tugas hba1c
DESCRIPTION
HbA1CTRANSCRIPT
PENGARUH DUKUNGAN KELUARGA TERHDAP KADAR HbA1C
I. PENDAHULUAN
Diabetes melitus (DM) disebut juga the silent killer merupakan penyakit yang akan
memicu krisis kesehatan terbesar pada abad ke-21. Negara berkembang seperti Indonesia
merupakan daerah yang paling banyak terkena DM. Indonesia merupakan negara dengan jumlah
penderita diabetes ke-4 terbanyak di dunia setelah Cina, India dan Amerika Serikat. Setiap tahun
ada 3,2 juta kematian yang disebabkan langsung oleh DM. Itu berarti ada 1 orang per 10 detik
atau 6 orang permenit yang meninggal akibat penyakit yang berkaitan dengan DM. Laporan
statistik dari International Diabetes Federation (IDF, 2006) menyebutkan, bahwa sekarang
sudah ada sekitar 230 juta penderita DM di seluruh dunia. Angka ini terus bertambah hingga 3
persen atau sekitar 7 juta orang setiap tahunnya. Dengan demikian, jumlah penderita DM
diperkirakan akan mencapai 350 juta pada tahun 2025, diantaranya 80% penderita terpusat di
negara yang penghasilannya kecil dan menengah. Dari angka tersebut berada di Asia, terutama
India, Cina, Pakistan, dan Indonesia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO, 2003) menyatakan
kasus diabetes di Asia akan naik sampai 90% dalam 20 tahun ke depan. (Yulianti, dkk. 2010)
Prevalensi DM di Indonesia meningkat dari 1,5% sampai dengan 2,3%. Dari prevalensi
tersebut dapat diperkirakan bahwa jumlah penderita DM pada tahun 1994 adalah 2,5 juta; tahun
1998 sebanyak 3,5 juta; tahun 2000 sebanyak 4 juta, yang merupakan 6% dari populasi dewasa;
tahun 2010 sebanyak 5 juta; tahun 2020 sebanyak 6,5 juta. Peningkatan terbesar akan terjadi
pada tahun 2030 sebanyak 21,3 juta penderita diabetes. Melihat tendensi kenaikan kekerapan
diabetes secara global yang terutama disebabkan oleh karena peningkatan kemakmuran suatu
populasi, maka dengandemikian dapat dimengerti bila dalam kurun waktu 1 atau 2 dekade yang
akan datang kekerapan diabetes melitus di Indonesia akan meningkat dengan drastis. (Yulianti,
dkk. 2010)
Data Departemen Kesehatan menyebutkan jumlah penderita DM menjalani rawat inap
dan jalan menduduki urutan ke-1 di rumah sakit dari keseluruhan pasien penyakit dalam.
Menurut BAB ICD-X, distribusi pasien baru DM yang berobat jalan ke rumah sakit di Indonesia
berjumlah 45.368 orang dan jumlah kunjungan sebanyak 180.926 orang dengan admission rate
sebesar 3.99 sedangkan distribusi pasien baru yang rawat inap berjumlah 83.045 orang dan
jumlah pasien yang meninggal berjumlah 5.585 orang dengan angka Case Fatality Rate (CFR)
sebesar 6.73%. (Yulianti, dkk. 2010)
DM merupakan penyakit yang berjangka panjang ditandai dengan dua defek metabolik
(khususnya pada DM tipe 2) yaitu gangguan sekresi insulin pada sel beta di pankreas dan
ketidakmampuan jaringan perifer berespons terhadap insulin (resistensi insulin), maka bila
diabaikan komplikasi penyakit DM dapat menyerang seluruh anggota tubuh (Yulianti, dkk.
2010). Diabetes mellitus disebabkan oleh hiposekresi dan hipoaktivasi dari insulin. Saat aktivitas
insulin tidak ada atau berkurang, kadar gula darah meningkat karena glukosa tidak dapat masuk
kedalam sel jaringan. Terdapat 2 jenis tipe DM yang paling umum yaitu tipe 1 dan 2. DM tipe 1
adalah penyakit autoimun dimana tubuh tidak dapat menghasilkan insulin dan lebih sering terjadi
pada anak-anak dan remaja. Sedangkan DM tipe 2 adalah gangguan metabolism, dimana
produksi insulin ada tetapi jumlahnya tidak adekuat atau reseptor insulin tidak dapat berespon
terhadap insulin, tipe ini paling umum dan insidennya mencapai 90-95% dari semua DM. (Aini,
2011).
