skripsi hubungan kadar hba1c dengan infeksi …
TRANSCRIPT
SKRIPSI
HUBUNGAN KADAR HbA1C DENGAN INFEKSI TUBERKULOSIS
(GAMBARAN BTA SPUTUM) PADA PENDERITA DIABETES MELITUS
DENGAN TB PARU
Oleh:
NATASIA CINDI LESTARI
130100305
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
SKRIPSI
HUBUNGAN KADAR HbA1C DENGAN INFEKSI TUBERKULOSIS
(GAMBARAN BTA SPUTUM) PADA PENDERITA DIABETES MELITUS
DENGAN TB PARU
“ Skripsi ini diajukan sebagai salah satu syarat untuk memperoleh kelulusan
Sarjana Kedokteran ”
Oleh:
NATASIA CINDI LESTARI
NIM: 130100305
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2017
ii
ABSTRAK
Latar Belakang: Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit
metabolik dengan karakteristik hiperglikemia pada penderitanya. Hiperglikemia
kronik pada penderita DM menyebabkan terjadinya kerusakan jangka panjang
yang dapat menimbulkan gangguan fungsi berbagai organ tubuh. Selain itu, DM
juga diketahui dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi pada tubuh,
salah satunya adalah TB paru.
Tujuan: Untuk mengetahui adanya hubungan kadar HbA1C dengan infeksi
Tuberkulosis (gambaran BTA sputum) pada penderita DM dengan TB paru.
Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian analitik dengan desain penelitian
cross sectional. Sampel yang digunakan adalah 20 orang pasien DM dengan TB
paru di RSUP H. Adam Malik-Medan periode Juli 2015-Juni 2016, di mana data
pasien diperoleh melalui pencatatan rekam medis.
Hasil: Pada penelitian ini, didapat pasien DM dengan TB paru terbanyak adalah
berjenis kelamin laki-laki sebanyak 15 orang (75%). Pasien dengan kadar HbA1C
baik (<7%) berjumlah 2 orang (10%), sedangkan pasien dengan kadar HbA1C
buruk (≥7%) berjumlah 18 orang (90%). Pasien dengan gambaran BTA sputum
positif berjumlah 14 orang (70%), sedangkan pasien dengan gambaran BTA
sputum negatif berjumlah 6 orang (30%). Tidak terdapat hubungan antara kadar
HbA1C dengan gambaran BTA sputum (p=0,079).
Kesimpulan: Tidak terdapat hubungan antara kadar HbA1C dengan infeksi
Tuberkulosis (gambaran BTA sputum) pada penderita DM dengan TB paru.
Kata kunci : diabetes melitus, TB paru, HbA1C, gambaran BTA sputum
iii
ABSTRACT
Background: Diabetes mellitus (DM) is a group of metabolic diseases
characterized by hyperglycemia. The chronic hyperglycemia of diabetes is
associated with long-term damage that can lead dysfunction and failure of
different organs. In addition, DM is also increases the risk of infections, one of
them is pulmonary TB.
Objective: To find out the correlation between HbA1C and infection of
Tuberculosis ( the overview of sputum smear) in the patients of DM with
pulmonary TB.
Methods: The design of this study is analytical study with cross sectional
approach. The sample used in this study were 20 patients of DM with pulmonary
TB in RSUP H. Adam Malik-Medan between July 2015 to June 2016 , data were
taken from patient’s medical record.
Results: In this study we found that the majority of the patients DM with
pulmonary TB were male, 15(75%). Patients with ideal HbA1C were 2(10%), then
patients with bad HbA1C were 18(90%). Patients with smear-positive TB were
14(70%), then patients with smear-negative TB were 6(30%). We found that no
correlation between HbA1C and the overview of sputum smear (p=0,079).
Conclusions: There is no correlation between HbA1C and infection of
Tuberculosis (the overview of sputum smear) in the patients of DM with
pulmonary TB.
Keywords: diabetes mellitus, pulmonary TB, HbA1C, sputum smear
iv
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa yang
telah memberikan rahmat dan karunia-Nya yang begitu besar sehingga penulis
dapat menyelesaikan penyusunan laporan hasil penelitian ini. Sebagai salah satu
area kompetensi dasar yang harus dimiliki oleh seorang dokter umum, laporan
hasil penelitian ini disusun sebagai rangkaian tugas akhir dalam menyelesaikan
pendidikan di program studi Sarjana Kedokteran, Pendidikan Dokter Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
Penulis mengucapkan terima kasih dan penghargaan setinggi-tingginya
kepada semua pihak yang telah turut serta membantu penulis dalam
menyelesaikan laporan hasil penelitian ini, diantaranya:
1. Kepada Dr. dr. Aldy Safruddin Rambe, Sp.S(K) , selaku Dekan Fakultas
Kedokteran Universitas Sumatera Utara.
2. Kepada dosen pembimbing dalam penelitian ini, dr. Nindia Sugih Arto, M. Ked
(Clin-Path), Sp. PK dan Dr. med. dr. Yahwardiah Siregar, yang dengan sepenuh
hati telah meluangkan segenap waktu untuk membimbing dan mengarahkan
penulis, mulai dari awal penyusunan penelitian, pelaksanaan di lapangan, hingga
selesainya laporan hasil penelitian ini.
3. Kepada Dr. dr. Devira Zahara, M.Ked (ORL-HNS) Sp.THT-KL(K) dan dr. Khairina,
Sp.KK selaku dosen penguji yang telah memberikan saran dan masukan yang
membangun untuk penelitian ini.
4. Kepada kedua orangtua penulis, Ayahanda Saiman Saragih, S.E. dan Ibunda
Ronselina Damanik, abang penulis, Rio Yan Asrido Saragih, S.H. yang senantiasa
mendukung dan memberikan bantuan dalam menyelesaikan laporan hasil
penelitian ini.
5. Ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh sahabat-sahabat
yang luar biasa, khususnya Astrid Gita Sitepu, Tiurma Rosdiana Simanjuntak,
Bella Kesita Sihotang, Rizka Annisa Harahap, Fanny Fadhillah, Maya Novian Dini
Sitompul, dan Nandini atas dukungan dan motivasi yang sangat membantu.
v
Cakupan belajar sepanjang hayat dan mengembangkan pengetahuan baru
telah memotivasi penulis untuk melaksanakan dan menyelesaikan penelitian yang
berjudul ” Hubungan Kadar HbA1C dengan Infeksi Tuberkulosis (Gambaran BTA
Sputum) pada Penderita Diabetes Melitus dengan TB Paru ” ini. Semoga
penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi perkembangan ilmu
pengetahuan khususnya di bidang ilmu kedokteran.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan hasil penelitian ini masih belum
sempurna, baik dari segi materi maupun tata cara penulisannya. Oleh karena itu, dengan
segala kerendahan hati, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi
perbaikan laporan hasil penelitian ini di kemudian hari.
Medan, Desember 2016
Penulis
vi
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN.. ......................................................................... i
ABSTRAK ...................................................................................................... ii
ABSTRACT……………………. ................................................................... iii
KATA PENGANTAR…. ............................................................................... iv
DAFTAR ISI.. ................................................................................................. vi
DAFTAR TABEL ....................................................................................... viii
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... ix
DAFTAR SINGKATAN ................................................................................ x
DAFTAR LAMPIRAN.. ................................................................................ xi
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................. 1
1.1. Latar Belakang .............................................................................. 1
1.2. Rumusan Masalah ......................................................................... 3
1.3. Tujuan Penelitian........................................................................... 3
1.3.1. Tujuan Umum…. .............................................................. 3
1.3.2. Tujuan Khusus................................................................... 3
1.4. Manfaat Penelitian......................................................................... 3
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................... 4
2.1. Diabetes Melitus ............................................................................ 4
2.1.1. Definisi .............................................................................. 4
2.1.2. Klasifikasi .......................................................................... 4
2.1.3. Faktor Risiko ..................................................................... 5
2.1.4. Patofisiologi ....................................................................... 6
2.1.5. Manifestasi Klinis .............................................................. 8
2.1.6. Diagnosis ........................................................................... 8
2.1.7. Tatalaksana ........................................................................ 10
2.1.8. Komplikasi ........................................................................ 12
2.2. TB Paru ......................................................................................... 13
2.2.1. Definisi .............................................................................. 13
2.2.2. Etiologi .............................................................................. 13
2.2.3. Patogenesis ........................................................................ 14
2.2.4. Manifestasi Klinis .............................................................. 15
2.2.5. Diagnosa ............................................................................ 17
2.2.6. Tatalaksana ........................................................................ 17
2.3. HbA1C ........................................................................................... 19
2.3.1. Metode Pemeriksaan HbA1C ............................................. 20
2.4. Pemeriksaan Bakteriologi pada Sputum ....................................... 20
2.4.1. Pengambilan dan Pengiriman Sediaan .............................. 21
2.4.2. Pemeriksaan Sediaan ......................................................... 22
vii
BAB 3 KERANGKA TEORI, KERANGKA KONSEP, HIPOTESIS,
VARIABEL, DAN DEFINISI OPERASIONAL ......................................... 24
3.1. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep Penelitian ........................ 24
3.2. Hipotesis ........................................................................................ 25
3.3. Variabel dan Definisi Operasional ................................................ 25
3.3.1. Variabel ............................................................................. 25
3.3.2. Definisi Operasional .......................................................... 25
BAB 4 METODE PENELITIAN .................................................................. 27
4.1. Rancangan Penelitian .................................................................... 27
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian......................................................... 27
4.2.1. Lokasi Penelitian ................................................................. 27
4.2.2. Waktu Penelitian ................................................................. 27
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian .................................................... 27
4.3.1. Populasi ............................................................................... 27
4.3.2. Sampel ................................................................................. 27
4.3.3. Besar Sampel ....................................................................... 28
4.4. Metode Pengumpulan Data ........................................................... 28
4.5. Metode Analisis Data .................................................................... 28
BAB 5 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................ 30
5.1 Hasil Penelitian ............................................................................. 30
5.1.1 Deskripsi Lokasi Penelitian.. ...............................................
............................................................................................. 30
5.1.2 Karakteristik Sampel.. .........................................................
............................................................................................. 30
5.1.3 Distribusi Sampel.. ...............................................................
............................................................................................. 30
5.1.3.1 Distribusi Pasien DM dengan TB Paru.. ..................
.................................................................................. 30
5.1.4 Analisa Data Hasil Penelitian.. ............................................ 33
5.2 Pembahasan .................................................................................... 33
BAB 6 KESIMPULAN DAN SARAN .......................................................... 38
6.1. Kesimpulan.................................................................................... 38
6.2. Saran .............................................................................................. 38
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 39
LAMPIRAN
viii
DAFTAR TABEL
Nomor Judul
Halaman
2.1. Kriteria Diagnosa DM………………………………………….. 9
2.2. Kadar HbA1C dengan Status DM……………………………... 9
5.1. Distribusi Frekuensi…………………………………………….. …. 30
5.2. Tabulasi Silang Pasien DM dengan TB Paru Berdasarkan Kadar 31
HbA1C dan Jenis Kelamin………………………………………
5.3. Tabulasi Silang Pasien DM dengan TB Paru Berdasarkan 32
Gambaran BTA Sputum dan Jenis Kelamin…………………….
