tri ulfa susila 2611414001 - · pdf filedan kasat mata tanpa hati sejati. ... mengerjakan...

12
SERAT DEWA RUCI : KONSEP MANUNGGALING KAWULA GUSTI TRI ULFA SUSILA 2611414001 Jurusan Bahasa Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Indonesia Info Artikel ________________ SejarahArtikel: ________________ Keywords: Serat Dewa Ruci, Konsep Manunggaling Kawula Gusti ____________________ Abstrak ___________________________________________________________________ Penjabaran konsep Manunggaling Kawula Gusti dalam hubungnannya dengan Dzat Illahiah adalah keselarasan dalam mencapai sebuah kesatuan antara apa yang dilakukan dengan apa yang ada dalam hatinya bentuk manembahing rasa. Jadi bukanlah manusia bisa berada sekedar dekat dengan Tuhan. Hal ini menuntut kepada manusia untuk lebih dalam menghayati dengan seksama dan sungguh- sungguh tentang hal-hal praktek penyembahan atau ibadah terhadap Tuhan. Dia harus tahu betul makna dan tujuan dari penyembahannya hingga terjadi satunga rasa dan tahu ada apa di balik semua rahasia alam semesta hingga kadunungan atau Dzat Illahiah. Kisah perjalanan Bima. Anak kedua dari Pandu yang mancari air suci Tirta Pawira, mengisyaratkan bahwa untuk mencapai kesempurnaan atau yang dilambangkan dengan Tirta Pawira tidaklah semudah membalik telapak tangan, akan tetapi melalui ritual dan laku yang kompleks hingga akhirnya ia mendapat wejangan dari Dewa Ruci yaitu Dzat Illahiah yang menempati sukma sejatinya. © 2017UniversitasNegeri Semarang

Upload: vanquynh

Post on 02-Feb-2018

256 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: TRI ULFA SUSILA 2611414001 -  · PDF filedan kasat mata tanpa hati sejati. ... mengerjakan amalan-amalan badaniah ... guru spiritual yang akan membawa menuju

SERAT DEWA RUCI : KONSEP MANUNGGALING KAWULA GUSTI

TRI ULFA SUSILA

2611414001

Jurusan Bahasa Jawa, Fakultas Bahasa dan Seni, Universitas Negeri Semarang, Indonesia

Info Artikel

________________ SejarahArtikel:

________________ Keywords:

Serat Dewa Ruci, Konsep

Manunggaling Kawula

Gusti

____________________

Abstrak

___________________________________________________________________

Penjabaran konsep Manunggaling Kawula Gusti dalam

hubungnannya dengan Dzat Illahiah adalah keselarasan dalam

mencapai sebuah kesatuan antara apa yang dilakukan dengan apa yang

ada dalam hatinya bentuk manembahing rasa. Jadi bukanlah manusia

bisa berada sekedar dekat dengan Tuhan. Hal ini menuntut kepada

manusia untuk lebih dalam menghayati dengan seksama dan sungguh-

sungguh tentang hal-hal praktek penyembahan atau ibadah terhadap

Tuhan. Dia harus tahu betul makna dan tujuan dari penyembahannya

hingga terjadi satunga rasa dan tahu ada apa di balik semua rahasia

alam semesta hingga kadunungan atau Dzat Illahiah.

Kisah perjalanan Bima. Anak kedua dari Pandu yang mancari

air suci Tirta Pawira, mengisyaratkan bahwa untuk mencapai

kesempurnaan atau yang dilambangkan dengan Tirta Pawira tidaklah

semudah membalik telapak tangan, akan tetapi melalui ritual dan laku

yang kompleks hingga akhirnya ia mendapat wejangan dari Dewa

Ruci yaitu Dzat Illahiah yang menempati sukma sejatinya.

© 2017UniversitasNegeri Semarang

Page 2: TRI ULFA SUSILA 2611414001 -  · PDF filedan kasat mata tanpa hati sejati. ... mengerjakan amalan-amalan badaniah ... guru spiritual yang akan membawa menuju

Pendahuluan

Tentang hubungan Tuhan dengan

ciptaan-Nya, orang Jawa menyatakan

bahwa Tuhan menyatu dengan ciptaanNya.

Persatuan antara Tuhan dan ciptaanNya itu

digambarkan sebagai “curiga manjing

warangka, warangka manjing curiga”,

seperti keris masuk ke dalam sarungnya,

seperti sarung memasukki kerisnya. Meski

ciptaanNya selalu berubah (dumadi), Tuhan

tidak terpengaruh oleh perubahan yang

terjadi pada ciptaanNya.

