tugas baca

25
TUGAS BACA “REFERAT” Disusun oleh: Rizki Wulandari NPM 10310350 KEPANITERAAN KLINIK SENIOR FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI BAGIAN ILMU KEDOKTERAN SMF ANAK RSUD TASIKMALAYA 2015

Upload: rizki-wulandari

Post on 08-Nov-2015

221 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

anak

TRANSCRIPT

TUGAS BACA REFERAT

Disusun oleh:Rizki WulandariNPM 10310350

KEPANITERAAN KLINIK SENIORFAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MALAHAYATI BAGIAN ILMU KEDOKTERAN SMF ANAK RSUD TASIKMALAYA2015

1. Skoring Nyeri Tekan Pada AnakSkala WBPS (Wong Baker facepain scale) merupakan skala nyeri dengan penilaian mimik wajah. Subyek melaporkan nyeri yang diterima dengan menunjuk gambar pada skala. Rentang skala 0-10.

Wajah 0Sangat senang karena dia tidak sakit sama sekali.Wajah 1Menyakitkan hanya sedikit.Wajah 2Sakit sedikit lebih.Wajah 3Sakit bahkan lebih.Wajah 4Menyakitkan banyak lagi.Wajah 5Sakit sebanyak yang Anda bisa bayangkan, meskipun anda tidak harus menangis merasa buruk ini.

2. Auskultasi Paru1. Untuk auskultasi digunakan stetoskop, sebaiknya yang dapat masuk antara 2 iga (dalam ruang antar iga). Urutan pemeriksaan seperti pada perkusi. Minimal harus didengar satu siklus pernapasan (inspirasiekspirasi). Bandingkan kiri-kanan pada tempat simetris. 2. Umumnya fase inspirasi lebih panjang dan lebih jelas dari ekspirasi. Penjelasan serta perpanjangan fase ekspirasi mempunyai arti penting. Kita mulai dengan melukiskan suara dasar dahulu kemudian melukiskan suara tambahannya. Kombinasi ini, bersama dengan palpasi dan perkusi memberikan diagnosis serta diferensial diagnosis penyakit paru. 3. Suara dasar : Vesikuler: Suara paru normal, inspirium > ekspirium serta lebih jelas Vesikuler melemah: Pada bronchostenose, emfisema paru, pneumothorak, eksudat, atelektase masif, infiltrat masif, tumor. Vesikuler mengeras: Terdengar lebih keras. Vesikuler mengeras dan memanjang: Pada radang Bronchial: Ekspirasi lebih jelas, seperti suara dekat trachea, dimana paru lebih padat tetapi bronchus masih terbuka (kompresi, radang) Amforik: Seperti bunyi yang ditimbulkan kalau kita meniup diatas mulut botol kososng sering pada caverne. Eksipirasi Jelas. 4. Suara tambahan : Ronchi kering (bronchitis geruis, sonorous, dry rales). Pada fase inspirasi maupun ekspirasi dapat nada tinggi (sibilant) dan nada rendah (sonorous) = rhonchi, rogchos berarti ngorok. Sebabnya ada getaran lendir oleh aliran udara. Dengan dibatukkan sering hilang atau berubah sifat. Rhonchi basah (moist rales). Timbul letupan gelembung dari aliran udara yang lewat cairan. Bunyi di fase inspirasi. a. ronkhi basah halus (suara timbul di bronchioli), b. ronkhi basah sedang (bronchus sedang), c. ronkhi basah kasar (suara berasal dari bronchus besar). d. ronkhi basah meletup. Sifatnya musikal, khas pada infiltrat, pneumonia, tuberculosis. e. Krepitasi. Suara halus timbul karena terbukanya alveolus secara mendadak, serentak terdengar di fase inspirasi. (contoh: atelectase tekanan) f. Suara gesekan (wrijfgeruisen, friction-rub). Ada gesekan pleura dan gesek perikardial sebabnya adalah gesekan dua permukaan yang kasar (mis: berfibrin) Ronkhi basah sering juga disebut sebagai crackles, rhonchi kering disebut sebagai wheezes dan gesek pleura atau gesek perikard sebagai pleural dan pericardial rubs.

