tugas keanekaragam hayati (indra nugraha, 250120140011)(1).pdf
TRANSCRIPT
MANFAAT RATIFIKASI UNCBD (UNITED NATION CONVENTION
BIOLOGICAL DIVERSITY) BAGI INDONESIA
(DILIHAT DARI PASAL PER PASAL)
TUGAS
Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Dalam Mata Kuliah
Keanekaragaman Hayati
DISUSUN OLEH :
INDRA NUGRAHA
250120140011
MAGISTER ILMU LINGKUNGAN
UNIVERSITAS PADJAJARAN
2015
1
BAB I
PENDAHULUAN
Protokol Nagoya tentang Akses Kepada Sumberdaya Genetik dan
pembanginan Keuntungan yang Adil dan Seimbang yang Timbul dari
Pemanfaatannya atas Konvensi Keanekaragaman Hayati, telah diadposi dalam
kerangka Konvensi keanekaragaman Hayati (CBD) di Nagoya, Jepang pada
tanggal 30 Oktober 2010. Tujuannya adalah pembangian keuntungan yang adil
dan seimbang yang timbul dari pemanfaatan sumberdaya genetik, agar dapat
memberikan konstribusi terhadap konservasi dan pemanfaatan berkelanjutan dan
keanekaragaman hayati dan menerapkan ketiga tujuan Konvensi Kenanekargaman
Hayati (Kementerian Lingkungan Hidup, 2014).
Yulia et. Al (2013) menyebutkan bahwa Adpoksi Nagoya di jepang telah
mengkritisi beberapa persoalan dalam Convention on Biologocal Diversity dan
salah satunya adalah Access and Benefit Sharing (ABS). ABS merupakan salah
satu tujuan dari CBD melalui kerjasama secara adil dan merata dalam
pemanfaatan keanekaragaman hayati, tetapi pengaturan ABS dalam CBD masih
bersifat umum. Keberadaan Protokol Nagoya merupakan protokol tambahan dari
CBD yang mengatur tentang akses sumberdaya genetik dan pembagian
keuntungan yang adil dan seimbang yang timbul dari pemanfaatan
keanekaragaman hayati.
Melihat fenomena pemanfaatan keanekaragaman hayati secara bebas di
Indonesia dan keberadaan Protokol Nagoya sebagai aturan dalam mengakses
keanekaragaman hayati, maka dalam tulisan ini, akan dikhususkan mengkaji
melindungi keanekaragaman hayati melalui access and benefit sharing (ABS)
berdasarkan Protokol Nagoya. Oleh karena itu, perlu adanya analisis bagaimana
secara filosofi dan teoritikal dalam melindungi keanekaragaman hayati dan
kandungan prinsip-prinsip perlindungan dalam Protokol nagoya.
Makalah ini, akan membahas keuntungan yang diperoleh oleh Indonesia
dengan meratifikasi UNCBD dilihat dari pasal per pasal.
2
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Pasal 1 : Tujuan
Hartati (2012) mengatakan bahwa tujuan pembentukan CBD ditegaskan
yaitu konservasi keanekaragaman hayati, pemanfaatan komponen-komponenya
secara berkelanjutan dan membagi keuntungan yang dihasilkan dari
pendayagunaan sumberdaya genetik secara adil dan merata, termasuk melalui
akses yang memadai terhadap sumberdaya genetik dan dengan alih teknologi yang
tepat guna, dan dengan memperhatikan semua hak atas sumber-sumber daya dan
teknologi itu, maupun dengan pendanaan yang memadai.
2.2. Pasal 2 : Pengertian
Pasal 2 berisi tentang pengertian-pengertian yang terdapat dalam naskah
UNCBD. "Keanekaragaman hayati" ialah keanekaragaman di antara mahluk
hidup dari semua sumber termasuk diantaranya, daratan, lautan dan ekosistem
akuatik lain serta kompleks-kompleks ekologi yang merupakan bagian dari
keanekaragamannya; mencakup keanekaragaman didalam species, antara species
dan ekosistem.
2.3. Pasal 3 : Prinsip
Sesuai dengan Piagam Perserikatan Bangsa-bangsa dan azas-azas hukum
internasional setiap negara mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan
sumber-sumber dayanya sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungannya
sendiri, dan tanggung jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang
dilakukan di dalam yurisdiksinya atau kendalinya tidak akan menimbulkan
kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau kawasan di luar batas yurisdiksi
nasionalnya.
3
2.4. Pasal 4 : Lingkup Kedaulatan
Penegasan kedaulatan negara atas keanekaragaman hayati menjadi
perdebatan sejak penolakan CBD dari doktrin “Warisan bersama umat manusia.