Berdsarkan pengertian bahwa Tuhan

bersatu dengan ciptaanNya itu, maka orang

Jawa pun berusaha untuk mencari dan

membuktikan kebenaran Tuhan. Mereka

menggambarkan usaha pencariannya

dengan memanfaatkan system symbol untuk

memudahkan pemahaman.

Konsep manunggaling kawula gusti

merupakan sebuah tingkatan ajaran paling

tinggi dalam hidup masyarakat Jawa.

Ajaran manunggaling kawula gusti ini

sangat pas untuk bekal hidup jaman ini

dimana orang hanya dibiasakan

menggunakan otak kiri/ kognisi yang

menarik manusia kepada hitung-hitungan

tambah dan kurang, konsumerisme,

hedoisme, normative yang hanya ragawi

dan kasat mata tanpa hati sejati. Akibatnya

orang ingin cepat memperoleh hasil secara

instant dan mengabaikan proses. Orang

hanya terpaku pada bagaimana

mendapatkan untung banyak namun tidak

bersedia untuk rugi. Hal ini disadari atau

tidak berpengaruh terhadap aspek

keagamaan, persaingan, kalah-menang,

pembenaran diri, egoism yang berbuntut

pada konflik dengan kedok agama, suku dan

ras, penguasaan sumber daya alam tanpa

ada kemauan untuk melestarikan dan

berbagi.

Konsep manunggaling kawula gusti

itu sendiri tidak serta membuat manusia

bersatu dengan Tuhan pada artian yang

sebenarya. Karena konsep yang demikian

dapat menimbulkan praduga bermacam-

macam. Mungkin dikemudian hari konsep

ini dapat disalah artikan oleh beberapa

orang yang menganggap dirinya Tuhan

karena merasa telah mengerti dan mencapai

konsep manunggaling kawula gusti ini.

Piwulang manunggaling kawula gusti ini

adalah ajaran Jawa tentang tanggapan diri

pribadi manusia sebagai ciptaan atas belas

kasih atau welas asih Tuhan (Pencipta) yang

berkenan menyertai setiap hati sejati

manusia.

Kisah Dewa Ruci merupakan proses

pemahaman akan jati diri manusia

sebagaimana Tuhan telah menciptakannya,

dan merupakan manifestasi tuntutan Illahi

tergadap ummat manusia sepanjang zaman.

Dalam kisah Dewa Ruci menggambarkan

kehidupan manusia dalam usaha ikhtiar

mencari Tuhan (Sangkan Paraning

Page 3: TRI ULFA SUSILA 2611414001 -  · PDF filedan kasat mata tanpa hati sejati. ... mengerjakan amalan-amalan badaniah ... guru spiritual yang akan membawa menuju

Dumadi), bahkan tujuan akhir adalah

bersatunya manusia dengan Tuhan

(Manunggaling kawula gusti).

Kisah Dewa Ruci memberikan

gambaran bahwa untuk mengenali diriya,

manusia harus melalui tahapan-tahapan

yang harus dilalui, yakni: Syariat (sembah

raga), Tarekat (sembah kalbu), Hakekat

(sembah jiwa) dan Makrifat (sembah rasa).

Hal ini tergambarkan dalam perjalanan

Bima mencari air kehidupan, ia harus

melalui rintangan, sampai akhirnya bertemu

dengan dewa Ruci untuk mendapatkan

“Ngelmu Kasampurnan Dumadi”..

Penelitian terdahulu yang

mendukung penelitian ini di antaranya :

1. SERAT DEWA RUCI 9Studi Pemikiran

Tasawuf Yasadipura I) oleh Edwin

2. Nilai-nilai Pendidikan dalam Serat

Dewa Ruci dan Relevansinya dengan

Pendidikan Islam oleh Iwa Koswara.

3. Kajian Semiotik dan Nilai Pendidikan

Karakter Serat Dewa Ruci oleh Mahatma

Zat Akhdiyat.

METODE PENELITIAN Jenis Penelitian ini adalah

deskriptif kualitatif, Sumber data dalam

penelitian ini adalah Serat Dewa Ruci.

Teknik pengumpulan data yang dilakukan

adalah observasi, teknik

pustaka, dan teknik catat. Instrumen

penelitian ini menggunakan human

instrumen dan dibantu dengan alat bantu

lainnya seperti nota pencatat dan alat tulis.

Dalam penelitian ini pengolahan data

dilakukan dengan teknik analisis

deskriptif. Teknik analisis data dalam

penelitian ini menggunakan teknik analisis

historis dan hermeneutic sastra.

