tugas akhir dibuat oleh: dania natalia kamuntuan 712014077 · 2020. 12. 3. · 2 stefan leks,...

38
Memanusiakan Manusia yang Tidak Dimanusiakan: Studi Hermeneutik menurut Teori Humanisme Mangunwijaya terhadap Lukas 10:25-37 TUGAS AKHIR DIBUAT OLEH: Dania Natalia Kamuntuan 712014077 Fakultas Teologi Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga 2019

Upload: others

Post on 21-Mar-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • Memanusiakan Manusia yang Tidak Dimanusiakan:

    Studi Hermeneutik menurut Teori Humanisme Mangunwijaya

    terhadap Lukas 10:25-37

    TUGAS AKHIR

    DIBUAT OLEH:

    Dania Natalia Kamuntuan

    712014077

    Fakultas Teologi

    Universitas Kristen Satya Wacana

    Salatiga

    2019

  • ii

  • iii

  • iv

    ,

  • v

  • vi

    UCAPAN TERIMAKASIH

    Puji dan syukur bagi Allah yang selalu hadir sebagai manusia Ilahi yang oleh

    karena rahmat-Nya telah membawa dan menuntun penulis untuk menyelesaikan tugas

    akhir ini, sehingga dapat terselesaikan dengan segala baik. Proses penulisan tugas

    akhirnya ini telah menjadi perjalanan iman dari penulis yang oleh kasih-Nya telah

    menghadirkan lingkungan dan orang-orang yang senantiasa mendukung serta turut hadir

    dalam proses penyelesaian tugas akhir ini, untuk itu izinkan penulis untuk berterima

    kasih kepada:

    1. Mama, papa dan kak Stefan Kamuntuan yang selalu memberikan motivasi dan

    semangat serta selalu mendoakan penulis.

    2. Ray Kamuntuan, Ane Mokodongan, Asti Pomo, ade Yegha dan ade Queen yang

    turut memberikan dukungan untuk penulis.

    3. Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga yang telah menerima dan

    mengijinkan penulis untuk dapat berproses dalam kampus Indonesia mini ini.

    4. Fakultas Teologi yang di dalamnya para pimpinan, dosen, staf, serta petugas

    kebersihan yang telah memberikan banyak ilmu dan pengalaman serta

    menciptakan lingkungan yang mendukung bagi penulis selama proses

    perkuliahan.

    5. Pdt. Yusak B. Setyawan, MATS., Ph.D., sebagai Pembimbing I, dan Pdt. Agus

    Supratikno, M.Th sebagai Pembimbing II yang setia memberikan waktunya untuk

    selalu mengarahkan dan membimbing penulis serta memperlengkapi penulis

    dengan berbagai ilmu demi rampungnya tugas akhir ini.

    6. Para petugas perpustakaan Kolsani Yogyakarta yang menuntun penulis untuk

    mengenal karya-karya dari Mangunwijaya dengan berbagai ilmu dan buku-buku

    yang dipinjamkan.

    7. Wali Studi Dr. David Samiyono MTS, MSLS bersama rekan-rekan perwalian

    yang menjadi keluarga penulis selama berkuliah di UKSW.

    8. Rekan-rekan Teologi angkatan 2014 Bisa, Maju, Berprestasi!, sebagai teman,

    saudara seperjuangan dan sepelayanan.

  • vii

    9. Keluarga Indonesia Internasional Culture Festival (IICF) yang telah bersedia

    mendukung, memberikan motivasi, penghiburan dan semangat untuk penulis

    sebagai saudara dalam indahnya perbedaan.

    10. Rekan-rekan PPL 1-5 dan Panti Asuhan Sumber Kasih yang telah menjadi rekan

    dalam sepelayanan selama PPL.

    11. Sahabar-sahabat penulis yang tergabung dalam grup “kece”: Mega Pantow,

    Jessica Londa, Julinda Baris, Vella Simbadju, Isabella Mokoagow, Tifany

    Watuliu, Olif Watuliu, Christin Manosoh, Della Parigi dan Putri Kapoh.

    12. Saudara-saudariku dalam persatuan kost kartini satu: Justitia, Vero, Tere, Rachel

    Evalina dan Rachel Guluda yang telah mendukung dan memberikan kasih

    sayangnya kepada penulis.

    13. Kelompok diskusi Bonafide Alti Howan, Nataniel Blegur, AJPM, Eman Manoe

    dll yang telah membantu penulis dalam menambah ilmu selama proses penulisan

    tugas akhir ini.

    14. Sahabat-sahabat terkasih yang telah menjadi saudara seperjuangan dalam satu

    bimbingan Vina Prisilia Inik, Evi Livenia Porayouw dan Joshua Hendrikson

    Siregar.

    15. Gloria Saraun dan Claudia Losu sebagai teman, sahabat dan saudara dalam

    perantauan.

    16. Andre Sarese dan Jovial Lalenoh sebagai teman-teman yang telah membantu

    penulis dalam proses penulisan (pengetahuan dalam mengatur kalimat dan

    meminjamkan buku-buku)

    17. Bagi seluruh kelompok marginal baik yang miskin, terpinggirkan dll yang

    seharusnya dimanusiakan oleh sesama manusia.

    Salatiga, 09 September 2019

    Dania Natalia Kamuntuan

  • viii

    Daftar Isi

    Lembaran Pengesahan ........................................................................................................ ii

    Pernyataan Tidak Plagiat ................................................................................................... iii

    Pernyataan Persetujuan Akses …….……………………………………………………. iv

    Pernyataan Persetujuan Publikasi.……………………………………………………….. v

    Ucapan Terimakasih .......................................................................................................... vi

    Daftar Isi ………………………………………………………………………………………………………………………………… viii

    Abstrak ................................................................................................................................ x

    1. Pendahuluan ................................................................................................................. 1

    1.1 Latar Belakang ...................................................................................................... 1

    1.2 Rumusan Masalah ................................................................................................. 4

    1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan ............................................................................. 4

    1.4 Metode dan Teknik Penelitian............................................................................... 4

    1.5 Sistematika Penulisan ............................................................................................ 4

    2. Hermeneutik dengan Perspektif Humanisme Menurut Mangunwijaya ....................... 5

    2.1 Pengertian Hermeneutik ....................................................................................... 5

    2.2 Latar Belakang Mangunwijaya ............................................................................. 6

    2.3 Humanisme menurut Mangunwijaya .................................................................... 7

    2.3.1 Memanusiakan Manusia yang Tidak Dimanusiakan ..................................... 8

    2.3.2 Memanusiakan Manusia melalui Pendidikan ................................................ 9

    2.3.3 Keadilan dan Keberadaban Manusia ........................................................... 10

    2.3.4 Dimensi Transendental menjadi Dasar dalam Memanusiakan

    Manusia……………………………………………….………….………..11

    2.4 Kesimpulan dan Penggunaan Teori Humanisme menurut Mangunwijaya untuk

    Studi Hermeneutik terhadap teks Lukas 10:25-37 .............................................. 13

    3. Konteks Sosial Budaya dari Penulisan teks Lukas .................................................... 13

    3.1 Latar belakang Teks Lukas ................................................................................ 13

    3.1.1 Penulis Teks Lukas ...................................................................................... 13

    3.1.2 Tempat dan Waktu Penulisan ...................................................................... 14

    3.1.3 Konteks Sosial Budaya dalam Lukas .......................................................... 15

  • ix

    3.1.4 Situasi dan Keberadaan Komunitas Lukas .................................................. 16

    3.2 Pandangan manusia menurut Lukas ................................................................... 16

    3.3 Kesimpulan ......................................................................................................... 18

    4. Studi Hermeneutik dengan Perspektif Humanisme Mangunwijaya terhadap Lukas

    10:25-37 ..................................................................................................................... 18

    4.1 Studi Hermeneutis dalam Menafsirkan Lukas 10:25-37 .................................... 18

    4.2 Upaya Menafsirkan teks Lukas 10:25-37 dengan Perspektif Humanisme

    Mangunwijaya .................................................................................................... 19

    4.2.1 Pembebasan bagi orang-orang Marginal ..................................................... 19

    4.2.2 Perumpamaan sebagai Pedagogis ................................................................ 20

    4.2.3 Keadilan dan Kesetaraan Manusia .............................................................. 21

    4.2.4 Hidup Kekal sebagai Dimensi Transendental ............................................. 23

    4.3 Kesimpulan ......................................................................................................... 24

    5. Penutup ...................................................................................................................... 24

    5.1 Kesimpulan ......................................................................................................... 24

    5.2 Saran ................................................................................................................... 25

    Daftar Pustaka ................................................................................................................... 27

  • x

    Abstrak

    Dalam studi hermeneutik terdapat banyak ahli yang telah menafsirkan teks Lukas

    10:25-37 dengan berbagai pendekatan dan pandangan menurut para penafsir. Berbagai

    kesimpulan dari tafsiran tersebut menegaskan tentang kasih universal. Penulis mendekati

    teks dengan menggunakan perspektif humanisme Mangunwijaya. Tujuannya untuk

    menjelaskan pandangan humanisme Mangunwijaya dalam Lukas 10:25-37. Melalui studi

    hermeneutik, penulis menemukan bukan hanya sekedar kasih universal tetapi

    menemukan keberpihakan kepada orang marginal, perumpamaan sebagai pedagogis,

    keadilan dan kesetaraan serta aspek dari dimensi transendental. Penemuan ini

    berimplikasi kepada persoalan masa kini perihal memperlakukan sesama manusia.

    Kata kunci : Humanisme Mangunwijaya, Studi Hermeneutik, Orang Marginal.

  • 1

    1. Pendahuluan

    1.1 Latar Belakang

    Perumpamaan tentang orang Samaria dalam Lukas 10:25-37 merupakan

    perumpamaan yang terkenal dan penting oleh gereja Kristen.1 Perumpamaan tersebut

    mengangkat tentang relasi orang Samaria dan orang Yahudi. Hubungan antara orang

    Samaria dan orang Yahudi ini menjadi menarik karena mewujudkan sikap mengasihi

    kepada sesama mausia, meskipun dalam hubungan tersebut terdapat sikap eksklusivitas

    dari orang Yahudi terhadap orang Samaria.

    Narasi tentang orang Samaria dibahas oleh para penafsir Perjanjian Baru

    menggunakan berbagai pendekatan. Namun dalam membicarakan narasi ini terdapat latar

    belakang yang mempengaruhi cara berpikir dari seorang penafsir. Para penafsir

    Perjanjian Baru tersebut antara lain yaitu Stefan Leks dan B.J Boland & Naipospos.