Pasal ini telah memberikan kedaulatan negara untuk mengeksploitasi sumberdaya
alam mereka sendiri sesuai dengan kebijakan pembangunan lingkungan sendiri
dan bertanggung jawab untuk memastikan bahwa aktivitas di dalam yurisdiksinya
atau kendalinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain
atau kawasan di luar batas yurisdiksi nasional. CBD telah memberikan kedaulatan
bagi negara untuk melindungi dan mengelola pemanfaatan keanekaragaman
hayati. Kedaulatan tersebut menjadikan negara sebagai penanggung jawab dalam
segala aktivitas pemanfaatan keanekaragaman hayati.
Hal ini juga ditegaskan pada pasal selanjutnya, bahwa diakui pula hak
kewenangan negara atas keanekaragaman hayati, sehingga kewenangan untuk
mementukan akses terhadap keanekaragaman hayati berada pada pemerintah dan
tergantung pada undang-undang negara yang berlaku. Pengaturan akses tidak
bermakna terbatas terhadap akses, tetapi justru membuat persyaratan yang
memberi kemudahan akses keanekaragaman hayati untuk pemanfaatan
berkesinambungan yang ramah lingkungan dan mendukung pembagian
keuntungan yang dihasilkan dari pemanfaatan keanekaragaman hayati tersebut.
Indonesia sebagai negara berkembang pula memiliki kewenangan untuk
melindungi keanekaragaman hayati yang berada dalam wilayah yurisdiksinya.
Akan tetapi, hak berdaulat negara untuk mengeksploitasi keanekaragaman hayti
mereka mesti dilakukan dengan bertanggung jawab unuk memastikan bahwa
aktivitas-aktivitas di dalam yurisdiksi atau kendalinya tidak menimbulkan
bencana kerusakan terhadap alam sekitar negara lain.
2.5. Pasal 5 : Kerjasama Internasional
Hartati (2012) Pembagian keuntungan yang ditegaskan dalam lampiran
pasal kerjasama internasional adlaah transfer teknologi. Akses terhadap transfer
teknologi tersebut ditegaskan dalam pasal ini dimana CBD memerlukan pihak
untuk menyediakan atau memfasilitasi akses dan transfer teknologi yang sesuai
4
dengan negara penyedia. Akses dan transfer teknologi harus disertai dengan
persyaratan adil dan paling menguntungkan, termasuk persyaratan konsesi dan
preferensi. Pasal ini mendukung adanya mekanisme keuangan dari CBD dalam
membantu pembayaran teknologi tersebut. Terkait dengan hal tersebut makan
para pihak harus mengambil langkah-langkah legislatif, administratif atau
kebijakan yang diperlukan dengan tujuan agar negara-negara berkembang
menyediakan sumberdaya, diberikan akses dan alih teknologi yang menggunakan
sumberdaya, serta mendapatkan sektor swasta untuk memfasilitasi akses terhadap
pengembangan bersama dan alih teknologi untuk kepentingan kedua lembaga
pemerintah dan sektor swasta negara-negara berkembang.
2.6. Pasal 6 : Tindakan Umum Konservasi dan Pemanfaatan Secara
berkelanjutan
Dengan adanya pasal ini, diharapkan dapat terbentuk fokus dan prioritas
dari upaya-upaya yang akan dilakukan untuk konservasi flora dan fauna di
Indonesia sehingga dapat berjalan dengan arah yang jelas. Dengan adanya arahan
strategis yang jelas pemerintah dapat menentukan kebijakan lanjutan yang terkait
dengan konservasi spesies.
Spsies flora dan fauna Indonesia merupakan salah satu sumberdaya alam
terbarukan jika dapat dikelola dengan cara berkelanjutan. Banyak masyarakat
Indonesia yang menggantungkan kehidupannya pada perdagangan komersial
satwa dan tumbuhan liar. Tidak jarang pula satwa dan tumbuhan liar Indonesia
diekspor ke berbagai negara dan menjadikan Indonesia dikenal baik sebagai
sumber keanekaragaman hayati yang kaya.
Dengan menggunakan prinsip keberlanjutan perdagangan komersil dapat
dilakukan terhadap spesies yang tidak dilindungi atau spesies yang dilindungi
secara terbatas. Pasal ini ‘memaksa’ pemerintah untuk melakukan pemantauan
secara berkala akan populasi spesies yang diperdagangkan
5
2.7. Pasal 7 : Identifikasi dan Pemantauan
Dengan dilakukannya identifikasi keanekaragaman hayati, pemerintah akan
memiliki data infentarisis kekayaan alam Indonesia yang sesungguhnya. Dengan
dimilikinya data ini, klaim-klaim dari negara asing akan keanekaan hayati di
Indonesia dapat dihindari. Selain itu, dengan adanya data yang jelas mengenai
keanekaan hayati Indonesia para peneliti dapat lebih mudah melakukan penelitian-
penelitian lanjutan mengenai manfaat maupun jenis keanekaan hayati yang ada.
