triase
TRANSCRIPT
5
BAB II
PEMBAHASAN
3.1 Triase
Triase adalah cara pemilihan pasien berdasarkan kebutuhan terapi
dan sumber daya yang tersedia. Terapi didasarkan pada prioritas ABC:
Airway dengan kontrol vertebra servikal, breathing, dan circulation dengan
kontrol perdarahan .
Triase juga berlaku untuk pemilahan pasien di lapangan dan rumah
sakit yang akan dirujuk. Merupakan tanggung jawab bagi tenaga pra-rumah
sakit untuk mengirim ke rumah sakit yang sesuai. Merupakan kesalah besar
untuk mengirim pasien ke rumah sakit non-trauma bila ada pusat trauma yang
tersedia. Ada suatu sistem skoring yang membantu dalam pengambilan
keputusan pengiriman ini.
Tabel 1. Revised Trauma Score
Komponen Penilaian Variabel Skor Mulai
Transpor
Selesai
Transpor
Pernapasan
10-29 4
>29 3
6-9 2
1-5 1
0 0
Tekanan Darah Sistolik
>89 4
76-89 3
50-75 2
1-49 1
0 0
Konversi GCS
13-15 4
9-12 3
6-8 2
4-5 1
<4 0
Respon Verbal Dewasa
Spontan 4
Suara 3
Nyeri 2
6
Tidak ada 1
Respon Verbal Anak
Orientasi
baik 5
Bingung 4
Tidak
beraturan 3
Tidak jelas 2
Tidak ada 1
Respon Motorik
Sesuai 5
Menangis 4
Mudah marah 3
Gelisah 2
Tidak ada 1
Mengikuti
perintah 6
Melokalisir
nyeri 5
Menarik 4
Fleksi 3
Ekstensi 2
Tidak ada 1
Skor GCS
Revised Trauma Score
Jika musibah masal atau kurang dari itu dengan jumlah pasien dan
beratnya cedera tidak melampaui kemampuan rumah sakit, pasien dengan
masalah mengancam jiwa dan multi trau a lain akan dilayani terlebih dahulu.
Jika musibah massal dengan jumlah pasien dan beratnya cedera melampaui
kemampuan rumah sakit, yang akan dilayani terlebih dahulu adalah pasien
dengan kemampuan survival yang terbesar serta membutuhkan waktu,
perlengkapan, dan tenaga yang paling sedikit.
3.1.1 Kode Warna International Dalam Triage :
1. Prioritas 1 atau Emergensi: warna MERAH (kasus berat)
Pasien dengan kondisi mengancam nyawa, memerlukan
evaluasi dan intervensi segera, perdarahan berat, pasien dibawa ke
ruang resusitasi, waktu tunggu 0 (nol)
7
Asfiksia, cedera cervical, cedera pada maxilla
Trauma kepala dengan koma dan proses shock yang cepat
Fraktur terbuka dan fraktur compound
Luka bakar > 30 % / Extensive Burn
Shock tipe apapun
2. Prioritas 2 atau Urgent: warna KUNING (kasus sedang)
Pasien dengan penyakit yang akut, mungkin membutuhkan
trolley, kursi roda atau jalan kaki, waktu tunggu 30 menit, area
critical care.
Trauma thorax non asfiksia
Fraktur tertutup pada tulang panjang
Luka bakar terbatas ( < 30% dari TBW )
Cedera pada bagian / jaringan lunak
3. Prioritas 3 atau Non Urgent: warna HIJAU (kasus ringan)
Pasien yang biasanya dapat berjalan dengan masalah medis yang
minimal, luka lama, kondisi yang timbul sudah lama, area
ambulatory / ruang P3.
Minor injuries
Seluruh kasus-kasus ambulant / jalan
4. Prioritas 0: warna HITAM (kasus meninggal)
· Tidak ada respon pada semua rangsangan
· Tidak ada respirasi spontan
· Tidak ada bukti aktivitas jantung
· Tidak ada respon pupil terhadap cahaya
8
Gambar 1. Tag Warna Triase
3.1.2 START ( Simple triage And Rapid Treatment)
Adalah suatu system yang dikembangkan untuk memungkinkan
paramedic memilah korban dalam waktu yang singkat kira – kira 30 detik.
Yang perlu diobservasi : Respiration, Perfusion, dan Mental Status ( RPM ).