Hermeneutic sastra merupakan system

penafsiran terhadap suatu teks untuk

meamahami makna ataupun symbol-

simbol yang terkandung di dalamnya.

Page 4: TRI ULFA SUSILA 2611414001 -  · PDF filedan kasat mata tanpa hati sejati. ... mengerjakan amalan-amalan badaniah ... guru spiritual yang akan membawa menuju

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Istilah manunggaling kawula Gusti

bersumber dari bahasa Arab yaitu wihdatul

wujud yang berarti baginya yang ada hanya

satu, sedangkan dalam kontekss budaya

Jawa paham wihdatul wujud lebih dikenal

dengan manunggaling kawula Gusti. Dalam

khasanah Islam maupun tradisi local sejak

zaman dahulu kala selalu menimbulkan

kontroversi, konsep manunggaling kawula

Gusti merupakan konsep yang amat rumit

dan sulit untuk dipahami, khususnya bagi

kaum awam. Padahal konsepini sangat

penting untuk bisa dipahami oleh siapapun,

khususnya mereka yang ingin lebih

mendekatkan diri dan berserah kepada

Allah.

Menurut Priyo Prabowo (2003:109)

wihdatul wujud adalah upaya manusia untuk

dekat bahkan menyatu dengan Tuhan.

Menurut Purwadi (2004:9) wihdatul wujud

adalah penyatuan eujud tunggal tiada

terpisah abdi dalem dengan pencipta.

Wihdatul wujud merupakan suatu keadaan

di mana seseorang merasa bersatu dengan

Tuhan bagaikan bertindak, merasa, berfikir

seperti apa yang dikehendaki Allah

(mulkhan, 2000:27)

Wihdatul wujud adalah kepercayaan bahwa

seluruh yang maujud atau ada itu pada

prinsipnya hanyalah satu dalam segala arti

yang tidak dapat diduakan. Hal ini satu

maujud itulah Tuhan dimana segala bentuk

keragaman yang tampak dan kasat mata

dianggap tidak ada. Mereka percaya bahwa

seluruh hal lain di dunia tidak ada kesuali

gambaran atau bayangan dari Yang Saty

yaitu Tuhan itu sendiri (Mulkhan, 2000:34)

Menurut Simuh (2004:47) konsep

manunggaling kawula Gusti diterangkan

“Minggah pamoring kawula lan Gusti iku,

kaya dene paesan karo sing ngilo.

Wayangan kang ana sajroning pangilon,

iya iku jenenge kawula”. Yang berarti:

kesatuan manusia dengan Tuhan ibarat

cermin dengan orang tercermin. Baying-

bayang yang bercermin itulah manusia.

Oleh karena itu, uraian dalam kepustakaan

Islam Kejawen, yang menyangkut

hubungan manusia dengan Tuhan,

umumnya mengandung rumusan yang

saling tumpang tindih. Tuhan dilukiskan

memiliki sifat-sifat yang sama dengan

manusia dan manusia digambarkan sama

dengan Tuhan.

Manunggal dalam bahasa Jawa berasal dari

kata tunggal, satu. Manunggal berarti

menyatu. Jadi manunggaling kawula Gusti

berarti manunggal atau menyatunya seorang

hamba dengan penciptanya, dalam arti

menyatunya kehendak dari seorang hamba

dengan kehendak penciptanya.

Manunggaling kawula Gusti berarti suasana

batin seorang hamba yang merasa sangat

cinta dan dekat dengan Tuhan sehingga dia

Page 5: TRI ULFA SUSILA 2611414001 -  · PDF filedan kasat mata tanpa hati sejati. ... mengerjakan amalan-amalan badaniah ... guru spiritual yang akan membawa menuju

merasa lebur dan menyatu dengan Tuhan.

Ibarat leburnya gula dan air, menyatunya

api dan besi, yang di antara keduanya bisa

dibedakan, tetapi tidak bisa lagi dipisahkan.

Ketika besi telah menjadi merah karena

dibakar api, besi dan api telah menyaatu.

Siapa menyentuh api, akan terkena besi dan

siapa yang memegang besi akan tersentuh

api (Komaruddin Hidayat, 2010:17)

Menurut Hadiwijono dalam Dhanu Priyo

Prabowo (2003:131) Manunggaling kawula

Gusti adalah keadaan yang tidak ada lagi

perbedaan antara yang menyembah dan

yang disembah. Menurut Jalaludin Rumi

dalam Sri Muryanto (2004:36),

Manunggaling kawula Gusti adalah

lenyapnya kedirian, karena adanya kesatuan

(manunggal yang smepurna dengan sang

kekasih, Tuhan adalah tumpuan dan

harapan hidup, tiada yang lainnya.