3. Bunyi Jantung I dan II Timbul waktu penutupan katup Bunyi jantung 1: Katup AV (Atrioventrikular) dan bunyi jantung 2: Katup semilunar Karena vibrasi: -katup-darah akibat turbulensi -dinding jantung-pembuluh darah besarMacam Bunyi Jantung Bunyi Jantung 1:-Durasi: lebih panjang (0,14 detik)-Frekwensi lebih rendah Bunyi Jantung 2:-Durasi: lebih pendek (0,11 detik)-Frekwensi lebih tinggiDaerah Auskultasi Jantung

Suara dari semua katup dapat didengar dari semua area ini Namun suara dari katup tertentu akan terdengar relatif lebih jelas apabila didengarkan di area tempat proyeksi suara yang paling jelas di dinding dada Membedakan bunyi jantung dengan proses eliminasi Artinya, memindah-mindahkan stetoskop dari satu area ke area yang lain sambil memperhatikan kejelasan bunyi di berbagai area dan secara perlahan membedakan dengan teliti komponen setiap katup.

4. Panduan OAT Anak Prinsip pengobatan TB anak: OAT diberikan dalam bentuk kombinasi minimal 3 macam obat untuk mencegah terjadinya resistensi obat dan untuk membunuh kuman intraseluler dan ekstraseluler Waktu pengobatan TB pada anak 6-12 bulan. pemberian obat jangka panjang selain untuk membunuh kuman juga untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kekambuhan Pengobatan TB pada anak dibagi dalam 2 tahap: o Tahap intensif, selama 2 bulan pertama. Pada tahap intensif, diberikan minimal 3 macam obat, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. o Tahap Lanjutan, selama 4-10 bulan selanjutnya, tergantung hasil pemeriksaan bakteriologis dan berat ringannya penyakit. Selama tahap intensif dan lanjutan, OAT pada anak diberikan setiap hari untuk mengurangi ketidakteraturan minum obat yang lebih sering terjadi jika obat tidak diminum setiap hari. Pada TB anak dengan gejala klinis yang berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal seperti TB milier, meningitis TB, TB tulang, dan lainlain dirujuk ke fasilitas pelayanan kesehatan rujukan. Pada kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis TB, TB endobronkial, meningitis TB, dan peritonitis TB, diberikan kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1-2 mg/kg BB/hari, dibagi dalam 3 dosis. Dosis maksimal prednisone adalah 60mg/hari. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2-4 minggu dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu yang sama. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan. Paduan OAT untuk anak yang digunakan oleh Program Nasional Pengendalian Tuberkulosis di Indonesia adalah: o Kategori Anak dengan 3 macam obat: 2HRZ/4HR o Kategori Anak dengan 4 macam obat: 2HRZE(S)/4-10HR Paduan OAT Kategori Anak diberikan dalam bentuk paket berupa obat Kombinasi Dosis Tetap (OAT-KDT). Tablet OAT KDT ini terdiri dari kombinasi 2 atau 3 jenis obat dalam satu tablet. Dosisnya disesuaikan dengan berat badan pasien. Paduan ini dikemas dalam satu paket untuk satu pasien. OAT untuk anak juga harus disediakan dalam bentuk OAT kombipak untuk digunakan dalam pengobatan pasien yang mengalami efek samping OAT KDT.

5. Pemberian Streptomicin InjeksiStreptomisisn injeksi dikemas dalam dos berisi 50 vial @ 750 mg. Untuk penggunaan streptomisin injeksi diperlukan aquabidest dan disposable syringe 5 m l dan jarum steril. Aquabidest tersedia dalam kemasan vial @ 5 mldalam dos yang berisi 100 vial.

6. Pengobatan TB dewasa Kategori 1 : 2HRZE/4H3R3Selama 2 bulan minum obat INH, rifampisin, pirazinamid, dan etambutol setiap hari (tahap intensif), dan 4 bulan selanjutnya minum obat INH dan rifampisin tiga kali dalam seminggu (tahap lanjutan).Diberikan kepada: Penderita baru TBC paru BTA positif. Penderita TBC ekstra paru (TBC di luar paru-paru) berat. Kategori 2 : HRZE/5H3R3E3Diberikan kepada: Penderita kambuh. Penderita gagal terapi. Penderita dengan pengobatan setelah lalai minum obat. Kategori 3 : 2HRZ/4H3R3Diberikan kepada: Penderita BTA (+) dan rontgen paru mendukung aktif.

7. Diagnosis DHF ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosis menurut WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis dan laboratorium.

KRITERIA KLINISa.Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus-menerus selama 2-7 hari.b.Terdapat manifestasi perdarahan ditandai dengan: Uji torniquet positif Petekie, ekimosis, purpura. Perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi Hematemesis dan atau melenac.Pembesaran hatid.Syok, ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan pasien gelisah.