Diabetes Melitus merupakan penyakit kronik yang tidak dikelola dengan baik akan
menyebabkan terjadinya berbagai komplikasi kronik, baik mikroangiopati maupun
makroangiopati. Komplikasi yang terjadi pada penderita diabetes ini menjadi penyebab kematian
terbesar keempat di dunia.6 Dalam pengelolaan penyakit ini, selain dokter, perawat, ahli gizi,
dan tenaga kesehatan lain, peran pasien dan keluarganya menjadi sangat penting. Peran pasien
diwujudkan melalui perilakunya dalam mengelola penyakit DM yang terdiri dari perilaku diit,
perilaku olahraga/ aktivitas fisik, perilaku pengobatan, perilaku dalam mengontrol gula darah
serta perilaku pencegahan komplikasi. (Ferawati, 2014)
Keberhasilan pasien DM untuk menjaga kestabilan gula darah tidak lepas dari dukungan
keluarga. Dukungan keluarga meliputi empat dimensi yakni dukungan informasi, penilaian,
instrumental dan emosional yang sangat penting untuk memotivasi pasien dalam mewujudkan
perilaku pengelolaan DM yang tepat. Isworo dan Saryono pada tahun 2010 mendapatkan bahwa
dukungan keluarga merupakan faktor yang paling dominan pengaruhnya terhadap kadar gula
darah pasien. Penelitian yang dilakukan Yusra tahun 2010 mendapatkan adanya hubungan antara
dukungan keluarga dengan kualitas hidup responden. Rendahnya dukungan keluarga akan
berdampak terhadap keterlaksanaan pengelolaan DM tipe 2 yang berisiko terhadap penurunan
kualitas hidup. (Ferawati, 2014)
Tindakan pengendalian DM sangat di perlukan, khususnya dengan mengusahakan tingkat
gula darah sedekat mungkin dengan normal, merupakan salah satu usaha pencegahan yang
terbaik terhadap kemungkinan berkembangnya komplikasi dalam jangka panjang. Adapun
kriteria untuk menyatakan pengendalian yang baik diantaranya: tidak terdapat atau minimal
glukosaria, tidak terdapat ketonuria, tidak ada ketoasidosis, jarang sekali terjadi hipoglikemia,
glukosa pp normal, dan HbA1C (Glycated Hemoglobin atau Glycosylated Hemoglobin) normal.
Dari keenam kriteria tersebut, maka hasil pemeriksaan HbA1C merupakan pemeriksaan tunggal
yang sangat akurat dibanding pemeriksaan yang lain untuk menilai status glikemik jangka
panjang dan berguna pada semua tipe penyandang DM. (Yulianti, dkk. 2010)
Kendali glikemik yang baik berhubungan dengan menurunnya komplikasi DM. Temuan
utama studi diabetes, Diabetes control and complication trial (DCCT) telah menunjukkan
pentingnya tes HbA1C. Studi menunjukkan bahwa menurunkan angka HbA1C dapat menunda
atau mencegah komplikasi kronis. Studi juga menunjukkan bahwa menurunkan kadar
hemoglobin HbA1C agar tetap dalam kadar normal dapat meningkatkan peluang seseorang
untuk tetap sehat. Pengendalian DM tipe 1 dengan HbA1C yang baik dapat mengurangi
komplikasi kronik DM antara 20–30%. Bahkan hasil dari the United Kingdom Prospective
Diabetes Study (UKPDS) menunjukkan setiap penurunan 1% dari HbA1C (misal dari 9 ke 8%),
akan menurunkan risiko komplikasi sebesar 35%. (Yulianti, dkk. 2010)
II. KONSEP DUKUNGAN KELUARGA
A. Pengertian dukungan keluarga
Dukungan keluarga didefinisikan oleh Gottlieb (1983) dalam Zainudin (2002) yaitu
informasi verbal, sasaran, bantuan yang nyata atau tingkah laku yang diberikan oleh orang-
orang yang akrab dengan subjek didalam lingkungan sosialnya atau yang berupa kehadiran
dan hal yang dapat memberikan keuntungan emosional atau pengaruh pada tingkah laku
penerimaannya. Dalam hal ini orang yang merasa memperoleh dukungan sosial, secara
emosional merasa lega diperhatikan, mendapat saran atau kesan yang menyenangkan pada
dirinya. Menurut Sarason (1983) dalam Zainudin (2002). Dukungan keluarga adalah
keberatan, kesedihan, kepedulian dari orang-orang yang dapat diandalkan, menghargai dan
menyayangi kita, pandangan yang sama juga dikemukakan oleh Cobb (2002)
mendefinisikan dukungan keluarga sebagai adanya kenyamanan, perhatian, penghargaan
atau menolong orang dengan sikap menerima kondinya, dukungan keluarga tersebut
diperoleh dari individu maupun kelompok. (Supryanto, 2012)
B. Fungsi Pokok Keluarga
Fungsi keluarga biasanya didefinisikan sebagai hasil atau konsekuensi dari struktur
keluarga. Adapun fungsi keluarga tersebut adalah (Fridman dalam Supryanto, 2012) :
1. Fungsi afektif (fungsi pemeliharaan kepribadian) : untuk pemenuhan kebutuhan psikososial,
saling mengasuh dan memberikan cinta kasih, serta saling menerima dan mendukung.
