tsa-2012-0027 2_2
TRANSCRIPT
BAB II
LANDASAN TEORI
2.1 Pengertian Sistem Informasi
Menurut Jeffrey L. Whitten, pada bukunya yang berjudul System Analysis
and Design Methods (Whitten, 2007), secara umum sistem dapat diartikan
sebagai suatu rangkaian prosedur, metode dan cara kerja yang dilakukan untuk
mencapai suatu tujuan tertentu. Sedangkan informasi adalah betuk data yang
telah mengalami pengolahan lebih lanjut sehingga mempunyai kegunaan
tertentu. Pengertian data sendiri adalah suatu keterangan yang masih bersifat
mentah dan memerlukan pengolahan lebih lanjut jika ingin dimanfaatkan.
Bagaimana cara mengolah dan jenis data apa saja yang akan dimanfaatkan,
semuanya tergantung kepada bentuk dan kebutuhan dari tiap organisasi.
Organisasi yang dimaksud dalam tulisan ini adalah kumpulan dari orang yang
bekerja bersama-sama untuk mencapai suatu tujuan tertentu.
Dari penjelasan di atas, pada akhirnya Whitten menyimpulkan bahwa
sistem informasi adalah serangkaian prosedur, metode dan cara kerja dari
sekumpulan orang yang bertujuan untuk mengolah dan memanfaatkan data
yang tersedia guna menghasilkan suatu informasi yang bisa digunakan di
dalam mencapai tujuan tertentu.
Keberhasilan suatu sistem informasi dalam mencapai tujuan dan sasaran
yang telah ditetapkan biasanya diukur dengan efektivitas, di mana efektivitas
itu sedniri berhubungan dengan faktor kualitas dan kuantitas yang bertujuan
5
6
untuk meningkatkan kepuasan user dan kualitas dari Sistem Informasi Remote
Trading.
2.2 Proses Pengembangan Sistem
2.2.1 Siklus Sistem
Suatu sistem selalu mengalami suatu kondisi yang dinamakan
sistem life cycle yang bisa dilihat pada gambar berikut :
Gambar 2.1 Siklus Sistem (sumber : Whitten, 2007)
Berdasarkan gambar di atas bisa dilihat bahwa proses
pengembangan suatu sistem merupakan bagian dari suatu siklus yang
berlangsung terus menerus selama organisasi yang menggunakan
sistem tersebut masih beroperasi. Pengembangan suatu sistem bisa
didasari atas berbagai permasalahan yaitu antara lain kebutuhan akan
kecepatan proses dan keakuratan yang lebih tinggi atau adanya
7
peningkatan jumlah data yang harus diproses dan lain sebagainya.
Meskipun permasalahan tersebut dapat diatasi dengan pengembangan
suatu sistem informasi, kenyataannya bahwa ketika sistem tersebut
diimplementasikan akan timbul permasalahan baru yang menuntut
terus diadakannya proses pengembangan terhadap sistem tersebut.
Alasan itulah yang menyebabkan pemilihan sutu teknologi yang
tepat di dalam mengembangkan suatu sistem informasi akan sangat
menentukan kehandalan sistem yang dihasilkan, berapa lama sistem
tersebut akan ebrtahan, seberapa efektif sistem tersebut akan
memberikan keunggulan tertentu dan apakah pengambangan telah
disesuaikan dengan kondisi internal dari organisasi.
2.2.2 Metodologi Pengembangan Sistem
Menurut Whitten (Whitten, 2007), system development
methodology adalah serangkaian aktivitas, metode, panduan, hasil dan
alat bantu yang digunakan oleh pengembang sistem di dalam
mengembangkan dan menjaga sebagian atau keseluruhan sistem
informasi dan software yang dikembangkan, agar selalu di dalam
kerangka konsistensi dan terdokumentasi secara benar. Saat ini banyak
terdapat metodologi yang bisa digunakan di dalam membantu
pengembangan suatu sistem informasi. Metodologi-metodologi
tersebut antara lain adalah : (Whitten, 2007)
8
a. Classic Problem Solving Approach
Merupakan serangkaian tahapan yang dilakukan di dalam
pengembangan suatu sistem informasi, tahapan-tahapan tersebut
adalah :
1. Study and understand the problem and its context
2. Define the requirements of a suitable solution.
3. Identify candidate solutions and select the “best” solution.
4. Design and or implement the solution.
5. Observe and evaluate the solution’s impact and refine the
solution accordingly.
