tugas agama peradaban islam masa modern
TRANSCRIPT
B. SEJARAH PERADABAN ISLAM PADA MASA MODERN
Periode transformasi modern peradaban Islam secara garis besar dpt dibagi menjadi 3 fase, &
sekaligus memperlihatkan beberapa gambaran umum yg berlaku di seluruh kawasan muslim,
di antaranya :
1. Fase pertama, merupakan periode antara akhir abad 18 sampai awal abad 20, yg
ditandai dgn hancurnya sistem kenegaraan muslim & dominasi teritorial & komersial
Eropa. Dalam fase ini elit politik, agama, & kesukuan masyarakat muslim berusaha
menetapkan pendekatan keagamaan & ideologi baru bagi perkembangan internal
masyarakat mereka.
2. Fase kedua, yaitu fase pembentukan nasional yg berlangsung setelah Perang Dunia I
sampai pertengahan abad 20. Dalam fase ini kalangan elit negeri-negeri muslim
berusaha membawakan identitas politik modern terhadap masyarakat mereka &
berusaha memprakarsai pengembangan ekonomi serta perubahan nasional.
3. Fase ketiga, ialah fase konsolidasi negara-negara nasional di seluruh kawasan
muslim.
Dunia Islam abad XX ditandai dengan kebangkitan dari kemunduran dan kelemahan secara
budaya maupun politik setelah kekuatan Eropa mendominasi mereka. Eropa bisa menjajah
karena keberhasilannya dalam menerapkan strategi ilmu pengetahuan dan teknologi serta
mengelola berbagai lembaga pemerintahan. Negeri-negeri Islam menjadi jajahan Eropa akibat
keterbelakangan dalam berbagai aspek kehidupan.
a. Dunia Islam Abad XX
Keunggulan - keunggulan Barat dalam bidang industri, teknologi, tatanan politik, dan militer
tidak hanya menghancurkan pemerintahan negara-negara muslim yang ada pada waktu itu,
tetapi lebih jauh dari itu, mereka bahkan menjajah negara - negara muslim yang
ditaklukkannya, sehingga pada penghujung abad XIX hampir tidak satu negeri muslim pun
yang tidak tersentuh penetrasi kolonial Barat. Sebagaimana diketahui bahwa pada tahun 1798
M, Napoleon Bonaparte menduduki Mesir. Walaupun pendudukan Perancis itu berakhir dalam
tiga tahun, mereka dikalahkan oleh kekuatan Angkatan Laut Inggris, bukan oleh perlawanan
1
masyarakat muslim. Hal ini menunjukkan ketidakberdayaan Mesir – salah satu pusat Islam
untuk menghadapi kekuatan Barat.
Sejak Napoleon menduduki Mesir, umat Islam mulai merasakan dan sadar akan kelemahan
dan kemundurannya, sementara mereka juga merasa kaget dengan kemajuan yang telah
dicapai Barat. Gelombang ekspansi Barat ke negaranegara muslim yang tidak dapat
dibendung itu memaksa para pemuka Islam untuk mulai berpikir guna merebut kembali
kemerdekaan yang dirampas. Salah seorang tokoh yang pikirannya banyak mengilhami
gerakan - gerakan kemerdekaan adalah Sayyed Jamaluddin Al Afghani. Ia dilahirkan pada
tahun 1839 di Afghanistan dan meninggal di Istambul 18973. Pemikiran dan pergerakan yang
dipelopori Afghani ini disebut Pan-Islamisme, yang dalam pengertian luas berarti solidaritas
antara seluruh umat muslim di dunia internasional.
