tugas hukum perbankan
TRANSCRIPT
TUGAS HUKUM PERBANKAN
OLEH:
FAJAR FITRIO DWI NUGROHO 08 410 351
RULI PURWANTO 08 410 413
AGUS RAHARJO 08 410 050
UNIVERSITAS ISLAM INDONESIA
YOGYAKARTA
TINDAK PIDANA PERBANKAN DAN PENCUCIAN UANG (MONEY
LAUNDERING)
PENDAHULUAN
Kasus bobolnya Bank BNI dengan jumlah cukup spektakular yang kemudian disusul dengan
“perampokan” Bank BRI seolah judul roman “tak putus dirundung malang”. Kasus ini juga
mempertebal kepercayaan kita akan rendahnya etika profesionalisme pengelola industri
perbankan dan lemahnya system pengawasan bank terutama system pengawasan internal.1
Padahal etika profesionalisme sangat penting bagi pengelolaan bank karena pada dasarnya
kekayaan yang dikelola oleh pengurus bank sebagian besar merupakan kekayaan masyarakat
yang dipercayakan padanya. Pada tahuntahun terakhir ini perbankan memang telah
mengalami suatu ujian yang sangat berat terutama dalam profesionalisme kepengurusan
bank. Sebenarnya hal tersebut tidak hanya terjadi pada industri perbankan Indonesia tetapi
juga pada industri perbankan di luar negeri. Hal ini dapat dilihat dari besarnya kerugian yang
diderita oleh bank multinasional yang disebabkan oleh pengurus bank seperti pada the Daiwa
Bank,2 Baring Bank dan Bank of Credit and Commerce International (BCCI) yang berakibat
ditutupnya bankbank tersebut. Masing-masing bank ini menderita kerugian melebihi US$ 1
milliar yang disebabkan oleh tindakan manajemen yang melawan hukum. Pentingnya etika
profesi dalam pengelolaan bank terkait dengan potensi bank “dirampok” oleh pemilik dan
pengelola bank. Potensi ini disebabkan karena ciri khas transaksi perbankan yaitu volume
transaksi sangat besar, likuid, mudah dipalsukan dan melibatkan jumlah uang yang besar
serta seringkali melintasi batas negara. Masing-masing faktor ini mempermudah terjadinya
kejahatan oleh orang dalam. Volume transaksi yang besar seperti kredit perumahan dan kredit
konsumsi yang dilakukan oleh perbankan sangat sulit dimonitor. Dengan demikian mudah
untuk melakukan penipuan ditengah banyaknya jumlah transaksi yang legal. Jumlah transaksi
yang besar dapat juga membuat upaya pendeteksian dini menjadi sulit seperti asset yang
dipindahkan melalui perusahaan boneka dalam suatu seri transkasi yang kompleks. Asset
yang likuid juga merupakan suatu kemudahan bagi pelanggar hukum. Singkatnya adalah
lebih mudah mencuri uang tunai dibandingkan dengan mencuri mesin cetak. Padahal, fungsi
bank sebagai lembaga perantara keuangan, dalam arti menerima simpanan dari masyarakat
sangat penting bagi pertumbuhan ekonomi suatu negara. Untuk itu dana yang diterima dari
masyarakat haruslah dikelola secara berhati-hati sehingga nasabah penyimpan tidak khawatir
tentang keamanan dan ketersediaan simpanannya.5 Agar fungsi bank sebagai lembaga
perantara dapat berjalan dibutuhkan adanya kepercayaan masyarakat. Pentingnya
kepercayaan masyarakat bagi bank paling tidak karena dua alasan, pertama, meningkatkan
efisiensi penggunaan bank dan efisiensi intermediasi, dan kedua, mencegah terjadinya bank
runs and bank panics. Sementara itu, perkembangan industri perbankan, globalisasi dan
liberalisasi pasar keuangan telah mengakibatkan terjadinya persaingan di antara bank-bank
terutama dalam penghimpunan dan penanaman dana. Untuk itu, manajemen bank dituntut
mempunyai keterampilan mengelola kekayaan, utang dan modal bank yang tercermin dalam
neraca bank dengan baik. Suatu hal yang lebih mendasar dari keahlian dan keterampilan
tersebut adalah adanya itikad baik. Artinya pengurus bank seharusnya adalah pihak yang
menjunjung tinggi etika profesionalisme. Pembobolan BNI dan BRI serta kebangkrutan
BCCI pada tahun 1991 misalnya, adalah suatu jenis kasus dari penipuan besar yang dilakukan
oleh orang dalam (insider)yang tidak terdeteksi selama bertahun-tahun. Transaksi bank yang
sangat besar yang melibatkan asset likuid, siap untuk dipalsukan dan ditempatkan di
perusahaan-perusahan yang terpisah sebanyak mungkin diberbagai negara. BCCI memang
suatu kasus ekstrem, tetapi tetap masuk akal bahwa penipuan oleh insider yang jumlahnya
jauh lebih besar masih dapat terjadi pada bank dibandingkan pada perusahaan bukan bank.
