trauma-obstruksi ssaluran napas atas
DESCRIPTION
traumaTRANSCRIPT
TRAUMA
Trauma Laring
Definisi
Trauma laring merupakan suatu keadaan dimana laring mengalami suatu kerusakan yang
dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, dan penyebab lainnya. Hal ini
menyebabkan fungsi laring sebagai proteksi jalan nafas, pengaturan pernafasan dan penghasil
suara terganggu, sehingga dapat menimbulkan resiko kecacatan bahkan kematian.
Patofisiologi
Trauma laring dapat disebabkan oleh trauma tumpul, trauma tajam, tembak, trauma
inhalasi, aspirasi benda asing maupun iatrogenik. Insiden trauma laring akibat trauma tumpul
semakin menurun karena perkembangan yang maju pada sistem pengaman kendaraan
(automobile safety). Sementara itu angka kejahatan/kekerasan semakin meningkat sehingga
persentase kejadian trauma tajam/tembus semakin meningkat. Pada trauma tumpul dan tembak
kerusakan jaringan yang terjadi lebih berat dibanding trauma tajam.
Monson membagi daerah leher menjadi 3 zona pada trauma penetrasi atau trauma tajam
terutama berdasarkan trauma terhadap pembuluh darahnya, yaitu sebagai berikut:
Zona I adalah daerah dari kartilago krikoid sampai klavikula. Zona ini berisi trakea dan
esofagus bagian inferior, pembuluh darah trunkus brakiosefalika, arteri subklavia, arteri
karotis komunis, trunkus tiroservikal dan vena-venanya, duktus torasikus, kelenjar tiroid
dan medula spinalis.
Zona II adalah daerah dari kartilago krikoid sampai angulus mandibula. Zona ini berisi
arteri karotis komunis, arteri karotis eksterna dan interna, vena jugularis interna, laring,
hipofaring, nervus X, XI, XII, dan medula spinalis.
Zona III adalah daerah dari angulus mandibula sampai basis kranii yang berisi arteri
karotis, arteri vertebralis, vena jugularis interna, faring, nervus kranialis dan medula
spinalis.
Mekanisme dari cidera yang timbul adalah refleksi dari jenis penyebabnya. Pada setiap
cidera yang timbul akibat trauma laring seringkali disertai kelainan pada tulang, secara khusus,
dapat terjadi dislokasi krikotiroid dan krikoaritenoid.
1. Trauma Inhalasi
Inhalasi uap yang sangat panas, gas atau asap yang berbahaya akan cenderung menciderai
laring dan trakea servikal dan jarang merusak saluran nafas bawah. Daerah yang terkena akan
menjadi nekrosis, membentuk jaringan parut yang menyebabkan defek stenosis pada daerah yang
terkena.
2. Trauma Tumpul
Trauma tumpul pada saluran nafas bagian atas dan dada paling sering disebabkan oleh
hantaman langsung, trauma akibat fleksi/ekstensi hebat, atau trauma benturan pada dada.
Hiperekstensi mengakibatkan traksi laring yang kemudian membentur kemudi, handle bars atau
dashboard. Trauma tumpul lebih sering disebabkan oleh kecelakaan kendaraan bermotor dimana
korban terhimpit di antara jok mobil dan setir atau dikeluarkan dari kendaraan dan terhimpit di
antara kepingan kendaraan yang mengalami kecelakaan.
Hantaman langsung paling sering menyebabkan trauma pada tulang rawan laring,
sedangkan trauma fleksi/ekstensi lebih sering berhubungan dengan robekan trakea atau laring.
Kerusakan trakea akibat trauma benturan terjadi karena trakea tertekan di antara manubrium dan
kolumna vertebralis. Trauma tumpul pada dada dapat menyebabkan robekan vertikal pada trakea
pars membranosa atau bronkus, biasanya 2,5 cm dari karina.
Gambar 2.3 Mekanisme trauma tumpul
Penyebab lain adalah trauma tak langsung akibat akselerasi-deselerasi. Pada trauma
akselerasi-deselerasi dengan posisi glotis menutup juga akan mengakibatkan tekanan
intraluminer yang meninggi sehingga dapat menyebabkan robekan pada bagian membran trakea.