KRITERIA LABORATORISa.Trobositopenia (100.000/l atau kurang)b.Hemokonsentrasi (hematokrit > 20% dari normal)

DERAJAT PENYAKIT ( WHO , 1997)Derajat penyakit DHF diklasifikasikan dalam 4 derajat:Derajat I : demam disertai gejala tidak khas dan satu-satunya manifestasi perdarahan adalah uji torniquet positifDerajat II : seperti derajat I disertai perdarahan spontan di kulit dan atau perdarahan lain.Derajat III : didapatkan kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lemah, tekanan nadi menurun (20 mmHg atau kurang) atau hipotensi, sianosis sekitar mulut, kulit dingin dan atau lembab, pasien tampak gelisahDerajat IV : syok berat, nadi tidak teraba, tekanan darah tidak terukur.

8. TES WIDALDEFENISIWidal test merupakan suatu uji serum darah yang memakai prinsip reaksi agglutinasi untuk mendiagnosa demam typhoid. Dengan kata lain merupakan tes serologi yang digunakan untuk mendeteksi demam typhoid.PRINSIPPrinsip pemeriksaan adalah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum penderita dicampur dengan suspense antigen Salmonella typhosa. Pemeriksaan yang positif ialah bila terjadi reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (agglutinin). Antigen yang digunakan pada tes widal ini berasal dari suspense salmonella yang sudah dimatikan dan diolah dalam laboratorium. Dengan jalan mengencerkan serum, maka kadar anti dapat ditentukan. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan reaksi aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.Tekhnik pemeriksaan uji widal dapat dilakukan dengan dua metode yaitu uji hapusan/ peluncuran (slide test) dan uji tabung (tube test). Perbedaannya, uji tabung membutuhkan waktu inkubasi semalam karena membutuhkan teknik yang lebih rumit dan uji widal peluncuran hanya membutuhkan waktu inkubasi 1 menit saja yang biasanya digunakan dalam prosedur penapisan. Umumnya sekarang lebih banyak digunakan uji widal peluncuran. Sensitivitas dan spesifitas tes ini amat dipengaruhi oleh jenis antigen yang digunakan. Menurut beberapa peneliti uji widal yang menggunakan antigen yang dibuat dari jenis strain kuman asal daerah endemis (local) memberikan sensitivitas dan spesifitas yang lebih tinggi daripada bila dipakai antigen yang berasal dari strain kuman asal luar daerah enddemis (import). Walaupun begitu, menurut suatu penelitian yang mengukur kemampuan Uji Tabung Widal menggunakan antigen import dan antigen local, terdapat korelasi yang bermakna antara antigen local dengan antigen S.typhi O dan H import, sehingga bisa dipertimbangkan antigen import untuk dipakai di laboratorium yang tidak dapat memproduksi antigen sendiri untuk membantu menegakkan diagnosis demam typhoid.Pada pemeriksaan uji widal dikenal beberapa antigen yang dipakai sebagai parameter penilaian hasil uji Widal. Berikut ini penjelasan macam antigen tersebut : Antigen OAntigen O merupakan somatik yang terletak di lapisan luar tubuh kuman. Struktur kimianya terdiri dari lipopolisakarida. Antigen ini tahan terhadap pemanasan 100C selama 25 jam, alkohol dan asam yang encer. Antigen HAntigen H merupakan antigen yang terletak di flagela, fimbriae atau fili S. typhi dan berstruktur kimia protein. S. typhi mempunyai antigen H phase-1 tunggal yang juga dimiliki beberapa Salmonella lain. Antigen ini tidak aktif pada pemanasan di atas suhu 60C dan pada pemberian alkohol atau asam. Antigen ViAntigen Vi terletak di lapisan terluar S. typhi (kapsul) yang melindungi kuman dari fagositosis dengan struktur kimia glikolipid, akan rusak bila dipanaskan selama 1 jam pada suhu 60C, dengan pemberian asam dan fenol. Antigen ini digunakan untuk mengetahui adanya karier. Outer Membrane Protein (OMP)Antigen OMP S typhi merupakan bagian dinding sel yang terletak di luar membran sitoplasma dan lapisan peptidoglikan yang membatasi sel terhadap lingkungan sekitarnya. OMP ini terdiri dari 2 bagian yaitu protein porin dan protein nonporin. Porin merupakan komponen utama OMP, terdiri atas protein OMP C, OMP D, OMP F dan merupakan saluran hidrofilik yang berfungsi untuk difusi solut dengan BM < 6000. Sifatnya resisten terhadap proteolisis dan denaturasi pada suhu 85100C. Protein nonporin terdiri atas protein OMP A, protein a dan lipoprotein, bersifat sensitif terhadap protease, tetapi fungsinya masih belum diketahui dengan jelas. Beberapa peneliti menemukan antigen OMP S typhi yang sangat spesifik yaitu antigen protein 50 kDa/52 kDa.

