tugas bm antibiotik
TRANSCRIPT
ABSTRAK
Penggunaan antibiotic yang rasional merupakan hal yang krusial dalam mengurangi
resistensi antibiotic, mengurangi infeksi yang disebabkab pelayanan kesehatan, dan mengurangi
biaya perawatan kesehatan.
Setelah infeksi terdiagnosis, terapi empiris (terapi yang dilakukan sebelum identifikasi
bakteri pathogen penyebab infeksi diketahui) adalah hal yang biasa dilakukan. Untuk membantu
pemilihan dari antibiotic yang efektif, beberapa pertimbangan harus diperhatikan seperti hasil uji
bakteri yang sebelumnya, penggunaan antibiotic sebelumnya, riwayat rawat jalan pasien, riwayat
allergi dan kesehatan oragan seperti hati dan ginjal.
Durasi kerja dari antibiotic sebaiknya sependek mungkin, dan penggunaan antibiotic
melalui intravena dapat diganti melalui pemberian oral setelah 48 jam. Adanya sumber infeksi
yang tidak terjangkau, benda asing, dan infeksi pada jalur intravena yang digunakan adalah hal
yang sering mempengaruhi kegagalan terapi antibiotik.
Sebagian besar rumahsakit telah memiliki kebijakan pemberian antibiotic untuk
membimbing dokter dalam pemilihan antibiotic yang rasional. Namun pada kasus infeksi yang
kompeks, pemilihan antibiotic sebaiknya didiskusikan terlebih dahulu dengan ahli microbiologi
terlebih dahulu. Penggunaan antibiotik yang tepat pada lingkungan klinik merupakan hal yang
vital. Terjadinya peningkatan resistensi bakteri disebabkan karena infeksi karena pelayanan
kesehatan (healthcare-associated infections) berhubungan dengan pemberian antibiotic yang
tidak rasional. Pendektan logis pada infeksi yang dialami pasien ( seperti penilihan antibiotic
yang tepat, dengan pemilihan sediyaan antibiotik yang tepat, dan durasi yang tepat) adalah yang
yang esensial.
RESISTENSI
Apa penyebab banyak terjadinya resistensi bakteri ?
Resistensi bakteri terhadap antibiotic bukan merupakan fenomena baru dalam dunia
kedokteran. Meluasnya penggunaan antibiotic telah menyebabkan terjadinya resistensi bakteri
mempunyai dua konsekuensi. Pertama, meluasnya penggunaan antibiotic memunculkan bakteri
yang resiten terhadap bahan antibiotic yang digunakan. Kedua, antibiotic dapat menekan flora
normal dan menyebabkan munculnya organism seperti Candida species, Stenotrophomonas,
maltophilia and Clostridium difficile(jenis bakteri yang sering menyababkan infeksi). Antibiotic
yang sering digunakan pada kasus pembedahan (amoxiclav, cephalosporins, quinolones) sering
dianggap sebagai penyebab terjadinya resistensi karena berspektrum luas dan mempunyai
aktivitas yang terbatas dalam melawan organism yang resisten.
Bertambahnya jumlah pasien yang rentan terhadap infeksi (seperti pasien berumutr tua,
immunocompromised), telah menyebabkan banyaknya dokter yang mengintervensi dan
menangani infeksi dengan sedini mungkin dengan antibiotic spectrum luas. Bertambahnya
kebutuhan akan tempat tidur di rumah sakit telah menyebabkan tendensi dokter untuk menangani
pasien berdasarkan asumsi tampa menunggu bukti labolatorium yang dibutuhkan untuk
menunjang diagnosis infeksi.
Pengelolaan yang tepat dalam penggunaan antibiotik adalah kunci dalam pengendalian
resistensi bakteri dan menjaga keefektifan antibiotic. Konsep dalam perawatan antibiotic
berdasarkan pada premise bahwa kita tidak memiliki sumber daya, tapi rawatlah pasien dengan
semestinya dan bertanggung jawab terhadap penerima perawatan antibiotic dimasa yang akan
datang dengan menjaga keefektifan dari antibiotic saat ini.
