trauma update

31
Pendahuluan Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Definisi ini memberikan gambaran superfisial dari respons fisik terhadap cedera. Trauma juga mempunyai dampak psikologis dan sosial. Pada kenyataannya, trauma adalah kejadian yang bersifat holistik dan dapat menyebabkan hilangnya produktivitas seseorang. Trauma lebih kompleks dari sekadar cedera. Fraktur jari tangan pada seorang pemain piano atau seorang ahli bedah, dampaknya sangat berat dan dapat menghentikan kariernya; sementara cedera yang sama pada orang berprofesi lain merupakan gangguan yang ringan. Risalah tertua tentang trauma terdapat pada “Edwin Smith Papyrus” yang ditulis antara 3000 sampai 1600 SM, sedangkan kata “trauma” pertama kali dipakai pada zaman Hippocrates. Penanggulangan trauma berkembang pada zaman kerajaan Mesir dan mencapai puncaknya pada 3500 SM. Teknik operasi rekonstruksi hidung sangat berkembang dan masih dipakai sampai sekarang. Pada masa awal ilmu kedokteran Cina (2600 SM) telah mulai dikembangkan teknik debridemen yang juga masih dipakai pada masa kini. Perkembangan penanggulangan trauma dalam ilmu bedah modern dimulai oleh Ambroise Pare (1545) yang melarang memasukkan obat-obatan ke dalam luka dan membiarkan penyembuhan secara alami; hal ini diungkapkannya dalam kata-katanya : “I dressed him, and God healed him”. John Hunter membedakan antara primary healing dan secondary healing. Ilmu ini berkembang sejalan dengan terjadinya berbagai peperangan, mulai dari zaman Napoleon sampai ke Perang Teluk dan Perang Afganistan. Pada yang terakhir ini, konsep ATLS ( Advance Trauma Life Support ) dalam pertempuran mulai diterapkan dan pengetahuan tentang patofisiologi trauma sampai ke tingkat seluler sudah lebih dipahami sehingga kematian akibat trauma dapat ditekan. Semua yang dipelajari dalam 1

Upload: basimah

Post on 25-Apr-2015

67 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: Trauma Update

Pendahuluan 

Trauma adalah keadaan yang disebabkan oleh luka atau cedera. Definisi ini memberikan gambaran 

superfisial dari respons fisik terhadap cedera. Trauma juga mempunyai dampak psikologis dan sosial. 

Pada kenyataannya, trauma adalah kejadian yang bersifat holistik dan dapat menyebabkan hilangnya 

produktivitas   seseorang.   Trauma   lebih   kompleks   dari   sekadar   cedera.   Fraktur   jari   tangan   pada 

seorang pemain piano atau seorang ahli bedah, dampaknya sangat berat dan dapat menghentikan 

kariernya;   sementara   cedera   yang   sama   pada   orang   berprofesi lain   merupakan   gangguan   yang 

ringan.

Risalah tertua tentang trauma terdapat pada “Edwin Smith Papyrus” yang ditulis antara 3000 

sampai   1600   SM,   sedangkan   kata   “trauma”   pertama   kali   dipakai   pada   zaman   Hippocrates. 

Penanggulangan trauma berkembang pada zaman kerajaan Mesir dan mencapai puncaknya pada 3500 

SM. Teknik operasi rekonstruksi hidung sangat berkembang dan masih dipakai sampai sekarang. Pada masa 

awal ilmu kedokteran Cina (2600 SM) telah mulai dikembangkan teknik debridemen yang juga masih 

dipakai pada masa kini. Perkembangan penanggulangan trauma dalam ilmu bedah modern dimulai 

oleh Ambroise Pare (1545) yang melarang memasukkan obat-obatan ke dalam luka dan membiarkan 

penyembuhan secara alami; hal ini diungkapkannya dalam kata-katanya : “I dressed him, and God 

healed  him”.   John  Hunter  membedakan  antara  primary healing  dan   secondary  healing.   Ilmu   ini 

berkembang sejalan dengan terjadinya berbagai peperangan, mulai dari zaman Napoleon sampai ke 

Perang   Teluk   dan   Perang   Afganistan.   Pada   yang   terakhir   ini,   konsep   ATLS 

( Advance Trauma Life Support )   dalam   pertempuran   mulai   diterapkan   dan   pengetahuan   tentang 

patofisiologi   trauma   sampai   ke   tingkat   seluler   sudah   lebih   dipahami   sehingga   kematian   akibat 

trauma dapat   ditekan.   Semua yang   dipelajari   dalam   peperangan   banyak   dimanfaatkan   dalam 

penanggulangan trauma dalam kehidupan sipil.

Untuk menilai kualitas penanggulangan trauma dikembangkan sistem skoring seperti revised 

trauma   score  yang   berkembang   dari  trauma   score   untuk   menilai   keadaan   fisiologis,sedangkan 

abbreviated   injury   scale(AIS)   berkembang  menjadi   Injury Severity Score(ISS)   yang  menilai   secara 

anatomis. Kombinasi RTS, ISS, umur pasien, dan tipe cedera menjadi metode TRISS. Dengan metode 

ini   dapat   dihitung kemungkinan   ketahanan  hidup   (probability   of   suvival,   Ps)   secara   retrospektif. 

Triase   (triage)   juga   berkembang   baik   pada   fase   pre-RS  maupun   pada   fase   RS.   Triase   dapat 

dimanfaatkan pada satu pasien untuk mencari masalah yang dihadapi pasien tersebut, tetapi dapat 

juga pada banyak pasien (korban massal) untuk mengelompokkan pasien sesuai dengan beratnya 

1

Page 2: Trauma Update

cedera. Dalam kedua keadaan ini dipakai prinsip ATLS, yaitu A, B, C, D dan E untuk menilai apa yang 

jadi masalah dan apa yang harus ditanggulangi lebih dahulu.

Trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok umur di bawah 35 tahun. Di 

Indonesia, trauma merupakan penyebab kematian nomor empat, tetapi pada kelompok umur 15-25 

tahun, merupakan penyebab kematian utama.  Sejak lama trauma merupakan suatu masalah medis 

yang terabaikan (neglected disease)oleh para dokter,  masyarakat,  maupun pemerintah di seluruh 

dunia.  Pasien   trauma ditangani  oleh  tiap-tiap  spesialisasi   sesuai  dengan  cederanya,  tidak  secara 

komprehensif-sistematik.  Diperlukan   sikap  holistik  dari   berbagai   spesialisasi   untuk  bekerja   sama 

sebagai suatu system penanggulangan trauma. Perubahan mulai terjadi setelah para veteran perang 

Vietnam kembali ke Amerika Serikat dengan dikembangkannya penanggulangan trauma yang lebih 

baik pada fase pra-RS (Ambulans Gawat Darurat,  AGD) maupun pada fase RS berupa unit  gawat 

darurat atau trauma center. Seorang ahli bedah ortopedi Amerika Serikat yang bersama keluarganya 

mengalami  kecelakaan dengan pesawat  pribadinya telah memulai  kursus  “Advanced Trauma Life 

Support”(ATLS)   di   bagian   Bedah   Universitas   Nebraska   setelah   merasa   kecewa   dengan 

penanggulangan  trauma yang  diterimanya.  Kursus   ini  kemudian  menyebar  ke  seluruh  dunia  dan 

mulai diterapkan oleh Komisi Trauma Ikatan Ahli Bedah Indonesia pada tahun 1995. 