System START di desain untuk membantu penolong untuk menemukan
pasien yang menderita luka berat. START didasarkan pada 3 observasi :
RPM ( respiration, perfusion, and Mental Status )
9
Gambar 2. Alogaritma Sistem START
1. Respiration / breathing
Jika pasien bernafas, kemudian tentukan frekuensi
pernafasanya, jika lebih dari 30 / menit, korban ditandai Merah /
immediate. Korban ini menujukkan tanda – tanda primer shock dan
butuh perolongan segera. Jika pasien bernafas dan frekuensinya kurang
dari 30 / menit, segera lakukan observasi selanjutnya ( perfusion and
Mental status ). Jika pasien tidak bernafas, dengan cepat bersihkan
mulut korban dari bahan – bahan asing.
2. Perfusion or Circulating
Bertujuan untuk mengecek apakah jantungnya masih memiliki
kemampuan untuk mensirkulasikan darah dengan adekuat, dengan cara
mengecek denyut nadi. Jika denyut nadi lemah dan tidak teratur korban
ditandai immediate. Jika denyut nadi telah teraba segera lakukan
obserbasi status mentalnya.
10
3. Mental status
Untuk mengetesnya dapat dilakukan dengan memberikan
instruksi yang mudah pada korban tersebut : “buka matamu” atau
“ tutup matamu “.
3.2 Segitiga Penilaian Pediatrik
Gambar 3. Tiga Komponen PAT
1. Penampilan Anak
Penampilana anak seringkali merupakan cerminan kecukupan
ventilasi dan okseigenasi otak. Namun demikian beberapa keadaan lain
dapat pula mempengaruhi penampilan anak seperti hiperglikemik,
keracunan, infeksi otak, perdarahan atau edema otak atau juga penyakit
kronik pada susunan saraf pusat.
Penampilan anak dapat dinilai berdasarkan skala dengan metode
TICLES yang meliputi penilaian tonus (Tone), interaktivitas
(Interactiveness), konsolabilitas (Consolability), cara melihat (Look atau
gaze) dab berbicara atau menangis (Speech atau cry).
11
Tabel 2. Penilaian Penampilan
Karakteristik Hal yang dinilai
Tone Apakah anak bergerak aktif atau menolak
pemeriksaan dengan kuat ?.
Apakah tonus ototnya baik atau lumpuh ?
Interactiveness Bagaimana kesadarannya ?
Apakah suara mempengaruhinya ?
Apakah dia mau bermain dengan mainan atau alat
pemeriksaan ?
Apakah anak tidak bersemangat saat berinteraksi
dengan orang tua atau pengasuh ?
Consolabillity Apakah dia bias ditenangkan oleh orang tua,
pengasuh atau pemeriksa ?
Apakah anak menangis terus atau tampak agitasi
sekalipun dilakukan pendekatan yang lembut ?
Look atau Gaze Apakah anak dapat memfokuskan penglihatannya ?
Apakah pandangannya kosong ?
Speech atau Cry Apakah anak berbicara atau menangis dengan kuat ?
Apakah suaranya lemah ?
2. Upaya Nafas
Upaya nafas merefleksikan upaya anak mengatasi gengguan
oksigenasi dan ventilasi. Karakteristik hal yang dinilai adalah :
Tabel 3. Penilaian Penampakan
Karakteristik Hal yang dinilai
Suara nafas yang tidak
normal
Mengorok, parau, stridor, merintih,
menangis
Posisi tubuh yang tidak
normal
Sniffing, tripoding, menolak berbaring,
head bobbing
Retraksi Supraklavikula, intercostal, substernal
12
Cuping hidung Nafas cuping substernal
3. Sirkulasi Kulit
Sirkulasi kulit mencerminkan kecukupan curah jantung dan
perfusi keorgan vital. Hal yang dinilai yaitu :
Tabel 4. Penilaian Sirkulasi
Karakteristik Hal yang dinilai
Pucat Kulit atau mukosa tampak kurang merah karna
kurangnya aliran darah kedaerah tersebut
Mottling Kulit berbercak kebiruan karna vasodilatasi
Sianosis Kulit dan mukos tampak biru
Penilaian ketiga hal ini telah dapat memberikan gambaran kasar
tentang kegawatan anak dengan cepat tanpa menyentuh anak.
