trauma kapitis

Upload: jo-ye

Post on 08-Jul-2015

57 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TRAUMA KAPITIS Pendahuluan Cedera kepala akibat trauma sering kita jumpai di lapangan. Di Amerika Serikat, kejadian cedera kepala setiap tahunnya diperkirakan mencapai 500.000 kasus. Dari jumlah di atas, 10% penderita meninggal sebelum tiba di rumah sakit dan lebih dari 100.000 penderita menderita berbagai tingkat kecacatan akibat cedera kepala tersebut. Di negara berkembang seperti Indonesia, perkembangan ekonomi dan industri memberikan dampak frekuensi cedera kepala cenderung semakin meningkat 1,2. Distribusi kasus cedera kepala terutama melibatkan kelompok usia produktif antara 1544 tahun dan lebih didominasi oleh kaum laki -laki dibandingkan dengan perempuan. Penyebab cedera kepala terbanyak adalah akibat kecelakaan lalu lintas, disusul dengan jatu h (terutama pada anak-anak). Cedera kepala berperan pada hampir separuh dari seluruh kematian akibat trauma2. Karena itu, sudah saatnya seluruh fasilitas kesehatan yang ada, khususnya puskesmas sebagai lini terdepan

pelayanan kesehatan, dapat melakukan pen anganan yang optimal bagi penderita cedera kepala. Seperti negara-negara berkembang lainnya, kita tidak dapat memungkiri bahwa masih terdapat banyak keterbatasan, di antaranya keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petugas

kesehatan, keterbatasan alat -alat medis, serta kurangnya dukungan sistem transportasi dan komunikasi. Hal ini memang merupakan

tantangan bagi kita dalam menangani pasien dengan trauma, khususnya trauma kepala. Cedera kepala merupakan keadaan yang serius. Oleh karena itu, setiap petugas kesehatan diharapkan mempunyai pengetahuan dan

keterampilan praktis untuk melakukan penanganan pertama dan tindakan live saving sebelum melakukan rujukan ke rumah sakit. Diharapkan dengan penanganan yang cepat dan akurat dapat menekan morbiditas1

dan mortalitasnya. Penanganan yang tidak optimal dan terlambatnya rujukan dapat menyebabkan keadaan penderita semakin memburuk dan berkurangnya kemungkinan pemulihan fungsi. 1,2,3 Anatomi, Fisiologi Dan Patofisiologi Kranium merupakan kerangka kaku yang berisi tiga komponen : otak, cairan serebro-spinal dan darah yang masing-masing tidak dapat diperas. Kranium hanya mempunyai sebuah lubang keluar utama yaitu foramen magnum. Ia juga memiliki tentorium kaku yang memisahkan hemisfer serebral dari serebelum. Otak tengah terletak pada hiatus dari tentorium. Fenomena otoregolasi cenderung mempertahankan aliran darah otak (ADO) stabil bila tekanan darah rata-rata 50-160 mmHg (untuk pasien normotensif, dan bergeser kekanan pada pasien hipertensif dan

sebaliknya). Dibawah 50 mmHg ADO berkurang bertahap, dan diatas 160 mmHg terjadi dilatasi pasif pembuluh otak dengan akibat peninggian tekanan intrakranial. Otoregulasi dapat terganggu pada cedera otak dengan akibat ADO tergantung secara linear terhadap tekanan darah. Oleh karena hal-hal tersebut, sangat penting untuk mencegah syok atau hipertensi (perhatikan tekanan darah pasien sebelum cedera). Volume total intrakranial harus tetap konstan ( Doktrin Monro-Kellie : K = V otak + V css + V darah + V massa ). Kompensasi atas terbent uknya lessi intrakranial adalah digesernya css dan darah vena hingga batas kompensasi, untuk selanjutnya tekanan intrakranial akan naik secara tajam. Pada lesi yang membesar cepat seperti hematoma, perjalanan klinik dapat diprediksi. Bila fase kompensasi t erlewati, tekanan intrakranial meningkat. Pasien nyeri kepala yang memburuk oleh hal yang

meninggikan TIK seperti batuk, membungkuk dan terlentang, kemudian mulai mengantuk. Kompresi atau pergeseran batang otak berakibat peninggian tekanan darah, sedang denyut nadi dan respirasi menjadi lambat. Pupil sisi massa berdilatasi, bisa dengan hemiparesisi2