Tema perjuangan yang terus menerus dikobarkan oleh Afghani dalam kesempatan apa saja
adalah semangat melawankolonialisme dengan berpegang kepada tema-tema ajaran Islam
sebagai stimulasinya. Murtadha Muthahhari menjelaskan bahwa diskursus tema-tema itu
antara lain diseputar: Perjuangan melawan absolutisme para penguasa;Melengkapi sains dan
teknologi modern, Kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya, Iman dan keyakinan
aqidah, Perjuangan melawan kolonial asing, Persatuan Islam; Menginfuskan semangat
perjuangan dan perlawanan kedalam tubuh masyarakat Islam yang sudah separo mati; dan
Perjuangan melawan ketakutan terhadap Barat
Disamping Afghani, terdapat dua orang ahli pikir Arab lainnya yang telah mempengaruhi
hampir semua pemikiran politik Islam pada masa berikutnya. Dua pemikir itu adalah
Muhammad Abduh(1849-1905) dan Rasyid Ridha(1865-1935). Mereka sangat dipengaruhi
oleh gagasan-gagasan guru mereka yakni Afghani, dan berkat mereka berdualah pengaruh
Afghani diteruskan untuk mempengaruhi perkembangan nasionalisme Mesir. Seperti halnya
Afghani dan Abduh, Ridha percaya bahwa Islam bersifat politis, sosial dan spiritual. Untuk
membangkitkan sifat-sifat tersebut, umat Islam mesti kembali kepada Islam yang sebenarnya
sebagaimana yang diajarkan oleh Nabi dan para sahabatnya atau para salafiah.
2
Untuk menyebarkan gagasan - gagasannya ini Ridha menuangkannya dalam bingkai tulisan -
tulisan yang terakumulasi dalam majalah Al Manar yang dipimpinnya. Di daratan Eropa,
Syakib Arsalan selalu memotori gerakan - gerakan guna kemerdekaan Arab. Misi Arsalan
adalah menginternasionalkan berbagai masalah pokok yang dihadapi negara-negara muslim
Arab yang berasal dari kekuasaannegara-negara Barat; dan menggalang pendapat seluruh
orang Islam Arab sehingga membentuk berdasarkan ikatan keIslaman, mereka dapat
memperoleh kemerdekaan dan memperbaiki tata kehidupan sosial yang lebih baik5.
Sementara pimpinan masyarakat Druze dan pembesar Usmaniyah yang mengasingkan diri ke
Eropa setelah Istambul diduduki Inggris ini menyebarluaskan propagandanya melalui berbagai
penerbitan berkala, diantarannya melalui jurnal La Nation Arabe yang dicetak di Annemasse
Prancis. Meskipun pada awalnya Arsalan mengambil alih konsep - konsep Pan-Islamismenya
Afghani karena merasakan perlunaya pemabaharuan dalam masyarakat, namun dalam
praktiknya, ia lebih menitikberatkan perjuanggannya pada Pan - Arabisme. Gerakan
perjuangan yang dilakukan oleh para tokoh tersebut, walaupun belum mencapai hasil yang
diinginkan yakni kemerdekaan, namun gema pemikiran Islam mereka sangat mewarnai era
generasi selanjutnya, untuk membebaskan negerinya dari penetrasi kolonial Barat.
b. Pembebasan Diri dari Kolonial Barat
Gerakan kemerdekaan yang dilakukan oleh umat Islam selalu kandas ketika berhadapan
dengan kolonialis Barat, tentu saja, karena teknologi dan militer mereka jauh lebih maju dari
yang dimiliki umat Islam. Menurut Afghani, untuk menanggapi tantangan Barat, umat Islam
harus mempelajari contoh - contoh darinya. Tentu saja tidak semua komunitas Islam
sependapat dengan yang dimaksud belajar atau berguru kepada Barat. Para ulama tradisional
tetap mempertahankan corak non-koperatifnya, sementara putra - putra negeri jajahan
gelombang demi gelombang belajar kepada penjajah atau di sekolah-sekolah yang
sengaja diadakan di negeri jajahannya.
Dengan demikian, terdapat dua kelompok pejuang kemerdekaan dengan basisnya masing-
masing, ada yang sifatnya nonkoperatif yang basisnya lembaga - lembaga pendidikan agama -
di Indonesia pesantren, sedang di Asia Tengah dan Barat serta Afrika basisnya pada
3
kelompok - kelompok tarekat-dan yang bercorak kooperatif yaitu pakar terpelajar dengan
pendidikan Barat.
Pada pertengahan pertama abad XX terjadi perang dunia kedua yang melibatkan seluruh
negara kolonialis. Seluruh daratan Eropa dilanda peperangan, disamping Amerika, Rusia dan
Jepang. Kecamuk perang ini disatu sisi melibatkan Jepang, Hitler dengan Nazi Jermannya,
dan Mussolini dengan Fasis Italianya, dan disisi lain terdapat Inggris, Perancis, dan Amerika
yang bersekutu, serta Rusia.
Konsekuensi atas terjadinya peperangan ini adalah terpusatnya konsentrasi kekuatan militer di
kubu masing-masing negara, baik untuk keperluan ofensif maupun defensif.