3.3 Pengelolaan Jalan Nafas (airway) dan Pernafasan (Breathing)
1. Pengenalan gangguan jalan nafas
Ada beberapa keadaan dimana adanya sumbatan jalan nafas harus
diwaspadai yaitu:
a. Trauma pada wajah yang dapat menyebabkan fraktur/dislokasi dengan
gangguan orofaring dan nasofaring. Fraktur tulang wajah dapat
menyebabkan perdarahan, sekresi yang meningkat serta avulsi gigi
yang menambah masalah jalan nafas.
b. Fraktur ramus mandibula, terutama bilateral, dapat menyebabkan
lidah jatuh kebelakang dan gangguan) jalan nafas pada posisi
terlentang
c. Perlukaan daerah leher mungkin ada gangguan jalan nafas karena
rusaknya laring atau trachea atau karena perdarahan dalam jaringan
lunak yang menekan jalan nafas.
13
d. Adanya muntahan, darah, atau benda lain dalam mulut atau orofaring
e. Oedema laring akut karena trauma atau infeksi.
2. Tanda-tanda objektif sumbatan jalan nafas
Gambar 4. Posisi Look Feel Listen
a. Look, lihat apakah korban mengalami agitasi, tidak dapat berbicara,
penurunan kesadaran, sianosis (kulit biru dan keabu-abuan) yang
menunjukkan hipoksemia dapat dilihat pada kuku, lidah, telinga, dan
kulit sekitar mulut. Lihat apakah terdapat retraksi dan penggunaan
otot-otot nafas tambahan.
b. Listen, dengar adanya suara-suara abnormal. Pernapasan yang
berbunyi (suara nafas tambahan) adalah pernapasan yang tersumbat.
Suara mendengkur (snoring), berkumur (gurgling), dan bersiul
(crowing sound, stridor) mungkin berhubungan dengan sumbatan
14
parsial pada faring atau laring. Suara parau (hoarseness, disfonia)
menunjukkan sumbatan pada faring.
c. Feel, tidak ada udara yang dapat dirasakan atau didengarkan dari
hidung dan mulut dengan cepat menentukan apakah trakea berada di
tengah.
3. Teknik menjaga jalan nafas
Chin Lift-Head Tilt bertujuan membuka jalan nafas secara
maksimal. Tidak disarankan pada penderita dengan kecurigaan patah
tulang leher dan sebagai gantinya gunakan Jaw thrust
Jaw thrust digunakan untuk membuka jalan nafas pasien yang
tidak sadar atau dicurigai terdapat trauma pada kepala, leher, atau spinal.
Karena dengan teknik ini diharapkan jalan nafas terbuka tanpa
menyebabkan pergerakan leher dan kepala.
4. Alat Bantu jalan nafas
a. Pipa Orofaring, alat ini dapat mengurangi kemungkinan jalan nafas
penderita mengalami obstruksi. Alat ini tidak efektif jika ukuran yang
digunakan tidak sesuai. Ukuran yang sesuai dapat diukur dengan
membentangkan pipa dari sudut mulut pasien kea rah ujung daun
telinga sisi wajah yang sama. Metode lain untuk mengukur pipa yaitu
dengan mengukur dari tengah mulut pasien kearah sudut tulang
rahang bawah.
b. Pipa Nasofaring. Alat ini sering tidak menimbulkan muntah sehingga
diperbolehkan bagi pasien dengan kesadarn yang menurun namun
reflek muntahnya masih baik. Adapun keuntungannya adalah dapat
digunakan walau gigi mengatup rapat atau terdapat cedera pada mulut.
3.4 Gagal Napas
Gagal nafas didefinisikan secara numerik sebagai kegagalan
pernapasan bila tekanan parsial oksigen arteri (atau tegangan, PaO2) 50
sampai 60 mmHg atau kurang tanpa atau dengan tekanan parsial
15
karbondioksida arteri (PaCO2) 50 mmHg atau lebih besar dalam keadaan
istirahat pada ketinggian permukaan laut saat menghirup udara ruangan
(Irwin dan Wilson, 2006)
3.4.1 Klasifikasi Gagal Napas
Berdasarkan pada pemeriksaan AGD, gagal nafas dapat dibagi
menjadi 3 tipe. Tipe I merupakan kegagalan oksigenasi, Tipe II yaitu
kegagalan ventilasi , tipe III adalah gabungan antara kegagalan oksigenasi
dan ventilasi (Nemaa, 2003).
Gagal nafas tipe I ditandai dengan tekanan parsial O2 arteri yang
abnormal rendah. Mungkin hal tersebut diakibatkan oleh setiap kelainan
yang menyebabkan rendahnya ventilasi perfusi atau shunting intrapulmoner
dari kanan ke kiri yang ditandai dengan rendahnya tekanan parsial O2 arteri
(PaO2 < 60 mm Hg saat menghirup udara ruangan), peningkatan perbedaan
PAO2 – PaO2, venous admixture dan Vd/VT (Shapiro dan Peruzzi, 1994).