5.4. Hubungan Pasien DM dengan TB Paru Berdasarkan Kadar 32
HbA1C dan Gambaran BTA Sputum…………………………..
ix
DAFTAR GAMBAR
Nomor Judul Halaman
3.1. Kerangka Teori dan Konsep Penelitian 24
x
DAFTAR SINGKATAN
ADA : American Diabetes Association
DM : Diabetes Melitus
DPP-4 : Dipeptidyl peptidase-4
ELISA : Enzym Linked Immunosorbent Assay
GIP : Glucose dependent insulinotropic polypeptide
GLP-1 : Glucagon-like peptide-1
HbA1C : Hemoglobin A1C
ICT : Immunochromatograpic Tuberculosis
IgG : Immunoglobulin G
INH : Isonicotinylhydrazide
IUATLD : International Union Against Tuberculosis and Lung Disease
MDR : Multiple Drug Resistance
MOTT : Mycobacterium other than tuberculosis
PAP : Peroksidase Anti Peroksidase
PCR : Polymerase Chain Reaction
PERKENI : Perkumpulan Endokrinologi Indonesia
RISKESDAS : Riset Kesehatan Dasar
RSUP : Rumah Sakit Umum Pusat
TB Paru : Tuberkulosis Paru
WHO : World Health Organization
xi
LAMPIRAN
Lampiran Judul
Lampiran 1 Daftar Riwayat Hidup
Lampiran 2 Data Induk Penelitian
Lampiran 3 Hasil Output Data Penelitian
Lampiran 4 Surat Persetujuan Komisi Etik
Lampiran 5 Surat Izin Penelitian
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Diabetes melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik
dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja
insulin atau kedua-duanya.1
Dalam dua dekade terakhir terjadi peningkatan prevalensi
DM, terutama DM tipe 2. Hal ini disebabkan oleh perubahan gaya hidup,
meningkatnya obesitas, dan berkurangnya aktivitas yang umumnya terjadi pada
negara-negara yang mulai berkembang.2
Sejauh ini sekitar 350 juta orang di seluruh dunia menderita DM dan lebih
dari 80% kematian karena DM telah terjadi di negara yang berpendapatan rendah dan
menengah.3 Angka penderita DM ini akan terus-menerus mengalami peningkatan.
Pada tahun 2025 diperkirakan bahwa jumlah pasien DM di dunia akan mengalami
peningkatan menjadi 380 juta jiwa.4
Di Indonesia, berdasarkan data Badan Pusat Statistik Indonesia tahun 2003,
diperkirakan penduduk Indonesia yang berusia di atas 20 tahun sebanyak 133 juta
jiwa, di mana berdasarkan pola pertambahan penduduk, diperkirakan pada tahun
2030 nanti akan ada 194 juta penduduk yang berusia diatas 20 tahun. Angka ini
sangat berpengaruh terhadap prevalensi DM di Indonesia, di mana berdasarkan
laporan hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2007 oleh Departemen
Kesehatan menunjukkan bahwa rata-rata prevalensi DM di daerah urban untuk usia di
atas 15 tahun sebesar 5,7%.5
DM merupakan salah satu penyakit yang dapat menjadi faktor risiko untuk
terjadi penyakit-penyakit lainnya. Hiperglikemia kronik pada DM menyebabkan
terjadinya kerusakan jangka panjang yang dapat menimbulkan gangguan fungsi
berbagai organ tubuh, terutama mata, ginjal, saraf, jantung, dan pembuluh darah.6
Berdasarkan bukti-bukti yang ditemukan, DM diketahui dapat meningkatkan risiko
2
terjadinya infeksi pada tubuh, terutama pada saluran pernapasan. Salah satu penyakit
infeksi yang risiko terjadinya meningkat sehubungan dengan DM adalah infeksi
tuberkulosis pada paru (TB paru).4,7,8
TB paru adalah suatu penyakit infeksi kronik yang sudah sangat lama dikenal
pada manusia. Hipokrates telah memperkenalkan terminologi phthisis yang diangkat
dari bahasa Yunani yang menggambarkan tampilan TB paru. Selain itu, bukti-bukti
lain yang menunjukkan bahwa TB paru sudah lama dikenal pada manusia di
antaranya adalah penemuan fosil tulang yang melukiskan adanya Pott’s disease atau
abses paru yang berasal dari tuberkulosis.9
Prevalensi TB paru meningkat seiring dengan peningkatan prevalensi DM.
Penelitian Dobler di Australia (2012) dan penelitian Leung di Hongkong (2008)
menemukan bahwa penderita DM dengan kadar HbA1C yang lebih besar atau sama
dengan 7% lebih banyak menderita TB paru. Penelitian Alisjahbana di Indonesia
pada tahun 2001-2005, melaporkan 40% penderita TB paru memiliki riwayat DM.
Pada penderita DM, ditemukan 60 kasus TB paru di antara 454 penderita. Penelitian
itu juga menyatakan bahwa risiko penderita DM untuk mengalami TB paru sebesar
4,7 kali lipat.10
Hubungan antara DM dan TB paru ini sudah lama diketahui. Berdasarkan
hasil penelitian dikatakan bahwa penyebab infeksi tuberkulosis pada paru-paru
penderita DM adalah karena terjadinya gangguan fungsi imunitas tubuh yang
disebabkan oleh penyakit DM yang dideritanya.4
Hingga saat ini, hubungan antara DM dan TB paru masih sangat sering
menjadi topik pembahasan dalam dunia kedokteran. Hal ini dikarenakan oleh jumlah
penderita yang menderita DM disertai TB paru ini semakin lama semakin meningkat.
Selain itu juga karena manifestasi klinis pasien TB paru yang disertai DM lebih buruk
daripada yang tidak disertai DM. Selain itu, hal yang paling penting adalah karena
peningkatan angka kejadian Multiple Drug Resistance (MDR) pengobatan TB paru
pada pasien yang disertai DM lebih tinggi daripada pasien yang tidak disertai DM,
dengan angka risiko relatifnya berkisar 37,9 kali.11
Oleh karena itu, penulis tertarik
3
melakukan penelitian untuk melihat adanya hubungan penyakit DM dengan infeksi
tuberkulosis dilihat dari hubungan kadar HbA1C dengan gambaran BTA pada sputum
penderita DM dengan TB paru.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka peneliti
merumuskan masalah sebagai berikut:
Apakah terdapat hubungan antara kadar HbA1C dengan infeksi Tuberkulosis
(gambaran BTA sputum) pada penderita DM dengan TB paru?
1.3. Tujuan Penelitian
1.3.1. Tujuan Umum
Yang menjadi tujuan umum dari penelitian ini adalah mengetahui hubungan
kadar HbA1C dengan infeksi Tuberkulosis (gambaran BTA sputum) pada penderita
DM dengan TB paru.
1.3.2. Tujuan Khusus
Yang menjadi tujuan khusus dalam penelitian ini adalah:
1. Mengetahui karakteristik subjek penelitian.
2. Mengetahui kadar HbA1C pada penderita DM dengan TB paru.
3. Mengetahui gambaran BTA pada sputum penderita DM dengan TB paru.
1.4. Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat, diantaranya :
1. Sebagai dasar untuk penelitian selanjutnya.
2. Sebagai sarana belajar dalam bidang penelitian bagi peneliti.
3. Sebagai sumber informasi tentang hubungan penyakit DM dengan TB
paru.
4
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Diabetes Melitus
2.1.1. Definisi
Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu penyakit yang ditandai dengan
keadaan hiperglikemia pada penderitanya.2,5
Selama ini diketahui bahwa penyebab
dari hiperglikemia pada DM adalah karena gangguan sekresi insulin, kerja insulin,
atau kedua-duanya.2,4,6,10
World Health Organization (WHO) sebelumnya telah
membuat kesimpulan bahwa DM adalah sekumpulan masalah yang oleh karena
beberapa faktor menyebabkan gangguan secara anatomik dan kimiawi. Adapun
gangguan tersebut ditandai dengan adanya kelainan pada sekresi serta kerja insulin.
Kesimpulan WHO ini setidaknya dapat memberikan sedikit gambaran tentang DM,
walaupun sebenarnya DM tidak dapat digambarkan hanya dengan sebuah kesimpulan
singkat begitu saja.1
2.1.2. Klasifikasi
Menurut American Diabetes Association (ADA) pada tahun 2009, diabetes
diklasifikasikan menjadi beberapa jenis, yaitu:
1. Diabetes Melitus Tipe 1 (destruksi sel beta, umumnya mengarah ke
defisiensi insulin absolut)
a. Melalui proses imunologik
b. Idiopatik
2. Diabetes Melitus Tipe 2 (bervariasi mulai yang predominan reistensi
insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan
gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin)
5
3. Diabetes Melitus Tipe Lain
a. Defek genetik fungsi sel beta
b. Defek genetik kerja insulin: resistensi insulin tipe A,
leprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall diabetes lipoatropfik,
lainnya
c. Penyakit Eksokrin Pankreas: pankreatitis, trauma/pankreatektomi,
neoplasma, fibrosis kistik hemokromatosis, pankreatopati fibro
kalkulus, lainnya
d. Endokrinopati: akromegali, sindrom cushing, feokromositoma,
hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya
e. Karena obat/zat kimia: vacor, pentamidin, asam nikotinat,
glukokortikoid, hormon tiroid, diazoksid, aldosteronoma, lainnya
f. Infeksi: rubella congenital, cytomegalovirus, lainnya
g. Imunologi(jarang): sindrom “Stiffman”, antibodi anti reseptor
insulin, lainnya
h. Sindroma genetik lain: sindrom Down, sindrom Klinefelter,
sindrom Turner, sindrom Wolfram’s ataksia Friedreich’s, chorea
Huntington, sindrom Laurence Moon Biedl distrofi miotonik,
porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya
4. Diabetes Kehamilan1,5,6
2.1.3. Faktor Risiko
Penyebab terjadinya resistensi insulin pada pasien DM sebenarnya belum
memiliki kejelasan hingga kini. Tetapi ada faktor-faktor yang berperan dalam
meningkatkan risiko terjadinya DM, diantarnya adalah :12
1. Kelainan genetik
Diketahui bahwa penyakit DM dapat diturunkan melalui garis keturunan,
seperti dari orang tua ke anaknya. Hal ini dikarenakan oleh informasi
DNA yang diturunkan terkait hal produksi hormon insulin.