Pengkonsentrasian kekuatan militer tersebut mengakibatkan ditarik dan berkurangnya
kekuatan militer kolonialis dinegeri-negeri jajahan mereka.
Dalam masa itu, negara muslim tidak terlibat langsung dalam perang dunia kedua sehingga
pemikiran mereka waktu itu terkonsentrasi pada perjuangan untuk kemerdekaan negerinya
masing-masing, dan kondisi dunia yang berkembang pada saat itu memungkinkan tercapainya
cita-cita luhur tersebut. Mulai saat itu negara negara muslim yang terjajah memproklamirkan
kemerdekaannya. Usaha untuk memulihkan kembali kekuatan Islam pada umumnya yang
dikenal dengan gerakan pembaharuan didorong oleh dua faktor yang saling mendukung, yaitu
pemurnian ajaran Islam dari unsur-unsur asing yang dipandang sebagai penyebab
kemunduran Islam, dan menimba gagasan-gagasan pembaharuan dan ilmu pengetahuan dari
Barat. Gerakan pembaharuan itu dengan segera juga memasuki dunia politik, karena Islam
memandang tidak bisa dipisahkan dengan politik. Gagasan politik yang pertama kali muncul
adalah
gagasan Pan - Islamisme yang mula-mula didengungkan oleh gerakan Wahabiyah dan
Sanusiah. Namun, gagasan ini baru disuarakan dengan lantang oleh tokoh pemikir Islam
terkenal, Jamaluddin Al Afghani [1839-1897 M].
Jika di Mesir bangkit dengan nasionalismenya, dibagian negeri Arab lainnya lahir gagasan
nasionalisme Arab yang segera menyebar dan mendapat sambutan hangat, sehingga
4
nasionalisme itu terbentuk atas dasar kesamaan bahasa. Demikianlah yang terjadi di Mesir,
Syria, Libanon, Palestina, Irak, Hijaz, Afrika Utara, Bahrein, dan Kuweit. Di India, sebagaimana
di Turki dan Mesir gagasan Pan - Islamisme yang dikenal dengan gerakan Khilafat juga
mendapat pengikut, pelopornya adalah Syed Amir Ali ( 1848 - 1928 M ). Gagasan itu tidak
mampu bertahan lama, karena terbukti dengan ditinggalkannya gagasan-gagasan tersebut
oleh sebagian besar tokoh-tokoh Islam. Maka, umat Islam di anak benua India ini tidak
menganut nasionalisme, tetapi Islamisme yang dalam masyarakat India dikenal dengan nama
komunalisme.
Sementara di Indonesia, partai politik besar yang menentang penjajahan adalah Sarekat Islam
[SI], didirikan pada tahun 1912 dibawah pimpinan HOS Tjokroaminoto. Partai ini merupakan
kelajutan dari Sarekat Dagang Islam [SDI] yang didirikan oleh H. Samanhudi pada tahun 1911.
Tidak lama kemudian, partaipartai politik lainnya berdiri seperti Partai Nasional Indonesia (PNI)
didirikan oleh Soekarno, Pendidikan Nasional Indonesia [PNI-Baru], didirikan oleh Muhammad
Hatta [1931], Persatuan Muslimin Indonesia [PERMI] yang baru menjadi partai politik pada
tahun 1932, dipelopori oleh Mukhtamar Luthfi8. Munculnya gagasan nasionalisme yang diikuti
dengan berdirinya partai-partai politik merupakan modal utama umat Islam dalam
perjuangannya untuk mewujudkan negara merdeka yang bebas dari pengaruh politik Barat,
dalam kenyataannya, memang partai-partai itulah yang berjuang melepaskan diri dari
kekuasaan penjajah.
Perjuangan mereka biasanya teraplikasi dalam beberapa bentuk kegiatan, seperti gerakan
politik, baik dalam bentuk diplomasi maupun dalam bentuk pendidikan dan propaganda yang
tujuannya adalah mempersiapkan masyarakat untuk menyambut dan mengisi
kemerdekaan.Adapun negara berpenduduk mayoritas muslim yang pertama kali berhasil
memproklamasikan kemerdekaannya adalah Indonesia, yaitu pada tanggal 17 Agustus 1945.
