tradisi tenun ikat nusantarababbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15...
TRANSCRIPT
TRADISI TENUN IKATN U S A N T A R A
BAB PUBLISHING INDONESIA
2
BENNY GRATHA & JUDI ACHJADI
54 tradisi tenun ikat nusantara
Didukung oleh:
KEMENTERIAN PARIWISATA REPUBLIK INDONESIAGedung Sapta PesonaJl. Medan Merdeka Barat No. 17Jakarta 10110Tel. 021 383 8167Fax. 021 384 9715
Penulis & Penyunting Umum:Benny GrathaJudi Achjadi
Penata Artistik:Rafli L. Sato
Pengelola Tata Letak:Samsuri
Koordinator Produksi:Aris Siswandi
Diterbitkan oleh:BAB PUBLISHING INDONESIAwww.babbooks.com
Cetakan Pertama, 2016
Dilarang mereproduksi seluruh maupun sebagian isi buku ini dalam bentuk apapun, elektronik maupun media cetak, termasuk dalam sistem penyimpanan dan kearsipan, tanpa izin tertulis dari penerbit. Hak cipta dilindungi undang-undang.
ISBN 978-979-8926-33-4
7
PrakataMenteri Pariwisata
13
Tradisi Tenun Ikat
31
Hiasan Pada Tenun Ikat
39
Ikat Dalam Kehidupan Masyarakat
53
Ikat di Kepulauan Nusantara
144
Daftar Pustaka
148Daftar Istilah
daftar isi
Hal 2: Penenun Sumba Timur sangat terampil menggunakan teknik ikat lungsi untuk menghasilkan gambar-gambar yang hidup dan memanjakan mata. Koleksi Istimewa.
Hal 5: Di tanah Batak, Sumatra Utara, teknik ikat lungsi menghasilkan motif-motif geometris sederhana atau ragam hias acak mirip hujan gerimis. Koleksi Torang Sitorus.
Hal 6: Bagian dari rok perempuan yang ditenun oleh perempuan Dayak Iban di Putussibau, Kalimantan Barat. Koleksi Kumang Pegari.
76 tradisi tenun ikat nusantara
Sekapur SirihMENTERI PARIWISATA, REPUBLIK INDONESIA
Dr. Ir. ARIEF YAHYA, M.Sc
Sebagai negara yang diberkahi dengan kekayaan budaya yang melimpah, Indonesia menawarkan beragam tradisi yang diwariskan dari
satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi-tradisi yang sangat mengagumkan tersebut sebagian besar masih dipraktekkan dan bahkan
sangat dihargai di zaman modern ini. Salah satu tradisi tersebut adalah keterampilan dan budaya tenun tradisional yang beberapa di antaranya
diperkenalkan kepada masyarakat setempat di wilayah Nusantara oleh para pedagang asing dari daratan Asia Tenggara dan dari daerah yang
lebih jauh lagi. Budaya wastra Indonesia mencakup beragam teknik; salah satunya yang paling dikenal adalah teknik rintang warna, yang secara
universal disebut sebagai tenun ikat.
Teknik ikat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, di antaranya di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Jawa, dan di beberapa tempat
lainnya. Tenun ikat bukan hanya selembar wastra biasa, namun memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat pembuatnya. Ikat dengan
beragam warna dan simbol mencerminkan kehidupan masyarakat di mana wastra ikat tersebut digunakan. Banyak hal yang dapat diungkapkan
sehubungan dengan budaya masyarakatnya, dari upacara adat mereka, hingga tata cara mereka berkomunikasi satu dengan lain dan juga
dengan dunia luar. Secara singkat hal tersebut mencerminkan karakter masing-masing masyarakat, sehingga merupakan komponen yang
sangat penting dari budaya Indonesia.
Buku ini diterbitkan dengan tujuan untuk mengeksplorasi budaya tenun ikat di Indonesia yang sulit. Budaya tenun ikat di setiap daerah akan
dibahas secara menyeluruh. Setiap perbedaan disebutkan dan diberi penjelasan yang memadai, serta perkembangannya juga dianalisa dengan
detail. Buku ini dimaksudkan untuk menjadi pengantar yang seksama tentang kekayaan tenun ikat di Indonesia.