INTERPRETASI HASILInterpretasi dari uji widal ini harus memperhatikan beberapa factor antara lain sensitivitas, spesifitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; saat pengambilan specimen; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.Beberapa faktor yang dapat mempengaruhi uji Widal dapat dijelaskan sebagai berikut, antara lain :1. Keadaan umum : gizi buruk dapat menghambat pembentukan antibodi.2. Saat pengambilan specimen : berdasarkan penelitian Senewiratne, dkk. kenaikan titer antibodi ke level diagnostic pada uji Widal umumnya paling baik pada minggu kedua atau ketiga, yaitu 95,7%, sedangkan kenaikan titer pada minggu pertama adalah hanya 85,7%.3. Pengobatan dini dengan antibiotika ; pemberian antibiotika sebelumnya dapat menghambat pembentukan antibodi.4. Vaksinasi terhadap salmonella bisa memberikan reaksi positif palsu. Hal ini dapat dijelaskan bahwa setelah divaksinasi titer agglutinin O dan H meningkat dan menetap selama beberapa waktu. Jalan keluarnya adalah dengan melakukan pemeriksaan ulang tes Widal seminggu kemudian. Infeksi akan menunjukkan peningkatan titer, sementara pasien yang divaksinasi tidak akan menunjukkan peningkatan titer.5. Obat-obatan immunosupresif dapat menghambat pembentukan antibodi.6. Reaksi anamnesa. Pada individu yang terkena infeksi typhoid di masa lalu, kadang-kadang terjadi peningkatan antibodi salmonella saat ia menderita infeksi yang bukan typhoid, sehingga diperlukan pemeriksaan Widal ulang seminggu kemudian.7. Reaksi silang ; Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A, B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif palsu (false positive). Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).8. Penyakit-penyakit tertentu seperti malaria, tetanus, sirosis dapat menyebabkan positif palsu.9. Konsentrasi suspense antigen dan strain salmonella yang digunakan akan mempengaruhi hasil uji widal.

PENILAIANKegunaan uji Widal untuk diagnosis demam typhoid masih kontroversial diantara para ahli. Namun hampir semua ahli sepakat bahwa kenaikan titer agglutinin lebih atau sama dengan 4 kali terutama agglutinin O atau agglutinin H bernilai diagnostic yang penting untuk demam typhoid. Kenaikan titer agglutinin yang tinggi pada specimen tunggal, tidak dapat membedakan apakah infeksi tersebut merupakan infeksi baru atau lama. Begitu juga kenaikan titer agglutinin terutama agglutinin H tidak mempunyai arti diagnostic yang penting untuk demam typhoid, namun masih dapat membantu dan menegakkan diagnosis tersangka demam typhoid pada penderita dewasa yang berasal dari daerah non endemic atau pada anak umur kurang dari 10 tahun di daerah endemic, sebab pada kelompok penderita ini kemungkinan mendapat kontak dengan S. typhi dalam dosis subinfeksi masih amat kecil. Pada orang dewasa atau anak di atas 10 tahun yang bertempat tinggal di daerah endemic, kemungkinan untuk menelan S.typhi dalam dosis subinfeksi masih lebih besar sehingga uji Widal dapat memberikan ambang atas titer rujukan yang berbeda-beda antar daerah endemic yang satu dengan yang lainnya, tergantung dari tingkat endemisitasnya dan berbeda pula antara anak di bawah umur 10 tahun dan orang dewasa. Dengan demikian, bila uji Widal masih diperlukan untuk menunjang diagnosis demam typhoid, maka ambang atas titer rujukan, baik pada anak dan dewasa perlu ditentukan.Salah satu kelemahan yang amat penting dari penggunaan uji widal sebagai sarana penunjang diagnosis demam typhpid yaitu spesifitas yang agak rendah dan kesukaran untuk menginterpretasikan hasil tersebut, sebab banyak factor yang mempengaruhi kenaikan titer. Selain itu antibodi terhadap antigen H bahkan mungkin dijumpai dengan titer yanglebih tinggi, yang disebabkan adanya reaktifitas silang yang luas sehingga sukar untuk diinterpretasikan. Dengan alas an ini maka pada daerah endemis tidak dianjurkan pemeriksaan antibodi H S.typhi, cukup pemeriksaan titer terhadap antibodi O S.typhi.Titer widal biasanya angka kelipatan : 1/32 , 1/64 , 1/160 , 1/320 , 1/640. Peningkatan titer uji Widal 4 x (selama 2-3 minggu) : dinyatakan (+). Titer 1/160 : masih dilihat dulu dalam 1 minggu kedepan, apakah ada kenaikan titer. Jika ada, maka dinyatakan (+). Jika 1 x pemeriksaan langsung 1/320 atau 1/640, langsung dinyatakan (+) pada pasien dengan gejala klinis khas.