Pada saat tercapainya puncak kemabukan

cinta, maka akan terjadi perkawinan jiwa

anatara sang Khaliq dengan makhluknya,

dimana terjadi sintesa antara pecinta dan

yang dicinta yang terwujud dalam kondisi

bersatu atau fana’ (lebur dalam diri Tuhan),

menurut Rumi antara manusia dan Tuhan

tidak terpisahkan lagi, karena sudah

manunggal, tapi tidak berarti manusia telah

menjadi atau sama dengan Tuhan, karena

Tuhan adalah sang pencipta (Sri Muryanto,

2004:36-37).

Dhanu Priyo Prabowo (2003:136): “Semua

ungkapan kemanunggalan tersebut tidak

dimaksudkan untuk mengajarkan bahwa di

dalam pertemuan manusia dengan Tuhan

tersebut, manusia menjadi Tuhan. Berbagai

istilah itu harus dipandang sebagai

pengungkapan pengalaman mistis, karena

manusia diserbu oleh keagungan dan

keindahan Tuhan serta sedemikian dalam

kesatuan, seolah-olah hapuslah dirinya

(fana)”

Pengertian konsep Manunggaling kawula

Gusti dapat dengan mudah dipahami dan

sekaligus sukar dimengerti. Karena manusia

dikatakan bukan Tuhan tetapi bukan Tuhan,

dikatakan Tuhan tetapi kelihantannya sama

dengan Tuhan. Ungkapan manunggaling

kawula Gusti, tidaklah dimaskudkan

sebagai hamba sama dengan Tuhan (Dhanu

Priyo Prabowo, 2003:137). Kesatuan

manusia dengan Tuhan dalam konsep

manunggaling kawula Gusti sulit

dirumuskan dengan kata-kata yang tepat,

yang memiliki pengertian tunggal dan jelas.

Konsep manunggaling kawula Gusti hanya

dapat diterangkan dengan rumusan kata-

kata yang tegas mengarah kesuatu

pengertian.

Dari beberapa pengertian tentang konsep

wihdatul wujud dapat disimpulkan bahwa

wihdatul wujud adalah suatu keadaan di

mana seseorang merasa bersatu dengan

Tuhan. Dalam pertemuan manusia dengan

Page 6: TRI ULFA SUSILA 2611414001 -  · PDF filedan kasat mata tanpa hati sejati. ... mengerjakan amalan-amalan badaniah ... guru spiritual yang akan membawa menuju

Tuhan. Dalam konsep manunggaling

kawula Gusti tidak dimaksudkan hamba

sama dengan Tuhan. Berbagai istilah itu

harus dipandang sebagai pengungkapan

mistik, karena manusia terlena oleh

keagungan dan kebesaran Tuhan sehingga

dilarutkan dalam kesatuan, seolah-olah

hapuslah dirinya (fana).

Menurut Simuh (1988:362), ada beberapa

istilah yang menunjukan kesamaan dengan

ajaran di atas antara lain: ilmu ma’rifat,

ilmu kasampurnaan, ilmu kassunyatan,

ilmu sangkan paraning dumadi. Di dalam

ilmu ma’rifat terdapat pengetahuan yaitu

ilmu mengetahui seyakin-yakinnya, di sini

diartikan mengenal kepada Allah baik

sifat_Nya, dan asma_Nya pula. Dikenal

pula ilmu kasempurnaan, di dalam ilmu ini

membuat manusia menjadi lebih sempurna,

ini terpengaruh oleh paham tasawuf bahwa

penghayatan ma;rifat kepada tuhan disebut

insan kamil, selanjutnya ilmu sangkan

paran, yaitu apabila mengenal Tuhan maka

mengenal asal kejadian masnua yang

berasal dari Tuhan dan akan kembali juga

kepad_Nya. Dengan ini Tuhan merupakan

sangkan paraning dumadi atau asal dan

tempat kembali semua kejadian.

Kisah Dewa Ruci memberikan

gambaran bahwa untuk mendalami dan

meresapi konsep Manunggalling Kawula

Guust itu sendiri, manusia harus melalui

tahapan-tahapan yang harus dilalui, yakni :

Syariat (sembah raga), Tarekat (sembah

kalbu), Hakekat (sembah jiwa) dan Makrifat

(sembah rasa). Hal ini tergambarkan dalam

perjalanan Bima mencari air kehidupan, ia

harus melalui rintangan, sampai akhirnya

bertemu dengan dewa Ruci untuk

mendapatkan “Ngelmu Kasampurnan

Dumadi”.