Disamping penipuan yang dilakukan oleh orang dalam perbankan, bentuk transaksi bank
telah pula menyebabkan perbankan dapat digunakan sebagai sarana untuk menyembunyikan
dan atau mengaburkan asal usul dana yang berasal dari tindak pidana. Upaya pengaburan ini
dikenal dengan pencucian uang (money laundering) yang beberapa tahun terakhir ini semakin
menjadi sorotan internasional. Hal ini tidak terlepas dari semakin meningkatnya tindak
kejahatan money laundering yang secara langsung maupun tidak langsung dapat
mempengaruhi sistem ekonomi suatu negara. Untuk Indonesia isu pencucian uang menjadi
masalah penting oleh karena dalam beberapa kali review oleh FATF (Financial Action task
Force on Money Laundering)9 terhadap pelaksanaan rezim anti money laundering di
Indonesia, yaitu pada bulan Juni 200110, Februari 200311 dan terakhir Februari 2004,
Indonesia masih dicantumkan dalam daftar NCCTs (Non- Cooperative Countries and
Territories). Penyebab dicantumkannya Indonesia dalam daftar tersebut pada Juni 2001
adalah tidak adanya undang-undang yang menetapkan pencucian uang sebagai tindak pidana.
Masuknya Indonesia dalam daftar NCCTs berdampak kurang menguntungkan bagi
perekonomian mengingat seluruh transaksi perbankan yang berasal dari bank-bank di
Indonesia dapat dianggap sebagai transaksi yang mencurigakan (suspicious transaction) yang
berakibat pemerintah dari negara-negara anggota FATF akan meminta bank-banknya untuk
menetapkan persyaratan yang lebih berat atau mahal apabila melakukan transaksi dengan
bank di Indonesia karena dianggap berisiko tinggi.
TINDAK PIDANA YANG BERKAITAN DENGAN PERIZINAN
Tindak pidana ini disebut juga dengan tindak pidana bank gelap. Pasal 46 ayat (1)
menyebutkan, bahwa barang siapa menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan tanpa izin usaha dari pimpinan Bank Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal
16, diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun dan paling lama 15
(lima belas) tahun serta denda sekurang-kurangnya 10.000.000.000,00 (sepuluh miliar
rupiah) dan paling banyak 200.000.000.000,00 (dua ratus miliar rupiah). Ketentuan ayat (2)
menyebutkan, bahwa dalam hal kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan
oleh badan hukum yang berbentuk perseroan terbatas, perserikatan, yayasan atau koperasi,
maka penuntutan terhadap badan-badan dimaksud dilakukan baik terhadap mereka yang
memberi perintah melakukan perbuatan itu atau yang bertindak sebagai pimpinan dalam
perbuatan itu atau terhadap kedua-duanya. Pasal ini satusatunya pasal dalam UU Perbankan
yang mengenakan ancaman hukuman terhadap korporasi dengan menuntut mereka yang
memberi perintah atau pimpinannya.
Ketentuan Pasal 46 ayat (1) sering menimbulkan permasalahan yaitu: Pertama,
apakah yang dimaksud dengan “menghimpun dana dari masyarakat”. Kedua, apakah
simpanan yang dimaksudkan dalam pasal ini hanya berupa giro, tabungan, deposito dan
sertifikat deposito atau juga meliputi bentuk lain yang dipersamakan dengan itu. Ketiga,
apakah si pelaku harus menggunakan nama bank atau tidak. Jawaban atas pertanyaan di atas
dapat dilihat pada putusan pengadilan yang menerapkan Pasal 46 yaitu dalam 5 kasus PT
BMA yang berkedok sebagai usaha Multi Level Marketing. PT BMA menghimpun dana dari
masyarakat dalam bentuk yang kurang jelas. Kepada penyimpan dana diberikan seperangkat
tekstil dan atau hak untuk meminjam sejumlah uang. Menurut Bank Indonesia, MLM ini
telah melakukan kegiatan bank gelap yang melanggar Pasal 46 UU Perbankan. Pendapat
diterima oleh pengadilan.
KASUS PT. BANYUMAS MULIA ABADI
LAPORAN UTAMA Jaminan Untung Berbuntut BuntungBisnis model bank gelap
berbunga tinggi kerap membuat nasabah ketagihan. Meski jaminan keamanannya kurang,
mereka tak gampang jera.SEORANG pembaca, mengaku bernama Widi Arianto, mengirim
e-mail ke Gatra, akhir Juni lalu. Dalam suratnya, ia mengaku sebagai seorang dari sekitar
5.000 investor besar dan kecil yang menanamkan duit di PT Qurnia Subur Alam Raya.