    Penafsir pertama yaitu Stefan Leks, ia merupakan seorang pengajar di salah satu

    sekolah Katolik.2 Penafsir ini cenderung menggunakan pendekatan literal dalam

    perumpaan orang Samaria.3 Meskipun penafsiran Leks ini dipengaruhi oleh teori sumber

    Q, sehingga terdapat diskusi antara teks Lukas dengan teks Injil lainnya terkhususnya

    Injil Markus.4 Hal ini dibuktikan dari pernyataan tentang tindakan kasih yang dikaitkan

    dengan Markus 12:28. Dalam ayat tersebut,ahli Taurat telah bersikap baik dan tidak ingin

    mencobai Yesus melainkan hanya mengujinya.5 Selain itu, dalam perumpamaan ini

    digambarkan bahwa penulisan Lukas tidak tertarik dengan perdebatan teoritis tentang

    hukum yang berlaku sehingga kata ini muncul dalam teks sebanyak tiga kali dalam ayat

    25, 28 dan 37.6

    1 B.J. Boland dan P.S. Naispospos, Injil Lukas, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015), 268.

    2 Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 5.

    2 Stefan Leks, Tafsir Injil Lukas, (Yogyakarta: Kanisius, 2003), 5.

    3 Pendekatan literal adalah persesuaian antara teks dengan kebenaran dasariah dogmatik. Lih. Aris

    Margianto, Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama dan Pembacaan Kitab Ayub Bersama dengan Orang-

    orang yang hidup dengan HIV/AIDS, Indonesian Journal of Theology, (Desember 2017), 236. 4 Hal yang sama dengan Boland dan Naipospos yang dipengaruhi oleh sumber Q dimana Injil Markus

    sebagai acuan dalam penulisan teks Lukas. Lih Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 267. 5 Leks, Tafsir Injil Lukas, 296.

    6 Leks, Tafsir Injil Lukas, 296.

  • 2

    Selanjutnya penafsiran Leks bahwa teks Lukas dipengaruhi oleh teks-teks dalam

    Perjanjian Lama.7 Hal ini dibuktikan dengan penekanan “perintah utama” tentang

    mengasihi Allah dilakukan oleh orang Yahudi setiap hari melalui pengakuan iman dari

    orang Yahudi.8 Berdasarkan hal tersebut, Yesus digambarkan oleh Lukas yang bertujuan

    untuk menggambarkan caramengasihi “sesama” secara universal. Sebab melihat

    pemahaman orang Yahudi berkaitan dengan kata “sesama” sebagai sebangsa, dan orang

    asing dianggap sebagai seorang kafir, ini berpengaruh terhadap perwujudan kasih yang

    hanya berlaku pada golongan Yahudi saja.9 Dalam penafsiran Leks, mengasihi diri

    sendiri tidak dapat dilakukan karena menganggap pribadi sebagai yang berharga sehingga

    kasih yang menyenangkan adalah kasih yang memanfaatkan. Dengan demikian menurut

    Leks, mengasihi Allah, diri sendiri dan sesama harus dilakukan secara penuh dalam

    tindakan dan bukan teoritis.

    Penafsir kedua adalah B.J Boland dan P.S. Naipospos. Penafsir ini cenderung

    menggunakan pendekatan sosio-historis terhadap perumpamaan orang Samaria. Hal ini

    terlihat dari penjelasan tentang perjalanan yang berkaitan dengan ahli Taurat dan konteks

    perjalanan dari Yerusalem ke Yerikho.10

    Serupa dengan Leks, dijelaskan oleh Boland dan

    Naipospos berkaitan dengan arti sesama bagi ahli Taurat. Pendekatan sosio-historis

    diungkapkan melalui perumpamaan yang mengisahkan tentang perjalanan Yerusalem ke

    Yerikho dengan situasi jalan yang dilalui menunjukkan penganiayaan dilakukan oleh

    penyamun.11

    Narasi ini menggambarkan ketidakpedulian dari Imam dan orang Lewi

    terhadap korban dari samun tersebut. Berdasarkan hal itu, mengasihi sesama seharusnya

    dilakukan tanpa melihat latar belakang identitas, golongan dan agama.

    Mengasihi menurut Boland dan Naipospos haruslah dikaitkan dengan hati, jiwa dan

    akal budi sebagai satu kesatuan, sehingga hal ini dapat juga mengasihi Allah secara

    7 Hal yang sama dilakukan oleh Boland dan Naipospos yang menggunakan kitab Ulangan dan Imamat (lih

    Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 296), sedangkan Leks menggunakan kitab Daniel lih. Leks, Tafsir Injil

    Lukas, 296. 8 Leks, Tafsir Injil Lukas, 297.

    9 Leks, Tafsir Injil Lukas, 298.

    10 Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 271-272.

    11 Dalam KBBI penyamun adalah orang yang merampas, perampok. Lih. Boland dan Naipospos, Injil

    Lukas, 271-272.

  • 3

    total.12

    Namun dalam konteks orang Yahudi, kata sesama diartikan sebagai kawan atau

    saudara dalam arti luas dan kata itu disamakan dengan teman sebangsa.13

    Meskipun

    pengertian sesama ini kemungkinan terasa luas oleh orang Yahudi. Selain itu, dalam

    narasi ini terdapat sebuah dialog yang menimbulkan perbedaan pendapat antara Yesus

    dan ahli Taurat. Sebab dalam dialog tersebut kasih menurut Yesus digambarkan sebagai

    kasih universal. Kemungkinan konteks narasi ini dikaitkan dengan perspektif yang

    berbeda, sehingga jalan yang dilalui oleh korban samun merupakan jalan yang sering

    terjadi pembegalan.14

    Dengan demikian Boland dan Naipospos menekankan tentang

    kasih kepada Allah menjadi penting daripada korban yang disembelih.15

    Berdasarkan pemaparan di atas terdapat persamaan antara Leks dan Boland &

    Naipospos. Persamaan tersebut diantaranya kasih kepada semua manusia, penafsir masih

    dipengaruhi oleh Perjanjian Lama dan sumber Q, mengasihi sesama sebagai tindakan

    konkret dan tokoh Yesus membutuhkan perluasan makna terhadap arti sesama. Dengan

    demikian terlihat bahwa para penafsir menggunakan historis sebagai ilmu teoritis untuk

    mengetahui persamaan-persamaan tersebut. Meskipun demikian para penafsir pun

    terdapat perbedaan pendapat dalam menafsirkan Lukas 10:25-37. Perbedaan tersebut

    nampak dalam pernyataan Leks tentang tidak memperdebatkan teks ini secara teoritis,

    hanya menyinggung sedikit tentang perjalanan Yesus dan perumpamaan ini bukanlah

    kiasan, berbeda halnya dengan Boland dan Naipopos, ia mengungkapkan bahwa teks ini

    terdapat penelusuran mengapa kata sesama harus dipertanyakan dan teks ini diibaratkan

    sebagai kiasan. Namun dapat disimpulkan bahwa narasi Lukas 10:25-37 lebih luas

    ditafsirkan oleh Boland dan Naipospos karena menyinggung perjalanan yang dilalui oleh

    orang Samaria merupakan jalan yang sering terjadinya pembegalan.

    Boland dan Naipospos menekankan tentang sisi etika dari perumpamaan orang

    Samaria yang menunjukkan tidak ada perbedaan antargolongan untuk mengasihi sesama

    manusia. Penafsiran ini menjadi menarik karena perumpamaan tentang orang Samaria

    dapat ditinjau dari pandangan humanisme. Dalam tulisan ini, penulis mencoba memakai

    12

    Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 269. 13

    Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 270. 14

    Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 271. 15

    Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 272.

  • 4

    pendekatan humanisme dari teori Yusuf Bilyarta Mangunwijaya karena dalam konteks

    Indonesia masih terjadi diskriminasi dan penindasan atas nama golongan. Humanisme

    Mangunwijaya menekankan tentang tindakan nyata terhadap sesama tanpa melihat latar

    belakang identitas, golongan dan agama, sehingga penulis memberi judul tulisan ini yaitu

    “memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan” melalui studi hermenutik dengan

    menggunakan perspektif Mangunwijaya.

    1.2 Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan di atas, rumusan masalah dalam

    tulisan ini adalah bagaimana pandangan humanisme dalam Lukas 10:25-37 yang ditinjau

    dari studi hermeneutik menurut teori humanisme Mangunwijaya dan apa relevansinya

    terhadap gereja dan masyarakat dalam memperlakukan sesama manusia.

    1.3 Tujuan dan Manfaat Penulisan

    Tujuan untuk melakukan penelitian ini yaitu untuk menjelaskan tentang pandangan

    humanisme dalam Lukas 10:25-37, ditinjau dengan menggunakan teori humanisme

    Mangunwijaya. Adapun manfaat dari penelitian ini adalah sesuatu yang dapat dipelajari

    secara teoritis dengan menambah pengetahuan terhadap hermenutik. Selain itu, manfaat

    lainnya secara praksis dapat mengetahui bagaimana cara gereja dan masyarakat untuk

    memperlakukan sesama manusia.

    1.4 Metode dan Teknik Penelitian

    Dalam penelitian ini, penulis menggunakan studi hermeneutik dengan perspektif

    humanisme Mangunwijaya. Melalui metode ini, penulis hendak merekonstruksi teks dan

    merelevansikannya dalam konteks masa kini. Penelitian ini adalah penelitian pustaka

    yang berkaitan dengan studi hermeneutik dan studi humanisme Mangunwijaya.

    1.5 Sistematika Penulisan

    Sistematika penulisan ini dibahas dalam lima bagian: pertama, membahas

    pendahuluan yang memuat latar belakang, rumusan masalah, manfaat dan tujuan

    penelitian, metode pengumpulan data dan sistematika penulisan. Kedua menjelaskan

    mengenai pengertian hermeneutik dan teori humanisme Mangunwijaya.Ketiga membahas

    konteks sosial budaya dalam teks Lukas. Keempat membahas studi hermeneutik dengan

  • 5

    perspektif humanisme Mangunwijaya terhadap Lukas 10:25-37. Kelima akan terdapat

    kesimpulan dan saran.