Tekanan parsial CO2 arteri mencerminkan efesiensi mekanisme
ventilasi yang membuang (washes out) produksi CO2 dari hasil metabolism
jaringan. Gagal nafas tipe II dapat disebabkan oleh setiap kelainan yang
menurunkan central respiratory drive, mempengaruhi tranmisi sinyal dari
CNS (central nervous system), atau hambatan kemampuan otot-otot
respirasi untuk mengembangkan paru dan dinding dada. Gagal nafas tipe II
ditandai dengan peningkatan tekanan parsial CO2 arteri yang abnormal
(PaCO2 > 46 mm Hg), dan diikuti secara simultan dengan turunnya PAO2
dan PaO2, oleh karena itu perbedaan PAO2 - PaO2 masih tetap tidak berubah
(Kreit dan Rogers, 1995)
Gagal nafas tipe III menunjukkan gambaran baik hipoksemia dan
hiperkarbia (penurunan PaO2 dan peningkatan PaCO2). Penilaian
berdasarkan pada persamaan gas alveolar menunjukkan adanya peningkatan
perbedaan antara PAO2 – PaO2, venous admixture dan Vd/VT. Dalam teori ,
seriap kelainan yang menyebabkan gagal nafas tipe I atau tipe II dapat
menyebabkan gagal nafas tipe III (Nemaa, 2003).
16
3.4.2 Tanda dan Gejala Gagal Napas
Beberapa tanda dan gejala gagal nafas adalah :
1. Sianosis (warna kebiruan) dikarenakan rendahnya kadar oksiegen
dalam darah.
2. Kebingungan dan perasaan mengantuk akibat tingginya kadar
karbondioksida dan peningkatan keasaman darah.
3. Pernafasan cepat dan dalam, sebagai mekanisme tubuh untuk
mengeluarkan karbondioksida tapi jika paru-paru tidak berfungsi secara
normal maka pola nafas seperti itu tidak dapat membantu.
4. Rendahnya kadar oksigen dengan segera bisa menyebabkan gangguan
pada otak dan jantung. Hal ini ditandai dengan penurunan kesadaran
atau pingsan; menyebabkan aritmia jantung yang bisa membawa pada
kematian.
5. Frekunsi nafas lebih dari 40 kali/menit, frekunsi normal nafas adalah
16-20 kali/menit, jika sampai 25 kali/menit, status pasien harus mulai
dievaluasi.
6. Kapasitas Vital kurang dari 10-20 ml/kg
3.5 Prosedural Penanganan Pasien
3.5.1 Langkah-Langkah Menilai Jalan Napas :
1. Look:
a. Kesadaran; “the talking patient” : pasien yang bisa bicara berarti
airway bebas, namun tetap perlu evaluasi berkala.
b. Agitasi
c. Nafas cuping hidung
d. Sianosis
e. Retraksi
f. Accessory respiratory muscle
2. Listen:
a. Snoring, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
17
b. Gurgling, (suara berkumur) menunjukkan adanya cairan/ benda asing
c. Stridor, dapat terjadi akibat sumbatan sebagian jalan napas jalan napas
setinggi larings (Stridor inspirasi) atau stinggin trakea (stridor
ekspirasi)
d. Hoarnes, akibat sumbatan sebagian jalan napas setinggi faring
e. Afoni, pada pasien sadar merupakan petanda buruk, pasien yang
membutuhkan napas pendek untuk bicara menandakan telah terjadi
gagal napas
3. Feel:
a. Aliran udara dari mulut/ hidung
b. Posisi trakea terutama pada pasien trauma, Krepitasi
3.5.2 Pembukaan Dan Pemeliharaan Jalan Napas Atas
Pada pasien yang tidak sadar, penyebab tersering sumbatan jalan
napas yang terjadi adalah akibat hilangnya tonus otot-otot tenggorokan.
Dalam kasus ini lidah jatuh ke belakang dan menyumbat jalan napas ada
bagian faring
1. Pembukaan Jalan nafaas secara manual
Teknik dasar pembukaan jalan napas atas adalah dengan
megangkat kepala-angkat dagu (Head Tilt-Chin Lift). Teknik dasar ini
akan efektif bila obstruksi napas disebabkan lidah atau relaksasi otot
pada jalan napas atas.