BAKTERI APA YANG SERING MENGALAMI RESISTENSI?
E. coli adalah bakteri gram negative yang sering dihubungkan sebagai penyebab infeksi
intraabdominal dan infeksi saluran urin. Diantara tahun 2000 sampai 2007, di inggris terjadi
peningkatan resistensi spectrum luas jenis b lactamase seperti cephalosporins, quinolones, dan
aminoglycoside. Pada isolasi terhadap bakteri gram negative seperti Citrobacter spp., Serratia
spp., Acinetobacter spp menunjukan juga terjadinya peningkatan resistensi terhadap antibiotic
yang biasa digunakan di dunia medis.
Methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) adalah bakteri yang mengalami
peningkatan angka resistensi. Resistensi ini dianggapa penting karena menyebabkan resistensi
terhadap jenis antibiotic flucloxacillin, dan beberapa zat lainya. 53 % dari infeksi pada lokasi
pembedahan post operatif (post-operative surgical-site infections /SSI) disebabkan oleh S.
aureus dan 64 % dari S. aureus telah termasuk dalam golongan MRSA. Identifikasi dan
penanganan yang tepat adalah hal penting karena infeksi pada lokasi pembedahan post operatif
yang disebabkan MRSA dapat menyebabkan kematian, meningkatanya lama perawatan pasien,
dan meningkatnya biaya perawatan.
Enterococus adalah organisme gram positif yang sering terlibat pada infeksi abdominal.
Kebanyakan dari bakteri enterococus telah resisten terhadap beberapa jenis antibiotik seperti
amoxicillin, cephalosporins, quinolones. Golongan Glycopeptides (seperti vancomycin) adalah
pilihan untuk pasien dengan resistensi amoxicillin atau pasien dengan allergi penicillin. Namun
10 % dari enterococus telah risisten juga terhadap golongan glycopeptidase dan sebagian besar
juga reisten dengan amoxicillin, kondisi ini merupakan tantangan yang dihadapi dokter masa
kini.
C. difficile dapat menyebabkan diare dan keparahan yang dapat menyebabkan perforasi
saluran cerna dan sepsis. Paparan antibiotic dapat merubah flora normal pada usus, sehingga
menyediakan lingkungan yang menungkinkan untuk berkembangnya C. difficile. Beberapa
antibiotic (cephalosporins, ciprofloxacin,Clindamycin) dianggap menyebabkan berkembanganya
penyakit diare ini, walaupun pada pemberian dosis tunggal. Infeksi dari C. difficile dapat
menyebabkan kematian, peningkatan lama perawatan. Meningkatnya prevalensi pada diare yang
disebabkan C. difficile menyebabkan adanya pengkajian terhadap kebijakan pemberian
antimikroba pada beberapa rumah sakit, dimana penggunaan antibiotic spectrum luas di kurangi
dan diganti dengan antibiotic spectrum sempit seperti gentamicin dan flucloxacillin untuk
mengurangi efek negative dari penggunaan antibiotic.
PEMILIHAN ANTIBIOTIC
Apakah pemilihan antibiotic yag tepat dapat meberikan perbedaan hasil perawatan?
Tertundanya pemberian antibiotic yang tepat dan sesuai dapat menyebabkan terjadinya
komplikasi, lamanya perawatan yang dijalani pasein, dan peningkatan angka kematian. Sebagai
contoh pada pasien dengan peritonitis dan resisten terhadap satu bakteri pathogen , 2-3 kali lebih
banyak mengalami oprasi ulang, terbentuknya abses dan infeksi lanjut dari pada pasien yang
mendapatkan terapi antibiotic yang tepat sesuai bakteri pathogen penyebab. Efek negative dari
pemberian antibiotic yang tidak tepat juga dapat menyebabkan kematian, 42 % dari kasus
kematian terjadi pada pasien yang tidak menerima antibiotic yang tepat dalam mengcover bakteri
penyebab infeksi, sedangkakan pada pasien yang menerima antibiotic yang tepat dalam
mengcover bakteri penyebab infeksi tingkat kematianya 17,7 %.