2. Fungsi sosialisasi dan fungsi penempatan sosial : proses perkembangan dan perubahan
individu keluarga, tempat anggota keluarga berinteraksi sosial dan belajar berperan di
lingkungan.
3. Fungsi reproduktif : untuk meneruskan kelangsungan keturunan dan menambah sumber daya
manusia.
4. Fungsi ekonomis : untuk memenuhi kebutuhan keluarga,seperti sandang, pangan, dan papan.
5. Fungsi perawatan kesehatan : untuk merawat anggota keluarga yang mengalami masalah
kesehatan
C. Tugas Keluarga Dalam Bidang Kesehatan
Sesuai dengan fungsi pemeliharaan kesehatan, keluarga mempunyai tugas dibidang kesehatan
yang perlu dipahami dan dilakukan. Friedman membagi 5 tugas keluarga dalam bidang
kesehatan yang harus dilakukan, yaitu (Supryanto, 2012) :
1. Mengenal masalah kesehatan setiap anggotanya
Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga secara tidak langsung menjadi
perhatian dan tanggung jawab keluarga, maka apabila menyadari adanya perubahan perlu segera
dicatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi dan seberapa besar perubahannya.
2. Mengambil keputusan untuk melakukan tindakan yang tepat bagi keluarga.
Tugas ini merupakan upaya keluarga yang utama untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai
dengan keadaan keluarga, dengan pertimbangan siapa diantara keluarga yang mempunyai
kemampuan memutuskan untuk menentukan tindakan keluarga maka segera melakukan tindakan
yang tepat agar masalah kesehatan dapat dikurangi atau bahkan teratasi. Jika keluarga
mempunyai keterbatasan seyoganya meminta bantuan orang lain dilingkungan sekitar keluarga.
3. Memberikan keperawatan anggotanya yang sakit atau yang tidak dapat membantu dirinya
sendiri karena cacat atau usianya terlalu muda. Perawatan ini dapat dilakukan dirumah apabila
keluarga memiliki kemampuan melakukan tindakan untuk pertolongan pertama atau kepelayanan
kesehatan untuk memperoleh tindakan lanjutan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi.
4. Mempertahankan suasana dirumah yang menguntungkan kesehatan dan perkembangan
kepribadian anggota keluarga.
5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan lembaga kesehatan (pemanfaatan
fasilitas kesehatan yang ada).