sisikontralateral massa. Selanjutnya pasien jadi tidak responsif, pupil tidak bereaksi dan berdilatasi, serta refleks batang otak hilang. Akhirnya fungsi batang otak berhenti, tekanan darah merosot, nadi lambat, respirasi lambat dan tidak teratur untuk akhirnya berhenti. Penyebab akhir kegagalan otak adalah iskemia. Peninggian TIK mempengaruhi ADO akibat kompresi arterial, regangan atau robekan arteria dan vena batang otak serta gangguan perfusi. ADO konstan 50 ml/100 gr/menit pada otoregulasi normal. Jadi ADO dipengaruhi oleh tekanan darah arterial, tekanan intrakranial, otoregulasi, stimulasi metabolik serta distorsi atau kompresi pembuluh darah oleh massa atau h erniasi. Pada kenyataannya, banyak akibat klinis dari peninggian TIK adalah akibat pergeseran otak dibanding tingkat TIK sendiri. Edema otak yang terjadi oleh sebab

apapun akan meninggikan TIK yang berakibat gangguan ADO yang berakibat memperberat edema sehingga merupakan lingkaran setan. TIK lebih dari 15 mm Hg harus ditindak. Triad klasik nyeri kepala, edema papil dan muntah ditemukan pada duapertiga pasien. Sisanya hanya dua gejala. Tidak satupun khas untuk peninggian TIK, kecuali edema papil, namun memerlukan waktu yang lama untuk timbulnya. Simtom lebih banyak tergantung penyebab dari pada tingkat tekanan. Tidak ada korelasi konsisten antara tingkat tekanan dengan beratnya gejala. Penurunan kesadaran adalah ciri cedera otak. Dua jenis cedera otak yait u cedera korteks bilateral serta cedera pada sistem pengaktif retikuler batang otak disamping peninggian TIK dan penurunan ADO dapat menurunkan tingkat kesadaran. 4 Klasifikasi Didasarkan pada aspek : 1) Mekanisme trauma a) Tumpul : kecepatan tinggi, kecepatan rendah b) Tajam : cedera peluru, bacok, dll 2) Beratnya. Didasarkan pada Glasgow Coma Scale (GCS)3

a) Cedera kepala ringan (bila GCS 14-15) b) Cedera kepala sedang (bila GCS 9-13) c) Cedera kepala berat (bila GCS 3-8) 3) Berdasar morfologi : a) Fraktura tengkorak. i) Kalvaria : (1) (2) ii) Basiler : (1) (2) (3) Anterior. Media. Posterior. Linier atau stelata. Terdepres atau tidak terdepres.

b) Lesi intrakranial. i) Fokal : (1) (a) (b) (c) (2) (a) Perdarahan meningeal : Epidural. Subdural. Sub-arakhnoid. Perdarahan dan laserasi otak : Perdarahan intraserebral dan atau kontusi. Benda asing, peluru tertancap. (b) (i) (ii) (iii) Difusa : Konkusi ringan. Konkusi klasik. Cedera aksonal difusa. 4

4

Pemeriksaaan Glasgow Coma Scale Dilakukan dengan memeriksa respon dari 3 area : membuka mata, respon verbal dan respon motorik. Skor terendah 3 dan tertinggi 15. Respon motorik dinilai yang terbaik dari kedua sisi. Respon membuka mata (eye) (4).Spontan dengan adanya kedipan (3).Dengan suara (2).Dengan nyeri (1).Tidak ada reaksi Respon bicara (verbal) (5). Orientasi baik (4). Disorientasi (mengacau/bingung) (3). Keluar kata-kata yang tidak teratur (2). Suara yang tidak berbentuk kata5

(1). Tidak ada suara Respon bicara (verbal) untuk anak-anak (5). Kata-kata bermakna, senyum, mengikuti objek (4). Menangis, tapi bisa diredakan (3). Teriritasi secara menetap (2). Gelisah, teragitasi (1). Diam saja Respon motorik (motor) (6). Mengikuti perintah (5). Melokalisir nyeri (4). Menarik ekstremitas yang dirangsang (3). Fleksi abnormal (dekortikasi) (2). Ekstensi abnormal (decerebrasi) (1). Tidak ada gerakan Nilai GCS = (E+V+M) = 15 (terbaik) dan 3 (terburuk)5 Penanganan Penanganan awal cedera kepala pada dasarnya mempunyai tujuan 6: (1) (2) Memantau sedini mungkin dan mencegah cedera otak sekunder; Memperbaiki keadaan umum seoptimal mungkin sehingga dapat membantu penyembuhan sel-sel otak yang sakit. Penanganan dimulai sejak di tempat kejadian secara cepat, tepat, dan aman. Pendekatan tunggu dulu pada penderita cedera kepala sangat berbahaya, karena diagnosis dan penanganan yang cepat sangatlah penting. Cedera otak sering diperburuk oleh akibat cedera otak sekunder.6

Penderita cedera kepala dengan hipotensi mempunyai mortalitas dua kali lebih banyak daripada tanpa hipotensi. Adanya hipoksia dan hipotensi akan menyebabkan mortalitas mencapai 75 persen. Oleh karena itu, tindakan awal berupa stabilisasi kardiopulmoner harus dilaksanakan secepatnya 1. Faktor-faktor yang memperjelek prognosis 5: (1) (2) (3) (4) (5) Terlambat penanganan awal/resusitasi; Pengangkutan/transport yang tidak adekuat; Dikirim ke RS yang tidak adekuat; Terlambat dilakukan tindakan bedah; Disertai cedera multipel yang lain.

