translate jurnal dr sondang bg fir

4
Di era terkini, insiden keseluruhan fistula bronkopleura setelah reseksi pulmonal berkisar di antara 2% sampai 10%. Asamura dan kawan-kawan telah menemukan beberapa faktor resiko independen untuk perkembangan fistula bronkopleura. Ini termasuk ekstensi yang besar dari reseksi paru, kanker residual atau rekuren pada tunggul bronkial, radiasi preoperatif, dan diabetes. Sebagai tambahan, faktor lokal seperti emfisema, pneumonia, dan bronkiektasis juga mengganggu penyembuhan luka dan berimplikasi pada perkembangan fistula. Ventilasi mekanik postoperatif yang diperpanjang atau infeksi sistemik dengan sindroma distres pernafasan pada dewasa, dan juga steroid, malnutrisi, tuberkulosis aktif, infeksi pneumonia yang sedia ada, dan umur di atas 60 tahun adalah faktor-faktor predisposisi lain. Faktor-faktor teknikal difikirkan terkait dengan perkembangan fistula bronkopleura termasuk devitalisasi dan devaskularisasi akibat diseksi peribronkial yang berlebihan, penutupan yeng terlalu ketat, dan tunggul bronkial yang panjang. Semua faktor ini berkontribusi terhadap penyembuhan yang lemah dari tunggul bronkial atau garis jahitan anastomosis. Terdapat kontroversi terkait kontribusi diseksi nodus mediastinum dan perbedaan antara penutupan bronkus yang dijepit dan yang dijahit tangan sebagai faktor resiko. Evaluasi bronkoskopik setelah reseksi karina dan lobus telah menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna yang bisa menjadi 7 minggu postoperatif. Fungsi mukosiliar yang terganggu telah didokumentasikan setelah anastomosis bronkial pada pasien transplantasi paru. Secara preoperatif, dosis tunggal 16-Gy irradiasi kobalt pada anjing (bersamaan pecahan 36 Gy) telah dikaitkan dengan 60% penurunan aliran darah pada anastomosis bronkial. Karena penyembuhan adalah sebagai motif sekunder, kondisi luka lokal dan kemampuan penyembuhan setiap pasien menjadi kritis terhadap hasil yang sukses. 3 kasus pertama penulis mendemonstrasikan faktor-faktor resiko yang tipikal umtuk perkembangan fistula bronkopleura. Pada kasus pertama, seorang laki-laki tua yang dibetik dengan penurunan berat badan baru-baru ini menjalani pneumonektomi kanan, yang kedua adalah seorang pasien yang mengambil steroid yang menjalani pneumonektomi kanan, dan yang ketiga adalah resksi paru di lapangan yang terinfeksi secara kasar. Patofisiologi untuk fistula bronkopleura traumatik adalah agak berbeda. Fistula traumatik boleh jadi mayor atau minor, suatu perbedaan yang secara primer ditentukan samada cedera adalah pada jalan nafas atau terbatas pada parenkim. Cedera yang menembus (luka tembak, pisau, atau fraktur iga) adalah selalunya pada parenkim dan selalunya sembuh sendiri. Trauma tumpul adalah biasanya lebih terkait dengan cedera jalan nafas mayor (cedera jalan nafas pada leher adalah terkait trauma tembus). Mekanisme cedera pada trauma tumpul termasuk kompresi dada anteroposterior dengan traksi lateral pada karina, glotis yang tertutup dengan peningkatan tekanan intratoraksik menun tun ke arah peningkatan tekanan jalan nafas dan disrupsi, dan cedera

Upload: tri-aryati-octavia

Post on 17-Feb-2015

47 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

dddddd

TRANSCRIPT

Page 1: Translate Jurnal Dr Sondang Bg Fir

Di era terkini, insiden keseluruhan fistula bronkopleura setelah reseksi pulmonal berkisar di antara 2% sampai 10%. Asamura dan kawan-kawan telah menemukan beberapa faktor resiko independen untuk perkembangan fistula bronkopleura. Ini termasuk ekstensi yang besar dari reseksi paru, kanker residual atau rekuren pada tunggul bronkial, radiasi preoperatif, dan diabetes. Sebagai tambahan, faktor lokal seperti emfisema, pneumonia, dan bronkiektasis juga mengganggu penyembuhan luka dan berimplikasi pada perkembangan fistula. Ventilasi mekanik postoperatif yang diperpanjang atau infeksi sistemik dengan sindroma distres pernafasan pada dewasa, dan juga steroid, malnutrisi, tuberkulosis aktif, infeksi pneumonia yang sedia ada, dan umur di atas 60 tahun adalah faktor-faktor predisposisi lain.