Saya berharap buku ini dapat menggugah perhatian masyarakat Indonesia dan masyarakat lain untuk lebih mengenal kebudayaan mereka.
Saya juga berharap buku ini dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda agar lebih banyak terlibat dalam budaya mereka sendiri dan menjadi
lebih kreatif. Selain itu juga berharap bahwa memproduksi literatur tentang tenun ikat akan bermanfaat bagi jutaan perajin yang bersahaja dan
para perempuan pembuat wastra yang agung ini, sehingga tradisi adiluhung ini dapat terus berlangsung di masa yang akan datang.
Akhir kata, dengan peluncuran buku ini diharapkan pengembangan tenun ikat akan berkelanjutan dan dapat membantu Indonesia untuk
memperoleh pengakuan yang layak dari dunia bahwa zaman keemasan wastra tenun telah berlangsung di Nusantara di mana masyarakat
setempatlah yang menemukan ragam hias asli, simbol, dan warna. Masyarakat Indonesia mungkin tidak menemukan seluruh teknik wastra,
tetapi kita tentunya telah mengembangkan seluruh budaya wastra yang datang bersama mereka. Dan hal ini akan terus berlanjut.
Salam Pesona Indonesia !!!
LAUT CINA SELATAN
SAMUDERA PASIFIK
FILIPINA
Jawa
SAMUDERA HINDIA
Seram
Papua
KAMBOJA
Papua Barat
MalukuJakarta
SelayarMakassar
98
Peta sebaran produksi Tenun Ikat di Indonesia
1110
Trad
isi T
enun
Ika
t
13tradisi tenun ikat nusantara12
Tradisi Tenun Ikat
Indonesia terkenal akan keanekaragaman teknik tenunnya yang sangat
mengagumkan, sehingga memiliki tempat yang sangat istimewa dalam
dunia wastra. Terletak di persimpangan jalur migrasi kuno dan kemudian
menjadi rute perdagangan melalui Asia dan Pasifik, kepulauan Nusantara
berada di bawah pengaruh budaya asing yang berasal dari daratan tenggara
Asia dan bahkan lebih jauh lagi. Pendatang dari Cina, India, Persia, Mesir,
negara-negara di Asia Barat Daya, dan Eropa yang singgah ke pulau-pulau
di Nusantara membawa serta budaya mereka yang memberikan pengaruh
terhadap budaya setempat. Wastra merupakan bagian yang tidak terpisahkan
dari lalu lintas perdagangan ini dan sangat dipengaruhi oleh teknik dan
ide-ide yang berasal dari persilangan budaya negara-negara tersebut.
Masyarakat setempat menyerap dan menafsirkan budaya asing tersebut dan
mengembangkannya hingga pada tingkat yang kadang lebih baik dari aslinya.
Hal inilah yang menyebabkan wastra Indonesia ditempatkan di antara wastra-
wastra terbaik di dunia, yang telah disebutkan pada buku-buku yang ditulis
oleh para peneliti tentang wastra yang diterbitkan sejak awal abad ke-20.
Di antara berbagai budaya wastra Indonesia yang sangat beragam, teknik
rintang warna, yang secara universal mengacu pada tenun ikat, selain batik,
adalah teknik yang paling dikenal. Kata ‘ikat’ berasal dari Bahasa Melayu berarti
mengikat. Pada proses ini, bagian benang yang tidak boleh terkena warna
pada proses pencelupan, diikat kuat-kuat menggunakan serat alam yang dapat
menahan pewarna agar tidak dapat menembus ke dalam serat-serat benang.
Setelah proses pencelupan selesai, ikatan dilepas dan akan dihasilkan ragam
hias berwarna putih di atas benang berwarna. Teknik ikat dapat diterapkan
pada benang pakan maupun benang lungsi. Bahkan pada kasus yang sangat
jarang, ikat diterapkan pada kedua benang pakan dan lungsi dalam satu kain.
