lbm iv trauma kapitis
TRANSCRIPT
[ ] KELOMPOK III
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kasus trauma kapitis banyak dijumpai di samping trauma tulang, oleh karena bila
penderita jatuh pada kecelakaan lalu lintas, sering kepala terkena lebih dahulu. Di
Surabaya, frekuensi trauma kapitis meningkat dengan 18 % setiap tahunnya, sehingga
secara kumulatif dalam lima tahun frekuensi dapat mencapai 100 %.
Trauma kapitis merupakan keadaan gawat darurat, sehingga harus segera
ditangani. Pada trauma kapitis gangguan yang timbul dapat mengenai kulit dan jaringan
subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak, dan pembuluh darah.
Banyak pasien korban kecelakaan yang mendatangi unit gawat darurat, dengan
kondisi cedera kepala, dengan rata-rata 300 : 100.000 dari populasi pertahunnya
membutuhkan perawatan lebih lanjut di rumah sakit, dan 9 : 100.000 dari populasi
mengalami kematian,halini terhitung dari 5000 pasien setiapt ahunnya yang didata di
Inggris. Sebagian dari kasus kematian ini tidak dapat terelakkan, tetapi sebagian kasus
dapat dicegah.
Penyebab yang paling utama dari cedera kepala adalah, kecelakaan lalulintas,
jatuh, perkelahian, kecelakaan kerja, baik di rumah maupun pada saat olah raga.
Frekuensi penyebab terjadinya cedera kepala sangatlah bervariasi, bergantung juga dari
usia pada masing-masing tempat di banyak negara.
Di banyak negara, kegiatan preventif (pencegahan) dan punitif (pemberian
hukuman) dalam pengukuran ambang batas alkohol, serta penggunaan sabuk pengaman,
dan ketersediaan airbag, dan juga penggunaan helm keselamatan, telah menurunkan
jumlah angka kejadian. Sekali cedera kepala terjadi, tidak ada yang dapat mengelakkan
kerusakan akibat benturan. Tujuan dari manajemen Cedera kepala adalah untuk
meminimalisirkan kerusakan yang terjadi yang akan mengarah ke komplikasi sekunder.
1
[ ] KELOMPOK III
BAB II
PEMBAHASAN
2.1. Skenario
Seorang laki-laki usia 19 tahun dibawa ke IGD Puskesmas setelah menabrak bus
yang parker di pinggir jalan. Pasien naik motor berkecepatan tinggi dan tidak memakai
helm. Dari pemeriksaaan didapatkan pasien tidak membuka mata walaupun sudah
dicubit, suara tidak jelas dan terjadi dekortikasi. TD 110/60 mmHg, nadi 98x/menit,
suhu aksila 36,7C, respirasi 22x/menit. Pemeriksaan neurologis sederhana apa yang
Anda lakukan pada kasus diatas?
Kemudian pasien di rujuk ke RS dan dilakukan CT Scan kepala dan di dapatkan
gambaran cresent shape.
2.2. Terminology
2.2.1. Dekortikasi
Adalah tangan satu atau keduanya posisi kaku diatas dada & kaki extensi saat
diberi rangsang nyeri
2.3. Keyword
2.3.1. Laki-laki 19 tahun
2.3.2. Menabrak bus yang parkir di pinggir jalan
2.3.3. Naik motor kecepatan tinggi dan tidak memakai helm
2.3.4. Pemeriksaan :
Tidak membuka mata walaupun sudah dicubit
Suara tidak jelas
Terjadi dekortikasi
TD 110/60 mmHg
Nadi 98x/menit
Suhu 36,7C
RR 22x/menit
2.4. Identifikasi Masalah
2.4.1. Bagaimana anatomi dan fisiologi kepala?
2.4.2. Menjelaskan tanda-tanda peningkatan TIK?
2
[ ] KELOMPOK III
2.4.3. Menjelaskan definisi cedera kepala?
2.4.4. Menjelaskan manifestasi cedera kepala?
2.4.5. Apa saja klasifikasi cedera kepala?
2.4.6. Menjelaskan patofisiologi ccedera kepala?
2.4.7. Menjelaskan GCS?
2.4.8. Berapa GCS pada skenario?
2.4.9. Bagaimana penatalaksanaan awal pada skenario?
2.5. Brainstorming
2.5.1.Anatomi dan Fisiologi Kepala
ANATOMI
Anatomi kepala terdiri dari :
Kulit kelapa (scalp)
Tulang tengkorak
Meningen
Otak
Cairan serebrospinalis
Tentorium
A. Kulit kepala terdiri dari 5 lapisan (SCALP) yaitu :
Skin
Connective tissue atau sub kutan
Aponeorosis galea
Loose areolar tissue atau jaringan penunjang longgar
Perikranium
Kulit kepala memiliki banyak pembuluh darah sehingga bila terjadi
perdarahan akibat laserasi pembuluh kulit kepala akan menyebabkan banyak
kehilangan darah, terutama pada bayi dan anak-anak.
B. Tulang tengkorak
3
[ ] KELOMPOK III
Tulang tengkorak terdiri dari kubah atau kalvaria dan basis kranii.
Kalvaria di regio temporalis tipis, namum dilapisi oleh otot temporalis.
Sedangkan basis kranii berbentuk tidak rata sehingga dapat melukai bagian
dasar otak saat bergerak akibat proses akselerasi atau dan deselerasi. Rongga
tengkorak dasar dibagi atas 3 fossa yaitu :
Fossa anterior
Fossa media
Fossa posterior
Fossa anterior adalah tempat dari lobus frontalis, fossa media adalah
tempat lobus temporalis, sedangkan fosa posterior adalah ruang bagian bawah
batang otak dan serebelum.
C. Meningen
Selaput meningen menutupi seluruh permukaan otak dan terdiri dari 3
lapisan yaitu duramater, arakhnoid, piamater. Duramater adalah selaput yang
keras, terdiri atas jaringan ikat fibrosa yang melekat erat pada permukaan
dalam dan kranium. Karena tidak melekat erat pada selaput arakhnoid di
bawahnya, maka terdapat suatu ruang potensial (subdura) yang terletak antara
duramater dan arakhnoid, dimana sering dijumpai perdarahan subdural.
4
[ ] KELOMPOK III
Pada cedera otak, pembuluh-pembuluh vena yang berjalan pada
permukaan otak menuju sinus sagitalis superior di garis tengah atau disebut
“Bridging Veins”, dapat mengalami robekan dan menyebabkan perdarahan
subdural. Pada beberapa tempat tertentu duramater membelah menjadi 2 lapis
membentuk sinus venosus besar yang mengalirkan darah vena dari otak. Sinus
sagitalis superior mengalirkan darah vena ke sinus transversus dan sinus
sigmoideus. Sinus sigmoideus umumnya lebih dominan di sebelah kanan.
Laserasi dari sinus-sinus ini dapat mengakibatkan perdarahan hebat.
Arteri-arteri meningea terletak antara duramater dan permukaan dalam
dari kranium (ruang epidural). Adanya fraktur dari tulang kepala dapat
menybabkan laserasi pada arteri-arteri ini dapat menyebabkan perdarahan
epidural. Arteri yang paling sering mengalami cidera adalah arteri meningea
media yang terletak di fosa temporalis (fosa media).
Dibawah duramater terdapat selaput arakhnoid yang tipis dan tembus
pandang, setelah itu terdapat lapisan piamater yang melekat erat pada
permukaan korteks serebri. Cairan serebrospinal bersirkulasi dalam ruang
subarakhnoid. Perdarahan subarakhnoid umumnya disebabkan oleh cidera
kepala.
D. Otak
5
[ ] KELOMPOK III
Otak manusia terdiri dari serebrum, serebelum dan batang otak.
