transformational leadearship and neurofeedback: … · (melalui asesmen wechsler bellevue), dan...

28
1 WP/2/2018 WORKING PAPER TRANSFORMATIONAL LEADEARSHIP AND NEUROFEEDBACK: THE MEDICAL PERSPECTIVE OF NEUROLEADERSHIP Rizki Edmi Edison, Ph.D, Dr. Solikin M. Juhro, Dr. A. Farid Aulia, Puti Archianto Widiasih, M.Psi 2018 Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.

Upload: others

Post on 30-Jan-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

WP/2/2018

WORKING PAPER

TRANSFORMATIONAL LEADEARSHIP AND

NEUROFEEDBACK: THE MEDICAL PERSPECTIVE OF

NEUROLEADERSHIP

Rizki Edmi Edison, Ph.D, Dr. Solikin M. Juhro, Dr. A. Farid Aulia, Puti Archianto Widiasih, M.Psi

2018

Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.

1

Transformational Leadearship and Neurofeedback: The Medical Perspective of

Neuroleadership1

Rizki Edmi Edison, Ph.D., Dr. Solikin M. Juhro, Dr. A. Farid Aulia, Puti Archianto Widiasih, M.Psi

Abstrak

Saat ini dunia sedang menghadapi keadaan yang volatil, tidak pasti,

kompleks, dan ambigu (VUCA). Tantangan-tantangan baru pun muncul

sehingga seorang leader dituntut untuk memiliki kompetensi yang terus

berkembang. Transformational leadership merupakan suatu tipe

kepemimpinan yang dipandang superior dalam menjawab tantangan-

tantangan tersebut, di mana seorang pemimpin diharapkan untuk

senantiasa agile dalam pencapaian tujuan organisasi. Penelitian ini

bertujuan untuk menganalisis keterkaitan antara aspek kepemimpinan

(melalui asesmen Multifactor Leadership Questionnaire/MLQ), fungsi kognitif

(melalui asesmen Wechsler Bellevue), dan pola aktivitas otak/brain mapping

(melalui Electroencephalography/EEG). Pada tahap selanjutnya dilakukan

pemberian stimulus melalui neurofeedback untuk melatih kontrol terhadap

gelombang otak. Dari penelitian ini, dapat disimpulkan bahwa seluruh

partisipan yang menjadi sampel penelitian memiliki tipe kepemimpinan

transformational leadership dengan subtipe idealized influence (behavior) dan

inspirational motivation. Selain itu, adanya stimulasi terhadap otak

(neurofeedback) juga memampukan partisipan untuk mengendalikan

gelombang otak dalam keadaan sadar. Dengan adanya kemampuan untuk

mengendalikan gelombang otak secara sadar, seorang leader dapat bekerja

secara optimal.

Keywords: applied neuroscience, leadership style, transformational leadership, human resources management, neurofeedback.

JEL Classification: D8, J24, M19, 015

1 Rizki Edmi Edison adalah Kepala Pusat Neurosains Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka. Solikin M. Juhro adalah Kepala Bank Indonesia Institute. Farid Aulia adalah Dekan Akademi Leadership dan General Management Bank Indonesia Institute. Puti Archianti Widiasih adalah psikolog Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka. Penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada seluruh pegawai Bank Indonesia yang telah menjadi partisipan dalam penelitian ini. Ucapan terima kasih yang tinggi juga disampaikan kepada Dita Herdiana dan Monica Kishi S.K. atas asistensi yang tidak kenal lelah dalam penyelesaian penelitian ini. Kesimpulan, pendapat, dan pandangan yang disampaikan oleh penulis dalam paper ini merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan penulis dan bukan merupakan kesimpulan, pendapat, dan pandangan resmi Bank Indonesia.

2

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Perubahan adalah sesuatu yang pasti. Ungkapan Heraclitus, seorang filsuf

Yunani, “satu-satunya hal yang tidak akan berubah adalah perubahan itu sendiri”

menjadi sebuah konsep hingga saat ini (Muessig, 1969). Perubahan tidak selalu

berjalan sesuai yang direncanakan, tidak jarang perubahan yang terjadi tidak sesuai

prediksi. Dunia yang saat ini dalam keadaan volatile, uncertain, complex, dan

ambiguous, dikenal dengan istilah VUCA, memicu munculnya keadaan “new

normal” yaitu kondisi ketika dunia penuh chaos, turbulensi, dan ditandai dengan

munculnya perubahan yang sangat cepat dalam seluruh aspek kehidupan

(Lawrence, 2013). Suatu kondisi yang membutuhkan perhatian serius dari setiap

institusi, khususnya yang bergerak di bidang ekonomi (Salah dan Watson, 2017).

Tantangan baru yang bermunculan, menuntut kompetensi leadership baru

(Lawrence, 2013). Kondisi yang penuh tantangan tersebut membutuhkan leader

yang tangguh (Radha dan Kosuri, 2017). Leader yang memiliki strategic foresight

untuk mengantisipasi perubahan yang mungkin terjadi; memiliki awareness untuk

terhadap kekuatan dan kelemahan yang dimiliki; adaptif, longlife learner dan

terbuka terhadap perubahan; berkomunikasi dengan efektif serta mampu

berkolaborasi dengan baik.

Institusi yang memiliki efektivitas leadership berpeluang tiga kali lebih besar

untuk menjadi top 20% institusi dengan finansial terbaik dibandingkan dengan

institusi yang tidak memiliki leadership efektif (Axon, Frieedman dan Jordan, 2015).

Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri bahwa leadership merupakan suatu hal

krusial yang sangat dibutuhkan oleh setiap institusi (Charan, 2009).

Pemahaman terkait leadership tidak jarang membingungkan dan

menimbulkan perdebatan (Vince, 2004). Salah satu penyebabnya adalah perbedaan

generasi para leader memberikan perbedaan karakter (Salahuddin, 2011). Poin

utama dari pengertian leadership adalah seni menggerakkan orang lain untuk

mencapai tujuan (Naylor, 2003) tanpa paksaan. Leadership merupakan hubungan

timbal balik antar manusia (Yammarino, 2013), sehingga menjadi sebuah

keharusan bagi para leader untuk memahami cara kerja otak, sebagai motor

penggerak, manusia bekerja.

3

Tipe leadership secara garis besar terbagi menjadi transactional,

transformational, dan laissez faire (Avolio dan Bass, 1991). Penelitian menunjukkan

bahwa tipe leadership yang paling baik adalah transformational leadership

(Benjamin dan Flynn, 2006) karena mampu meningkatkan kepuasan followers

secara maksimal dibandingkan tipe leadership lainnya (Berson dan Linton, 2005).

Tingginya kepuasaan terhadap pekerjaan secara tidak langsung akan memacu

organisasi mencapai tujuannya (Bass dan Avolio, 1994).

Meskipun begitu, menjadi transformational leader bukan hal yang mudah.

Keberadaan neurosains terapan diharapkan dapat menjadi solusi dalam membantu

menghadapi percepatan perubahan, baik manusia itu sendiri maupun

lingkungannya. Hal ini terjadi karena otak adalah master kontrol untuk

mengintegrasikan seluruh sistem tubuh termasuk komponen utama dari perasaan

dan insting. Pemimpin merupakan master kontrol dalam organisasi. Pemimpin

dapat mengendalikan otak orang lain dengan cara mengelola otak sendiri sehingga

otak followers dapat selaras dengan otak pemimpin (Boyatzis dkk., 2006).

Dari berbagai macam cabang neurosains, social cognitive neuroscience – yang

memahami cara otak manusia ketika berinteraksi dengan sesama (Ochsner dan

Lieberman, 2001) – paling banyak diaplikasikan dalam organisasi, khususnya

terkait leadership (Waldman dkk., 2011). Terminologi yang dipakai adalah

neurological leadership, didefinikasikan sebagai aplikasi social cognitive neuroscience

untuk menganalisis dan memahami perilaku para leader (Liu, Ying & Gau, 2015).

Pengaruh otak terhadap perilaku manusia pertama kali diteliti dalam kasus

kecelakaan kerja pekerja konstruksi Phineas Gage2 tahun 1848 (Haas, 2001). Hasil

penelitian menunjukkan bagian otak yang dinamakan lobus frontalis sebelah kiri

mengalami kerusakan. Bagian ini berfungsi untuk berpikir rasional (Shiddiqui dkk.,

2008). Hal ini membuktikan bahwa keadaan otak manusia bisa berpengaruh kepada

sikap dan perilaku seseorang (Kolb dan Whishaw, 2011).