6
2. Usia
Penyakit DM merupakan suatu penyakit degeneratif, di mana terjadi
peningkatan risiko terjadinya seiring dengan pertambahan usia. Hal ini
dikarenakan oleh penurunan fungsi fisiologis tubuh yang terjadi termasuk
penurunan sekresi insulin oleh pankreas.
3. Stress
Stress yang terjadi baik stress fisik maupun psikologis dapat memengaruhi
kerja fungsi fisiologis tubuh, termasuk memengaruhi kerja pankreas dalam
memproduksi insulin.
4. Malnutrisi
Malnutrisi dapat merusak pankreas karena nutrisi pankreas yang tidak
terpenuhi.
5. Obesitas
Obesitas dapat meningkatkan terjadinya gangguan kerja maupun resistensi
insulin. Selain itu obesitas juga mengakibatkan sel-sel beta pankreas
mengalami hipertropi. Hipertropi pada sel- sel beta pankreas ini terjadi
karena peningkatan beban metabolisme glukosa untuk mencukupi
kebutuhan energi sel yang terlalu banyak.
6. Infeksi
Penurunan fungsi pankreas dapat terjadi karena kerusakan pankreas itu
sendiri. Kerusakan pada pankreas salah satunya dapat disebabkan oleh
terjadinya infeksi.
2.1.4. Patofisiologi
Pada DM tipe 1 yang terjadi adalah kadar sirkulasi insulin sangat rendah atau
bahkan tidak ada, kadar glukagon plasma tinggi, dan ketidakmampuan sel beta
pankreas dalam memberi respon terhadap semua stimuli untuk mensekresikan
insulin.6
Para penderita DM tipe 1 ini perlu diberikan insulin eksogen untuk
menanggulangi semua permasalahan sehubungan meningkatnya kadar glukosa darah
7
mereka. Sehingga metabolisme lipid dan protein dalam tubuh penderita dapat
dikembalikan kefungsi normal.13
Sebuah teori menyatakan bahwa DM tipe 1 merupakan kerusakan pada sel
beta pankreas yang disebabkan oleh suatu agen infeksi maupun agen lingkungan.
Faktor-faktor ini dapat memicu respon autoimun untuk menyerang sel beta pankreas
itu sendiri karena dianggap menyerupai protein viral. Sampai saat ini prinsip
autoimun ini merupakan faktor major untuk patofisiologi DM tipe 1.6 Prevalensi DM
tipe 1 meningkat pada pasien yang mempunyai penyakit autoimun, misalnya Graves
disease, Hashimoto thyroiditis, dan Addison disease. Agen lingkungan yang
dihipotesakan akan menyebabkan kerusakan pada fungsi sel beta termasuk virus,
misalnya mumps, rubella, Coxsackie B4, zat-zat toksik, pemberian susu sapi yang
dini dan sitotoksin.13
Pada DM tipe 2 yang terjadi adalah hiperglikemia karena defisiensi insulin.
Berkurangnya kadar insulin biasanya terjadi karena otot, sel lemak, dan hati yang
resisten terhadap fungsi insulin serta respon sel beta pankreas yang tidak adekuat.6
Selain itu, resistensi insulin juga terjadi karena kadar free fatty acid plasma yang
meningkat sehingga terjadi penurunan transportasi glukosa ke dalam otot,
peningkatan produksi glukosa dari hepar dan peningkatan proses lisis lemak.5,6,13
Kebanyakan pada penderita resistensi insulin juga mengalami defisiensi
insulin. Tetapi resistensi insulin bukan merupakan sine qua non untuk DM tipe 2
karena banyak orang yang mengalami resistensi insulin, seperti pada orang obesitas,
tidak berlanjut menjadi intoleransi glukosa. Oleh karena itu, defisiensi insulin adalah
hal paling penting dalam kasus hiperglikemia.13
Sedangkan pada kasus DM saat kehamilan yang terjadi adalah peningkatan
hormon tubuh, seperti estrogen, progestin, dll, yang mengakibatkan penurunan kadar
glukosa, meningkatnya deposisi lemak, pengosongan lambung yang lambat, dan
bertambahnya selera makan.6 DM saat kehamilan ini terjadi karena insufisiensi
sekresi insulin untuk mengatasi penurunan sensitivitas insulin yang disebabkan oleh
kehamilan.13
8
2.1.5. Manifestasi Klinis
Perkumpulan Endokrinologi Indonesia (PERKENI) 2015 membagi gejala-
gejala DM menjadi dua, yaitu gejala khas dan gejala tidak khas.5
Adapun gejala klasik pada penderita DM adalah:1,2,5,6
1. Poliuria (peningkatan pengeluaran urin)
2. Polidipsia (peningkatan rasa haus)
3. Polifagia (peningkatan rasa lapar)
4. Penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya
Sedangkan gejala lain pada penderita DM adalah:1,2,5,6
1. Lemah badan
2. Kesemutan
3. Gatal
4. Mata kabur
5. Disfungsi ereksi pada pria
6. Pruritus vulva pada wanita
2.1.6. Diagnosis
Diagnosis penyakit DM pada umumnya dilakukan dengan pemeriksaan gejala
klinis yang muncul dan pemeriksaan kadar glukosa darah penderita.1,2
Pemeriksaan
kadar glukosa yang biasa dilakukan di laboratorium adalah pemeriksaan secara
enzimatik dengan bahan darah berasal dari plasma vena.1
9
Berikut adalah tabel kriteria diagnosis DM berdasarkan hasil pemeriksaan
kadar glukosa dalam darah.5,6
Pemeriksaan glukosa plasma puasa ≥126 mg/dl. Puasa adalah kondisi tidak ada
asupan kalori minimal 8 jam.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma ≥200 mg/dl 2-jam setelah Tes Toleransi Glukosa Oral
(TTGO) dengan beban 75 gram.
Atau
Pemeriksaan glukosa plasma sewaktu ≥200 mg/dl dengan gejala klasik.
Tabel 2.1. Kriteria Diagnosa DM
Sumber: American Diabetes Assocation tahun 2013
Selain pemeriksaan gejala klinis yang muncul dan pemeriksaan kadar glukosa
darah, diagnosa DM juga dapat ditegakkan dengan pemeriksaan kadar HbA1C.
Pemeriksaan kadar HbA1C ini sering dilakukan untuk melihat status pengendalian
DM pada pasien terkontrol atau tidak terkontrol.6 Selain itu, pemeriksaan kadar
HbA1C lebih dapat menggambarkan hubungan antara penyakit DM dengan
komplikasi yang ditimbulkan. Berikut adalah tabel kriteria diagnosa DM berdasarkan
kadar HbA1C:3,6
Tabel 2.2. Kadar HbA1C dengan Status DM
Sumber: J Respir Indo Vol.35 No.1 Januari 2015
Kadar HbA1C Status DM
HbA1C <7,0% DM terkontrol
HbA1C ≥7,0% DM tidak terkontrol
10
2.1.7. Tatalaksana
Terapi secara farmakologi dilakukan dengan pemberian obat-obatan kepada
penderita DM. Obat-obatan yang diberikan tersebut memiliki mekanisme kerja yang
berbeda-beda. Walaupun demikian, tujuan dari pemberian obat-obatan tersebut
adalah sama yaitu untuk mengendalikan kadar glukosa pada penderita DM. Adapun
obat-obatan yang diberikan pada terapi farmakologi adalah sebagai berikut:1,5
1. Golongan Insulin Sensitizing
Biguanid
Saat ini golongan Biguanid yang sering dipakai adalah metformin.
Metformin bekerja mengendalikan kadar glukosa darah dengan cara
memengaruhi kerja insulin pada tingkat selular, distal reseptor insulin,
dan menurunkan kadar glukosa hati. Selain itu metformin juga
meningkatkan pemakaian glukosa oleh sel usus sehingga menurunkan
kadar glukosa darah dan juga diduga menghambat absorpsi glukosa di
usus setelah asupan makan.
Glitazone
Obat golongan ini bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas kerja
insulin. Glitazon meningkatkan sensitivitas insulin dengan cara
mempengaruhi reseptor insulin yang ada pada jaringan adiposa, otot
skelet, dan hati.
2. Golongan Sekretagok Insulin
Sulfonilurea
Sulfonilurea bekerja mengendalikan kadar gula darah dengan cara
meningkatkan pelepasan insulin. Pada pasien DM yang masih mampu
mensekresikan insulin golongan obat ini sangat efektif karena
Sulfonilurea membantu melepaskan insulin-insulin yang tersimpan pada
sel beta pankreas. Sedangkan pada penderita DM tipe I obat ini tidak
11
dapat dipakai karena sel beta pankreas pada pasien DM tipe I tidak
mensekresi insulin sama sekali.
Glinid
Golongan obat ini memiliki mekanisme kerja yang sama dengan
Sulfonilurea karena obat ini bekerja melalui reseptor Sulfonilurea. Yang
membedakannya dengan Sulfonilurea hanyalah masa kerja Glinid yang
lebih singkat.
3. Penghambat Alfa Glukosidase
Golongan obat ini bekerja mengendalikan kadar glukosa darah dengan
cara meningkatkan lama waktu pemecahan dan penyerapan karbohidrat
kompleks melalui dinding usus halus.
4. Golongan Incretin
Saluran cerna mensekresikan dua jenis hormone incretin yaitu glucose
dependent insulinotropic polypeptide (GIP) dan glucagon-like peptide-1
(GLP-1). Kedua hormon ini bekerja meningkatkan sekresi insulin sebagai
respon terhadap asupan makanan.
GLP-1 memiliki waktu paruh yang sangat singkat, yaitu kurang dari 1
menit. Hal ini terjadi karena adanya proses inaktivasi GLP-1 oleh enzim
DPP-4. Oleh Karena itu diperlukan obat yang dapat menghambat enzim
DPP-4. Hingga saat ini terdapat dua obat yang bekerja menghambat DPP-
4 yaitu sitagliptin dan vildagliptin.
Selain itu, untuk mengatasi pendeknya waktu paruh GLP-1 ada juga
obat yang bekerja sebagai GLP-1 mimetik dan analog. Obat ini juga
memiliki ketahanan terhadap proses inaktivasi oleh enzim DPP-4. Namun
hingga saat ini obat ini belum beredar di Indonesia.