Syariat

Syariat dalam bahasa Jawa disebut

sarengat atau laku raga, sembah raga,

merupakan pijakan awal bagi seseorang

untuk menempuh laku perjalanan menuju

manusia sempurna, yaitu dengan

mengerjakan amalan-amalan badaniah

ataupun lahiriah dari segala hukum agama.

Amalan-amalan itu menyangkut hubungan

manuisa dengan Tuhan, hubungan manusia

dengan manusia, dan hubungan manusia

dengan lingkungan alam sekitarnya. Di

samping amalan-amalan seperti itu, dalam

kaitan hubungan manusia dengan manusia,

orang yang menjalani syariat, di antaranya

kepada orang tua, guru, pimpinan, dan raja,

ia hormat serta taat. Segala perintahnya

dilaksanakan. Dalam pergaulan ia bersikap

jujur, lemah lembut, sabar, kasih-mengasihi,

dan beramal soleh. Sedangkan konsep

Syariat di dalam Serat Dewa Ruci adalah

sebagai berikut:

Di dalam serat Dewa Ruci ini

terdapat empat tahapan menuju Tuhan, yang

keempatnya dianggap sebagai sebuah anak

Page 7: TRI ULFA SUSILA 2611414001 -  · PDF filedan kasat mata tanpa hati sejati. ... mengerjakan amalan-amalan badaniah ... guru spiritual yang akan membawa menuju

tangga yang akan mengantarkan seseorang

menuju puncak kemakrifatan. Keempat

tahapan tersebut adalah syariat, tarekat,

hakikat dan makrifat. Ke empat anak tangga

ini saling berkesinambungan dan juga saling

terkait antara satu dengan yang lain. dan

untuk mencapai puncak tidak ada jalan lain

selain harus melewati anak tangga tersebut

satu tahap demi satu tahap, dengan tanpa

melewati satupun anak tangga. Anak tangga

yang merupakan awal atau menjadi pintu

gerbang utama menuju puncak adalah

Syariat. Dalam menyelami lau syariat,

hampir dalam tradisi sufi para penempuh

jalan ruhani harus dibimbing oleh seorang

guru spiritual yang akan membawa menuju

puncak hakikat. Dalam Serat Dewa Ruci hal

tersebut juga nampak pada usaha Bima

untuk berguru pada Resi Druna.

Seorang guru yang baik

diamanatkan dalam Serat Dewa Ruci

sebagai berikut: “Pratingkah angayawara,

tapaning raga runting, denira amrih

kamuksan, tanpa tutur sinareki, wuk

tapanira, dene kang lestari iku, tapa iku

minangka, ragining sariraki, ilmu iku iya

kang minangka ula.”(Pupuh

Dhandhanggula)

Artinya:

Bertingkah seenaknya sendiri,

bertapa dengan merusak diri, dalam

mendapat kamuksan, tanpa berkata, gagalah

pertapaannya, sedangkan yang lestari itu,

bertapa sebagai ragi untuk dirimu sendiri,

sedangkan ilmu itu sendiri merupakan

lauknya.

Dari kutipan di atas menunjukan

bahwa seorang guru wajib untuk dihormati,

disembah karena dari jasa gurulah kita

belajar menjadi manusia yang sempurna.

Guru merupakan pintu gerbang yang akan

mengantarkan kita pada tujuan kita masing-

masing. Dari gurulah kita belajar bagaimana

kesempurnaan hidup hingga akhir hayat,

yang memberi petunjuk tentang kebaikan

dan dialah yang memberikan nasihat ketika

seseorang sedang bersusah hati. Di dalam

Serat Wulangreh, keberadaan guru yang

benar-benar arif dan berpengalaman di

dalam menempuh perjalanan kehidupan

kerohanian sangatlah penting. Di dalam

Pupuh Dhandhanggula, pada 16 dijelaskan

bahwa mematuhi perintah guru tidak boleh

bosan. Amalan selalu dilaksanakanatas

perintah guru. Oleh sebab itu, keberadaan

guru sangat penting. Masyarakat Jawa

memberi tempat yang terhormat kepada

guru.

Dalam Serat Dewa Rusi diceriakan

bahwa Bima diperintahkan gurunya untuk

mencari air kehidupan. Hal ini dijelaskan

pada awal pupuh Dhandhanggula Serat

Dewa Ruci. Kisah perjalanan Bima dalam

mencari air kehidupan mengisyaratkan

bahwa dalam mendalami ilmu agama,

seseorang harus berbaik sangka, tidak boleh

Page 8: TRI ULFA SUSILA 2611414001 -  · PDF filedan kasat mata tanpa hati sejati. ... mengerjakan amalan-amalan badaniah ... guru spiritual yang akan membawa menuju

ada ragu-ragu, tidak takut terhadap

kesulitan serta memiliki tekad yang bulat.