Konsep ATLS mempengaruhi pola pikir untuk berbagai kursus lain, seperti Prehospital Life 

Support   (PHTLS)   dan   Basic   Trauma   Life   Support   (BTLS).Konsep   A   (airway),   B   (breathing),   C 

(circulation), D (disability), dan E (exposure) sudah menjadi bahasa universal dalam penanggulangan 

penderita trauma dan pasien gawat darurat lainnya, baik pada fase pra-RS maupun pada fase RS. 

Dewasa ini trauma melanda dunia bagaikan wabah karena dalam kehidupan modern penggunaan 

kendaraan   automotif   dan   senjata   api   semakin   luas.   Sayangnya,   penyakit   akibat   trauma   sering 

ditelantarkan sehingga trauma merupakan penyebab kematian utama pada kelompok usia muda dan 

produktif di seluruh dunia. Angka kematian ini dapat diturunkan melalui upaya pencegahan trauma 

dan penanggulangan optimal yang diberikan sedini mungkin pada korbannya. Perlu diingat bahwa 

penanggulangan trauma bukan hanya masalah  di   rumah sakit,   tetapi  mencakup penanggulangan 

menyeluruh yang dimulai di tempat kejadian, dalam perjalanan ke rumah sakit dan di rumah sakit. 

Trauma dapat menyebabkan perubahan fisiologi sehingga terjadi gangguan metabolisme kelainan 

imunologi,dan gangguan faal berbagai organ. Penderita trauma berat mengalami gangguan faal yang 

penting,   seperti   kegagalan   fungsi   membran   sel,   gangguan   integritas   endotel,   kelainan   sistem 

imunologi,  dan dapat pula terjadi  koagulasi   intravascular  menyeluruh (Disseminated Intravascular 

Coagulation = DIC).

2

Page 3: Trauma Update

Penyebab

Trauma dapat disebabkan oleh benda tajam, benda tumpul, atau peluru. Luka tusuk dan luka tembak 

pada suatu rongga dapat dikelompokkan dalam kategori luka tembus. Untuk mengetahui bagian tubuh 

yang terkena, organ apa yang cedera, dan bagaimana derajat  kerusakannya,   perlu diketahui   biomekanik 

trauma.   Cedera   pada   trauma   dapat   terjadi   akibat   tenaga   dari   luar   berupa   benturan, 

perlambatan(deselarisasi),  dan kompresi,  baik  oleh benda tajam,  benda tumpul,  peluru,   ledakan, 

panas,maupun   zat   kimia.   Akibat   cedera   ini   dapat   berupa   memar,   luka   jaringan   lunak,   cedera 

muskuloskeletal, dan kerusakan organ.

Trauma Tumpul

Trauma tumpul kadang tidak menimbulkan kelainan yang jelas pada permukaan tubuh,tetapi dapat 

mengakibatkan kontusi atau laserasi jaringan atau organ di bawahnya. Trauma tumpul dapat berupa 

benturan benda tumpul,  perlambatan (deselarisasi),  dan kompresi.  Benturan benda tumpul  pada 

toraks dapat menimbulkan cedera berupa patah tulang iga; yang mana menyebabkan terjadinya flail 

chest yang tampak dalam gerakan nafas dinding dada yang paradoksal yaitu bagian dinding dada 

yang   ke   dalam   ketika   inspirasi   dan   menonjol   keluar   sewaktu   ekspirasi.   Biasanya   terjadi   juga 

hematotoraks dan pneumotoraks akibat kerusakan pleura dan jaringan paru. Benturan benda tumpul 

pada abdomen dapat menimbulkan cedera pada organ berongga berupa perforasi atau organ padat 

berupa perdarahan.

Cedera deselerasi sering terjadi pada kecelakaan lalu lintas karena setelah tabrakan  badan 

masih melaju dan kemudian tertahan suatu benda keras sedangkan bagian tubuh yang relatif tidak terpancang 

bergerak terus dan menyebabkan terjadinya robekan pada hilus organ tersebut. Organ yang mungkin 

robek   itu   adalah  aorta,   jantung,   bronkus,   ginjal,   dan   limpa.  Cedera   kompresi   terjadi   bila  orang 

tertimbun runtuhan atau longsoran yangmenimbulkan tekanan secara tiba-tiba pada rongga dada. 

Cedera ledak adalah luka atau kerusakan jaringan akibat ledakan granat, bom, atau ledakan dalam 

air. Kerusakan jaringan dapat disebabkan oleh pecahan logam atau energy yang ditimbulkan oleh 

ledakan. Korban kecelakaan lalu lintas dapat diduga jenis cederanya dengan meneliti riwayat trauma 

dengan cermat.

3

Page 4: Trauma Update

Inisiasi Resusitasi

Selama   tahap  pre-rumah   sakit,   pasien   trauma  harus   cepat   dinilai   dan  perawatan  diprioritaskan 

berdasarkan mekanisme cedera dan tanda-tanda vital  pasien. Tujuan dari  resusitasi  adalah untuk 

meningkatkan perfusi organ dan jaringan sekaligus mengobati kondisi yang mengancam jiwa. Dalam 

kebanyakan kasus,   inisiasi  resusitasi  pasien dilakukan di  daerah resusitasi  trauma tetapi  ada juga 

pasien yang dibawa langsung ke ruang operasi untuk diselamatkan. Dalam kedua kasus, Advanced 

Trauma Life  Support   (ATLS)  primer  dan   sekunder   survey  perlu  dipraktekkan.  Alat  pelindung  diri 

(misalnya, masker wajah, pelindung mata, scoop, dan sarung tangan) harus digunakan bahkan ketika 

mengevaluasi pasien yang memiliki cedera ringan. 

Obat-obatan   yang   sering   digunakan   juga   perlu   disediakan   di   daerah   resusitasi   trauma. 

Meskipun prinsip-prinsip resusitasi berdasarkan pada survei primer dan sekunder, dokter resusitasi 

harus diingat  bahwa prioritas  pengobatan didirikan atas dasar  mekanisme pasien cedera,  cedera 

yang jelas, pemeriksaan klinis, dan tanda-tanda vital. Selain itu, dokter dan anggota tim resusitasi 

trauma mengidentifikasi  dan mengobati kondisi  yang mengancam jiwa secara bersamaan, namun 

terus menilai dan menilai kembali status pasien.

Persiapan

Persiapan pasien berlangsung berlangsung dalam 2 fase yang berbeda. Fase pertama adalah fase pra 

rumah sakit di mana seluruh penanganan pasien sebaiknya berlangsung dalam koordinasi dengan 

dokter  di   rumah   sakit.   Fase   kedua  adalah   fase   rumah   sakit  di  mana  dilakukan  persiapan  untuk 

menerima pasien, sehingga dapat dilakukan resusitasi dalam waktu yang singkat.