Robekan ini terjadi akibat diameter transversal yang bertambah secara mendadak. Dapat juga
terjadi akibat robekan diantara cincin trakea dari os krikoid sampai karina akibat tarikan paru
yang mendadak.
3. Trauma Tajam
Trauma laring sering juga disebabkan karena trauma tajam (5-15%) yang paling banyak
akibat perkelahian di tempat rawan kejahatan. Senjata yang dipakai adalah belati, pisau clurit,
pisau lipat, golok maupun senjata berpeluru. Angka kejadian trauma tajam semakin meningkat
dan penyebab utamanya relatif lebih banyak oleh trauma tembus peluru dibanding trauma tusuk.
Meskipun trauma tembus dapat mengenai bagian manapun dari saluran nafas, trakea
merupakan struktur yang paling sering mengalami trauma akibat luka tusukan. Laring yang
mengalami trauma kira-kira pada sepertiga saluran nafas bagian atas, dan sisa dua pertiga bagian
lagi adalah trakea pars servikalis. Kematian pasien dengan trauma tembus saluran nafas ini
biasanya disebabkan oleh trauma vaskular dan jarang akibat trauma saluran nafas itu sendiri.
4. Penyebab Lain
Penyebab lain trauma laring adalah tentament suicide pada pasien dengan gangguan
kejiwaan atau pada pasien dengan stress berat. Trauma laring juga dapat diakibatkan oleh
intubasi karena trauma langsung saat pemasangan atau pun karena balon yang menekan mukosa
terlalu lama sehingga menjadi nekrosis. Trauma sekunder akibat intubasi umumnya karena
inflasi balon yang berlebihan walaupun menggunakan cuff volume besar bertekanan rendah.
Trauma yang disebabkan oleh cuff ini terjadi pada kira-kira setengah dari pasien yang mengalami
trauma saat trakeostomi.
Cidera yang disebabkan oleh bahan-bahan kaustik seringkali didapatkan pada kelompok
usia anak-anak dan biasanya akibat kecerobohan mereka dalam menggunakan benda-benda
berbahaya di rumah sebagai alat permainan. Bila didapatkan pada usia dewasa, biasanya
ditemukan pada kasus-kasus percobaan bunuh diri dengan menelan larutan alkali ataupun
hidrokarbon.
Diagnosis
Trauma jalan nafas menimbulkan tanda dan gejala yang bervariasi tergantung mekanisme
traumanya. Jadi satu hal yang harus diperhatikan dalam mendiagnosis trauma laring adalah
mekanisme cidera dan harus waspada terhadap tanda seperti kontusio lokal, emfisema subkutis,
perubahan suara (seperti stridor inspirasi / hoarseness), distress pernafasan dan hemoptisis.
Gejala Klinis
Pada trauma laring, gejala dan tanda klinis yang biasanya didapatkan adalah sesak nafas.
Batuk, batuk darah, emfisema subkutis (pada leher, kepala, dada), sianosis, gangguan suara juga
merupakan tanda dan gejala klinis yang mengarah ke perlukaan jalan nafas. Tanda lain yang
dapat ditemukan pada pasien dengan trauma laring adalah adanya kebocoran udara atau suara
mendesis pada tempat trauma. Pada trauma tembus, kebocoran tersebut dapat dilihat langsung di
tempat luka, sedangkan pada trauma tumpul kadang dapat terlihat kulit leher yang mengembang
pada saat batuk.
Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan jejas (hematom/abrasi) akibat hantaman benda
tumpul, jejas berupa garis yang menunjukkan bekas jeratan, luka dan penonjolan tulang,
hilangnya tonjolan kartilago tiroid, krepitasi, diskontinuitas, nyeri tekan pada daerah laring,
emfisema subkutis maupun emfisema mediastinum jika cidera lebih ke distal.
Pada trauma trakea tidak ada pembagian beratnya cidera yang menentukan indikasi
operasi. Setiap trauma trakea dengan salah satu gejala atau tanda klinis walaupun ringan
memerlukan eksplorasi. Berbeda dengan trauma laring yang dapat dibagi menjadi 5 grup,
sebagai berikut :
Grup I : Trauma endolaringeal ringan tanpa fraktur
Grup II : Edema sedang, hematoma dengan laserasi mukosa, tidak ada expose
tulang rawan, fraktur nondisplaced.