    2. Hermeneutik dengan Perspektif Humanisme Menurut Mangunwijaya

    Pada bagian ini, penulis hendak menjelaskan mengenai teori humanisme menurut

    Mangunwijaya yang berkaitan dengan studi hermeneutik.Bagian ini terdiri dari

    pengertian hermeneutik,latar belakang dari Mangunwijaya dan teori humanisme

    Mangunwijaya. Bagian akhir dari penulisan terdapat kesimpulan dan langkah-langkah

    hermeneutik.

    2.1 Pengertian Hermeneutik

    Pengertian hermeneutik adalah menafsirkan, mengartikan atau menerjemahkan.16

    Istilah hermeneutik berasal dari bahasa Yunani yaitu hermeneuein atau hermeneia yang

    berarti menafsirkan atau interpretasi.17

    Hermeneutik dapat diartikan juga sebagai suatu

    kegiatan atau kesibukan untuk menyingkap makna sebuah teks, sementara teks dapat

    dimengerti sebagai jejaring makna atau struktur simbol-simbol yang tertuang dalam

    tulisan atau pun bentuk-bentuk lain.18

    Dalam pengertian hermeneutik, teks dapat diartikan

    secara luas yang berarti semua hal berkaitan dengan manusia seperti seperti norma,

    budaya dan lain-lain akan disebut sebagai teks. Berdasarkan dengan pengertian tersebut,

    kegiatan menafsir dibutuhkan untuk menemukan dan memahami semua yang berkaitan

    dengan teks.

    Sebab itu penulis hendak melakukan studi hermeneutik dengan menggunakan

    pandangan humanisme Mangunwijaya. Berdasarkan pemaparan di atas maka penulis

    hendak melakukan studi hermeneutik terhadap Lukas 10:25-37 dengan menggunakan

    perspektif humanisme. Namun dalam studi hermeneutik membutuhkan pemahaman latar

    belakang dari Mangunwijaya.

    16

    Yusak B. Setyawan, Hermeneutik Perjanjian Baru: Suatu Perkenalan, (Salatiga: Fakultas Teologi

    UKSW, 2016), 9. 17

    Richard Palmer, Hermeneutika: Teori Baru Mengenai Inerpretasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

    2015).14. 18

    Budi Hardiman, Seni Memahami, (Yogyakarta: Kanisius, 2015), 12.

  • 6

    2.2 Latar Belakang Mangunwijaya

    Mangunwijaya yang memiliki nama lengkap Yusuf Bilyarta Mangunwijaya lahir di

    Ambarawa 6 Mei 1929. Anak sulung dari 12 bersaudara, tujuh di antaranya perempuan

    dari pasangan Yulianus Sumadi Mangunwijaya dan Serafin Kamdanijah.19

    Orang tua dari

    Mangunwijaya adalah seorang guru SD dan TK. Saat Mangunwijaya beranjak dewasa

    terdapat kata-kata dari ayahnya yang selalu diingatnya yaitu “hidup bukan hanya untuk

    mencari nasi dan uang, tetapi harus mencari yang sejati”.20

    Melalui kata-kata ayahnya, ia

    bermimpi untuk mencari kesejatian hidup dengan menjadi seorang pastor.

    Dalam perjalanan hidup Mangunwijaya, masa-masa sekolah menjadi masa yang

    terindah. Menurutnya, sekolah diibaratkan sebagai surga karena telah memberikan latihan

    kecerdasan, menanamkan nilai-nilai kemanusiaan dan berbagai ilmu lainnya. Namun

    masa-masa indah itu pun hilang saat Jepang memasuki wilayah Indonesia pada tahun

    1942.21

    Akibat dari peristiwa itu banyak sekolah yang ditutup. Maka tidak heran pada

    waktu itu Mangunwijaya sering mengalami perpindahan sekolah.

    Memasuki tahun 1943 telah terjadi perang revolusi kemerdekaan oleh bangsa

    Indonesia. Pada masa-masa ini sangat berdampak dalam kehidupan Mangunwijaya.

    Perang Revolusi yang terjadi mengakibatkan banyak murid-murid dimobilisasi untuk

    menjadi pejuang dan bermarkas di Benteng Vredeburg, Yogyakarta. Sekolah yang

    seharusnya menjadi tempat untuk menuntut ilmu berubah menjadi tempat perekrutan

    untuk menjadi seorang tentara. Berdasarkan hal ini, Mangunwijaya menjadi seorang

    tentara di bawah kepemimpinan Mayor Soeharto. Selama Mangunwijaya menjadi

    seorang tentara, ia sempat merasakan pertempuran di daerah Magelang dan Ambarawa.22

    Dalam pertempuran tersebut Mangunwijaya merasa nilai-nilai kemanusiaan dalam

    dirinya hilang sehingga saat perang berakhir, Mangunwijaya memutuskan untuk

    bergabung dalam komunitas pemuda Katolik.

    19

    A. Ferry T. Indratno, Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya, (Jakarta: Kompas Media

    Nusantara, 2009), 149. 20

    Indratno, Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya, 149. 21

    Indratno, Penziarahan Panjang Humanisme, 150. 22

    Indratno, Penziarahan Panjang Humanisme, 150-151.

  • 7

    Selama Mangunwijaya bergabung dalam komunitas pemuda Katolik terdapat

    peristiwa menarik. Peristiwa menarik itu adalah peristiwa saat Mangunwijaya mendengar

    pidato dari Mayor Isman yang berisikan tentang “jangan kalian sebut kami pahlawan atau

    bunga bangsa sebab para pemuda telah belajar melukai dan membunuh sehingga perang

    tersebut membuat para pemuda tidak bertumbuh dengan normal.23

    Hal ini mengantarkan

    Mangunwijaya kepada kegelisahan tentang bangsa Indonesia. Dalam kegelisahannya,

    Mangunwijaya menyadari bahwa seorang pejuang tidak layak untuk disebut sebagai

    pahlawan, karena seorang pahlawan tidak mungkin dapat melukai dan membunuh sesama

    manusia. Dengan demikian Mangunwijaya memutuskan untuk melanjutkan mimpinya

    menjadi seorang pastor atau rohaniawan yang melayani orang-orang marginal, khususnya

    dalam bidang pendidikan.

    Sosok Mangunwijaya adalah seorang guru, pemikir intelektual, arsitektur dan

    pejuang humanis. Berbagai sebutan diterima beliau melalui sikap dan karya tulisnya.

    Kombinasi antara keterbukaan, kecintaan pada manusia, dan kepercayaan yang teguh

    terhadap masa depan yang baik merupakan modal utamanya dalam menulis.24

    Dapat

    disimpulkan bahwa berbagai karya tulis dan sikap praksisnya masih relevan hingga

    sekarang ini.

    2.3 Humanisme menurut Mangunwijaya

    Humanisme menurut Mangunwijaya adalah paham yang menganggap manusia

    yang marginal sebagai nilai yang tertinggi, merujuk pada pembebasan manusia melalui

    gerakan sosial dan pendidikan dari ikatan diskriminasi dan penindasan yang terkandung

    dalam kebijakan dehumanis. Sebagai rohaniawan, Mangunwijaya ingin mengabdi kepada

    orang-orang marginal karena ia menganggap bahwa manusia yang marginal merupakan

    gambaran dari transedental. Secara konkret, teori ini dibahas dalam empat bagian yaitu

    memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan, memanusiakan manusia melalui

    pendidikan, keadilan dan keberadaban manusia dan dimensi transedental.

    23

    Indratno, Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya, 151. 24

    Abdurahman Wahid, Romo Mangun di Mata Para Sahabat, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 31.

  • 8

    2.3.1 Memanusiakan Manusia yang Tidak Dimanusiakan

    Keberpihakan Mangunwiaya terhadap orang-orang marginal merupakan salah

    satu bentuk dari memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan. Hal ini menunjukkan

    bahwa Mangunwijaya tampil sebagai seorang pejuang untuk membela orang-orang

    marginal.Pada konteks kehidupan dari Mangunwijaya, masih sering ditemui berbagai

    kebijakan dehumanis yang merugikan orang-orang marginal.25

    Akibat dari kebijakan

    dehumanis, Mangunwijaya hadir untuk mengritik kebijakan tersebut dengan kecerdasan

    intelektual yang dimilikinya.

    Kritikan Mangunwijaya terhadap kebijakan dehumanis terjadi di rezim Orde

    Baru.26

    Pada masa itu sedang terjadi krisis moneter, berkaitan dengan politik dan

    ekonomi yang disebabkan oleh adanya korupsi, kolusi dan nepotisme.27

    Akibat dari krisis

    tersebut membuat orang-orang marginal mengalami penindasan karena ketatnya sistem

    politik dan ekonomi. Masa orba adalah masa ketikabangsa Indonesia telah lama merdeka

    tetapi belum sepenuhnya merdeka menurut Mangunwijaya. Hal ini terjadi karena adanya

    ketidakseimbangan antara kemerdekaan bangsa dengan kemerdekaan manusia, yang

    seharusnya antara kemerdekaan bangsa dan kemerdekaan manusia dengan rasa

    keterikatannya harus selalu diusahakan.28

    Jelas hal ini mendorong Mangunwijaya untuk

    membela orang-orang marginal dari sikap diskriminasi dan penindasan yang berasal dari

    kebijakan dehumanis.

    Mangunwijaya dikenal sebagai seorang sosialis. Sebutan sosialis untuk

    Mangunwijaya bukan merujuk kepada penganut Marxisme tapi disebut sebagai

    sosialisme individual. Sosialisme individual adalah semangat kebersamaan yang

    diterapkan sebagai kebaikan hati untuk selalu memberikan apa yang dimilikinya kepada

    orang-orang yang berkekurangan.29

    Tercatat beberapa gerakan sosial yang dilakukan oleh

    Mangunwijaya untuk membela orang-orang marginal, salah satu contohnya pada

    25

    Pengertian kebijakan dehumanis adalah kebijakan yang menghilangkan harkat dari manusia. 26

    Rezim Orde Baru adalah sistem pengelolaan pemerintah yang umumnya dijalankan oleh militer.

    Selanjutnya penulisan Orde Baru akan disingkat menjadi orba. 27

    Mulki Mulyadi, “Krisis Moneter 1997-1998: Sebab dan Dampaknya Terhadap Perekonomian Indonesia”,

    Academia Journal, (Juli 2019), 6. 28

    Y.B Mangunwijaya, Merintis RI yang Manusiawi: Republik Yang Adil dan Beradab, (Jakarta:

    Erlangga,1999)53. 29

    Arief Budiman, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, (Yogyakarta: Kanisius, 1999) 128.