Serebrum terdiri atas hemisfer kanan dan hemisfer kiri yang dipisahkan oleh
falks serebri (lipatan duramater dari sisi inferior sinus sagitalis superior. Pada
hemisfer serebri kiri terdapat pusat bicara manusia atau disebut hemisfer
dominan. Lobus frontal berkaitan dengan fungsi emosi, fungsi motorik dan
pada sisi dominan mengandung pusat ekspresi bicara (area bicara motorik).
Lobus parietal berhubungan dengan fungsi sensorik dan orientasi ruang. Pada
lobus temporal untuk mengatur fungsi memori tertentu. Sedangkan lobus
parietalis untuk proses penglihatan
Batang otak terdiri dari mesensefalon, pons, dan medula oblongata.
Mesensefalon dan pons bagian ayas berisi sistem aktivasi retikular yang
berfungsi untuk kesadaran dan kewaspadaan. Pada medula oblongata terdapat
pusat kardiorespiratorik, yang terus memanjang sampai medula spinalis di
bawahnya. Jika ada lesi kecil saja pada batang otak akan dapat menyebabkan
defisit neurologis yang berat. Serebelum bertanggung jawab dalam fungsi
koordinasi dan keseimbangan, terletak dalam fosa posterior.
E. Cairan serebrospinalis
CSS dihasilkan oleh pleksus khoroideus dengan kecepatan produksi
20ml/jam. CSS mengalir dari ventrikel lateral melalui voramen monro menuju
ventrikel III, kemudian ke akuaduktus silvii menuju ventrikel IV, selanjutnya
CSS keluar dari sistem ventrikel dan masuk ke dalam ruang subarakhnoid yang
berada di seluruh permukaan otak dan medula spinalis. CSS akan direabsorbsi
ke dalam sirkulasi vena melalui granulasio arakhnoid yang terdapat pada sinus
sagitalis superior. Jika terdapat darah dala CSS dapat menyumbat granulasio
arakhnoid sehingga mengganggu penyerapan CSS dan menyebabkan kenaikan
intrakranial atau hidrochepalus komunikan post trauma.
6
[ ] KELOMPOK III
F. Tentorium
Tentorium serebeli membagi rongga tengkorak menjadi ruang
supratentorial yang terdiri dari fosa kranii anterior dan fosa kranii media dan
ruang infratentorial yang berisi fosa kranii posterior. Mesensefalon (midbrain)
menghubungkan hemisfer serebri dengan batang otak (pons dan medula
oblongata) dan berjalan melalui celah lebar tentorium serebeli yang disebut
insisura tentorial. Nervus okulomotorius (N.III) berjalan sepanjang tepi
tentorium, dan saraf ini dapat tertekan bila terjadi herniasi lobus temporal,
yang umumnya diakibatkan oleh adanya masa supratentorial atau edema otak.
Serabut-serabut parasimpatik berfungsi melakukan konstriksi pupil mata
berjalan pada sepanjang permukaan nervus okulomotorius. Jika paralisis pada
serabut ini menyebabkan penekanan nervus III akan mengakibatkan dilatasi
pupil oleh karena tidak ada hambatan aktivitas serabut simpatik
FISIOLOGI
A. Tekanan Intrakranial
Berbagai proses patologis yang mengenai otak dapat menyebabkan
kenaikan tekanan intrakranial. Kenaikan tekanan intrakranial dapat
menurunkan perfusi otak dan menyebabkan ataupun memperberat iskemia.
Tekanan intrakranial normal pada keadaan istirahat sebesar 10mmHg. Jika
7
[ ] KELOMPOK III
tekanan intrakranial lebih tinggi dari 20 mmHg akan mengakibatkan hasil yang
buruk.
B. Doktrin Monro-Kellie
Adalah suatu konsep sederhana yang dapat menerangkan pengertian
dinamika TIK. Konsep utamanya volume intrakranial harus selalu konstan.
Bila ada massa seperti hematoma, kompensasi intrakranial mengeluarkan darah
vena dari ruang intrakranial dengan volume yang sama, TIK akan tetap normal.
Namun jika mekanisme kompensasi ini sudah terlampaui, maka kenaikan
jumlah massa yang sedikit saja akan menyebabkan tekanan intrakranial yang
tajam atau fase dekompensasi.
C. Aliran Darah ke Otak (ADO)
ADO normal ke dalam otak pada orang dewasa antara 50-55ml/100gr
jaringan otak permenit. Pada anak usia 1 tahun hampir sama dengan ADO
orang dewasa, tetapi pada usia 5 tahun ADO bisa mencapai 90ml/100gr/menit,
dan secara gradual menurun sebesar ADO dewasa. Cidera otak berat sampai
koma dapat menurunkan 50% dari ADO dalam 6-12 jam pertama sejak trauma.
ADO biasanya akan meningkat dalam 2-3 hari berikutnya, tetapi pada
penderita koma, ADO tetap berada di bawah normal sampai beberapa hari atau
minggu setelah trauma. ADO yang terlampau rendah tidak dapat mencukupi
kebutuhan metabolisme otak segera setelah trauma, sehingga akan
mengakibatkan iskemi otak fokal ataupun menyeluruh. Jadi untuk
mempertahankan ADO tetap konstan, pembuluh darah prekapiler otak
memiliki kemampuan untuk berkonstriksi atau dilatasi sebagai respon terhadap
perubahan kadar PO2 atau PCO2 darah atau disebut autoregulasi kimiawi. Pada
cidera otak berat dapat mengganggu kedua mekanisme autoregulasi tersebut.
Konsekuensinya adalah terjadi penurunan ADO karena trauma akan
mengakibatkan iskemi dan infark otak. Iskemi dengan mudah diperberat oleh
adanya hipotensi, hipoksia, atau hipokapnia karena hipoventilasi yang agresif.
Oleh karena itu semua tindakan ditujukan untuk meningkatkan aliran darah dan
8
[ ] KELOMPOK III
perfusi otak dengan cara menurunkan volume intravaskuler, mempertahankan
tekanan arteri rata-rata dan mengembalikan oksigenasi.
2.5.2.Tanda-tanda peningkatan TIK
TIK yang normal: 5-15 mmHg
TIK Ringan : 15 – 25 mmHg
TIK sedang : 25-40 mmHg
TIK berat : > 40 mmHg
Manifestasi klinis peningkatan ICP bervariasi, banyak, dan dapat tidak
jelas. Perubahan tingkat kesadaran penderita merupakan indikator yang paling
sensitif dari semua tanda peningkatan tekanan intrakranial.
a. Nyeri Kepala
Nyeri kepala akibat peregangan dura dan pembuluh darah; papiledema
akibat tekanan dan pembengkakan diskus optikus. Nyeri kepala pada tumor
otak terutama ditemukan pada orang dewasa dan kurang sering pada anak-
anak. Nyeri kepala terutama terjadi pada waktu bangun tidur, karena selama
tidur PCO2 arteri serebral meningkat sehingga mengakibatkan peningkatan
dari serebral blood flow dan dengan demikian mempertinggi lagi tekanan
intrakranium. Juga lonjakan tekanan intrakranium sejenak karena batuk,
mengejan atau berbangkis akan memperberat nyeri kepala. Pada anak
kurang dari 10-12 tahun, nyeri kepala dapat hilang sementara dan biasanya
nyeri kepala terasa didaerah bifrontal serta jarang didaerah yang sesuai
dengan lokasi tumor. Pada tumor didaerah fossa posterior, nyeri kepala
terasa dibagian belakang dan leher.
b. Muntah
Muntah dijumpai pada 1/3 penderita dengan gejala tumor otak dan
biasanya disertai dengan nyeri kepala. Muntah tersering adalah akibat tumor
di fossa posterior. Muntah tersebut dapat bersifat proyektil atau tidak dan
sering tidak disertai dengan perasaan mual serta dapat hilang untuk
sementara waktu.
c. Kejang
9
[ ] KELOMPOK III
Kejang umum/fokal dapat terjadi pada 20-50% kasus tumor otak, dan
merupakan gejala permulaan pada lesi supratentorial pada anak sebanyak
15%. Frekwensi kejang akan meningkat sesuai dengan pertumbuhan tumor.