BAB I
Hal. 10: Penenun dari Sumba Barat melakukan percobaan membuat desain baru dengan teknik ikat lungsi untuk dijual di pasar setempat. Wastra tenun berukuran sempit seperti ini laku dijual karena dapat digunakan dengan berbagai cara dan gampang dibawa.
Hal. 11: Hinggi yang dipajang untuk dijual. Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Abad ke-21.
Sebelah kiri: Tiga perempuan Batak sedang menenun bagian-bagian dari ulos ragidup. Di sebelah paling kanan adalah bagian tengah ulos, berupa garis-garis yang seringkali dilengkapi dengan lajur ikat lungsi dan songket di kedua ujungnya. Perempuan di tengah sedang menenun dua bidang sisi dengan beberapa pita lungsi tambahan di sisi bagian dalamnya. Sumatra Utara, sekitar tahun 1940. Koleksi Leiden University Library, KITLV Digital Image Library.
1514 tradisi tenun ikat nusantara
Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi,
sedangkan jika benang pakan yang diberi hiasan dinamakan ikat
pakan. Pada ikat ganda, benang pakan dan benang lungsi masing-
masing diikat dan dicelup warna secara terpisah untuk membentuk
ragam hias.
Bedrich Forman, dalam bukunya Batik and Ikat in Indonesia,
menjelaskan proses ikat sebagai ‘sebuah proses yang unik dan
memerlukan imajinasi, keterampilan khusus dan ketekunan
yang luar biasa’. Proses ikat dapat diibaratkan sebagai grafik
komputer yang memerlukan sejumlah perhitungan matematika yang
rumit. Perhitungan ini disimpan dalam ikatan yang divariasikan warnanya
sebagai kode kapan dibuka untuk warna baru; gambaran tentang motif
hanya ada di dalam benak orang yang mengikat, dan hanya akan terungkap
ketika benang lungsi telah diatur pada alat tenun.
Pekerjaan mengikat dan mencelup warna dilakukan sebelum proses
menenun berlangsung. Kapas hasil panen yang sudah dibersihkan dari
bijinya dan telah kering, kemudian dipukul-pukul agar mengembang, dan
dipintal menjadi benang menggunakan alat yang sederhana. Benang hasil
pintalan kemudian dipisahkan menjadi dua bagian, satu bagian digunakan
sebagai benang lungsi yang diatur secara vertikal pada alat tenun, dan
bagian lainnya sebagai benang pakan, yang akan ditenun secara horizontal
melewati benang lungsi. Benang lungsi atau pakan yang akan diberi hiasan
dengan teknik ikat, diatur pada sebuah bingkai, biasanya berbentuk X
dengan balok di bagian atas dan bawahnya, dan ragam hias diikatkan pada
benang yang direntangkan di bingkai tersebut. Benang yang sudah diikat
kemudian dicelup ke dalam larutan pewarna dan dikeringkan.
Ketika ikatan dilepas, akan muncul ragam hias berwarna putih (warna
asli benang) di atas latar berwarna, karena hanya bagian yang tidak diikat
yang dapat menyerap warna. Proses ini dapat diulang beberapa kali sesuai
dengan kebutuhan, sehingga menghasilkan berbagi kombinasi warna
yang diinginkan. Selanjutnya, benang yang sudah memiliki ragam hias
siap digunakan; benang lungsi dijalin pada alat tenun, sedangkan benang
pakan diatur pada teropong. Ketika benang lungsi sudah disusun pada
alat tenun, ragam hias akan terlihat secara utuh; benang pakan berwarna
tunggal dan tidak diberi hiasan. Sedangkan pada ikat pakan, benang lungsi
tanpa hiasan diatur pada alat tenun dan benang pakan yang sudah diberi
hiasan diatur pada teropong yang selanjutnya dianyamkan naik turun
pada benang lungsi. Pada proses ini, ragam hias hanya akan terlihat ketika
proses menenun telah selesai. Sebagai tambahan, dapat diberi hiasan
berupa garis-garis dengan cara mengganti warna benang pakan atau lungsi
yang tidak diikat secara bergantian.