Dengan dilakukannya pemantauan Indonesia akan mampu mengenali
kondisi populasi dari tiap spesies yang ada. Hal ini akan memudahkan dalam
upaya pengambilan kebijakan dan membuat keputusan dalam rangka konservasi
keanekaragaman hayati yang ada.
2.8. Pasal 8 : Konservasi In-Situ
Konservasi In Situ akan dapat membantu pengelolaan populasi jenis untuk
mempertahankan sifat-sifat alami dari spesies yang dikelola. Konservasi In Situ,
terutama untuk jenis-jenis hewan endemik Indonesia yang jumlahnya setidaknya
lebih dari 70 spesies juga memiliki potensi menarik wisatawan asing maupun
lokal melalui program ekowisata. Sebagai contoh kawasan perlindungan komodo
yang sudah memiliki nama di dunia internasional, hal ini tentu saja akan dapat
membawa dampak positif bagi perekonomian makro juga perekonomian
masyarakat sekitar kawasan konservasi in-situ. Selain melalui program ekowisata,
pemerintah daerah dapat memperoleh keuntungan dari produk-produk sampingan
kawasan konservasi (misal kayu, madu, dll)s. Dengan adanya kawasan konservasi
in-situ, keanekaragaman hayati tentu akan lebih terjaga, tidak hanya spesies
khusus namun juga spesies lainnya yang berada di kawasan in-situ akan terjaga
kelestariannya.
Butir e dalam pasal ini dinyatakan bahwa setiap pihak wajib memajukan
pembangunan berwawasan lingkungan dan berkelanjutan di kawasan yang
berdekatan dengan kawasan lindung dengan maksud untuk da[pat melindungi
kawasan-kawasan ini. Dengan adanya pembangunan penduduk sekitar akan
6
memiliki kesetaraan dengan penduduk di wilayah lain, selain itu ‘lapar lahan’
dapat dihinduri sehingga konservasi dapat berjalan dengan baik
2.9. Pasal 9 : Konservasi Ex-Situ
Konservasi ex-situ merupakan pendamping kegiatan in-situ. Hal ini karena
banyak terjadi berbagai permasalahan di lapangan sekaligus memberi peluang
untuk memanfaatkan spesies secara lebih optimal. Dengan adanya upaya
konservasi ex-situ, keanekaragaman hayati dan habitat alami tidak akan terancam
akibat rasa keingin tahuan manusia
Salah satu keuntungan dilakukannya konservasi secara ex-situ adalah
adanya kemampuan restorasi apabila terjadi sesuatu terhadap habitat in-situ.
Biologis dari U.S Forest Service berhasil merestorasi 6000 pinus Torrey dari
benih yang dikumpulkan pada tahun 1986 dari 150 batang pohon. (Guerrant et al
2004)
Selain itu, tentu saja konservasi ex-situ akan membawa pemasukan dan
membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat sekitar. Kebun binatang
contohnya, di sekitar kawasan tersebut kini dijamuri penduduk yang berjualan
atau sekedar menyewakan jasa.
2.10. Pasal 10 : Pemanfaatan Secara Berkelanjutan Komponen-Kompinen
Keanekaragaman Hayati
Akan terbentuk kebijakan nasional yang pro terhadap pelestarian
keanekaragaman sumber daya hayati. Terkembangkannya praktik-praktik budaya
tradisional yang akan membawa keuntungan bagi Indonesia dengan
terlindunginya budaya tradisional.
2.11. Pasal 11 : Tindakan Insentif
Vina (2012) dalam Kovacevic (2012) mengatakan bahwa UNFCCC dan
CBD secara independen mengembangkan nasihat dan bimbingan tentang REDD+
dan perlindungan. Kami percaya bahwa para pihak dan pemangku kepentingan
7
sama-sama akan mendapat manfaat dari bimbingan sinergis sungguh tidak
membantu jika memiliki rencana yang berbeda.
2.12. Pasal 12 : Penelitian dan Pelatihan
Dengan adanya kalusa ini, Indonesia memiliki kesempatan untuk
memperoleh bantuan untuk pendidikan dan pelatihan. Dengan diadakannya
pendidikan dan pelatihan, sumber daya manusia Indonesia dapat terkembangkan
dan mampu bersaing dengan sumber daya manusia dari negara lain, terutama
dalam bidang konservasi keanekaragaman hayati.