Pendekatan klasik ini merupakan dasar yang digunakan di
dalam mengembangkan metodologi-metodologi lainnya.
b. Waterfall Methodology
Pengembangan yang dilakukan di dalam metodologi ini
berdasarkan tahapan-tahapan yang dijalankan secara Top-Down
yang dapat dilihat pada gambar berikut ini :
Gambar 2.2 Waterfall Methodology (sumber : Whitten, 2007)
9
Di dalam penggunaannya, masih ditemukan beberapa
kelemahan mendasar yaitu antara lain di dalam setiap tahapan
diperlukan suatu ketelitian yang sangat tinggi, karena tidak ada
peluang untuk kesalahan yang terjadi, tidak ada proses error
correction setelah requirement ditetapkan. Konsumen harus
bersabar, karena pembuatan perangkat lunak akan dimulai ketika
tahap desain sudah selesai. Sedangkan pada tahapan sebelum tahapan
desain bisa memakan waktu yang lama. Bahkan di dalam suatu
pengembangan sistem konsumen sama sekali tidak diberikan
kesempatan untuk memberikan feedback terhadap pengembangan,
sehingga terjadi kondisi di mana keinginan konsumen dengan
produk yang diberikan sepenuhnya berbeda karena sulit bagi
pelanggan untuk menentukan semua kebutuhan secara eksplisit pada
tahapan awal.
c. Spiral Methodology
Metodologi spiral ini telah memperbaiki beberapa
permasalahan yang sebelumnya menjadi hambatan di dalam
metodologi waterfall, tahapan-tahapannya tetap sama, tetapi di
dalam metode ini keempat tahapan (planning, analyzing, design,
dan implementation) akan dilakukan secara berulang dengan
cakupan permasalahan yang diperkecil (hanya akan dilakukan
sebagian saja dari setiap tahapan tersebut). Setiap tahapan akan
memberikan hasil yang tidak jauh berbeda secara struktur tetapi isi
dari rancangan mengalami perbaikan pada setiap iterasinya,
10
sehingga mencapai suatu titik di mana sistem tersebut telah siap
untuk diterapkan.
Gambar 2.3 Spiral Methodology (sumber : Whitten, 2007)
Metodologi ini memungkinkan adanya feedback dari setiap
tahapan, serta adanya suatu kesempatan di mana kesalahan tersebut
bisa diperbaiki. Selain itu jika ada perkembangan lebih lanjut bisa
langsung disesuaikan dengan sistem yang tengah dirancang. User
akan diberikan kesempatan melihat hasil sementara dari project dan
memberikan masukan-masukan.
Kelemahan dari metodologi ini adalah tidak adanya batasan
atau petunjuk pasti dimana proses iterasi harus dihentikan, semakin
banyak masukan baru atau kebutuhan yang diberikan di dalam
setiap putaran mengakibatkan proses pengembangan semakin lama
dan semakin menjauhi rencana pengembangan aw
11
2.3 Efektivitas Sistem Informasi
Menurut Northcraft & Neale (2001), efektivitas adalah kemampuan suatu
perusahaan dalam mencapai tujuan atau misi perusahaan. Manajemen yang
efektif tercermin dalam pemilihan pekerjaan yang benar untuk dilaksanakan
dan kemampuan untuk memilih sasaran yang tepat. Dalam survey tentang
efektivitas sistem informasi umumnya faktor-faktor yang diteliti adalah
kesesuaian sistem dengan kebutuhan user, kesesuaian output yang dihasilkan
program aplikasi dengan sesuatu yang diperlukan oleh user, kemudahan
penggunaan sistem, kepuasaan user terhadap sistem informasi yang
digunakan. Faktor-faktor tersebut mendasari pengukuran kepuasan user.
Jika user merasa puas dengan sistem informasi yang digunakan maka
sistem informasi tersebut dapat dikatakan efektif. Penerapan sistem informasi
yang efektif menurut Remenyi (2007) membutuhkan hubungan yang
harmonis antara manajemen level atas, user, dan staf sistem informasi.