Penanganan di Tempat Kejadian Dua puluh persen penderita cedera kepala mati karena kurang perawatan sebelum sampai di rumah sakit. Penyebab kematian yang tersering adalah syok, hipoksemia, dan hiperkarbia. Dengan demikian, prinsip penanganan ABC (airway, breathing, dan circulation) dengan tidak melakukan manipulasi yang berlebihan dapat memberatkan cedera tubuh yang lain, seperti leher, tulang punggung, dada, dan pelvis 3,6. Umumnya, pada menit-menit pertama penderita mengalami semacam brain shock selama beberapa detik sampai beberapa menit. Ini ditandai dengan refleks yang sangat lemah, sangat pucat, napas lambat dan dangkal, nadi lemah, serta otot-otot flaksid bahkan kadang-kadang pupil midriasis. Keadaan ini sering disalahtafsirkan bahwa penderita sudah mati, tetapi dalam waktu singkat tampak lagi fungsi-fungsi vitalnya. Saat seperti ini sudah cukup menyebabkan terjadinya hipoksemia, sehingga perlu segera bantuan pernapasan 6. Yang pertama harus dinilai adalah kelancaran jalan napas ( airway). Jika penderita dapat berbicara maka jalan napas kemungkinan besar dalam7

keadaan adekuat. Obstruksi jalan napas sering terjadi pada penderita yang tidak sadar, yang dapat disebabkan oleh benda a sing, muntahan, jatuhnya pangkal lidah, atau akibat fraktur tulang wajah. Usaha untuk membebaskan jalan napas harus melindungi vertebra servikalis ( cervical spine control), yaitu tidak boleh melakukan ekstensi, fleksi, atau rotasi yang berlebihan dari leher. Dalam hal ini, kita dapat melakukan chin lift atau jaw thrust sambil merasakan hembusan napas yang keluar melalui hidung. Bila ada sumbatan maka dapat dihilangkan dengan cara

membersihkan dengan jari atau suction jika tersedia. Untuk menjaga patensi jalan napas selanjutnya dilakukan pemasangan pipa orofaring. Bila hembusan napas tidak adekuat, perlu bantuan napas. Bantuan napas dari mulut ke mulut akan sangat bermanfaat (breathing). Apabila tersedia, O2 dapat diberikan dalam jumlah yang memadai. Pada penderita dengan cedera kepala berat atau jika penguasaan jalan napas belum dapat memberikan oksigenasi yang adekuat, bila memungkinkan sebaiknya dilakukan intubasi endotrakheal 1,3,5,6,7,8. Status sirkulasi dapat dinilai secara cepat dengan memeriksa tingkat kesadaran dan denyut nadi ( circulation). Tindakan lain yang dapat dilakukan adalah mencari ada tidaknya perdarahan eksternal, menilai warna serta temperatur kulit, dan mengukur tekanan darah. Denyut nadi perifer yang teratur, penuh, dan lambat biasanya me nunjukkan status sirkulasi yang relatif normovolemik. Pada penderita dengan cedera kepala, tekanan darah sistolik sebaiknya dipertahankan di atas 100 mmHg untuk mempertahankan perfusi ke otak yang adekuat. Denyut nadi dapat digunakan secara kasar untuk mem perkirakan tekanan sistolik. Bila denyut arteri radialis dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 90 mmHg. Bila denyut arteri femoralis yang dapat teraba maka tekanan sistolik lebih dari 70 mmHg. Sedangkan bila denyut nadi hanya teraba pada arteri karotis maka tekanan sistolik hanya berkisar 50 mmHg. Bila ada perdarahan eksterna, segera hentikan dengan penekanan pada luka. Cairan resusitasi yang dipakai adalah Ringer Laktat atau NaCl 0,9%,8

sebaiknya dengan dua jalur intra vena. Pemberian cairan jangan raguragu, karena cedera sekunder akibat hipotensi lebih berbahaya terhadap cedera otak dibandingkan keadaan edema otak akibat pemberian cairan yang berlebihan. Posisi tidur yang baik adalah kepala dalam posisi datar, cegah head down (kepala lebih rendah dari leher) vena di kepala dan karena dapat