Grup III : Edema berat robekan mukosa dengan expose tulang rawan.
Fraktur displaced pada CT Scan.
Grup IV : Perlukaan berat endolaringeal, bentuk laring yang tidak beraturan.
Grup V : Terputusnya laring komplit.
Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan radiologi dapat membantu menegakkan diagnosis pada trauma leher yang
mencurigakan adanya kerusakan jalan nafas terutama pada trauma tumpul ataupun yang sudah
terpasang endotrakeal tube (ETT). Pada foto dapat terlihat adanya bayangan udara terperangkap
di prevertebra dan leher bagian dalam atau peninggian/elevasi tulang hyoid pada kasus separasi
krikotrakea.
Bronkoskopi merupakan alat diagnostik pilihan karena dapat menentukan letak luka, luas
luka, dan juga sekaligus sebagai penuntun untuk pemasangan ETT guna menjamin jalan nafas.
Esofagoskopi disarankan terutama pada trauma tembus. Tindakan panendoscopy dan arteriografi
disarankan dilakukan pada trauma tembus leher dengan kondisi pasien yang stabil. Tindakan
tersebut di atas selain efektif juga sensitifitasnya tinggi untuk menghindari eksplorasi yang
berlebihan.
Pemeriksaan penunjang lain seperti pencitraan esofagus dengan kontras, computed
tomography (CT) dan MRI dapat dilakukan sesuai indikasi. CT scan telah berperan banyak
dalam penanganan trauma laring saat ini dan mampu menurunkan angka eksplorasi bedah karena
mampu mendeteksi lebih rinci dan non invasif. CT diindikasikan pada pasien dengan kecurigaan
trauma laring hanya dari anamnesis dan pemeriksaan fisik seperti pada pasien yang hanya
menunjukkan satu gejala/tanda. CT mampu mendeteksi fraktur tiroid dengan midline displaced
yang minimal namun berpengaruh dalam pembentukan fonasi. Hal ini sangat menguntungkan
pasien karena jika tidak terdeteksi akan menyebabkan gangguan fonasi jangka panjang. CT
kurang berguna pada kasus dengan indikasi pembedahan seperti pada kartilago yang terekspose
atau displaced fracture dengan laserasi mukosa diatasnya.
Penatalaksanaan
Kewaspadaan terhadap trauma laring pada trauma leher oleh tenaga medis atau paramedis
harus dipertajam agar tidak ada kasus yang terlewatkan. Bila ada trauma laring, luka atau jejas
pada leher harus diperiksa dan diobservasi dengan seksama. Pada prinsipnya, penatalaksanaan
trauma harus sistematis dimulai dari penilaian dan pengamanan jalan nafas agar tetap adekuat.
1. Manajemen Jalan Nafas
a. Trakeostomi
Trakeostomi adalah operasi membuat jalan udara melalui leher langsung ke trakea untuk
mengatasi asfiksi apabila ada gangguan pertukaran udara pernapasan. Trakeostomi diindikasikan
untuk membebaskan obstruksi jalan napas bagian atas, melindungi trakea serta cabang-
cabangnya terhadap aspirasi dan tertimbunnya discharge bronkus, serta penanganan terhadap
penyakit (keadaan) yang mengakibatkan insufisiensi respirasi.
Penatalaksanaan luka terbuka pada laring terutama ditujukan pada perbaikan saluran
nafas dan mencegah aspirasi darah ke paru. Tindakan segera yang harus dilakukan adalah
trakeostomi dengan menggunakan kanul trakea yang memakai balon, sehingga tidak terjadi
aspirasi darah. Pada trauma tumpul, tindakan pengamanan jalan nafas dengan trakeostomi lebih
cenderung dipilih dibanding dengan orotracheal tube maupun krikotiroidotomi. Tindakan
trakeostomi akan menurunkan jumlah udara residu anatomis paru hingga 50 persennya.
Sehingga, pasien hanya memerlukan sedikit tenaga yang dibutuhkan untuk bernafas dan
meningkatkan ventilasi alveolar. Menurut lamanya pemasangan, trakeostomi dibagi menjadi:
1. Tracheal stoma post laryngectomy: merupakan trakeostomi permanen. Kartilage trakea
diarahkan ke permukaan kulit dan dilekatkan pada leher. Rigiditas cartilage
mempertahankan stoma tetap terbuka sehingga tidak diperlukan trakeostomy tube
(canule).