9. Kultur Salmonella thypiPemeriksaan yang dapat dilakukan untuk diagnosis demam tifoid yaitu :a.Kultur1.Kultur Aspirasi Sumsum TulangKultur aspirasi sumsum tulang merupakangold standarduntuk diagnosis pasti demam tifoid. Kultur aspirasi sumsum tulang tepat untuk pasien yang sebelumnya telah diobati,long history of illnessdan hasil kultur darah negatif. Kultur sumsum tulang positif pada 80-95% pasien demam tifoid bahkan pada pasien-pasien yang telah menerima antibiotik selama beberapa hari.2.Kultur FesesKultur feses dapat dilakukan untuk isolasi Salmonella typhi dan khususnya bermanfaat untuk diagnosis carrier tifoid. Isolasi Salmonella typhi dari feses adalah sugestif demam tifoid.3.Kultur DarahKultur darah positif pada 60-80% pasien tifoid. Sensitivitas kultur darah lebih tinggi pada minggu pertama sakit dan sensitivitasnya meningkat sesuai dengan volume darah yang dikultur dan rasio darah terhadap broth. Sensitivitas kultur darah dapat menurun karena penggunaan antibiotik sebelum dilakukan isolasi, namun hal ini dapat diminimalisasi dengan menggunakan sistem kultur darah otomatis seperti BacT Alert, Bactec 9050 dengan menggunakan media kultur (botol kultur) yang dilengkapi dengan resin untuk mengikat antibiotik.

Beberapa penyebab kegagalan dalam mengisolasi kuman Salmonella typhi adalah :1)Keterbatasan media di laboratorium2)Konsumsi antibiotik3)Volume spesimen yang dikultur4)Waktu pengambilan sampel (positivitas tertinggi adalah demam 7-10 hari).

10. Kemungkinan berulangnya kejang demam Kejang demam akan berulang kembali pada sebagian kasus. Faktor risiko berulangnya kejang demam adalah : 1. Riwayat kejang demam dalam keluarga 2. Usia kurang dari 12 bulan 3. Temperatur yang rendah saat kejang 4. Cepatnya kejang setelah demam

Bila seluruh faktor di atas ada, kemungkinan berulangnya kejang demam adalah 80%, sedangkan bila tidak terdapat faktor tersebut kemungkinan berulangnya kejang demam hanya 10%-15%. Kemungkinan berulangnya kejang demam paling besar pada tahun pertama.

11. Pengobatan Profilaksis Terhadap Kejang Demam Berulang Pencegahan kejang demam berulang perlu dilakukan, karena menakutkan keluarga dan bila berlangsung terus dapat menyebabkan kerusakan otak yang menetap.2 Terdapat 2 cara profilaksis, yaitu,2,3,9 Profilaksis intermittent pada waktu demam Profilaksis terus menerus dengan antikonvulsan tiap hari.

Profilaksis Intermittent pada Waktu Demam Pengobatan profilaksis intermittent dengan anti konvulsan segera diberikan pada waktu pasien demam suhu rektal lebih dari 38C). Pilihan obat harus dapat cepat masuk dan bekerja ke otak.2,3 Antipiretik saja dan fenobarbital tidak mencegah timbulnya kejang berulang.2,10 Rosman dkk,20 meneliti bahwa diazepam oral efektif untuk mencegah kejang demam berulang dan bila diberikan intermittent hasilnya lebih baik karena penyerapannya lebih cepat.2,3 Diazepam diberikan melalui oral atau rektal.2,3,9 Dosis per rektal tiap 8 jam adalah 5 mg untuk pasien dengan berat badan kurang dari 10 kg dan 10 mg untuk pasien dengan berat badan lebih dari 10 kg. Dosis oral diberikan 0,5 mg/kg BB perhari dibagi dalam 3 dosis, diberikan bila pasien menunjukkan suhu 38,5o C atau lebih.2,3 Efek samping diazepam adalah ataksia, mengantuk dan hipotoni.3 Martinez dkk, dikutip dari Soetomenggolo dkk 3 menggunakan klonazepam sebagai obat anti konvulsan intermittent (0,03 mg/kg BB per dosis tiap 8 jam) selama suhu diatas 38o C dan dilanjutkan jika masih demam. Ternyata kejang demam berulang terjadi hanya pada 2,5% dari 100 anak yang diteliti. Efek samping klonazepam yaitu mengantuk, mudah tersinggung, gangguan tingkah laku, depresi, dan salivasi berlebihan.3 Tachibana dkk, dikutip dari Soetomenggolo dkk 3 meneliti khasiat kloralhidrat supositoria untuk mencegah kejang demam berulang. Dosis yang diberikan adalah 250 mg untuk berat badan kurang dari 15 kg, dan 500 mg untuk berat badan lebih dari 15 kg, diberikan bila suhu diatas 38o C. Hasil yang didapat adalah terjadinya kejang demam berulang pada 6,9% pasien yang menggunakan supositoria kloralhidrat dibanding dengan 32% pasien yang tidak menggunakannya. Kloralhidrat dikontraindikasikan pada pasien dengan kerusakan ginjal, hepar, penyakit jantung, dan gastritis.