Di Bali, teknik tenun ikat digunakan untuk menghasilkan ragam
hias positif atau negatif. Negatif berarti latar belakangnya yang diikat
untuk mencegah penyerapan zat warna, sedangkan motifnya berwarna,
merupakan kebalikan dari teknik yang telah dijelaskan sebelumnya.
Pulau Bali juga merupakan salah satu dari sangat sedikit tempat di
dunia di mana teknik ikat ganda masih digunakan. Pada ikat ganda,
benang pakan dan benang lungsi diikat dan diberi warna secara terpisah.
Diperlukan ketelitian dalam mengatur posisi benang lungsi pada alat tenun
dan benang pakan pada teropong, sehingga motif dari benang pakan dan
lungsi dapat bertemu pada satu titik untuk menghasilkan ragam hias yang
sempurna pada saat proses menenun berlangsung.
Atas: Sebagian wastra tenun yang belum selesai yang masih terpasang pada alat tenun gedhog dari Tanimbar, Maluku Tenggara. Tidak ditemukan adanya pengaruh asing pada wastra tradisional dari daerah terpencil ini, walaupun beberapa telah terlihat sejak adanya upaya pelestarian pembuatan wastra tradisional yang dimulai di awal tahun 1980-an. Sekitar tahun 1915. Koleksi Leiden University Library, KITLV Digital Image Library.
Sebelah Kanan: Di bagian atas, seorang perempuan di Lombok sedang memintal benang dari kapas menggunakan jentera buatan sendiri. Bawah: Dua perempuan muda di Troso dengan tekun mengikat ragam hias pada benang lungsi menggunakan rafia plastik (ikat lungsi).
1716 tradisi tenun ikat nusantara
Proses mengikat dan menenun umumnya dikerjakan oleh
perempuan. Biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh beberapa orang:
memintal benang dilakukan oleh seorang perempuan, mengikat
dan mencelup benang dilakukan oleh perempuan yang sudah
berpengalaman, dan perempuan lain yang akan menenun. Tetapi
dapat juga semua proses - dari memintal benang hingga menenun -
dikerjakan oleh orang yang sama.
Dahulu, sebelum memulai menenun, penenun harus melakukan
ritual tertentu, seperti berpuasa, mematuhi hal-hal yang bersifat
tabu, dan membuat sesajen untuk para leluhur atau dewa. Di
beberapa tempat, keahlian membuat tenun ikat dipercaya sebagai
anugerah dari Tuhan, dewa yang memberi inspirasi dan instruksi.
Hal ini berlaku di Bali, di mana ornamen-ornamen wastra ikat ganda
geringsing dari Desa Tenganan dipercaya dibuat dan diwarnai di
langit oleh Batara Indra.
Ikat lungsi tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia, di antaranya
di tanah Batak di Sumatra Utara; pulau Flores, Sumba, Roti, Sawu,
Ndao, dan Timor di Nusa Tenggara Timur, di Kalimantan, terutama
di daerah pedalaman, di Sulawesi di daerah Rongkong, Galumpang
dan Donggala, dan di kepulauan Maluku di sebelah selatan seperti
pulau Tanimbar dan Kisar. Sedangkan ikat pakan ditemukan di
daerah Palembang di Sumatra Selatan, di Bangka di pesisir timur
Sumatra, di Bali, Donggala di Sulawesi Tengah, di Sulawesi Selatan,
dan di Gresik serta Lamongan di Jawa Timur. Ikat ganda, seperti
telah disebutkan, hanya dibuat di Desa Tenganan di Bali Timur.
Sebelah Kiri: Ulos Mangiring dari Batak Toba memiliki ragam hias ikat lungsi sederhana menyerupai panah. Mangiring berarti mengikuti. Ragam hias pada wastra ini, yang dipakai saat upacara kelahiran, mengungkapkan harapan agar memiliki banyak keturunan, yang digambarkan dengan barisan motif berbentuk kepala panah. Sumatra Utara. Abad ke-20. Koleksi Museum Tekstil DKI Jakarta.
Atas: Dua perempuan muda sedang membantu temannya bersiap-siap menenun, memastikan bahwa benang lungsi berada pada tempat yang benar. Salah satu ujung alat tenun diikatkan pada tiang di bawah rumah. Ujung lainnya ‘diikatkan’ di badan penenun oleh ambin yang dikencangkan di bagian belakang tubuhnya. Koleksi Leiden University Library, KITLV Digital Image Library.