Pada tumor di fossa posterior kejang hanya terlihat pada stadium yang lebih
lanjut. Schmidt dan Wilder (1968) mengemukakan bahwa gejala kejang
lebih sering pada tumor yang letaknya dekat korteks serebri dan jarang
ditemukan bila tumor terletak dibagian yang lebih dalam dari himisfer,
batang otak dan difossa posterior.
d. Papil edem
Papil edem juga merupakan salah satu gejala dari tekanan tinggi
intrakranial. Udem papilla nervus optikus merupakan tanda yang paling
menyakinkan. Karena tekanan tinggi intrakranial akan menyebabkan oklusi
vena sentralis retina, sehingga terjadilah edem papil. Barley dan kawan-
kawan, mengemukakan bahwa papil edem ditemukan pada 80% anak
dengan tumor otak.
e. Gejala lain yang ditemukan:
o False localizing sign: yaitu parese N.VI bilateral/unilateral, respons
ekstensor yang bilateral, kelainan mental dan gangguan endokrin.
o Gejala neurologis fokal, dapat ditemukan sesuai dengan lokalisasi
tumor.
o Gangguan kesadaran akibat tekanan intrakranial yang meninggi. Proses
desak ruang tidak saja memenuhi rongga tengkorak yang merupakan
ruang yang tertutup, akan tetapi proses neoplasmatik sendiri dapat
menimbulkan perdarahan setempat. Pada umumnya dapat dikatakan
bahwa tumor di fosa kranii posterior lebih cepat menimbulkan gejala-
gejala yang mencerminkan tekanan intrakranial yang meninggi.
Tekanan intrakranial yang meningkat secara progresif menimbulkan
gangguan kesadaran dan manisfestasi disfungsi batang otak yang
dinamakan (a) sindrom unkus atau sindrom kompresi diensefalon ke
lateral, (b) sindrom kompresi sentral rostrokaudal terhadap batang otak
dan (c) herniasi serebelum di foramen magnum.
10
[ ] KELOMPOK III
o Tanda kelainan neurologik, seperti diplopia, pupil mata anisokor, dan
gangguan sensorik maupuan motorik merupakan tanda tekanan
intracranial meninggi.(10)
o Kaku kuduk timbul akibat rangsangan selaput otak, sedangkan kenaikan
tekanan darah dan penurunan nadi dapat juga terjadi.
2.5.3.Definisi Cedera Kepala
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.
Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok
usia produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalulintas.
Cedera kepala adalah cedera yang meliputi trauma kulit kepala, tengkorak
dan otak. Cedera kepala paling sering dan penyakit neurologik yang serius
diantara penyakit neurologik dan merupakan proporsi epidemic sebagai hasil
kecelakaan jalan raya (Smeltzer & Bare 2001).
2.5.4.Manifestasi Cedera Kepala
1. Nyeri yang menetap atau setempat.
2. Bengkak pada sekitar fraktur sampai pada fraktur kubah cranial.
3. Fraktur dasar tengkorak : hemorasi dari hidung, faring atau telinga dan darah
terlihat di bawah konjungtiva,memar diatas mastoid (tanda battle),otorea
serebro spiral (cairan cerebros piral keluar dari telinga), minorea serebrospiral
(les keluar dari hidung).
4. Laserasi atau kontusio otak ditandai oleh cairan spinal berdarah.
5. Penurunan kesadaran.
6. Pusing / berkunang-kunang.
7. Absorbsi cepat les dan penurunan volume intravaskuler
8. Peningkatan TIK
9. Dilatasi dan fiksasi pupil atau paralysis edkstremitas
10. Peningkatan TD, penurunan frek. Nadi, peningkatan pernafasan
11
[ ] KELOMPOK III
2.5.5.Klasifikasi Cedera Kepala
Jika dilihat dari ringan sampai berat, maka dapat kita lihat sebagai berikut:
1. Cedera kepala ringan ( CKR ) Jika GCS antara 13-15 , dpt terjadi
kehilangan kesadaran kurang dari 30 menit, tetapi ada yang menyebut
kurang dari 2 jam, jika ada penyerta seperti fraktur tengkorak , kontusio
atau temotom (sekitar 55% ).
2. Cedera kepala kepala sedang ( CKS ) jika GCS antara 9-12, hilang
kesadaran atau amnesia antara 30 menit -24 jam, dapat mengalami fraktur
tengkorak, disorientasi ringan ( bingung ).
3. Cedera kepala berat ( CKB ) jika GCS 3-8, hilang kesadaran lebih dari 24
jam, juga meliputi contusio cerebral, laserasi atau adanya hematoina atau
edema selain itu ada istilah-istilah lain untuk jenis cedera kepala sebagai
berikut :
- Cedera kepala terbuka kulit mengalami laserasi sampai pada merusak
tulang tengkorak.
- Cedera kepala tertutup dapat disamakan gagar otak ringan dengan
disertai edema cerebra.
Pembagian Cedera Kepala
1. Simple Head Injury
Diagnosa simple head injury dapat ditegakkan berdasarkan:
Ada riwayat trauma kapitis
Tidak pingsan
Gejala sakit kepala dan pusing
Umumnya tidak memerlukan perawatan khusus, cukup diberi
obat simptomatik dan cukup istirahat.
2. Commotio Cerebri
Commotio cerebri (geger otak) adalah keadaan pingsan yang
berlangsung tidak lebih dari 10 menit akibat trauma kepala, yang tidak
disertai kerusakan jaringan otak. Pasien mungkin mengeluh nyeri kepala,
vertigo, mungkin muntah dan tampak pucat.
12
[ ] KELOMPOK III
Vertigo dan muntah mungkin disebabkan gegar pada labirin atau
terangsangnya pusat-pusat dalam batang otak. Pada commotio cerebri
mungkin pula terdapat amnesia retrograde, yaitu hilangnya ingatan
sepanjang masa yang terbatas sebelum terjadinya kecelakaan. Amnesia
ini timbul akibat terhapusnya rekaman kejadian di lobus temporalis.
Pemeriksaan tambahan yang selalu dibuat adalah foto tengkorak, EEG,
pemeriksaan memori. Terapi simptomatis, perawatan selama 3-5 hari
untuk observasi kemungkinan terjadinya komplikasi dan mobilisasi
bertahap.
3. Contusio Cerebri
Pada contusio cerebri (memar otak) terjadi perdarahan-
perdarahan di dalam jaringan otak tanpa adanya robekan jaringanyang
kasat mata, meskipun neuron-neuron mengalami kerusakan atau terputus.
Yang penting untuk terjadinya lesi contusion ialah adanya akselerasi
kepala yang seketika itu juga menimbulkan pergeseran otak serta
pengembangan gaya kompresi yang destruktif. Akselerasi yang kuat
berarti pula hiperekstensi kepala. Oleh karena itu, otak membentang
batang otak terlalu kuat, sehingga menimbulkan blockade reversible
terhadap lintasan asendens retikularis difus. Akibat blockade itu, otak
tidak mendapat input aferen dan karena itu, kesadaran hilang selama
blockade reversible berlangsung.
Timbulnya lesi contusio di daerah “coup” , “contrecoup”, dan
“intermediate”menimbulkan gejala deficit neurologik yang bisa berupa
refleks babinsky yang positif dan kelumpuhan UMN. Setelah kesadaran
puli kembali, si penderita biasanya menunjukkan “organic brain
syndrome”.