12. Enzim G6PDG6PDadalah suatu enzim yang berperan dalam proses pembentukan dan perombakan sel darah merah dan pencegahan hemolisis pada eritrosit. Enzim ini berfungsi mereduksi nicotinamide adenine dinucleotide phosphate (NADP) menjadi NADPH. NADPH berfungsi melindungi sel dari kerusakan oksidatif akibat radikal bebas. Dalam keadaan normal, sel darah merah atau eritrosit tidak dapat menghasilkan NADPH sehingga sel ini lebih rentan terkena kerusakan oksidatif. Dengan demikian, ketidakmampuan tubuh menghasilkan enzim G6PD mengakibatkan sel lebih mudah rusak akibat radikal bebas; termasuk eritrosit yang lebih cepat mengalami penghancuran (hemolisis).

13. Ikterus FisiologisIkterus pada neonatus tidak selamanya patologis. Ikterus fisiologis adalah Ikterus yang memiliki karakteristik sebagai berikut (Hanifa, 1987):1.Timbul pada hari kedua-ketiga2.Kadar Biluirubin Indirek setelah 2 x 24 jam tidak melewati 15 mg% pada neonatus cukup bulan dan 10 mg % pada kurang bulan.3. Kecepatan peningkatan kadar Bilirubin tak melebihi 5 mg % per hari4.Kadar Bilirubin direk kurang dari 1 mg %5.Ikterus hilang pada 10 hari pertama6.Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadan patologis tertentuIkterus Patologis / HiperbilirubinemiIkterus patologis adalah ikterus yang mempunyai dasar patologis atau kadar bilirubin mencapai suatu nilai yang disebut hiperbilirubinemia. Adapun tanda-tandanya sebagai berikut: 1. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.2. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5% pada neonatus kurang bulan. 3. Pengangkatan bilirubin lebih dari 5 mg% per hari. 4. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama. 5. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%. 6. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik14. Cara Kerja Fototerapi1. Cara kerja terapi sinar adalah dengan mengubah bilirubin menjadi bentuk yang larut dalam air untuk dieksresikan melalui empedu atau urin.2. Ketika bilirubin mengabsorbsi cahaya, terjadi reaksi fotokimia yaitu isomerisasi.3. Terdapat konversi ireversibel menjadi isomer kimia lainnya bernama lumirubin yang dengan cepat dibersihkan dari plasma melalui empedu.4. Lumirubin adalah produk terbanyak degradasi bilirubin akibat terapi sinar pada manusia.5. Sejumlah kecil bilirubin plasma tak terkonyugasi diubah oleh cahaya menjadi dipyrole yang diekskresikan lewat urin. Foto isomer bilirubin lebih polar dibandingkan bentuk asalnya dan secara langsung bisa dieksreksikan melalui empedu6. Dari empedu kemudian diekskresi ke dalam Deodenum untuk dibuang bersama feses tanpa proses konjugasi oleh Hati (Avery dan Taeusch, 1984).7. Hanya produk foto oksidan saja yang bisa diekskresikan lewat urin.8. Fototherapi mempunyai peranan dalam pencegahan peningkatan kadar Bilirubin, tetapi tidak dapat mengubah penyebab Kekuningan dan Hemolisis dapat menyebabkan Anemia.KRITERIA ALATan panjang gelombang 425-475 nm.2. Intensitas cahaya yang biasa digunakan adalah 6-12 mwatt/cm2 per nm.3. Cahaya diberikan pada jarak 35-50 cm di atas bayi.4. Jumlah bola lampu yang digunakan berkisar antara 6-8 buah, terdiri dari biru (F20T12), cahaya biru khusus (F20T12/BB) atau daylight fluorescent tubes .Prosedur Pemberian FototerapiPersiapan Unit Terapi sinar1. Hangatkan ruangan tempat unit terapi sinar ditempatkan, bila perlu, sehingga suhu di bawah lampu antara 38 0C sampai 30 0C.2. Nyalakan mesin dan pastikan semua tabung fluoresens berfungsi dengan