Fase Pra Rumah Sakit

Koordinasi yang baik antara dokter di rumah sakit dengan petugas lapangan akan menguntungkan 

pasien.   Sebaiknya   rumah   sakit   sudah  diberitahukan   sebelum pasien  mulai  diangkut  dari   tempat 

kejadian. Pemberitahuan ini memungkinkan rumah sakit mempersiapkan tim trauma sehingga sudah 

siap saat  pasien sampai   rumah sakit.  Pada  fase pra rumah sakit,  dititikberatkan pada penjagaan 

airway, control perdarahan dan syok,  imobilisasi pasien dan segera ke rumah sakit terdekat yang 

cocok, sebaiknya ke pusat trauma yang diakui.

Waktu di tempat kejadian yang lama harus dihindari. Yang penting adalah mengumpulkan 

keterangan yang nanti dibutuhkan di rumah sakit seperti waktu kejadian, sebab kejadian dan riwayat 

pasien. Mekanisme kejadian dapat menerangkan jenis dan berat perlukaan.

4

Page 5: Trauma Update

Fase Rumah Sakit

Harus dilakukan perencanaan sebelum pasien tiba. Sebaiknya ada ruangan/ daerah khusus resusitasu 

untuk pasien trauma. Perlengkapan airway (laringoskop, endotracheal tube dsb) sudah dipersiapkan, 

dicoba   dan   diletakkan   di   tempat   yang   mudah   terjangkau.   Cairan   kristalloid   (misalnya   Ringer’s 

Lactate)   yang   sudah   dihangatkan   disiapkan   dan   diletakkan   pada   tempat   yang   mudah   dicapai. 

Perlengkapan monitoring  yang diperlukan sudah dipersiapkan.  Suatu system pemanggilan tenaga 

medic   tambahan harus ada,  demikian  juga tenaga  laboratorium dan radiologi.   Juga dipersiapkan 

formulir rujukan ke pusat trauma.

Sebaiknya ada pelaporan periodic yang dikaji secara multi disiplin. Semua tenaga medic yang 

berhubungan   dengan   pasien   harus   dihindarkan   dari   kemungkinan   penularan   penyakit   menular 

terutama hepatitis dan AIDS. Harus dianjurkan pemakaian alat-alat protektif seperti masker, proteksi 

mata,  baju kedap air,  sepatu dan sarung tangan kedap air,  bila ada kontak dengan cairan tubuh 

pasien. 

TRIASE

Triase adalah cara pemilahan pasien berdasarkan kebutuhan terapi dan sumberdaya yang tersedia. 

Terapi berdasarkan pada prioritas ABC. Triase juga berlaku untuk pemilahan pasien di lapangan dan 

rumah sakit yang akan dirujuk. Merupakan tanggungjawab bagi tenaga pra rumah sakit untuk dikirim 

ke rumah sakit yang sesuai. 

PRIMARY SURVEY

Penilaian   keadaan   pasien   dan   prioritas   terapi   berdasarkan   jenis   perlukaan,   tanda   vital   dan 

mekanisme  trauma.  Pengelolaan  pasien  berupa  primary   survey  yang  cepat,   kemudian   resusitasi, 

secondary survey dan akhirnya terapi definitive. ‘ABCDE’ merupakan metode primary survey yang 

sistematis untuk secara bersamaan mengidentifikasi dan mengobati kondisi yang mengancam jiwa.

A   Airway, menjaga airway dengan control servikal (cervical spine control)

B   Breathing, menjaga pernafasan dengan ventilasi

C   Circulation dengan control perdarahan (hemorrhage control)

D   Disability : status neurologis

E   Exposure/ environmental control : buka baju pasien tapi cegah hipotermia.

5

Page 6: Trauma Update

Selama primary survey, keadaan yang mengancam nyawa harus dikenali dan resusitasinya dilakukan 

pada saat itu juga. Prioritas pada pasien anak, pada dasarnya sama dengan orang dewasa. Walupun 

jumlah  darah,   cairan,   obat,   ukuran  anak,   kehilangan  panas  dan  pola   perlukaan  dapat   berbeda, 

namun prioritas penilaian dan resusitasi adalah sama seperti orang dewasa.

Airway

Airway manajemen ini bisa dibilang yang paling penting diajarkan untuk dan dimiliki oleh darurat 

dokter.   Ini  merupakan "A" dari  mnemonic ABC (Airway, Breathing,  Circulation),  yang membentuk 

landasan untuk resusitasi pada pasien sakit kritis dan cedera. Manajemen Airway meliputi penilaian, 

pembentukan dan perlindungan saluran udara dalam kombinasi dengan oksigenasi dan ventilasi yang 

efektif. 

Jalan napas terdiri dari   hidung dan rongga mulut. Rongga hidung memanjang dari lubang 

hidung ke nares posterior  atau choana.  Nasofaring memanjang dari  akhir  dari   rongga hidung ke 

tingkat yang palatum. Rongga mulut dibatasi oleh gigi anterior, palatum dan lidah. Orofaring, yang 

menghubungkan   rongga  mulut   dengan  nasofaring,  memanjang   dari   palatum  ke   ujung   epiglotis. 

Lanjutan orofaring yaitu laryngopharynx (hipofaring), memanjang dari epiglotis ke perbatasan atas 

kartilago krikoid (cervical, C6). Laring terletak di antara laryngopharynx dan trakea. Epiglotis, yang 

berasal dari tulang hyoid dan pangkal lidah, meliputi para glottis,mencegah aspirasi saat menelan. 

Selama   laringoskopi,   epiglotis   berfungsi   untuk   identifikasi   jalan   napas   dan   posisi   laringoskop. 

Vallecula adalah ruang di pangkal lidah posterior dibentuk oleh epiglotis dan faring anterior. 

Gambar 1. Anatomi Jalan Napas.

6

Page 7: Trauma Update

Kelancaran jalan napas yang pertama-tama dinilai meliputi pemeriksaan adanya obstruksi jalan napas 

yang disebabkan benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila, fraktur laring 

atau trakea. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikal. Dalam hal 

ini,  dapat dimulai dengan melakukan chin lift atau jaw thrust.  Pada pasien yang dapat berbicara, 

dapat dianggap jalan napas bersih, walaupun demikian penilaian ulang terhadap airway harus tetap 

dilakukan.  Pasien  dengan  gangguan  kesadaran  atau  GCS  ≤  8  biasanya  memerlukan  pemasangan 

airway   yang   definitive.   Selama   memeriksa   dan   memperbaiki   airway,   harus   diperhatikan   tidak 

berlebihan dalam ekstensi,  fleksi  dan rotasi   leher.  Kecurigaan adanya kelainan vertebra servikalis 

didasarkan   pada   riwayat   perlukaan   dan   dapat   dilihat   dengan   foto   lateral.   Dalam   keberadaan 

kecurigaan fraktur servikal, harus dipakai alat imobilisasi. Anggaplah ada fraktur servikal pada setiap 

pasien multi-trauma, gangguan kesadaran dan cedera di atas klavikula.

Tanda Sumbatan Airway

Gangguan airway dapat timbul secara mendadak dan total, perlahan-lahan dan sebagian atau 

progresif dan berulang. Oleh karena itu, penting untuk dilakukan penilaian ulang terhadap patensi 

airway dan kecukupan ventilasi. Tanda sumbatan airway dapat diketahui dengan “look, listen, feel”. 

Lihat   (look)   apakah  pasien  mengalami   agitasi   atau   kesadarannya  menurun,   tanda  hipoksia   atau 

hiperkarbia.   Sianosis  menunjukkan  hipoksemia  yang  disebabkan  oleh  kurangnya  oksigenasi     dan 

dapat   dilihat   dengan   melihat   pada   kuku   dan   kulit   sekitar   mulut.   Tidak   adanya   retraksi   dan 

penggunaan   otot-otot   nafas   tambahan.   Dengar   (listen)   adanya   suara-suara   pernafasan   yang 

abnormal antaranya, suara mendengkur (snoring), berkumur (gurgling) dan bersiul (crowing, stridor) 

yang   mungkin   berhubungan   dengan   sumbatan   parsial   pada   faring   atau   laring.   Suara   parau 

(hoarseness,   dysphonia)  menunjukkan   sumbatan  pada   laring,   pasien   yang   gaduh   gelisah   karena 

hipoksia.   Raba   (feel)   lokasi   trakea   dan   dengan   cepat   tentukan   apakah   trakea   di   tengah   atau 

terdeviasi.

Teknik Mempertahankan Airway

Bila pasien mengalami penurunan tingkat kesadaran,  maka  lidah mungkin  jatuh ke belakang dan 

menghambat hipofaring. Perlu dilakukan chin lift maneuver atau jaw thrust maneuver. 

Gambar 2. Chin Lift Maneuver.

                         Gambar 3. Jaw Thrust Maneuver.

7

Page 8: Trauma Update

Airway selanjutnya  dapat  dipertahankan dengan airway oropharingeal  atau nasofaringeal 

airway.   Tindak-tindakan   yang   digunakan   untuk   membuka   airway   dapat   menyebabkan   dan 

memperburuk  cedera  spinal.  Oleh  karena   itu,   selama mengerjakan  prosedur   ini  harus  dilakukan 

imobilisasi.

Gambar 4. Oropharyngeal dan Nasopharyngeal Airway.

Oropharyngeal  airway tidak boleh dilakukan pada pasien yang sedar karena dapat menyebabkan 

sumbatan, muntah dan aspirasi. Nasopharyngeal airway harus dimasukkan lewat hidung ke orofaring 

dengan hati-hati. Bila terdapat hambatan, jangan diteruskan. Laryngeal Mask Airway (LMA) sangat 

bermanfaat pada pertolongan pasien dengan airway yang terutama bila usaha intubasi endotrakeal 

atau bag mask gagal. Bila seorang pasien tiba ke IGD dengan LMA terpasang, harus direncanakan 

airway definitive. 

Gambar 5. Cara Pemasangan LMA.

Multilumen Esophageal Airway diguna oleh petugas pra rumah sakit 

untuk memperoleh suatu jalan napas untuk mengetahui bagian yang 

menyumbat esophagus dan yang mana bagian yang member udara 

pada trakea. Gambar 6. Multilumen Esophageal Airway.

8

Page 9: Trauma Update

Airway definitive  terdapat tiga macam yaitu, pipa orotrakeal, pipa nasotrakeal dan airway surgical 

(krikotiroidotomi atau trakeostomi). Pemasangan airway definitive bila ditemukan; 

Apneu

ketidakmampuan mempertahankan airway dengan cara lain

kebutuhan melindungi airway dari aspirasi darah atau vomitus

potensi sumbatan airway akibat fraktur tulang wajah, hematoma retrofaringeal atau kejang 

yang berkepanjangan

adanya cedera kepala tertutup yang memerlukan bantuan napas (GCS ≤ 8) 

ketidakmampuan mempertahankan oksigenasi yang adekuat dengan pemberian oksigen.

Intubasi Endotrakeal (Endotrakeal Tube, ETT). Penting untuk memastikan ada atau tidaknya fraktur 

ruas tulang leher. Pasien yang mempunyai GCS ≤ 8 harus segera diintubasi. Apabila tidak diperlukan 

intubasi   segera,  pemeriksaan   foto   cervical  dapat  dilakukan.  ETT  memerlukan  pasien  yang  masih 

bernafas spontan, kontraindikasi pada pasien apnu. Adanya fraktur wajahm fraktur sinus frontalis, 

fraktur basis crania dan fraktur  lamina cribriformis,  merupakan kontraindikasi  relative untuk ETT. 

Tanda-tandanya yaitu adanya fraktur nasalis, racoon eyes, battle sign, ekimosis retroaurikular dan 

kemungkinan kebocoran cairan serebrospinalis (rinorrhea atau otorhea). 

Ketidakmampuan melakukan intubasi trakea merupakan indikasi yang jelas untuk membuat 

airway surgical. Apabila terdapat edema pada glottis, fraktur laring atau perdarahan oropharingeal 

berat, maka airway surgical harus dibuat. Krikotiroidotomi lebih dianjurkan dari trakeostomi karena 

lebih  mudah,  perdarahan   lebih   sedikit  dan   lebih   cepar  dikerjakan.  Pada   krikotiroidotomi,   jarum 

ditusuk atau insisi dilakukan melalui membrane krikotiroid. Penyulit needle krikotiroidotomi adalah 

ventilasi   yang   tidak   adekuat   akan   menimbulkan   hipoksia,   aspirasi   darah,   laserasi   esofageal, 

hematoma, perforasi dinding posterior trakea, emfisema subkutan atau perforasi tiroid.

Breathing

Airway yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik. Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas 

adalah pertukarannoksigen dan mengeluarkan CO2 dari tubuh. Ventilasi yang baik meliputi fungsi 

yang baik dari paru, dinding dada dan diafragma. Setiap komponen ini harus dievaluasi dengan cepat. 

Inspeksi   dan   palpasi   dapat   memperlihatkan   kelainan   dinding   dada   yang   mungkin   mengganggu 

ventilasi. Dada pasien harus dibuka untuk melihat ekspansi pernafasan. Auskultasi dilakukan untuk 

memastikan masuknya udara ke dalam paru. Cedera yang mengakibatkan gangguan ventilasi yang 

berat adalah tension pneumothoraks, flail chest dengan contusion paru dan open pneumothoraks. 

Keadaan ini harus dikenali saat primary survey.

9

Page 10: Trauma Update

Tanda-tanda ventilasi yang tidak adekuat dapat diketahui dengan “look, listen, feel”. Lihat 

(look)   naik   turunnya  dada   yang   simetris   dan   pergerakan   dinding  dada   yang   adekuat.   Asimetris 

menunjukkan adanya flail chest. Dilihat juga apakah tiap pernafasan yang dilakukan susah atau tidak. 

Dengan (listen) adanya pergerakan udara pada kedua sisi paru. Hati-hati dengan laju pernafasan yang 

cepat,   takipnu   mungkin   menunjukkan   kekurangan   oksigen.   Raba   (feel)   pergerakan   dada   saat 

pernafasan. Dada dan leher pasien harus diperiksa secara menyeluruh untuk menilai pernafasan dan 

vena   leher.  Pergerakan dan kualitas   respirasi  dinilai  dengan observasi,  palpasi  dan  pendengaran 

suara napas.

Table 1. Trauma Toraks, Tanda dan Penatalaksanaan.

Trauma Tanda Penatalaksanaan

Tension

pneumotoraks

-Nyeri dada, air hunger, distress 

nafas, takikardia, hipotensi, deviasi 

trakea, hilang suara napas unilateral, 

distensi vena leher, sianosis.

-Dekompresi : Needle Thoracocentesis 

 simple pneumothorax

-Chest tube pada IC 5 setinggi papilla 

mammae

Open

pneumothorax

-Defek luas dinding toraks -Occlusive dressing (jendela 3 sisi)

-Chest tube

Flail Chest dan

kontusio paru

-Gerak nafas asimetris, krepitasi 

tulang iga

-Ventilasi, pemberian O2 humidifikasi 

dan resusitasi cairan

Tanda   trauma  toraks  atau  hipoksia  yang  penting  adalah  peningkatan  kecepatan  pernafasan  dan 

perubahan pola pernafasan. Sianosis adalah tanda lanjut hipoksia pada pasien trauma. Trauma toraks 

dapat menyebabkan gangguan pernafasan dan harus ditangani saat primary survey termasuk adanya 

tension pneumotoraks, flail chest, kontusio paru, dan hemotoraks masif.

Gambar 7. Flail Chest.

10

Page 11: Trauma Update

Gambar 8. Tension Penumothorax.

Gambar 9. Chest Tube.

Selain   itu,   ada   juga   emfisema   subkutan,   yaitu  emfisema   interstisial   yang   ditandai   dengan 

adanya udara   dalam   jaringan   subkutan,   biasanya  disebabkan   oleh   cedera   intratoraks   dan   pada 

kebanyakan   kasus   disertai   dengan   pneumotoraks   dan   pneumomediatinum.  Emfisema   subkutis 

11

Page 12: Trauma Update

spontan dapat terjadi karena peningkatan tekanan udara di paru yang menyebabkan rupture pada 

alveoli. Udara berpindah dari alveoli yang rupture tadi menuju intersisium dan sepanjang pembuluh 

darah paru, menuju mediastinum dan ke jaringan. Gejala klinis tergantung penyebabnya. Tapi, sering 

muncul gejala pembengkakan pada bagian leher dan nyeri dada. Dan juga bisa terjadi suara serak, 

nyeri leher, sulit menelan, wheezing dan sulit untuk bernafas. Pada pemeriksaan fisik, teraba adanya 

gelembung-gelembung   udara   seperti   kertas   tissue   atau   Rice   Krispies.  Emfisema   subkutis   tidak 

memerlukan terapi khusus. Tindakan dilakukan apabila jumlah udara dalam jaringan subkutis sangat 

banyak dan mempengaruhi pernafasan pasien. Hal pertama yang harus dilakukan adalah memasang 

chest   tube   dan   memastikan   chest   tube   tersebut   berfungsi   baik   (bila   penyebabnya   adalah 

pneumothorax).  Pemasangan kateter  atau   insisi   kecil  pada kulit  dapat  membantu  mengeluarkan 

udara dari jaringan subkutan.

  Gambar 10. Emfisema Subkutan.

Jika terdapat henti napas :

Hal yang dapat dilakukan antara lain Resusitasi Paru, bisa dilakukan melalui : 

a. Mouth to mouth

b. Mouth to mask

c. Bag to mask (Ambu bag).

Jika menggunakan ventilator  oksigen dapat diberikan melalui :

a. Kanul.   Pemberian   Oksigen   melaui   kanul   hanya   mampu   memberikan   oksigen   24-44   %. 

Sementara saturasi oksigen bebas sebesar 21 %.

b. Face mask/ rebreathing mask. Saturasi oksigen melalui face mask hanya sebesar 35-60%. 

c. Non-rebreathing mask. Pemberian oksigen melalui non-rebreathing mask inilah pilihan utama 

pada pasien cyanosis.  Konsentrasi  oksigen yang diantarkannya sebesar  80-90%.  Perbedaan 

antara   rebreathing   mask   dan   non-rebreathing   mask   terletak   pada   adanya   valve   yang 

mencegah udara ekspirasa terinhalasi kembali.

12

Page 13: Trauma Update

Pada pasien pneumotorok perhatikan adanya keadaan pergesaran mediastinum yang tampak pada 

pergeseran   trakea,   peningkatan   tekanan   vena   jugularis,   dan   kemungkinan   timbul   tamponade 

jantung. 

Circulation

Yang dibicarakan adalah volume darah dan cardiac output serta perdarahan. Perdarahan merupakan 

penyebab utama kematian pasca trauma yang mungkin dapat diatasi dengan terapi yang cepat dan 

tepat   di   rumah   sakit.   Suatu   keadaan  hipotensi   pada  pasien   trauma  harus  dianggap  disebabkan 

hipovolemia. Dengan demikian, maka diperlukan penilaian yang cepat dari status hemodinamik. Ada 

3  penemuan klinis  dalam hitungan detik dapat  memberikan  informasi  mengenai  keadaan hemo-

dinamik pasien yaitu, tingkat kesadaran, warna kulit dan nadi. Bila volume darah menurun, perfusi 

otak dapat berkurang, yang akan mengakibatkan penurunan kesadaran, walaubagaimanapun, pasien 

sedar belum tentu normovolemik. 

Warna kulit juga dapat membantu diagnosis hipovolemia. Pasien trauma yang yang kulitnya 

kemerahan terutama pada wajah dan akstremitas jarang hipovolemia. Sebaliknya, jika wajah yang 

pucat keabu-abuan dan kulit pada ekstremitas yang pucat merupakan tanda hipovolemia. 

Nadi bisa diperiksa pada pembuluh darah yang besar seperti a.femoralis atau a.carotis, ang 

dinilai   kekuatan  nadi,   kecepatan  dan   irama  regularitas.  Nadi  yang  tidak  cepat,   kuat  dan   teratur 

biasanya merupakan tanda-tanda normovolemia (jika pasien tidak minum obat beta-blocker). Nadi 

yang   cepat   dan   kecil   atau   tidak   teraba   pada   a.radialis   atau   a.dorsalis   pedis,   merupakan   tanda 

hipovolemia  walaupon  dapat  disebabkan  keadaan  yang   lain.  Tidak   teraba  akibat  adanya  deplesi 

volume. Kecepatan nadi yang normal belum tentu normovolemia. Nadi yang tidak teratur biasanya 

ada tanda gangguan jantung. Jika tidak ditemukannya pulsasi dari arteri besar pada pasien, jadi perlu 

diberikan resusitasi segera untuk perbaikan volume dan cardiac output. 

Pada bayi, meraba denyut nadi adalah pada A.Brachialis, yakni pada sisi medial lengan atas. 

Frekuensi   denyut   jantung   pada   orang   dewasa   adalah   60-100   kali/menit.   Bila   kurang   dari   50 

kali/menit disebut bradikardi dan lebih dari 100 kali/menit disebut takikardi. Bradikardi normal sering 

ditemukan pada atlit  yang terlatih.  Pada bayi   frekuensi  denyut  jantung adalah 85-200 kali/menit 

sedangkan   pada   anak-anak   adalah   60-140   kali/menit.   Pada   syok   bila   ditemukan   bradikardi 

merupakan tanda diagnostic yang buruk.

Jika ditemukan perdarahan terbuka segera tutup dengan bebat tekan. Cegah bertambahnya 

jumlah   darah   yang   keluar.  Tourniqet   sebaiknya   jangan   dipakai   karena   merusak   jaringan   dan 

13

Page 14: Trauma Update

menyebabkan   iskemia   distal,   sehingga   hanya   dipakai   bila   ada   amputasi   traumatik.   Sumber 

perdarahan internal adalah perdarahan dalam rongga thorax, abdomen, sekitar fraktur dari tulang 

panjang,   retroperitoneal   akibat   fraktur   pelvis   atau   sebagai   akibat   dari   luka   tebus   dada/perut. 

Penanganan luka secara baik dilakukan setelah korban stabil. 

Vena leher dinilai akan adanya distensi atau tidak. Vena leher tidak mengalami distensi pada 

pasien hipovolemia, tension pneumotoraks, tamponade jantung atau trauma diafragma.

Trauma   toraks   utama   yang   mempengaruhi   sirkulasi   termasuk   hemotoraks   masif   dan 

tamponade jantung. Hemotoraks masif terjadi akibat akumulasi cepat lebih dari 1500mL darah atau 

satu pertiga atau lebih volume darah dalam rongga toraks. Biasanya terjadi akibat luka tembus yang 

merobek pembuluh darah sistemik atau hilar. Hemotoraks masif juga dapat terjadi akibat trauma 

tumpul. Perdarahan akan disertai hipoksia, vena leher akan ditemui datar akibat adanya hipovolemia 

berat   atau   akan   mengalami   distensi   akibat   adanya   tension   pneumotoraks.   Hemotoraks   masif 

dijumpai bila syok yang berhubungan dengan hilangnya suara nafas atau perkusi redup pada salah 

satu sisi hemitoraks.

Tabel 2. Besar dan Penanganan Hemotoraks.

Besarnya Penanganan

Ukuran Bayangan foto rontgen Pemeriksaan Fisik

Kecil  0-15%  Perkusi pekak sampai iga IX  Gerakan aktif (fisioterapi) 

Sedang  15-35%  Perkusi pekak sampai iga  VI  Aspirasi dan transfusi 

Besar  >35%  Perkusi pekak sampai kranial, iga IV 

Chest Tube + transfusi 

  

Selain itu, tamponade jantung juga menyebabkan gangguan sirkulasi,  biasanya akibat dari 

luka tembus yang menyebabkan pericardium terisi darah yang berasal dari jantung. Triad Beck’s yaitu 

peningkatan tekanan vena, penurunan tekanan arteri dan suara jantung menjauh. Tanda Kussmaul 

(peningkatan tekanan vena pada inspirasi saat bernafas spontan) merupakan gangguan tekanan vena 

paradoksal   yang   berhubungan   dengan   tamponade.   Metode   diagnostic   meliputi   ekokardiogram, 

focused assessment sonogram in trauma (FAST) atau pericardial window. FAST merupakan metode 

cepat dan akurat untuk pencitraan jantung dan pericardium. Tingkat akurasinya mencapai 90% dalam 

mendeteksi adanya cairan pericardium. 

14

Page 15: Trauma Update

Tabel 3. Class of Hemorrhage shock.

Waspada terhadap terjadinya shock.  Langkah awal dalam mengelola syok pada penderita 

trauma   adalah   mengetahui   tanda-tanda   klinisnya.   Tidak   ada   tanda   laboratorium   yang   dapat 

mendiagnosis syok. Diagnosis awal didasarkan pada gejala dan tanda klinisnya yang timbul akibat 

dari perfusi organ oksigenasi jaringan yang tidak adekuat. Definisi syok adalah ketidaknormalan dari 

sistem   peredaran   darah   yang   mengakibatkan   perfusi   organ   dan   oksigenasi   jaringan   yang   tidak 

adekuat, juga menjadi perangkat utnuk diagnosis dan terapi. Langkah kedua dalam pengelolaan awal 

terhadap syok adalah mencari penyebab syok, yang untuk penderita trauma berhubungan dnegan 

mekanisme cedera. 

Kebanyakan penderita  trauma akan mengalami syok hipovolemik,  tetapi  akan mengalami 

syok   kardiogenik,   neurogenik   dan   bahkan   kadang-kadang   syok   septik.   Mungkin   juga   tension 

pneumothorax   dapat   mengurangi   pengembalian   darah   ke   jantung   dan   mengakibatkan   syok. 

Diagnosis   ini  harus dipertimbangkan dalam hal  penderita yang mungkin cedera diatas diafragma. 

Syok neurogenik diakibatkan oleh cedera berat pada sistem saraf pusat atau pada medula spinalis. 

Sebagai  pedoman praktis,   syok  tidak akan disebabkan oleh  cedera  otak  saja.  Syok   septik   jarang 

ditemukan  namun  harus   dipertimbangkan  bagi   penderita   yang  tiba   terlambat   di   fasilitas   gawat 

darurat.  Respon dini  terhadap kehilangan darah adalah kompensasi  tubuh sebagai contoh adalah 

vasokonstriksi  progresif  dari  kulit,  otot  dan sirkulasi  viseral  untuk menjamin arus darah ke ginjal 

jantung   dan   otak.   Karena   ada   cedera,   respon   terhadap   berkurangnya   volume   darah   adalah 

peningkatan denyut jantung sebagai usaha untuk meningkatkan output jantung. 

15

Page 16: Trauma Update

Hampir   selalu   takikardia   merupakan   respon   awal   syok.   Cara   yang   paling   baik   untk 

memulihkan cardiac output dan perfusi organ adalah dengan memulihkan pengembalian darah ke 

batas   normal   dengan   memperbaiki   volumenya.   Penatalaksaan   syok   diarahkan   pada   pemulihan 

perfusi seluler dan organ dengan darah yang dioksigenasi dnegan adekuat. Dalam syok hemoragik hal 

ini  berarti menambah preload atau memulihkan secara adekuat volume darah yang beredar dan 

bukan   hanya  mengembalikan   tekanan  darah   dan   denyut   nadi   menjadi   normal.   Perlu   dilakukan 

monitoring teratur dari indikator-indikator perfusi penderita, agar dapat dilakukan evaluasi respon 

terhadap terapi dan untuk mengetahui sedini mungkin kalau keadaannya memburuk. Kebanyakan 

penderita trauma dnegan syok hipovolemik memerlukan intervensi pembedahan utnuk mengatasi 

keadaan syok.  Karena  itu  adanya syok pada penderita  trauma menuntut  keterlibatan ahli  bedah 

dengan segera.

Tidak ada respons terhadap pemberian cairan dan darah menandakan perlunya tindakan 

intervensi secepatnya untuk menghentikan perdarahan.

Tabel 4. Respons Pasien Terhadap Resusitasi Cairan Dini.

Disability

Menjelang akhir primary survey dilakukan evaluasi terhadap keadaan neurologis secara cepat. Yang 

dinilai disini adalah tingkat kesadaran, ukurandan reaksi pupil, tanda-tanda lateralisasi dan tingkat 

cedera spinal. GCS adalah sistem skoring yang sederhana dan dapat meramal kesudahan penderita. 

16

Page 17: Trauma Update

Tabel 5. Glasgow Coma Scale.

Penurunan kesadaran dapat disebabkan penurunan oksigenasi atau dan penurunan perfusi ke otak 

atau disebabkan trauma langsung ke otak. Penurunan kesadaran menuntut dilakukannya reevaluasi 

terhadap   keadaan  oksigenasi,   ventilasi   dan   perfusi.   Alkohol   dan   obat-obatan  dapat  menggangu 

tingkat kesadaran penderita. Walaupun demikian bila sudah disingkirkan kemungkinan hipoksia atau 

hipovolemia sebagai sebab penurunan kesadaran, maka trauma kapitis sebagai penyebab penurunan 

kesadaran dan alkoholisme dapat disingkirkan.

Exposure

Dilakukan  penilaian  pemajanan  pada  pasien  dengan  membuka  baju   supaya  bebas  dari   terpajan. 

Walaubagaimanapon,  pasien yang mungkin tiba di   IGD dalam keadaan hipotermia,  atau menjadi 

hipotermia karena transfusi masif atau resusitasi cairan. Masalah ini sebaiknya diatasi dengan control 

perdarahan secepat mungkin, misalnya dengan tindakan operatif ataupon alat kompresi eksternal 

17

Page 18: Trauma Update

pada   fraktur   pelvis.   Pencegahan   hipotermia   harus   dipandang   sama   pentingnya   dengan   semua 

tindakan lain saat melakukan resusitasi.

Tambahan Primary Survey

Tambahan   Primary   Survey   meliputi  monitoring   EKG,   kateter   gaster   dan   uretra,   monitoring   lain 

seperti laju pernafasan, analisa gas darah, Pulse Oxymetry, tekanan darah, pemeriksaan x-ray dan 

pemeriksaan tambahan lain.

Monitor EKG

Monitor  EKG dipasang pada semua pasien trauma. Disritmia (termasuk takikardi),  fibrilasi  atrium 

atau ekstra-sistol dan perubahan segmen ST yang disebabkan kontusio jantung, tamponade jantung, 

tension pneumothorax,  atau hip[ovolemia berat.  Bila  ditemukan bradikardia,  harus  segera curiga 

adanya hipoksia dan hipoperfusi. Hipotermia berat juga dapat menyebabkan hipotermia.

Kateter Urin dan Lambung

Harus dilapasang kateter urin dan lambung yang merupakan bagian dari proses resusitasi. Produksi 

urin merupakan indicator dalam menilai keadaan perfusi ginjal dan hemodinamik pasien. Kateter urin 

jangan dipasang bila diduga rupture uretra. Kecurigaan rupture uretra ditandai oleh;

Adanya darah dari orifisium uretra eksterna (meatal bleeding)

Ekimosis di perineum.

Hematom di skrotum atau perineum.

Pada Rectal Touche, prostat letak tinggi atau tidak teraba.

Adanya fraktur pelvis.

Kateter  lambung (Nasogastric  Tube) dipakai  untuk mengurangi  distensi   lambung dan mengurangi 

kemungkinan   muntah.   Isi   lambung   yang   pekat   akan   mengakibatkan   NGT   tidak   berfungsi   dan 

pemasangannya   akan   menyebabkan   muntah.   Bila   dari  NGT   keluar   darah,   bisa   dari   darah   yang 

tertelan akibat pemasangan NGT atau cedera gaster. Bila lamina kribrosa patah atau diduga patah 

(fraktur basis crania), kateter lambung harus dipasang melalui mulut untuk mencegah masuknya NGT 

ke rongga otak.

Monitor Lain

Monitoring   hasil   resusitasi   sebaiknya  didasarkan  pada   penemuan   klinis   seperti   laju   nafas,   nadi, 

tekanan nadi, tekanan darah. ABG, suhu tubuh dan produksi urin. Pulse Oxymetri dapat mengukur 

18

Page 19: Trauma Update

saturasi O2, sekaligus tercatat denyut nadi. Jangan dipasang sensor pulse ovymetri distal dari manset 

tensimeter karena hasil salah akan didapat pada saat manset dikembangkan.

SECONDARY SURVEY

Secondary Survey baru dilakukan setelah Primary Survey selesai, resusitasi dilakukan dan ABC nya 

pasien   dipastikan   membaik.   Secondary   Survey   terdiri   dari   pemeriksaan   head-to-toe,   termasuk 

reevaluasi   pemeriksaan   tanda   vital,   dilakukan   anamnesis   singkat   yang   terdiri   dari   AMPLE   dan 

pemeriksaan –pemeriksaan tambahan yang lain.

Anamnesis

Setiap  pemeriksaan   yang   lengkap  memerlukan   anamnesis  mengenai   riwayat   perlukaan.   Riwayat 

“AMPLE” harus ditanyakan;

A   Alergi

M  Medikasi

P   Past Illness/ Pregnancy

L    Last Meal 

E    Event/Environment

Mekanisme cedera  sangat  menentukan keadaan pasien.  Trauma biasanya dibagi  menjadi  2   jenis 

yaitu trauma tumpul dan trauma tajam. Cedera lain termasuk cedera termal, yaitu luka bakar dan 

keracunan bahan berbahaya. 

Pemeriksaan Fisik (Head-to-toe Examintion)

Pemeriksaan   fisik   pada   secondary   survey   dilakukan   berurutan   mulai   dari   kepala,   maksilo-fasial, 

servikal dan leher, dada, abdomen, perineum/rectum/vagina, musculoskeletal sampai pemeriksaan 

neurologis.

Kepala

Survei Sekunder mulai dengan evaluasi kepala. Seluruh kulit kepala harus diperiksa akan adanya luka, 

kontusio atau fraktur. Jika ada mata yang bengkak, harus diperiksa ketajaman visus, ukuran pupil, 

perdarahan  konjungtuva  dan   fundus,   luka   tembus  pada  mata,   lensa  kontak,  dislocasi   lentis  dan 

jepitan otot bola mata. Ketajaman visus dapat diukur dengan membaca gambar Snellen, membaca 

huruf   pada   botol   infuse   atau   bungkus   perban.   Gerakan   bola   mata   harus   diperiksa   karena 

kemungkinan terjepitnya otot mata oleh fraktur orbital.