2.4 The Unified Theory of Acceptance and Use of Technology (UTAUT)
Dari penelitian sebelumnya Technology Acceptance Model atau yang
biasanya dikenal dengan istilah TAM (Davis, 1989) telah menghasilkan
sebuah metodologi user acceptance dari sebuah sistem informasi. Untuk
meningkatkan tingkat kepercayaan, beberapa studi empiris pun telah
dilakukan. Pada tahun 2000 Venkatesh dan Davis mengeluarkan metodologi
tentang user acceptance selanjutnya yang merupakan generasi selanjutnya
dari TAM yakni TAM 2. Dan pada tahun 2003 Venkatesh, Morris dan
12
beberapa peneliti lain mengeluarkan sebuah ide metodologi user acceptance
yang lain yakni yang disebut dengan istilah UTAUT.
UTAUT (Unified Theory of Acceptance and Use of Technology)
merupakan salah satu model penerimaan teknologi terkini yang
dikembangkan oleh Venkatesh, Morris dan beberapa peneliti lain.
Metodologi UTAUT ini sebenarnya merupakan sintesis atau penggabungan
daripada elemen-elemen yang terdapat dalam 8 model penerimaan teknologi
terkemuka lainnya dengan tujuan untuk memperoleh kesatuan pandangan
mengenai user atau pengguna. Delapan model yang dijadikan sebagai acuan
daripada metodologi UTAUT adalah :
• Theory Reasoned Action (TRA)
• Theory Acceptance Model (TAM)
• Motivational Model (MM)
• Theory of Planned Behaviour (TPB)
• Combined TAM and TPB
• Model of PC Utilization (MPTU)
• Innovation Diffusion Theory (IDT)
• Social Cognitive Theory (SCT)
Model UTAUT sendiri terdiri dari 4 variabel utama yakni :
1. Performance expectancy
2. Effort expentancy
3. Social Influence
4. Facilitating conditions
13
Dan juga terdiri dari 4 variabel tambahan, yakni :
1. Gender
2. Age
3. Experience
4. Facilitating Conditions
Dalam metodologi UTAUT ini menggambarkan keterkaitan antara
masing-masing variabel utama dan variabel pendukung seperti terlihat dalam
gambar berikut:
Gambar 2.4 Model UTAUT (sumber : Venkatesh et al., 2003)
14
Tabel 2.1 UTAUT Model Variables (sumber : Venkatesh et al., 2003)
UTAUT2003 Definisi
PerformanceExpectancy Tingkat ukurandimanaseseorangpercayapadasaat(PE) penggunaanteknologiakanmembantunyamenyelesaikan
berbagaipermasalahandalamperdagangansahamEffort Expectancy
(EE) Tingkat ukuranpenggunaansystem
Social Influence Tingkat ukurandimanandapat terlihat betapapentingnya(SI) oranglainharus mampujuga menggunakansystem
tersebutTingkat ukurandimana masing-masingindividu
Facilitating Conditionsyakingbahwapeusahaandaninfrastrukturteknologi(FC) ada untuk mendukunge-servicesKeadaandimanaketikakeuntungandarisebuah
Behavioral Intentions teknologi(BI) ditemukan, makaakanadarencanalainuntuk
menggunakannya.
UsageBehaviour Sebuahtingkatanukurandimanaketikasebuahrencana(UB) untukmenggunakanteknologi/systemsetelahdiketahui
manfaatnyaPeranan umur memiliki pengarih psikologis yang
Gender cukupbesarpadapenggunaansystemAge Umur memiliki efek pada tingkah laku per individu
LatihanperkenalanpadasystemdengankemampuanExperience yangdibutuhkan
M erupakanpenggunaansystemdengansendirinya atauVoluntariness of Use tanpa perintahlagi.
2.5 Importance Performance Analysis (IPA)
Metode Importance Performance Analysis (IPA) pertama kali
diperkenalkan oleh Martilla dan James (1977) dengan tujuan untuk mengukur
hubungan antara persepsi konsumen dan prioritas peningkatan kualitas
produk/jasa yang dikenal pula dengan quadrant analysis (Brandt, 2000 dan
Latu & Everett, 2000). IPA telah diterima secara umum dan dipergunakan
pada berbagai bidang kajian karena kemudahan untuk diterapkan dan tampilan
hasil analisa yang memudahkan usulan perbaikan kinerja (Martinez, 2003),
IPA mempunyai fungsi utama untuk menampilkan informasi berkaitan dengan
faktor-faktor pelayanan yang menurut konsumen sangat mempengaruhi
15
kepuasan dan loyalitas mereka, dan faktor-faktor pelayanan yang menurut
konsumen perlu ditingkatkan karena kondisi saat ini belum memuaskan.