Akibat gaya yang dikembangkan oleh mekanisme-mekanisme
yang beroperasi pada trauma kapitis tersebut di atas, autoregulasi
pembuluh darah cerebral terganggu, sehingga terjadi vasoparalitis.
Tekanan darah menjadi rendah dan nadi menjadi lambat, atau menjadi
13
[ ] KELOMPOK III
cepat dan lemah. Juga karena pusat vegetatif terlibat, maka rasa mual,
muntah dan gangguan pernafasan bisa timbul.
Pemeriksaan penunjang seperti CT-Scan berguna untuk melihat
letak lesi dan adanya kemungkinan komplikasi jangka pendek. Terapi
dengan antiserebral edem, anti perdarahan, simptomatik, neurotropik dan
perawatan 7-10 hari.
4. Laceratio Cerebri
Dikatakan laceratio cerebri jika kerusakan tersebut disertai
dengan robekan piamater. Laceratio biasanya berkaitan dengan adanya
perdarahan subaraknoid traumatika, subdural akut dan intercerebral.
Laceratio dapat dibedakan atas laceratio langsung dan tidak langsung.
Laceratio langsung disebabkan oleh luka tembus kepala yang
disebabkan oleh benda asing atau penetrasi fragmen fraktur terutama
pada fraktur depressed terbuka. Sedangkan laceratio tidak langsung
disebabkan oleh deformitas jaringan yang hebat akibat kekuatan mekanis.
5. Fracture Basis Cranii
Fractur basis cranii bisa mengenai fossa anterior, fossa media
dan fossa posterior. Gejala yang timbul tergantung pada letak atau fossa
mana yang terkena.
Fraktur pada fossa anterior menimbulkan gejala:
Hematom kacamata tanpa disertai subkonjungtival bleeding
Epistaksis
Rhinorrhoe
Fraktur pada fossa media menimbulkan gejala:
Hematom retroaurikuler, Ottorhoe
Perdarahan dari telinga
Diagnosa ditegakkan berdasarkan gejala klinik dan X-foto basis
kranii. Komplikasi :
14
[ ] KELOMPOK III
Gangguan pendengaran
Parese N.VII perifer
Meningitis purulenta akibat robeknya duramater
Fraktur basis kranii bisa disertai commotio ataupun contusio, jadi
terapinya harus disesuaikan. Pemberian antibiotik dosis tinggi untuk
mencegah infeksi. Tindakan operatif bila adanya liquorrhoe yang
berlangsung lebih dari 6 hari.
Adapun pembagian cedera kepala lainnya berdasarkan derajat kesadaran GCS
Cedera Kepala Ringan (CKR) → termasuk didalamnya Laseratio dan
Commotio Cerebri
o Skor GCS 13-15
o Tidak ada kehilangan kesadaran, atau jika ada tidak lebih dari 10
menit
o Pasien mengeluh pusing, sakit kepala
o Ada muntah, ada amnesia retrogad dan tidak ditemukan kelainan pada
pemeriksaan neurologist.
Cedera Kepala Sedang (CKS)
o Skor GCS 9-12
o Ada pingsan lebih dari 10 menit
o Ada sakit kepala, muntah, kejang dan amnesia retrogad
o Pemeriksaan neurologis terdapat lelumpuhan saraf dan anggota gerak.
Cedera Kepala Berat (CKB)
o Skor GCS <8
o Gejalanya serupa dengan CKS, hanya dalam tingkat yang lebih berat
o Terjadinya penurunan kesadaran secara progesif
o Adanya fraktur tulang tengkorak dan jaringan otak yang terlepas.
2.5.6.Patofisiologi Cedera Kepala
Otak dapat berfungsi dengan baik bila kebutuhan oksigen dan glukosa
dapat terpenuhi. Energi yang dihasilkan didalam sel-sel saraf hampir seluruhnya
15
[ ] KELOMPOK III
melalui proses oksidasi. Otak tidak mempunyai cadangan oksigen, jadi
kekurangan aliran darah ke otak walaupun sebentar akan menyebabkan gangguan
fungsi. Demikian pula dengan kebutuhan oksigen sebagai bahan bakar
metabolisme otak tidak boleh kurang dari 20 mg %, karena akan menimbulkan
koma. Kebutuhan glukosa sebanyak 25 % dari seluruh kebutuhan glukosa tubuh,
sehingga bila kadar glukosa plasma turun sampai 70 % akan terjadi gejala-gejala
permulaan disfungsi cerebral.
Pada saat otak mengalami hipoksia, tubuh berusaha memenuhi kebutuhan
oksigen melalui proses metabolik anaerob yang dapat menyebabkan dilatasi
pembuluh darah. Pada kontusio berat, hipoksia atau kerusakan otak akan terjadi
penimbunan asam laktat akibat metabolisme anaerob. Hal ini akan menyebabkan
asidosis metabolik.
Dalam keadaan normal cerebral blood flow (CBF) adalah 50 - 60 ml /
menit / 100 gr. jaringan otak, yang merupakan 15 % dari cardiac output.
Trauma kepala meyebabkan perubahan fungsi jantung sekuncup aktivitas
atypical-myocardial, perubahan tekanan vaskuler dan udem paru. Perubahan
otonom pada fungsi ventrikel adalah perubahan gelombang T dan P dan disritmia,
fibrilasi atrium dan vebtrikel, takikardia.
Akibat adanya perdarahan otak akan mempengaruhi tekanan vaskuler,
dimana penurunan tekanan vaskuler menyebabkan pembuluh darah arteriol akan
berkontraksi . Pengaruh persarafan simpatik dan parasimpatik pada pembuluh
darah arteri dan arteriol otak tidak begitu besar.
Dalam mekanisme cedera kepala dapat terjadi peristiwa contre coup dan
coup. Contre coup dan coup pada cedera kepala dapat terjadi kapan saja pada
orang-orang yang mengalami percepatan pergerakan kepala. Cedera kepala pada
coup disebabkan hantaman pada otak bagian dalam pada sisi yang terkena
sedangkan contre coup terjadi pada sisi yang berlawanan dengan daerah benturan.
Kejadian coup dan contre coup dapat terjadi pada keadaan .;
1. Rear end Impact
keadaan ini terjadi ketika pengereman mendadak pada mobil. Otak pertama
kali akan menghantam bagian depan dari tulang kepala meskipun kepala pada
16
[ ] KELOMPOK III
awalnya bergerak ke belakang. Sehingga trauma terjadi pada otak bagian
depan.
2. Backward/forward motion of head
Karena pergerakan ke belakang yang cepat dari kepala, sehingga pergerakan
otak terlambat dari tulang tengkorak, dan bagian depan otak menabrak tulang
tengkorak bagian depan. Pada keadaan ini, terdapat daerah yang secara
mendadak terjadi penurunan tekanan sehingga membuat ruang antara otak dan
tulang tengkorak bagian belakang dan terbentuk gelembung udara. Pada saat
otak bergerak ke belakang maka ruangan yang tadinya bertekanan rendah
menjadi tekanan tinggi dan menekan gelembung udara tersebut. Terbentuknya
dan kolapsnya gelembung yang mendadak sangat berbahaya bagi pembuluh
darah otak karena terjadi penekanan, sehingga daerah yang memperoleh suplai
darah dari pembuluh tersebut dapat terjadi kematian sel-sel otak. Begitu juga
bila terjadi pergerakan kepala ke depan.