1918 tradisi tenun ikat nusantara
Kata ‘ikat’ diperkenalkan ke dalam perbendaharaan tenun di Eropa
oleh Prof. A.R. Hein pada tahun 1880, menurut Haddon. Kata tersebut
kemudian diadaptasi ke dalam kamus Belanda menjadi ikatten, dan dalam
Bahasa Inggris sebagai ikat, yang memiliki arti proses dan juga wastra yang
dihasilkan dari proses tersebut. Semua ikat lungsi memiliki kesamaan dan
juga ciri-ciri kedaerahan. Terlihat adanya kemiripan dalam gaya, teknik, dan
hiasan, yang kesemuanya berhubungan dengan sejarah dan latar belakang
budaya sebuah komunitas. Beberapa faktor, seperti letak geografis (daerah
terpencil), topografi (medan yang sulit), dan unsur budaya setempat yang
lebih tua (yang masih bertahan), berperan dalam melestarikan budaya
sebuah komunitas, misalnya teknik-teknik tenun khusus. Menurut L.
Langewis, hiasan pada wastra yang dibuat oleh masyarakat yang menenun
dengan teknik ikat lungsi menunjukkan bahwa teknik tersebut berasal
dari masyarakat yang kurang mendapat pengaruh teknik dan ragam hias
wastra impor. Dia memberi contoh ikat lungsi dari Batak, Dayak, Toraja,
dan Sumba dan meletakkan daya tahan unsur-unsur setempat pada
sedikitnya kepentingan yang dimiliki komunitas-komunitas tersebut bagi
dunia perdagangan. Pada kenyataannya, unsur-unsur baru merupakan
hasil dari adanya perdagangan yang intensif dan masuknya wastra impor.
Ikat pakan relatif baru dikenal di Indonesia. Beberapa ciri tenun ikat
pakan telah dikenal pada masa sejarah, ketika kapas mulai digunakan untuk
menenun. Tetapi tenun ikat pakan yang menggunakan benang sutera lebih
dikenal saat ini. Awalnya sutera diimpor dari Cina, kemudian penduduk asli
Indonesia mulai menanam pohon murbei dan membudidayakan ulat sutera
sendiri. Dengan demikian perkembangan ikat pakan berhubungan dengan
benang sutera impor yang diperoleh dari pedagang-pedagang Muslim
India yang datang di daerah pesisir Indonesia pada abad ke-15, terutama
di daerah pesisir bagian timur Sumatra, di bagian utara Jawa, dan bagian
barat Sulawesi. Para pedagang ini juga lah yang membawa benang emas
dan perak yang sering dikombinasikan dengan ikat pakan di Indonesia.
Indonesia telah melakukan hubungan dagang yang intensif dengan
negara-negara Asia lainnya pada masa sejarah. Kehadiran barang-barang
impor tersebut telah memperbanyak variasi teknik tenun dan hiasan
wastra. Pengaruh Hindu dan Budha masuk ke Indonesia melalui jalur
perdagangan sekitar abad ke-4 dan pengaruh Islam masuk sekitar abad
ke-15; masing-masing menjadi agama baru sebagai panduan hidup yang
mengatur perilaku para pengikutnya dan menyerap pada budaya setempat.
Ikat pakan memiliki penampilan yang cerah dengan warna-warna
yang memikat dan kadang dihiasi dengan benang emas atau perak,
yang ditambahkan sebagai pakan tambahan selama proses menenun
berlangsung. Beberapa dari wastra ini, terutama dari Bali dan Donggala
(Sulawesi Tengah), dapat diberi warna menggunakan alat menyerupai
kuas pada area tertentu yang dikehendaki, sedangkan latar belakangnya
diwarnai dengan cara dicelup.