Faktor-faktor teknikal difikirkan terkait dengan perkembangan fistula bronkopleura termasuk devitalisasi dan devaskularisasi akibat diseksi peribronkial yang berlebihan, penutupan yeng terlalu ketat, dan tunggul bronkial yang panjang. Semua faktor ini berkontribusi terhadap penyembuhan yang lemah dari tunggul bronkial atau garis jahitan anastomosis. Terdapat kontroversi terkait kontribusi diseksi nodus mediastinum dan perbedaan antara penutupan bronkus yang dijepit dan yang dijahit tangan sebagai faktor resiko. Evaluasi bronkoskopik setelah reseksi karina dan lobus telah menunjukkan penyembuhan yang tidak sempurna yang bisa menjadi 7 minggu postoperatif. Fungsi mukosiliar yang terganggu telah didokumentasikan setelah anastomosis bronkial pada pasien transplantasi paru. Secara preoperatif, dosis tunggal 16-Gy irradiasi kobalt pada anjing (bersamaan pecahan 36 Gy) telah dikaitkan dengan 60% penurunan aliran darah pada anastomosis bronkial. Karena penyembuhan adalah sebagai motif sekunder, kondisi luka lokal dan kemampuan penyembuhan setiap pasien menjadi kritis terhadap hasil yang sukses. 3 kasus pertama penulis mendemonstrasikan faktor-faktor resiko yang tipikal umtuk perkembangan fistula bronkopleura. Pada kasus pertama, seorang laki-laki tua yang dibetik dengan penurunan berat badan baru-baru ini menjalani pneumonektomi kanan, yang kedua adalah seorang pasien yang mengambil steroid yang menjalani pneumonektomi kanan, dan yang ketiga adalah resksi paru di lapangan yang terinfeksi secara kasar.

Patofisiologi untuk fistula bronkopleura traumatik adalah agak berbeda. Fistula traumatik boleh jadi mayor atau minor, suatu perbedaan yang secara primer ditentukan samada cedera adalah pada jalan nafas atau terbatas pada parenkim. Cedera yang menembus (luka tembak, pisau, atau fraktur iga) adalah selalunya pada parenkim dan selalunya sembuh sendiri. Trauma tumpul adalah biasanya lebih terkait dengan cedera jalan nafas mayor (cedera jalan nafas pada leher adalah terkait trauma tembus). Mekanisme cedera pada trauma tumpul termasuk kompresi dada anteroposterior dengan traksi lateral pada karina, glotis yang tertutup dengan peningkatan tekanan intratoraksik menun tun ke arah peningkatan tekanan jalan nafas dan disrupsi, dan cedera deselerasi menyebabkan cedera pencukuran pada karina. Seperti pada kasus 4 penulis, pasien ini biasanya mempunyai kebocoran udara selepas torakostomi tuba dan harus menjalani eksplorasi dan perbaikan segera.

DIAGNOSIS

Suatu riwayat demam dan onset tiba-tiba batuk berterusan dengan sputum serosa atau purulen pada mana-mana pasien setelah reseksi paru harus meningkatkan kecurigaan terhadap fistula bronkopleura. Walaupun kebanyakan pasien akhirnya mengembangkan simptom sepsis, presentasi dapat juga menjadi samar-samar dengan hanya malaise, anoreksia dan demam. Pada akhir dari spektrum tersebut, distres pernafasan akut dapat terjadi sekiranya fistula yang besar membenarkan cairan yang cukup untuk membanjiri paru kontralateral (seperti pada kasus 2 penulis), atau sekiranya tension pneumotoraks terjadi, atau sekiranya fistula bronkoarterial berkembang. Pemeriksaan fisik dapat mengungkapkan emfisema subkutan atau penurunan suara nafas jika terdapat residu paru di bagian yang terkena. Suatu ciutan auskultatori dengan manuver Valsava juga telah dikenali. Sekiranya aspirasi telah terjadi, suara nafas dapat menjadi keras pada bagian kontralaterasl dan peranjakan trakea dapat terjadi sekiranya volume udara yang besar terkumpul di rongga pleura. Analisis labor sering mengungkapkan leukositosis. Kultur sputum dapat mengidentifikasi organisme penyebab. Cairan pleura yang didapatkan melalui torakosentesis atau torakoskopi seringkali menunjukkan suatu infeksi. Staphylococcus aureus dan Pseudomonas aeruginosa adalah organisme yang paling sering dilaporkan.