IPA menggabungkan pengukuran faktor tingkat kepentingan dan tingkat
kepuasan dalam grafik dua dimensi yang memudahkan penjelasan data dan
mendapatkan usulan praktis. Interpretasi grafik IPA sangat mudah, dimana
grafik IPA dibagi menjadi empat buah kuadran berdasarkan hasil pengukuran
sebagaimana terlihat pada
Quadrant 4 Quadrant 1
Quadrant 3 Quadrant 2
Gambar 2.5 Pembagian Kuadran Importance Performance Analysis(sumber : Brandt, 2000)
Berikut ini adalah penjelasan untuk masing-masing kuadran (Brandt, 2000) :
• Kuadran Pertama, “Pertahankan Kinerja” (high importance & high
performance)
16
Factor-faktor yang ada dalam kuadran ini dinilai sebagai factor
penunjang bagi kepuasan konsumen sehingga pihak manajemen
berkewajiban memastikan bahwa kinerja institusi yang dikelolanya
dapat terus mempertahankan prestasi yang telah dicapai.
• Kuadran Kedua, “Cenderung Berlebihan” (low importance & high
performance)
Faktor-faktor yang terletak pada kuadran ini dianggap tidak terlalu
penting sehingga pihak manajemen perlu mengalokasikan sumber
daya yang terkait dengan factor-faktor tersebut kepada factor-faktor
lain yang mempunyai prioritas penanganan lebih tinggi yang masih
membutuhkan peningkatan, misalnya di kuadran empat.
• Kuadran Ketiga, “Prioritas Rendah” ( low importance & low
performance)
Factor – factor yang terletak pada kuadran ini mempunyai tingkat
kepuasan yang rendah dan sekaligus dianggap tidak terlalu penting
bagi konsumen, sehingga pihak manajemen tidak perlu
memprioritaskan atau terlalu memberikan perhatian lebih pada factor
tersebut.
• Kuadran Keempat, “Tingkatkan Kinerja” (high importance & low
performance)
Factor-faktor yang ada pada kuadran ini dianggap sebagai factor yang
sangat penting oleh konsumen namun kondisi saat ini belum
memuaskan sehingga pihak manejemen berkewajiban mengalokasikan
sumber daya yang memadai untuk meningkatkan kinerja berbagai
17
factor tersebut. Factor-faktor yang terletak pada kuadran ini
merupakan prioritas untuk ditingkatkan.
Ada dua macam metode untuk menampilkan data IPA (Martinez,
2003) yaitu :
• Menempatkan garis perpotongan kuadran pada nilai rata-rata pada
sumbu tingkat kepuasan dan sumbu prioritas penanganan dengan
tujuan untuk mengetahui secara umum penyebaran data terletak pada
kuadran berapa. Pada bagian ini digunakan nilai rata-rata pada skala
pengukuran tingkat kepuasan dan prioritas penanganan sebagai garis
pemisah antar kuadran.
• Menempatkan garis perpotongan kuadran pada nilai rata-rata hasil
pengamatan pada sumbu tingkat kepuasan dan sumbu prioritas
penanganan dengan tujuan untuk mengetahui secara spesifik masing-
masing factor terletak pada kuadran ke berapa. Pada bagian ini
digunakan nilai rata-rata hasil pengukuran tingkat kepuasan dan
prioritas penanganan sebagai garis pemisah antar kuadram. Berikut
prosedur berkaitan dengan penggunaan metode IPA :
1. Penentuan factor-faktor yang akan dianalisa
2. Melakukan survey melalui penyebaran kuesioner
3. Menghitung nilai rata-rata tingkat kepuasan dan
prioritas penanganan
4. Membuat grafik IPA
5. Melakukan evaluasi terhadap factor sesuai dengan
kuadran masing-masing.