Bagaimana cara memilih antibiotic yang tepat ?
Adalah hal yang penting untuk memiliki pendekatan logis dalam peresepan antibiotic.
Antibiotic yang digunakan untuk profilaksis sebaiknya dibedakan dari terapi yang akan
diberikan. Penggunaan golongan antibiotic yang salah adalah penyebab utama dari penggunaan
antibiotic yang irasional.
Kebutuhan dari terapi sebaiknya dengan memperhatikan pertimbangan seperti gambaran
klinis, gambaran radiology yang relevan, dan penanda inflamasi (white cell count, CRP,
procalcitonin). Dengan tujuan untuk memberantas bakteri penyebab infeksi, pemberian antibiotic
yang tepat dengan jalur pemberian dan durasi kerja yang tepat harus dilakukan. Hal ini menjamin
paparan konsentrasi antibiotic pada area infeksi yang optimal dengan efek samping yang
minimal serta biaya perawatan yang minimal. Dengan memperhatikan penggunaan golongan
antibiotic yang tepat berdasar pada hasil uji sensitivitas bakteri in vitro, dapat lebih memudahkan
dalam memprediksi perkembangan klinis pasien. Beberapa infeksi dapat sembuh secara spontan ,
sedang beberapa yang lain dapat sembuh secara bertahap. Terapi antibiotic dengan target yang
tepat ( ketika bakteri pathogen penyebab telah diketahui melalui tessensitivitas) adalah cara yang
ideal dalam penentuan antibiotic yang rasional. Sampel mikrobiologis yang tepat seperti blood
cultures, sputum, urine, wound swab, stool, sebaiknya didapatkan sebelum pemberian antibiotik.
Hasil kultur bakteri dapat negative ketika diambil pada saat atau setelah pemberian antibiotic.
TERAPI EMPIRIS
Setelah teridenfitikasinya fokus infeksi (seperti infeksi pasca bedah dengan celulitis,
pneumonia pasca bedah) terapi empiris yang tepat didapat berdasar pada pengetahuan tentang
oraganisme penyebab infeksi dan pola kerentananya. Penentuan terapi empiris juga dibutuhkan
pada kondisi dimana telah dilakukan kultur bakteri namun hasil tes sensitifitasnya tertunda.
Beberapa faktor perlu di perhatikan dan dipertimbangkan ketika menentukan terapi empiris yang
akan diberikan seperti berikut :
1. Hasil tes mikrobiologis terbaru dan terrelevant
2. Ada tidaknya riwayat resistensi antibiotik (ex : MRSA)
3. Riwayat terapi antibiotik sebelumnya yang di terima pasien
4. Berasal dari mana pasien datang ( pasien rujukan dari rumah sakit atau balai perawatan
tertentu memiliki resiko resistensi yang lebih besar dari pasien yang berasal dari rumah)
5. Riwayat alergi terhadap suatu antibiotik
6. Kondisi fisik pasien seperti kondisi ginjal, liver serta kehamilan, apakah memungkinkan
untuk menerima terapi antibiotik?
Pada umumnya terapi empiris menggunakan antibiotik spectrum luas yang mengcover
bakteri gram positif, gram negative, dan bakteri anaerob. Pemberianya bisadilakukan dengan
pemberian 1 jenis antibiotik saja, ataupun dengan menggunakan kombinasi antibiotik spectrum
sempit. Pada umumnya antibiotik spectrum luas lebih bermasalah dibanding spectrum sempit
terutama efek resistensi yang ditimbulkan. Maka dari itu diperlukan strategi yang tepat untuk
menurunkan terapi empiris yang pada umumnya menggunakan antibiotik spectrum luas namun
dengan tetap mempertahankan efektifitas. Ketika hasil uji sensitifitas telah didapatkan,
penurunan golongan antibiotik yang telah diberikan sebelumnya pada terapi empiris dapat
dilakukan seperti penggantian cephalosporin menjadi flucloxacillin ketika hasil uji sensitifitas
menunjukan bakteri pathogen penyebab sensitive terhadap flucloxacillin.