Neuroplastisitas dan neurogenesis telah dikenal dalam ranah neurosains.

Neuroplastisitas adalah kondisi ketika otak ‘menyesuaikan’ kondisinya dengan

kebiasaan yang dilakukan (Rosenzweig dan Bennet, 1999) atau kondisi ketika otak

2 Phineas Gage mengalami kecelakaan saat memasang bahan peledak untuk membangun infrastruktur kereta api. Ledakan timbul sebelum sempat berlindung di tempat yang aman. Salah satu bongkahan besi menancap di dagu kiri, masuk ke dalam tulang tengkorak, melewati belakang mata menuju otak, hingga tembus di kepala bagian kiri depan. Phineas dapat bertahan hidup setelah operasi pelepasan besi yang menancap di kepalanya dilakukan. Namun, perubahan sikap Phineas setelah operasi begitu mencolok. Sikap dan perilaku tidak lagi sama setelah kecelakaan terjadi (Haas, 2001).

4

yang masih sehat mengambil alih fungsi bagian otak yang sudah sakit (Murphy dan

Corbett, 2009). Neurogenenesis adalah kondisi ketika munculnya saraf-saraf baru

pada otak manusia (Sierra dkk., 2011). Riset menunjukkan bahwa otak manusia

dapat tumbuh dan berkembang sampai usia berapa pun (Ming dan Song, 2012).

Kegiatan seperti olahraga aerobik (Gomez-Pinilla dan Hillman, 2013) dan berpuasa

(Cherif dkk., 2016) secara teratur dapat meningkatkan kemampuan hippocampus,

bagian otak yang berperan sebagai gudang memori. Contoh di atas menunjukkan

bahwa otak bisa memengaruhi perilaku dan sebaliknya perilaku dapat

memengaruhi otak manusia.

Penelitian yang dilakukan oleh Juhro dan Aulia (2017) menyimpulkan bahwa

neurosains terapan merupakan salah satu pendekatan yang relatif unggul dalam

menjelaskan perilaku kepemimpinan transformasional yang efektif. Namun, studi

tersebut belum didukung oleh empirical exercise, terlebih physical test mengenai

keterkaitan aktivitas otak yang sebenarnya dengan perilaku kepemimpinan

transformasional.

Penelitian ini merupakan lanjutan dari penelitian Juhro dan Aulia (2017)

terkait dengan peran pendekatan neurosains terapan dalam mendukung kinerja

transformational leadership. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui

pemetaan otak transformational leader dan pengaruh stimulasi melalui pendekatan

neurosains, seperti neurofeedback, dalam mengubah bentuk aktivitas otak leader.

Dari tujuan penelitian yang hendak dicapai, penulis berharap penelitian ini dapat

memberikan manfaat dengan adanya indikator-indikator objektif yang menyatakan

seseorang bersifat transformational leader. Upaya mendorong transformational

leadership berbasis pendekatan neurosains terapan juga diharapkan dampak positif

sebagai metode alternatif yang dapat diandalkan.

Dari hasil asesmen dapat disimpulkan bahwa, seluruh partisipan merupakan

transformational leader dengan subtipe kepemimpinan idealized influenced

(behavior) dan inspirational motivation. Selain itu penelitian ini juga menunjukkan

bahwa adanya stimulasi terhadap otak (neurofeedback) membuat partisipan mampu

untuk mengendalikan gelombang otak dalam keadaan sadar. Dengan adanya

kemampuan untuk mengendalikan gelombang otak, seorang leader diharapkan

dapat bekerja dengan lebih optimal. Penelitian ini terdiri dari lima bagian,

menyambung pendahuluan ini adalah tinjauan pusataka, metodologi, analisis dan

kesimpulan.

5

2. Tinjauan Pustaka

Dunia saat ini menunjukkan kondisi yang dinamakan VUCA (singkatan dari

volatility, uncertainty, complexity, dan ambiguity) (Lawrence, Steck & Pryplesh,

1991). Istilah tersebut pertama kali dikemukakan oleh institusi militer (Stiehm,

2002). Istilah VUCA mulai digunakan di sektor ekonomi setelah terjadinya krisis

keuangan global pada tahun 2008-2009 (Tovar, 2016). Kondisi VUCA ini semakin

terasa dalam beberapa dekade belakangan (Kissinger dan Walch, 2012), akibatnya

cara manusia memandang kondisi perekonomian juga mengalami perubahan

(Sarkar, 2016). Salah satu contoh kondisi VUCA adalah keputusan referendum

Inggris pada tahun 2016 untuk lepas dari Uni Eropa, dikenal dengan istilah British

Exit (Brexit). Kondisi tersebut mengakibatkan kacaunya long-term economic planning

negara tersebut (Hunt dan Wheeler, 2017). VUCA yang dapat muncul dari berbagai

sisi mendorong leader untuk arif dan agile dalam menghadapi kondisi tersebut.

Leadership merupakan interaksi multi-level yang melibatkan faktor leader,

follower, dan situasi yang saling terkait (Hollander, 1984). Burns (1978) membagi

leadership menjadi dua tipe, yaitu transformational leadership dan transactional

leadership. Transactional leadership dilandaskan prinsip give and take, sebatas

reward dan punishment antara leader dan followers (Podsakoff, dkk., 2006).

Sedangkan, transformational leadership lebih mengutamakan partisipasi follower

sebagai bagian dari kelompok untuk mencapai tujuan bersama (Weiherl dan Masal,

2016).

Bass dan Avolio lebih lanjut mengembangkan teori Full Range Leadership

yang menjelaskan konsep leadership yaitu transformational leadership, transactional

leadership, dan laissez-faire leadership (Avolio dan Bass, 1991). Transformational

leadership terdiri dari idealized influence (attributed), idealized influence (behaviour),

inspirational motivation, intellectual stimulation, dan individualized consideration.

Transactional leadership terdiri dari contingent reward, management-by-exception

(active) dan management-by-exception (passive).

Seorang leader yang efektif mampu mendorong organisasinya untuk

mencapai target (Sarin dan McDermott, 2003), sedangkan leader yang tidak efektif

akan menjadi penghambat organisasi mencapai target (Bradley dan Herbert, 1997).

Transformational leadership adalah tipe leadership yang paling efektif dibandingkan

tipe leadership lainnya (Xu dan Wang, 2008) Tipe ini juga meningkatkan kepuasan

6

para follower dalam bekerja (Podsakoff dkk., 1996), akibatnya performa kerja

meningkat dan performa organisasi juga ikut terkena dampak positif (Harter, dkk.,

2002).

Tujuan ini yang kemudian disasar dari neurosains terapan yang digunakan

dalam penelitian ini. Neurosains adalah ilmu yang membahas otak manusia dan

pengaruhnya terhadap perilaku manusia (Garret, 2003). Neurosains membahas

mengenai interaksi sel saraf di dalam otak, hubungan antara sel saraf dan

pembuluh darah, reaksi saraf terhadap stimulus, pengaruh sel saraf terhadap

pengambilan keputusan yang dilakukan individu (Augustine, 2004). Dalam

perkembangan neurosains, terdapat tantangan untuk mengintegrasikan cabang-

cabang ilmu yang ada agar pemahaman tentang otak manusia bisa diterapkan

dalam berbagai bidang praktis kehidupan, seperti marketing, pendidikan, politik,

dan leadership. Social cognitive neuroscience adalah cabang neurosains yang

dianggap paling memungkinkan untuk diaplikasikan dalam bidang leadership

(Ochsner dan Lieberman, 2001). Keilmuan lintas disiplin ini mempelajari interaksi

individu dengan individu lain atau dengan situasi tertentu (Oschner, 2004).

Neurological leadership atau neuroleadership dapat dipandang sebagai aplikasi dari

social cognitive neuroscience untuk memahami dan menganalisis sikap dan perilaku

leaders (Liu, dkk., 2015).

Brain Leadership Assessment

Dalam penelitian ini, penulis melakukan penilaian terhadap karakter

kepemimpinan seorang leader melalui dua pendekatan, questionnaire-based dan

brain mapping based. Dua tes dilakukan pada pendekatan questionnaire-based yaitu

untuk menilai tipe leadership yang dimiliki (menggunakan MLQ) dan kemampuan

fungsi kognisi (menggunakan WB test). Pendekatan brain mapping based

(menggunakan EEG) digunakan untuk memahami pola aktivitas otak para leaders

(Waldman, dkk., 2011).