18
2.6 Pengujian Kelayakan
2.6.1 Uji Validitas
Uji validitas akan menunjukan sejauh mana skor/penilaian
yang diperoleh benar-benar menyatakan hasil pengukuran yang
ingin diukur (Agung, 1990). Validitas pada umumnya
dipermasalahkan berkaitan dengan hasil pengukuran psikologis
atau non fisik. Berkaitan dengan hasil pengukuran yang diperoleh,
sebenarnya diharapkan dapat menggambarkan atau memberikan
skor suatu karakteristik lain yang menjadi perhatian utama.
Macam validitas umumnya digolongkan dalam tiga kategori
besar, yaitu validitas isi (content validity), validitas berdasarkan
criteria (criterion-related validity) dan validitas konstruk (construct
validity).
Uji validitas dengan mengukur korelasi antara variable
dengan total skor variable. Cara mengukur validitas konstruk salah
satunya yaitu dengan mencari korelasi antara masing-masing
pertanyaan dengan skor total dengan menggunakan rumus teknik
korelasi “product moment” (Masri Singarimbun, et al., 1989),
yakni :
Keterangan :
= Korelasi product momen
19
X = Skor pertanyaan
Y = Skor total seluruh pertanyaan
XY = Skor pertanyaan dikali skor total
N = Jumlah responden
Kriteria validasi suatu pertanyaan dapat ditentukan jika :
• r hitung > r table, maka pertanyaan yang diajukan dinyatakan
valid.
• r hitung < r table, maka pertanyaan yang diajukan dinyatakan
tidak valid.
2.6.2 Uji Reliabilitas
Reliabilitas merupakan indeks yang menunjukkan sejauh
mana suatu alat pengukur dapat dipercaya dan dapat diandalkan.
Setiap alat pengukur seharusnya memiliki kemampuan untuk
memberikan hasil pengukuran relative yang konsisten dari waktu
ke waktu. Salah satu teknik yang bisa digunakan untuk mengukur
reliabilitas adalah teknik belah dua. Teknik ini diperoleh dengan
membagi variable-variabel yang sudah valid secara acak menjadi
dua bagian.
Skor untuk masing-masing variable pada setiap belahan
akan dijumlahkan, sehingga diperoleh skor total untuk masing-
masing variable belahan. Selanjutnya skor total belahan pertama
20
dan kedua dicari korelasinya dengan menggunakan teknik korelasi
product moment. Angka korelasi yang dihasilkan lebih rendah
daripada angka korelasi yang diperoleh jika alat ukur tersebut tidak
dibelah. Cara mencari reliabilitas untuk keseluruhan variable
adalah dengan mengkoreksi angka korelasi yang diperoleh
menggunakan rumus :
Keterangan :
= angka reliabilitas keseluruhan variable.
= angka reliabilitas belahan pertama dan kedua.
2.7 Metode Analisis
2.7.1 Pearson Correlation Coefficient (Pearson Product Moment)
Korelasi antara variabel satu dengan variabel lain pada dasarnya
adalah untuk menentukan apakah kedua variabel ini secara statistik
independen / bebas. Pearson Product Moment adalah salah satu alat
yang digunakan untuk mengukur nilai korelasi dari satu faktor ke
faktor lain. Formula koefisien korelasi pearson product moment ialah :
r = sample koefisien korelasi (koefisien korelasi pearson product moment)
SP = jumlah dari produk =
SSx = jumlah kuadrat dari variabel X =
21
Ssy = jumlah kuadrat dari variabel Y =
Nilai korelasi digunakan untuk mengetahui sedekat apa hubungan
antara dua faktor tersebut. Nilainya antara -1 dan +1. Nilai positif
memperlihatkan hubungan yang positif, yang artinya semakin tinggi
nilai dari faktor X akan menghasilkan nilai yang tinggi juga pada
faktor Y, nilai negatif memperlihatkan sebaliknya. Nilai -1
memperlihatkan hubungan negatif yang kuat, 0 memperlihatkan tidak
adanya relasi, dan +1 memperlihatkan hubungan positif yang kuat.