Dengan meningkatnya penelitian Indonesia akan memiliki pengetahuan
yang lebih luas mengenai pemanfaatan serta konservasi kehati yang ada di
wilayah yuridisnya. Meningkatnya jumlah temuan dan penelitian tentu akan dapat
meningkatkan nilai tambah Indonesia di dunia Internasional
2.13. Pasal 13 : Pendidikan
Meningkatnya pendidikan dan kesadaran masyarakat akan meningkatkan
kualitas sumber daya manusia Indonesia serta menjamin keterlibatan masyarakat
dalam program konservasi. Partisipasi masyarakat akan mendukung terlaksananya
program konservasi yang berkelanjutan. Kerjasama dengan negara-negara dan
organisasi asing dapat membantu membangun hubungan baik sehingga
kesepakatan bilateral dalam bidang diluar perjanjian uncbd pun dapat berjalan
dengan baik
2.14. Pasal 14 : Pengkajian Dampak dan Pengurangan dampak yang
Merugikan
Dengan diterapkannya pasal ini, prinsip kehati-hatian dalam memanfaatkan
sumber daya alam akan semakin meningkat, dengan demikian resiko terjadinya
kerusakan lingkungan dapat dikurangi. Kerja sama internasional berupa bantuan
dalam upaya mengembangkan rencana-rencana untuk kejadian tak terdga tentu
akan menguntungkan bagi Indonesia. Pengetahuan, tekhnologi dan pengalaman
8
yang belum pernah Indonesia miliki dapat diperoleh melalui kerjasama dengan
negara lain
2.15. Pasal 15 : Akses pada Sumberdaya Genetik
Pemerintah memiliki otoritas dalam menentukan akses terhadap sumberdaya
genetik, sesuai dengan kebijakan nasional. Kewenangan yang dimiliki negara
berasal dari hak-hak berdaulat atas sumberdaya alamnya. Sumberdaya hayati
dalam konteks konvensi dibutuhkan atau digunakan untuk materi genetik yang
terkandung di dalamnya dan tidak untuk atribut mereka yang lain.
Ayat berikutnya menggambarkan pada pelaksanaan hak berdaulat, negara
berwenang untuk menentukan akses terhadap sumberdaya genetik dan
memfasilitasi akses oleh pihak lainnya. Ini menunjukkan bahwa pihak untuk
memperpanjang perlakukan khusus satu sama lain dan ini mungkin menjadi
insentif bagi negara lain untuk bergabung konvensi. Penerapan ayat 2 hanya
digunakan untuk mengakses keperluan ramah lingkungan. Sedangkan apa yang
merupakan penggunaannya diserahkan kepada kebijaksanaan dari pihak yang
memasok sumberdaya genetik. Walaupun demikian pihak penyedia juga tidak
boleh melakukan pembatasan terhadap akses sumberdaya genetik yang
bertentangan dengan tujuan konvensi.
2.16. Pasal 16 : Akses pada Teknologi dan Alih teknologi
Sebagai negara berkembang, dengan adanya pasal ini Indonesia memiliki
akses yang lebih luas terhadap ahli-ahli serta tekhnologi yang belum dimilikinya
tanpa harus takut kehilangan hak paten dan hak milik intelektual dari
keanekaragaman hayati yang dimilikinya.
2.17. Pasal 17 : Pertukaran Informasi
Pertukaran Informasi terutama dengan negara yang memiliki tekhnologi
serta sistem pengelolaan yang telah berhasil akan membantu Indonesia dalam
mengembangkan potensi keanekaragaman hayati yang ada. Selain membantu
dalam pengembangan, pertukaran informasi dapat membantu Indonesia dalam
9
merumuskan kebijakan konservasi yang sesuai tanpa harus melakukan research
dalam waktu lama. Selain itu pertukaran informasi dapat meningkatkan kualitas
sumber daya manusia Indonesia dengan membuka beragam sudut pandang yang
berbeda dari beragam informasi baru yang diperoleh.
2.18. Pasal 18 : Kerjasama Teknis dan Ilmiah
Dengan meningkatnya kerja sama internasional, banyak hal yang mampu
dicapai oleh Indonesia. Dalam pasal ini ditekankan upaya kerjasama dalam
pengembangan sumber daya manusia dan pembinaan kelembagaan. Dengan
bantuan negara asing struktur kelembagaan Indonesia dapat ditata agar menjadi
sistem kelembagaan yang lebih profesional. Peningkatan kerjasama daam
pelatihan personalian dan pertukaran pakar dapat meningkatkan kualitas
kelembagaan di Indonesia.
2.19. Pasal 19 : Penanganan Bioteknologi dan pembagian Keuntungan
Dengan semakin berkembangnya tekhnologi serta kebutuhan manusia,
organisme hasil rekayasa genetika merupakan salah satu solusi yang dianggap
mampu memecahkan beragam persoalan yang kini tengah dihadapi dunia.
Terbukanya akses terhadap akses dan keuntungan organisme hasil rekayasa
biotekhnologi tentu akan membuka keuntungan ekonomi bagi Indonesia di
kemudian hari mengingat tingginya kebutuhan manusia terutama ilmu
pengetahuan terhadap organisme hasil rekayasa genetika.