1. Questionnaire-Based Leadership Assessment

Salah satu pendekatan questionnaire-based yang dilakukan yaitu Multiple

Leadership Questionnaire (MLQ). MLQ adalah instrumen yang digunakan untuk

menilai perilaku transformational dan transactional leadership (Bass dan Bass,

2008). MLQ yang dikembangkan Bass dan Avolio mencakup penilaian lima subtipe

transformative leadership, tiga subtipe transactional leadership dan satu subtipe

laissez-faire leadership.

7

Dalam transformational leadership, terdapat lima macam subtipe: 1).

Inspirational motivation, kemampuan artikulasi dan penyampaian visi seorang

leader. Leader yang memandang masa depan dengan sikap positif akan membuat

para follower ikut termotivasi; 2). Idealized influence (attributed), merujuk pada

atribut sifat karismatik seorang leader. Atribut positif tersebut membuat para

follower mampu membangun hubungan emosional dan kepercayaan yang kuat

dengan leader. 3). Idealized influence (behaviour), menekankan kesadaran kolektif

misi dan nilai-nilai. 4). Intellectual stimulation, menstimulasi followers untuk

memiliki asumsi terhadap sebuah masalah secara aktif partisipatif. 5). Individual

consideration, merujuk pada upaya mempertimbangkan kebutuhan dan

kemampuan followers.

Tiga subtipe dalam transactional leadership yaitu 1). Contigent reward,

perilaku leadership yang memfokuskan diri pada tugas yang diberikan dengan

imbalan (reward) materi atau moral jika tugas tersebut terlaksana dengan baik. 2).

Active management-by-exception, perilaku leader yang mengamati hal yang terjadi

dalam organisasi sesuai peraturan baku dan menghindari hal yang tidak sesuai

aturan. 3). Passive management-by-exception, leader akan memberikan intervensi

jika kesalahan ditemukan dan evaluasi dilakukan jika hal tidak berjalan sesuai

aturan.

Sedangkan, subtipe laissez-faire leadership membahas ketiadaan dalam

leadership. Leader seolah-olah tidak mengambil bagian dalam kegiatan

berorganisasi, tidak menaruh perhatian dalam kondisi yang membutuhkan

pengambilan keputusan yang cepat dan leader akan menyerahkan segala hal

operational kepada followers.

Kemudian, Wechsler Bellevue Test dilakukan untuk menilai kognisi

seseorang. Tes ini dapat menilai kognisi seseorang yang berumur di atas sepuluh

tahun (Rabin dan Guertin, 1951). Dua jenis skala yang diukur adalah verbal dan

performance. Secara rinci, tes in terdiri dari information test, general comprehension

test, memory span test, arithmatical reasoning test, similarities test, vocabulary test,

block design test, object assembly test, dan digit symbol test.

2. Brain-Mapping Based Assessment

Perekaman aktivitas otak manusia dengan EEG pertama kali dilakukan oleh

ilmuwan asal Jerman, Hans Berger, pada tahun 1924 (Stone dan Hughes, 2013).

Perekaman aktivitas otak melalui perekaman hantaran sinyal listrik di otak sangat

8

bermanfaat dalam berbagai kasus, seperti mendeteksi kelainan di otak manusia

sebelum CT scan dan MRI tercipta (Tudor, dkk., 2005). 10-20 international system

of EEG electrode placement dilakukan dalam proses peletakan elektroda EEG di

kepala manusia (Homan, dkk., 1987).

Tahap selanjutnya adalah neurofeedback. Konsep mengenai neurofeedback

telah menjadi objek penelitian selama beberapa dekade terakhir. Neurofeedback

merupakan tools yang dapat digunakan untuk mengetahui aktivitas otak manusia.

Neurofeedback juga dapat membantu manusia untuk berlatih mengendalikan

aktivitas otak (Heinrich, dkk., 2007) dengan melakukan kontrol terhadap gelombang

otak dalam keadaan sadar.

Secara garis besar, gelombang otak terbagi menjadi delta (1-3 Hz), theta (4-7

Hz), alpha (8-12 Hz), dan beta (13-30 Hz) (Sucholeiki, 2017). Komponen pertama

dari neurofeedback adalah stimulus yang diberikan kepada subjek. Stimulus

tersebut dapat diberikan kepada subjek dalam bentuk audio, video, maupun

keduanya. Komponen selanjutnya adalah komponen selektrofisiologis. Selama

prosedur ini berlangsung, subjek akan menyadari perubahan-perubahan yang

terjadi dan mampu menilai kemajuan dalam mencapai performa optimal. Salah satu

contoh perlakuan neurofeedback adalah meminta subjek untuk meningkatkan

aktivitas otak berdasarkan perubahan yang terdapat pada stimulus suara atau film.

Beberapa protokol neurofeedback yang lazim dilakukan adalah gelombang

alpha, beta, delta, theta, dan gamma atau kombinasi dari gelombang-gelombang

tersebut seperti rasio alpha/theta, rasio beta/theta, dan sebagainya (Dempster,

2012; Vernon, 2005).

a. Protokol Alpha

Gelombang alpha sering diasosiasikan dengan relaksasi dalam keadaan sadar

(Evans & Abarbanel, 1999). Gelombang alpha menimbulkan perasaan tenang

dan nyaman. Berbagai penelitian telah menunjukkan bahwa gelombang alpha

umumnya meningkat ketika seseorang sedang bermeditasi. Selain itu, seluruh

frekuensi gelombang alpha mewakili aktivitas otak yang berhubungan dengan

kreativitas. Gelombang alpha muncul dan tersebar luas pada permukaan kulit.

Frekuensi gelombang alpha yang paling umum adalah 7-10 Hz, yang biasanya

digunakan untuk meditasi, tidur, dan mengurangi stres, serta kecemasan.

Frekuensi 10 Hz juga merelaksasi otot, mengurangi rasa sakit, meregulasi nafas,

dan meningkatkan detak jantung (Dempster, 2012; Vernon, 2005). Selain itu

9

pada frekuensi 10.2 Hz, gelombang alpha dapat membantu dalam meningkatkan

memori, meningkatkan performa mental, dan mengobati trauma otak.

b. Protokol Beta

Aktivitas beta merupakan indikator yang baik untuk melihat performa mental.

Aktivitas beta yang buruk dapat merepresentasikan gangguan fisik dan mental

seperti depresi, ADHD, dan insomnia (Egner & Gruzelier, 2004). Gelombang beta

umumnya diasosiasikan dengan presisi secara sadar, fokus yang kuat, dan

kemampuan memecahkan masalah. Gelombang otak beta dapat digunakan

untuk meningkatkan fokus dan atensi (12-14 Hz), meningkatkan kemampuan

membaca (7-9 Hz), dan mengenalkan perubahan positif pada performa belajar di

sekolah. Gelombang ini juga meningkatkan kemampuan menghitung, proses

kognitif, mengurangi kecemasan, over-thinking, obsessive-compulsive disorder

(OCD), kecanduan alkohol, dan insomnia (14-22 Hz dan 12-15 Hz) (Egner &

Gruzelier, 2004; Vernon, 2005).

c. Protokol Delta

Gelombang ini adalah gelombang paling lambat yang terasoasiasi dengan tidur

fase 3 dan 4 (Surmeli & Ertem, 2007). Gelombang ini juga dapat mengurangi

kekhawatiran dan memperbaiki kualitas tidur (Vernon, 2005). Gelombang delta

digunakan untuk meredakan rasa sakit kepala, trauma/cedera otak, gangguan

dalam belajar dan pengobatan untuk kontraksi otot parah (dengan simulasi

gelombang delta 1-3 Hz) (Mansourian, M., dkk, 2016).

d. Protokol Theta

Gelombang theta memiliki relasi dengan berbagai aktivitas otak seperi memori,

emosi, kreativitas, tidur, meditasi dan hypnosis. Gelombang ini terasosiasi

dengan tidur tahap awal yaitu ketika seseorang tidur ringan dan gampang

terbangun. Penggunaan gelombang theta dapat mengurangi kecemasan, depresi,

lamunan, gampang diganggun, gangguan emosi dan ADHD (Beatty, Greenberg,

Deibler, & O’Hanlon, 1974; Vernon, 2005).

e. Protokol Gamma

Gelombang gamma memiliki frekuensi paling tinggi dan terasosiasi dengan

cognitive processing dan memori (Staufenbel, Brouwer, Keizer, & Van Wouwe,

2014). Kecepatan dalam mengingat kembali suatu hal meningkat jika gelombang

ini memiliki ritme lebih cepat. Ritme cepat ini bertanggung jawab terhadap

10

koneksi saraf di otak dan transfer data ke luar tubuh. Gelombang ini banyak

diteliti dalam hippocampus (area otak yang berfungsi untuk mengonversi memori

jangka panjang ke jangka pendek). Pelatihan gelombang gamma digunakan

untuk memperbaiki kognisi, ketajaman mental, aktivitas otak, pekerjaan problem

solving. Gelombang ini tidak hanya meningkatkan kemampuan mengalkulasi,

namun juga meningkatkan kecepatan proses informasi, memori jangka pendek

dan mengurangi sakit migrain (Hughes, Vernon, 2005).