menyebabkan

bendungan

menaikkan

tekanan

intrakranial3,5,8,10. Setelah ABC stabil, segera siapkan transport ke rumah sakit rujukan untuk mendapatkan penanganan selanjutnya. Rujukan Sesuai dengan keadaan masing -masing daerah yang sangat bervariasi, pemilihan alat transportasi tergantung adanya fasilitas, keamanan,

keadaan geografis, dan cepatnya mencapai rumah sakit rujukan yang ditentukan. Prinsipnya adalah To get 0a definitif care in shortest time . Dengan demikian, bila memungkinkan sebaiknya semua penderita dengan trauma kepala dirujuk ke rumah sakit yang ada fasilitas CT Scan dan tindakan bedah saraf. Tetapi, melihat situasi dan kondisi di negara kita, di mana hanya di rumah sakit propinsi yang mempunyai fasilitas tersebut (khususnya di luar jawa), maka sistem rujukan seperti itu sulit

dilaksanakan. Oleh karena itu, ada tiga hal yang harus dilakukan 3: 1. Bila mudah dijangkau dan tanpa memperberat kondisi penderita, sebaiknya langsung dirujuk ke rumah sakit y ang ada fasilitas bedah saraf (rumah sakit propinsi). 2. Bila tidak memungkinkan, sebaiknya dirujuk ke rumah sakit

terdekat yang ada fasilitas bedah. 3. Bila status ABC belum stabil, bisa dirujuk ke rumah sakit terdekat untuk mendapatkan penanganan lebih baik. Selama dalam perjalanan, bisa terjadi berbagai keadaan seperti syok, kejang, apnea, obstruksi napas, dan gelisah. Dengan demikian, saat9

dalam perjalanan, keadaan ABC pasien harus tetap dimonitor dan diawasi ketat. Dengan adanya risiko selama transportasi , maka perlu persiapan dan persyaratan dalam transportasi, yaitu disertai tenaga medis, minimal perawat yang mampu menangani ABC, serta alat dan obat gawat darurat (di antaranya ambubag, orofaring dan nasofaring tube, suction, oksigen, cairan infus RL atau NaCl 0,9%, infus set, spuit 5 cc, aquabidest 25 cc, diazepam ampul, dan khlorpromazine ampul). Selain itu, juga surat rujukan yang lengkap dan jelas 3. Tetapi, sering pertimbangan sosial, geografis, dan biaya menyulitkan kita untuk merujuk penderita, sehingga perlu adanya pegangan bagi kita untuk menentukan keputusan yang terbaik bagi pasien. Ada beberapa kriteria pasien cedera kepala yang masih bisa dirawat di rumah tetapi dengan observasi ketat, yaitu 5 : 1. Orientasi waktu dan tempat masih baik 2. Tidak ada gejala fokal neurologis. 3. Tidak sakit kepala ataupun muntah -muntah. 4. Tidak ada fraktur tulang kepala. 5. Ada yang bisa mengawasi dengan baik di rumah. 6. Tempat tinggal tidak jauh dari puskesmas/pustu. Selain itu, perlu diberi penjelasan kepada kelu arga untuk mengawasi secara aktif (menanyakan dan membangunkan penderita) setiap dua jam. Bila dijumpai nyeri kepala bertambah berat, muntah makin sering, kejang, kesadaran menurun, dan adanya kelumpuhan maka segera lapor ke puskesmas atau petugas medis terdekat5.

10

Daftar Pustaka 1. American College of Surgeon. Advanced Trauma Life Support for Doctors. American College of Surgeon, 1997 : 195-227. 2. Listiono LD, ed. Ilmu Bedah Saraf Satyanegara. (ed.III). Jakarta : Gramedia Pustaka Utama, 1998 : 147-176. 3. Bajamal AH. Penatalaksanaan cidera otak karena trauma. In : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 1999. 4. Trauma Kepala, Diakses dari http://www.angelfire.com/nc/neurosurgery/Kepalateks.html 5. Bajamal AH. Perawatan cidera kepala pra dan intra rumah sakit. In : Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Bedah Saraf. 2000. 6. Hafid A, Kasan U, Darmadipura HMS, Wirjowijoyo B. Strategi dasar penanganan cidera otak. Warta IKABI Cabang Surabaya. 1989 : 107-128. 7. Wilberger JE. Emergency care and initial evaluation. In: Cooper PR, ed. Head Injury. Baltimore: Williams and Wilkins, 1993:27-41. 8. Kisworo B. Penanganan patah tulang terbuka di puskesmas. Medika 1996;10: 802-804. 9. McKhann II GM, Copass MK, Winn HR. Prehospital care of the head-injured patient. In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. McGraw-Hill, 1996: 103-117. 10. Andrews BT. Fluid and electrolite management in the head injured patient. In: Narayan RK, Wilberger JE, Povlishock JT, eds. Neurotrauma. McGraw-Hill, 1996: 331-344.

11