D. Bentuk Dukungan Keluarga
a. Dukungan Emosional (Emosional Support)
Dukungan ini melibatkan ekspresi, rasa empati dan perhatian terhadap seseorang sehingga
membuatnya merasa lebih baik, memperoleh kembali keyakinannya, merasa dimiliki dan dicintai
pada saat stress. Dimensi ini memperlihatkan adanya dukungan dari keluarga, adanya pengertian
dari anggota keluarga yang lain terhadap anggota keluarga yang menderita DM. Komunikasi dan
interaksi antara anggota keluarga diperlukan untuk memahami situasi anggota keluarga. Dimensi
ini didapatkan dengan mengukur persepsi pasien tentang dukungan keluarga berupa pengertian
dan kasih saying dari anggota keluarga yang lain. (Aini, 2011)
b. Dukungan Penghargaan (Apprasial Assistance)
Dimensi ini terjadi melalui ekspresi berupa sambutan yang positif dengan orang-orang
disekitarnya, dorongan atau pernyataan setuju terhadap ide-ide atau perasaan individu. Dukungan
ini membuat seseorang merasa berharga, kompeten dan dihargai. Dukungan penghargaan lebih
melibatkan adanya penilaian positif dari orang lain terhadap individu. Bentuk dukungan
penghargaan ini muncul dari pengakuan dan penghargaan terhadap kemampuan dan prestasi
yang dimiliki seseorang. Dukungan ini juga muncul dari penerimaan dan penghargaan terhadap
keberadaan seseorang secara total meliputi kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. (Aini, 2011)
Dapat dikatakan bahwa adanya dukungan penilaian yang diberikan keluarga terhadap
penderita DM berupa penghargaan, dapat meningkatkan status psikososial, semangat, motivasi,
dan peningkatan harga diri karena dianggap masih berguna dan berarti untuk keluarga, sehingga
digarapkan dapat membentuk perilaku yang sehat pada penderita DM dalam upaya
meningkatkan status kesehatannya. (Aini, 2011)
c. Dukungan Instrumental
Dukungan yang bersifat nyata, dimana dukungan ini berupa bantuan langsung. Dukungan
instrumental keluarga merupakan suatu dukungan atau bantuan penuh keluarga dalam bentuk
memberikan bantuan tenaga, dana, maupun menyediakan waktu untuk melayani dan
mendengarkan keluarga yang sakit dalam menyampaikan perasaannya. Dukungan instrumental
juga termasuk ke dalam fungsi perawatan kesehatan keluarga dan fungsi ekonomi yang
diterapkan terhadap keluarga yang sakit. Fungsi perawatan kesehatan seperti dalam menyediakan
makanan, pakaian, tempat tinggal, perawatan kesehatan dan perlindungan terhadap bahaya dan
fungsi ekonomi berupa penyediaan sumber daya yang cukup seperti financial dan ruang. (Aini,
2011)
d. Dukungan Informasi (informasi support)
dukungan ini berupa pemberian saran percakapan atau umpan balik tentang bagaimana
seseorang melakukan sesuatu, misalnya ketika seseorang mengalami kesulitan dalam
pengambilan keputusan, dia akan menerima saran dan umpan balik tentang ide-ide dari
keluarganya. Dimensi ini menyatakan dukungan keluarga yang diberikan bias membantu pasien
dalam mengambil keputusan dan menolong pasien dari hari ke hari dalam manajemen
penyakitnya. (Aini, 2011)
Berdasarkan hal tersebut, pasien DM sangat membutuhkan dukungan dari orang lain dalam
arti keluarga berupa dukungan informasi. Dukungan informasi yang dibutuhkan pasien DM
dapat berupa pemberian informasi terkait dengan kondisi yang dialami dan bagaimana cara
perawatannya. (Aini, 2011)
III. HBA1C PADA PASIEN DIABETES MELITUS
Hemoglobin adalah komponen dari sel darah merah yang berfungsi sebagai transport
oksigen. Salah satu tipe hemoglobin yaitu HbA. HbA1c merupakan subtype spesifik dari HbA.
Glukosa berikatan dengan hemoglobin dan mengalami glikosilasi. Hemoglobin
terglikosilasi ( hemoglobin A1c, HbA 1c , A1C , atau Hb 1c , kadang-kadang juga HbA1c ) adalah
bentuk hemoglobin yang diukur terutama untuk mengidentifikasi rata-rata konsentrasi glukosa
plasma selama periode waktu yang berkepanjangan. Hal ini dibentuk di jalur non-
enzimatik glikasi oleh paparan glukosa plasma terhadap hemoglobin. Kadar HbA1c Ini berfungsi
sebagai penanda untuk kadar glukosa darah rata-rata selama 2-3 bulan sebelum pengukuran.
(Michigan Diabete Research, 2007)
Hemoglobin bercampur dengan larutan berkadar glukosa tinggi, rantai beta molekul
hemoglobin mengikat satu gugus glukosa secara ireversibel, maka proses ini dinamakan
glikosilasi. Glikosilasi terjadi secara spontan dalam sirkulasi dan tingkat glikosilasi ini
meningkat apabila kadar glukosa dalam darah tinggi. Pada orang normal, sekitar 4―6%
hemoglobin mengalami glikosilasi menjadi hemoglobin glikosilat atau HbA1C. Pada
hiperglikemia yang berkepanjangan, kadar HbA1C dapat meningkat hingga 18―20%.