  • 9

    peristiwa penggusuran di daerah Kali Code, Yogyakarta. Dalam peristiwa tersebut,

    Mangunwijaya mengatakan bahwa rencana penggusuran penduduk dari tepi sungai Code

    merupakan ketidakadilan dan berlawanan dengan jiwa Pancasila.30

    Selain itu,

    Mangunwijaya membela orang-orang marginal dengan menggunakan cara anti

    kekerasan. Artinya Mangunwijaya siap untuk mengorbankan nyawa untuk mencapai

    tujuannya dalam mengubah visi dari pemerintah, agar tidak melakukan penindasan dan

    diskriminasi kepada orang-orang marginal.

    Keberpihakan yang dilakukan oleh Mangunwijaya mendapatkan pemahaman

    tentang keberhargaan dari orang marginal. Dalam hal ini, Mangunwijaya ingin

    menunjukan sikap praksisnya, meskipun dianggap sebagai pemberontak oleh pemerintah.

    Sebab Mangunwijaya menyadari adanya kedekatan antara ia dan pemerintah sehingga

    memutuskan untuk membela orang-orang marginal dari kebijakan dehumanis.

    2.3.2 Memanusiakan Manusia melalui Pendidikan

    Memanusiakan manusia melalui pendidikan adalah bagian terpenting dari teori

    humanisme menurut Mangunwijaya. Sebab pendidikan adalah wilayah netral yang bisa

    dimasuki oleh siapa saja tanpa memandang identitas.31

    Mangunwijaya ingin memberikan

    pendidikan yang membebaskan untuk orang-orang marginal agar mampu

    mengembangkan kualitas dan kemampuan yang dimiliki.Hal yang sama dikemukakan

    oleh Magnis Suseno bahwa manusia ditempatkan di pusat perhatian dan pendidikan yang

    dimengerti sebagai usaha untuk mengembangkan manusia secara utuh.32

    Pendidikan yang dicetuskan oleh Mangunwijaya mengarah kepada pendidikan

    rakyat. Pendidikan rakyat sangat berkaitan dengan budaya yang dijadikan sebagai ilmu

    pengetahuan. Tujuannya untuk mempersatukan manusia melalui kebudayaan dan nilai

    yang terkandung di dalamnya.33

    Jika kebudayaan dapat tertanam dalam pendidikan,

    apabila kebudayaan itu relevan dan memberi harapan yang dapat dirasakan oleh

    30

    Parhorasan Situmorang, “Perjumpaan dengan Romo Mangun, Artidjo Alkostar dan Busyro Muqoddas di

    Kali Code, Inspirasi bagi Pemuda, Kompasiana,

    https://www.kompasiana.com/parhorasan/581379aba22bd37285e511e/perjumpaan-romo-mangun-artidjo-

    alkostar-dan-busyro-muqoddas-di-kali-code-inspirasi-bagi-pemuda(diakses pada jam 13.00 tanggal 27 Sept

    2018). 31

    Benny Susetyo, Penziarahan Panjang Humanisme Mangunwijaya, 88. 32

    Franz Magnis Suseno, Menalar Tuhan, (Yogyakarta: Kanisius, 2006), 48. 33

    Y.B. Mangunwijaya, Paradigma Baru bagi Pendidikan Rakyat, (Jakarta: Prisma no. 7, 1980), 13.

  • 10

    naradidik; manfaat yang dirasakan sedikit atau pun banyak mampu menimbulkan

    hubungan antara pendidik dan naradidik dalam bentuk dialog.34

    Dalam pendidikan, Mangunwijaya menggunakan budaya untuk memberikan

    kemudahan bagi orang-orang marginal dalam proses belajar mengajar misalnya

    penggunaan kurikulum oleh Mangunwijaya cenderung menyenangkan bagi naradidik

    karena menggunakan alam sebagai media pembelajaran seperti alat musik dari barang

    bekas.35

    Melalui hal itu, jelas bahwa budaya adalah pengetahuan paling terdekat dalam

    kehidupan orang-orang marginal. Dalam proses belajar mengajar membentuk hubungan

    yang erat dan mampu menghasilkan naradidik yang kreatif dan eksploratif-komunikatif

    sehingga akan menciptakan pendidikan yang menyenangkan. Salah satu contoh konkret

    dari pendidikan ini yaitu adanya sekolah Mangunan yang bertempat di Sleman,

    Yogyakarta.

    Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa pendidikan yang

    membebaskan menurut Mangunwijaya menggunakan konsep budaya sebagai suatu ilmu

    pengetahuan. Hal ini bertujuan untuk memudahkan orang-orang marginal dalam proses

    belajar mengajar. Selain itu, pendidikan yang membebaskan menjadi bukti konkret dalam

    memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan. Dengan adanya pendidikan, manusia

    mampu untuk meningkatkan nilai dalam dirinya yang disesuaikan dengan potensi yang

    dimiliki.

    2.3.3 Keadilan dan Keberadaban Manusia

    Keadilan dan keberadaban manusia menjadi kegelisahan Mangunwijaya dalam

    memperjuangkan kemanusiaan.36

    Kegelisahan terjadi karena belum terdapat penanaman

    nilai-nilai kemanusiaan kepada generasi muda. Selain itu, menanamkan sikap patriot dan

    nasionalis membutuhkan waktu yang lama sehingga keadilan dan keberadaban manusia

    menjadi kegelisahan sekaligus menjadi harapan untuk generasi muda.

    Kemerdekaan Indonesia haruslah seimbang dengan kemerdekaan manusia

    sehingga membutuhkan ideologi Pancasila untuk mewujudkan cita-cita dan tujuan dari 34

    Y.B. Mangunwijaya, Paradigma Baru bagi Pendidikan Rakyat, 14 35

    Leo Febrianus, “Pendidikan Pemerdekaan menurut Romo Mangun”, Academia Journal, (Juli 2019), 8. 36

    Y.B Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca- Einsten, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 45-46

  • 11

    bangsa. Ideologi yang terkandung dalam Pancasila memiliki nilai perikemanusiaan yang

    adil dan beradab, meskipun tidak mengabaikan nilai lainnya.37

    Tujuan dari hal ini ialah

    untuk mempertahankan nilai-nilai Pancasila kepada setiap generasi. Nilai-nilai yang

    terkandung dalam Pancasila memiliki keterkaitan dengan budaya sehingga nilai-nilai ini

    menjadi dasar dalam menegakkan keadilan bagi orang-orang marginal.

    Dalam mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan di tubuh Pancasila, setiap

    generasi harus memiliki sikap patriot, nasionalis dan cinta terhadap bangsa. Dengan

    memiliki jiwa nasionalis dan patriot diharapkan mampu untuk berpikir dalam

    mewujudkan keseimbangan dari kemanusiaan.38

    Selain itu, setiap generasi harus

    mengetahui tantangan yang dihadapi sehingga perlu pengenalan budaya untuk

    mempertahankan nilai kemanusiaan dalam tubuh Pancasila. Meskipun secara realitas,

    setiap generasi menganggap budaya sebagai suatu hal yang kuno karena pemahaman

    yang tradisional terasa sulit untuk dilakukan.39

    Salah satu contoh tantangan yang dihadapi

    adalah perkembangan teknologi yang semakin hari semakin pesat. Dampak dari

    tantangan tersebut membuat kehidupan sosial menjadi kehidupan individual karena lebih

    mementingkan diri sendiri dari pada orang lain.

    Mempertahankan nilai-nilai kemanusiaan dalam tubuh Pancasila menjadi amanat

    yang sulit untuk setiap generasi. Sebab membutuhkan proses untuk memiliki sikap

    patriot, nasionalis dan cinta terhadap bangsa. Hal ini menjadi harapan bangsa untuk

    menghasilkan generasi yang dapat mempertahankan dan melakukan nilai-nilai

    kemanusiaan dengan berdasarkan ideologi Pancasila. Dengan demikian, generasi muda

    diharapkan untuk melakukan nilai-nilai kemanusiaan itu secara nyata dalam kehidupan

    bermasyarakat dan bernegara.

    2.3.4 Dimensi Transendental menjadi Dasar dalam Memanusiakan Manusia

    Dimensi transendental menjadi dasar dalam memanusiakan manusia menurut

    Mangunwijaya. Sebagai rohaniawan yang iamemiliki prinsip untuk menjadi pribadi yang

    baik, mampu untuk memanusiakan manusia dan melalui hal ini manusia menemukan

    37

    Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca- Einsten, 55. 38

    Sindhunata, Menjadi Generasi Pasca-Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya, (Yogyakarta:

    Kanisius, 1999), 33. 39

    Y.B Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca- Einsten, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 60.

  • 12

    jalan kepada pencipta-Nya.40

    Jelas bahwa Mangunwijaya ingin melayani orang-orang

    marginal karena sudah menjadi prinsip hidupnya. Tugas melayani orang-orang marginal

    telah menjadi pengabdiannya seumur hidup.

    Dimensi transendental termuat dalam teologi pemerdekaan. Teologi Pemerdekaan

    atau Teologi Pembebasan adalah hasil refleksi dari nalar manusia tentang penerimaan

    wahyu yang mendahuluinya sehingga tidak hanya kemauan atau emosi, melainkan

    pikiran yang diikutsertakan dalam tanggung jawab sikap beriman.41

    Melalui hal ini pola

    pikir manusia untuk beriman kepada Pencipta dijadikan sebagai potensi bahwa manusia

    itu berharga. Artinya, dalam diri manusia terdapat pribadi pencipta-Nya, sehingga

    manusia diberi tugas untuk saling mengasihi sesamanya.

    Pemikiran Mangunwijaya mengenai memanusiakan manusia bukanlah sekedar

    teori tetapi memiliki dimensi transendental. Dalam hal ini, Mangunwijaya memiliki peran

    sebagai seorang yang netral dan memilih untuk berdamai tanpa adanya kekerasan serta

    memilih untuk mencari persamaan dari pada perbedaan.42

    Secara spesifik setiap

    perbedaan agama terdapat amanah dari Yang Maha Kuasa untuk bersatu mengagungkan

    kemuliaan-Nya. Amanah dari-Nya antara lain adalah hidup bukan sekedar hidup.tetapi

    untuk memanusiakan manusia lain.43

    Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa memanusiakan manusia merupakan

    jalan menuju dimensi transendental. Sebab memandang manusia sebagai gambaran

    Pencipta, membuat setiap orang memiliki nilai-nilai kemanusiaan dalam dirinya. Melalui

    dimensi transedental, setiap manusia yang memiliki nilai-nilai kemanusiaan akan

    mengambil sikap etis untuk melakukan suatu hal yang baik atau tidak baik. Akhirnya,

    memanusiakan manusia menjadi sikap praksis yang harus dilakukan dalam masyarakat.