12
Terapi secara farmakologi tidak dapat terlepas dari terapi nonfarmakologi.
Keduanya harus berjalan secara beriringan. Adapun terapi nonfarmakologi adalah
dengan melakukan perubahan terhadap gaya hidup yaitu menjadi gaya hidup yang
sehat. Selain itu penderita diabetes juga diharapkan meningkatkan aktivitas fisik dan
mengatur asupan makanan setiap harinya.1
2.1.8. Komplikasi
Diabetes Melitus merupakan penyakit yang dapat berkembang menjadi
penyakit-penyakit lainnya. Komplikasi DM dapat dibagi menjadi dua, yaitu:6,10,12
1. Komplikasi jangka pendek
a. Koma hipoglikemia
Koma hipoglikemia dapat terjadi karena penggunaan obat antidiabetik
dengan dosis yang berlebih dari dosis yang dianjurkan.
b. Ketoasidosis
Pada penderita DM terjadi pemecahan badan-badan keton berlebihan
sebagai kompensasi terhadap penyediaan energi bagi tubuh. Hal inilah
yang dapat menimbulkan terjadinya ketoasidosis.
c. Koma hiperosmolar nonketotik
Ekskresi urin berlebihan pada penderita DM menyebabkan terjadinya
penurunan jumlah cairan baik cairan intrasel maupun ekstrasel.
Keadaan inilah yang dapat menyebabkan terjadinya koma hiperosmolar
nonketotik.
2. Komplikasi jangka panjang
a. Terjadinya perubahan dan kerusakan pada pembuluh darah baik
pembukuh darah besar maupun pembuluh darah kecil (makroangiopati
dan mikroangiopati)
b. Terjadinya neuropati diabetik yang menyebabkan penurunan pada
fungsi saraf, baik pada fungsi sensorik maaupun fungsi motorik.
13
c. Rentan terhadap terjadinya infeksi karena penurunan fungsi sistem
imun.
2.2. TB Paru
2.2.1. Definisi
TB paru merupakan infeksi bakteri kronik pada paru-paru yang disebabkan
oleh Mycobacterium tuberculosis.10
Infeksi ini ditandai dengan adanya pembentukan
granuloma (sekumpulan makrofag termodifikasi yang menyerupai sel epitel, biasanya
dikelilingi oleh cincin limfosit) akibat terjadinya suatu proses peradangan. Selain itu,
infeksi pada TB paru juga ditandai dengan adanya reaksi hipersensitivitas yang
diperantarai oleh sel (cell-mediated hypersensitivity).14
2.2.2. Etiologi
Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri tahan asam yang berbentuk
batang lurus atau sedikit melengkung.14
Bakteri ini tidak memiliki spora maupun
kapsul. Mycobacterium tuberculosis memiliki ukuran yang bervariasi. Lebarnya
berkisar diantara 0,3-0,6 µm, sedangkan panjangnya berkisar diantara 1-4 µm.14,15
Dinding sel bakteri Mycobacterium tuberculosis ini memiliki struktur yang
sangat kompleks. Dinding selnya tersusun dari lapisan lemak yang cukup tinggi, yaitu
sekitar 60%. Penyusun utama dinding sel bakteri ini adalah asam mikolat. Asam
mikolat merupakan asam lemak berantai panjang (C60-C90) yang dihubungkan
dengan arabinogalaktan oleh ikatan glikolipid dan dengan peptidoglikan oleh
jembatan fosfodiester. Selain asam mikolat, penyusun utama dinding bakteri ini
adalah lilin kompleks (complex-waxes), trehalosa dimikolat yang disebut “cord
factor”, dan mycobacterial sulfolipids yang berperan dalam virulensi. Selain unsur-
unsur utama tersebut adda juga unsur lain yang merupakan penyusun dinding sel
bakteri Mycobacterium tuberculosis yaitu polisakarida seperti arabinogalaktan dan
arabinomanan. Struktur dinding sel yang kompleks inilah yang menyebabkan
mengapa Mycobacterium tuberculosis merupakan bakteri yang tahan terhadap asam.
14
Di mana apabila dilakukan upaya penghilangan zat warna dengan asam alkohol
setelah pewarnaan yang pertama kali akan mengalami kegagalan.15
Komponen antigen pada Mycobacterium tuberculosis ditemukan pada dinding
sel bakteri dan sitoplasma. Komponen tersebut adalah lipid, polisakarida, dan protein.
Identifikasi terhadap karakteristik antigen Mycobacterium tuberculosis dapat
dilakukan dengan menggunakan antibodi monoklonal. Saat ini telah dikenal purified
antigens dengan berat molekul 14, 19, 38, dan 65 kDa (kiloDalton). Selain itu ada
juga yang menggolongkan antigen Mycobacterium tuberculosis dalam kelompok
yang disekresi dan yang tidak desekresi (somatik). Antigen yang disekresi hanya
dihasilkan oleh basil yang hidup, contohnya antigen 30.000α , protein MTP 40, dan
lain-lain.15
2.2.3. Patogenesis
Penularan TB umumnya terjadi melalui droplet, yang dikeluarkan dengan cara
batuk, bersin, atau percikan ludah orang terinfeksi TB paru. Droplet ini dapat
bertahan di udara dalam waktu beberapa jam. Diameter droplet ini sangat kecil (<5-
10 µm) menyebabkan droplet tersebut dapat mencapai jalan napas terminal jika
terhirup. Di dalam jalan napas terminal, droplet ini dapat membentuk sarang
pneumonia, yang dikenal sebagai sarang primer atau afek primer.2
Masuknya kuman TB ke dalam paru-paru akan menimbulkan respon
peradangan akut nonspesifik. Kuman TB tersebut akan ditelan oleh makrofag dan
diangkut ke kelenjar limfe regional. Keberadaan kuman TB dalam kelenjar limfe
regional dapat menyebabkan terjadinya peradangan (limfangitis lokal) yang diikuti
dengan pembesaran kelenjar limfe (limfadenitis lokal). Afek primer bersama
limfangitis dan limfadenitis ini akan membentuk kompleks primer. Di mana
kompleks primer tersebut dapat sembuh tanpa meninggalkan cacat, sembuh dengan
meninggalkan fibrotik atau kalsifikasi, atau pun menyebar secara perkontinuitatum,
bronkogen, limfogen, maupun hematogen. Rangkaian kejadian kejadian ini disebut
dengan infeksi tuberkulosis primer.2,14
15
Selama 2 hingga 8 minggu setelah infeksi primer, kuman TB terus
berkembang biak di lingkungan intraselulernya. Hal ini akan memicu untuk
timbulnya hipersensitivitas pada penjamu yang terinfeksi. Limfosit akan memasuki
daerah yang terinfeksi. Di situ limfosit akan mengurai faktor kemotaktik, interleukin
dan limfokin. Sebagai respon ari hal tersebut, monosit akan masuk ke daerah tersebut
dan mengalami perubahan bentuk menjadi makrofag. Tidak berhenti di situ saja,
makrofag ini akan berlanjut menjadi sel histiosit yang khusus, yang tersusun menjadi
granuloma. Kuman TB dapat bertahan di dalam makrofag selama bertahun-tahun
walaupun terjadi peningkatan lisozim dalam sel ini, namun multiplikasi dan
penyebaran selanjutnya biasanya terbatas. Kebanyakan pada orang-orang, kuman TB
ini akan dormant selama bertahun-tahun sebelum memasuki fase multiplikasi
eksponensial yang dapat menyebabkan penyakit TB.14
2.2.4. Manifestasi Klinis
Penderita TB paru tidak semua menampilkan gejala yang sama. Gejala yang
ditemukan sangatlah bervariasi, bahkan banyak pasien yang tidak memiliki keluhan
sama sekali dalam pemeriksaan kesehatan. Keluhan yang sering dijumpai adalah:9,10
1. Demam
Penderita TB sering mengalami demam yang subfebril seperti demam
pada influenza. Akan tetapi pada sebagian orang demamnya dapat
mencapai 40-41⁰C. Demam yang dialami penderita TB biasanya
berlangsung secara hilang timbul. Sehingga sering dari mereka merasa
tidak pernah terbebas dari serangan demam ini. Keadaan ini sangat
dipengaruhi oleh daya tahan tubuh penderita dan berat ringannya infeksi
kuman TB yang terjadi.
16
2. Batuk/batuk darah
Batuk yang terjadi pada penyakit TB paru adalah akibat dari iritasi pada
bronkus. Batuk ini adalah mekanisme pertahanan tubuh pasien untuk
membuang produk-produk radang keluar. Karena respon tubuh setiap
orang yang berbeda-beda, batuk muncul juga pada saat yang berbeda-
beda. Batuk ini bisa saja muncul ketika infeksi sudah berkembang ke
jaringan paru setelah infeksi yang lama sekitar berminggu- minggu atau
berbulan-bulan. Sifat batuk yang muncul mulai dari batuk kering
(nonproduktif) hingga batuk disertai sputum (produktif). Keadaan ini
dapat berlanjut hingga timbul batuk berdarah akibat pecahnya pembuluh
darah. Kebanyakan batuk berdarah pada kasus TB terjadi pada kavitas
atau bisa juga pada ulkus dinding bronkus.
3. Sesak napas
Sesak napas pada penderita TB belum muncul pada kasus yang ringan.
Sesak napas ini muncul bila kasus sudah berat yaitu ketika sudah
terbentuk infiltrat pada setengah bagian dari paru-paru.
4. Nyeri dada
Gejala nyeri dada pada penderita TB paru sebenarnya jarang ditemukan.
Gejala ini muncul bila infiltrasi radang sudah menyebar hingga pleura
sehingga terjadi pleuritis. Pleuritis inilah yang menyebabkan nyeri ketika
terjadi gesekan diantara kedua pleura.
5. Malaise
Penyakit TB merupakan penyakit yang kronik dan dapat terjadi menahun.
Gejala malaise yang sering muncul adalah berupa anoreksia tidak nafsu
makan, badan menjadi kurus (berat badan turun), sakit kepala, meriang,
nyeri otot, keringat malam, dll. Gejala malaise ini semakin lama akan
semakin berat dan terjadi secara tidak teratur (hilang-timbul).