2.20. Pasal 20 : Sumber Dana
Dalam pasal 20 negara maju dapat juga menyediakan sumber-sumber dana
dan pihak-pihak negara berkembang dapat diperolehnya menurut pelaksanaan
konvensi keanekaragaman hayati melalui saluran-saluran bilateral, regional dan
multilateral lain. Indonesia sendiri merupakan Negara berkembang yang anggaran
pemerintahnya lebih fokus pada peningkataa pembangunan ekonomi dan
penetasan kemiskinan, ini sangatlah membantu.
10
2.21. Pasal 21 : Mekanisme Pendanaan
Diatur bagaimana mekanisme pendanaan dana hibah dari Negara maju
untuk Negara berkembang, konferensi para pihak wajib menentukan kebijakan,
strategi, prioritas program dan kriteria yang sah yang berkaitan dengan akses
kepada pendayagunaan sumber-sumber semacam itu. Sumbangan harus
sedemikian rupa, sehingga memperhitungkan kebutuhan yang dapat diduga,
kecukupannya dan ketersediaannya dana dalam waktu tepat yang diacu dalam
pasal 20.
Secara umum, keanekaragaman hayati yang tinggi terdapat di hutan-hutan
tropis dan mayoritas negara-negara dimana hutan tropis tersebut berada adalah
negara berkembang dimana pertumbuhan ekonominya masih berada dibawah rata-
rata pertumbuhan ekonomi global. Hal terssebut menyebabkan fokus
pembangunan Negara-negara tersebut lebih pada sektor ekonomi dan sosial
masyarakatnya, seperti halnya di Indonesia.Sedangkan untuk alokasi pendanaan
kegiatan konservasi keanekaragaman hayati masih belum cukup memadai.
Banyaknya masyarakat yang berada di bawah garis kemiskinan terutama
yang mengantungkan sumber kehidupannya dari pertanian dan sumber daya alam,
menjadikan banyak mansyarakat yang melakukan perambahan hutan sebagai
sumber mata pencahariannya. Berdasarkan Arnold et al., (2011) bahwa lebih dari
satu milyar populasi manusia yang berada dibawah garis kemiskinan mengakses
hasil hutan berupa daging dan tumbuhan sebagai pelengkap hasil pertaniannya.
Dalam konteks ini.KKH berperan dalam mengakomodasi dan memberikan
dukungan dana bagi Negara-negara berkembang untuk melakukan perlindungan,
konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati secara berkelanjutan
menjadi salah satu rencana strategi nasional berdasarkan potensi dan karakteristik
masing-masing negaranya.
2.22. Pasal 22 : Hubungan dengan Konvensi Internasional yang Lain
Keanekaragaman hayati pertanian dimasukkan ke dalam CBD atas desakan
negara-negara Selatan. Ini terjadi karena awalnya negara-negara Utara
mendesak koleksi benih diatur oleh FAO dan CGIAR saja (Consultative Groups
11
on International Agriculture Research). Yang menjadi masalah adalah koleksi
benih banyak dikuasai pihak swasta, terutama yang disimpan bank-bank gen
negara-negara Utara. Benih-benih tanaman pertanian tersebut punya nilai
milyaran dollar namun terancam kelestariannya karena upaya pelestarian
sangat kurang.
Makalah sekretariat CBD menyebutkan dampak pertanian modern pada
keanekaragaman hayati termasuk pada ternak dan mikroba namun tidak
menyebutkan tentang akuakultur menyangkut udang dan ikan, sehingga kita
perlu mendesak unsur tersebut dimasukkan. Hasil International Technical
Conference on Plant Genetic Resources keempat
yang diadakan oleh FAO di Leipzig bulan Juni lalu juga akan dilaporkan pada
COP III. Salah satu isu penting dari pertemuan tersebut adalah pendanaan
untuk melestarikan koleksi benih yang ada. Pada konferensi Leipzig, negara
Utara nyata-nyata tidak membuat komitmen untuk mendanai konservasi koleksi
tersebut, terutama karena desakan untuk membagi keuntungan secara adil. Isu
lain yang penting adalah hak petani atas benih dan sumberdaya tanaman lain,
terutama yang dikembangkan oleh mereka sendiri. Oleh karena itu, koleksi
plasma nutfah harus berada di bawah kekuasaan badan CBD, bukan pada bank
gen seperti CGIAR.
