditemukan dalam material tebal. Pada daerah permukaan akan terjadi patah ductile, tetapi jika arah perambatan retak sudah tegak lurus, maka akan terjadi patah brittle. Plane-Strain Fracture Toughness Testing Ketika melakukan tes fracture toughness, bantuk specimen yang paling umum adalah satu takik tepi lengkung (SENB atau tiga titik tikungan), dan compact tension (CT) spesimen. Dari pembahasan di atas, jelaslah bahwa penentuan yang akurat pada plane-strain harus ditentukan dulu ketebalan kritis (B). Pengujian telah menunjukkan bahwa kondisi plane-strain umumnya berlaku jika: Dimana: B = ketebalan minimum yang menghasilkan deformasi plastik minimal di ujung retak. KIC = Fracture toughness ( ) y = tegangan yield (MPa atau psi) Jika nilai ketangguhan patah tulang yang dihasilkan dari pengujian tidak memenuhi persyaratan di atas persamaan, tes harus diulang dengan menggunakan spesimen yang lebih tebal. Kadang-kadang tidak mungkin untuk menghasilkan spesimen yang memenuhi persyaratan ketebalan. Misalnya ketika produk pelat relatif tipis dengan ketangguhan tinggi, tidak mungkin untuk membuat spesimen yang lebih tebal dengan plane-strain di ujung retak.

Uji Impak08:04 Mukhamad Aziz 1 comment Uji impak adalah pengujian dengan menggunakan pembebanan yang cepat (rapid loading). Klo ceritanya titanic itu, si kapal kan berada pada suhu rendah, sehingga menyebabkan materialnya menjadi getas dan mudah patah. Kemudian di laut itu kan banyak beban (tekanan) dari arah manapun. Ditambah lagi nabrak gunung es, langsung deh tegangan yang udah terkonsentrasi karena pembebanan sebelumnya menyebabkan kapalnya terbelah dua.. Pada uji impak terjadi proses penyerapan energi yang besar ketika beban menumbuk spesimen. Energi yang diserap material ini dapat dihitung dengan menggunakan prinsip perbedaan energi potensial. Tapi klo di mesin ujinya udah nunjukin energi yang dapat diserap material, ya udah.. ga perlu ngitung manual. Proses penyerapan energi ini akan diubah menjadi berbagai respon material, yaitu Deformasi plastis Efek Hysteresis Efek Inersia Standar ASTM Uji Impak

Ada dua macam pengujian impak, yaitu 1. Charpy 2. Izod Perbedaan charpy dengan izod adalah peletakan spesimen. Pengujian dengan menggunkan charpy lebih akurat karena pada izod, pemegang spesimen juga turut menyerap energi, sehingga energi yang terukur bukanlah energi yang mampu di serap material seutuhnya. Faktor yang mempengaruhi kegagalan material pada pengujian impak adalah Notch Notch pada material akan menyebabkan terjadinya konsentrasi tegangan pada daerah yang lancip

sehingga material lebih mudah patah. Selain itu notch juga akan menimbulkan triaxial stress. Triaxial stress ini sangat berbahaya karena tidak akan terjadi deformasi plastis dna menyebabkan material menjadi getas. Sehingga tidak ada tanda-tanda bahwa material akan mengalami kegagalan. Temperatur Pada temperatur tinggi material akan getas karena pengaruh vibrasi elektronnya yang semakin rendah, begitupun sebaliknya. Strainrate Jika pembebanan diberikan pada strain rate yang biasa-biasa saja, maka material akan sempat mengalami deformasi plastis, karena pergerakan atomnya (dislokasi). Dislokasi akan bergerak menuju ke batas butir lalu kemudian patah. Namun pada uji impak, strain rate yang diberikan sangat tinggi sehingga dislokasi tidak sempat bergerak, apalagi terjadi deformasi plastis, sehingga material akan mengalami patah transgranular, patahnya ditengah-tengah atom, bulan di batas butir. Karena dislokasi ga sempat gerak ke batas butir.

Kemudian, dari hasil percobaan akan didapatkan energi dan temperatur. Dari data tersebut, kita akan buat diagram harga impak terhadap temperatur. Energi akan berbanding lurus dengan harga impak. Kemudian kita akan mendapakan temperatur transisi. Temperatur transisi adalah range temperature dimana sifat material dapat berubah dari getas ke ulet jika material dipanaskan.