Indonesia merdeka dari pendudukan Jepang setelah Jepang dikalahkan oleh tentara sekutu.
Akan tetapi, rakyat Indonesia harus mempertahankan kemerdekaannya itu dengan perjuangan
bersenjata selama lima tahun berturut-turut karena Belanda yang didukung oleh tentara sekutu
berusaha menguasai kembali kepulauan ini.
5
Negara muslim kedua yang merdeka dari penjajahan adalah Pakistan, yaitu tanggal 15
Agustus 1947 ketika Inggris menyerahkan kedaulatannya di India kepada dua Dewan
Konstitusi, satu untuk India dan lainnya untuk Pakistan-waktu itu terdiri dari Pakistan dan
Bangladesh sekarang-. Di Timur Tengah, Mesir misalnya, secara resmi memperoleh
kemerdekaannya dari Inggris pada tahun 1922. akan tetapi, pada saat kendali pemerintahan
dipegang oleh Raja Farouk pengaruh Inggris sangat besar. Baru pada waktu pemerintahan
Jamal Abd al Nasser yang menggulingkan raja Farouk 23 Juli 1952, Mesir menganggap
dirinya benar - benar merdeka. Mirip dengan Mesir, Irak merdeka secara formal pada tahun
1932, tetapi rakyatnya baru merasakan benar-benar merdeka pada tahun 1958. sebelum itu,
negara-negara sekitar Irak telah mengumumkan kemerdekaannya seperti Syria, Yordania, dan
Libanon pada tahun 1946. Di Afrika, Libya merdeka pada tahun 1951 M, Sudan dan Maroko
tahun 1956 M, serta Aljazair merdeka pada tahun 1962 M yang kesemuanya itu
membebaskan diri dari Perancis. Dalam waktu yang hampir bersamaan, Yaman Utara dan
Yaman Selatan, serta Emirat Arab memperoleh kemerdekaannya pula. Di Asia Tenggara,
Malaysia yang waktu itu merupakan bagian dari Singapura mendapat kemerdekaan dari
Inggris pada tahun 1957, dan Brunei Darussalam baru pada tahun 1984
B. Pemikiran Islam Modern
Berawal dari kegelisahan umat Islam pada saat itu, yaitu banyaknya muncul
penyelewengan-penyelewengan ajaran Islam, baik di kalangan masyarakat biasa, maupun
dalam tingkatan politik dan pendidikan. Maka diperlukan adanya proses modernisasi maupun
pembaharuan baik di bidang politik, pendidikan dan akidah.
Selain itu, salah satu sebab perlunya perkembangan modern dalam Islam adalah
karena dalam agama terdapat ajaran-ajaran absolute mutlak benar, kekal tidak berubah dan
tidak bisa diubah. Ajaran-ajaran itu diyakini sebagai dogma dan sebagai akibatnya timbulllah
sikap dogmatis agama. Sikap dogmatis membuat orang tertutup dan tak bisa menerima
pendapat yang bertentangan dengan dogma-dogma yang dianutnya. Dogmatisme membuat
orang bersikap tradisional, emosional dan tidak rasional. Pembaharuan dalam hal apapun,
termasuk dalam konteks keagamaan (pemahaman terhadap ajaran agama) akan terus dan
selalu terjadi sebab cara dan pola berpikir manusia serta kondisi social masyarakat selalu
6
berubah seiring dengan kemajuan ilmu pengetahuan di segala bidang yang akhirnya
membuahkan tekhnologi yang semakin canggih. Lain dari pada itu kemunduran dan stagnasi
berpikir umat sebagai buah dari fanatisme serta adanya "pihak luar" yang ingin
merekomendasi dan menguasai, mendorong sebagian pemikir untuk mengadakan
pembaharuan.
Upaya pembaharuan dalam Islam mempunyai alur yang panjang khususnya sejak
bersentuhan dengan dunia Barat, untuk memahami makna dan hakekat pembaharuan. Dan
yang masih menjadi pertanyaan besar adalah mengapa umat Islam masih tertinggal dari dunia
Barat (setelah dahulu mengalami masa keemasan). Penjajahan oleh bangsa Barat terhadap
bangsa-bangsa Islam semakin memperjelas ketinggalan dunia Islam akan segala hal. Bangsa
yang pertama kali merasakan ketertinggalan itu adalah Turki Usmani. Disebabkan karena
bangsa ini yang pertama dan yang utama menghadapi kekuatan Barat.