    40

    Y.B. Mangunwijaya, Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, (Yogyakarta: Kanisius, 1999), 21. 41

    Y.B Mangunwijaya, Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia,111. 42

    Siregar, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, 230. 43

    Siregar, Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan, 231.

  • 13

    2.4 Kesimpulan dan Penggunaan Teori Humanisme menurut Mangunwijaya

    untuk Studi Hermeneutik terhadap teks Lukas 10:25-37

    Keberpihakan yang dilakukan oleh Mangunwijaya telah menunjukkan bahwa

    manusia merupakan makhluk yang berharga. Dengan adanya hal itu, seharusnya manusia

    mampu untuk memanusiakan manusia lain yang tidak manusiakan melalui pendidikan

    yang membebaskan. Melalui pendidikan yang membebaskan mampu untuk memberikan

    keadilan dan mengetahui permasalahan yang berkaitan dengan keberadaban manusia.

    Dalam hal ini menjadi kegelisahan dari Mangunwijaya untuk menanamkan nilai-nilai

    kemanusiaan terhadap generasi muda. Sebab Mangunwijaya menyadari bahwa

    menanamkan nilai-nilai kemanusiaan mampu untuk membebaskan orang-orang marginal

    dari penindasan dan diskriminasi. Selain itu, nilai-nilai kemanusiaan yang dilakukan

    secara praksis mampu untuk menunjukkan jalan menuju dimensi transendental. Dengan

    demikian, teori humanisme Mangunwijaya masih relevan untuk dilakukan pada masa

    kini.

    Terdapat beberapa langkah yang dilakukan untuk studi hermeneutik dengan

    menggunakan pandangan humanisme menurut Mangunwijaya. Pertama, penulis hendak

    menjelaskan secara singkat mengenai latar belakang teks Lukas. Kedua membahas

    memahami teks dengan menggunakan humanisme. Ketiga terdapat kesimpulan dari

    kepenulisan bagian tiga.

    3. Konteks Sosial Budaya dari Penulisan teks Lukas

    Pada bagian ini penulis hendak menguraikan tentang latar belakang dari

    kepenulisan teks Lukas. Selain itu, pada bagian ini penulis hendak memberikan

    pandangan tentang manusia menurut teks Lukas yang dikaitkan dengan sosial budaya.

    Pada akhir bagian ini terdapat kesimpulan dan langkah-langkah untuk bagian berikutnya.

    3.1 Latar belakang Teks Lukas

    3.1.1 Penulis Teks Lukas

    Penulis teks Lukas sering dikaitkan dengan penulis teks Kisah Para Rasul. Hal ini

    dibuktikan dengan adanya prolog dari kedua teks yang ditujukan kepada seorang yang

    bernama Teofilus (lih. Luk 1:1; Kis 1:1). Dalam hal ini, terdapat kemungkinan bahwa

  • 14

    penulis teks Lukas dan penulis teks Kisah Para Rasul merupakan orang yang sama.44

    Namun kebenaran tentang siapa penulis Lukas belum dapat diketahui secara pasti.

    Dalam proses pencarian identitas dari penulis teks Lukas, terdapat suatu

    pernyataan yang mengatakan bahwa penulis Lukas merupakan seorang dokter dan teman

    seperjalanannya Paulus, karena kemungkinan penulis Lukas telah bergabung dengan

    Paulus untuk memasuki Eropa kemudian penulis Lukas telah menemani Paulus dalam

    perjalanan terakhirnya menuju Yerusalem.45

    Selain itu, kemungkinan lainnya menyatakan

    bahwa penulis Lukas bukan berasal dari Yahudi. Hal ini ditunjukkan melalui teks Lukas

    yang menyinggung tentang dunia Yunani (lih. Luk 5:19).46

    Ciri-ciri lainnya yang

    menunjukkan bahwa penulis teks Lukas bukan berasal dari orang Yahudi yaitu dengan

    memperhatikan gaya dan susunan tulisan Lukas yang menggunakan hukum dwiganda.47

    Berdasarkan dengan hal ini, penulis Lukas disebut sebagai satu-satunya penulis

    Perjanjian Baru yang bukan orang Yahudi.48

    Meskipun demikian menurut penulis,

    kebenaran tentang identitas dari penulis teks Lukas masih belum diketahui kebenarannya.

    3.1.2 Tempat dan Waktu Penulisan

    Tempat penulisan teks Lukas menurut tradisi belum dapat dipastikan

    kebenarannya, karena informasi yang tersebar menyatakan bahwa penulis Lukas

    kemungkinan menuliskan teksnya di luar Palestina atau di daerah Laut Tengah.49

    Selain

    itu, terdapat pernyataan bahwa kemungkinan penulis Lukas telah menulis disuatu tempat

    di dunia dengan menggunakan bahasa Yunani, sehingga para pendukung Roma seperti

    Teofilus dapat membantu misi Kristen bertumbuh.50

    Secara spesifik, penulis Lukas

    sangat memahami bahasa Yunani dengan sangat baik dan memiliki kaitannya dengan

    Kekaisaran Roma.

    44

    John Drane, Memahami Perjanjian Baru: Pengantar Historis Teologis, (Jakarta: BPK Gunung Mulia,

    2016), 211. 45

    Drane, Memahami Perjanjian Baru, 212. 46

    Groenen, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru,(Yogyakarta: Kanisius, 1984),122. 47

    Pengertian Hukum Dwiganda adalah cara kepenulisan teks Lukas yang menduakalikan kata-kata dan

    kalimat-kalimat yang menghubungkan dua kata yang saling melengkapi atau yang merupakan lawan

    masing-masing dan seterusnya. Lihat Boland dan Naispospos, Injil Lukas, 8. 48

    Drane, Memahami Perjanjian Baru, 212. 49

    B.F. Drewes, Satu Injil Tiga Pekabar, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012), 256. 50

    Amy Jill Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, (USA:

    Harper Collins e-book, 2006), 38.

  • 15

    Berdasarkan dengan tempat penulisan teks Lukas dapat dikatakan bahwa teks

    Lukas sangat memahami situasi kekristenan awal di bawah kekaisaran Roma. Secara

    tradisi, penulis Lukas sering dikaitkan dengan peristiwa hancurnya Yerusalem yang

    terjadi sekitar tahun 70 ZB.51

    Berbeda dengan pendapat Groenen, ia mengatakan bahwa

    kemungkinan teks Lukas ditulis sekitar tahun 80 ZB dengan didasarkan oleh keadaan

    Yerusalem yang sudah lama dikatakan sebagai “bangsa kafir” (lih. Likas 21:24b).52

    Meskipun demikian, saya menyimpulkan bahwa penulis teks Lukas telah menulis

    naskahnya sekitar tahun 70 ZB dengan keadaan kota Yerusalem yang hancur. Selain itu,

    terdapat orang-orang yang telah menganut agama Kristen dengan latar belakang

    pemerintahan Roma dengan kebudayaan Yunani sebagai ciri lainnya.

    3.1.3 Konteks Sosial Budaya dalam Lukas

    Dalam narasi Lukas pada umumnya memberikan penjelasan mengenai pelbagai

    tradisi meskipun Lukas cenderung menggunakan tradisi Yunani. Sebab digambarkan

    bahwa Lukas berada dalam konteks Romawi yang sudah dipengaruhi budaya Yunani

    (Helenisme). Selain itu Lukas menulis untuk para pembaca Yunani.53

    Hal ini pun

    ditunjukkan dengan kemampuan penulis Lukas yang menuliskan teksnya menggunakan

    bahasa Yunani dengan baik.

    Tradisi Yunani mendominasi penulisan teks Lukas, tetapi secara isi teks Lukas

    lebih menunjukan kekuasaan Yahudi. Hal ini ditunjukkan dengan kecenderungan penulis

    Lukas yang anti-semitisme.54

    Gambaran sikap anti semitisme dari Lukas memberikan

    pengaruh terhadap gambaran komunitas Lukas (Kristen Awal). Sebab komunitas Lukas

    dikategorikan sebagai minoritas di tengah-tengah komunitas Yahudi.55

    Sebagai minoritas,

    komunitas Lukas kemungkinan mendapatkan tekanan dari komunitas Yahudi, hal itu

    menjadi alasan mengapa penulis Lukas meminta perlindungan kepada Teofilus.

    51

    Leks, Tafsir Injil Lukas, 23. 52

    Groenen, Pengantar Perjanjian Baru, 122. 53

    Wlli Marxen, Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis Terhadap Masalah-Masalahnya, (Jakarta:

    BPK Gunung Mulia, 2000), 194. 54

    Anti Semitisme adalah gagasan yang memusuhi orang Yahudi, lih. Marxsen, Pengantar Perjanjian Baru,

    191. 55

    Groenen, Pengantar Perjanjian Baru, 121.

  • 16

    3.1.4 Situasi dan Keberadaan Komunitas Lukas

    Keberadaan komunitas Lukas berkaitan dengan seorang yang bernama Teofilus.

    Hal ini ditunjukkan pada bagian awal teks Lukas yang menyebut Teofilus sebagai

    penerima teks Lukas. Tujuan dari penulis Lukas hendak memberikan laporan historis

    kepada Teofilus tentang kekristenan dan meminta bantuan kepadanya untuk membantu

    kekristenan awal bertumbuh.56

    Berdasarkan hal ini, kemungkinan seorang Teofilus

    memiliki status sosial yang cukup tinggi di bawah kekaisaran Roma. Hal ini dibuktikan

    dengan kata “Yang Mulia”yang memberikan penekanan bahwa seorang Teofilus

    merupakan seorang yang memiliki kedudukan yang tinggi meskipun bukan Yahudi.57

    Kemungkinan lainnya bahwa seorang Teofilus merupakan salah seorang yang tergabung

    dalam komunitas Lukas (Kristen Awal).