baik.3. Ganti tabung/lampu fluoresens yang telah rusak atau berkelip-kelip (flickering):a. Catat tanggal penggantian tabung dan lama penggunaan tabung tersebut.b. Ganti tabung setelah 2000 jam penggunaan atau setelah 3 bulan, walaupun tabung masih bisa berfungsi.4. Gunakan linen putih pada basinet atau inkubator, dan tempatkan tirai putih di sekitar daerah unit terapi sinar ditempatkan untuk memantulkan cahaya sebanyak mungkin kepada bayiPemberian Terapi sinar1. Tempatkan bayi di bawah sinar terapi sinar.a. Bila berat bayi 2 kg atau lebih, tempatkan bayi dalam keadaan telanjang pada basinet. Tempatkan bayi yang lebih kecil dalam inkubator.b. Letakkan bayi sesuai petunjuk pemakaian alat dari pabrik.2. Tutupi mata bayi dengan penutup mata, pastikan lubang hidung bayi tidak ikut tertutup. Jangan tempelkan penutup mata dengan menggunakan selotip.3. Balikkan bayi setiap 3 jam4. Pastikan bayi diberi makan:5. Motivasi ibu untuk menyusui bayinya dengan ASI ad libitum, paling kurang setiap 3 jam:6. Selama menyusui, pindahkan bayi dari unit terapi sinar dan lepaskan penutup mata7. Pemberian suplemen atau mengganti ASI dengan makanan atau cairan lain (contoh: pengganti ASI, air, air gula, dll) tidak ada gunanya.8. Bila bayi menerima cairan per IV atau ASI yang telah dipompa (ASI perah), tingkatkan volume cairan atau ASI sebanyak 10% volume total per hari selama bayi masih diterapi sinar.9. Bila bayi menerima cairan per IV atau makanan melalui NGT, jangan pindahkan bayi dari sinar terapi sinar .10. Perhatikan: selama menjalani terapi sinar, konsistensi tinja bayi bisa menjadi lebih lembek dan berwarna kuning. Keadaan ini tidak membutuhkan terapi khusus.11. Teruskan terapi dan tes lain yang telah ditetapkan:12. Pindahkan bayi dari unit terapi sinar hanya untuk melakukan prosedur yang tidak bisa dilakukan di dalam unit terapi sinar .13. Bila bayi sedang menerima oksigen, matikan sinar terapi sinar sebentar untuk mengetahui apakah bayi mengalami sianosis sentral (lidah dan bibir biru)14. Ukur suhu bayi dan suhu udara di bawah sinar terapi sinar setiap 3 jam. Bila suhu bayi lebih dari 37,5 0C, sesuaikan suhu ruangan atau untuk sementara pindahkan bayi dari unit terapi sinar sampai suhu bayi antara 36,5 0C 37,5 0C.15. Ukur kadar bilirubin serum setiap 24 jam, kecuali kasus-kasus khusus:16. Hentikan terapi sinar bila kadar serum bilirubin < 13mg/dL17. Bila kadar bilirubin serum mendekati jumlah indikasi transfusi tukar, persiapkan kepindahan bayi dan secepat mungkin kirim bayi ke rumah sakit tersier atau senter untuk transfusi tukar. Sertakan contoh darah ibu dan bayi.18. Bila bilirubin serum tidak bisa diperiksa, hentikan terapi sinar setelah 3 hari.19. Setelah terapi sinar dihentikan:20. Observasi bayi selama 24 jam dan ulangi pemeriksaan bilirubin serum bila memungkinkan, atau perkirakan keparahan ikterus menggunakan metode klinis.21. Bila ikterus kembali ditemukan atau bilirubin serum berada di atas nilai untuk memulai terapi sinar , ulangi terapi sinar seperti yang telah dilakukan. Ulangi langkah ini pada setiap penghentian terapi sinar sampai bilirubin serum dari hasil pemeriksaan atau perkiraan melalui metode klinis berada di bawah nilai untuk memulai terapi sinar.22. Bila terapi sinar sudah tidak diperlukan lagi, bayi bisa makan dengan baik dan tidak ada masalah lain selama perawatan, pulangkan bayi.23. Ajarkan ibu untuk menilai ikterus dan beri nasihat untuk membawa kembali bayi bila bayi bertambah kuning