Pembaharuan yang dilakukan Turki Usmani diutamakan dalam pranata social, politik,
dan militer. Kerja keras para penguasa dalam upaya memodernisasi kerajaan Turki Usmani
membawa dampak yang baik bagi gerakan modern di Negara-negara Islam lainnya seperti
Mesir. Pada dasarnya kelemahan dunia Islam itu terletak pada bidang akidah yang sudah
tercemari oleh berbagai khurafat dan bid'ah, juga kelemahan dan ketertinggalan dalam bidang
sains dan tekhnologi. Kemudian kehadiran para tokoh modernis (pembaharu) itu pada
umumnya untuk membangkitkan kesadaran umat Islam. Berikut tokoh dan pemikirannya yang
ikut andil dalam mempebaharui kebangkitan Islam.
1. Pembaharuan dalam Bidang Akidah
Muhammad ibn Abdul Wahhab
Pemikiran Muhammad ibn Wahhab mempengaruhi
dunia Islam di masa modern sejak abad kesembilan belas.
Walaupun ia sendiri hidup di abad sebelumnya, tetapi
pemikirannya mengilhami gerakan-gerakan pembaharuan
Islam pada abad setelahnya. Bahkan sisa-sisanya masih
terasa hingga kini.[18]
7
Muhmammad Ibn Abdul Wahhab
Muhammad ibn Abdul Wahab lahir di Uyainah, Nejd Arabia Tengah pada tahun 1115
– 1703 M. Ayahnya Abdul Wahhab adalah seorang hakim di kota kelahirannya. Di masa
pemerintahan Abdullah ibn Muhammad ibn Muammar dan mengajar fiqh dan hadis di
masjid kota tersebut. Kakeknya Sulaiman, adalah seorang mufti di Nejd. Ia mulai belajar
agama dari Ayahnya sendiri dengan membaca dan menghafal al-Qur’an. Di samping
belajar kitab-kitab agama aliran Hanbali, ia berkelana mencari ilmu ke Mekkah, Madinah
dan Basra.
Sebutan Wahhabiyah adalah nama yang diberikan kepada kaum muwahhidun
(kelompok pemurnian tauhid) oleh lawan-lawannya, karena pemimpinnya bernama
Muhammad ibn Abdul Wahab.
Pemikiran keagamaan yang dibawakan olehnya dan menonjol difokuskan pada
pemurnian tauhid, yakni meng-Esa-kan Allah yang tiada sekutu bagi-Nya. Namun, dengan
berjalannya waktu, gerakan mereka berkembang menjadi gerakan politik. Meski demikian,
ia tidak meninggalkan misi asalnya yaitu pemurnian Islam.
Menurutnya, pembagian tauhid dikategorikan menjadi tauhid ilahiyyah, rubbubiyah,
asma, sifat dan tauhid af’al yang disebut juga tauhi ilm dan i’tiqad. Baginya, syirik adalah
orang yang menyekutukan Allah dan tidak akan diampuni oleh Allah dosa yang
disebabkan tersebut. Pembagian syirik menjadi dua, yaitu syirik akbar (syirik yang nyata)
dan syirik asghar (syirik yang tidak tampak) seperti berbuat berlebihan terhadap mahluk
yang tidak boleh seseorang beribadah kepadanya, bersumpah kepada selain Allah dan
riya’
Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di Mesir pada tahun 1849 M,
ayahnya bernama Abdul Hasan Khoirullah yang berasal
dari Turki, dan ibunya seorang Arab yang silsilahnya
sampai kepada suku Umar Bin Khatab. Abduh termasuk
anak yang cerdas, meskipun ia bersal dari keluarga petani
miskin di Mesir. Sejak kecil ia tekun belajar dan
melanjutkan studinya di al Azhar.
8
Muhammad Abduh
Sebagai rektor al-Azhar, ia memasukkan kurikulum filsafat dalam pendidikan di al-Azhar,
upaya ini dilakukan untuk mengubah cara berpikir orang-orang al-Azhar. Akan tetapi
usahanya ini mendapat tantangan keras dari para syekh al Azhar lainnya yang masih
berpikiran kolot. Oleh karena itu, usaha pembaharuan yang dilakukan lewat pendidikan di
al-Azhar tidak berhasil.