    Adanya komunitas Lukas dalam kepenulisan Lukas telah menunjukkan bahwa

    kisah tentang Yesus telah diketahui sejak abad pertama. Meskipun demikian, komunitas

    Lukas dikategorikan sebagai minoritas yang tidak selalu disenangi oleh masyarakat

    sekitarnya. Kemungkinan komunitas Lukas merasa tertekan dan kurang aman di tengah-

    tengah masyarakat Yahudi sehingga meminta seorang Teofilus untuk melindungi

    komunitas Lukas. Keberadaan dari komunitas Lukas kemungkinan berkaitan dengan

    kekaisaran Roma, walaupun keberadaannya secara spesifik masih sukar untuk diketahui

    kebenarannya.58

    3.2 Pandangan manusia menurut Lukas

    Pandangan tentang manusia menurut Lukas akan membantu dalam membaca teks

    dalam perspektif humanisme. Namun dalam mengetahui pandangan tentang manusia

    menurut Lukas, dipengaruhi oleh adanya konteks sosial-budaya dari Yahudi dan Yunani

    karena terdapat kemungkinan bahwa penulis Lukas memiliki hubungan yang sangat dekat

    dengan konteks sosial-budayanya. Dengan demikian, saya pun membahas mengenai

    pandangan manusia menurut Yahudi dan Yunani.

    Secara umum orang Yahudi tidak menyukai komunitas Lukas karena orang

    Yahudi telah memiliki sistem yang lengkap sehingga dirasa tidak membutuhkan

    56

    I. Howard Marshall, Tafsiran Alkitab Abad ke 21, (Jakarta: Yayasan Komunikasi Bina Kasih, 2017), 146. 57

    Boland dan Naispospos, Injil Lukas, 13. 58

    Marshall, Tafsiran Alkitab Abad ke 21, 145.

  • 17

    Perjanjian Baru karena kitab Taurat dan interpretasinya dalam komunitas Yahudi sudah

    menawarkan tentang wahyu Ilahi.59

    Selain itu, orang Yahudi menjadikan Taurat sebagai

    realitas tertinggi dalam sejarah dan penciptaan manusia. Dalam hal ini orang Yahudi

    bertindak selaras dengan kehendak Tuhan dan menjadikannya sebagai tujuan utama dari

    kehidupan.60

    Orang Yahudi menganggap umat yang tidak berpegang pada Taurat disebut

    kafir. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa manusia harus menaati dan memegang

    Taurat sebagai tujuan utama untuk memahami pandangan manusia menurut Yahudi.

    Pemahaman yang berbeda dilakukan oleh orang Yunani dalam memberikan

    pandangannya tentang manusia. Pemahaman orang Yunani tentang manusia dilandasi

    oleh berbagai pemikir dunia, salah satunya dikemukakan oleh Plato yang merupakan

    seorang ahli filsafat. Menurut Plato, manusia adalah dua komponen yang berharga dan

    saling bekerja sama, karena jika badan tidak memiliki jiwa maka badan itu akan menjadi

    mati (mayat).61

    Artinya bahwa dua komponen dalam diri manusia menjadi satu-kesatuan

    yang tidak dapat dipisahkan. Selain itu, pemikiran Plato memberikan makna tentang nilai

    penting yang dimiliki oleh manusia. Pemahaman tentang manusia menurut orang Yunani

    didasarkan oleh komponen yang dimiliki oleh manusia kemudian dijadikan sebagai suatu

    yang bernilai tinggi.

    Gambaran tentang manusia menurut orang Yunani memberikan pengaruh

    terhadap pandangan manusia menurut Lukas. Hal ini ditunjukkan dalam pernyataan yang

    mengatakan bahwa manusia adalah suatu kesatuan dari tubuh, jiwa, roh, akal budi dan

    lain-lain sebagai suatu bentuk kehidupan.62

    Secara spesifik, Lukas memandang manusia

    sebagai makhluk hidup yang memiliki nilai tinggi dibandingkan dengan makhluk hidup

    lainnya. Dapat disimpulkan bahwa pandangan Lukas tentang manusia selaras dengan

    pandangan manusia menurut Mangunwijaya karena keberhargaan dari manusia telah

    memberikan dampak untuk melakukan pembebasan terhadap orang-orang marginal.

    59

    Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 17. 60

    John L. Esposito dkk,”World Religion Today: Agama-agama Dunia Dewasa ini”, (Jakarta: Kompas

    Gramedia, 2015), 84. 61

    Marselius Sampek Tondok, Skripsi tentang Humanisme dalam perspektif Iman Kristiani, (Yogyakarta:

    Universitas Sanata Dharma, 1998). 46. 62

    Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 270.

  • 18

    3.3 Kesimpulan

    Identitas dari penulis teks Lukas belum dapat diketahui secara pasti

    kebenarannya. Namun, kemungkinan penulis teks Lukas memiliki kaitannya dengan

    kekaisaran Roma karena tujuan dari kepenulisan Lukas mengarah kepada seorang yang

    bernama Teofilus. Kemungkinan seorang Teofilus merupakan pendukung Roma sehingga

    penulis teks Lukas meminta untuk membantu komunitas Lukas (Kristen Awal) untuk

    bertumbuh. Selain itu, pandangan manusia menurut Lukas selaras dengan pandangan

    manusia menurut Mangunwijaya. Dapat disimpulkan bahwa penulis teks Lukas dan

    Mangunwijaya memandang manusia sebagai makhluk hidup yang memiliki nilai tinggi

    dibandingkan dengan makhluk hidup lainnya.

    Berdasarkan latar belakang dan pandangan tentang manusia menurut Lukas

    membentuk pola pikir tentang memanusiakan manusia lain yang berdasarkan pada teori

    humanisme Mangunwijaya. Adapun beberapa langkah sebagai upaya menafsirkan teks

    Lukas 10:25-37 dengan menggunakan pandangan humanisme menurut Mangunwijaya.

    Pertama penulis hendak menguraikan tentang upaya penafsiran teks Lukas 10:25-37.

    Kedua, penulis akan memberikan kesimpulan untuk menemukan relevansi dari

    memanusiakan manusia lain pada masa kini.

    4. Studi Hermeneutik dengan Perspektif Humanisme Mangunwijaya terhadap

    Lukas 10:25-37

    4.1 Studi Hermeneutis dalam Menafsirkan Lukas 10:25-37

    Setelah menguraikan latar belakang kitab Lukas, pada bagian ini dalam perspektif

    humanisme Mangunwijaya penulis akan memusatkan perhatian pada keempat bagian.

    Bagian pertama tentang memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan. Bagian kedua

    mengenai pendidikan yang membebaskan. Bagian ketiga mengenai keadilan dan

    keberadaban manusia. Bagian keempat mengenai dimensi transendental. Keempat bagian

    ini menjadi pertanyaan hermeneutis dalam menafsirkan teks Lukas 10:25-37.

  • 19

    4.2 Upaya Menafsirkan teks Lukas 10:25-37 dengan Perspektif Humanisme

    Mangunwijaya

    4.2.1 Pembebasan bagi orang-orang Marginal

    Lukas menggambarkan tokoh Yesus sebagai pembebas dalam teks Lukas 10:25-

    37. Dalam narasinya. Yesus menyatakan keberpihakannya terhadap orang-orang

    marginal. Sebab konteks pada zaman Yesus hidup penuh dengan hiruk-pikuk

    permasalahan sosial, budaya hingga politik yang sering dikaitkan dengan-Nya. Secara

    umum, Yesus sering digambarkan sebagai seorang yang melawan hukum atau menentang

    adat-istiadat Yahudi.63

    Berdasarkan hal itu, kemungkinan Lukas ingin menekankan

    tentang hubungan yang dekat antara Yesus dengan orang-orang Yahudi.

    Narasi Lukas 10:25-37 merupakan jawaban yang disampaikan atas pertanyaan

    dari ahli Taurat kepada Yesus mengenai hukum yang berlaku. Dalam dialog yang

    berbentuk tanya jawab tersebut, Yesus memberikan perumpamaan tentang orang Samaria

    karena umumnya orang Yahudi dan ahli Taurat menganggap orang Samaria sebagai kafir.

    Hal ini disebabkan adanya perbedaan secara keagamaan, sehingga orang Samaria

    memahami Pentateuk sebagai kanon sedangkan orang Yahudi menganggap kitab

    Pentateuk dan kumpulan kisah lainnya sebagai sebuah kitab.64

    Dengan adanya perbedaan

    tersebut, orang Samaria mengalami penindasan di tengah masyarakat Yahudi.

    Penindasan yang terjadi pada orang Samaria dapat terjadi juga pada semua orang.

    Sebab kurangnya sikap memanusiakan manusia lain bisa menjadi salah satu faktornya.

    Melalui narasi Lukas 10:25-37 memberikan pandangan tentang memanusiakan manusia

    yang tidak dimanusiakan berdasarkan dengan konteks sosial. Hal yang sama dilakukan

    oleh Mangunwijaya dalam memanusiakan manusia dalam konteks Indonesia.Menurutnya

    kemanusiaan harus dibela dengan segala risiko.65

    Sebab dengan kemanusiaan mampu

    untuk memupuk sikap memanusiakan manusia lain dengan menunjukkan sikap etis dari

    manusia itu. Melalui hal tersebut, kemanusiaan haruslah dalam bentuk praksis untuk

    dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.

    63

    Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 19. 64

    Gary Knoppers, Jews and Samaritans: The Origins and History of Their Early Relation, (New York:

    Oxford University, 2013), 179. 65

    St. Sularto, Penziarahan Panjang Humanisme, 71.

  • 20

    Pembebasan dan keberpihakan yang digambarkan Lukas dalam tokoh Yesus

    memberikan pandangan baru tentang kasih universal. Artinya dengan memanusiakan

    manusia terdapat sikap praksis untuk saling menerima dan mengasihi satu dengan yang

    lain tanpa melihat latar belakang kehidupannya. Dengan demikian pandangan humanisme

    menurut Lukas dan Mangunwijaya memiliki kemiripan dalam memanusiakan manusia

    lain. Sebab terdapat unsur kasih untuk melakukannya dalam kehidupan bermasyarakat.

    4.2.2 Perumpamaan sebagai Pedagogis

    Perumpamaan sebagai pedagogis menjadi daya tarik untuk semua orang menurut

    gambaran Lukas. Sebab perumpamaan dalam narasi Lukas 10:25-37 merupakan hasil

    adaptasi dari budaya Yahudi abad pertama.66

    Secara konkret, perumpamaan adalah suatu

    bentuk dari pengajaran, sehingga pengajaran tersebut merupakan perkara tentang

    pengalaman hidup manusia setiap hari.67

    Dengan demikian, Lukas memberikan

    pandangan tentang pengajaran yang mudah dipahami melalui karakter Yesus.