Atas: Salah satu gaya sarung perempuan Sawu yang dapat dipakai oleh siapa saja asal bukan untuk upacara; motifnya tidak mewakili kelompok tertentu. Ragam hias pada lajur lebar terdiri dari bentuk bunga di bagian tengah dan daun-daun yang menjulur ke luar dari kedua sisinya yang dibuat bergaya arabesk dengan teknik ikat lungsi. Nusa Tenggara Timur. Setelah tahun 1990. Koleksi Museum Nasional Indonesia.
Sebelah Kanan: Bagian bawah sarung perempuan dari Sikka, Flores. Motif rumit berbentuk persegi berukuran besar, dikenal sebagai korasang, berasal dari seni sulam Portugis yang dibawa oleh pendeta Katolik dan orang awam Portugis ke kepulauan Indonesia pada abad ke16. Nusa Tenggara Timur. Setelah tahun 1950. Koleksi Museum Tekstil DKI Jakarta.
2120 tradisi tenun ikat nusantara
Pembahasan tentang tenun ikat Indonesia kurang lengkap tanpa
menyinggung patola, wastra ikat ganda dari India. Patola dibawa ke
Indonesia oleh pedagang Gujarat yang juga memperkenalkan Islam, dan
dicirikan oleh kombinasi bentuk wajik, segitiga dan “bunga” segi delapan,
dan terbuat dari sutera. Pada waktu itu masyarakat Indonesia juga
membuat motif-motif sejenis, umumnya dengan teknik ikat tunggal, bukan
ikat ganda, menggunakan bahan katun, bukan benang sutera. Persamaan
ini dapat dihubungkan dengan dua faktor, yaitu penggunaan bahan yang
sama dan asimilasi pengaruh luar pada budaya setempat.
Patola dari India digunakan sebagai wastra ritual di berbagai tempat
di Indonesia. Paramita Abdurachman menyatakan bahwa di Aceh,
sebagai pelabuhan pertama untuk barang dagangan dari India, dan pada
kenyataannya semua pelabuhan dan kota-kota pesisir yang berada di
jalur perdagangan internasional, patola dan wastra sejenisnya pasti telah
digunakan secara luas. Motif pada wastra tersebut membuktikan adanya
pengaruh dari pertukaran barang. Pada ujung jalur perdagangan lainnya,
dia menyebutkan, di Sulawesi, di bagian utara Maluku, dan di Pulau Seram
dan Banda, ditemukan bukti nyata dan pengetahuan tentang penggunaan
patola. Di bagian utara Maluku dan Sulawesi, patola asli masih disimpan
sebagai benda pusaka yang hanya dikeluarkan pada upacara suci. Lebih
seringnya, fungsi tersebut mengacu pada upacara daur hidup.
Menurut G.P Rouffaer dalam bukunya Over Ikat’s, Tjinde’s, Patola’s end
Chinde’s, pengaruh Gujarat dapat diterima di Indonesia karena Indonesia
telah memiliki hiasan yang serupa dengan patola, dengan warna serta
ragam hias yang terinspirasi dari sisik ular sawah. Ragam hias patola
Sebelah Kiri: Benang lungsi maupun pakan diikat dan dicelup warna secara terpisah untuk membentuk motif di lungsi dan di pakan pada wastra dari Donggala, Sulawesi Tengah ini yang ditenun menggunakan benang rayon dan pewarna kimia. Untuk memberi kesan mewah, ditambahkan beberapa benang pakan emas pada kedua sisi lajur sempit yang membingkai kotak-kotak besar. Sekitar tahun 1985. Koleksi Judi Achjadi.
Kanan: Wastra ikat ganda geringsing dari Desa Tenganan, Bali. Untuk menghasilkan motif, benang pakan dan benang lungsi masing-masing diikat dan dicelup secara terpisah, kemudian ditenun bersama. Agar motifnya dapat terbentuk, benang pakan yang sudah bermotif disisipkan pada benang lungsi yang sudah bermotif dengan tekanan yang harus persis sama, suatu hal yang sangat sulit dilakukan. Wastra ini digunakan dengan berbagai cara pada upacara ritual. Sebelum tahun 1950. Koleksi Museum Tekstil DKI Jakarta.