Laku Bima dalam tahap Syariat

tersebut adalah gambaran bagi manusia agar

mempunyai rasa bakti, patuh dan setia

kepada semua guru. Seorang siswa yang

tidak berbakti, patuh dan setia kepada guru

tidak akan bermanfaat di dalam masyarakat.

Tarekat

Tarekat dalam bahasa Jawa laku

budi, sembah cipta adalah tahap perjalanan

menuju manusia sempurna yang lebih maju.

Amalan pada tahap ini lebih banyak

menyangkut hubungan dengan Tuhan

daripada hubungan manusia dengan

manusia ataupun dengan lingkungan alam

sekitarnya. Pada tingkat ini seseorang akan

menyesali terhadap segala dosa yang

dilakukan. Kepada gurunya ia berserah diri

sebagai mayat.

Dalam ajaran Serat Dewa Ruci yang

berkakitan dengan Tarekat sebagai berikut:

Tokoh Bima digambarkan sebagai murid

yang sangat taat. Kepercayaannya dan

keyakinannya pada sang guru sedemikian

kuatnya. Sehingga apa yang diperintahkan

oleh sang guru maka akan langsung

dikerjakan Bima. Dalam pencarian air

kehidupan, Bima diperintahkan sang Drona

untuk mencari air kehidupan tersebut di

dalam gunung Candradimuka. Sebagai

wujud ketaatan seorang guru kepada

gurunya, berangkatlah sang Bima menuju

gunung Candradimuka. Sesampainya di

dalam gunung, Bima tak juga menemukan

air yang dimaksud gurunya. Karena kesal

diobrak abriklah seluruh isi gunung

tersebut. Tanpa diduga, di dalam gunung

ternyata tinggalah dua raksasa bernama

Rukmuka dan Rukmakala. Karena merasa

diganggu oleh sang Bima kedua raksasa

tersebut pada akhirnya bertarung melawan

Bima. Terjadilah perkelahian, namun dalam

perkelahian dua raksasa tersebut kalah.

Keduanya ditendang, dibanting ke atas batu

dan seketika meledak hancur lebur.

Raksasa tersebut sebenarnya

merupakan sebuah kiasan simbolik.

Rukmuka menggambarkan bentuk nafsu

pancaindra yang cenderung membawa

kesesatan manusia, sedangkan Rukmakala

melambangkan alam pikiran manusia yang

sering lepas kendali sampai membahayakan

dirinya atau orang lain. inilah gambaran

pembelajaran bahwa manusia untuk

mencapai tujuannya selalu menghadapi

ancaman, tantangan, hambatan dan

gangguan.

Kegagalan Bima dalam memperoleh

air kehidupan tidak membuatnya menyerah,

malah sebaliknya. Dia kembali kepada sang

Guru dengan keyakinan dan ketaatan yang

semakin bertambah. Tekadnya semakin

besar dalam mencari air kehidupan yang

diperintahkan gurunya. Dalam kisah

Page 9: TRI ULFA SUSILA 2611414001 -  · PDF filedan kasat mata tanpa hati sejati. ... mengerjakan amalan-amalan badaniah ... guru spiritual yang akan membawa menuju

tersebut mengandung peristiwa bahwa

seseorang yang menjalani laku tarekat, akan

semakin bertambah keimanannya maka

akan semakin besar pula godaannya.

Adapun tempat tirta prawita (air

kehidupan) di dasar laut memberi makna

bahwa untuk sampai pada tingkat

makrifatullah memang sukar, jauh dan

dalam.

Menurut Ki Darmonosunarso,

peritiwa nyebur ing telenging samudro itu

dinamakan sebagai suatu perbuatan atau

lambang perjuangan manusia melepaskan

jati diri dari cengkraman hawa nafsu birahi.

Bima dalam proses pencarian air kehidupan

telah melepaskan semua yang ia miliki,

hingga dia sendiri berani mati demi

mendapatkan air kehidupan tersebut. ikut

matinya Bima bersama Nemburnawa ini

menandakan bahwa Bima mengalami mati

sajroning ngaurip demi harapan urip

sajroning mati. Dalam hal ini, yang

mengalami kematian hanya raga. Sedang

jiwa tau sukma yang menghidupi raga,

selama hayat dikandung badan tidak

mengalami kematian, tetapi kembali kepada

sli, yaitu Yang Maha Pencipta semseta

alam. Perjalanan ruh Bima inilah yang

mensiratkan pemebelajaran hidup.