TERAPI TERTARGET
Terapi tertarget mungkin untuk dilakukan apabila pemilihan antibiotik yang akan
diberikan berdasakan dari data mikrobiologi yang akurat. Hal ini akan berpengaruh pada durasi
perawatan. Sebaiknya dipilih antibiotik dengan spectrum sesempit mungkin.
CARA PEMBERIAN (route of administration)
Penggunaan antibiotik parenteral umum digunakan di inggris untuk menangani life-
threatening infections (infeksi yang mengamcam hidup pasien) karena jaminan tersebar sampai
ke jaringan. Apabila absorspsi tidak terjadi, pemberian secara oral dapat digunakan sebagai
alternative khususnya ketika pada kasus infeksi ringan. Quinolones, fusidic acid, linezolid,
clindamycin dan metronidazole adalah jenis antibiotik yang baik diberikan baik melalui jalur
oral. Pemberian secara oral dapat menghindari pemberian melalui intravena dan mengurangi
resiko infeksi nosokomial.
ALERGI PENISILIN
Alergi terhadap penicillin adalah hal yang paling sering dilaporkan. Sumber dari alergi
sebaiknya ditelusuri dan terdokumentasi di rekam medis. Beberapa alergi penisilin yang terjadi
seperti nausea, diare dapat di abaikan, reakri alergi yang sebenarnya adalah urticaria, laryngeal
oedema, bronchospasm, hypotension dan pembengkakan lokal pada 1-2 jam pasca pemberian.
Hanya sedikit dari pasien yang menganggap memiliki riwayat alergi penisilin yang benar-benar
mengalami alergi penisilin yang sebenarnya. Steven Johnson syndrome dan toxic epidermal
mecrolysis adalah beberapa reaksi yang berbahaya yang dapat terjadi pada alergi penisilin, pada
kasus ini pemberian penicillin harus dihindari.
APA LANGKAH SELANJUTNYA?
Setelah memutuskan jenis antibiotik dan jalur pemberiannya, respon klinis pasien dan penanda
inflamasi (inflammatory marker) sabiknya di monitor/diawasi dengan teliti selama terapi
diberikan.
DURASI
Menentukan durasi dari perawatan adalah hal penting yang bertujuan untuk menjaga
keseimbangan yang baik antara terapi yang adekuat dan meminimalkan perkembangan dari efek
samping antibiotik. Antibiotik sebaiknya diberikan dengan durasi sependek mungkin karena
beberapa infeksi dapat ditangani secara efektif dengan terapi berdurasi pendek (1 minggu atau
kurang) khususnya ketika focus infeksi telah ditemukan sehingga pemberian antibiotik akan
lebih efektif. Sebagai contoh pasien dengan komplikasi infeksi intra abdominal (peritonitis)
dapat ditangani dengan aman dan efektif dengan terapi selama 5-7 hari dengan antibiotik, dan
bahkan lebih cepat ketika infeksinya telah terlokalisasi. Terapi antibiotik selama 5 hari cukup
adequate untuk kasus infeksi dada pasca oprasi dan 3 hari terapi antibiotik efektif untuk kasus
infeksi saluran urin. Evaluasi penentuan keberlanjutan atau penghentian terapi antibiotik harus
dilakukan secara teratur setiap hari.