3. Neurofeedback

Secara umum, terdapat dua arahan klasik dalam pelatihan neurofeedback.

Fokusnya pada frekuensi rendah (alpha atau theta) untuk meningkatkan relaksasi

dan fokus (Gruzelier, 2009) atau frekuensi tinggi (beta rendah, beta dan theta) untuk

menguatkan aktivasi, mengorganisasi dan menghambat gangguan (Ros dkk., 2009).

Neurofeedback adalah tipe biofeedback menggunakan tampilan real-time aktivitas

otak, umumnya menggunakan EEG, untuk melakukan regulasi mandiri fungsi otak.

Informasi yang didapatkan dari biofeedback lainnya dapat berupa denyut jantung,

suhu tubuh, dan aktivitas otot. Penggunaan neurofeedback dalam penanganan

penyakit dan gangguan otak telah dilakukan dalam beberapa tahun belakangan,

seperti attention deficit/hyperactivities disorder (ADHD); schizophrenia, gangguan

tidur; kesulitan belajar, disleksia, dan dyscalculia; ketegantungan obat; autistic

spectrum disorder; epilepsy; depresi; kecemasan; dan manajemen rasa sakit

(Marzbani, dkk, 2016).

Pembentukan leadership berbasis pemahaman cara kerja semakin

berkembang. Upaya pemanfaatan neurofeedback dalam pengembangan leadership

mulai digalakkan (Wladman, Balthazard & Peterson, 2011). Personal development

yang didapat dari neurofeedback menjadi pertimbangan efektivitas neurofeedback

bidang leadership. Selain itu, neurofeedback banyak digunakan untuk terapi kasus

yang berkaitan dengan medis, seperti ADHD, depresi, kecemasan, adiksi, bahkan

Parkinson (Marzbani, dkk., 2016).

11

3. Metodologi

Penelitian ini dibangun dari kerangka berpikir dalam tiga aspek

transformational leadership, yaitu 1). aspek kepemimpinan, 2). fungsi kognitif, 3).

pola aktivitas otak/brain mapping dan 4). penggaruh neurofeedback terhadap tiga

aspek tersebut.

Gambar 1. Kerangka Keterkaitan Aspek Leadership, Fungsi Kognisi, Brain Mapping

dan Neurofeedback

Kerangka berpikir di atas bertujuan untuk melihat keterkaitan antara aspek

kepemimpinan (melalui Multi Factor Leadership Questionnaire), fungsi kognisi

(melalui Wechsler Bellevue Test) dan pola aktivitas otak/brain mapping (melalui

Electroencephalography). Pada tahap selanjutnya, dilakukan pemberian stimulus

melalui neurofeedback untuk melihat kontrol otak terhadap stimulus yang

diberikan.

Pada tes Multi Factor Leadership Questionnaire, partisipan diwawancarai

psikolog untuk mengetahui tipe leadership style dari partisipan adalah transaktional

atau transformasional. Tools Wechler Bellevue digunakan untuk meneliti kognisi

partisipan, terutama intelegensi (verbal dan performance IQ). Penggunaan

electroencephalography digunakan dengan area of interest lobus frontalis dengan

gelombang utama alpha untuk perekaman aktivitas otak. Pada tahap

12

neurofeedback, para participan dilatih untuk mampu mengendalikan gelombang

otak mereka. Partisipan diberikan stimulasi dalam lima sesi kemudian aktivitas

otaknya diperiksa kembali dengan EEG.

Jumlah partisipan dalam penelitian adalah sepuluh orang staf Bank

Indonesia Institute dengan jabatan manajer dan di atas manajer yang memiliki

pengalaman memimpin organisasi lebih dari tiga tahun. Kriteria ekslusif yang

ditekankan adalah tidak adanya riwayat penyakit otak atau trauma kepala.

Selanjutnya, partisipan yang telah mengerti manfaat dan prosedur penelitian akan

menandatangani inform consent.

Data MLQ dan WB Test diambil melalui wawancara personal dengan psikolog

dengan durasi waktu 15-30 menit (MLQ) dan 60-120 menit (WB). Selanjutnya,

elektroda EEG dipasang menurut metode 10-20 international system EEG electrode

placement.

Elektroda yang dipasang di kepala harus melingkupi titik Fp1, Fp2, F3, F4,

F7, F8 (region frontal), T3, T4, T5, T6 (region temporal), C3, C4, P3, P4, O1, O2, Fz,

Cz, Pz, A1, dan A2. Perekaman data selanjutnya dilakukan dalam kondisi resting

state, keadaan partisipan tidak diberikan tugas apapun pada saat pengambilan

data. Perekaman aktivitas otak berjalan selama 12 menit, terdiri dari satu menit

base line, dua menit tutup mata, dua menit buka mata, dua menit tutup mata, dua

menit buka mata, lalu menutup mata kembali selama dua menit, diakhiri base line

selama satu menit. Selama pengambilan data, partisipan tidak boleh tidur.

Pengambilan data aktivitas otak dengan EEG dilakukan dalam dua tahap, yaitu

sebelum dan setelah pemberian stimulasi neurofeedback.

Untuk stimulasi neurofeedback, prosedur sebelum pemasangan elektroda

sama dengan EEG, namun elektroda yang digunakan hanya diletakkan pada C3 dan

C4, beserta elektroda referensi di mastoideus kiri dan kanan. Stimulasi

neurofeedback memakan waktu lebih kurang 20 menit untuk satu sesi. Kepada

masing-masing partisipan, dilakukan lima sesi stimulasi.

13

4. Analisis

Penelitian ini dilakukan terhadap sepuluh partisipan dengan kriteria yang

telah ditetapkan sebelumnya. Seluruh partisipan mengikuti semua rangkaian

penelitian dari awal hingga akhir.

1. Multiple Leadership Questionnaire (MLQ) dan Wechsler Bellevue (WB) Test

Adapun hasil data mereka terkait MLQ dan WB adalah sebagai berikut:

Tabel 1. Data Hasil Penelitian MLQ dan WB

Inisial Jenis

Kelamin Usia

Tipe

Leadership

Subtipe

Leadership V-IQ P-IQ

A Lk 51-

55 Transformatif

Idealized Influence

(Behavior) 60 53

B Pr 46-

50 Transformatif

Idealized Influence

(Behavior) 62,5 51

C Pr 46-

50 Transformatif Inspirational Motivation 62,5 46

D Lk 41-

45 Transformatif Inspirational Motivation 62 55

E Lk 36-

40 Transformatif Inspirational Motivation 61 65

F Lk 31-

35 Transformatif

Idealized Influence

(Behavior) 65,8 61

G Lk 46-

50 Transformatif Inspirational Motivation 55 58

H Pr 46-

50 Transformatif Inspirational Motivation 64 57

I Pr 36-

40 Transformatif Inspirational Motivation 55 60

J Lk 31-

35 Transformatif

Idealized Influence

(Behavior) 64 62

Data yang diperoleh dari asesmen MLQ menunjukkan bahwa seluruh

partisipan memiliki karakter transformational leadership. Dari lima subtipe

transformational leadership yang ada3, empat orang partisipan memiliki subtipe

idealized influence (behavior) dan enam partisipan memiliki subtipe inspirational

motivation. Idealized influence mengacu pada pemahaman kolektif mengenai tujuan

dan nilai-nilai bersama, sekaligus memiliki perilaku yang sejalan dengan nilai-nilai

tersebut. Inspirational motivational menekankan pada artikulasi dan representasi

3 Terdapat 5 subtipe transformational leadership yang dapat diperoleh dari Multiple Leadership Questionnaire, yaitu inspirational motivation, idealized influence (attributed), idealized influence (behavior), intellectual stimulation, dan individualized consideration (Rowold, 2005).