Berdasarkan patofisiologinya cedera kepala dibagi menjadi 2 :
1. Cedera kepala primer merupakan cedera yang terjadi saat atau bersamaan
dengan kejadian cedera, dan merupakan suatu fenomena mekanik. Cedera ini
umumnya menimbulkan lesi permanen. Tidak banyak yang bisa dilakukan
kecuali membuat fungsi stabil, sehingga sel-sel yang sakit dapat menjalani
proses penyembuhan yang optimal
2. Cedera kepala skunder merupakan proses lanjutan dari cedera primer dan lebih
merupakan fenomena metabolik.Pada penderita cedera kepala berat,
pencegahan cedera kepala skunder dapat mempengaruhi tingkat
kesembuhan/keluaran penderita.Penyebab cedera kepala skunder antara lain;
penyebab sistemik (hipotensi, hipoksemia, hipo/hiperkapnea, hipertermia, dan
hiponatremia) dan penyebab intracranial (tekanan intrakranial meningkat,
hematoma, edema, pergeseran otak (brain shift), vasospasme, kejang, dan
infeksi)
Aspek patologis
Aspek patologis dari cedera kepala antara lain; hematoma epidural
(perdarahan yangterjadi antara tulang tengkorak dan dura mater), perdarahan
17
[ ] KELOMPOK III
subdural (perdarahan yang terjadi antara dura mater dan arakhnoidea), higroma
subdural (penimbunan cairan antara dura mater dan arakhnoidea), perdarahan
subarakhnoidal cederatik (perdarahan yangterjadi di dalam ruangan antara
arakhnoidea dan permukaan otak), hematoma serebri (massa darah yang
mendesak jaringan di sekitarnya akibat robekan sebuah arteri), edema otak
(tertimbunnya cairan secara berlebihan didalam jaringan otak), kongesti otak
(pembengkakan otak yang tampak terutama berupa sulsi dan ventrikel yang
menyempit), cedera otak fokal (kontusio, laserasio, hemoragia dan hematoma
serebri setempat), lesi nervi kranialis dan lesi sekunder pada cedera otak.
2.5.7.Glasgow Coma Seale (GCS)
Glasgow Coma Scale (GCS) adalah skala yang dipakai untuk
menentukan/menilai tingkat kesadaran pasien, mulai dari sadar sepenuhnya
sampai keadaan koma. Teknik penilaian dengan ini terdiri dari tiga penilaian
terhadap respon yang ditunjukkan oleh pasien setelah diberi stimulus tertentu,
yakni respon buka mata, respon motorik terbaik, dan respon verbal. Setiap
penilaian mencakup poin-poin, di mana total poin tertinggi bernilai 15.
Jenis Pemeriksaan Nilai
Respon buka mata (Eye Opening, E)
Respon spontan (tanpa stimulus/rangsang)
Respon terhadap suara (suruh buka mata)
Respon terhadap nyeri (dicubit)
Tidak ada respon (meski dicubit)
4
3
2
1
Respon verbal (V)
Berorientasi baik
Berbicara mengacau (bingung)
Kata-kata tidak teratur (kata-kata jelas dengan substansi tidak
jelas dan non-kalimat, misalnya, “aduh… bapak..”)
Suara tidak jelas (tanpa arti, mengerang)
5
4
3
2
18
[ ] KELOMPOK III
Tidak ada suara 1
Respon motorik terbaik (M)
Ikut perintah
Melokalisir nyeri (menjangkau & menjauhkan stimulus saat diberi
rangsang nyeri)
Fleksi normal (menarik anggota yang dirangsang)
Fleksi abnormal (dekortikasi: tangan satu atau keduanya posisi
kaku diatas dada & kaki extensi saat diberi rangsang nyeri)
Ekstensi abnormal (deserebrasi: tangan satu atau keduanya extensi
di sisi tubuh, dengan jari mengepal & kaki extensi saat diberi
rangsang nyeri)
Tidak ada (flasid)
6
5
4
3
2
1
Interpretasi atau hasil pemeriksaan tingkat kesadaran berdasarkan GCS
disajikan dalam simbol E…V…M…
Selanjutnya nilai tiap-tiap pemeriksaan dijumlahkan, nilai GCS yang
tertinggi adalah 15 yaitu E4V5M6dan terendah adalah 3 yaitu E1V1M1. Biasanya,
pasien dengan nilai GCS dibawah 5 ialah pasien emergensi yang sulit
dipertahankan keselamatannya. Berdasarkan buku Advanced Trauma Life
Support, GCS berguna untuk menentukan derajat trauma/cedera kepala (trauma
capitis).
Derajat cedera kepala berdasarkan GCS:
GCS : 14-15 = CKR (cedera kepala ringan)
GCS : 9-13 = CKS (cedera kepala sedang)
GCS : 3-8 = CKB (cedera kepala berat)
2.5.8.Glasgow Coma Seale (GCS) pada skenario
Pasien pada skenario memiliki nilai GCS 6. Dimana dilihat dari respon
membuka matanya tidak membuka mata walaupun sudah dicubit nilainya 1, dari
verbal Suara tidak jelas nilainya 2, pada motorik terjadi dekortikasi nilainya 3.
19
[ ] KELOMPOK III
Jadi total nilai pada scenario adalah 6 dan masuk dalam klasifikasi cedera
kepala berat (CKB).
2.5.9.Penatalaksanaan awal pada skenario
PEDOMAN RESUSITASI DAN PENILAIAN AWAL
1. Menilai jalan nafas (A) : bersihkan jalan nafas dari debris dan muntahan;
lepaskan gigi palsu,pertahankan tulang servikal segaris dgn badan dgn
memasang collar cervikal,pasang guedel/mayo bila dpt ditolerir. Jika cedera
orofasial mengganggu jalan nafas,maka pasien harus diintubasi.
2. Menilai pernafasan (B) ; tentukan apakah pasien bernafas spontan/tidak. Jika
tidak beri O2 melalui masker O2. Jika pasien bernafas spontan selidiki dan
atasi cedera dada berat spt pneumotoraks tensif,hemopneumotoraks. Pasang
oksimeter nadi untuk menjaga saturasi O2minimum 95%. Jika jalan nafas
pasien tidak terlindung bahkan terancan/memperoleh O2 yg adekuat ( Pa O2
>95% dan Pa CO2<40% mmHg serta saturasi O2 >95%) atau muntah maka
pasien harus diintubasi serta diventilasi oleh ahli anestesi
3. Menilai sirkulasi (C) ; otak yg rusak tdk mentolerir hipotensi. Hentikan semua
perdarahan dengan menekan arterinya. Perhatikan adanya cedera intra
abdomen/dada.Ukur dan catat frekuensidenyut jantung dan tekanan darah
pasang EKG.Pasang jalur intravena yg besar.Berikan larutan koloid sedangkan
larutan kristaloid menimbulkan eksaserbasi edema.
4. Obati kejang ; Kejang konvulsif dpt terjadi setelah cedera kepala dan harus
diobati mula-mula diberikan diazepam 10mg intravena perlahan-lahan dan dpt
diulangi 2x jika masih kejang. Bila tidak berhasil diberikan fenitoin
15mg/kgBB
5. Menilai tingkat keparahan : CKR,CKS,CKB
6. Pada semua pasien dengan cedera kepala dan/atau leher,lakukan foto tulang
belakang servikal ( proyeksi A-P,lateral dan odontoid ),kolar servikal baru
dilepas setelah dipastikan bahwa seluruh keservikal C1-C7 normal
7. Pada semua pasien dg cedera kepala sedang dan berat :
20
[ ] KELOMPOK III
- Pasang infus dgn larutan normal salin ( Nacl 0,9% ) atau RL cairan isotonis
lebih efektif mengganti volume intravaskular daripada cairan hipotonis dan
larutan ini tdk menambah edema cerebri
- Lakukan pemeriksaan ; Ht,periksa darah perifer lengkap,trombosit, kimia
darah
- Lakukan CT scan
Pasien dgn CKR, CKS, CKB harusn dievaluasi adanya :
1. Hematoma epidural
2. Darah dalam sub arachnoid dan intraventrikel
3. Kontusio dan perdarahan jaringan otak
4. Edema cerebri
5. Pergeseran garis tengah
6. Fraktur kranium
8. Pada pasien yg koma ( skor GCS <8) atau pasien dgn tanda-tanda herniasi
lakukan :
- Elevasi kepala 30
- Hiperventilasi
- Berikan manitol 20% 1gr/kgBB intravena dlm 20-30 menit.Dosis ulangan
dapat diberikan 4-6 jam kemudian yaitu sebesar ¼ dosis semula setiap 6
jam sampai maksimal 48 jam I
- Pasang kateter foley
- Konsul bedah saraf bila terdapat indikasi opoerasi (hematom epidural
besar,hematom sub dural,cedera kepala terbuka,fraktur impresi >1 diplo)