Dari uraian di atas menjelaskan

bahwa sikap sabar dan berpasrah diri secara

total merupakan ajaran penting yang harus

dijalankan oleh seseorang yang ingin

mendapatkan sesuatu yang diharapkan.

Hakikat

Hakikat (Jawa laku manah, sembah

jiwa) adalah tahap perjalanan yang

sempurna (pupating laku). Berbeda dengan

dua tahap sebelumnya, dalam hal bersuci

tidak seperti pada tahap syariat yakni

wudhu atau mandi juga tidak seperti pada

tahap tarekat yang caranya dengan

menundukan hawa nafsu. Dalam tahap

hakikat, cara bersucinya dengan awas emut

(selalu waspada dan dengan sholat, berdoa,

berdzikir, atau menyebut nama Tuhan

secara terus menerus). Tahap ini biasa

disebut keadaan mati dalam hidup dan

hidup dalam kematian. Sast tercapainya

tingkatan hakikat terjadi dalam suasana

yang terang benderang gemerlapan dalam

rasa lupa-lupa ingat, antara sadar dan tidak

sadar. Dalam keadaan seperti muncul Nyala

Sejati atau Nur Illahi. Adapun bagian Serat

Dewa Ruci yang berkaitan dengan tahap

hakikat sebagai berikut:

Setelah Bima menjalankan banyak

laku maka hatinya menjadi bersih. Dengan

hati yang bersih ini ia kemudian melihat

Tuhannya lewat dirinya. Penglihatan atas

diri Bima ini dilambangkan dengan

masuknya tokoh utama ini ke dalam Dewa

Ruci.

Page 10: TRI ULFA SUSILA 2611414001 -  · PDF filedan kasat mata tanpa hati sejati. ... mengerjakan amalan-amalan badaniah ... guru spiritual yang akan membawa menuju

Puncak kisah Dewa Ruci ialah

ketika Bima bertemu dengan wujudnya

sendiri, penjelmaan yang Maha Kuasa.

Bima menemukan apa yang dicarinya

sebagai air kehidupan, sangkan paran, asal

usul dirinya dijelaskannya satu pengertian

dari dunia wayang itu untuk memahami

berbagai realitas usaha, manusia dalam

mencapai persekutuan dengan yang

Illhi,sampai pada masalah kekuasaan.

Dalam Serat Dewa Ruci, Tuhan

dilambangkan sebagai makhluk yang sangat

kecil sekaligus sangat besar. Karena ia kecil

maka ia dapat melihat seluruh semesta

dengan terang bendenrang dalam warna-

warni. Karena ia besar, maka ia adalah

muara dari segala sesuatu seperti samudra

yang menjadi muara dari segala aliran

sungai, seperti raksasa tempat bertabur

segala planet dan bintang. Dalam

pandangan ini Tuhan dianggap sebagai yang

terbesar, tak terbatas, dan sebagai seluruh

alam semseta, dan sekaligus kecil sehingga

dapat dimiliki oleh seseorang.

Persitiwa masuknya Bima ke dalam

badan Dewa Ruci melamangkan bahwa

Bima mulai berusaha untuk mengenali

dirinya sendiri. dengan memandang

Tuhannya di dalam kehidupan kekal, Bima

telah mulai memperoleh kebahagiaan. Di

dalam Serat Dewa Ruci itu sendiri Tuhan

dapat dikenali melalui jati diri, hati atau

aspek batiniah (weru sangkan paraning

dumadi). Dengan kata lain bahwa

kesempurnaan hidup dapat ditemukan pada

diri sendiri setelah mampu mengalahkan

hawa nafsu dengan prihatin, mengekang

diri, pengenalan diri, keuletan dan

keteguhan hati serta disiplin yang kuat.

Pengenalan diri lewat symbol yang

demikian secara filosofis sebagai realisasi

bahwa Bima telah mencapai tahap hakikat.

Hakikat Tuhan dalam serat Dewa

Ruci disebut Hyang Suskma atau jiwa

semesta yang bersifat spiritual. Hyang

Suskma adalah wujud ketuhanan yang tidak

berbentuk, tnampak, dan hanya ditemukan

oleh orang yang berhati ssuci dan waspada.

Hyang Suskma adalah wujud tertinggi dari

seala yang ada.

Keadaan yang dialami oleh Bima

yang mencerminkan bahwa dirinya telah

mencapai tahap makrifat, di anataranya ia

merasakan: keadaan dirinya dengan

Tuhannya bagaikan air dengan ombak,

nikmat dan bermanfaat, segala yang

dimaksud olehnya tercapai, hidup dan mati

ada bedanya, serta berseri bagaikan sinar

bulan purnama menyinari bumi.