2. Tracheal stoma without laryngectomy: merupakan trakeostomi temporer. Trakea dan
jalan nafas bagian atas masih intak tetapi terdapat obstruksi. Digunakan trakeostomi
tube (canule) terbuat dari metal atau Non metal (terutama pada penderita yang sedang
mendapat radiasi dan selama pelaksanaan MRI scanning).
Setelah trakeostomi barulah dilakukan eksplorasi untuk mencari dan mengikat pembuluh
darah yang cidera serta menjahit mukosa dan tulang rawan yang robek. Indikasi untuk
melakukan eksplorasi ialah :
a. Sumbatan jalan nafas yang memerlukan trakeostomi.
b. Emfisema subkutis yang progresif.
c. Laserasi mukosa yang luas.
d. Tulang rawan krikoid yang terbuka.
e. Paralisis bilateral pita suara.5
b. Montgomery T-Tube
Montgomery T-tube merupakan suatu alat yang dipergunakan khususnya dalam
pembedahan di bagian kepala dan leher. T-tube awalnya diperkenalkan pada pertengahan tahun
1960 dan digunakan untuk menyokong trakea setelah tindakan laryngotracheoplasty. Alat ini
memiliki 2 cabang, cabang utama yang lebih panjang dimasukkan dalam trakea, sedangkan
cabang yang lebih pendek diproyeksi melalui stoma trakeostomi. Saat ini, T-tube dipergunakan
pada pasien dengan cidera trakeal akut, penyokong trakea pasca rekonstruksi, maupun sebagai
pengganti trakea servikal yang tidak dapat direkonstruksi. Diameter eksternal T-tube berukuran
mulai dari 4,5 – 16 mm, sedangkan diameter internal dan ketebalannya bervariasi. Alat ini
terbuat dari bahan silicon sehingga dapat mengurangi pembentukan mucus yang berlebihan.
Gambar 2.4 (A) Potongan gambar sagital lokasi pemasagan T-tube.
(B) Montgomery T-tube.
Setelah pemasangan dilaksanakan, edukasi terhadap pasien dan keluarga harus
diperhatikan terutama mengenai perawatan T-tube untuk mencegah terjadinya komplikasi. Salah
satu langkah sederhana dalam perawatan T-tube adalah dengan melakukan irigasi
mempergunakan 2-3 ml larutan normal saline 2-3 kali sehari serta menjaga bagian eksternal dari
T-tube tetap bersih. Nebulizer dengan acetylcysteine 10% atau albuterol dapat diberikan 3 kali
sehari untuk membantu menekan produksi sekret serta membantu mengencerkan sekret yang
sudah terbentuk sehingga lebih mudah dikeluarkan. Beberapa keuntungan yang diperoleh dengan
pemasangan T-tube dibandingkan dengan trakeostomi dapat dilihat pada table berikut:
Tabel 2.1 Perbedaan T-tube dan trakeostomi.
Penggunaan Montgomery T-tube masih terbilang jarang. Bahkan tidak sedikit
anestesiologis kesulitan dalam hal manajemen general anestesi pada pasien dengan operasi laring
yang mempergunakan T-tube. Metode standar dalam pemasangan T-tube adalah dengan
mempergunakan curved haemostatic forceps dan diletakkan intratrakeal melalui trakeostomi.
Kesalahan dalam meletakkan atau memasang T-tube dapat mengakibatkan hilangnya kontrol
terhadap jalan nafas pasien. Pada kasus tersebut, T-tube harus dilepaskan dan dipasang ulang
dengan seksama di posisi yang tepat.
c. Laryngeal Mask Airway (LMA)
Laryngeal mask airway (LMA) atau dikenal pula dengan sebutan sungkup laring,
merupakan suatu alat untuk membantu jalan napas yang terdiri atas pipa besar berlubang dengan
ujung menyerupai sendok yang pinggirnya dapat dikembangkempiskan seperti balon pada pipa
trakhea. Tangkai pipa LMA dapat berupa pipa keras dari polivinil atau lembek dengan spiral
untuk menjaga supaya lubang tetap paten. Terdapat 2 jenis LMA yang dapat dipergunakan,
yaitu:
1. LMA standar dengan satu pipa napas.
2. LMA dengan dua pipa yaitu satu pipa napas standar dan lainnya pipa tambahan yang ujung
distalnya berhubungan dengan esofagus.