14

visi seorang transformational leader. Transformational leader dengan subtipe ini

mampu melihat masa depan dengan sikap yang postif sehingga followers turut

termotivasi (Rowold, 2005).

2. Electroencephalography (EEG)

Dalam penelitian ini, sepuluh partisipan menjalani perekaman aktivitas otak

dalam kondisi resting state. Perekaman dilakukan selama dua belas menit. Dari

perekaman tersebut, data difiltrasi untuk mendapatkan gelombang otak tanpa

artefak4 pada saat partisipan membuka mata. Gelombang otak yang telah diseleksi

tersebut lebih lanjut akan dianalisis berdasarkan power spectra.

Region of interest aktivitas otak yang dianalis adalah region frontal (Fp1, Fp2,

F3, F4, F7, dan F8), dan temporal (T3, T4, T5, T6). Berdasarkan analisis, tidak

ditemukan perbedaan berarti antara satu patisipan dengan partisipan lainnya

dalam kondisi resting state, baik sebelum dan sesudah neurofeedback. Adanya

kemiripan aktivitas otak antar partisipan mendukung hasil yang sebelumnya

diperoleh dari asesmen MLQ dan Wechsler Bellevue yang seluruhnya merupakan

transformational leader. Dari hasil kedua instrumen tes psikologi di atas serta EEG,

dapat ditarik pemahaman bahwa aktivitas otak berhubungan dengan tipe

kepemimpinan seseorang. Penelitian ini sejalan dengan studi yang dilakukan oleh

Waldman, Balthazard, dan Peterson (2011) mengenai hubungan antara tingkat

koherensi otak dengan perilaku leadership. Hasil dari penelitian tersebut

menunjukkan bahwa aktivitas otak pada region tertentu menentukan karakter

leadership yang dipersepsikan oleh followers.

Meskipun tidak spesifik mengenai transformational leadership, studi yang

dilakukan oleh Defoe (2012) juga menunjukkan adanya hubungan antara perilaku

dan kualitas inspirational leadership dengan pathway tertentu pada otak manusia.

Ditunjukkan bahwa terdapat dua jenis pathway yang berbeda, yaitu inspirational

leadership pathway yang berkaitan dengan kemampuan untuk mengomunikasikan

visi, altruisme dan tanggung jawab sosial, serta fokus pada melayani kepentingan

orang banyak. Pathway yang berlawanan dengan hal tersebut menunjukkan

perilaku yang sebaliknya, yaitu personalized vision yang hanya mengakomodasi visi

leader tersebut. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa pola aktivitas otak

berhubungan dengan perilaku dan tipe kepemimpinan seseorang.

4 Struktur gelombang otak yang muncul secara tidak natural dan disebabkan oleh manipulasi pada saat perekaman aktivitas otak

15

3. Hubungan Usia/Generasi dengan Leadership

Dalam beberapa tahun belakangan, terdapat berbagai penelitian tentang

manajemen dan kepemimpinan yang berfokus pada isu diversitas di tempat kerja.

Isu diversitas yang paling banyak dipelajari umumnya berkaitan dengan perbedaan

generasi. Para ilmuwan menyimpulkan bahwa dampak perbedaan generasi terhadap

efektivitas organisasi merupakan sebuah hal yang penting untuk dipahami.

Pemahaman tersebut diharapkan dapat mendorong terciptanya keselarasan di

tempat kerja, perilaku saling menghargai, dan kerjasama dalam tim. Hal-hal

tersebut pada akhirnya dapat berdampak pada kesuksesan organisasi.

Pemaparan di atas menjadi dasar bagi penelitian ini untuk mempelajari

hubungan perbedaan usia terhadap tipe kepemimpinan. Pada penelitian ini,

sepuluh partisipan digolongkan ke dalam tiga kelompok usia, yaitu 30-40 tahun,

40-50 tahun, dan di atas 50 tahun. Hasilnya adalah seluruh partisipan dari tiga

kelompok usia tersebut memiliki tipe kepemimpinan yang sama. Jika dilihat dari

faktor usia, terdapat perbedaan generasi antara partisipan. Namun, generasi tidak

hanya didasarkan pada perbedaan usia, tetapi juga kejadian besar serta perubahan

lingkungan yang terjadi (Zemke dkk., 2000). Jurkiewicz, dkk. (2000) juga

menyatakan bahwa bukti empiris yang menunjukkan signifikansi mengenai

perbedaan tipe kepemimpinan berdasarkan generasi/kelompok usia masih terlalu

sedikit. Penelitian yang dilakukan oleh Jurkiewicz dkk juga menunjukkan bahwa

tidak ada perbedaan signifikan antara perbedaan generasi dengan tipe

kepemimpinan. Hal yang lebih memengaruhi tipe kepemimpinan di antaranya

proses rekrutmen, retensi, motivasi, training, dan proses-proses sumber daya

manusia yang lain. Tolbize (2008) juga menyatakan hal senada, yaitu perilaku tidak

hanya ditentukan oleh faktor generasi tetapi juga tingkat pendidikan, tipe pekerjaan,

pendapatan, dan status perkawinan.

Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan tipe

kepemimpinan antar generasi. Hasil tersebut juga didukung dengan analisis dari

berbagai teori yang dipaparkan di atas. Kesamaan lingkungan dan pengembangan

sumber daya manusia yang dilakukan terhadap sepuluh partisipan dapat

berpengaruh pada kesamaan tipe kepemimpinan partisipan. Selain itu hal-hal lain

yang tidak dianalisis dalam penelitian ini seperti tingkat pendidikan, status

perkawinan, dan tipe pekerjaan juga dapat berpengaruh pada kesamaan tipe

kepemimpinan partisipan.

16

4. Hubungan Inteligensi dengan Tipe Leadership

Pada penelitian ini, tingkat inteligensi diukur menggunakan tes Wechsler

Bellevuew (WB). Tes WB dianggap paling karena telah divalidasi dan dapat

digunakan untuk orang dewasa. Beberapa hal yang dinilai dari partisipan yaitu

vocabulary, similarities, information, comprehension, arithmetic, digit span, letter-

number sequencing, picture comprehension, block design, matrix reasoning, digit

symbol-coding, dan symbol search.

Hasil penelitian terhadap sepuluh partisipan menunjukkan tidak adanya

perbedaan siginfikan antar partisipan, baik verbal IQ, performance IQ, maupun total

IQ. Seluruh partisipan mendapatkan rentang hasil IQ di atas rata-rata. Hasil ini

sejalan berbagai teori yang menyatakan bahwa tingkat kecerdasan/inteligensi

berkaitan dengan tipe kepemimpinan, karena berdasarkan asesmen MLQ, seluruh

partisipan memiliki tipe kepemimpinan transformational leadership.

Beberapa literature review yang membahas tentang efektivitas leadership

menegaskan pentingnya faktor inteligensi (House & Aditya, 1997; Bass, 1990;

Kirkpatrick & Locke, 1991; Mann, 1959; Stogdill, 1948). Lebih jauh lagi, Locke

(1991) menyatakan bahwa kemampuan kognitif merupakan aset seorang leader

karena seorang leader harus mampu mengumpulkan, mengintegrasikan, dan

menginterpretasikan informasi dalam jumlah besar. Leader juga bertanggung jawab

terhadap tugas-tugas tertentu seperti menyusun strategi, memecahkan masalah,

memotivasi karyawan, dan mengawasi lingkungan pekerjaan. Kemampuan-

kemampuan tersebut termasuk fungsi inteligensi (Fiedler dan Garcia, 1987). Selain

itu, kreativitas juga merupakan mekanisme lain yang menghubungkan inteligensi

dan leadership (Jung, 2001).

Berdasarkan hasil dari tes WB dan analisis yang dilakukan berdasarkan

teori-teori di atas, maka dapat dikatakan bahwa terdapat hubungan antara faktor

inteligensi dengan tipe kepemimpinan.

5. Hubungan Leadership dengan Brain Mapping

Sebagai salah satu upaya untuk menemukan bukti empiris mengenai

hubungan leadership dengan pola aktivitas otak, dalam penelitian ini dianalisis

hubungan kedua hal tersebut. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, tipe

kepemimpinan dianalisis menggunakan alat tes WB, sedangkan aktivitas otak

dianalisis dengan brain mapping.