Konsep manunggaling kawula gusti

dalam serat Dewa Ruci disebutkan dalam

pupuh kutipan berikut:

Sarta nugraha satuhu,

yen wruh ing paworireki,

woring Gusti lan Kawula,

sarta panuwunireki,

Suksma kang sinedya ana,

dening ta warnanireki.

Page 11: TRI ULFA SUSILA 2611414001 -  · PDF filedan kasat mata tanpa hati sejati. ... mengerjakan amalan-amalan badaniah ... guru spiritual yang akan membawa menuju

Wus aneng sira nggonipun

Lir wayang sariraneki

Barang saparipolanya

Saking dhadhalang kang kardi

Kang minangka panggung jagad

Kelir kang kinarya ngringgit.

Pamolahing wayang iku

Saking dhalang kang akardi

Tumindhak sarta pangucap

Dhalang wisesa akardi

Tan antara moring karsa

Jer iku datanpa warni

Warna wus aneng sireku

Upama paesan jati

Ingkang angilo Hyang Suksma

Wayanganira puniki

Kang aneng jroning papaesan

Jenenging kakwula iki

Uraian di atas menerangkan bahwa

kehidupan manusia merupakan

pencerminan Tuhan, karena sangat dekatnya

hubungan manusia dengan tuhan (jating

rasa) penglihatan dan pendengaran manusia

menjadi penglihatan dan pendengaranNya.

Kedekatan itu juga menggambarkan badan

lahir dan badan batin, hamba dengan Tuhan

bagaikan api dengan asapnya, bagaikan air

dengan ombak, bagaikan minyak di atas air

susu.

Konsep manunggaling kawula gusti

yang tekandung di dalam serat Dewa Ruci

sebenarnya tetap menganggap bahwa Tuhan

tetap dipahami sebagai zat yang hakiki.

Dengan kata lain dalam Serat Dewa Ruci

tetap berpandangan hamba dengan zat

Tuhannya tetap berbeda. Yang mendekati

kesamaan hanyalah dalam sifatnya. Dalam

keadaan manunggal, manusia memiliki sifat

Illahi

Bima setelah mengetahui,

menghayati, dan mengalami manunggal

sempurna dnegan Tuhannya karena

mendapatkan wejangan dari Dewa Ruci, ia

hatinya terang bagaikan kuncup bunga yang

sedang mekar. Bima kembali kepada alam

dunia semula. Keadaan hati yang terang

benderang bagaikan kuncup yang sedang

mekar secara filosifis melambangkan bahwa

Bima telah mencapai tahap makrifat.

Page 12: TRI ULFA SUSILA 2611414001 -  · PDF filedan kasat mata tanpa hati sejati. ... mengerjakan amalan-amalan badaniah ... guru spiritual yang akan membawa menuju

PENUTUP

Dari analisis di atas maka dapat di

ambil kesimpulan bahwa Konsep

manunggaling kawula gusti yang tekandung

di dalam serat Dewa Ruci sebenarnya tetap

menganggap bahwa Tuhan tetap dipahami

sebagai zat yang hakiki. Dengan kata lain

dalam Serat Dewa Ruci tetap berpandangan

hamba dengan zat Tuhannya tetap berbeda.

Yang mendekati kesamaan hanyalah dalam

sifatnya. Dalam keadaan manunggal,

manusia memiliki sifat Illahi

.

DAFTAR PUSTAKA

Edwin, 2011. SERAT DEWA RUCI (Studi

Pemikiran Tasawuf Yasadipura I).

Surakarta: Skripsi Universitas

Sebelas Maret

Koswara, Iwa. 2007. Nilai-Nilai

Pendidikan dalam Serat Dewa

Ruci dan Relevansinya dengan

Pendidikan Islam. Yogyakarta:

Skripsi UIN Sunan Kalijaga

Akhdiyat, Muhatma Zat. 2015. Kajian

Semiotik dan Nilai

PendidikanKarakter Serat Dewa

Ruci. Surakarta: Tesis Universitas

Sebelas Maret.

Simuh. 1988. Mistik Islam Kejawen R. Ng.

Ranggawarsita. Jakarta: UI Press

Prabowo, Dhanu Priyo. 2003. Pengaruh

Islam dalam Karya-karya R.Ng.

Ranggawarsita. Yogyakarta:

Narasi

Purwadi. 2004. Tasawuf Muslim Jawa.

Yogyakarta: Pustaka