Meskipun begitu, ide-ide pembaharuan yang dibawa Abduh, memberikan dampak positif
bagi perkembangan pemikiran dalam dunia Islam. Selain sektor pendidikan, proyek
pembaharuan Abduh menurut professor sejarah Islam di University of Massachuussets
adalah politik dan ranah social keluarga yaitu peran wanita. Disamping tiu, Murodi dalam
tulisannnya menambahkan analisisnya bahwa ide-ide pemikiran Abduh diantaranya
adalah: pembukaan pintu ijtihad, penghargaan terhadap 'akal' (Rasionalitas), kekuasaan
Negara harus dibatasi oleh konstitusi, memodernisasikan sistem pendidikan Islam di al
Azhar
Muhammad Rasyid Ridha
Rasyid Ridho dilahirkan di al Qalamun, di pesisir laut Tengah,
pada tanggal 23 September 1865 M. Pendidikan bermula di
madrasah al Kitab al Qalamun, kemudian di madrasah ar
Rasyidiah di Tropoli.
Selanjutnya beliau melanjutkan pendidikan tingginya di al Azhar
1898 M dan berguru pada Muhammad Abduh. Diantara
pembaharuannya adalah: pembaharuan dalam bidang agama,
social, ekonomi, memberantas khurafat dan bid'ah. Serta paham-
paham yang dibawa tarekat.
Adapun ide-ide pembaharuannya adalah: menumbuhkan sikap aktif dan dinamis di
kalangan umat, mengajak untuk meninggalkan sikap fatalisme (jabariyah), rasionalitas
dalam penafsiran al Qur'an dan Hadis, penguasaan sains dan tekhnologi, pemberantasan
khurafat dan bid'ah, serta pemerintahan yang bersistem khalifah.
9
Muhammad Rasyid Ridha
2. Pembaharuan dalam Bidang Politik
Jamaluddin al-Afghani
Jamaluddin lahir di Afganisan tahun 1839 dan meninggal di Istanbul tahun 1897. Ia
termasuk pembaharu yang berpengaruh di dunia Islam. Saat usia 25 tahun, ia menjadi
pembantu Pangeran Dost Muhammad Khan di Afganistan, dan pada tahun 1864 menjadi
penasehat Sir Ali Khan. Serta pernah diangkat sebagai Perdana Menteri oleh Muhammad
A’zam Khan beberapa tahun kemudian.
Ketika menjadi Perdana Menteri, Inggris sudah ikut campur
dalam urusan nergeri Afganistan, maka Jamaluddin termasuk
salah satu orang yang menentangnya. Karena kalah melawan
Inggris, maka ia lebih baik meninggalkan negerinya dan pergi
menuju ke India. Sejak itulah, ia berpindah-pindah
kewarganegaraan. Pernah ke Paris dan Turki. Perpindahan itu
juga dalam rangka membangkitkan umat Islam.
Dalam pola pikirnya, ia berpendapat bahwa kemunduran umat Islam, salah satu sebabnya
adalah meninggalkan ajaran-ajaran Islam yang sebenarnya. Ajaran qada’ dan qadar telah
berubah menjadi ajaran fatalisme yang menyebabkan umat menjadi statis. Sebab-sebab
lain adalah perpecahan di kalangan umat Islam sendiri, yaitu lemahnya persaudaraan
antar umat Islam dan lain-lain. Untuk mengatasi semua itu, menurutnya umat Islam harus
kembali kepada ajaran Islam yang benar, mensucikan hati, memuliakan ahlak, berkorban
untuk kepentingan umat, pemerintahan otokratis harus diubah menjadi demokratis. Dan
persatuan umat harus diwujudkan sehingga umat akan maju sesuai tuntutan zaman.
Selain itu, ia menegaskan bahwa solidaritas sesama muslim bukan karena ikatan etnik
maupun rasial, tetapi karena ikatan agama. Muslim entah dari bangsa mana datangnya,
walau pada mulanya kecil akan berkembang dan diterima oleh suku dan bangsa lain
seagama selagi ia masih menegakkan hukum agama. Ide yang terahir inilah merupakan
ide orisianal darinya, yang dikenal dengan Pan Islamisme, persaudaraan sesame umat
Islam sedunia
10
Jamaluddin al Afgani
Muhammad Ali Pasya
Muhammad Ali Pasya adalah orang pertama yang membuka jalan pembaharuan di Mesir,
kemudian beberapa tahun di akui sebagai the founder of modern egypte. Berasal dari
Turki, kelahiran Yunani pada tahun 1765 dan wafat pada tahun 1849. Sejak kecil beliau
telah bekerja keras untuk keperluan hidupnya, sehingga tidak mempunyai waktu untuk
sekolah dengan demikian beliau tidak pandai baca tulis. Setelah dewasa Ali Pasya bekerja
sebagai pemungut pajak dan karena rajin bekerja beliau disukai oleh gubernur yang
akhirnya diangkat menjadi menantu.