17

Salah satu tool yang dapat digunakan untuk menegaskan hubungan antara

aktivitas neurologis dengan perilaku kepemimpinan adalah teknologi

electroencephalography (EEG). Meskipun belum ada riset khusus mengenai hal

tersebut, EEG dinilai mampu memprediksi hubungan antara tipe kepemimpinan

dengan aktivitas otak. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan EEG untuk melihat

perilaku manusia dalam kaitannya dengan asosiasi fungsi otak.

Hasil dari EEG menunjukkan tidak adanya perbedaan gelombang otak di

antara para partisipan. Seluruh partisipan menunjukkan kesamaan pola aktivitas

otak. Dilihat dari kesamaan pola aktivitas otak dan kesamaan tipe kepemimpinan

partisipan, penulis menarik kesimpulan bahwa tipe kepemimpinan berhubungan

dengan pola aktivitas otak. Kesamaan tipe kepemimpinan dapat memprediksi

kesamaan pola aktivitas otak, begitu pula sebaliknya. Hal ini dibuktikan dengan

berbagai studi literatur yang telah dilakukan sebelumnya.

Berbagai literatur menunjukkan bahwa perilaku transformational leadership

memiliki hubungan dengan aktivitas neurologis di bagian otak, salah satunya

dikemukakan oleh Cacioppo, dkk. (2003). Meskipun begitu, perilaku leader yang

kompleks tidak dapat diasosiasikan hanya dengan satu lokasi di otak saja

(Cacioppo, dkk., 2003; Lieberman, 2007; Cacioppo, dkk., 2008; Nolte, 2002). Prinsip

utama mengenai kompleksitas otak yang dianggap relevan dalam studi mengenai

transformational leadership adalah bagian lobus frontalis dan lobus temporal otak

yang memiliki peran signifikan dalam memprediksi perilaku seorang leader yang

efektif. Lobus frontalis bertanggung jawab dalam fungsi eksekutif seperti regulasi

diri, seperti pemrograman, pengaturan, dan verifikasi proses memahami informasi

sensorik dalam membuat perencanaan dan mengatur perilaku (Lewis, 1997). Hal ini

berhubungan dengan perilaku transformational leadership secara langsung (Case,

1992; Fuster, 1999).

Selanjutnya adalah lobus temporal yang memiliki peran penting dalam hal

memori, persepsi, bahasa, dan kepribadian (Damasio, 1989). Kemampuan ini

memengaruhi efektivitas leader dalam menghadapi tantangan-tantangan

kepemimpinan (Hannah, Woolfolk, & Lord, 2009). Lobus temporal juga berfungsi

untuk menyeimbangkan antara kondisi psikobiologis dengan interaksi dengan orang

lain dan lingkungan (Craig, 2009; Schore, 1994). Karena transformational leadership

membutuhkan keterampilan persepsi sosial yang tinggi (contohnya dalam

individualized consideration) dan kemampuan berpikir logis (contohnya dalam

18

intellectual stimulation), lobus temporal berperan penting dalam fungsi-fungsi

tersebut.

Salah satu tool yang dapat digunakan untuk menegaskan hubungan antara

aktivitas neurologis dengan perilaku kepemimpinan adalah teknologi

electroencephalography (EEG). Meskipun belum ada riset khusus mengenai hal

tersebut, EEG dinilai mampu memprediksi hubungan antara tipe kepemimpinan

dengan aktivitas otak. Hal ini dibuktikan dengan kemampuan EEG untuk melihat

perilaku manusia dalam kaitannya dengan asosiasi fungsi otak.

Hasil dari EEG menunjukkan tidak adanya perbedaan gelombang otak di

antara para partisipan. Seluruh partisipan menunjukkan kesamaan pola aktivitas

otak. Dilihat dari kesamaan pola aktivitas otak dan kesamaan tipe kepemimpinan

partisipan, penulis menarik kesimpulan bahwa tipe kepemimpinan berhubungan

dengan pola aktivitas otak. Kesamaan tipe kepemimpinan dapat memprediksi

kesamaan pola aktivitas otak, begitu pula sebaliknya. Hal ini dibuktikan dengan

berbagai studi yang telah dilakukan sebelumnya.

Berdasarkan kesamaan tipe kepemimpinan dan pola aktivitas otak pada

seluruh partisipan serta berdasarkan teori-teori yang berkaitan dengan hal tersebut,

dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan antara tipe kepemimpinan dan pola

aktivitas otak yang dilihat melalui brain mapping. Secara spesifik, tipe

kepemimpinan yang dapat dianalisis dalam penelitian ini adalah transformational

leadership.

6. Hubungan Inteligensi dengan Brain Mapping

Terdapat tiga tipe utama konektivitas otak. Pertama, adalah konektivitas

secara struktural yang diukur menggunakan structural MRI dan Diffusion Tensor

Imaging. Konektivitas pada level ini terlihat sama baik ketika seseorang masih hidup

maupun sesaat setelah mati dan merepresentasikan esensi struktur dan infra-

struktur otak. Kedua adalah konektivitas fungsional yang diukur oleh

electroencephalography (EEG) coherence dan korelasi fMRI antara satu bagian otak

dan lainnya. Pada level ini, diukur korelasi temporal antara satu atau lebih bagian

otak dan mengindikasikan aktivitas fungsional yang dimiliki antara bagian-bagian

yang saling terkait. Ketiga adalah konektivitas efektif yang mengukur besar dan arah

alur informasi antara dua atau lebih bagian otak yang saling terhubung. Secara

analogis, koneksi struktural seperti jalan yang menghubungkan suatu parkiran

mobil dengan stadium olahraga. Kemudian konektivitas fungsional adalah korelasi

19

antara perbedaan di kedua lokasi dan konektivitas efektif mengukur arah dan besar

arus orang-orang ketika berjalan menuju kedua lokasi tersebut.

Hasil perekaman pada penelitian ini menunjukkan pola aktivitas otak yang

didominasi gelombang alpha dan beta pada bagian lobus frontalis seluruh

partisipan. Pada penelitian ini, tingkat inteligensi yang diukur dengan Wechsler

Bellevue menunjukkan rentang kecerdasan yang sama di antara para partisipan,

yaitu di atas rata-rata. Jika dilihat dari kesamaan antara pola aktivitas otak dan

tingkat inteligensi partisipan, maka akan terlihat adanya hubungan antara pola

aktivitas otak dengan tingkat inteligensi. Informasi lain yang dapat diperoleh dari

hasil penelitian ini adalah tidak berpengaruhnya perbedaan usia/generasi terhadap

gelombang otak apabila ada kesamaan tingkat inteligensi dan tipe kepemimpinan

partisipan.

7. Pengaruh Neurofeedback

Neurofeedback merupakan sebuah alat bantu yang dapat digunakan untuk

melatih manusia mengontrol fungsi otaknya sendiri. Efektivitas neurofeedback

dapat dilihat dengan mengukur gelombang otak. Meskipun secara teoretis diketahui

bahwa neurofeedback memiliki banyak dampak positif, masih sedikit bukti empiris

yang menunjukkan hal tersebut (Marzbani, dkk., 2016). Oleh sebab itu, penelitian

ini bermaksud menunjukkan pengaruh neurofeedback terhadap kemampuan

seseorang mengendalikan fungsi otaknya.

Pada penelitian ini, partisipan diminta untuk mengendalikan sebuah mobil

(seperti dalam video game) melalui gelombang otak yang ditangkap oleh EEG. Mobil

akan berjalan lurus dan cepat ketika otak berada dalam gelombang tertentu.

Partisipan diajarkan untuk mengendalikan gelombang otak pada proses ini.

Dari rangkaian proses neurofeedback tersebut, seluruh partisipan

diharapkan mampu untuk mengetahui gelombang otak yang tepat untuk dihasilkan

pada situasi tertentu, misalnya gelombang alpha yang dapat membuat rileks atau

gelombang beta yang dapat membuat fokus dan waspada. Selain itu, partisipan

diharapkan mampu mengontrol aktivitas otak tersebut, sehingga gelombang otak

yang dihasilkan mampu mendorong efektivitas leadership.

20

5. Kesimpulan

Penelitian yang telah dilakukan dalam empat bulan ini menujukkan bahwa

semua partisipan yang terlibat memiliki tipe kepemimpinan transformational

leadership dengan subtipe kepemimpinan idealized influence (behavior) dan

inspirational motivation. Berdasarkan berbagai studi literature, tipe transformational

leadership merupakan tipe yang relatif lebih efektif dibandingkan dengan tipe

transactional leaderhsip. Transformational leadership mampu meningkatkan

kepuasan bekerja pegawai/followers. Dengan tingginya kepuasan bekerja,

kemungkinan suatu organisasi untuk mencapai tujuan akan lebih besar.