Gambar 2.5 Laryngeal mask airway (LMA)
LMA dipergunakan selama operasi trauma laring yang sedang berlangsung untuk menjaga
jalan napas pasien tetap adekuat. LMA dikenal karena kemudahan dalam pemasangannya serta
kemungkinan terjadinya trauma trakea sangat rendah. Dibandingkan dengan endotrakeal tube
(ETT), LMA memiliki beberapa keuntungan, yaitu dapat mengurangi insiden spasme laring,
batuk-batuk, serta suara serak pasca operasi.
Pemilihan ukuran LMA sangat penting untuk diperhatikan mengingat perbedaan dari sisi
anatomis pada pasien anak-anak dan dewasa. Berikut adalah tabel pemilihan ukuran LMA
berdasarkan usia dan estimasi berat badan:
Ukuran Usia Berat badan (kg)
1.0 Neonatus < 3
1.3 Bayi 3 – 10
2.0 Anak kecil 10-20
2.3 Anak 20 – 30
3.0 Dewasa kecil 30 – 40
4.0 Dewasa normal 40 – 60
5.0 Dewasa besar > 60
Penggunaan LMA sebelum pemasangan Montgomery T-tube dapat menjadi solusi bagi
anestesiologis untuk tetap menjaga jalan nafas pasien tetap adekuat selama proses pemasangan
berlangsung. Selain itu, manajemen jalan nafas dengan LMA tidak mengganggu proses
rekonstruksi. Sehingga, meskipun dalam proses pemasangan T-tube terjadi kesulitan ataupun
keterlambatan (delay), keselamatan pasien tidak terancam.
2.Terapi Bedah
Informasi yang diperoleh melalui anamnese, pemeriksaan fisik, prosedur endoskopik dan
radiologi memberikan bantuan yang sangat penting dalam merencanakan sebuah eksplorasi
daerah leher. Bila jalan nafas mengalami sumbatan, trakeostomi harus dilakukan dalam keadaan
pasien sadar dan menggunakan anastesi lokal dengan efek sedasi ringan. Biasanya, insisi trakeal
dibuat pada posisi di bawah trakeostomi standar. Insisi di bawah cincin ketiga dan keempat lebih
disukai untuk menolong pasien dengan trauma laring. Karena pada posisi ini, membantu
mencegah trauma lebih lanjut yang mungkin mengenai laring.
Eksplorasi dimulai dengan insisi horizontal pada lipatan kulit setinggi membran
krikotiroid. Sebuah flap subplatisma kemudian diangkat ke arah tulang hyoid di superior dan ke
krikoid di inferior. Perluasan dari insisi akan membantu memperlihatkan cidera pada saraf,
vaskular dan organ isceral. Otot-otot dipisahkan di miline dan retraksi ke lateral agar tulang
dapat di lihat dengan baik. Pada titik ini, dapat di identifikasi dan dibuang jaringan sisa fraktur
pada kartilago laring yang terlihat.
Laring dapat dimasuki tergantung dari lokasi cideranya. Bisa dengan midline tirotomi,
ataukah melalui kartilago tiroid yakni 2-3 mm dari takik tiroid. Bila kartilago tiroid telah terbuka,
mukosa endolaring kemudian dipotong tajam. Pemeriksaan endolaring kemudian dapat
dilakukan secara menyeluruh. Aritenoid dipalpasi untuk mengevaluasi posisi dan mobilitasnya.
Kord vokalis di perbaiki menggunakan benang absorbable 5-0 atau 6-0. Menyambung kembali
kommissura anterior sangat penting untuk mengembalikan kualitas suara.
Perhatian yang seksama harus dicurahkan untuk mengidentifikasi dan memperbaiki
laserasi mukosa. Kartilago yang terbuka harus ditutup untuk meminimalisir fibrosis dan
mencegah jaringan granulasi. Bila tidak dapat ditutup, maka dapat dipergunakan kulit atau
membran mukosa sebagai graft.