Pada waktu penyerangan Napoleon ke Mesir, Sultan Turki
mengirim bantuan tentara ke Mesir, di antara perwiranya adalah
Muhammad Ali Pasya yang ikut melawan Napoleon pada tahun
1801[24], setelah itu diangkat menjadi colonel dan mulai saat itu
Ali Pasya menjadi penguasa tunggal di Mesir. Akan tetapi ia
keasikan dengan kekuasaannya dan bertindak diktator. Akhirnya
Muhammad Ali dan keturunannya menjadi raja di Mesir kurang
lebih 1,5 abad lamanya. Akhir kekuasaanya pada tahun 1953.
Jika diteliti Muhammad Ali Pasya tidak pandai baca tulis, tetapi
beliau seorang yang cerdas dan merupakan sosok ambisius
menjadi penguasa umat Islam. Keambisiusannya itu tampak
dalam pembaharuan yang dilakukan terhadap kemajuan umat
Islam, diantaranya: perkembangan politik dalam negeri maupun
luar negeri, seperti membangun kekuatan militer, meningkatkan
bidang pemerintahan, ekonomi dan pendidikan.
3. Pembaharuan dalam Bidang Pendidikan
al Tahtawi
Nama aslinya adalah Rifa'ah Badhawi Rafi' al Tahtawi, lahir
pada tahun 1801 di Mesir Selatan, wafat tahun 1873 di Kairo.
Seorang pembaharu yang mempunyai pengaruh besar pada
abad ke-19 dan seorang yang sangat berpengaruh dalam
usaha-uasaha gerakan pembaharuan yang dilakukan oleh
11
Muhammad Ali Pasya
Al Tahtawi
Muhammad Ali Pasya. Al Tahtawi belajar di al Azhar Mesir, dan setelah kembali diangkat
menjadi sebagai guru bahasa Perancis dan penerjemahan di sekolah kedokteran
Pada tahun 1836 didirikan sekolah penerjemah yang kemudian dikepalai oleh al Tahtawi.
Beliau bukan seorang penganut sekuler, usahanya adalah memperbaiki tradisi,
khususnya dalam bidang pendidikan, kewanitaan dan memperbaiki literature. Beliau
menginginkan Mesir maju seperti dunia Barat, namun tetap dijiwai oleh agama dalam
segala aspek.
Salah satu jalan untuk kesejahteraan menurutnya adalah, berpegang pada agama dan
akhlak budi pekerti, untuk itu pendidikan merupakan sarana penting. Tujuan dari
pendidikan menurutnya adalah membentuk manusia berkepribadian patriotic dengan
istilah hubbul wathon yaitu mencintai tanah air. Perasaan patriotic itu akan menimbulkan
rasa kebangsaan, persatuan, tunduk dan mematuhi undang-undang, serta bersedia
mengorbankan jiwa dan harta untuk mempertahankan kemerdekaan.
Dalam hal agama dan peranan ulama, al Tahtawi menghendaki agar para ulama selalu
mengikuti perkembangan dunia modern dan mempelajari berbagai ilmu pengetahuan
modern. Ini mengandung arti bahwa pintu ijtihad tetap dibiarkan terbuka lebar. Ide-ide
pembaharuan yang dilontarkan al Tahtawi: ajaran Islam tidak hanya monoton mengurusi
Tuhan akan tetapi kehidupan social juga harus seimbang, kebiasaan dictator raja
seharusnya diganti dengan musyawarah, syari'at harus sesuai dengan perkembangan
modern, para ulama harus belajar filsafat dan ilmu pengetahuan agar syari'at sesuai
dengan kehidupan modern, pendidikan harus bersifat social (termasuk tidak ada
pembedaan bagi perempuan). Umat Islam harus dinamis.
12
13