Bila pasien yang menderita trauma diduga mengalami cedera
leher, lakukan penarikan rahang tanpa mendorong kepala. Karena
mengelola jalan napas yang terbuka dan memberikan ventilasi
merupakan prioritas, maka gunakan dorong kepala tarik dagu bila
penarikan rahang saja tidak membuka jalan napas.
2. Pemeliharaan jalan napas atas
18
Agar pasien dapat bernapas secara spontan, maka jalan napas
atas harus dijaga agar tetap terbuka. Oleh karena itu, pada pasien yang
dalam keadaan tidak sadar tanpa adanya refleks batuk atau muntah,
pasanglah OPA atau NPA untuk mengelola patensi jalan napas.
Bila anda menemukan seorang pasien tersedak yang tidak sadar
dan henti napas, bukalah mulutnya lebar-lebar dan carilah benda asing di
dalamnya. Bila anda menemukannya, keluarkan dengan menggunakan
jari anda. Bila anda tidak melihat adanya benda asing, mulai lakukan
RJP. Tiap kali anda membuka jalan napas untuk memberikan napas,
bukalah mulutnya lebar-lebar dan carilah benda asing di dalamnya. Bila
ada keluarkan dengan menggunakan jari anda. Bila tidak ada benda
asing, lanjutkan RJP
Dalam melakukan teknik membebaskan jalan nafas agar selalu
diingat untuk melakukan proteksi Cervical-spine terutama pada pasien
trauma/multipel trauma. jalan napas pasien tidak sadar sering tersumbat
oleh lidah, epiglotis, dan juga cairan, agar jalan napas tetap terbuka perlu
dilakukan manuver head tilt,chin lift dan juga jaw thrust. Bisa sebagian
atau kombinasi ketiganya (tripple airway manouver). Head tilt dan chin
lift adalah teknik yang sederhana dan efektif untuk membuka jalan napas
tetapi harus dihindari pada kasus cedera tulang leher/servikal.
.
3.5.3 Chin Lift
19
Gambar 5. Chin Lift
Manuver ini akan mencegah menggantung/ menurunnya dagu dan
mempertahankan mulut sedikit terbuka.Tidak boleh mengakibatkan
hiperekstensi leher. Aman untuk C-spine pada pasien trauma.
3.5.4 Jaw Thrust
Gambar 6. Jaw Thrust
Pegang pada angulus mandibulae, dorong mandibula ke depan
(ventral). Manuver ini aman dilakukan pada pasien trauma. Tidak boleh
memberi bantal pada pasien tidak sadar karena akan membuat posisi kepala
fleksi dan tidak boleh menyangga leher untuk mengekstensikan kepala
karena bahaya cedera pada cervical spine.
3.5.5 Heimlich Manuver
Ada beberapa cara melakukan Perasat Heimlich yaitu:
1. Hentakan perut pada korban dewasa dan anak ada respon, dengan cara;
20
a. Penolong berdiri di belakang korban, posisikan tangan penolong
memeluk di atas perut korban melalui ketiak korban.
b. Sisi genggaman tangan penolong diletakkan di atas perut korban
tepat pada pertengahan antara pusar dan batas pertemuan iga kiri
dan kanan.
c. Letakkan tangan lain penolong di atas genggaman pertama lalu
hentakan tangan penolong ke arah belakang dan atas (seperti
mengulek) posisi kedua siku penolong ke arah luar, kemudian
lakukan hentakan sambil meminta pasien membantu
memuntahkannya.
d. Lakukan berulang sampai berhasil, namun tetap harus berhati-hati.
2. Hentakan perut pada korban dewasa dan anak tidak ada respon, dengan
cara;
a. Baringkan korban, dalam posisi terlentang.
b. Upayakan memberikan bantuan pernafasan, bila gagal upayakan
perbaikan posisi dan coba ulangi pemberian nafas bantuan, namun
jika masih gagal segera lakukan langkah berikut;
c. Berjongkoklah di atas paha korban dan tempatkan tumit tangan
sedikit di atas pusat tepat pada garis tengah antara pusat dan
pertemuan rusuk kiri dan kanan.
d. Lakukan 5 kali hentakan perut kearah atas.
e. Periksa mulut penderita dan lakukan sapuan jari. Bila perlu dapat
dilakukan penarikan rahang bawah, untuk bayi dan anak hanya
dilakukan kalo bendanya terlihat.
f. Bila belum berhasil juga, maka segera ulangi langkah nomor 2-5
berualang-ulang hingga jalan nafas terbuka.