Diperkirakan, total fulus yang nyantol di laci Ramli Araby, juragan Alam Raya, kurang lebih
Rp 300 milyar. Widi merasa waswas duitnya tak kembali. "Soalnya, pihak manajemen
terkesan menutup diri," tulis Widi Arianto.Ia lantas menunjuk sejumlah nama yang
diperkirakan mengetahui masalah yang tengah menggelayuti Alam Raya. Misalnya Marsekal
Pertama (purnawirawan) Suryo Hadi Djatmiko dan H.M. Soekotjo. Keduanya belakangan
dipercaya sebagai pimpinan Forum Komunikasi Investor Alam Raya yang dibentuk Mei lalu.
Selain itu, ia juga menulis sejumlah pentolan yang bisa dikonfirmasi, dari Nurhamdi, Ricco
Akbar, sampai Maruto. Sayang, nama-nama itu, ketika dihubungi Gatra, tak mau
berkomentar. Widi sendiri, ketika e-mail-nya dibalas, tak mau menjawab.Kendati begitu,
Gatra akhirnya berhasil menelusuri sejumlah tokoh investor yang menempatkan uangnya
dalam jumlah milyaran rupiah di Alam Raya. Tapi, sebagaimana Widi, pada umumnya
mereka cenderung memilih menyembunyikan identitasnya. "Soalnya, kami berada dalam
posisi lemah," kata seorang tokoh investor dari Jakarta Timur.Jika bersikap keras dengan
mengungkapkan borok Alam Raya secara terbuka kepada publik, ia khawatir, duitnya yang
ngendon sekitar Rp 2 milyar tak akan kembali. Tapi, sumber Gatra tersebut juga sadar,
dengan bersikap diam, fulusnya belum tentu balik. Ia masih menunggu sampai Senin pekan
ini, tenggat janji Ramli untuk membayar uang nasabah. "Kalau tak dilunasi, pasti ribut,"
katanya.Meski ribuan investor Alam Raya itu sedang gundah gulana, sejauh ini mereka
belum mengadukan secara resmi ke Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI).
Memang, ada beberapa yang melaporkan lewat telepon atau e-mail tanpa menyertakan
identitas. "Tapi, tanpa pengaduan resmi secara tertulis, YLKI susah menindaklanjuti," kata
Yusuf Shofie, staf YLKI yang menangani bidang pengaduan dan hukum.Langkah lain yang
bisa ditempuh, kata Shofie, adalah mengupayakan secara hukum. Tapi, seperti diakui
Suharyo, Direktur Pengembangan Usaha Departemen Pertanian, upaya melalui jalur hukum
pun belum tentu membuahkan hasil. Soalnya, sejauh ini belum ada undang-undang yang
mengatur jenis usaha agrobisnis dengan pola bagi hasil. Satu-satunya alat bukti yang dipakai
adalah surat kontrak kedua pihak. "Tapi, kontrak perjanjian itu susah menjadi alat bukti yang
punya kekuatan hukum di pengadilan," katanya kepada Rulli Nasrullah dari Gatra.Karena itu,
sejak tiga bulan terakhir ini, kantor Departemen Pertanian membentuk tim pemantau.