Dalam makalah sekretariat CBD, bioteknologi dinyatakan sebagai sebagian
dari teknologi adalah alat untuk melestarikan dan mengembangkan
keanekaragaman hayati pertanian. Makalah ini juga menyebutkan (dalam butir
96 tentang handling biotechnology) bahwa negosiasi untuk protokol pengamanan
hayati (biosafety) akan mempunyai relevansi dengan hal ini. Namun kita
harus ingat bahwa justru protokol ini perlu sebagai alat untuk mencegah
erosi genetika pada keanekaragaman hayati pertanian. Kita juga harus cermat
dengan adanya kecenderungan bahwa isu lain yang berkaitan dengan
bioteknologi di dalam CBD dinyatakan positif tanpa melihat proses
perundingan protokol sebagai alat pengamannya.
Hubungan CBD dengan konvensi lain seperti Ramsar (Konvensi tentang
Lahan Basah), CITES (Konvensi tentang Perdagangan Spesies Langka), dan lain-
12
lain tidaklah sulit dirumuskan karena konvensi-konvensi tersebut saling
melengkapi. Yang diperlukan hanyalah mekanisme untuk saling berkoordinasi,
misalnya yang sangat dibutuhkan adalah koordinasi dengan UNCLOS (Konvensi
PBB tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan) untuk keanekaragaman
hayati laut.
Selain itu, yang juga perlu diwaspadai adalah hubungan CBD dengan
perjanjian internasional non-lingkungan terutama Organisasi Perdagangan
Dunia (WTO). Perjanjian ini sudah mulai 'dibuat' mempengaruhi perundingan
protokol keamanan hayati dan akan dibuat mempengaruhi perundingan mengenai
alih teknologi, IPR (hak milik intelektual) dalam konvensi, akses kepada
sumberdaya genetika, serta pengakuan atas pengetahuan dan inovasi
tradisional. Untuk itu ada baiknya utusan yang dikirim ke konferensi ini
mengadakan koordinasi dengan juru runding WTO untuk merumuskan posisi
Indonesia mengenai hal ini. Selain itu, negara Dunia Ketiga harus mendesak
CBD agar keanekaragaman hayati dan pertanian tidak dimasukkan kedalam
WTO/TRIPs (Trade-related Intellectual Property Rights), karena organisasi
perdagangan dunia ini sangat diwarnai oleh kepentingan Utara dan terbukti
telah banyak merugikan negara-negara Selatan.
2.23. Pasal 23 : Konferensi Para Pihak
Ada pertemuan-pertemuan rutin yang wajib dilaksanakan dan di ikuti oleh
Indonesia. Sehingga dapat memberikan keuntungan bagi negara berkembang
seperti Indonesia untuk dapat belajar dalam implementasi ratifikasi / konvensi ini.
Sehingga dapat meminimalisir kesalahan dalam implementasi kebijakan. Negara-
negara lain, berkewajiban untuk berbagi dan memberikan nasihat ilmiah dan
nasihat kebijakan dalam pelaksanaan konvensi ini.
2.24. Pasal 24 : Sekretariat
Terdapatnya sekretariat yang berfungsi sebagai fungsi pelayanan dan fungsi
pelaporan akan memudahkan negara anggota untuk mengakses berbagai informasi
dan pelayanan yang diberikan sesuai protokol.
13
2.25. Pasal 25 : Badan Pendukung untuk Nasihat-Nasihat Ilmiah, Teknis dan
Teknologis
Ada badan pendukung yang memiliki multi kewenangan yang berkaitan
dengan konvensi ini, akan memudahkan negara anggota dalam berkoordinasi dan
membangun komunikasi antara negara serta melakukan kajian-kajian ilmiah
dalam implementasi kebijakannya.
2.26. Pasal 26 : Laporan
Pemerintah Indonesia dan negara-negara anggota lain berkewajiban
menyusun laporan tentang progress yang telah dilakukan untuk memudahkan
konvensi memutuskan kebijakan lain dalam menanggulangi berbagai masalah
yang dihadapi oleh negara anggotanya.
2.27. Pasal 27 : Penyelesaian Sengketa
Seperti halnya dengan kontrak, semua negara yang menandatangani sebuah
traktat setuju untuk diikat oleh ketentuan-ketentuan traktat itu. Perselisihan yang
muncul akibat kegagalan negara dalam memenuhi kewajibannya sesuai dengan
traktat itu dapat diselesaikan melalui negosiasi antara para pihak, melalui
mekanisme yang dibentuk oleh traktat itu sendiri, atau dengan membawanya ke
Mahkamah Internasional di Den Haag.
Opsi untuk membawa kasus ke Mahkamah Internasional hanya berlaku bagi
negara yang telah menerima yurisdiksi pengadilan tersebut; Indonesia belum
melakukannya secara umum, tetapi setiap saat dapat mengambil sikap untuk
tunduk pada yurisdiksi pengadilan itu terkait dengan setiap perselisihan tertentu.