PENGGANTIAN DARI JALUR PEMBERIAN IV KE ORAL
Beberapa dokter rumah sakit di inggris telah menyepakati untuk mengganti pemberian
intravena ke oral sesuai dengan panduan peresepan nasional. Hal ini dapat menekan terapi
paraenteral yang dilakukan pada saat awal terapi, menjadi pemberian melalui jalur oral setelah
pasien telah membaik secara klinis.T erdapat beberapa keuntungan dalam penghentian terapi
lebih awal yaitu dapat mengurangi cannula-site infection dan mengurangi biaya perawatan. Hal-
hal yang harus dipertimbangkan ketika memutuskan untuk merubah dari IV ke pemberian secara
oral adalah :
Respon klinis pasien
Pemulihan yang dialami pasien
Perbaikan pada penanda inflamasi
Ada tidaknya kondisi immunosupresi
Ada tidaknya obat dengan pemberian oral yang mengcover bakteri pathogen yang
menyebabkan infeksi serta penetrasi pada area infeksi
Ada tidaknya masalah pada saluran pencernaan yang menyebabkan ganguan absopsi
Penggantian antibiotik ke jalur pemberian melalui oral sebaiknya dilakukan 48 jam
setelah pemberian secara intravena, namun hal ini tergantung pada kondisi individu dan
kebijakan lokal. Keberlanjutan monitoring/pengawasan terhadap respon klinis dan penanda
inflamasi setelah dilakukan penggantian jalur pemberian adalah hal yang penting dilakukan.
PENGUKURAN LAINYA
Penetrasi dari antibiotik ke area tertutup kurang baik dan bisa menyebabkan timbulnya
pus yang dapat membawa agent infeksi. Maka dari itu adalah hal penting untuk mengetahui
sumber terjadinya infeksi (focus infeksi). Pada pasien yang tidak merespon secara klinis setelah
dilakukan terapi antibiotik maka diperlukan gambaran klinis dan pemeriksaan penunjang untuk
mengetahui sumber infeksi. Benda asing juga dapat mengurangi efektifitas dari antibiotik dan
sebaiknya di hilangkan apabila memungkinkan, khususnya ketika respon klinis pasien tidak baik.
Hal ini juga berlaku pada peralatan intravaskuler, kultur darah dari tiap lumen di keteter panjang
sebaiknya diambil sebagai bagian dari investigasi dari demam yang dialami pasien pasca bedah.
Beberapa jalur infeksi pada keteter dapat dicegah dengan pemasangan keteter yang tidak sering
berpindah-pindah.
Beberapa rumah sakit di inggris memiliki kebijakan sendiri untuk penggunaan agent
antimikroba secara langsung, dengan tujuan untuk
Menyediakan pilihan terapi empiris yang tepat untuk infeksi luas
Mengurangi evolusi lebih lanjut dari resistensi bakteri
Mempertimbangkan factor epidemologi lokal dan pola resistensi
Mengontrol biaya perawatan
Mengurangi resiko infeksi yang disebabkan karena pelayanan kesehatan yang diterima
pasien (CDAD)
Petunjuk dalam peresepan antibiotik dapat di review secara teratur sehingga pola
resistensi terbaru dapat diketahui. Meningkatnya prevalensi CDAD yang terlihat dari banyaknya
laporan dan publikasi ilmiah telah mengakibatkan beberapa perubahan pada kebijakan pemberian
antibiotik. Cephalosporin yang sebelumnya sering digunakan telah ditinggalkan di beberapa
panduan bedah karena diketahui sering menjadi penyebab CDAD. Penggantian ini juga termasuk
pada co-amoxiclav, piperacilline, tazobactam and combinations amoxicillin/gentamicin.