3. Hentakan dada pada korban dewasa yang kegemukan atau wanita hamil
yang ada respon, dengan cara;
1. Berdirilah dibelakang korban, lengan memeluk korban melalui
bawah ketiak dibagian dada.
21
2. Posisikan tangan membentuk kepalan seperti pada hentakan perut
tepat di atas pertengahan tulang dada.
3. Lakukan hentakan dada.
4. Lanjutkan sampai jalan nafas terbuka atau korban menjadi tidak
sadar.
4. Hentakan dada pada korban dewasa kegemukan atau wanita hamil yang
tidak respon, dengan cara;
Langkah yang dilakukan sama seperti pada point B, hanya posisi penolong
dari samping korban dan letak tumit tangan pada pertengahan tulang dada.
Gambar 7. Perasat Heimlich
5. Cara Melakukan Back Blows dan Chest Trush pada Bayi berusia dibawah
setahun :
22
Gambar 8. Back Blows
Letakkan bayi di lengan atau paha penolong sehingga kepala bayi
lebih rendah dari badannya
Sangga kepala bayi dengan telapak tangan, jangan halangi/tutup mulut
bayi
Berikan 5 tepukan pada punggung bayi yaitu pada daerah interskapula
Gambar 9. Chest Thrust
Jika benda penyebab obstruksi tidak dapat keluar, balikkan bayi
dengan posisi telentang pada paha penolong dan sangga kepala bayi
dengan telapak tangan penolong
23
Letakkan 2 jari penolong, satu jari di bawah garis yang menghubungkan
kedua papilla mammae dan lakukan pijatan di dada (Chest trush)
sebanyak lima kali
Gambar 10. Chest Thrust
Bila obstruksi masih menetap evaluasi mulut bayi apakah ada bahan
obstruksi yang bisa dikeluarkan
Bebaskan jalan nafas dengan memposisikan kepala tengadah, segaris
dengan tulang leher kemudian buka mulut dengan mendorong dagu ke
bawah, bila tampak benda asingnya coba keluarkan dengan jari. Bila
tidak tampak langsung lakukan RJP. Jangan mencoba melakukan
pengambilan benda asing dengan jari bila benda tidak terlihat karena
bisa menyebabkan benda lebih terdorong ke dalam
24
Gambar 11. Mengambil Obstruksi
Bila diperlukan dapat diulang kembali dengan melakukan pukulan
pada bagian belakang bayi
Gambar 12. Back blows dan chest thrusts
6. Cara Melakukan Perasat Back Blows dan Heimlich pada Anak berusia
diatas satu tahun
25
Gambar 13. Heimlich manuver pada anak satu tahun
Letakkan anak dengan posisi tengkurap dengan kepala lebih rendah
Berikan 5 pukulan dengan menggunakan tumit dari telapak tangan
pada bagian belakang anak (interskapula)
Bila obstruksi masih menetap, berbaliklah ke belakang anak dan
lingkarkan kedua lengan mengelilingi badan anak
Pertemukan kedua tangan dengan salah satu mengepal dan letakkkan
pada perut bagian atas (di bawah sternum) anak, kemudian lakukan
hentakan ke arah belakang atas.
Sentakan ini dapat dilakukan sampai lima kali. Bila masih terjadi
obstruksi menetap lakukan evaluasi apakah ada bahan obstruksi yang
bisa di keluarkan di mulut.