17
2.2.5. Diagnosis
Diagnosis pada penyakit TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinik,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan bakteriologi, pemeriksaan radiologi, dan pemeriksaan
penunjang lainnya . 10
Gejala klinik yang dapat timbul, antara lain demam dan keringat malam,
penurunan berat badan, batuk lebih dari dua minggu, batuk darah, sesak napas, dan
nyeri dada. Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan suara napas bronchial, amforik,
suara napas yang melemah, dan rhonki basah. Sedangkan untuk diagnosis pasti TB
paru adalah dengan menemukan kuman Mycobacterium tuberculosis dalam sputum
atau jaringan paru biakan. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan adalah dengan
pencitraan radiologi, pemeriksaan BACTEC, PCR (Polymerase Chain Reaction),
ELISA (Enzym Linked Immunosorbent Assay), ICT (Immunochromatograpic
Tuberculosis), Mycodot, PAP (Peroksidase Anti Peroksidase), dan IgG TB.9
2.2.6. Tatalaksana
Pengobatan TB dilakukan dalam 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan (4 atau 6 bulan).10
Sedangkan obat yang digunakan adalah obat utama dan
obat tambahan.
Jenis-jenis obat utama (lini 1) yang dipakai pada pengobatan TB adalah:2,13,15
1. Rifampisin
Dosis: 10 mg/kg BB, maksimal 600 mg 2-3 kali/minggu, atau
>60 kg : 600 mg
40-60 kg : 450 mg
<40 kg : 300 mg
2. INH
Dosis: 5 mg/kg BB, maksimal 300 mg, 10 mg/kg BB 3 kali/minggu, 15
mg/kg BB 2 kali/minggu atau 300 mg/hari untuk dewasa. Sedangkan dosis
Intermiten 600 mg/kali
18
3. Pirazinamid
Dosis: fase intensif 25 mg/kg BB, 35 mg/kg BB 3 kali/minggu, 50 mg/kg
BB 2 kali/minggu, atau
>60 kg : 1500 mg
40-60 kg : 1000 mg
<40 kg : 750 mg
4. Streptomisin
Dosis: 15 mg/kg BB atau
>60 kg : 1000 mg
40-60 kg : 750 mg
<40 kg : sesuai BB mg
5. Etambutol
Dosis: fase intensif 20 mg/kg BB, fase lanjutan 15 mg/kg BB, 30 mg/kg
BB 3 kali/minggu, 45 mg/kg BB 2 kali/minggu, atau
>60 kg : 1500 mg
40-60 kg : 1000 mg
<40 kg : 750 mg
Dosis intermiten 40 mg/kg BB/kali
Kombinasi dosis tetap (fixed dose combination), terdiri dari:
1. Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg, pirazinamid 400 mg, dan etambutol 275 mg.
2. Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg,
isoniazid 75 mg, dan pirazinamid 400 mg.
Menurut WHO 1999, penderita TB yang diberi kombinasi dosis tetap
dianjurkan untuk meminum obat 3-4 kali sehari selama fase intensif. Sedangkan pada
fase lanjutan dapat menggunakan kombinasi 2 dosis obat antituberkulosis seperti
yang selama ini telah digunakan sesuai pedoman pengobatan.
19
Jenis-jenis obat tambahan lainnya yang dipakai pada pengobatan TB adalah:15
1. Kanamisin
2. Kuinolon
3. Obat lain masih dalam penelitian : makrolid, amoksilin + asam klavulanat
4. Derivat rifampisin dan INH
2.3. HbA1C
Sekitar 91-95% dari total jumlah hemoglobin terdiri dari Hemoglobin A
(HbA). Hemoglobin yang berikatan dengan molekul glukosa pada tubuh adalah HbA1
yang merupakan bagian dari HbA. Ikatan antara molekul glukosa dan HbA1 ini
disebut ikatan glikosilasi. Pembentukan HbA1C ini berlangsung dengan lambat, di
mana lama waktu pembentukannya sama dengan rentang hidup sel darah merah.16
HbA1 terdiri atas tiga molekul hemoglobin, yaitu HbA1A, HbA1B, dan
HbA1C.17
Dari keseluruhan HbA1 tersebut, sekitar 70 % adalah merupakan HbA1C.
Sekitar 70% HbA1C berada dalam bentuk terglikosilasi (mengabsorpsi glukosa).16,17
Jumlah hemoglobin yang terglikosilasi ini tergantung kepada kadar glukosa darah
dalam tubuh. Apabila kadar glukosa darah meningkat dalam waktu yang lama, maka
sel darah merah akan tersaturasi dengan glukosa membentuk glikohemoglobin.16
Hemoglobin yang terglikosilasi ini digunakan terutama sebagai alat ukur
keefektifan terapi diabetik. Kadar gula darah puasa mencerminkan kadar glukosa
darah, saat pertama kali puasa; sedangkan HbA1C merupakan indikator yang lebih
baik untuk pengendalian DM.16,17
Namun demikian, penurunan palsu kadar HbA1C
dapat disebabkan oleh penurunan jumlah sel darah merah.16
Peningkatan kadar HbA1C >8% mengindikasikan DM yang tidak terkendali,
dan pasien tersebut berisiko tinggi mengalami komplikasi jangka panjang, seperti
nefropati, retinopati, neuropati, dan/atau kardiopati.16,17
20
2.3.1. Metode Pemeriksaan HbA1C
Saat ini ada sekitar 100 jenis metode yang dipakai untuk pemeriksaan kadar
HbA1C, dari low throughput research laboratory component system dan manual
mini-column methods hingga high throughput automated system yang khusus.
Metode pemeriksaan HbA1C dapat dibagi menjadi tiga kategori berdasarkan cara
pemisahan komponen hemoglobin glikosilasi dan non glikosilasi:17
a. Metode pemeriksaan berdasarkan perbedaan muatan
Cation exchange chromatography (diaposable microcolumns, high
performance liquid chromatography)
Electrophoresis (agar gel, isoelectric focusing)
b. Metode pemeriksaan berdasarkan reaktivitas kimia
Hydroxymethyl furfural/thiobarbituric acid colorimetry
c. Metode pemeriksaaan berdasarkan perbedaan structural
Affinity chromatography
Pada umumnya, hasil pemeriksaan HbA1C antara metode yang satu dengan
yang lain menunjukkan korelasi yang sangat baik walaupun menggunakan prinsip
yang berbeda. Hingga saat ini, tidak ada data pasti yang menunjukkan metode atau
analisis mana yang lebih unggul dalam pemeriksaan HbA1C. Di lain pihak, hasil
HbA1C dapat berbeda di antara metode yang satu dengan yang lain, kecuali metode
tersebut telah dilakukan standarisasi terlebih dahulu.17
2.4. Pemeriksaan Bakteriologi pada Sputum
Pemeriksaan bakteriologi mempunyai peran penting dalam mendiagnosa
suatu penyakit TB paru. Pemeriksaan ini dilakukan untuk menemukan kuman
Mycobacterium tuberculosis yang merupakan bakteri penyebab infeksi pada TB paru.
Bahan yang dapat digunakan untuk pemeriksaan ini dapat berasal dari sputum
(dahak), cairan pleura, cairan serebrospinal, bilasan bronkus, bilasan lambung,
21
kurasan bronkoalveolar, urin, feses, dan jaringan biopsi. Namun pemeriksaan
bakteriologi yang paling umum dilakukan adalah pemeriksaan bakteriologi pada
sputum pasien.15
2.4.1. Pengambilan dan Pengiriman Sediaan
Pengambilan sediaan sputum pasien ini dilakukan dalam tiga kali
pengambilan. Berikut adalah tiga kali waktu pengambilan sputum yang dianjurkan
oleh Perhimpunan Dokter Paru Indonesia:
1. Sewaktu/spot (sputum sewaktu melakukan kunjungan)
2. Pagi (keesokan harinya)
3. Sewaktu/spot (sputum pada saat mengantarkan sputum pagi)
Proses pengambilan dan pengiriman sediaan sputum harus dilakukan dengan
cara yang benar agar hasil yang diperoleh akurat. Sputum pasien ditampung dalam
wadah yang bermulut lebar, kira-kira diameternya berkisar 6 cm. Wadah yang dipakai
harus dengan tutup berulir, tidak mudah pecah, dan tidak bocor. Bila fasilitas yang
ada cukup memadai, sediaan dapat dibuat dalam bentuk apusan pada gelas objek.
Tetapi sebelum dilakukan pengiriman, sediaan apusan tersebut harus difiksasi terlebih
dahulu.15
Selain itu, sediaan sputum yang akan dikirim ke laboratium untuk dilakukan
pemeriksaan bakteriologi harus dicantumkan identitas pasien serta formulir
permohonan pemeriksaan laboratorium. Hal ini sangatlah penting untuk diperhatikan
agar hasil pemeriksaan bakteriologi tidak tertukar antara pasien yang satu dengan
yang lain.15
22
2.4.2. Pemeriksaan Sediaan
Pemeriksaan bakteriologi terhadap sputum pasien dapat dilakukan dengan dua
cara, yaitu:14,15
1. Mikroskopik
Mikroskopik biasa: pewarnaan Ziehl-Nielsen
Mikroskopik flouresens: pewarnaan auramin-rhodamin(khususnya untuk
screening)
Interpretasi hasil pemeriksaan dari tiga kali hasil pemeriksaan adalah bila:
3 kali positif atau 2 kali positif, 1 kali negatif maka BTA positif
1 kali positif, 2 kali negatif maka ulangi pemeriksaan BTA 3 kali,
kemudian
1 kali positif, 2 kali negative maka BTA positif
3 kali negatif makan BTA negatif
Interpretasi pemeriksaan mikroskopik dibaca dengan skala International
Union Against Tuberculosis and Lung Disease (IUATLD) sesuai
rekomendasi WHO adalah:8
Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang, disebut negative
Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah kuman
yang ditemukan
Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang, disebut 1+
Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut 2+
Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut 3+
23
2. Biakan
Pemeriksaan Mycobacterium tuberculosis dengan metode konvensional
ialah dengan cara:
Egg base media: Lowenstein-Jensen (dianjurkan), Ogawa, Kudoh
Agar base media: Middle Brook
Pemeriksaan biakan dilakukan adalah untuk mendapatkan diagnosis pasti
pada pasien TB paru. Pada pemeriksaan ini yang dapat dideteksi tidak hanya
kuman Mycobacterium tuberculosis, tetapi juga kuman Mycobacterium other
than tuberculosis (MOTT). Untuk mendeteksi MOTT dapat digunakan
beberapa cara, baik dengan melihat cepatnya pertumbuhan, menggunakan uji
nikotinamid, uji niasin maupun pencampuran dengan cyanogens bromide
serta melihat pigmen yang timbul.15
24
Kadar HbA1C
BAB 3
KERANGKA TEORI DAN KONSEP, HIPOTESIS, VARIABEL
DAN DEFINISI OPERASIONAL
3.1. Kerangka Teori dan Konsep Penelitian
Gambar 3.1. Kerangka teori dan konsep penelitian
Faktor Risiko:
1. Kelainan genetik
2. Usia
3. Stress
4. Malnutrisi
5. Obesitas
6. Infeksi
Patofisiologi DM tipe 2:
1. Otot, sel lemak, dan
hati resisten terhadap
gungsi insulin
2. Respon sel beta tidak
adekuat
3. Free fatty acid plasma
yang meningkat
Tatalaksana DM Komplikasi DM
Farmakologi
Nonfarmakolog
i
Komplikasi jangka
pendek
Tuberkulosis Paru
Komplikasi jangka
panjang
Diabetes Melitus
Diagnosa DM
Gejala klinis
Kadar gula darah
Manifestasi Klinis TB paru:
1. Demam
2. Batuk/batuk darah
3. Sesak napas
4. Nyeri dada
5. Malaise
Diagnosa TB paru
Gejala klinis
Pemeriksaan fisik
Gambaran BTA
sputum
Pemeriksaan radiologi
Pemeriksaan
penunjang lainnya
Gejala Klasik:
1. Poliuria
2. Polidipsia
3. Polifagia
4. Penurunan BB
Gejala lainnya:
1. Lemah badan
2. Kesemutan
3. Gatal
4. Mata kabur
5. Disfungsi ereksi
6. Pruritus vulva
Patogenesis
Mycobacterium tuberculosis
25
Keterangan:
: variable independen
: variable dependen
3.2. Hipotesis
Terdapat hubungan antara kadar HbA1C dengan infeksi Tuberkulosis
(gambaran BTA sputum) pada pasien DM dengan TB paru.