Selain itu, transformational leadership sangat dibutuhkan karena merupakan

suatu kepemimpinan yang tidak hanya mampu memotivasi dan menggerakkan

organisasi secara vertikal dan horizontal, namun juga mewujudkan kapasitas

organisasi untuk senantiasa agile terhadap dinamika perubahan sesuai kebutuhan.

Dalam kaitan ini, untuk menghadapi tantangan di era VUCA, organisasi

membutuhkan leader yang fleksibel serta adaptif mengingat dunia berubah begitu

cepat. Leader harus senantiasa belajar serta memperbarui visi dan strategi

organisasi apabila tidak ingin tertinggal dari kemajuan zaman. Fleksibilitas dan

adaptabilitas hanya dimiliki oleh transformational leader. Dengan demikian, sebagai

gaya kepemimpinan masa depan, transformational leadership pada akhirnya

diyakini dapat mentransformasi paradigma dan nilai-nilai dalam organisasi dalam

mencapai visi dan misinya secara optimal.

Hal lain yang dapat disimpulkan dari penelitian ini adalah tidak adanya

perbedaan tingkat inteligensia di antara para partisipan (di atas rata-rata) juga

mengakibatkan pola aktivasi otak yang direkam dengan electroencephalography

(EEG) menunjukkan pola yang sama. Hal ini kemudian membawa pada kesimpulan

bahwa terdapat hubungan antara tingkat inteligensia dan tipe kepemimpinan.

Selain itu, adanya stimulasi terhadap otak (neurofeedback) juga membuat

partisipan mampu untuk mengendalikan gelombang otak dalam keadaan sadar.

Gelombang delta dapat ditangkap EEG ketika seseorang tertidur, gelombang theta

muncul ketika seseorang mengantuk, gelombang alpha muncul ketika seseorang

merasa rileks dan otot-otot tidak tegang dalam keadaan sadar, gelombang beta

muncul ketika seseorang sadar, sedangkan gelombang gamma muncul ketika

seseorang sedang memecahkan masalah. Dengan adanya kemampuan untuk

21

mengendalikan gelombang otak, seorang leader diharapkan dapat bekerja secara

optimal.

Kesamaan pola baik tipe leadership, inteligensi, dan pemetaan aktivitas otak

dari hasil penelitian yang didapat, besar kemungkinan disebabkan oleh kesamaan

lingkungan seluruh partisipan. Oleh sebab itu, untuk lebih memperkaya

pemahaman mengenai leadership berbasiskan ilmu otak dan perilaku, perlu adanya

keragaman sampel yang diteliti. Salah satu cara yang bisa dilakukan adalah dengan

mengikutsertakan partisipan dari lingkungan kerja atau organisasi yang berbeda.

Lebih lanjut, terlepas adanya klaim bahwa penelitian ini secara analitis memberikan

kontribusi yang sangat penting dalam pengaplikasian ilmu/sains dalam konteks

kepemimpinan, khususnya pemetaan mengenai mekanisme kerja transmisi

neuroscience terapan dalam memengaruhi perilaku kepemimpinan, penulis

memandang perlu dilakukan validasi lebih lanjut atas klaim tersebut khususnya

saat diberikan stimulai-stimulasi tertentu seperti kondisi lingkungan kerja yang

stressful dalam real-time.

22

Referensi

AUGUSTINE, G. J. 2004. Studying of Nervous Systems of Humans and Other

Animals. In: PURVES, D., AUGUSTINE, G. J., FITZPATRICK, D., HALL, W.

C., LAMANTIA, A.-S., MCNAMARA, J. O. & WILLIAMS, S. M. (eds.)

Neuroscience. Massachutes: Sinauer Associates.

AVOLIO, B. J. & BASS, B. M. 1991. The Full Range Leadership Development

Programs: Basic and Advanced Manuals.

AXON, L., FRIEDMAN, E. & JORDAN, K. 2015. Leading Now: Critical Capabilities for

a Complex World. In: LEARNING, H. B. P. C. (ed.). Boston.

BASS, B. M. 1990. From Transactional to Transformational Leadership: Learning to

Share the Vision. Organizational Dynamics, 18, 19-31.

BASS, B. M. & AVOLIO, B. J. 1994. Improving Organizational Effectiveness through

Transformational Leadership, California, Sage Publications.

BASS, B. M. & BASS, R. 2008. The Bass Handbook of Leadership: Theory, Research,

and Managerial Applications, Free Press.

BENJAMIN, L. & FLYNN, F. J. 2006. Leadership Style and Regulatory Mode: Value

from It? Organizational Behavior and Human Decision Processess, 100, 216

- 230.

BERSON, Y. & LINTON, J. D. 2005. An examination of the Relationships between

Leadership Style, Quality, and Employee Satisfaction in R&D Versus

Administrative Environments. R&D Management, 35, 51-60.

BOYATZIS, R. E., SMITH, M. L. & BLAIZE, N. 2006. Developing Sustainable Leaders

through Coaching and Compassion. Academy of Management Learning and

Education, 5, 8 - 24.

BRADLEY, J. H. & HEBERT, F. J. 1997. The Effect of Personality Type on Team

Performance. Journal of Management Development, 16, 337-353.

BURNS, J. M. 1978. Leadership, New York, Harper & Row.

CACIOPPO, J. T. ET. AL. 2003. Just Because You're Imaging the Brain Doesn't Mean

You Can Stop Using Your Head: A Primer and Set of Principles. Journal of

Personality and Social Psychology, 85, 650-661.

CACIOPPO, J. T., BERNTSON, G. C., & NUSBAUM, H. C. 2008. Neuroimaging as a

New Tool in the Toolbox of Psychological Science. Current Directions in

Psychological Science, 17, 62-67.

CASE, R. 1992. The Mind's Staircase: Exploring the Conceptual Underpinnings of

Children's Thoughts and Knowledge, Erlbaum.

CHARAN, R. 2009. Leadership in the Era of Economic Uncertainty: Managing in a

Downturn, McGraw-Hill.

23

CHERIF, A., ROELANDS, B., MEEUSEN, R. & CHAMARI, K. 2016. Effects of

Intermittent Fasting, Caloric Restriction, and Ramadan Intermittent Fasting

on Cognitive Performance at Rest and During Exercise in Adults. Sports

Medicine, 46, 35-47.

CRAIG, A. D. 2009. How Do You Feel-Now? The Anterior Insula and Human

Awareness. National Review of Neuroscience, 10, 59-70.

DAMASIO, A. R. 1989. Time-locked Multiregional Retroactivation: A Systems-level

Proposal for the Neural Substrates of Recall and Recognition. Cognition, 33,

25-62.

DEFOE, D. 2012. Leadership and Brain Science: Possibilities for Harnessing Social

Cognitive Neuroscience to Assess, Understand, and Develop Inspirational

Leaders.https://www.psycholawlogy.com/2012/12/28/leadership-and-

brain-science-possibilities-for-harnessing-social-cognitive-neuroscience-to-

assess-understand-and-develop-inspirational-leaders/

FIEDLER, F. E. & GARCIA, J. E. 1987. New Approaches to Effective Leadership:

Cognitive and Organizational Performance, John Wiley & Sons Inc.

FUSTER, J. M. 1999. Memory in the Cerebral Cortex: An Empirical Approach to Neural

Networks in the Human and Nonhuman Primate, MIT Press.

GARRET, B. 203. Brain and Behavior, Singapore, Thomson Learning.

GOMEZ-PINILLA, F. & HILLMAN, C. 2013. The Influence of Exercise on Cognitive

Abilities. Comprehensive Physiology, 3, 403-428.

HAAS, L. 2001. Phineas Gage and The Science of Brain Localisation. Journal of

Neurology, Neurosurgery, & Psychiatry, 71, 761.

HANNAH, S. T., WOOLFOLK, L., & LORD, R. G. 2009. Leader Self-structure: A

Framework for Positive Leadership. Journal of Organizational Behavior, 30,

269-290.

HARTER, J. K., SMITH, F. L. & HAYES, T. L. 2002. Business-Unit-Level Relationship

Between Employee Satisfaction, Employee Engagement, and Business

Outcomes: A Meta-Analysis. Journal of Applied Psychology, 87, 268-279.

HEINRICH, H., GEVENSLEBEN, H. & STREHL, U. 2007. Annotation: Neurofeedback

- Train Your Brain to Train Behavior. Journal of Child Psychology and

Psychiatry, 48, 3-16.