Untuk lebih mensosialisasikan penggunaan antibiotik dengan hati-hati dan bijaksana, beberapa
rumah sakit telah memperkenalkan daftar dari beberapa agent antimicrobial yang dilarang untuk
dilakukan peresepan tampa diskusi terlebih dahulu dengan ahli mikrobiologi rumah sakit, dan
penggunaanya hanya diperbolehkan ketika tidak ada alternative lain. Antibiotik yang dilarang
adalah golongan spectrum luas seperti carbapenems, antibiotik mahal seperti linezoid dan
antibiotik penyebab CDAD seperti cephalosporin.Petunjuk tersebut tidak mengcover semua
kejadian yang mungkin dapat terjadi dan kasus sulit seperti pasien dengan riwayat kesehatan
yang kompleks, terapi antibiotik yang sebelumnya telah didapat, alergi multiple, komplikasi
infeksi yang tidak biasa.
AREA DOKTER SPESIALIS
Pada kasus pasien yang dirawat di ICU dan HDU, sering terlihat memiliki flora bakteri
yang unik dan biasanya bekteri yang resisten lebih banyak dari pada bagian lain di rumah sakit.
Hal ini terjadi karena biasanya pasien datang dengan riwayat antibiotik tertentu sepeti adanya
riwayat pemberian antibiotik spectrum luas pada saat menjalani terapi empiris sebelumnya.
Adanya bakteri pathogen yang tidak seperti biasanya dan meningkatnya resistensi mengharuskan
penggunaan dari agent antimicrobial dengan lebih hati-hati, Hal ini menyebabkan sulitnya
penentuan antibiotik yang tepat dan rasional untuk pasien yang bersangkutan. Masukan dari ahli
mikrobiologi rumah sakit menjadi hal yang wajib pada kasus ini. Ketika pasien telah kembali ke
parawatan normal, pasien masih memiliki resiko peningkatan dari resistensi maupun munculnya
bakteri pathogen yang tidak seperti biasanya sehingga pemmilihan antibiotik yang akan
diberikan pada pasien tetap harus hati-hati dan bijaksana.
KESIMPULAN
Penggunaan agen antimicroba yang rasional adalah krusial apabila diinginkan efektifitas
kerja dari antibiotik tetap terjaga. Gambar 1 menunjukan contoh dari alogaritma yang dapat
digunakan untuk membantu dalam penentuan terapi antibiotik.
REFERENCES
1 Dancer SJ. How antibiotics can make us sick: the less obvious adverse effects of antimicrobial
chemotherapy. Lancet Infect Dis
2004; 4: 611e19.
2 Antimicrobial resistance and prescribing in England, Wales and Northern Ireland. London,
UK: Centre for Infections Health Protection Agency. Also available at: http://www.hpa.org.uk/
web/HPAweb&HPAwebStandard/HPAweb_C/1216798080755;
2008.
3 Surveillance of surgical site infection in England. London, UK: Centre for Infections Health
Protection Agency. Also available at: http://www.
hpa.org.uk/webc/HPAwebFile/HPAweb_C/1194947340094; October 1997eSeptember 2005.
4 Engemann JJ, Carmeli Y, Cosgrove SE, et al. Adverse clinical and economical outcomes
attributable to methicillin resistance among patients with Staphylococcus aureus surgical site
infection. Clin Infect Dis 2003; 36: 592e8.
5 Barbut F, Petit JC. Epidemiology of Clostridium difficile-associated infections. Clin Microbiol
Infect 2001; 7: 405e10.
6 Goossens H, Ferech M, Stichele R, Elseviers M. Outpatient antibiotic use in Europe and
association with resistance: a cross-national database study. Lancet 2005; 365: 579e87.
7 Mosdell DM, Morris DM, Voltura A, et al. Antibiotic treatment for surgical peritonitis. Ann
Surg 1991; 214: 543e9. soft tissue infections and intra-abdominal infections e are they applicable
today? Clin Microbiol Infect 2008; 14: 9e18.
9 Sevinc¸ F, Prins JM, Koopmans RP, et al. Early switch from intravenous to oral antibiotics:
guidelines and implementation in a large teaching hospital. JAC 1999; 43: 601e6.
10 MacDougall C, Polk RE. Antimicrobial stewardship programs in health care systems. Clin
Microbiol Rev 2005; 18: 638e56.