2.6. Learning Objective
2.6.1. Menjelaskan diagnosis cedera kepala?
2.6.2. Menjelaskan penatalaksaan cedera kepala?
2.6.3. Menjelaskan terapi medikamentosa pada cedera kepala?
21
[ ] KELOMPOK III
2.6.4. Menjelaskan pemeriksaan penunjang cedera kepala?
2.6.5. Menjelaskan komplikasi cedera kepala?
2.6.6. Menjelaskan prognosa cedera kepala?
2.7. Pembahasan Learning Objective
2.7.1.Diagnosis cedera kepala
DIAGNOSIS Anamnesis
Diagnosis cedera kepala biasanya tidak sulit ditegakkan : riwayat kecelakaan
lalu lintas, kecelakaan kerja atau perkelahian hampir selalu ditemukan. Pada
orang tua dengan kecelakaan yang terjadi di rumah, misalnya jatuh dari
tangga, jatuh di kamar mandi atau sehabis bangun tidur, harus dipikirkan
kemungkinan gangguan pembuluh darah otak (stroke) karena keluarga
kadang-kadang tak mengetahui pasti urutan kejadiannya, jatuh kemudian
tidak sadar atau kehilangan kesadaran lebih dahulu sebelum jatuh.
Anamnesis lebih rinci tentang:
a. Sifat kecelakaan.
b. Saat terjadinya, beberapa jam/hari sebelum dibawa ke rumah sakit.
c. Ada tidaknya benturan kepala langsung.
d. Keadaan penderita saat kecelakaan dan perubahan kesadaran sampai saat
diperiksa.
Bila si pasien dapat diajak berbicara, tanyakan urutan peristiwanya sejak
sebelum terjadinya kecelakaan, sampai saat tiba di rumah sakit untuk
mengetahui kemungkinan adanya amnesia retrograd. Muntah dapat
disebabkan oleh tingginya tekanan intrakranial. Pasien tidak selalu dalam
keadaan pingsan (hilang / turun kesadarannya), tapi dapat kelihatan
bingung / disorientasi (kesadaran berubah)
Indikasi Rawat Inap :
1. Perubahan kesadaran saat diperiksa.
2. Fraktur tulang tengkorak.
3. Terdapat defisit neurologik.
22
[ ] KELOMPOK III
4. Kesulitan menilai kesadaran pasien, misalnya pada anak-anak, riwayat
minum alkohol, pasien tidak kooperatif.
5. Adanya faktor sosial seperti :
a. Kurangnya pengawasan orang tua/keluarga bila dipulangkan.
b. Kurangnya pendidikan orang tua/keluarga.
c. Sulitnya transportasi ke rumah sakit.
Pasien yang diperbolehkan pulang harus dipesan agar segera
kembali ke rumah sakit bila timbul gejala sebagai berikut :
1. Mengantuk berat atau sulit dibangunkan. Penderita harus dibangunkan
tiap 2 jam selama periode tidur.
2. Disorientasi, kacau, perubahan tingkah laku
3. Nyeri kepala yang hebat, muntah, demam.
4. Rasa lemah atau rasa baal pada lengan atau tungkai, kelumpuhan,
penglihatan kabur.
5. Kejang, pingsan.
6. Keluar darah/cairan dari hidung atau telinga
7. Salah satu pupil lebih besar dari yang lain, gerakan-gerakan aneh bola
mata, melihat dobel, atau gangguan penglihatan lain
8. Denyut nadi yang sangat lambat atau sangat cepat atau pola nafas
yang tidak biasa
2.7.2.penatalaksaan cedera kepala
Penatalaksanaan cidera otak ringan
Penatalaksanaan cidera kepala ringan
Observasi atau dirawat di RS
- CT scan tidak ada
- CT scan abnormal
- Semua luka tembus
- Riwayat hilang kesadaran
23
[ ] KELOMPOK III
- Kesadaran menurun
- Sakit kepala sedang-berat
- Intoksikasi alkohol atau obat-obatan
- Kebocoran liquor
- Tidak ada keluarga di rumah
- GCS < 15
- Defisit neurologis fokal
Dipulangkan dari RS
- Tidak menenuhi kriteria rawat
Penatalaksaan cedera otak sedang
Penatalaksanaan cedera otak sedang
Definisi : penderita tampak kebingungan atau mengantuk, namun masih
dapat menuruti perintah
GCS 9-13
Pemeriksaan awal :
- DL
- CT scan
- Observasi
Setelah dirawat :
- Pemeriksaan neurologis periodik’CT scan ulang bila kondisi
pasien memburuk
Penatalaksanaan awal cedera otak berat
24
[ ] KELOMPOK III
Penatalaksanaan awal cedera otak berat
Definisi : penderita tidak mampu melakukan perintah sederhana
Kesadaran menurun GCS 3-8
Pemeriksaan :
- ABCDE
- Primary survey dan resusitasi
- Secondary survey
- Re evaluasi neurologis
- Respon buka mata
- Respon motorik
- Respon verbal
- Reflek cahaya pupil
- Obat-obatan
- manitol
- hiperventilasi sedang (PCO2 < 35 mmHg)
- antikonvulsan
Penatalaksanaan non operatif
A. Primary survey dan resusitasi
Cidera otak sering diperburuk akibat cidera otak sekunder. Penderita
cidera otak berat dengan hipotensi mempunyai mortalitas 2 kali lebih banyak
dibanding penderita tanpa hipotensi.
a. Airway dan Breathing
Terhentinya pernafasan sementara sering terjadi pada cidera otak
dan dapat mengakibatkan gangguan sekunder. Intubasi endotrakeal dini
harus segera dilakukan pada penderita koma. Dilakukan ventilasi dengan
oksigen 100%.
b. Sirkulasi
25
[ ] KELOMPOK III
Hipotensi biasanya disebabkan oleh cidera otak itu sendiri kecuali
pada stadium terminal dimana medula oblongata sudah mengalami
gangguan. Perdarahan intrakranial tidak dapat menyebabkan syok
hemoragik. Pada penderita dengan hipotensi harus segera dilakukan
stabilisasi untuk mencapai euvolemia.Pemberian cairan untuk mengganti
volume yang hilang.
B. Secondary Survey
Pemeriksaan neurologis serial harus selalu dilakuakn untuk deteksi
dini adanya gangguan neurologis. Termasuk dalam pemeriksaan ini adalah
pemeriksaan :
a. GCS
b. Refleks pupil
Tanda awal dari herniasi lobus temporalis adalah dilatasi ringan pupil dan
refleks cahaya melambat. Tanda awal dari herniasi central chepalic
adalah miosis bilateral.
c. Gerak bola mata :
Oculocephalic (dolls eyes)
Oculovestibular (Calorics)
d. Pemeriksaan motorik
e. Pemeriksaan sensorik
Penatalaksanaan Operatif
1. Luka kulit kepala
Hal yang terpenting adalah membersihkan luka sebelum melakukan
penjahitan. Debridement yang tidak adekuat akan menyebabkan infeksi luka
kepala. Perdarahan dari luka kulit kepala dapat diatasi dengan penekanan,
kauterisasi atau ligasi pembuluh darah besar. Jahit, pasang klips atau staples.