2322 tradisi tenun ikat nusantara
ditemukan pada tenunan dari berbagai tempat di Indonesia, di antaranya
di Palembang, Bangka, Jawa, Bali, Flores, Sumba, Roti, dan Sawu di Nusa
Tenggara Timur, dan dahulu juga ditemukan di Minahasa (Sulawesi Utara).
Kemungkinan adanya hubungan antara tradisi ikat ganda di Desa
Tenganan di Bali dengan tradisi ikat ganda dari Gujarat belum dikaji
secara mendalam. Tenganan adalah sebuah desa di daerah pegunungan
yang secara tradisional hanya menenun satu jenis wastra saja, yaitu ikat
ganda geringsing yang terbuat dari kapas pintal tangan. Bahan kapas tidak
tumbuh ataupun dipintal di Tenganan, tetapi dibeli dari Pulau Nusa Penida
yang terletak di sebelah selatan Bali. Jika wastra impor patola dibuat dalam
jumlah besar di India dan diperdagangkan di Indonesia, geringsing hanya
ada di Bali dan dibuat khusus untuk upacara ritual dan keagamaan.
Tradisi tenun ikat ganda terus berkembang hingga saat ini. Tetapi
sayangnya, beberapa tradisi tenun ikat yang lain di Indonesia telah punah.
Di antaranya adalah kain kasang dari Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang
oleh Jasper digambarkan sebagai kain berbentuk panjang dan sempit yang
digunakan pada berbagai upacara. Seni tradisi lainnya yang juga punah
adalah tenun ikat lungsi yang dibuat oleh masyarakat Bantik dari Pulau
Bentenan dan kabupaten Ratahan di Minahasa Sulawesi Utara. Menurut
peneliti Belanda Hetty Nooy-Palm, kain Bentenan terakhir dibuat sekitar
Atas: Sarung ikat lungsi dari daerah Lio, Flores. Pengaruh wastra ikat patola dari India yang sangat dihargai pada masa kolonial terlihat jelas pada ragam hias di bagian tengah sarung. Wastra tenun dari Lio, Ende dan Sikka di Flores menunjukkan adanya pengaruh yang kuat dari patola pada ragam hias tenunan setempat. Nusa Tenggara Timur. Setelah tahun 1950. Koleksi Flores Ikat Art.
Sebelah Kanan: Ikat lungsi dulu pernah dibuat hampir di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Jawa Barat. Contoh yang sangat langka ini diperkirakan berasal dari awal abad ke-20, digunakan sebagai tirai dan panjangnya mencapai 14 meter. Disebut kain kasang, yang berarti kain tirai. Awal abad ke-20. Koleksi Museum Nasional Indonesia.
2524 tradisi tenun ikat nusantara
2726 tradisi tenun ikat nusantara
tahun 1880. Seperti halnya tenunan dari berbagai daerah di Indonesia,
ragam hias kain Bentenan dipengaruhi oleh patola (cinde, Bahasa
Indonesia). Di Minahasa, wastra tenun dengan ragam hias demikian
dikenal juga sebagai patola yang dikombinasikan dengan motif kait dan
kunci, yang membuatnya sedikit mirip dengan wastra buatan orang Iban
di pedalaman Kalimantan Barat dan Sarawak. Ragam hias lainnya memiliki
hubungan yang nyata dengan tenunan dari Maluku Tenggara dan Maluku
Barat Daya. Bagi Nooy-Palm dan J.E. Jasper motif geometris berbentuk
manusia dengan tangan terangkat mengingatkan pada motif tenun ikat
lungsi dari Pulau Leti, Kisar, dan Tanimbar.
Kain Bentenan memiliki warna dominan coklat, biru gelap, dan merah
anggur. Dipakai sebagai sarung oleh pendeta untuk ritual tertentu: bagian
bawahnya dihiasi dengan lonceng kecil. Terdapat indikasi bahwa wastra ini
mungkin dibuat untuk perempuan bangsawan, yang juga menggunakan
wastra impor seperti wastra dari India. Wastra yang dibuat dari kulit kayu
dan tenunan kasar dari serat alam biasanya digunakan masyarakat biasa
untuk memenuhi kebutuhan akan pakaian. Adaptasi yang cukup besar
terhadap budaya asing telah berlangsung di Minahasa pada khususnya,
yang pada akhirnya menggantikan unsur-unsur setempat, sehingga
beberapa di antaranya menjadi punah.