”Hubungan antara kedua varibel adalah suatu ukuran dari derajat
asosiasi linear antara dua variabel” (Aczel,1999)
Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh variabel X terhadap Y,
2digunakan rumus koefisien determinasi (R ) dengan cara
”mengkuadratkan nilai koefisien korelasi (r) yang telah dihitung”,
dengan rumus:
2 2 R = r
di mana,
R = Koefisien Determinasi; r = Koefisien Korelasi
2.7.2 Correlation Analysis
Analisa korelasi sering digunakan untuk mendeskripsikan tujuan
sebagai poin penilai dari koefisien populasi korelasi ρ. Analisis ini
digunakan untuk menganalisa hubungan linear antara dua variabel.
Untuk dilakukan pengetesan dibutuhkan distribusi normal dari kedua
variabel. Formulanya ialah :
22
Di mana,
n = besar sampel
r = sample koefisien korelasi ( koefisien korelasi pearson product
moment)
Hipotesis statistik :
H0: ρ = 0; H1 : ρ ≠ 0
Tes hipotesis diselesaikan dengan nilai t-test pada tingkat kepercayaan 95%.
H0 diterima jika nilai t-value berada pada titik kritis (0.05;n-2) ≤ t-measure.
H1 ditolak jika nilai t-value berada pada titik kritis (0.05;n-2) ≥ t-measure
2.7.3 Regresi Linier Sederhana
Menurut Sambas dan Maman (2007) Regresi linier sederhana,
adalah bentuk regresi dengan model yang bertujuan untuk mempelajari
hubungan antara dua variabel, yakni variabel independen (bebas) dan
variabel dependen (terikat). Jika ditulis dalam bentuk persamaan,
model regresi sederhana adalah :
Y = α + βX
23
Dimana :
Y : variabel tidak bebas / dependen (terikat),
X : variabel bebas / independen
α : penduga bagi intercept (α) / nilai konstan,
β : penduga bagi koefisien regresi (β).
Dengan kata lain α dan β adalah parameter yang nilainya tidak
diketahui sehingga diduga melalui statistik sampel.
2.7.4 Uji Statistik t (Uji Koefisien Regresi)
Uji t digunakan untuk menunjukkan seberapa jauh pengaruh masing-
masing variabel independen secara individual dalam menerangkan
variabel dependen.
Kriteria keputusan yang diambil dengan membandingkan nilai Sig-t
dibandingkan dengan 0,05 sehingga:
a.Jika Sig-t/2 < 0,05 → tolak Ho, maka koefisien regresi signifikan
b. Jika Sig-t/2 > 0,05 → tolak Ho, maka koefisien regresi tidak
signifikan
22.7.5 Koefisien Determinasi (R )
2Koefisien determinasi (R ) ini digunakan untuk mengukur seberapa
jauh kemampuan model dalam menerangkan variasi variabel
24
dependen. Nilai koefisien determinasi yaitu antara nol dan satu. Nilai
2R yang menjauhi satu berarti kemampuan variabel-variabel
independen dalam menjelaskan variabel dependen amat terbatas.
Sedangkan apabila nilai koefisien determinasi mendekati satu berarti
variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi
yang dibutuhkan untuk mempredikasi variabel dependen.
2.8 Teori Transformasi Interval
Metode transformasi yang diunakan yakni method of successive interval,
dikeluarkan oleh Hays (1976). Metode tersebut digunakan untuk melakukan
transformasi data ordinal menjadi data interval. Pada umumnya jawaban
responden yang diukur dengan menggunakan skala likert (Lykert Scale)
diadakan scoring yakni pemberian nilai numerical 1, 2, 3, 4, 5, dan 6. Setiap
skor yang diperoleh akan memiliki tingkat pengukuran ordinal. Nilai
numerical tersebut dianggap sebagai objek dan selanjutnya melalui proses
transformasi ditempatkan ke dalam interval. Langkah-langkahnya adalah
sebagai berikut :
1. Untuk setiap pertanyaan, hitung frekuensi jawaban setiap kategori
(pilihan jawaban).
2. Berdasarkan frekuensi setiap kategori dihitung proporsinya.
3. Dari proporsi yang diperoleh, hitung proporsi kumulatif untuk
setiap kategori.
4. Tentukan pula nilai batas Z untuk setiap kategori.
5. Hitung scale value (interval rata-rata) untuk setiap kategori melalui
persamaan berikut: