trauma-obstruksi ssaluran napas atas

18
TRAUMA Trauma Laring Definisi Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami suatu kerusakan yang dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan penyebab lainnya. Hal ini menyebabkan fungsi laring sebagai proteksi jalan nafas, pengaturan pernafasan dan penghasil suara terganggu, sehingga dapat menimbulkan resiko kecacatan bahkan kematian. Patofisiologi Trauma laring dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, tembak, trauma inhalasi, aspirasi benda asing maupun iatrogenik. Insiden trauma laring akibat trauma tumpul semakin menurun karena perkembangan yang maju pada sistem pengaman kendaraan (automobile safety). Sementara itu angka kejahatan/kekerasan semakin meningkat sehingga persentase kejadian trauma tajam/tembus semakin meningkat. Pada trauma tumpul dan tembak kerusakan jaringan yang terjadi lebih berat dibanding trauma tajam. Monson membagi daerah leher menjadi 3 zona pada trauma penetrasi atau trauma tajam terutama berdasarkan trauma terhadap pembuluh darahnya, yaitu sebagai berikut: Zona I adalah daerah dari kartilago krikoid sampai klavikula. Zona ini berisi trakea dan esofagus bagian inferior, pembuluh darah trunkus brakiosefalika, arteri

Upload: corrywigati

Post on 01-Dec-2015

42 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

trauma

TRANSCRIPT

Page 1: TRAUMA-Obstruksi Ssaluran Napas Atas

TRAUMA

Trauma Laring

Definisi

Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami suatu kerusakan yang

dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan penyebab lainnya. Hal ini

menyebabkan fungsi laring sebagai proteksi jalan nafas, pengaturan pernafasan dan penghasil

suara terganggu, sehingga dapat menimbulkan resiko kecacatan bahkan kematian.

Patofisiologi

Trauma laring dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, tembak, trauma

inhalasi, aspirasi benda asing maupun iatrogenik. Insiden trauma laring akibat trauma tumpul

semakin menurun karena perkembangan yang maju pada sistem pengaman kendaraan

(automobile safety). Sementara itu angka kejahatan/kekerasan semakin meningkat sehingga

persentase kejadian trauma tajam/tembus semakin meningkat. Pada trauma tumpul dan tembak

kerusakan jaringan yang terjadi lebih berat dibanding trauma tajam.

Monson membagi daerah leher menjadi 3 zona pada trauma penetrasi atau trauma tajam

terutama berdasarkan trauma terhadap pembuluh darahnya, yaitu sebagai berikut:

Zona I adalah daerah dari kartilago krikoid sampai klavikula. Zona ini berisi trakea dan

esofagus bagian inferior, pembuluh darah trunkus brakiosefalika, arteri subklavia, arteri

karotis komunis, trunkus tiroservikal dan vena-venanya, duktus torasikus, kelenjar tiroid

dan medula spinalis.

Zona II adalah daerah dari kartilago krikoid sampai angulus mandibula. Zona ini berisi

arteri karotis komunis, arteri karotis eksterna dan interna, vena jugularis interna, laring,

hipofaring, nervus X, XI, XII, dan medula spinalis.

Zona III adalah daerah dari angulus mandibula sampai basis kranii yang berisi arteri

karotis, arteri vertebralis, vena jugularis interna, faring, nervus kranialis dan medula

spinalis.

Mekanisme dari cidera yang timbul adalah refleksi dari jenis penyebabnya. Pada setiap

cidera yang timbul akibat trauma laring seringkali disertai kelainan pada tulang, secara khusus,

dapat terjadi dislokasi krikotiroid dan krikoaritenoid.

Page 2: TRAUMA-Obstruksi Ssaluran Napas Atas

1. Trauma Inhalasi

Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung menciderai

laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran nafas bawah. Daerah yang terkena akan

menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut yang menyebabkan defek stenosis pada daerah yang

terkena.

2. Trauma Tumpul

Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering disebabkan oleh

hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma benturan pada dada.

Hiperekstensi mengakibatkan traksi laring yang kemudian membentur kemudi, handle bars atau

dashboard. Trauma tumpul lebih sering disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dimana

korban terhimpit di antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan dari kendaraan dan terhimpit di

antara kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan.

Hantaman langsung paling sering menyebabkan trauma pada tulang rawan laring,

sedangkan trauma fleksi/ekstensi lebih sering berhubungan dengan robekan trakea atau laring.

Kerusakan trakea akibat trauma benturan terjadi karena trakea tertekan di antara manubrium dan

kolumna vertebralis. Trauma tumpul pada dada dapat menyebabkan robekan vertikal pada trakea

pars membranosa atau bronkus, biasanya 2,5 cm dari karina.

Gambar 2.3 Mekanisme trauma tumpul

Penyebab lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada trauma

akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan mengakibatkan tekanan

intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan robekan pada bagian membran trakea.

Robekan ini terjadi akibat diameter transversal yang bertambah secara mendadak. Dapat juga

terjadi akibat robekan diantara cincin trakea dari os krikoid sampai karina akibat tarikan paru

yang mendadak.

Page 3: TRAUMA-Obstruksi Ssaluran Napas Atas

3. Trauma Tajam

Trauma laring sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang paling banyak

akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai adalah belati, pisau clurit,

pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka kejadian trauma tajam semakin meningkat

dan penyebab utamanya relatif lebih banyak oleh trauma tembus peluru dibanding trauma tusuk.

Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas, trakea

merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka tusukan. Laring yang

mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian

lagi adalah trakea pars servikalis. Kematian pasien dengan trauma tembus saluran nafas ini

biasanya disebabkan oleh trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri.

4. Penyebab Lain

Penyebab lain trauma laring adalah tentament suicide pada pasien dengan gangguan

kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Trauma laring juga dapat diakibatkan oleh

intubasi karena trauma langsung saat pemasangan atau pun karena balon yang menekan mukosa

terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena

inflasi balon yang berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah.

Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang mengalami

trauma saat trakeostomi.

Cidera yang disebabkan oleh bahan-bahan kaustik seringkali didapatkan pada kelompok

usia anak-anak dan biasanya akibat kecerobohan mereka dalam menggunakan benda-benda

berbahaya di rumah sebagai alat permainan. Bila didapatkan pada usia dewasa, biasanya

ditemukan pada kasus-kasus percobaan bunuh diri dengan menelan larutan alkali ataupun

hidrokarbon.

Diagnosis

Trauma jalan nafas menimbulkan tanda dan gejala yang bervariasi tergantung mekanisme

traumanya. Jadi satu hal yang harus diperhatikan dalam mendiagnosis trauma laring adalah

mekanisme cidera dan harus waspada terhadap tanda seperti kontusio lokal, emfisema subkutis,

perubahan suara (seperti stridor inspirasi / hoarseness), distress pernafasan dan hemoptisis.

Page 4: TRAUMA-Obstruksi Ssaluran Napas Atas

Gejala Klinis

Pada trauma laring, gejala dan tanda klinis yang biasanya didapatkan adalah sesak nafas.

Batuk, batuk darah, emfisema subkutis (pada leher, kepala, dada), sianosis, gangguan suara juga

merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke perlukaan jalan nafas. Tanda lain yang

dapat ditemukan pada pasien dengan trauma laring adalah adanya kebocoran udara atau suara

mendesis pada tempat trauma. Pada trauma tembus, kebocoran tersebut dapat dilihat langsung di

tempat luka, sedangkan pada trauma tumpul kadang dapat terlihat kulit leher yang mengembang

pada saat batuk.

Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan jejas (hematom/abrasi) akibat hantaman benda

tumpul, jejas berupa garis yang menunjukkan bekas jeratan, luka dan penonjolan tulang,

hilangnya tonjolan kartilago tiroid, krepitasi, diskontinuitas, nyeri tekan pada daerah laring,

emfisema subkutis maupun emfisema mediastinum jika cidera lebih ke distal.

Pada trauma trakea tidak ada pembagian beratnya cidera yang menentukan indikasi

operasi. Setiap trauma trakea dengan salah satu gejala atau tanda klinis walaupun ringan

memerlukan eksplorasi. Berbeda dengan trauma laring yang dapat dibagi menjadi 5 grup,

sebagai berikut :

Grup I : Trauma endolaringeal ringan tanpa fraktur

Grup II : Edema sedang, hematoma dengan laserasi mukosa, tidak ada expose

tulang rawan, fraktur nondisplaced.

Grup III : Edema berat robekan mukosa dengan expose tulang rawan.

Fraktur displaced pada CT Scan.

Grup IV : Perlukaan berat endolaringeal, bentuk laring yang tidak beraturan.

Grup V : Terputusnya laring komplit.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosis pada trauma leher yang

mencurigakan adanya kerusakan jalan nafas terutama pada trauma tumpul ataupun yang sudah

terpasang endotrakeal tube (ETT). Pada foto dapat terlihat adanya bayangan udara terperangkap

di prevertebra dan leher bagian dalam atau peninggian/elevasi tulang hyoid pada kasus separasi

krikotrakea.

Page 5: TRAUMA-Obstruksi Ssaluran Napas Atas

Bronkoskopi merupakan alat diagnostik pilihan karena dapat menentukan letak luka, luas

luka, dan juga sekaligus sebagai penuntun untuk pemasangan ETT guna menjamin jalan nafas.

Esofagoskopi disarankan terutama pada trauma tembus. Tindakan panendoscopy dan arteriografi

disarankan dilakukan pada trauma tembus leher dengan kondisi pasien yang stabil. Tindakan

tersebut di atas selain efektif juga sensitifitasnya tinggi untuk menghindari eksplorasi yang

berlebihan.

Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan esofagus dengan kontras, computed

tomography (CT) dan MRI dapat dilakukan sesuai indikasi. CT scan telah berperan banyak

dalam penanganan trauma laring saat ini dan mampu menurunkan angka eksplorasi bedah karena

mampu mendeteksi lebih rinci dan non invasif. CT diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan

trauma laring hanya dari anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti pada pasien yang hanya

menunjukkan satu gejala/tanda. CT mampu mendeteksi fraktur tiroid dengan midline displaced

yang minimal namun berpengaruh dalam pembentukan fonasi. Hal ini sangat menguntungkan

pasien karena jika tidak terdeteksi akan menyebabkan gangguan fonasi jangka panjang. CT

kurang berguna pada kasus dengan indikasi pembedahan seperti pada kartilago yang terekspose

atau displaced fracture dengan laserasi mukosa diatasnya.

Penatalaksanaan

Kewaspadaan terhadap trauma laring pada trauma leher oleh tenaga medis atau paramedis

harus dipertajam agar tidak ada kasus yang terlewatkan. Bila ada trauma laring, luka atau jejas

pada leher harus diperiksa dan diobservasi dengan seksama. Pada prinsipnya, penatalaksanaan

trauma harus sistematis dimulai dari penilaian dan pengamanan jalan nafas agar tetap adekuat.

1. Manajemen Jalan Nafas

a. Trakeostomi

Trakeostomi adalah operasi membuat jalan udara melalui leher langsung ke trakea untuk

mengatasi asfiksi apabila ada gangguan pertukaran udara pernapasan. Trakeostomi diindikasikan

untuk membebaskan obstruksi jalan napas bagian atas, melindungi trakea serta cabang-

cabangnya terhadap aspirasi dan tertimbunnya discharge bronkus, serta penanganan terhadap

penyakit (keadaan) yang mengakibatkan insufisiensi respirasi.

Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran

nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan segera yang harus dilakukan adalah

Page 6: TRAUMA-Obstruksi Ssaluran Napas Atas

trakeostomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tidak terjadi

aspirasi darah. Pada trauma tumpul, tindakan pengamanan jalan nafas dengan trakeostomi lebih

cenderung dipilih dibanding dengan orotracheal tube maupun krikotiroidotomi. Tindakan

trakeostomi akan menurunkan jumlah udara residu anatomis paru hingga 50 persennya.

Sehingga, pasien hanya memerlukan sedikit tenaga yang dibutuhkan untuk bernafas dan

meningkatkan ventilasi alveolar. Menurut lamanya pemasangan, trakeostomi dibagi menjadi:

1. Tracheal stoma post laryngectomy: merupakan trakeostomi permanen. Kartilage trakea

diarahkan ke permukaan kulit dan dilekatkan pada leher. Rigiditas cartilage

mempertahankan stoma tetap terbuka sehingga tidak diperlukan trakeostomy tube

(canule).

2. Tracheal stoma without laryngectomy: merupakan trakeostomi temporer. Trakea dan

jalan nafas bagian atas masih intak tetapi terdapat obstruksi. Digunakan trakeostomi

tube (canule) terbuat dari metal atau Non metal (terutama pada penderita yang sedang

mendapat radiasi dan selama pelaksanaan MRI scanning).

Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat pembuluh

darah yang cidera serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek. Indikasi untuk

melakukan eksplorasi ialah :

a. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.

b. Emfisema subkutis yang progresif.

c. Laserasi mukosa yang luas.

d. Tulang rawan krikoid yang terbuka.

e. Paralisis bilateral pita suara.5

b. Montgomery T-Tube

Montgomery T-tube merupakan suatu alat yang dipergunakan khususnya dalam

pembedahan di bagian kepala dan leher. T-tube awalnya diperkenalkan pada pertengahan tahun

1960 dan digunakan untuk menyokong trakea setelah tindakan laryngotracheoplasty. Alat ini

memiliki 2 cabang, cabang utama yang lebih panjang dimasukkan dalam trakea, sedangkan

cabang yang lebih pendek diproyeksi melalui stoma trakeostomi. Saat ini, T-tube dipergunakan

pada pasien dengan cidera trakeal akut, penyokong trakea pasca rekonstruksi, maupun sebagai

pengganti trakea servikal yang tidak dapat direkonstruksi. Diameter eksternal T-tube berukuran

Page 7: TRAUMA-Obstruksi Ssaluran Napas Atas

mulai dari 4,5 – 16 mm, sedangkan diameter internal dan ketebalannya bervariasi. Alat ini

terbuat dari bahan silicon sehingga dapat mengurangi pembentukan mucus yang berlebihan.

Gambar 2.4 (A) Potongan gambar sagital lokasi pemasagan T-tube.

(B) Montgomery T-tube.

Setelah pemasangan dilaksanakan, edukasi terhadap pasien dan keluarga harus

diperhatikan terutama mengenai perawatan T-tube untuk mencegah terjadinya komplikasi. Salah

satu langkah sederhana dalam perawatan T-tube adalah dengan melakukan irigasi

mempergunakan 2-3 ml larutan normal saline 2-3 kali sehari serta menjaga bagian eksternal dari

T-tube tetap bersih. Nebulizer dengan acetylcysteine 10% atau albuterol dapat diberikan 3 kali

sehari untuk membantu menekan produksi sekret serta membantu mengencerkan sekret yang

sudah terbentuk sehingga lebih mudah dikeluarkan. Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan

pemasangan T-tube dibandingkan dengan trakeostomi dapat dilihat pada table berikut:

Tabel 2.1 Perbedaan T-tube dan trakeostomi.

Page 8: TRAUMA-Obstruksi Ssaluran Napas Atas

Penggunaan Montgomery T-tube masih terbilang jarang. Bahkan tidak sedikit

anestesiologis kesulitan dalam hal manajemen general anestesi pada pasien dengan operasi laring

yang mempergunakan T-tube. Metode standar dalam pemasangan T-tube adalah dengan

mempergunakan curved haemostatic forceps dan diletakkan intratrakeal melalui trakeostomi.

Kesalahan dalam meletakkan atau memasang T-tube dapat mengakibatkan hilangnya kontrol

terhadap jalan nafas pasien. Pada kasus tersebut, T-tube harus dilepaskan dan dipasang ulang

dengan seksama di posisi yang tepat.

c. Laryngeal Mask Airway (LMA)

Laryngeal mask airway (LMA) atau dikenal pula dengan sebutan sungkup laring,

merupakan suatu alat untuk membantu jalan napas yang terdiri atas pipa besar berlubang dengan

ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembangkempiskan seperti balon pada pipa

trakhea. Tangkai pipa LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral

untuk menjaga supaya lubang tetap paten. Terdapat 2 jenis LMA yang dapat dipergunakan,

yaitu:

1. LMA standar dengan satu pipa napas.

2. LMA dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa tambahan yang ujung

distalnya berhubungan dengan esofagus.

Gambar 2.5 Laryngeal mask airway (LMA)

LMA dipergunakan selama operasi trauma laring yang sedang berlangsung untuk menjaga

jalan napas pasien tetap adekuat. LMA dikenal karena kemudahan dalam pemasangannya serta

kemungkinan terjadinya trauma trakea sangat rendah. Dibandingkan dengan endotrakeal tube

(ETT), LMA memiliki beberapa keuntungan, yaitu dapat mengurangi insiden spasme laring,

batuk-batuk, serta suara serak pasca operasi.

Page 9: TRAUMA-Obstruksi Ssaluran Napas Atas

Pemilihan ukuran LMA sangat penting untuk diperhatikan mengingat perbedaan dari sisi

anatomis pada pasien anak-anak dan dewasa. Berikut adalah tabel pemilihan ukuran LMA

berdasarkan usia dan estimasi berat badan:

Ukuran Usia Berat badan (kg)

1.0 Neonatus < 3

1.3 Bayi 3 – 10

2.0 Anak kecil 10-20

2.3 Anak 20 – 30

3.0 Dewasa kecil 30 – 40

4.0 Dewasa normal 40 – 60

5.0 Dewasa besar > 60

Penggunaan LMA sebelum pemasangan Montgomery T-tube dapat menjadi solusi bagi

anestesiologis untuk tetap menjaga jalan nafas pasien tetap adekuat selama proses pemasangan

berlangsung. Selain itu, manajemen jalan nafas dengan LMA tidak mengganggu proses

rekonstruksi. Sehingga, meskipun dalam proses pemasangan T-tube terjadi kesulitan ataupun

keterlambatan (delay), keselamatan pasien tidak terancam.

2.Terapi Bedah

Informasi yang diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik, prosedur endoskopik dan

radiologi memberikan bantuan yang sangat penting dalam merencanakan sebuah eksplorasi

daerah leher. Bila jalan nafas mengalami sumbatan, trakeostomi harus dilakukan dalam keadaan

pasien sadar dan menggunakan anastesi lokal dengan efek sedasi ringan. Biasanya, insisi trakeal

dibuat pada posisi di bawah trakeostomi standar. Insisi di bawah cincin ketiga dan keempat lebih

disukai untuk menolong pasien dengan trauma laring. Karena pada posisi ini, membantu

mencegah trauma lebih lanjut yang mungkin mengenai laring.

Eksplorasi dimulai dengan insisi horizontal pada lipatan kulit setinggi membran

krikotiroid. Sebuah flap subplatisma kemudian diangkat ke arah tulang hyoid di superior dan ke

krikoid di inferior. Perluasan dari insisi akan membantu memperlihatkan cidera pada saraf,

vaskular dan organ isceral. Otot-otot dipisahkan di miline dan retraksi ke lateral agar tulang

dapat di lihat dengan baik. Pada titik ini, dapat di identifikasi dan dibuang jaringan sisa fraktur

pada kartilago laring yang terlihat.

Page 10: TRAUMA-Obstruksi Ssaluran Napas Atas

Laring dapat dimasuki tergantung dari lokasi cideranya. Bisa dengan midline tirotomi,

ataukah melalui kartilago tiroid yakni 2-3 mm dari takik tiroid. Bila kartilago tiroid telah terbuka,

mukosa endolaring kemudian dipotong tajam. Pemeriksaan endolaring kemudian dapat

dilakukan secara menyeluruh. Aritenoid dipalpasi untuk mengevaluasi posisi dan mobilitasnya.

Kord vokalis di perbaiki menggunakan benang absorbable 5-0 atau 6-0. Menyambung kembali

kommissura anterior sangat penting untuk mengembalikan kualitas suara.

Perhatian yang seksama harus dicurahkan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki

laserasi mukosa. Kartilago yang terbuka harus ditutup untuk meminimalisir fibrosis dan

mencegah jaringan granulasi. Bila tidak dapat ditutup, maka dapat dipergunakan kulit atau

membran mukosa sebagai graft.

3.Terapi Medikamentosa Lainnya

Pemberian kortikosteroid masih kontroversial namun masih cukup efektif dan harus

diberikan secepatnya dalam beberapa jam setelah trauma. Pemberian kortikosteroid mempunyai

tujuan mencegah atau mengurangi kemungkinan timbulnya edema laring pada fase akut. Jika

edema jalan nafas cukup berat, dapat diberikan dosis 1-20mg/kg BB bolus intravena. Pemberian

kortikosteroid juga bertujuan untuk mengurangi atau mencegah penambahan edema yang terjadi

akibat manipulasi saat operasi.

Menelan bahan kaustik

Larutan asam kuat seperti asam sulfat, nitrat dan hidroklorit, atau basa kuat seperti soda

kaustik, potasium kaustik dan ammonium bila tertelan dapa mengakibatkan terbakarnya mukosa

saluran cerna. Pada penderita yang tak sengaja minum bahan tersebut, kemungkinan besar luka

baker hanya pada mulut dan faring karena bahan tersebut tidak ditelan dan hanya sedikit saja

masuk ke dalam lambung. Tetapi pada mereka yang coba bunuh diri akan terjadi luka bakar yang

luas pada esofagus bagian tengah dan distal karena larutan tersebut berdiam di sini agak lama

sebelum memasuki kardia lambung.

Diagnosis didasarkan riwayat menelan zat kaustik dan adanya luka bakar di sekitar dan di

dalam mulut. Kasus kecelakaan biasanya terjadi pada anak usia dibawah enam tahun, sedangkan

kasus bunuh diri pada dewasa.

Trauma trakea

Page 11: TRAUMA-Obstruksi Ssaluran Napas Atas

Trauma tajam atau tumpul pada leher dapat mengenai trakea. Trauma tumpul tidak

menimbulkan gejala atau tanda tetapi dapat juga mengakibatkan kelainan hebat berupa sesak

napas, karena penekanan jalan napas atau aspirasi darah atau emfisema kutis bila trakea robek.

Dari pemeriksaan photo roentgen dapat dilihat benda asing, trauma penyerta seperti

fraktur vertebra servikal atau emfisema di jaringan lunak di mediastinum, leher dan subkutis.

Trauma tumpul trakea jarang memerlukan tindakan bedah. Penderita diobservasi bila

terjadi obstreksi jalan napas dikerjakan trakeotomi. Pada trauma tajam yang menyebabkan

robekan trakea segera dilakukan trakeotomi di distal robekan. Kemudian robekan trakea dijahit

kembali.

Trauma intubasi

Pemasangan pipa endotrakea yang lama dapat menimbulkan udem laring dan trakea.

Keadaan ini baru diketahui bila pipa dicabut karena suara penderita terdengar parau dan ada

kesulitan menelan, gangguan aktivitas laring, dan beberapa derajat obstruksi pernapasan.

Pengobatan dilakukan dengan pemberian kortikosteroid. Bila obstruksi napas terlalu hebat maka

dilakukan trakeotomi.

Stenosis trakea adalah komplikasi pemasangan pipa endotrakea berbalon dalam waktu

lama. Tekanan balon menyebabkan nekrosis mukosa trakea disertai penyembuhan dengan

jaringan fibrosis yang mengakibatkan stenosis.

Pengobatan stenosis ini berupa peregangan bagian yang stenosis dalam waktu lama,

tetapi seringkali perlu dilakukan reseksi segmental trakea dan anstomosis ujung ke ujung.

Dislokasi krikoaritenoid

Trauma pada laring dapat menyebabkan dislokasi persendian krikoaritenoid yang

mengakibatkan suara parau disertai obstruksi jalan napas bagian atas. Pada pemeriksaan roentgen

leher tampak dislokasi struktur laring, penyempitan jalan napas, dan udem jaringan lunak.

Penanganannya berupa trakeotomi, kemudian dislokasi direposisi secara terbuka dan

dipasang bidai dalam. Kelambatan penanganan dislokasi krikoaritenoid dapat mengakibatkan

stenosis laring.

Page 12: TRAUMA-Obstruksi Ssaluran Napas Atas

Paralisis korda vokalis bilateral

Kedua pita suara tidak dapat bergerak sedangkan posisinya paramedian dan cenderung

bertaut satu sama lain waktu inspirasi. Penderita mengalami sesak napas hebat yang mungkin

memerlukan intubasi dan atau trakeotomi.