    Narasi tentang orang Samaria disampaikan sebagai jawaban atas pertanyaan yang

    diajukan oleh ahli Taurat kepada Yesus tentang perintah utama yang terkandung dalam

    hukum taurat. Perintah utama tersebut memuat tentang “Kasihilah Tuhan, Allahmu,

    dengan segenap hatimu, dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan

    dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri”

    (ayat 27). Ajaran ini merupakan ajaran dasar bagi orang Yahudi sehingga sangat

    diperhatikan oleh ahli Taurat.68

    Meskipun demikian ahli Taurat dan orang Yahudi belum

    menjalankan perintah tersebut dengan baik. Jelas dalam narasi Lukas 10:25-37 yang

    dikaitkan dengan perintah utama memberikan tujuan untuk mengritik ahli Taurat dan

    orang Yahudi dalam hal mengasihi sesama. Dalam narasi Lukas 10:25-37 terdapat

    perbedaan penafsiran yang dilakukan oleh ahli Taurat dengan Yesus mengenai

    pertanyaan siapakah sesama manusia. Menurut ahli Taurat kata sesama (bhs. Yunani

    πληζί ον)69 yang ditanyakan kepada Yesus memiliki pengertian orang yang paling

    66

    Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 20. 67

    A.M Hunter, Menafsirkan Perumpamaan-Perumpamaan Yesus, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001), 3. 68

    Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 20. 69

    Penulis mencoba menafsirkan berdasarkan kata dari sesama yaitu πλησί ον(kata tunggal) yang memiliki pengertian tentang orang yang paling dekat. Akan tetapi dilihat sebelum kata πληζί ον memiliki awalan ηὸ ν yang merupakan bagian dari kata sandang tertentu, maka kata sesama menurut ahli Taurat merujuk kepada sesama orang Yahudi.

  • 21

    terdekat. Namun pertanyaan yang diajukan ahli Taurat kepada Yesus memiliki maksud

    untuk menjebaknya sebab pertanyaan dari ahli Taurat merujuk kepada sesama orang

    Yahudi. Melalui hal itu, secara jelas digambarkan bahwa Yesus tidak ingin terjebak

    dalam pertanyaan ahli Taurat sehingga Ia menjawabnya dengan menggunakan

    perumpamaan. Pada akhir narasi ini Yesus membimbing ahli Taurat mengenai

    pemahaman arti sesama (bhs. Yunani πληζί ον)70 sehingga ahli Taurat menjawab “orang

    yang telah menunjukkan belas kasihan kepadanya” (ayat 37). Jawaban ini menjadi

    penting karena menggambarkan pengajaran tentang memanusiakan manusia melalui

    ajaran kasih yang seharusnya dilakukan secara praksis.

    Tanya jawab yang terdapat dalam narasi Lukas 10:25-37 merupakan pengajaran

    yang membebaskan. Hal ini menunjukkan telah terciptanya hubungan yang erat melalui

    dialog antara pengajar dan naradidik sehingga menghasilkan cara belajar berpikir analitis

    dalam kerangka berpikir kreatif.71

    Melalui pembelajaran analitis dapat disimpulkan

    bahwa narasi ini mampu untuk menelanjangi arti sesama manusia yang bersifat

    ekslusivitas. Artinya semua manusia akan menjadi sesama sehingga dibutuhkan sikap

    memanusiakan manusia lain tanpa melihat latar belakang kehidupan. Dengan demikian

    pengajaran utama dari narasi ini mengenai memanusiakan manusia berdasarkan dengan

    kasih universal harus dilakukan dalam bentuk praksis.

    4.2.3 Keadilan dan Kesetaraan Manusia

    Hiruk pikuk permasalahan tentang sosial, budaya dan politik dalam gambaran

    Lukas membawa suatu pemahaman tentang bagaimana cara untuk menegakkan keadilan

    dan kesetaraan dalam kehidupan bermasyarakat. Sebab narasi ini mengandung pandangan

    negatif terhadap orang-orang Yahudi yang bukan konteks asli Yesus sehingga Yesus

    digambarkan sebagai seorang pemberontak dalam masyarakat Yahudi.72

    Meskipun

    demikian gambaran Yesus sebagai pemberontak menunjukkan sikapnya dalam

    70

    Pada ayat yang ke 36, kata πληζί ον (kata tunggal) diikuti dengan kata δοκεῖ (berasal dari kata δοκέ ω yang artinya menganggap) yang merupakan kata sifat yang dipakai untuk kata benda pada orang ketiga

    maskulin dengan memiliki arti sesama manusia yang dianggap paling terdekat. Hal ini ditunjukkan untuk

    menjawab pertanyaan dari ahli taurat tentang siapakah sesama manusia. 71

    Y.B Mangunwijaya, Pasca-Indonesia Pasca- Einsten, 14. 72

    Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 40.

  • 22

    mempraktekkan tentang keadilan sosial. Hal ini terjadi karena Ia adalah satu-satunya

    yang peduli terhadap orang-orang marginal.73

    Gambaran Lukas mengenai Yesus yang sedang berdialog dengan ahli Taurat

    mengenai perintah utama menjadi salah satu tindakan dari keadilan dan kesetaraan. Sebab

    dalam dialog mengisahkan tentang kedekatan tokoh Yesus dengan ahli Taurat, hubungan

    yang terjalin karena adanya saling berbagi ilmu dalam mengajarkan tentang dunia kepada

    semua orang.74

    Melalui hal tersebut, Lukas telah menggambarkan dengan jelas tentang

    keberpihakan dan kepedulian Yesus terhadap orang-orang marginal sehingga Ia dengan

    berani mengritisi dan membimbing ahli Taurat untuk memahami sesama secara universal.

    Tujuan dari tindakan tersebut untuk membebaskan orang-orang marginal (orang Samaria)

    dari sikap diskriminasi dan penindasan yang terjadi karena adanya kebijakan dehumanis.

    Pada umumnya ahli Taurat dan para pemuka agama lainnya tidak menyukai

    tentang kasih universal. Hal ini terjadi karena ahli Taurat dan para pemuka agama lainnya

    hanya memenuhi tugasnya sebagai imam tapi tidak mempraktikkannya.75

    Secara konkret,

    mengasihi sesama merupakan ayat yang umum digunakan dalam pemikiran Yahudi.76

    Berdasarkan hal itu, wajar jika penulis Lukas mengaitkan tentang mengasihi sesama ke

    dalam narasi orang Samaria.

    Keadilan dan kesetaraan yang digambarkan oleh Lukas mirip dengan konsep

    keadilan menurut Mangunwijaya. Meskipun demikian untuk mempraktikkan keadilan

    dan kesetaraan harus sesuai dengan konteks sosialnya. Melalui narasi Lukas 10:25-37

    dapat disimpulkan bahwa peduli dan berpihak kepada orang-orang marginal menjadi

    bagian terpenting untuk memanusiakan manusia. Sebab secara teoritis memanusiakan

    manusia terlihat mudah tapi untuk melakukannya menjadi tugas yang sulit. Hal ini jelas

    dalam peristiwa di Kali Code digambarkansecara jelas tentang perjuangan Mangunwijaya

    untuk membela orang-orang marginal tanpa menggunakan kekerasan. Dengan demikian

    upaya untuk memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan harus dilandaskan dengan

    73

    Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 19. 74

    Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 20. 75

    Boland dan Naipospos, Injil Lukas, 273. 76

    Levine, The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish Jesus, 23.

  • 23

    kasih universal agar keadilan dan kesetaraan dapat dilakukan dalam kehidupan

    bermasyarakat.

    4.2.4 Hidup Kekal sebagai Dimensi Transendental

    Hidup kekal sebagai dimensi transendental terwujud dalam perjumpaan

    antarmanusia. Hal ini ditunjukkan oleh Lukas dalam dialog yang dilakukan oleh ahli

    Taurat dan Yesus mengenai “apa yang harus diperbuat untuk memperoleh hidup yang

    kekal” (ayat 25). Dialog tersebut merujuk kepada dasar dalam memahami perjalanan

    manusia menuju transendental. Dengan adanya hal itu terdapat perdebatan antara ahli

    Taurat dan Yesus yang digambarkan Lukas untuk menemukan jalan tersebut.

    Perdebatan yang digambarkan oleh Lukas berkaitan dengan hukum yang berlaku

    tentang mengasihi Tuhan, sesama dan diri sendiri. Namun dalam perdebatan itu

    difokuskan tentang siapa sesama manusia. Hal ini menjadi alasan Lukas untuk

    menggunakan perumpamaan tentang orang Samaria sebagai media pengajaran. Dalam

    pengajaran tersebut secara jelas Lukas menggambarkan bahwa seorang Samaria mungkin

    lebih dekat kepada Kerajaan Allah dari pada ahli Taurat dan orang Yahudi lainnya.77

    Sebab dalam pengajaran tersebut orang Samaria memiliki belas kasihan dalam

    memandang korban penyamun. Dengan demikian untuk memperoleh hidup yang kekal

    seharusnya memiliki belas kasihan dalam memanusiakan manusia yang tidak

    dimanusiakan sehingga seorang manusia dapat menemukan jalan menuju dimensi

    transendental.

    Konsep tentang dimensi transendental menurut pandangan Lukas sedikit berbeda

    dengan konsep transendental menurut Mangunwijaya meskipun sama-sama menekankan

    tentang kasih universal. Dalam perumpamaan orang Samaria, dimensi transendental

    menurut Lukas memiliki tujuan yang jelas untuk memperoleh hidup yang kekal,

    sedangkan dimensi transendental menurut Mangunwijaya terjadi dalam perjumpaan antar

    manusia. Konsep dimensi transendental menurut Mangunwijaya ditunjukkan melalui

    pernyataan tentang menjadi pribadi yang baik dan manusia yang memanusiakan sehingga

    melalui hal itu manusia menemukan jalan kepada pencipta-Nya.78

    Dengan demikian

    77

    Marshall, Tafsiran Alkitab Abad ke 21, 169. 78

    Mangunwijaya, Memuliakan Allah, Mengangkat Manusia, 21.

  • 24

    dalam relasi antar manusia untuk saling mengasihi bukan hanya persoalan antar manusia

    tetapi sampai pada dimensi transendental atau sampai kepada dimensi Ilahi.