15. Ensefalitis Herpes SimpleksEnsefalitis herpes simplex dapat bermanifestasi akut atau subakut. Pada fase prodromal, pasien mengalami malaise dan demam yang berlangsung 1-7 hari. Manifestasi ensefalitis dimulai dengan sakit kepala, muntah, perubahan personalitas dan gangguan daya ingat yang sangat sulit dideteksi terutama pada anak kecil. Kemudian pasien dapat mengalami kejang dan penurunan kesadaran. Kejang dapat berupa kejang fokal atau umum. Perlu diingat bahwa kejang umum pada EHS dapat diawali oleh kejang fokal yang berkembang menjadi kejang umum. Bila kejang fokal sangat singkat, orangtua seringkali tidak mengetahui. Empat puluh persen pasien datang di rumah sakit dalam keadaan koma sedangkan sisanya dalam keadaan letargi. Koma adalah faktor prognosis yang sangat buruk, pasien yang mengalami koma seringkali meninggal atau sembuh dengan gejala sisa yang berat. Kematian biasanya terjadi dalam 2 minggu pertama. Pemeriksaan neurologis seringkali menunjukkan adanya hemiparesis. Menurut pengalaman penulis, hemiparesis adalah manifestasi fokal terpenting. Beberapa kasus dapat menunjukkan disfasia, ataksia, gangguan sistem otonom, paresis saraf kranialis, dan edema papil N II. Kadang-kadang manifestasi klinis menyerupai meningitis aseptik tanpa manifestasi ensefalitis yang jelas. Jelaslah bahwa manifestasi klinis sangat tidak spesifik terutama pada anak dan diagnosis EHS sangat memerlukan kecurigaan klinis yang kuat. Secara praktis, kita harus selalu memikirkan kemungkinan EHS bila menjumpai seorang anak dengan demam, kejang terutama kejang fokal dan gejala neurologis fokal lain seperti hemiparesis atau disfasia dengan penurunan kesadaran yang progresif.Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan darah tepi rutin pada EHS tidak spesifik Jumlah leukosit darah tepi dapat normal atau sedikit meningkat, kadang-kadang dengan pergeseran ke kiri. Sembilan puluh persen pasien memperlihatkan cairan serebrospinalis abnormal. Pada fase awal, leukosit polimorfonuklear predominan, kemudian berubah menjadi limfositosis. Jumlah sel bervariasi antara 10 sampai 1000 sel per mm3. Kadang-kadang ditemukan sel darah merah dengan cairan likuor serebrospinalis yang santokrom. Kadar protein cairan serebrospinalis dapat meningkat sampai 50-200mg/dl sedangkan kadar glukosa dapat menurun.Elektroensefalografi Electroencephalography sangat membantu diagnosis bila ditemukan gambaran periodic lateralising epileptiform discharge atau perlambatan fokal di daerah temporal atau frontotemporal.10 Lebih sering EEG hanya memperlihatkan perlambatan umum yang tidak spesifik dan menunjukkan disfungsi otak menyeluruh.

Pemeriksaan Serologis Isolasi virus tidak dilakukan secara rutin karena sangat jarang menunjukkan hasil yang positif.7 Titer antibodi terhadap VHS dapat diperiksa dalam serum dan cairan serebrospinalis. Titer antibodi dalam serum tergantung apakah infeksi merupakan infeksi baru atau infeksi rekurens. Pada infeksi baru, antibodi dalam serum menjadi positif setelah 1 sampai beberapa minggu, sedangkan pada infeksi rekurens kita dapat menemukan peninggian titer antibodi dalam 2 pemeriksaan, fase akut dan rekonvalesen.7 Kenaikan titer 4 kali lipat pada fase rekonvalesen merupakan tanda bahwa infeksi VHS sedang aktif.1,15 Perlu diingat bahwa peningkatan kadar antibodi serum belum membuktikan bahwa ensefalitis disebabkan VHS. Titer antibodi dalam cairan serebrospinalis merupakan indikator yang lebih baik, karena hanya diproduksi bila terjadi kerusakan sawar darah-otak. Sayang sekali kemunculan antibodi dalam cairan serebrospinalis sering terlambat dan seringkali baru dapat dideteksi 12 hari setelah awitan.1 Hal ini merupakan kendala terbesar dalam menegakkan diagnosis EHS, dan hanya berguna sebagai diagnosis retrospektif. Penelitian mengenai cara diagnosis yang lebih baik telah dilakukan, terutama dengan menggunakan polymerase chain reaction (PCR), yang biasanya positif lebih awal dibandingkan titer antibodi.