19

Page 20: Trauma Update

Maksilo-fasial

Trauma maksilofasial dapat mengganggu airway atau perdarahan yang hebat, yang harus ditangani 

saat survey sekunder. Pasien dengan fraktur tulang wajah mungkin juga ada fraktur lamina cribrosa. 

Dalam hal ini, pemakaian kateter lambung harus melalui jalan oral.

Vertebra Servikalis dan Leher

Pemeriksaan leher meliputi inspeksi, palpasi dan auskultasi. Dinilai adanya cedera tumpul atau tajam, 

deviasi trakea dan pemakaian otot pernafasan. Dilakukan palpasi untuk adanya nyeri, deformitas, 

pembengkakan,  emfisema subkutan,  deviasi   trakea,   simetri  pulsasi  dan  auskultasi   a.karotis  akan 

adanya   murmur.   Penyumbatan   atau   diseksi   a.karotis   dapat   terjadi   secara   lambat   tanpa   gejala. 

Angiografi atau Doppler Sonografi dapat menyingkirkan kelainan ini. Bila pasien pakai helm, dan ada 

kemungkinan  fraktur   servikal,  harus  hati-hati sekali   saat  melepaskan helm.  Minta  dilakukan  foto 

servikal lateral.

Toraks

Inspeksi dari depan dan belakang akan menunjukkan adanya flail chest atau open pneumotoraks. 

Palpasi harus dilakukan pada setiap iga dan klavikula. Penekanan pada sternum dapat nyeri bila ada 

fraktur   sternum atau   ada   costochondral   separation.   Kontusi   dan  hematoma  pada  dinding  dada 

mungkin  disertai  kelanan dalam rongga  toraks.  Kelainan pada  toraks  mungkin  disertai  nyeri  dan 

dispnoe serta hipoksia. Evaluasi toraks padat dilakukan dengan pemeriksaan fisik termausk auskultasi 

disusuli foto roraks. Dilakukan juga auskultasi bunyi jantung selain bunyi nafas. Mediastinum yang 

melebar atau tanda radiologis lain dapat merupakan tanda rupture aorta. Pada orang tua dan anak, 

trauma toraks yang ringan dapat berakibat berat.

Abdomen

Trauma abdomen harus ditangani dengan agresif. Pada saat pasien datang, pemeriksaan abdomen 

yang normal  tidak menyingkirkan diagnosis  cedera  intraabdomen karena gejala bisa  timbul   lebih 

lambat. Diperlukan pemeriksaan ulang dan observasi ketat. Pasien dengan hipotensi yang tidak dapat 

diterangkan, kelainan neurologis, gangguan kesadaran karena alcohol dan penemuan pemeriksaan 

fisik yang meragukan harus dipertimbangkan untuk diagnostis peritoneal lavage (DPL), USG abdomen 

atau CT abdomen dengan kontras.

Perineum/Rektum/Vagina

Perineum diperiksa akana danya kontusio, hematoma, laserasi dan perdarahan uretra. 

20

Page 21: Trauma Update

Colok dubur harus dilakukan sebelum memasang kateter. Harus diteliti akan kemungkinan adanya 

darah dari lumen rectum, prostat letak tinggi, adanya fraktur pelvis, utuh tidaknya dinding rectum 

dan tonus m.sfinkter ani. Pada wanita, pemeriksaan colok vagina dapat menentukan adanya darah 

dalam vagina atau laserasi. Juga harus dilakukan tes kehamilan pada semua wanita usia subur. 

Muskuloskeletal

Ekstremitas diperiksa untuk adanya luka atau deformitas. Fraktur yang kurang jelas dapat ditegakkan 

dengan   memeriksa   nyeri,   krepitasi   dan   gerakan   abnormal.   Penilaian   pulsasi   dapat  menentukan 

adanya   gangguan   vascular.   Gangguan   sensasi   dan   hilangnya   kemampuan   kontraksi   otot   dapat 

disebabkan kerusakan saraf perifer atau iskemia (termasuk sindrom kompartmen).

Neurologis

Pemeriksaan neurologis yang teliti meliputi pemeriksaan tingkat kesadaran, ukuran dan reaksi pupil, 

pemeriksaan motorik dan sensorik. Perubahan dalam status neurologis dapat dihitung dengan Skor 

GCS. Bila ada cedera kepala, harus segera konsultasi ke bedah syaraf.

Reevaluasi

Penurunan kondisi pasien dapat dinilai apabila dilakukan evaluasi ulang terus menerus. Monitoring 

tanda vital dan produksi urin penting. Bila perlu lakukan primary survey (ABCDE) dan Resusitasi ulang 

(ABC). 

Penanganan Definitif

Dimulai setelah primary survey dan sekunder selesai. Misalnya menangani keluhan-keluhan pasien 

lain (selain yang trauma berat). Atau tindakan operatif, serta konsultasi ke dokter spesialis, termasuk 

dalam tahap ini.

Rekam Medis dan Rujukan

Catat data pasien di rekam medik. Bila fasilitas RS kurang memadai untuk menangani pasien trauma, 

dapat dirujuk ke RS yang lebih lengkap fasilitasnya. 

21

Page 22: Trauma Update

Penutup

Demikianlah makalah ini disusun untuk membantu dan mengingatkan kembali  peran dokter yang 

bekerja di rumah sakit akan pentingnya mengusahakan agar setiap kasus trauma sesegera mungkin 

mendapat   terapi  definitive.  Urutan  pada penanganan pasien  multitrauma adalah  dari  persiapan, 

triase, primary survey, resusitasi,  pertimbangkan rujukan, secondary survey, reevaluasi dan terapi 

definitive. 

Daftar Pustaka

1. American College of Surgeon Committe on Trauma. Advanced Trauma Life Support for Doctors. 

Ikatan Ahli Bedah Indonesia, penerjemah. Edisi 8. Komisi trauma IKABI, 2012.

2. Ibrahim A.  Trauma dan Bencana.   In  Wim de Jong.  Buku Ajar   Ilmu Bedah.  2005.  Edisi  2.  EGC. 

Jakarta. Pp 89-117.

3. Mahadevan SV, Garmel GM. An Introduction Clinical Emergency Medicine. Cambridge. 2005. Pp 3-

130.

4. Flint   L,  Meredith   JW,  Schwab CW,  Trunkey  DD,  Rue  LW,  Taheri  PA.  Trauma  :  Contemporary 

Principles and Therapy. Lippincott Williams & Wilkins. 2008. 

5. Hamilton GC, Sanders AB, Strange GR, Trott AT. Emergency Medicine : An Approach to Clinical 

Problem-Solving. Saunders Company. Edisi 2. United States; 2003. 

6. Smith ML, Grady MS. Neurosurgery. Dalam: Schwarrt’z Principles of Surgery. 8th ed. McGraw-Hill, 

2005; 1615-20.

22