    4.3 Kesimpulan

    Membaca Lukas 10:25-37 dengan perspektif humanisme Mangunwijaya telah

    menemukan empat poin penting di dalamnya yaitu pembebasan terhadap orang-orang

    marginal, perumpamaan sebagai pedagogis, keadilan dan kesetaraan manusia serta hidup

    kekal sebagai dimensi transendental. Dalam keempat poin ini menjelaskan tentang

    pentingnya memanusiakan manusia yang berlandaskan dengan kasih universal untuk

    menciptakan keadilan dan kesetaraan dalam masyarakat. Selain itu, pengajaran yang

    digambarkan oleh Lukas dengan jelas mengritisi dan membimbing ahli Taurat untuk

    memahami arti sesama secara universal. Sebab semua orang akan menjadi sesama

    sehingga harus memiliki sikap memanusiakan manusia untuk dapat memanusiakan

    manusia lain tanpa melihat latar belakang kehidupan. Selain itu, memanusiakan manusia

    mampu untuk menunjukkan jalan pada dimensi transendental sebagai tujuan dari hidup

    manusia. Dengan demikian, memanusiakan manusia bukan hanya teori tetapi tindakan

    yang harus dilakukan dalam masyarakat sama seperti yang dilakukan oleh Mangunwijaya

    dalam konteks Indonesia.

    5. Penutup

    5.1 Kesimpulan

    Dengan menggunakan teori humanisme Mangunwijaya dalam membaca Lukas

    10:25-37 melalui studi hermeneutik, dapat disimpulkan bahwa memanusiakan manusia

    merupakan tindakan praksis yang harus dilakukan dalam masyarakat. Namun untuk

    melakukan kemanusiaan tersebut harus disesuaikan dengan konteks sosial budayanya

    karena permasalahan tentang kemanusiaan sangat dekat dengan kehidupan masyarakat.

    Keberpihakan kepada orang-orang marginal hingga dianggap sebagai pemberontak

    terhadap pemerintah harus dilakukan untuk membebaskan orang-orang marginal dari

    penindasan dan sikap diskriminasi yang terdapat dalam kebijakan dehumanis. Selain itu,

    narasi ini akan membimbing dan mengritisi sikap eksklusivitas yang masih terjadi

    sehingga manusia seharusnya melakukan tindakan kemanusiaan tanpa melihat latar

    belakang kehidupan. Dalam hal ini, perlu adanya pengambilan keputusan etis untuk

  • 25

    memanusiakan manusia yang dilandaskan dengan kasih universal. Sebab melakukan

    kemanusiaan merupakan jalan menuju dimensi transedental. Artinya dengan bersikap etis

    dengan melakukan kemanusiaan dapat menjadi manusia yang baik dan menemukan jalan

    kepada Pencipta. Akhirnya memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan melalui

    studi hermeneutik dapat dilakukan dalam membaca teks Lukas 10:25-37 dengan

    menggunakan perspektif humanisme menurut Mangunwijaya.

    5.2 Saran

    Narasi Lukas 10:25-37 merupakan narasi yang sangat disukai dan menjadi teks

    yang penting dalam kehidupan bergereja. Berdasarkan dengan hal itu penulis hendak

    memberikan saran dan relevansi yang dapat dilakukan pada masa kini. Saran dan

    relevansi ini akan ditujukan kepada gereja dan masyarakat secara umum dalam

    memanusiakan manusia yang tidak dimanusiakan melalui sikap praksis.

    Dalam peraturan PGI yang terkandung dalam Pokok-Pokok Panggilan Bersama

    (PPPB) memuat mengenai keharusan gereja untuk membentuk persekutuan yang inklusif

    terhadap sesama manusia. Hal tersebut ditunjukkan melalui sikap gereja yang harus

    meningkatkan hubungan dan kerjasama antar umat beragama serta percaya kepada Tuhan

    Yang Maha Esa untuk menanggulangi masalah-masalah yang dihadapi baik itu masalah

    kemiskinan, keadilan, perdamaian dan lain sebagainya.79

    Secara realitas aturan PGI

    berbeda dengan gereja secara umum. Sebab hubungan dan kerja sama antar umat

    beragama belum terlaksana dengan baik sebab masih ada gereja yang bersifat

    eksklusivitas. Selain itu, gereja-gereja terkesan bungkam atas sikap diskriminasi dan

    penindasan yang terjadi pada masa kini sehingga memanusiakan manusia pun sulit

    dilakukan dalam bentuk praksis. Dengan demikian seharusnya gereja merefleksikan

    setiap kekurangan dan melakukan tindakan memanusiakan manusia sebagai upaya dalam

    meneladani tindakan Yesus. Salah satu upaya untuk memanusiakan manusia ialah

    bersikap inklusif, toleransi dan membantu sesama manusia yang berkekurangan. Sebab

    memanusiakan manusia yang dilandaskan dengan kasih akan membawa manusia dalam

    79

    Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Dokumen keesaan Gereja: Persekutuan Gereja-Gereja di

    Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016), 65.

  • 26

    hidup yang damai dan indah dalam keberagaman. Akhirnya narasi Lukas 10:25-37 tidak

    dipandang sebagai teoritis tetapi dapat dilakukan dalam kehidupan bermasyarakat.

  • 27

    Daftar Pustaka

    Boland, B.J dan Naispospos, P.S. Injil Lukas. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2015.

    Budiman, Arief et al. Pergulatan Intelektual dalam Era Kegelisahan. Yogyakarta:

    Kanisius, 1999.

    Drane, John. Memahami Perjanjian Baru: Pengantar HistorisTeologis. Jakarta: BPK

    Gunung Mulia, 2016.

    Drewes, B.F. Satu Injil Tiga Pekabar. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2012.

    Groenen OFM, Dr,C, Pengantar ke dalam Perjanjian Baru.Yogyakarta: Kanisius, 1984.

    Hardiman, Budi. Seni Memahami. Yogyakarta: Kanisius, 2015.

    Hunter, A.M. Menafsirkan Perumpamaan-Perumpamaan Yesus. Jakarta: BPK Gunung

    Mulia, 2001.

    Indratno, Ferry et al dalam forum Mangunwijaya IV. Penziarahan Panjang Humanisme

    Mangunwijaya. Jakarta: Kompas Media Nusantara, 2009.

    Knoppers, Gary. Jews and Samaritans: The Origins and History of Their Early Relation.

    New York: Oxford University, 2013.

    Leks, Stefan. Tafsir Injil Lukas. Yogyakarta: Kanisius, 2003.

    Levine, Amy Jill. The Misunderstood Jew: The Church and The Scandal of The Jewish

    Jesus. USA: Harper Collins e-book, 2006.

    Mangunwijaya, Y.B. Paradigma Baru Pendidikan Rakyat. Jakarta: Majalah Prisme no.7,

    1980

    ------------. Pasca Indonesia Pasca Einstein. Yogyakarta: Kanisius, 1999.

    ------------. Merintis RI yang Manusiawi: Republik Yang Adil dan Beradab. Jakarrta:

    Erlangga, 1999.

    ------------. Memuliakan Allah Mengangkat Manusia. Yogyakarta: Kanisius, 1999

    Marshall, I. Howard, diterjemahkan..Tafsiran Alkitab Abad ke 21. Jakarta: Yayasan

    Komunikasi Bina Kasih, 2017.

    Marxsen, Willi. Pengantar Perjanjian Baru: Pendekatan Kritis terhadap Masalah-

    Masalahnya. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2000

    Palmer, Richard. Hermeneutika: Teori Baru Mengenal Interpretasi.Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar, 2015.

    Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia, Dokumen keesaan Gereja: Persekutuan Gereja-

    Gereja di Indonesia (DKG-PGI) 2014-2019. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2016.

    Setyawan, Yusak. Hermeneutik Perjanjian Baru: Suatu Perkenalan. Salatiga: Fakultas

    Teologi UKSW, 2016.

  • 28

    Sindhunata dkk. Menjadi Generasi Pasca Indonesia: Kegelisahan Y.B. Mangunwijaya.

    Yogyakarta: Kanisius, 1999.

    Suseno, Franz Magnis. Menalar Tuhan. Yogyakarta: Kanisius, 2006.

    Wahid, Abdurahman et al. Romo Mangun di Mata Para Sahabat. Yogyakarta: Kanisius,

    1999

    Jurnal:

    Margianto, Aris. Perkembangan Tafsir Perjanjian Lama dan Pembacaan Kitab Ayub

    Bersama dengan Orang-orang yang hidup dengan HIV/AIDS. Indonesian

    Journal of Theology(2017). Diakses 12 Agustus 2019.

    Mulyadi, Mulki. Krisis Moneter 1997-1998: Sebab dan Dampaknya Terhadap

    Perekonomian Indonesia. Academia Journal(2019). Diakses 7 Agustus 2019.

    Febrianus, Leo. Pendidikan Pemerdekaan Menurut Romo Mangun. Academia Journal

    (2019). Diakses 7 Agustus 2019.

    Skripsi

    Tondok, Marselius Sampek. “Skripsi tentang Humanisme dalam Perspektif Iman

    Kristiani.” Yogyakarta: Universitas Sanata Dharma, 1998.

    Website

    Situmorang, Parhorasan. “Perjumpaan dengan Romo Mangun, Artidjo Alkostar dan

    Busyro Muquddas di Kali Code”. Kompasiana (Oktober

    2016).https://www.kompasiana.com/parhorasan/5813279aba22bd37285e511e/perjumpaa

    n-romo-mangun-artidjo-alkostar-dan-busyro-muqoddas-di-kali-code-inspirasi-bagi-

    pemuda, Diakses 27 September 2018.

    https://www.kompasiana.com/parhorasan/5813279aba22bd37285e511e/perjumpaan-romo-mangun-artidjo-alkostar-dan-busyro-muqoddas-di-kali-code-inspirasi-bagi-pemudahttps://www.kompasiana.com/parhorasan/5813279aba22bd37285e511e/perjumpaan-romo-mangun-artidjo-alkostar-dan-busyro-muqoddas-di-kali-code-inspirasi-bagi-pemudahttps://www.kompasiana.com/parhorasan/5813279aba22bd37285e511e/perjumpaan-romo-mangun-artidjo-alkostar-dan-busyro-muqoddas-di-kali-code-inspirasi-bagi-pemuda