Bila diperlukan bisa diulang dengan kembali melakukan pukulan
pada bagian belakang anak
3.6 Protokol Rujukan
3.6.1 Dokter yang merujuk
Dokter yang akan merujuk harus berbicara dengan dokter penerima
rujukan, dan memberikan informasi dibawah ini:
Identitas pasien
26
Anamnesis singkat kejadiannya, termasuk data pra-rumah sakit yang
penting
Penemuan awal pada pemeriksaan pasien
Respon terhadap terapi
3.6.2 Informasi untuk petugas yang akan mendampingi
Petugas pendamping harus paling sedikit diberitahukan:
1. Pengelolaan jalan nafas pasien
2. Cairan yang telah atau akan diberikan
3. Prosedur khusus yang mungkin akan diperlukan
4. Revised trauma score, prosedur resusitasi, dan perubahan-perubahan
yang mungkin akan terjadi selama dalam perjalanan
3.6.2 Tindakan Sebelum Merujuk
Pasien harus dilakukan resusitasi dalam usaha membuat pasien
dalam keadaan se-stabil mungkin, seperti yang dianjurkan dibawah ini :
1. Airway
a. Pasang airway atau intubasi bila perlu
b. Suction dimana perlu
c. Pasang NGT untuk mencegah aspirasi
2. Breathing
a. Tentukan laju pernapasan (respirasi rate), dan berikan oksigen
b. Ventilasi mekanik bila diperlukan
c. Pasang pipa thoraks (chest tube) dimana perlu
3. Circulation
27
a. Kontrol perdarahan luar
b. Pasang 2 jalur infuse, mulai pemberian kristaloid
c. Perbaiki kehilangan darah dengan kristaloid atau darah, dan
teruskan pemberian selama transportasi
d. Pasang kateter uretra untuk monitor keluaran urin
e. Monitor kecepatan dan irama jantung
4. Susunan syaraf pusat
a. Bila pasien tidak sadar, bantuan pernapasan
b. Berikan manitol atau diuretika dimana diperlukan
c. Imobilisasi kepala, leher, thoraks, dan atau vertebra lumbalis
5. Pemeriksaan diagnostik
a. Foto rontgen servikal, thoraks, pelvis, ekstremitas
b. Pemeriksaan lanjutan seperti CT Scan dan aortografi biasanya
tidak ada indikasi
c. Pemeriksaan Hb, Ht, golongan darah dan cross match, analisis gas
darah
d. Penentuan denyut jantung dan saturasi Hemoglobin (EKG dan
pulse oximetry)
6. Luka
a. Setelah kontrol perdarahan, bersihkan dan perban luka
b. Berikan profilaksis tetanus
c. Antibiotika dimana diperlukan
7. Fraktur: bidai dan traksi
28
Gambar 14. Contoh Surat Rujukan
v
29
3.7 Gawat Darurat
3.7.1 Definisi Gawat Darurat
Dianggap emergensi:
Setiap kondisi yang menurut pendapat pasien, keluarganya, atau
orang-orang yang membawa pasien ke rumah sakit, bahwa pasien
memerlukan penanganan segera
True emergency:
Setiap kondisi yang setelah diperiksa secara klinis, memang
memerlukan penanganan segera (immediate medical attention), guna
mencegah pasien dari kematian atau cacat tetap
3.7.2 Tanggung Jawab Nakes Pada Kasus Emergensi
Nakes diwajibkan oleh hukum untuk menolong seseorang yang
berada dalam kondisi emergensi, jika:
a. bentuk pertolongannya masih berada dalam konteks profesinya
b. pasien berada dalam jarak dekat dengan nakes
c. nakes mengetahui bahwa ada kebutuhan akan bantuan emergensi atau
ada pasien dengan kondisi serius
d. nakes dinilai layak memberikan bantuan serta memiliki peralatan yang
diperlukan (Garton, 2000)
3.7.3 Bentuk Tanggung Jawab Nakes Pada Kasus Emergensi
Di luar RS melakukan pertolongan Good Samaritan
Di Puskesmas stabilisasi & transfer/rujuk bila kondisinya sudah
transferable
Di RS dengan Initial Emergency Care stabilisasi & transfer/rujuk
bila kondisinya sudah transferable
30
Di RS dengan Definitive Emergency Care emergency treatment
secara paripurna
3.7.4 Definisi Informed Consent
Persetujuan yang diberikan oleh pasien atau keluarga terdekat setelah
mendapat penjelasan secara lengkap mengenai tindakan kedokteran
atau kedokteran gigi yang akan dilakukan terhadap pasien
(Permenkes No. 290/2008)
Persetujuan pasien atau yang mewakilinya atas rencana tindakan
kedokteran atau kedokteran gigi setelah menerima informasi yg
cukup untuk dapat membuat persetujuan
(Konsil Kedokteran Indonesia)
Pernyataan oleh pasien, atau dalam hal pasien tidak berkompeten, oleh
orang yang berhak mewakili, yang isinya berupa persetujuan kepada
dokter untuk melakukan tindakan medik sesudah pasien atau orang