Glikosilasi tidak mengganggu kemampuan hemoglobin mengangkut oksigen, tetapi kadar
HbA1C yang tinggi mencerminkan kurangnya pengendalian diabetes.Setelah kadar
normoglikemik menjadi stabil, kadar HbA1C kembali ke normal dalam waktu sekitar 3 minggu.
(Yulianti, dkk. 2010)
HbA1C terbentuk dari ikatan glukosa dengan gugus amida pada asam amino valin di
ujung rantai beta dari globulin Hb dewasa normal yang terjadi pada 2 tahap. Tahap pertama
terjadi ikatan kovalen aldimin berupa basa Schiff yang bersifat stabil dan tahap kedua terjadi
penyusunan kembali secara Amadori menjadi bentuk ketamin yang stabil. Pada keadaan
hiperglikemik akan meningkatkan pembentukan basa Schiff antara gugus aldehid glukosa
dengan residu lisin, arginin, dan histidin. Selain itu, produk glikosilasi kolagen dan protein lain
yang berumur panjang dalam interstisium dan dinding pembuluh darah mengalami serangkaian
tata ulang untuk membentuk irreversible advanced glycosylation end products (AGE), yang terus
menumpuk di dinding pembuluh. AGE ini memiliki sejumlah sifat kimiawi dan biologic yang
berpotensi patogenik dan diduga turut mendasari komplikasi diabetik. (Yulianti, dkk. 2010)
Glikosilasi protein sering terjadi, namun dalam kasus hemoglobin, reaksi nonenzimatik
terjadi antara glukosa dan N-rantai akhir beta. kemudian diubah menjadi 1-
deoxyfructose. Penataan ulang ini dikenal sebagai Amadori (penataan ulang ). Ketika kadar
glukosa darah yang tinggi, molekul glukosa menempel pada hemoglobin dalam sel darah
merah. Semakin lama hiperglikemia terjadi dalam darah, semakin glukosa berikatan dengan
hemoglobin dalam sel darah merah dan semakin tinggi hemoglobin terglikosilasi. Setelah
molekul hemoglobin terglikosilasi, tetap seperti itu maka terjadi penumpukan hemoglobin
terglikosilasi dalam sel darah merah, yang mencerminkan tingkat rata-rata glukosa sel yang
telah terpapar selama siklus hidup sel darah merah. Mengukur hemoglobin terglikosilasi menilai
efektivitas terapi dengan memantau regulasi glukosa serum jangka panjang. Kadar HbA 1c
sebanding dengan konsentrasi glukosa darah rata-rata selama empat minggu sebelumnya untuk
tiga bulan. Beberapa peneliti menyatakan bahwa proporsi utama nilainya HbA1c Nampak setelah
2 sampai 4 minggu. Hal ini juga didukung oleh data dari praktek nyata yang menunjukkan bahwa
tingkat HbA1c meningkat secara signifikan setelah 20 hari sejak penurunan glukosa pada
pengobatan yang intensif. (SIderenkov, 2011)
Rekomendasi untuk memonitor kontrol gula darah salah satunya adalah dengan
menggunakan pemeriksaan kadar HbA1c. Bila rata-rata kadar glukosa darah kita meningkat
maka kadar HbA1c kita juga meningkat, begitupun sebaliknya. American Diabetes Assosiation
(ADA) merekomendasikan kadar HbA1c kurang dari 7,0% karena menurut penelitian kadar
HbA1c kurang dari 7,0% menurunkan angka kejadian penyakit mikrovaskular, contohnya
komplikasi terhadap mata dan ginjal. HbA1c kurang dari 7,0% dapat tercapai dengan mengontrol
kadar gula darah sehari-hari antara 150-160 mg/dL. Berdasarkan penelitian dari United Kingdom
Prospective Diabetes Study menunjukkan bahwa penurunan kadar HbA1c sebesar 1%
menurunkan komplikasi jantung sebesar 14%, komplikasi mikrovaskular sebesar 37% dan
kematian yang berhubungan dengan diabetes sebesar 12%.(Olly Renaldi, 2011)
IV. PENGARUH DUKUNGAN KELUARGA TERHADAP KADAR HbA1C
Paradigma sehat untuk pasien DM adalah konsep atau cara pandang tentang kesehatan
dimana pelaksanaannya mementingkan peran serta dari keluarga untuk hidup sehat terutama
pada keluarga dengan resiko tinggi menderita diabetes melitus sehingga mampu untuk mandiri,
memelihara dan meningkatkan serta waspada akan munculnya diabetes mellitus. Hal yang paling
mendasar adalah pada upaya pencegahan. Upaya pencegahan yang melibatkan peran penting
keluarga menitikberatkan pada periode prapatogenesis (sebelum sakit) dalam semua tahapan
kehidupan, dari lahir sampai meninggal, upaya tersebut adalah (Aini, 2011):
a. Tindakan terhadap faktor intrinsik (imunisas/ kekebalan, keseimbangan jasmani dan
mental psikologikal)
b. Upaya terhadap resiko DM dan komplikasinya
c. Upaya untuk memantapkan, meningkatkan keseimbangan sosial dalam keluarga.
d. Upaya terhadap lingkungan rumah tangga.
Karena diabetes mellitus merupakan salah satu pemnyakit kronik, timbul kejenuhan atau
kebosanan pada pasien mengenai jadwal pengobatan terdahulu, oleh karena itu untuk mengatasi
hal ini perlu tindakan terhadap faktor psikologis dalam penyelesaian masalah diabetes mellitus.
Keikutsertaan anggota keluarga lainnya dalam memandu pengobatan, diet, latihan jasmani dan
pengisisan waktu luang yang postif bagi kesehatan keluarga merupakan bentuk peran serta aktif
bagi keberhasilan penatalaksanaan diabetes mellitus. Pembinaan terhadap anggota keluarga
lainnya untuk bekerja sama menyelesaikan masalah DM dalam keluarganya , hanya dapat
dilakukan bila sudah terjalin hubungan yang erat antara dokter dengan pihak pasien dan
keluarganya. (Aini, 2011).
Hemoglobin adalah salah satu substansi sel darah merah yang berfungsi untuk
mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Ketika gula darah tidak terkontrol (yang berarti kadar
gula darah tinggi) maka gula darah akan berikatan dengan hemoglobin (terglikasi). Oleh karena
itu, rata-rata kadar gula darah dapat ditentukan dengan cara mengukur kadar HbA1C. Bila kadar
gula darah tinggi dalam beberapa minggu, maka kadar HbA1C akan tinggi pula. Ikatan HbA1C
yang terbentuk bersifat stabil dan dapat bertahan hingga 2-3 bulan (sesuai dengan usia sel darah
merah). Kadar HbA1C akan mencerminkan rata-rata kadar gula darah dalam jangka waktu 2-3
bulan sebelum pemeriksaan.(Olly Renaldi, 2011)
DAFTAR PUSTAKA
"Hemoglobin A1c Fact Sheet". Michigan Diabetes Research & Training Center. Retrieved
2007-12-26.
Kusniyah, yulianti dkk. 2010. Hubungan Tingkat Self Care dengan Tingkat HbA1C Pada Klien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Endokrin RSUP Hasan Sadikin Bandung. Diakses
pada tanggal 13-09-2014.
http://repository.unpad.ac.id/bitstream/handle/123456789/905/hubungan_tingkat_self_care
_dengan_tingkat_hba1c.ps?sequence=3
R. olly. 2011. Silent-Killer: Diabetes Melitus. Diakses pada tgl 13-9-2014
http://www.mitrakeluarga.com/bekasitimur/silent-killer-diabetes-mellitus-tipe-2/
Sidorenkov G, Haaijer-Ruskamp FM, de Zeeuw D, Denig P. (2011). "A longitudinal study
examining adherence to guidelines in diabetes care according to different definitions of
adequacy and timeliness.". PLoS ONE 6 (9):
e24278.doi:10.1371/journal.pone.0024278. PMC 3169586.PMID 21931669
Supryanto. 2012. Konsep Dukungan Keluarga. Diakses tanggal 13-09-2014. http://dr-
suparyanto.blogspot.com/2012/03/konsep-dukungan-keluarga.html
Yusra, aini. 2010. Hubungan Antara Dukungan keluarga dengan Kualitas Hidup Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam Rumah sakit Umum Pusat Fatmawati
Jakarta. Diakses tanggal 13-09-2014. https://www.google.com/url?
sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=2&cad=rja&uact=8&ved=0CCUQFjAB&url=ht
tp%3A%2F%2Flontar.ui.ac.id%2Ffile%3Ffile%3Ddigital%2F20280162T%2520Aini
%2520Yusra.pdf&ei=NLQVVIfUI4zq8AXJroDACA&usg=AFQjCNHNWzNyCwvQMCu
8ja5BlZuEGwxeSQ