3.Terapi Medikamentosa Lainnya
Pemberian kortikosteroid masih kontroversial namun masih cukup efektif dan harus
diberikan secepatnya dalam beberapa jam setelah trauma. Pemberian kortikosteroid mempunyai
tujuan mencegah atau mengurangi kemungkinan timbulnya edema laring pada fase akut. Jika
edema jalan nafas cukup berat, dapat diberikan dosis 1-20mg/kg BB bolus intravena. Pemberian
kortikosteroid juga bertujuan untuk mengurangi atau mencegah penambahan edema yang terjadi
akibat manipulasi saat operasi.
Menelan bahan kaustik
Larutan asam kuat seperti asam sulfat, nitrat dan hidroklorit, atau basa kuat seperti soda
kaustik, potasium kaustik dan ammonium bila tertelan dapa mengakibatkan terbakarnya mukosa
saluran cerna. Pada penderita yang tak sengaja minum bahan tersebut, kemungkinan besar luka
baker hanya pada mulut dan faring karena bahan tersebut tidak ditelan dan hanya sedikit saja
masuk ke dalam lambung. Tetapi pada mereka yang coba bunuh diri akan terjadi luka bakar yang
luas pada esofagus bagian tengah dan distal karena larutan tersebut berdiam di sini agak lama
sebelum memasuki kardia lambung.
Diagnosis didasarkan riwayat menelan zat kaustik dan adanya luka bakar di sekitar dan di
dalam mulut. Kasus kecelakaan biasanya terjadi pada anak usia dibawah enam tahun, sedangkan
kasus bunuh diri pada dewasa.
Trauma trakea
Trauma tajam atau tumpul pada leher dapat mengenai trakea. Trauma tumpul tidak
menimbulkan gejala atau tanda tetapi dapat juga mengakibatkan kelainan hebat berupa sesak
napas, karena penekanan jalan napas atau aspirasi darah atau emfisema kutis bila trakea robek.
Dari pemeriksaan photo roentgen dapat dilihat benda asing, trauma penyerta seperti
fraktur vertebra servikal atau emfisema di jaringan lunak di mediastinum, leher dan subkutis.
Trauma tumpul trakea jarang memerlukan tindakan bedah. Penderita diobservasi bila
terjadi obstreksi jalan napas dikerjakan trakeotomi. Pada trauma tajam yang menyebabkan
robekan trakea segera dilakukan trakeotomi di distal robekan. Kemudian robekan trakea dijahit
kembali.
Trauma intubasi
Pemasangan pipa endotrakea yang lama dapat menimbulkan udem laring dan trakea.
Keadaan ini baru diketahui bila pipa dicabut karena suara penderita terdengar parau dan ada
kesulitan menelan, gangguan aktivitas laring, dan beberapa derajat obstruksi pernapasan.
Pengobatan dilakukan dengan pemberian kortikosteroid. Bila obstruksi napas terlalu hebat maka
dilakukan trakeotomi.
Stenosis trakea adalah komplikasi pemasangan pipa endotrakea berbalon dalam waktu
lama. Tekanan balon menyebabkan nekrosis mukosa trakea disertai penyembuhan dengan
jaringan fibrosis yang mengakibatkan stenosis.
Pengobatan stenosis ini berupa peregangan bagian yang stenosis dalam waktu lama,
tetapi seringkali perlu dilakukan reseksi segmental trakea dan anstomosis ujung ke ujung.
Dislokasi krikoaritenoid
Trauma pada laring dapat menyebabkan dislokasi persendian krikoaritenoid yang
mengakibatkan suara parau disertai obstruksi jalan napas bagian atas. Pada pemeriksaan roentgen
leher tampak dislokasi struktur laring, penyempitan jalan napas, dan udem jaringan lunak.
Penanganannya berupa trakeotomi, kemudian dislokasi direposisi secara terbuka dan
dipasang bidai dalam. Kelambatan penanganan dislokasi krikoaritenoid dapat mengakibatkan
stenosis laring.
Paralisis korda vokalis bilateral
Kedua pita suara tidak dapat bergerak sedangkan posisinya paramedian dan cenderung
bertaut satu sama lain waktu inspirasi. Penderita mengalami sesak napas hebat yang mungkin
memerlukan intubasi dan atau trakeotomi.