Temperatur transisi ini bergantung pada berbagai hal, salah satunya aspek metalurgi material, yaitu kadar karbon. Material dengan kadar karbon yang tinggi akan semakin getas, dan harga impaknya kecil, sehingga temperatur transisinya lebih besar. Temperatur transisi akan mempengaruhi ketahanan material terhadap perubahan suhu. Jika temperatur transisinya kecil maka material tersebut tidak tahan terhadap perubahan suhu. Pada percobaan ini, ada 10 sampel, 5 baja dan 5 aluminium. 2 baja dipanaskan dan 2 lagi didinginkan. begitu pula dengan aluminium. Dipanaskan. Baja dan aluminium ini dipanaskan dengan menggunakan kompor listrik sampai pada temperatur 200an derajat celcius. Kemudian sampel ini di beri beban impak dan hasilnya keempat sampel ini tidak patah seluruhnya, hanya sebagian. Terjadi pembengkokan pada sampel. Mengapa sampel tidak patah? Hal ini ada pengaruhnya dengan suhu. Suhu yang semakin tinggi menyebabkan vibrasi elektron semakin tinggi sehingga pergerakan elektron menjadi semakin bebas. Dan energi untuk melakukan deformasi elastis semakin rendah. Hal inilah yang menyebabkan spesimen tidak patah, melainkan hanya mengalami deformasi plastis. Pada temperatur kamar. Spesimen nya gas diberi perlakuan apapun. Langsung diberi beban impak dan spesimen nya patah ulet. Temperatur spesimen lebih rendah dari yang semula, sehingga vibrasi elektronnya lebih rendah dan menyebabkan material menjadi agak lebih getas jika dibandingkan dengan spesimen awal. Namun spesimen ini belum getas karena elektronnya masih dapat bergerak

hingga deformasi plastis. Didinginkan. Pada pengujian ini, spesimen didinginkan dengan menggunakan nitrogen cair, hingga mencapai suhu minus puluhan derajat. Kemudian spesimen diberi beban impak dan terjadi patah getas. Hal ini terjadi karena vibrasi elektron yang melemah sehingga energi yang dibutuhkan untuk elektron bergeran dan berdeformasi plastis lebih tinggi, sehingga terjadilah patah getas pada material.

Analisis.Pada baja dan aluminium terdapat perbedaan harga impak. Harga impak baja lebih tinggi daripada aluminium menunjukkan bahwa ketangguhan baja lebih tinggi jika dibandingkan dengan aluminium. Ketangguhan adalah kemampuan material untuk menyerap energy dan berdeformasi plastis hingga patah. Selain suhu, hal lain yang mempengaruhi harga impak suatu material adalah kadar karbonnya. Material yang memiliki kadar karbon yang tinggi akan lebih getas. Hal ini akan mempengaruhi harga impaknya dan temperature transisi. Material yang memiliki kadar karbon tinggi akan memiliki temperature transisi yang lebih panjang jika dibandingkan dengan material yang memiliki kadar karbon rendah. Temperatur transisi yang berbeda-beda ini akan mempengaruhi ketahanan material terhadap perubahan suhu. Material yang memiliki temperature transisi rendah maka material tersebut tidak akan tehan terhadap perubahan suhu. Pada pembebanan impak ini, terjadi proses penyerapan energy yang besar. Penyerapan energy ini akan diubah menjadi berbagai respon material seperti deformasi plastis, efek hysteresis, dan inersia. Sebuah system dengan hysteresis menunjukkan rate-independent memory, yaitu kemampuan suatu material untuk mengingat bentuk atau sifat sebelum material tersebut berubah karena pengaruh gaya dari luar material. Banyak system fisik yang menunjukkan hysteresis yang alami. Misalnya sebuah besi yang diletakkan pada medan magnet akan memiliki sifat magnet, bahkan setelah medan magnetnya dipindahkan. Ketika sekali di magnetisasi, besi tersebut akan tetap memiliki sifat magnet. Untuk menghilangkan sifat magnetnya, dapat dilakukan dengan menempatkannya pada medan magnet yang arahnya berlawanan. Efek hysteresis ini biasanya terjadi jika material diberikan beban yang sangat cepat dan beban tersebut pun dihilangkan dengan cepat.