Tugasnya, selain memelototi tingkah perusahaan agrobisnis model bagi hasil, yang kini
diperkirakan berjumlah 40 perusahaan, juga menyiapkan materi undang-undang yang
memagari soal ini.Lemahnya posisi konsumen itu memang bisa menjadi peluang bagi pihak
manajemen untuk mangkir. Hal ini sudah diperkirakan sebelumnya oleh Dr. Rhenald Kasali,
ahli manajemen dari Universitas Indonesia. Ketika bisnis berkedok bagi hasil dengan iming-
iming bunga sangat tinggi ala Alam Raya ini mulai merebak, pengasuh acara bertajuk
"Solusi" di stasiun televisi swasta itu sudah menduga bakal tak sehat. Soalnya,
pengelolaannya cenderung mengedepankan prinsip one man show. "Semua aliran dana
perusahaan cuma berada pada satu orang," ujarnya.Boleh jadi, dalam beberapa bulan
memang lancar. Tapi, Rhenald yakin, bisnis seperti itu tak akan berlangsung lama. Soalnya,
dalam situasi ekonomi yang masih meriang seperti sekarang, tak mungkin bisa menggaet
keuntungan sampai puluhan persen dalam tempo beberapa bulan saja. Apalagi harga
komoditas agrobisnis bersifat fluktuatif. Malah, dengan makin maraknya bisnis semacam itu
belakangan ini, harganya cenderung miring karena terjadi kompetisi sangat
ketat.Amburadulnya manajemen Alam Raya ini juga terlihat dari tidak adanya badan
pengurus yang mewakili investor. Idealnya, posisi lembaga perwakilan nasabah ini harus
kuat, agar bisa mengetahui secara transparan pengelolaan dana perusahaan. Celakanya, baru
belakangan --setelah ada masalah-- lembaga seperti itu dibentuk.Pendapat senada
dikemukakan Erman Rajaguguk dan Hikmahanto Juwana, keduanya ahli hukum dari
Universitas Indonesia. Erman sangat memprihatinkan nasib buruk yang menimpa ribuan
nasabah Alam Raya. Mereka merupakan korban iming-iming iklan. "Mestinya, sebelum
memutuskan berinvestasi pada suatu produk, mereka cermat dalam meneliti risiko keuangan
dan hukum yang bakal dihadapi," ujarnya kepada Gatra.Hikmahanto malah menilai bisnis
model Alam Raya tak ubahnya multilevel marketing. Ciri paling menonjol, peserta tak bisa
mengetahui dengan jelas dan pasti bagaimana prospek dan kondisi perusahaan tersebut. Pihak
manajemen perusahaan sengaja memutus rantai komunikasi dengan nasabahnya.Sebab itu,
Hikmahanto cenderung melihat kasus ini sebagai penipuan. Soalnya, kontrak dengan nasabah
tak dilengkapi dasar hukum yang kuat. Kerap tak memakai notaris ataupun jaminan asuransi.
Tentunya, dengan dasar hukum yang kuat, kalau nasabah menggugat, mereka bisa
mengajukan aspek pidana dan perdata sekaligus secara berbarengan.Ia mengingatkan,
sebenarnya penipuan berkedok bisnis dengan imbalan bunga tinggi sering terjadi beberapa
tahun silam. Misalnya kasus PT Banyumas Mulia Abadi (BMA) di Medan. Perusahaan yang
didirikan Muhammad Yusuf pada 1998 itu menawarkan imbalan bunga 49% sebulan. Dalam
waktu singkat, nasabahnya membludak. BMA lantas membuka kantor cabang di Surabaya
dan Jakarta. Tapi, belum genap setahun, BMA sudah ambruk. Milyaran rupiah duit nasabah
tak kembali.Kasus serupa pernah terjadi pada beberapa koperasi simpan pinjam (kospin) di
Pinrang, Sulawesi Selatan. Bisnis heboh di Pinrang ini diprakarsai Suparman Ishak pada
1996. Melalui koperasi yang dipimpinnya, ia menawarkan kepada nasabah yang hendak
membeli televisi, kulkas, dan sepeda motor cukup membayar seperempat dari harga. Hanya
dalam waktu empat bulan, barang-barang tersebut sudah bisa diambil.Pada Juli 1998,
Suparman mulai mangkir. Berhubung meresahkan masyarakat, Gubernur Sulawesi Selatan
H.Z.B. Palaguna memerintahkan agar beberapa kospin yang menggelar praktek seperti bank
gelap itu ditutup. Ternyata, setelah ditelisik, kospin-kospin itu cuma mampu mengembalikan
sekitar 5% dari total dana nasabah yang Rp 832 milyar. Karena jengkel, ribuan nasabah yang
gelap mata itu mengamuk, membakar sejumlah kantor pemerintahan di Pinrang. Para bandar
kospin itu kemudian diseret ke bui. Suparman diganjar tiga tahun penjara.Kendati banyak
yang menyangsikan kelangsungan bisnis model bagi hasil --apalagi setelah menyimak kasus
Alam Raya-- toh perusahaan sejenis yang lain tak mau disamakan. Pundi Farm, misalnya,
mengaku tak sembrono mengelola bisnisnya. Perusahaan ini tak cuma mengandalkan
selembar surat perjanjian, juga menjaminkan asetnya ke perusahaan asuransi. "Kami
menggunakan Asuransi Central Asia," kata Kusdiman, pimpinan Pundi Farm. Asuransi itu
meliputi kandang, ayam, gudang pakan, gudang telur, dan mesin genset. Total nilainya
sekitar Rp 12 milyar. "Kalau terjadi sesuatu, kami tak mau rugi," ia menambahkan.Kini,
boleh-boleh saja sejumlah perusahaan lain masih merasa aman. Tapi, Rhenald Kasali
mengajak masyarakat mengedepankan prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi. Memang,
bisnis yang menjanjikan keuntungan tinggi kerap dibarengi risiko gede. Tapi, kalau janji
keuntungannya tak rasional, yang terjadi justru moral hazard. Ujung-ujungnya, niat menggaet
untung malah berbuntut buntung.