Inspeksi, apakah ada fraktur tengkorak atau benda asing.
26
[ ] KELOMPOK III
2. Fraktur impresi tengkorak
Fraktur depresi yang tidak signifikan dapat ditolong dengan menutup
kulit kepala yang laserasi.
3. Lesi massa intrakranial
Dilakukan kraniotomi dan atau burrhole. Kraniotomi biasanya
dimaksudkan suatu tindakan yang lebi besar daripada sekedar membuat
lubang bor. Burrhole pada kranium untuk eksplorasi atau evakuasi hematom
(SDH kronis atau higroma)
Tehnik Operasi
1. Kraniotomi atau Trepanasi
Trepanasi / kraniotomi adalah suatu tindakan membuka tulang kepala
yang bertujuan mencapai otak untuk tindakan pembedahan definitif. Secara
sementara membuat bone flap dan disingkirkan dari kepala supaya biasa
dilakukan pengeluaran dari bekuan darah SDH atau EDH.Bone flap didapat
dengan mengebor empat titik pada cranium dan membuat garis linear yang
menghubungkan empat titik tersebut sehingga terbentuk bone flap.
2. Burrhole
Tindakan pembedahan yang ditujukan langsung pada tempat lesi atau
tempat adanya bekuan darah EDH dan mengeluarkan bekuan darah tersebut
dengan hanya membuat satu lubang pada tempat lesi.
2.7.3. terapi medikamentosa pada cedera kepala
Tujuan utama perawatan intensif adalah untuk mencegah terjadinya
kerusakan sekunder terhadap otak yang telah mengalami cedera. Prinsip dasarnya
adalah bila sel saraf diberikan suasana yang optimal untuk pemulihan, maka
diharapkan dapat berfungsi normal kembali.
1. Cairan intravena
Bertujuan untuk resusitasi, agar penderita tetap dalam keadaan
normovolemi. Penggunaan cairan yang mengandung glukosa dapat
menyebabkan hiperglikemi yang berakibat buruk pada cidera otak. Cairan
27
[ ] KELOMPOK III
yang dianjurkan untuk resusitasi adalah larutan garam fisiologi yaitu
Ringer’s Laktat.
2. Hiperventilasi
Hiperventilasi dilakukan dengan menurunkan PCO2 dan akan
menyebabkan vasokontriksi pembuluh darah otak. Hiperventilasi yang
berlangsung terlalu lama dan agresif dapat menyebabkan iskemia otak
akibat terjadinya vasokontriksi serebri berat sehingga menimbulkan
gangguan perfusi otak. PCO2 dipertahankan pada 35 mmHg atau lebuh.
Hiperventilasi dalam waktu singkat (PCO2 antara 25-30 mmHg).
3. Manitol
Manitol digunakan untuk menurunkan TIK yang meningkat. Dosis
yang dipakai 1g/kgBB diberikan secara bolus intravena. Indikasi karena
pemakaian manitol adalah deteriosasi neurologis yang akut, seperti
terjadinya dilatasi pupil, hemiparesis atau kehilangan kesadaran. Manitol
menurunkan tekanan atau volume cairan cerebrospinal dengan cara
meninggikan tekanan osmotik plasma. Dengan cara ini, air dari cairan otak
akan berdifusi kembali ke plasma dan ke dalam ruangan ekstrasel.
4. Furosemid atau Lasix
Obat ini diberikan bersama manitol untuk menurunkan TIK. Dosis
yang adalah 0,3-0,5 mg/kgBB secara intravena. Pemberiannya bersamaan
dengan manitol karena mempunyai efek sinergis dan memperpanjang efek
osmotik serum manitol.
5. Barbiturat
Bermanfaat untuk menurunkan TIK yang refrakter terhadap obat-
obat lain. Namun barbiturat ini tidak dianjurkan pada fase akut resusitasi.
6. Antikonvulsan
Epilepsi pasca trauma terjadi 5% dengan cidera otak tertutup dan
15% pada cidera kepala berat. Fenitoin bermanfaat untuk mengurangi
terjadinya kejang dalam minggu pertama. Untuk dosis awal adalah 1g secara
intravena dengan kecepatan pemberian 50mg/menit. Dosis pemeliharaan
biasanya 100mg/8 jam. Pada pasien dengan kejam lama, pemberian
28
[ ] KELOMPOK III
diazepam atau lorazepam sebagai tambahan fenitoin sampai kejang berhenti.
Karena dapat menyebabkan cidera otak sekunder.
2.7.4.Pemeriksaan penunjang cedera kepala
Foto Rontgen tengkorak (AP Lateral) biasanya dilakukan pada keadaan:
defisit neurologik fokal, liquorrhoe, dugaan trauma tembus/fraktur impresi,
hematoma luas di daerah kepala.
Perdarahan intrakranial dapat dideteksi melalui pemeriksaan arterografi
karotis atau CT Scan kepala yang lebih disukai, karena prosedurnya lebih
sederhana dan tidak invasif, dan hasilnya lebih akurat. Meskipun demikian
pemeriksaan ini tidak dapat dilakukan di setiap rumah sakit. CT Scan juga dapat
dilakukan pada keadaan: perburukan kesadaran, dugaan fraktur basis kranii dan
kejang.
Pemeriksaan CT SCAN sangat mutlak pada kasus trauma kepala untuk
menentukan adanya kelainan intracranial terutama pada cedera kepala berat
( Severe, glasgow coma score 8 ( Normal 15 ).
Beberapa indikasi perlunya tindakan pemeriksaan CT SCAN pada kasus
trauma adalah :
a. Menurut New Orland :
* Sakit kepala.
* Muntah.
* Umur lebih 60 tahun.
* Adanya intoksikasi alcohol.
* Amnesia retrograde.
* Kejang.
* Adanya cedera di area clavicula ke superior.
b. Menurut The Cranadian CT Head :
* GCS ( Glasgow Coma Score ) < 15 setelah 2 jam kejadian.
* Adanya dugaan open / depressed fracture.
* Muntah – muntah ( > 2 kali ).
* Umur > 65 tahun.
29
[ ] KELOMPOK III
* Bukti fisik adanya fraktur di basal skull.
Tujuan utama dari pemeriksaan imajing pada kasus trauma kepala adalah
unutuk menentukan adanya cedera intracranial yang membahayakan keselamatan
jiwa pasien bila tidak segera dilakukan tindakan secepatnya(Cyto).
BEBERAPA GAMBARAN CT SCAN PADA TRAUMA KEPAL
INTRAKRANIAL
1. FRAKTUR
Fraktur pada trauma kepala jenisnya bisa :
Linier non displacement
Depressed ( adanya displacement dari fragment)
Diastatic fractures (fraktur yang melibatkan sutura)
2. EPIDURAL HEMATOMA
Epidural hematoma adalah kumpulan massa darah akibat robeknya
middle meningeal arteri antara skull dan dura di regio temporal , yang sangat
kuat hubungannya dengan fraktur linear. Kadang juga terjadi akibat robeknya
vena dan tipikalnya terjadi di region posterior fosa atau dekat daerah occipital
lobe.
Gambaran Epidural pada CT tampak sebagai bentuk bi convex dan
adanya pemisahan jaringan otak dengan skull. Pendarahan akut tampak
hyperdens, subakut tampak isodense, kronis tampak hypodens.
3. SUB DURAL HEMATOMA
Subdural hematoma adalah kumpulan perdarahan vena yang
berlokasi antara dura mater dan arachnoid membrane (subdural space).
Biasanya terjadi akibat kepala berbenturan dengan benda tak bergerak
menyebabkan robeknya vena antara cerebral cortex dan vena dura.