3.3. Variabel dan Definisi Operasional
3.3.1. Variabel
Variabel Independen : kadar Hb A1C
Variabel Dependen : gambaran BTA sputum
3.3.2. Definisi Operasional
1. Kadar HbA1C
Kadar HbA1C merupakan kadar dari hemoglobin terglikosilasi yang
sampelnya diambil dari darah kapiler atau vena dengan antikoagulan. Kriteria
hasil pengukurannya berdasarkan American Diabetes Association (ADA)
tahun 2012 adalah sebagai berikut:
1. baik ≤ 7%
2. buruk > 7%
Cara ukur : Observasi
Alat ukur : Data rekam medis
Skala ukur : Nominal
26
2. Gambaran BTA sputum
Gambaran BTA sputum merupakan hasil dari pemeriksaan yang
dilakukan dengan metoda pewarnaan Ziehl Neelsen dan dilihat dengan
menggunakan mikroskop. Kriteria hasil pengukurannya menurut WHO adalah
sebagai berikut:
1. Positif
2. Negatif
Cara ukur : Observasi
Alat ukur : Data rekam medis
Skala ukur : Nominal
27
BAB 4
METODE PENELITIAN
4.1. Rancangan Penelitian
Penelitian yang dilakukan adalah penelitian analitik yang bertujuan untuk
melihat adanya hubungan antara kadar HbA1C dengan infeksi tuberkulosis yang
dilihat dari hasil pemeriksaan bakteriologi pada sputum. Rancangan penelitian ini
adalah cross sectional. Di mana dalam satu kali pengamatan dapat dilihat hubungan
antara kadar HbA1C dengan infeksi Tuberkulosis.
4.2. Lokasi dan Waktu Penelitian
4.2.1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilakukan di RSUP H. Adam Malik-Medan. Lokasi penelitian
ini dipilih karena RSUP H. Adam Malik adalah Rumah Sakit tipe A yang merupakan
tempat rujukan dari berbagai sarana pelayanan kesehatan. Selain itu RSUP H. Adam
Malik juga merupakan Rumah Sakit Pendidikan.
4.2.2. Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Juli 2016 hingga Desember 2016.
4.3. Populasi dan Sampel Penelitian
4.3.1. Populasi
Populasi pada penelitian ini adalah semua data rekam medis pasien DM
dengan TB paru di RSUP H. Adam Malik-Medan periode Juli 2015-Juni 2016 .
28
4.3.2. Sampel
Sampel pada penelitian ini adalah semua data rekam medis pasien DM dengan
TB paru di RSUP H. Adam Malik-Medan periode Juli 2015-Juni 2016 .
Kriteria Inklusi
Pasien DM tipe 2 dengan TB paru
Terdapat hasil pemeriksaan kadar HbA1C
Terdapat hasil pemeriksaan gambaran BTA sputum
4.3.3. Besar sampel
Sampel pada penelitian ini menggunakan total sampling, dimana seluruh
populasi digunakan sebagai sampel penelitian.
4.4. Metode Pengumpulan Data
Jenis data yang dikumpulkan pada penelitian ini adalah data sekunder, yaitu
data yang diperoleh dari rekam medik di RSUP H. Adam Malik-Medan. Data yang
diperoleh yaitu kadar HbA1C pasien yang menyatakan kondisi penyakit DM yang
dideritanya selama tiga bulan terakhir dan hasil pemeriksaan sputum yang
menyatakan pasien positif menderita TB paru . Data ini kemudian diolah untuk
melihat adanya hubungan antara kadar HbA1C yang dimiliki terhadap infeksi
tuberkulosis yang diderita.
4.5. Metode Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan kemudian dicatat dan ditampilkan dalam bentuk
tabel. Data tersebut lalu diolah dan dianalisa dengan menggunakan program komputer
yang telah dipercaya dalam mengolah data penelitian yaitu SPSS.
29
Uji hipotesis akan dilakukan dengan menggunakan uji Chi square dikarenakan
kedua variable baik variabel independen maupun variabel dependen menggunakan
skala kategorik.
30
BAB 5
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
5.1. Hasil Penelitian
5.1.1. Deskripsi Lokasi Penelitian
RSUP H. Adam Malik-Medan adalah Rumah Sakit tipe A yang merupakan
tempat rujukan dari berbagai sarana pelayanan kesehatan. Selain itu RSUP H. Adam
Malik juga merupakan Rumah Sakit Pendidikan. Rumah Sakit ini terletak di Jalan
Bunga Lau No. 17 Km. 12 Kecamatan Medan Tuntungan, Kotamadya Medan,
Provinsi Sumatera Utara.
Penelitian ini dilakukan di Instalasi Rekam Medik. Instalasi Rekam Medik ini
berada di lantai satu gedung RSUP H. Adam Malik-Medan.
5.1.2. Karakteristik Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah semua data rekam medis pasien DM
dengan TB paru di RSUP H. Adam Malik-Medan periode Juli 2015-Juni 2016.
Sampel diperoleh dengan pendekatan cross sectional (potong lintang) yang telah
memenuhi kriteria inklusi.
5.1.3. Distribusi Sampel
5.1.3.1. Distribusi Pasien DM dengan TB Paru
Tabel 5.1. Distribusi Frekuensi
No Karakteristik Sampel Frekuensi
n(%)
1 Jenis Kelamin
Laki-laki
Perempuan
15(75)
5(5)
31
2 Kadar HbA1C
Baik (<7%)
Buruk (≥7%)
2(10)
18(90)
3 Gambaran BTA Sputum
Positif
Negatif
14(70)
6(30)
Berdasarkan Tabel 5.1., didapat pasien DM dengan TB paru terbanyak adalah
berjenis kelamin laki-laki sebanyak 15 orang (75%). Berdasarkan kadar HbA1C yang
didapat jumlah pasien DM dengan TB paru yang memiliki kadar HbA1C buruk
adalah sebanyak 18 orang (90%). Berdasarkan gambaran BTA sputum yang didapat
jumlah pasien DM dengan TB paru yang hasil pemeriksaan BTA sputumnya positif
adalah sebanyak 14 orang (70%).
Tabel 5.2. Tabulasi Silang Pasien DM dengan TB Paru Berdasarkan Kadar
HbA1C dan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Kadar HbA1C Laki-laki
n(%)
Perempuan
n(%)
Baik (<7%) 2(10) 0(0)
Buruk (≥7%) 13(65) 5(25)
Total 15(75) 5(25)
Berdasarkan Tabel 5.2., didapat pasien DM dengan TB paru yang berjenis
kelamin laki-laki dengan kadar HbA1C baik (<7%) sebanyak 2 orang (10%).
Sedangkan yang berjenis kelamin perempuan dengan kadar HbA1C baik (<7%) tidak
ada sama sekali.
32
Sebanyak 13 orang (65%) pasien berjenis kelamin laki-laki memiliki kadar
HbA1C buruk (≥7%). Sedangkan pasien yang berjenis kelamin perempuan dengan
kadar HbA1C buruk (≥7%) sebanyak 5 orang (25%).
Tabel 5.3. Tabulasi Silang Pasien DM dengan TB Paru Berdasarkan Gambaran
BTA Sputum dan Jenis Kelamin
Jenis Kelamin
Gambaran BTA
Sputum
Laki-laki
n(%)
Perempuan
n(%)
Positif 10(50) 4(20)
Negatif 5(25) 1(5)
Total 15(75) 5(25)
Berdasarkan Tabel 5.3., didapat pasien DM dengan TB paru yang berjenis
kelamin laki-laki dengan gambaran BTA sputum positif sebanyak 10 orang (50%).
Sedangkan yang berjenis kelamin perempuan dengan gambaran BTA sputum positif
sebanyak 4 orang (20%).
Sebanyak 5 orang (25%) pasien berjenis kelamin laki-laki memiliki gambaran
BTA sputum negatif. Sedangkan pasien yang berjenis kelamin perempuan dengan
gambaran BTA sputum negatif sebanyak 1 orang (5%).
Tabel 5.4. Hubungan Pasien DM dengan TB Paru Berdasarkan Kadar HbA1C
dan Gambaran BTA Sputum
Gambaran BTA Sputum
Kadar HbA1C Positif
n(%)
Negatif
n(%)
p-value
Baik (<7%) 0(0) 2(10) 0,079
Buruk (≥7%) 14(70) 4(20)
Total 14(70) 6(30)
33
Berdasarkan Tabel 5.4., didapat pasien DM dengan TB paru yang memiliki
kadar HbA1C baik (<7%) dengan gambaran BTA negatif sebanyak 2 orang (10%).
Sedangkan pasien yang memiliki kadar HbA1C baik (<7%) dengan gambaran BTA
positif tidak ada sama sekali.
Pasien DM dengan TB paru yang memiliki kadar HbA1C buruk (≥7%) dengan
gambaran BTA positif sebanyak 14 orang (70%). Sedangkan 4 orang (20%) pasien
DM dengan TB paru memiliki kadar HbA1C buruk (≥7%) dengan gambaran BTA
negatif.