Kepatuhan negara atas instrumen HAM intenasional utama dipantau oleh komite
pengawas yang berbasis pada PBB, seperti Komite HAM dan Komite Anti-
Penyiksaan. Protokol Opsional untuk Kovenan Internasional mengenai Hak-Hak
Sipil dan Politik telah menyusun mekanisme penyampaian keluhan oleh individu
yang menjadi korban pelanggaran hak-hak itu, tetapi Indonesia belum meratifikasi
Protokol Opsional atas Konvensi Anti Penyiksaan.( dte.go.id).
14
2.28. Pasal 28 : Pengesahan Protokol
Sudariyono (2012) mengatakan bahwa dengan adanya pengesahan Protokol
Nagoya apabila ada pihak asing ingin meneliti, memanfaatkan atau
mengembangbiakkan berbagai jenis tanaman, hewan atau obat-obat tradisional,
maka mereka wajib membayar harga kepada pihak Indonesia”. Protokol Nagoya
sangat menguntungkan Indonesia mengingat Indonesia merupakan salah satu
negara terkaya ketiga di dunia atas sumber daya genetik dan merupakan negara
terkaya nomor satu di dunia apabila kekayaan keanekaragaman hayati laut
diperhitungkan. Selain itu, makhluk hidup di sekeliling kita di Indonesia ini
sangat berharga karena jenis tanaman, hewan, buah-buahan, bahkan virus dan
bakteri yang tidak terlihat, mempunyai nilai komersial yang tinggi. Begitu pula
dengan pengetahuan tradisional seperti jamu-jamuan, ramuan herbal atau cara
pengobatan tradisional lainnya.
2.29. Pasal 29 : Amandemen Konvensi atau Protokol
Keuntungan Indonesia dalam meratifikasi UNCBD khususnya dalam pasal
29, adalah Indonesia memiliki hak sebagai anggota untuk mengusulkan
amandemen terhadap isi dari konvensi. Namun usulan itu harus di
musyawarahkan dan minimal harus disetujui oleh 2/3 anggota konvensi yang telah
menandatanginya.
2.30. Pasal 30 : Pengesahan dan Lampiran Amandemen
Lampiran merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari isi protokol
Nagoya ini. Dimana prosedur dan langkah-langkahnya sudah disepakati bersama.
Oleh karena itu, keuntungan bagi Indonesia adalah prosedur yang dilakukan sudah
terstandarisasi sehingga tidak sulit dalam pelaksanaannya.
2.31. Pasal 31 : Hak Suara
Indonesia sebagai anggota konvensi yang sudah meratifikasi memiliki hak
suara. Sehingga apa yang diusulkan oleh Indonesia, akan dibawa kedalam
mahkamah konvensi untuk dibahas apakah itu usulan amandemen maupun hal-hal
lainnya yang berkaitan dengan isi dari Protokol.
15
2.32. Pasal 32 : Hubungan Antara Konvensi dan Protokolnya
Sebagai negara yang sudah meratifikasi Konvensi ini, Indonesia berhak
turut andil dalam memutuskan suatu kebijakan dalam konvensi ini. Dimana
negara-negara yang belum meratifikasi konvensi ini, hanya diberikan kewenangan
sebagai peninjau dalam setiap pertemuan konvensi dan tidak memiliki hak suara.
2.33. Pasal 33 : Penandatanganan
Konvensi ini dibuka untuk penandatangannya di Rio de Jeniro oleh semua
negara dan Organisasi kerjasama ekonomi regional dari tanggal 5 Juni 1992
sampai dengan 14 Juni 1992 dan di markas besar Perserikatan Bangsa-bangsa di
New York dari tangal 15 Juni 1992 sampai dengan 4 Juni 1993.
2.34. Pasal 34 : Ratifikasi, Penerimaan atau Persetujuan
Sebagai anggota konvensi yang sudah meratifikasi konvensi ini, Indonesia
wajib tunduk terhadap segala keputusan yang dikeluarkan dalam setiap
pertemuannya. Oleh karena itu, walaupun pemerintahan berganti periode,
Indonesia tetap mengacu kepada keputusan dari konvensi. Adapun
keberatan/usulan amandemen yang akan diusulkan oleh pemerintahan periode
baru, harus dibahas dulu dalam pertemuan lalu harus disetujui oleh 2/3 anggota.
2.35. Pasal 35 : Aksesi
Konvensi ini bersfat terbuka terhadap negara-negara lain yang akan
mengikutinya. Segala kewenangan negara-negara peserta konvensi telah diatur
secara jelas sehingga memudahkan dalam langkah-langkah berikutnya.
2.36. Pasal 36 : Hal Berlakunya
Konvensi ini berlaku pada hari kesembilan puluh sejak tanggal penyerahan
instrumen ratifikasi penerimaan atau persetujuan yang ketiga puluh. Artinya,
sudah berlaku di Indonesia dan sudan dijadikan Undang-Undang sehingga
dijalankan sebagai fungsi regulasi di Indonesia.