Efek inersia adalah kemampuan suatu material untuk mempertahankan bentuknya ketika diberikan gaya. Ketika diberikan pembebanan dengan strain rate yang tinggi material tersebut tidak sempat untuk mempertahankan bentuknya dan akhirnya patah .

Izod Pengujian - Penentuan Energi Dampak Menggunakan Uji IzodTopics Covered Topik CoveredImpact Tests Dampak Tes What is Impact Energy Apa Dampak Energi The Izod Test The Izod Uji Izod Test Specimens Izod Uji Spesimen

What Does the Izod Test Involve? Apa Test Izod Libatkan? Izod Tests at Different Temperatures Izod Pengujian pada Suhu Berbeda Determination of Izod Impact Energy Penentuan Energi Dampak Izod ISO and ASTM Impact Strengths ISO dan ASTM Dampak Kekuatan Factors Affecting Izod Impact Energy Faktor-faktor yang Mempengaruhi Energi Dampak Izod Yield Strength and Ductility Hasil Kekuatan dan Daktilitas Notches Takik Temperature and Strain Rate Suhu dan Tingkat Regangan Fracture Mechanism Fraktur Mekanisme Ductile to Brittle Transition Daktail untuk Transisi Brittle

Impact Tests Dampak TesImpact tests are designed to measure the resistance to failure of a material to a suddenly applied force such as collision, falling object or instantaneous blow. Tes dampak dirancang untuk mengukur ketahanan terhadap kegagalan material untuk kekuatan tiba-tiba diterapkan seperti tabrakan, benda jatuh atau pukulan seketika. The test measures the impact energy, or the energy absorbed prior to fracture. Tes ini mengukur energi impak, atau energi yang diserap sebelum fraktur. The most common methods of measuring impact energy are the: Metode yang paling umum untuk mengukur energi impak adalah: Charpy Test Uji Charpy Izod Test Izod Uji

What is Impact Energy Apa Dampak EnergiImpact energy is a measure of the work done to fracture a test specimen. Dampak energi adalah ukuran dari pekerjaan yang dilakukan untuk mematahkan benda uji. When the striker impacts the specimen, the specimen will absorb energy until it yields. Ketika striker dampak spesimen, spesimen akan menyerap energi sampai menghasilkan. At this point, the specimen will begin to undergo plastic deformation at the notch. Pada titik ini, spesimen akan mulai menjalani deformasi plastik pada takikan. The test specimen continues to absorb energy and work hardens at the plastic zone at the notch. Benda uji terus menyerap energi dan kerja mengeras di zona plastis pada takikan. When the specimen can absorb no more energy, fracture occurs. Ketika spesimen dapat menyerap energi tidak lebih, fraktur terjadi. Brittle materials generally have lower impact stregths, while those registering higher impact strengths tend to to be tougher. Bahan rapuh umumnya memiliki dampak lebih rendah stregths, sementara mereka mendaftar kekuatan dampak yang lebih tinggi cenderung menjadi lebih keras.

The Itu Izod Izod Test UjiThe Izod test is has become the standard testing procedure for comparing the impact resistances of plastics. Tes Izod ini telah menjadi prosedur pengujian standar untuk membandingkan resistensi dampak dari plastik. While being the standard for plastics it is also used on other materials. Sementara menjadi standar untuk plastik itu juga digunakan pada bahan lainnya. The Izod test is most commonly used to evaluate the relative toughness or impact toughness of materials and as such is often used in quality control applications where it is a fast and economical test. Tes Izod ini paling sering digunakan untuk mengevaluasi ketangguhan relatif atau ketangguhan dampak bahan dan dengan demikian sering digunakan dalam aplikasi kontrol kualitas di mana ini adalah tes cepat dan ekonomis. It is used more as a comparative test rather than a definitive test. Hal ini digunakan lebih sebagai tes komparatif daripada tes definitif. This is also in part due to the fact that the values do not relate accurately to the impact strength of moulded parts or actual components under actual operational conditions. Hal ini juga sebagian karena fakta bahwa nilai-nilai tidak akurat berhubungan dengan kekuatan impak bagian dibentuk atau komponen yang sebenarnya dalam kondisi