30
[ ] KELOMPOK III
Gambaran subdural pada CT tampak sebagai bentuk bulan sabit
mengikuti kontur dari kranium bagian dalam. Pendarahan akut tampak
hyperdens, subakut tampak isodense, kronis tampak hypodens
4. SUB ARACHNOID HEMMORAGE
Subarachnoid hemmorage (SAH) terjadi karena keluarnya darah ke
subarachnoid space, umumnya basal cistens dan jalur cerebral spinal fluid.
Penyebab utama SAH ialah trauma, selain itu bisa juga dikarenakan rupturnya
saccular (berry) aneurysm dan arteriovenous malformation (AVM)
Gambaran pada CT menunjukkan gambaran hyperdens/perdarahan
akut yang ada di subarachnoid space.
2.7.5.Komplikasi cedera kepala
Jangka pendek :
1. Hematom Epidural
o Letak : antara tulang tengkorak dan duramater
o Etiologi : pecahnya A. Meningea media atau cabang-cabangnya
o Gejala : setelah terjadi kecelakaan, penderita pingsan atau hanya nyeri
kepala sebentar kemudian membaik dengan sendirinya tetapi beberapa
jam kemudian timbul gejala-gejala yang memperberat progresif
seperti nyeri kepala, pusing, kesadaran menurun, nadi melambat,
tekanan darah meninggi, pupil pada sisi perdarahan mula-mula sempit,
lalu menjadi lebar, dan akhirnya tidak bereaksi terhadap refleks
cahaya. Ini adalah tanda-tanda bahwa sudah terjadi herniasi tentorial.
o Akut (minimal 24jam sampai dengan 3x24 jam)
o Interval lucid
o Peningkatan TIK
o Gejala lateralisasi → hemiparese
o Pada pemeriksaan kepala mungkin pada salah satu sisi kepala didapati
hematoma subkutan
31
[ ] KELOMPOK III
o Pemeriksaan neurologis menunjukkan pada sisi hematom pupil
melebar. Pada sisi kontralateral dari hematom, dapat dijumpai tanda-
tanda kerusakan traktus piramidalis, misal: hemiparesis, refleks tendon
meninggi dan refleks patologik positif.
o CT-Scan : ada bagian hiperdens yang bikonveks
o LCS : jernih
o Penatalaksanaannya yaitu tindakan evakuasi darah (dekompresi) dan
pengikatan pembuluh darah.
2. Hematom subdural
o Letak : di bawah duramater
o Etiologi : pecahnya bridging vein, gabungan robekan bridging veins
dan laserasi piamater serta arachnoid dari kortex cerebri
o Gejala subakut : mirip epidural hematom, timbul dalam 3 hari pertama
o Kronis : 3 minggu atau berbulan-bulan setelah trauma
o CT-Scan : setelah hari ke 3 diulang 2 minggu kemudian
o Ada bagian hipodens yang berbentuk cresent.
Hiperdens yang berbentuk cresent di antara tabula interna dan
parenkim otak (bagian dalam mengikuti kontur otak dan bagian luar
sesuai lengkung tulang tengkorak)
Isodens → terlihat dari midline yang bergeser
o Operasi sebaiknya segera dilakukan untuk mengurangi tekanan dalam
otak (dekompresi) dengan melakukan evakuasi hematom. Penanganan
subdural hematom akut terdiri dari trepanasi-dekompresi.
3. Perdarahan Intraserebral
Perdarahan dalam cortex cerebri yang berasal dari arteri kortikal,
terbanyak pada lobus temporalis. Perdarahan intraserebral akibat trauma
kapitis yang berupa hematom hanya berupa perdarahan kecil-kecil saja.
Jika penderita dengan perdarahan intraserebral luput dari kematian,
perdarahannya akan direorganisasi dengan pembentukan gliosis dan
32
[ ] KELOMPOK III
kavitasi. Keadaan ini bisa menimbulkan manifestasi neurologik sesuai
dengan fungsi bagian otak yang terkena.
4. Oedema serebri
Pada keadaan ini otak membengkak. Penderita lebih lama
pingsannya, mungkin hingga berjam-jam.Gejala-gejalanya berupa
commotio cerebri, hanya lebih berat. Tekanan darah dapat naik, nadi
mungkin melambat. Gejala-gejala kerusakan jaringan otak juga tidak ada.
Cairan otak pun normal, hanya tekanannya dapat meninggi.
TIK meningkat
Cephalgia memberat
Kesadaran menurun
Jangka Panjang :
1. Gangguan neurologis
Dapat berupa : gangguan visus, strabismus, parese N.VII dan
gangguan N. VIII, disartria, disfagia, kadang ada hemiparese
2. Sindrom pasca trauma
Dapat berupa : palpitasi, hidrosis, cape, konsentrasi berkurang, libido
menurun, mudah tersinggung, sakit kepala, kesulitan belajar, mudah lupa,
gangguan tingkah laku, misalnya: menjadi kekanak-kanakan, penurunan
intelegensia, menarik diri, dan depresi.
2.7.6.Prognosa cedera kepala
Prognosis ditetapkan berdasarkan keadaan kesadaran pada saat pasien
masuk semua penderita mendapat terapi agresif menurut konsultasi dari ahli
bedah saraf. Terutama pada anak-anak yang mempunyai daya pemulihan yang
baik. Penderita usia lanjut biasanya mempunyai kemungkinan yang lebi rendah
untuk pemulihan dari cedera kepala. Pasien dengan GCS yang rendah pada 6-24
jam setelah trauma, prognosisnya lebih buruk daripada pasien dengan GCS 15.
33
[ ] KELOMPOK III
BAB III
PENUTUP
3.1. Kesimpulan
Cedera kepala atau yang disebut dengan trauma kapitis adalah ruda paksa
tumpul/tajam pada kepala atau wajah yang berakibat disfungsi cerebral sementara.
Merupakan salah satu penyebab kematian dan kecacatan utama pada kelompok usia
produktif, dan sebagian besar karena kecelakaan lalulintas.
Trauma kapitis merupakan keadaan gawat darurat, sehingga harus segera
ditangani. Pada trauma kapitis gangguan yang timbul dapat mengenai kulit dan jaringan
subkutan, tulang tengkorak, jaringan otak, saraf otak, dan pembuluh darah.
Sekali cedera kepala terjadi, tidak ada yang dapat mengelakkan kerusakan akibat
benturan. Tujuan dari manajemen Cedera kepala adalah untuk meminimalisirkan
kerusakan yang terjadi yang akan mengarah ke komplikasi sekunder.
Teknik penilaian Glasgow Coma Scale (GCS) merupakan skala yang dipakai
untuk menentukan/menilai tingkat kesadaran pasien, mulai dari sadar sepenuhnya
sampai keadaan koma, dengan ini terdiri dari tiga penilaian terhadap respon yang
ditunjukkan oleh pasien setelah diberi stimulus tertentu, yakni respon buka mata, respon
motorik terbaik, dan respon verbal. Setiap penilaian mencakup poin-poin, di mana total
poin tertinggi bernilai 15.
34
[ ] KELOMPOK III
DAFTAR PUSTAKA
Syamsuhidaya R, De Jong W. Buku-Ajar Ilmu Bedah, Ed.-2. Jakarta: EGC;
2005.
Hasan Sjahrir, Ilmu Penyakit Saraf Neurologi Khusus, Dian Rakyat, Jakarta,
2004
Harsono, Kapita Selekta Neurologi, Gadjah Mada Universiti Press,
Yogyakarta, 2005
Konsensus Nasional. Penanganan Trauma Kapitis dan Trauma Spinal.
Perhimpunan Dokter Spesialis Saraf Indonesia. Jakarta. 2006.
Mahar Mardjono, Priguna Sidharta, Neurologi Klinis Dasar, dian Rakyat,
Jakarta, 2004
35