HOLLANDER, E. P. 1984. Leadership Dynamics: A Practical Guide to Effective

Relationships, Free Press.

HOMAN, R., HERMAN, J. & PURDY, P. 1987. Cerebral Location of International 10-

20 System Electrode Placement. Electroencephalography and Clinical

Neurophysiology, 66, 376-382.

HOUSE, R. J. & ADITYA, R. N. 1997. The Social Scientific Study of Leadership: Quo

Vadis? Journal of Management, 23, 409-473.

JUHRO, Solikin. M. AND AULIA, A. Farid. 2017. Transformational Leadership

through Applied Neuroscience: Transmission Mechanism of the Thinking

24

Process. BI Institute Working Paper, Bank Indonesia Institute - Bank

Indonesia, Semester I/2017. https://ssrn.com/abstract=3015686, akan

dipublikasikan di International Journal of Organizational Leadership

(tersedia 2018)

JUNG, D. I. 2001. Transformational and Transactional Leadership and Their Effects

on Creativity in Groups. Creativity Research Journal, 13, 185-195.

JURKIEWICZ, C.E. (2000), “Generation X and the public employee”, Public Personnel

Management, Vol. 29, pp. 55-74.

KINSINGER, P. & WALCH, K. 2012. Living and Leading in a VUCA World [Online].

Available:

http://www.forevueinternational.com/Content/sites/forevue/pages/1482

/4_1__Living_and_Leading_in_a_VUCA_World_Thunderbird_School.PDF

[Accessed].

KOLB, B. & WHISHAW, I. Q. 2011. An Introduction to Brain and Behavior, Palgrave.

KIRKPATRICK, S. A. & LOCKE, E. A. 1991. Leadership: Do Traits Matter? Academy

of Management Executive, 5, 48-60.

LAWRENCE, J. A., STECK, E. N. & PRYPLESH, S. J. 1991. Overview of Management

Theory. Pennsylvania: U.S. Army War College.

LAWRENCE, K. 2013. Developing Leaders in a VUCA Environment. Available:

http://www.growbold.com/2013/developing-leaders-in-a-vuca-

environment_UNC.2013.pdf.

LEWIS, D. A. 1997. Development of the Primate Frontal Cortex. In M. S. Kershaw, &

R. M. Murray (Eds.), Neurodevelopment and Adult Psychopathology,

Cambridge University Press.

LIU, Y., JING, Y. & GAO, M. 2015. Transformational Leadership: From the

Perspective of Neurological Leadership. Open Journal of Leadership, 4, 143 -

152.

LIEBERMAN, M. D. 2007. Social Cognitive Neuroscience: A Review of Core Processes.

Annual Review of Psychology, 58, 259-289.

MANN, R. D. 1959. A Review of the Relationships Between Personality and

Performance in Small Groups. Psychological Bulletin, 56, 241-270.

MARZBANI, H., MARATEB, H. R. & MANSOURIAN, M. 2016. Neurofeedback: A

Comprehensive Review on System Design, Methodology, and Clinical

Applications. Basic and Clinical Neuroscience, 7, 143-158.

MING, G.-L. & SONG, H. 2012. Adult Neurogenesis in the Mammalian Brain:

Significant Answers and Significant Questions. Neuron, 70, 687-702.

MUESSIG, R. H. 1969. Change - The Only Constant. Educational Leadership, 26,

543-546.

MURPHY, T. H. & CORBETT, D. 2009. Plasticity during Stroke Recovery: from

Synapse to Behaviour. Nature Reviews Neurosciences, 10, 861-872.

25

NAYLOR, J. 2003. Management, Financial TImes Management.

NOLTE, J. 2002. The Human Brain: An Introduction to its Functional Anatomy,

Missouri, Mosby.

OCHSNER, K. N. & LIEBERMAN, M. D. 2001. The Emergence of Social Cognitive

Neuroscience. American Psychologist, 56, 717-734.

PODSAKOFF, P. M., BOMMER, W. H., PODSAKOFF, N. P. & MACKENZIE, S. B. 2006.

Relationships between Leader Reward and Punishment Behavior and

Subordinate Attitudes, Perceptions, and Behaviors: a Meta-Analytic Review

of Existing and New Research. Organizational Behavior and Human Decision

Processess, 99, 113-142.

RABIN, A. I. & GUERTIN, W. H. 1951. Research with Wechsler-Bellevue Test: 1945-

1950. Psychological Bulletin, 48, 211-248.

RADHA, R. & KOSURI, S. R. 2017. The Straits of Success in a VUCA World. IOSR

Journal of Business and Management, 16 - 22.

ROSENZWEIG, M. R. & BENNET, E. L. 1999. Psychobiology of Plasticity: Effects of

Training and Experience on Brain and Behavior. Behavioural Brain

Research, 78, 57-65.

ROWOLD, J. (2005). Multifactor Leadership Questionnaire. Psychometric properties

of the German translation by Jens Rowold. Redwood City: Mind Garden.

SALAH, A. & WATSON, R. 2017. Business Excellence in a Volatile, Uncertain,

Complex, and Ambiguous Environment (BEVUCA). THe TQM Journal, 29,

705-724.

SALAHUDDIN, M. M. 2011. Generational Differences Impact on Leadership Style and

Organizational Success. Journal of Diversity Management, 5.

SARIN, S. & MCDERMOTT, C. 2003. The Effect of Team Leader Characteristic on

Learning, Knowledge Application, and Performance of Cross-Functional New

Product Development Teams. Decision Sciences, 34.

SARKAR, A. 2016. We Live in a VUCA World: the Importance of Responsible

Leadership. Development and Learning in Organizations: An International

Journal, 30, 9 - 12.

SCHORE, A. N. 1994. Affect Regulation and the Origin of the Self: The Neurobiology of

Emotional Development, Erlbaum.

SIDDIQUI, S. V., CHATTERJEE, U., KUMAR, D., SIDDIQUE, A. & GOYAL, N. 2008.

Neuropsychology of Prefrontal Cortex. Indian Journal of Psychiatry, 50, 202-

208.

SIERRA, A., ENCINAS, J. M. & MALETIC-SAVATIC, M. 2011. Adult Human

Neurogenesis: from Microscopy to Magnetic Resonance Imaging. Frontiers in

Neuroscience, 5.

STIEHM, J. H. 2002. U.S. Army War College: Military Education in a Democracy,

Temple University Press.

26

STOGDILL, R. M. 1948. Personal Factors Associated with Leadership: A Survey of

the Literature. The Journal of Psychology, 25, 35-71.

STONE, J. & HUGHES, J. 2013. Early History of Electroencephalography and

Establishment of the American Clinal Neurophysiology Society. Journal of

Clinical Neurophysiology, 30, 28-44.

SUCHOLEIKI, R. 2017. Normal EEG Waveforms [Online]. Medscape. Available:

https://emedicine.medscape.com/article/1139332-overview [Accessed].

TOLBIZE, A. 2008. Generational Differences in the Workplace.

TOVAR, P. 2016. Leadership Challenges in the V.U.C.A World [Online]. Oxford

Leadership. Available: http://www.oxfordleadership.com/leadership-

challenges-v-u-c-world/ [Accessed 2017].

TUDOR, M., TUDIR, L. & TUDOR, K. 2005. Hans Berger (1873-1941) - the History of

Electroencephalography. Acta Medica Croatia, 59, 3017 - 313.

VINCE, R. 2004. Rethinking Strategic Learning, Routledge.

WALDMAN, D. A., BALTHAZARD, P. A. & PETERSON, S. J. 2011. Leadership and

Neuroscience: Can We Revolutionize The Way that Inspirational Leaders are

Identified and Developed? Academy of Management Perspectives, 25, 60 -

74.

WEIHERL, J. & MASAL, D. 2016. Transformational Leadership and Follower's

Commitment to Mission Changes. International Journal of Public

Administration, 39, 861-871.

XU, G.-Y. & WANG, Z.-S. The Impact of Transfromational Leadership Style on

Organizational Performance: The Intermediery Effect of Leader-Member

Exchange. International Conference on Management Science and

Engineering 2008. IEEE.

YAMMARINO, F. 2013. Leadership: Past, Present, and Future. Journal of Leadership

and Organizational Studies, 20, 149 - 155.

ZEMKE, R., dkk. 2000. Generations at work: Managing the clash of veterans,

boomers, Xers, and nexters in your workplace. AMACOM, New York. ISBN:

0814404804.