5.1.4. Analisis Data Hasil Penelitian
Uji statistik data menggunakan uji Chi-Square yang dilakukan untuk
menentukan hubungan kadar HbA1C dengan infeksi tuberkulosis (gambaran BTA
sputum) pada pasien DM dengan TB paru. Hasil uji Chi-Square menunjukkan nilai
Exact Sig. (2-sided) dengan nilai p=0,079. Nilai signifikansi lebih besar dari 0,05
artinya tidak terdapat hubungan yang signifikan antara kadar HbA1C dengan infeksi
tuberkulosis (gambaran BTA sputum) pada penderita DM dengan TB paru.
5.2. Pembahasan
Berdasarkan Tabel 5.1., didapat pasien DM dengan TB paru yang terbanyak
adalah berjenis kelamin laki-laki sebanyak 15 orang (75%). Sedangkan pasien DM
dengan TB paru berjenis kelamin perempuan yang ditemukan sebanyak 5 orang
(25%). Hal ini sesuai dengan penelitian sebelumnya oleh Fengling et al. (2013) yang
mengatakan bahwa persentase pasien DM dengan TB paru berdasarkan jenis kelamin
didominasi oleh pasien laki-laki (76,7%) bila dibandingkan dengan pasien perempuan
(23,3%).18
Hal yang serupa juga didukung oleh penelitian lainnya oleh Vijay et al.
(2012) bahwa pasien DM dengan TB paru didominasi oleh pasien pria (75,12%) bila
dibandingkan dengan pasien perempuan (24,88%).19
Selain kedua penelitian di atas,
penelitian lain oleh Nathella et al. (2013 juga mendukung hasil penelitian ini bahwa
persentase pasien DM dengan TB paru didominasi oleh laki-laki (70,4%) bila
34
dibandingkan dengan pasien perempuan (29,6%).20
Laki- laki penderita DM umumya
lebih berisiko untuk menderita TB paru bila dibandingkan dengan perempuan,
kemungkinan hal ini disebabkan karena kebiasaan merokok yang lebih tinggi pada
laki-laki daripada perempuan.3 Berbeda dengan hasil penelitian oleh Agung et al.
(2015), dalam penelitiannya dikatakan bahwa pasien DM dengan TB paru lebih
banyak ditemukan pada perempuan (59,2%) daripada laki-laki (40,8%).3 Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh prevalensi DM yang lebih banyak terjadi pada
perempuan daripada laki-laki.
Berdasarkan kadar HbA1C, didapat jumlah pasien DM dengan TB paru
dengan kadar HbA1C baik (<7%) sebanyak 2 orang (10%). Sedangkan pasien DM
dengan TB paru dengan kadar HbA1C buruk (≥7%) lebih dominan, yaitu sebanyak 18
orang (90%). Hal ini serupa dengan hasil penelitian sebelumnya oleh Agung et al.
(2015) yang menyatakan bahwa bila dilihat berdasarkan kadar HbA1C, pasien DM
dengan TB paru didominasi oleh pasien dengan kadar HbA1C buruk (74,75%)
daripada pasien dengan kadar HbA1C baik (25,25%).3
Berdasarkan gambaran BTA sputum, pada penelitian ini didapat pasien
dengan gambaran BTA sputum positif berjumlah lebih banyak dibandingkan dengan
pasien yang gambaran BTA sputumnya negatif. Pasien dengan gambaran BTA
sputum positif sebanyak 14 orang (70%), sedangkan pasien dengan gambaran BTA
negatif berjumlah 6 orang (30%). Hal ini serupa dengan hasil penelitian Fengling et
al. (2013) yang menyatakan bahwa berdasarkan gambaran BTA sputum, pasien DM
dengan TB paru didominasi oleh pasien yang memiliki gambaran BTA sputum positif
(62,8%) daripada pasien dengan gambaran BTA sputum negatif (37,2%).18
Penelitian
lain yang juga mendukung hasil penelitian ini adalah penelitian oleh Vijay et al.
(2012) yang mengatakan bahwa pasien DM dengan TB paru didominasi oleh pasien
yang memiliki gambaran BTA sputum positif (64%) daripada pasien dengan
gambaran BTA sputum negatif (36%).19
Berbeda dengan yang dikemukakan oleh
salah satu penelitian lainnya, yaitu penelitian oleh Dina et al. (2016) dikatakan bahwa
pada pasien DM dengan TB paru lebih banyak ditemukan pasien dengan gambaran
35
BTA sputum negatif (65,52%) daripada pasien dengan BTA sputum positif
(34,48%).21
Kemungkinan hal ini dikarenakan oleh kebanyakan pasien yang datang
sudah pernah mendapatkan pengobatan TB sebelumnya sehingga BTA sputumnya
sudah negatif. Selain itu bisa juga kemungkinan karena pasien-pasien ini bukan
terinfeksi oleh Mycobacterium tuberculosis, melainkan oleh bakteri jenis lain atau
pun jamur-jamur yang memberikan gambaran klinis dan gambaran foto toraks seperti
TB.
Berdasarkan Tabel 5.2., didapat pasien DM dengan TB paru yang berjenis
kelamin laki-laki dengan kadar HbA1C baik (<7%) sebanyak 2 orang (10%).
Sedangkan yang berjenis kelamin perempuan dengan kadar HbA1C baik (<7%) tidak
ada sama sekali. Selain itu didapat juga sebanyak 13 orang (65%) pasien berjenis
kelamin laki-laki memiliki kadar HbA1C buruk (≥7%). Sedangkan pasien yang
berjenis kelamin perempuan dengan kadar HbA1C buruk (≥7%) sebanyak 5 orang
(25%). Berdasarkan penelitian sebelumnya oleh Fengling et al. (2013), dan Vijay et
al (2012), kemungkinan hal ini terjadi karena jumlah pasien DM dengan TB paru
yang di dominasi oleh kaum laki-laki (berdasarkan jenis kelamin) dan kadar HbA1C
yang buruk (≥7%) (berdasarkan pemeriksaan kadar HbA1C).18,19
Bila ditelaah dari beberapa penelitian terdahulu, terlepas dari ada atau
tidaknya riwayat penyakit penyerta berupa DM, laki-laki memang lebih rentan
terkena infeksi M. tuberculosis. Hal ini didukung oleh beberapa faktor, salah satunya
adalah kebiasaan merokok yang cenderung lebih tinggi pada laki-laki. Seperti yang
telah diketahui, kebiasaan merokok ini dapat menyebabkan penurunan sistem
imunitas tubuh, sehingga lebih rentan terhadap infeksi. Gangguan pada sistem
imunitas saluran pernapasan tersebut dapat berupa kerusakan silia-silia pada saluran
napas akibat racun pada asap rokok yang terhirup. Racun tersebut juga dapat merusak
sel-sel fagosit di saluran pernapasan dan menurunkan respon terhadap antigen,
sehingga meningkatkan kerentanan untuk menderita TB paru.21
Adapun hasil
penelitian tersebut sangat mendukung data yang diperoleh pada Tabel 5.3., di mana
didapatkan pasien DM dengan TB paru yang berjenis kelamin laki-laki dengan
36
gambaran BTA sputum positif sebanyak 10 orang (50%), yang berjenis kelamin
perempuan dengan gambaran BTA sputum positif sebanyak 4 orang (20%), yang
berjenis kelamin laki-laki memiliki gambaran BTA sputum negatif 5 orang (25%),
serta pasien yang berjenis kelamin perempuan dengan gambaran BTA sputum negatif
sebanyak 1 orang (5%).
Berdasarkan Tabel 5.4., didapat pasien DM dengan TB paru yang memiliki
kadar HbA1C baik (<7%) dengan gambaran BTA negatif sebanyak 2 orang (10%).
Sedangkan pasien yang memiliki kadar HbA1C baik (<7%) dengan gambaran BTA
positif tidak ada sama sekali. Pasien DM dengan TB paru yang memiliki kadar
HbA1C buruk (≥7%) dengan gambaran BTA positif sebanyak 14 orang (70%).
Sedangkan 4 orang (20%) pasien DM dengan TB paru memiliki kadar HbA1C buruk
(≥7%) dengan gambaran BTA negatif. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
sebelumnya oleh Tamura et al. (2001), di mana pada penelitian itu dikemukakan
bahwa pada pasien DM dengan kadar HbA1C buruk ditemukan gambaran BTA
sputum positif lebih tinggi daripada pasien dengan kadar HbA1C baik.22
Hal ini
kemungkinan disebabkan oleh penurunan imunitas tubuh yang terjadi akibat kondisi
hiperglikemia berkepanjangan pada penderita DM.
Berdasarkan uji statistik, dengan menggunakan uji Chi-square, didapat bahwa
tidak terdapat hubungan yang signifikan antara HbA1C dengan gambaran BTA
sputum pada pasien DM dengan TB paru (p=0,079). Hasil ini tidak sesuai dengan
hasil penelitian sebelumnya oleh Tamura et al. (2001), di mana pada penelitian
tersebut dikemukakan bahwa pasien dengan kadar HbA1C buruk akan memiliki
periode lebih lama hingga gambaran BTA sputum menjadi negatif setelah terapi TB
paru dimulai bila dibandingkan dengan periode pada pasien dengan kadar HbA1C
baik.22
Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa hal. Salah satu kemungkinannya
adalah jumlah sampel yang sedikit. Selain itu, dapat juga disebabkan oleh faktor-
faktor lain yang juga memengaruhi infeksi TB seperti lingkungan, riwayat TB di
keluarga, dan lain sebagainya.
37
Keterbatasan dari penelitian ini adalah sampelnya yang sedikit (20 orang). Hal
ini dikarenakan oleh beberapa hal, salah satunya adalah karena tidak adanya data
hardcopy rekam medis dari pasien-pasien yang sudah tercatat secara komputerisasi.
Selain itu jumlah sampel sedikit karena data pada rekam medis pasien tidak lengkap
sehingga harus dieksklusi, yaitu pasien yang tidak terdapat data HbA1C-nya atau
BTA sputumnya, atau pun keduamya.
Selain jumlah sampel yang sedikit, keterbatasan lainnya adalah gambaran
BTA sputum yang ada pada rekam medis kurang spesifik, di mana gambaran BTA
sputum tersebut hanya memperlihatkan positif dan negatif. Hal ini bisa disebabkan
karena pasien-pasien yang berobat ke RSUP H. Adam Malik ini merupakan pasien-
pasien rujukan, sehingga data lengkap mengenai gambaran BTA sputumnya berada di
tempat asal rujukan serta tidak diadakannya lagi pemeriksaan ulang di RSUP H.
Adam Malik.