16
2.37. Pasal 37 : Keberatan-Keberatan (Reservasi)
Tidak ada keberatan-keberatan yang dikemukanakan dalam konvensi ini.
Dengan kata lain, Indonesia menganggap bahwa isi dari konvensi ini secara
umum menguntungkan Indonesia, sehingga pada saat itu tidak perlu diajukan
keberatan-keberatan terhadap isi dari konvensi ini.
2.38. Pasal 38 : Penarikan Diri
Indonesia dapat menarik diri dari konvensi ini dan dari segala kebijakan
yang telah disepakati bersama. Namun, hal ini minimal dilakukan setelah 2 tahun
dari konvensi. Oleh karena itu, dalam jangka waktu 2 tahun, Pemerintah Indonesia
wajib mengikuti segala keputusan / prosedur yang telah diatur dalam konvensi ini.
Dan dalam 2 tahun tersebut, akan dilihat perkembangannya, manfaatnya bagi
Indonesia.
2.39. Pasal 39 : Pengaturan Pendanaan Interim, Pasal 40 : Pengaturan
Sekretariat Interim, Pasal 41 : Depositari, dan Pasal 42 : Teks Asli
Keberadaan sekretariat serta pengaturan pendanaan interim masih bersifat
sementara, namun demikian ada sekretariat yang dapat dijadikan tempat sebagai
konsultasi dan pengaturan kelembagaan bahkan pendanaan yang dapat bermanfaat
bagi negara-negara peserta konvensi, khususnya Indonesia.
2.40. Pasal 42 : Teks Asli
Teks naskah konvensi di tulis dalam berbagai bahasa sehingga memudahkan
Indonesia untuk mengartikan dan menterjemahkannya dalam regulasi/ratifikasi
yang disusunnya.
17
BAB III
PENUTUP
Keanekaragaman hayati merupakan modal dasar bagi setiap negara di
dunia dalam bertahan hidup dan mengembangkan negaranya. Jika pemanfaatan
keanekaragaman hayati tidak diatur secara bersama-sama, dikhawatirkan
keanekaragaman hayati tersebut lama kelamaan akan mengalami degradasi dan
pada akhirnya akan punah. Oleh karena itu, masyarakat dunia menyepakati untuk
mengadakan Konvensi Keanekaragaman Hayati yang dilaksanakan pada Juni
1992 di Rio de Janeiro. Hasil dari konvensi keanekaragaman hayati yaitu berupa
pasal-pasal yang mengatur konservasi dan pemanfaatan keanekaragaman hayati.
Isi dari pasal tersebut sebagian besar menguntungkan bagi negara berkembang,
khususnya Indonesia. Negara berkembang dapat mengakses keanekaragaman
hayati dengan leluasa dan jika mengalami hambatan, maka negara maju dan
organisasi internasional wajib membantunya. Namun pada kenyataannya,
implementasi konvensi keanekaragaman hayati ini masih perlu banyak evaluasi.
18
DAFTAR PUSTAKA
Arnold, M. et al. 2011. Editorial: Forests, biodiversity and food security. Int’l Forestry Review, 13 (3): 259–264
Hartati, Deny. 2012. Kajian Hukum Mengenai Akses dan Pembagian
Keuntungan Pada Pemanfaatan Sumberdaya Genetik Kelautan dan Perikanan. Tesis. Fakultas Hukum, Program Pascasarjana, Peminatan
Transnasional. Jakarta
Jhamtani, Hira. 1996. Beberapa Isu Hangat COP III Patut Kita Cermati.
http://www.library.ohiou.edu/indopubs/1996/11/01/0084.html, diakses
pada tanggal 20 Maret 2015.
Kementerian Lingkungan Hidup. 2014. Menyongsong Ratifikasi Protokol
Nagoya. http://www.menlh.go.id/menyongsong-ratifikasi-protokol-
nagoya/, diakses pada tanggal 20 Maret 2015.
Kovacevic, Michelle. 2012. Para Negosiator Biodeversitas & Iklim Harus
“Berbicara Satu Sama Lain” demi REDD+, desak Belgia. http://blog.cifor.org/12856/para-negosiator-biodiversitas-iklim-harus-
berbicara-satu-sama-lain-demi-redd-desak-belgia#.VQuYMeFp5n0,
diakses 20 Maret 2015.
Sudariyono. 2012. Peluang dan Tantangan Protokol Nagoya bagi Indonesia.
http://www.menlh.go.id/peluang-dan-tantangan-protokol-nagoya-bagi-
indonesia/, diakses pada tanggal 20 Maret 2015.
Yulia. Zinatul Ashqin Zainol. 2013. Melindungi Keanekaragaman Hayati dalam
Kerangka Protokol Nagoya. Jurnal Mimbar Hukum, Volume 25, Nomor
2. Aceh.