Suatu radiografi dada tegak lurus adalah uji skrining inisial yang terbaik untuk diagnosis fistul;a bronkoplefistula bronkopleura haruslah disuspek apabila terdapat: suatu air-fluid level yang baru; kejatuhan 2 cm atau lebih air-fluid level pada radiografi dada postpneumotektomi; suatu perubahab pada rongga udara

Page 2: Translate Jurnal Dr Sondang Bg Fir

residu atau penampakan baru rongga udara; atau kembalinya ruang udara trakea ke garis tengah pada mediastinum yang beranjak sebelumnya. Bukti adanya aspirasi pneumonia pada paru kontralatertal dan emfisema subkutis adalah juga penemuan sugestif. Lokasi rongga udara pada jaringan paru yang masih ada haruslah dibedakan antara intraparenkim (abses paru) dan intrapleura (empiema), memandangkan kedua kondisis tersebut diobati secara berbeda. Tomografi komputer dapat membantu konfirmasi diagnosis fistula bronkopleura dan menggambarkan antara proses intrapleura dan intraparenkim dan dapat membantu dalam perencanaan mana-mana pengobatan bedah dengan menunjukkan hubungan terhadap jalan nafas mayor. Bronkoskopi dapat membantu menjelaskan ekstensi fistula bronkopleura dan membedakan antara dehiscence tunggul dan kebocoran parenkim distal. Bronkoskopi dapat juga membantu diagnosis kanker persisten atau rekuren pada anastomosis atau penutupan. Bronkografi telah digunakan pada waktu dahulu tetapi jarang sekali digunakan pada hari ini karena resiko pneumonitis akibat kontras pada paru yang masih tinggal. Diagnosis selalunya lurus kedepan sekiranya presentasi adalah awal. Walau bagaimanapaun, suatu fistula bronkopleura yang tersembunyi (selalunya terlambat atau kurang ekstensif) bermanifestasi sebagai infeksi rongga pospneumonektomi kadang kala menjadi masalah diagnostik. Beberapa metode tersedia untuk mengkonfirmasi diagnosis. Yang paling sederhana termasuk penempatan tuba dada dan inspeksi kebocoran udara. Injeksi methylene blue ke dalam kavitas pleura dengan penampakan berikutnya dari warna sputum mengkonfirmasi diagnosis, seperti juga injeksi endobronkial pewarna berikutnya tampak dalam rongga pleura. Skintigrafi nuklear ventilasi dapat membantu dalam kasus yang sukar. Torakoskopi juga telah digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan lokasi fistula seperti juga metode untuk drainase inisial suatu empiema terkait. Dugaan klinis kekal sebagai kunci terhadap diagnosis awal fistula bronkopleura di mana riwayat, pemeriksaan fisik, dan radiografi dada tegak lurus diperlukan dalam membuat diagnosis kebanyakan kasus.

PENCEGAHAN

Langkah terbaik untuk mentalaksana fistula bronkopleura postoperatif adalah dengan mencegah perkembangannya pada saat reseksi pulmonal. Oleh karena penyembuhan luka tunggul bronkial atau garis jahitan anastomosis adalah faktor tunggal yang paling penting dalam perkembangan fistula bronkopleura, strategi yang diarahkan pada pencegahan haruslah memfasilitasi penyembuhan luka yang optimal. Suplai darah ke kartilago dan mukosa bronkial adalah lemah dan mudah rosak. Suplai darah bronkial haruslah dilindungi sepanjang waktu dengan diseksi peribronkial minimal, dan penanganan minimal mukosa bronkial. Seluruh anastomosis haruslah tidak mempunyai tekanan. Tunggul brokial seharusnya pendek untuk menghindari penumpukan sekresi, yang dapat berkontribusi pada infeksi berikutnya dan pemecahan mukosa. Suatu batas yang positif untuk kanker haruslah direseksi oleh karena ia akan menuntun ke arah fistula bronkopleura tanpa ragu-ragu. Penggunaan alat jepitan untuk bronkus adalah kontroversi, sepanjang mana tunggul bronkial yang lebih panjang dapat mengpredisposisi terhadap retensi sekresi, infeksi, dan akhirnya rekuren fistula tersebut. Secara teori, seharusnya kurang inflamasi, iskemia, dan pembentukan hematom dengan alat ini tetapi tidak ada studi yang menunjukkan perbedaan antara anastomosis yang dijepit dan jahitan tangan pada perkembangan fistula bronkopleura. Penulis lebih memilih pentupan jepitan apabila mungkin, dengan diseksi peribronkial minimal.

Walaupun faktor resiko nonoperatif tidak selalu dapat disingkirkan, efeknya dapat diminimalisir dengan persediaan preoperatif. Steroid dapat disapih, suplemen nutrisi dimulai, dan mana-mana pneumonia kontralateral atau infeksi sistemik yang diobati dengan antibiotik yang benar. 2 pasien pertama secra jelas mendapat untung dari penyapihan steroid dan suplemen nutrisi sebelum perbaikan definitif. Pada pasien resiko tinggi, penulis dan lain-lain secara profilaktik menggunakan tisu penyambung dan flap tervaskularisasi pedikel untuk menutupi bronkus.