38
BAB 6
KESIMPULAN DAN SARAN
6.1. Kesimpulan
1. Tidak terdapat hubungan antara kadar HbA1C dengan infeksi
Tuberkulosis (gambaran BTA sputum) pada penderita DM dengan TB
paru. (p=0,079)
2. Pada penelitian ini, didapat pasien DM dengan TB paru terbanyak adalah
berjenis kelamin laki-laki sebanyak 15 orang (75%).
3. Pada penelitian ini, didapat pasien DM dengan TB paru terbanyak adalah
pasien dengan kadar HbA1C buruk (≥7%) yaitu sebanyak 18 orang
(90%).
4. Pada penelitian ini, didapat pasien DM dengan TB paru terbanyak adalah
pasien dengan hasil pemeriksaan BTA sputumnya positif yaitu sebanyak
14 orang (70%).
6.2. Saran
1. Tenaga kesehatan perlu melakukan pemeriksaan BTA sputum untuk
pasien-pasien DM atau pemeriksaan HbA1C untuk pasien-pasien TB paru.
2. Tenaga kesehatan perlu melakukan pencatatan rekam medis yang baik
sehingga memudahkan peneliti-peneliti selanjutnya.
3. Perlu diadakan penelitian lebih lanjut dengan jumlah sampel yang lebih
banyak untuk mengetahui gambaran penyakit yang sesungguhnya si
masyarakat.
4. Bagi penelitian selanjutnya diharapakan dapat menyebutkan gambaran
BTA sputum yang lebih spesifik.
39
DAFTAR PUSTAKA
1. Purnamasari, Dyah. Diagnosis dan Klasifikasi Diabetes Melitus. Dalam: Setiati S,
Alwi I, Sudoyo AW, et al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6.
Internal Publishing. 2014.h.2323-27
2. Cahyadi A, Venty. Tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus. J Indon Med
Assoc. 2011 Apr 4;61(4):174-77.
3. Wijayanto A, Burhan E, Nawas A, Rochsismandoko. Faktor terjadinya
tuberkulosis paru pada pasien diabetes mellitus tipe 2. J Respir Indo. 2015
Jan;35(1):2-8.
4. Casqueiro J, Casqueiro J, Alves C. Infections in patients with diabetes mellitus: A
review of pathogenesis. IJEM. 2012;16:S27-S36.
5. Perkumpulan Endokrinologi Indonesia. Konsensus Pengelolaan dan Pencegahan
Diabetes Melitus Tipe 2 di Indonesia 2015. Jakarta: PB PERKENI;2015.
6. American Diabetes Association. Diagnosis and classification of diabetes mellitus.
Diabetes Care. 2013 Jan;36:S67-S74.
7. Jeon CY, Murray MB. Diabetes mellitus increased the risk of active tuberculosis:
a systemic review of 13 observational studies. PLoS Medicine. 2008
Jul;5(7):1091-101.
8. Duangrthi D, Thanachartwet V, Desakorn V, et al. Impact of diabetes mellitus on
clinical parameters and treatment outcomes of newly diagnosed pulmonary
tuberculosis patient in Thailand. Int J Clin Pract. 2013 Nov;67(11):1199-209.
9. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. Dalam: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW, et
al, editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-6. Internal Publishing.
2014.h.863-71.
10. Wijaya I. Tuberkulosis paru pada penderita diabetes melitus. CDK-229.
2015:42(6):413.
11. Sihombing H, Sembiring H, Amir Z, et al. Pola resistensi primer pada penderita
TB paru kategori I di RSUP H. Adam Malik, Medan. J Respir Indo.
2012;32(3):138-45.
12. Riyadi S, Sukarmin. Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan
Eksokrin & Endokrin pada Pankreas. Edisi ke-1. Graha Ilmu. 2008.h.69-94.
13. Foong YK. Prevalensi komplikasi tuberkulosis paru pada pasien diabetes
mellitus di RSUP H Adam Malik Medan pada tahun 2009. Repository Universitas
Sumatera Utara. 2010.[5p.].
14. Harrison. Tuberkulosis Paru. Dalam: Asdie AH, editor. Prinsip-Prinsip Ilmu
Penyakit Dalam, Penyakit infeksi. Edisi ke-13. EGC.h.788-808.
15. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia;
2011.
16. Kee JL. Hemoglobin A1C. Dalam: Kapoh RP, editor. Pedoman Pemeriksaan
Laboratorium dan Diagnostik. Edisi ke-6. EGC.h.237.
40
17. Paputungan SR, Sanusi H. Peranan pemeriksaan hemoglobin A1C pada
pengelolaan diabetes mellitus. CDK-220. 2014;41(9):650-5.
18. Mi F, Tan S, Liang L, et al. Diabetes Mellitus and Tuberculosis: Pattern of
Tuberculosis, Two-Month Smear Conversion and Treatment Outcomes in
Guangzhou, China. Tropical Medicine and International Health.
2013:18(11):1381.
19. Viswanathan V, Kumpatla S, Aravindalochanan V, et al. Prevalence of Diabetes
and Pre-Diabetes and Associated Risk Factors among Tuberculosis Patients in
India. PLoS ONE. 2012:7:6.
20. Kumar NP, Sridhar R, Banurekha VV, et al. Type 2 Diabetes Mellitus Coincident
with Pulmonary Tuberculosis Is Associated with Heightened Systemic Type1,
Type 17, and Other Proinflammatory Cytokines. AnnalsATS. 2013:10(5):442.
21. Fauziah DF, Basyar M, Manaf A. Insidensi Tuberkulosis Paru pada Pasien
Diabetes Melitus Tipe 2 di Ruang Rawat Inap Penyakit Dalam RSUP Dr. M.
Djamil Padang. Jurnal Kesehatan Andalas. 2016:5(2):351-52.
22. Tamura M, Shirayama R, Kasahara R, et al. A Study on Relation Between Active
Pulmonary Tuberculosis and Underlying Diseases. PubMed. 2001:76(9):619-
624.
Lampiran 1
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Nama : Natasia Cindi Lestari
Tempat Tanggal Lahir : Pekanbaru, 23 Desember 1994
Agama : Kristen Protestan
Alamat : Jalan Jamin Ginting Gang Sarman Nomor 7,
Medan
Riwayat Pendidikan :
1. Taman Kanak-Kanak Avia, Pekanbaru (1999-2001)
2. Sekolah Dasar Santa Maria I, Pekanbaru (2001-2007)
3. Sekolah Menengah Pertama Negeri 4, Pekanbaru (2007-2010)
4. Sekolah Menengah Atas Negeri 8, Pekanbaru (2010-2013)
Riwayat Organisasi :
1. Anggota Departemen Pendidikan dan Penelitian PEMA FK USU
2014/2015
2. Anggota Seksi Dekorasi Perayaan Paskah FK USU 2014
3. Anggota Seksi Administrasi Kesekretariatan Panitia PEMA Medical
Olympiade 2014
4. Anggota Seksi Konsumsi Perayaan Natal FK USU 2014
5. Anggota Majelis Permusyawaratan Mahasiswa Fakultas Kedokteran USU
2015
6. Koordinator Seksi Doa Perayaan Paskah FK USU 2015
7. Anggota Seksi Acara dan Doa Pengabdian Masyarakat Mahasiswa Kristen
FK USU 2015
8. Anggota Seksi Peralatan dan Tempat Perayaan Natal FK USU 2015
9. Koordinator Seksi Acara dan Doa Pengabdian Masyarakat Mahasiswa
Kristen FK USU 2016
Lampiran 2
DATA INDUK PENELITIAN
NO. NOMOR
RK NAMA
JENIS
KELAMIN
KADAR
HbA1C
GAMBARAN BTA
SPUTUM
1 668618 DRM Laki-Laki 5,9 -
2 649471 SM Laki-Laki 8,1 +
3 661523 PY Perempuan 15,3 +
4 663726 DN Perempuan 12,6 -
5 653822 AMR Laki-Laki 10,7 +
6 626426 ED Laki-Laki 8,3 +
7 645017 RP Laki-Laki 6,6 -
8 677707 PMT Laki-Laki 8,9 +
9 674308 ML Laki-Laki 9,0 +
10 661078 MD Perempuan 9,3 +
11 648083 DT Laki-Laki 8,0 -
12 655895 SM Laki-Laki 8,5 +
13 655691 TP Laki-Laki 10,8 -
14 672384 RM Perempuan 8,7 +
15 670646 SS Laki-Laki 12,6 +
16 659343 CT Laki-Laki 9,4 -
17 666243 BS Laki-Laki 11,2 +
18 548641 SYZ Laki-Laki 8,2 +
19 649841 RS Perempuan 10,6 +
20 670401 RJ Laki-Laki 8,8 +
Lampiran 3
HASIL OUTPUT DATA PENELITIAN
Jenis Kelamin
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Laki-Laki 15 75.0 75.0 75.0
Perempuan 5 25.0 25.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
HbA1Cclass
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Baik 2 10.0 10.0 10.0
Buruk 18 90.0 90.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
Hasil BTA Sputum
Frequency Percent Valid Percent
Cumulative
Percent
Valid Negatif 6 30.0 30.0 30.0
Positif 14 70.0 70.0 100.0
Total 20 100.0 100.0
HbA1Cclass * Jenis Kelamin Crosstabulation
Jenis Kelamin
Total Laki-Laki Perempuan
HbA1Cclass Baik 2 0 2
Buruk 13 5 18
Total 15 5 20
Hasil BTA Sputum * Jenis Kelamin Crosstabulation
Jenis Kelamin
Total Laki-Laki Perempuan
Hasil BTA Sputum Negatif 5 1 6
Positif 10 4 14
Total 15 5 20
HbA1Cclass * Hasil BTA Sputum Crosstabulation
Hasil BTA Sputum
Total Negatif Positif
HbA1Cclass Baik 2 0 2
Buruk 4 14 18
Total 6 14 20
HbA1Cclass * Hasil BTA Sputum Crosstabulation
Hasil BTA Sputum
Total Negatif Positif
HbA1Cclass Baik 2 0 2
Buruk 4 14 18
Total 6 14 20
Chi-Square Tests
Value df
Asymptotic
Significance (2-
sided)
Exact Sig. (2-
sided)
Exact Sig. (1-
sided)
Pearson Chi-Square 5.185a 1 .023
Continuity Correctionb 2.143 1 .143
Likelihood Ratio 5.365 1 .021
Fisher's Exact Test .079 .079
N of Valid Cases 20
a. 2 cells (50.0%) have expected count less than 5. The minimum expected count is .60.
b. Computed only for a 2x2 table
Lampiran 4
Lampiran 5