yang berhak tersebut diberi informasi secukupnya, mengenai rencana
tindakan medik yang akan dilakukan dokter
(dr. Sofwan Dahlan, SpF (K)
3.7.5 Konsekuensi Hukum
Bila dokter melakukan tindakan medik tanpa ada informed consent,
konsekuensi hukumnya adalah:
1. Merupakan bukti adanya unsur tindak pidana, yaitu perbuatan tercela
(actus reus)
2. Merupakan bukti adanya unsur tindakan melawan hukum
(onrechmatige daad) dokter dapat digugat membayar ganti rugi bila
terjadi resiko (pasal 1365 BW)
31
3. Merupakan bukti adanya tindakan dokter yang tidak patuh terhadap
hukum disiplin dokter dapat diadili oleh MKDKI untuk diberikan
sanksi:
pemberian peringatan tertulis
rekomendasi pencabutan STR atau SIP
kewajiban mengikuti pendidikan/pelatihan di institusi pendidikan
kedokteran
3.7.6 Sanksi Hukum
Pasal 32 UU No. 36 tahun 2009
1) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik
pemerintah maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan
bagi penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih
dahulu
2) Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik
pemerintah maupun swasta, dilarang menolak pasien dan/atau
meminta uang muka
Pasal 190 (1) pelanggaran terhadap pasal 32 (2) pimpinan fasilitas
kesehatan dan/atau tenaga kesehatan dipidana penjara paling lama 2
tahun dan denda paling banyak Rp. 200.000.000,00
Pasal 190 (2) dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud ayat (1)
mengakibatkan kecacatan atau kematian pimpinan fasilitas kesehatan
dan/atau tenaga kesehatan dipidana penjara paling lama 10 tahun dan
denda paling banyak Rp.1.000.000.000,00
Pasal 29 (1) UU No. 44 tahun 2009 kewajiban RS
c) memberikan pelayanan gawat darurat kepada pasien sesuai dengan
kemampuan pelayanannya
f) melaksanakan fungsi sosial antara lain dengan memberikan fasilitas
pelayanan pasien tidak mampu/miskin, pelayanan gawat darurat tanpa
32
uang muka, ambulan gratis, pelayanan korban bencana dan kejadian
luar biasa, atau bakti sosial bagi misi kemanusiaan
Pasal 531 KUHP
“Barangsiapa ketika menyaksikan bahwa ada orang yang sedang
menghadapi maut tidak memberi pertolongan yang dapat diberikan
padanya tanpa selayaknya menimbulkan bahaya bagi dirinya atau orang
lain, diancam, jika kemudian orang itu meninggal, dengan pidana
kurungan paling lama tiga bulan atau pidana denda paling banyak empat
ribu lima ratus rupiah.”
Good Samaritan Law
UU di Amerika yang memberikan imunitas dari tuntutan hukum kepada
siapa saja yang melakukan pertolongan emergensi di luar RS bila terjadi
kelalaian, sepanjang bukan merupakan gross negligent (ceroboh
33
BAB III
PENUTUP / KESIMPULAN
Kasus tersedak merupakan kasus yang sering terjadi pada anak-anak.
Kasus ini tergolong kedalam kasus gawat darurat sehingga memerlukan tindakan
segera karena mengancam nyawa dan bila tidak mendapatkan pertolongan segera
dapat menimbulkan kecacatan. Pada kasus gawat darurat seorang tenaga medis
boleh melakukan tindakan tanpa meminta persetujuan dari pihak keluarga.
Oleh karena itu pembuatan makalah ini bertujuan memberikan
pengetahuan kepada para pembaca terutama mengenai berbagai hal seputar kasus
tersedak yang dapat menimbulkan gawat respirasi dari mulai pemilihan diagnosis
hingga penatalaksanaannya.
34
DAFTAR PUSTAKA
1. American College of Surgeons Committee on Trauma. Advance Trauma
Life Support for Doctors Student Course Manual. Ed- 8. Chicago: 2008.
2. Pudjiadi, Antonius H [et al]. Buku Ajar Pediatri Gawat Darurat. Ed-1.
Jakarta: IDAI; 2011
3. Departemen Kesehatan RI. Buku Saku Pelayanan Kesehatan Anak di
Rumah Sakit. Ed-1. Jakarta: Depkes RI; 2008
4. Booth, James Stuart [et. al]. Pediatric Rescucitation Technique.
http://emedicine.medscape.com/article/1948389-technique. Updated Dec,
2012
5. Wilson WC, Grande CM, Heyt DB. Trauma Emergency Resuscitation
Perioprative Anesthesia Surgical Management Volume 1. Informa Health
care, New York 2007.
6. Prasenohadi. Manajemen Jalan Napas; Pulmonologi Intervensi dan Gawat
Darurat Napas. FK UI, Jakarta, 2010.
7. Buku Panduan Kursus Bantuan Hidup Jantung Lanjut edisi 2011, PERKI
2011