Hal. 24-25: Wastra yang ditenun oleh perempuan Bantik di Sulawesi Utara ini mungkin merupakan satu satunya dari jenisnya yang masih tersisa di dunia. Dibuat dari kapas pintal tangan yang halus dan diwarnai dengan ragam hias ikat lungsi yang rumit, menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia pada tahun 1885. Patola dari India merupakan wastra yang sangat berharga di Sulawesi Utara, sehingga bukan hal yang aneh melihat pengaruhnya pada wastra ini; ragam hiasnya oleh masyarakat setempat disamakan dengan kulit pyton, ular patola.
Atas: Para penenun bekerja menggunakan alat tenunnya di Besikama, Timor. Terlihat bahwa kaki mereka diletakkan pada ujung bingkai alat tenun. Dengan menekan kaki melawan bingkai dan secara bersamaan menarik diri kembali melawan ambin yang diletakkan di bagian belakang tubuh mereka, penenun menjaga lungsi tetap tegang saat dibutuhkan. 1909. Koleksi Leiden University Library, KITLV Digital Image Library.
Sebelah Kanan: Dahulu kala, penenun Aluna dari Pulau Seram di Maluku Tengah menenun wastra indah berwarna merah-biru-putih yang diberi hiasan menggunakan teknik ikat lungsi dan juga lompat lungsi. Motif-motifnya sangat sederhana, ditenun dari kapas dan juga serat tanaman lainnya. Maluku. Awal abad ke-20. Koleksi Georges Breguet.
2928
Hia
san
Pada
Ten
un I
kat
3130 tradisi tenun ikat nusantara
Hiasan Pada Tenun Ikat BAB II
Hiasan pada tenun ikat di Indonesia berhubungan dengan sejarah
kebudayaan Nusantara dan juga prasejarah. Nenek moyang tiba di
Indonesia pada zaman Neolitikum sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi.
Mereka membuat gerabah dari tanah lempung yang dikeringkan dan
menganyam daun dan serat dari pohon dan kayu sebagai wadah makanan.
Dengan menganyam bersama-sama berbagai jenis daun pandan, alang-
alang, dan rotan, mereka mampu memenuhi berbagai kebutuhan akan
barang-barang rumah tangga. Mereka juga menganyam benda tertentu
seperti keranjang, yang dapat digunakan untuk mengangkut barang-
barang. Keterampilan dasar yang mereka miliki ini adalah dasar menenun
wastra, yang didasarkan pada prinsip saling menganyam unsur-unsur tegak
atau vertikal dengan dengan unsur horizontal atau melintang.
Pada periode berikutnya yang disebut kebudayaan Dongson,
pembuatan perunggu telah dikembangkan. Dongson adalah nama sebuah
tempat di bagian utara Annam di mana sejumlah artefak ditemukan,
termasuk nekara yang berakhir di Indonesia dan digunakan dalam upacara
meminta hujan dan juga sebagai genderang perang. Keahlian membuat
perunggu juga dibawa ke Indonesia dari Asia Tenggara, menyebabkan
nekara dapat dibuat di tempat tertentu, yang kepemilikannya dianggap
sebagai lambang kehormatan yang tinggi.
Nekara dihiasi dengan ragam hias geometris berdasarkan bentuk
bentuk melingkar, berkelok-kelok, garis lurus, lingkaran, dan sebagainya,
menyerupai ragam hias yang ditemukan pada kapak upacara, juga pada
benda tembaga yang digunakan untuk upacara. Hiasan pada nekara yang
dibawa oleh nenek moyang ke Indonesia nampaknya memberi pengaruh
terhadap hiasan wastra di kepulauan Nusantara dan bercampur dengan
kepercayaan setempat bahwa alam memiliki kekuatan gaib.
Hal 28: Sepasang Dayak Benuaq dari Kalimantan Timur mengenakan pakaian yang ditenun dari serat daun sejenis anggrek liar, disebut doyo. Meskipun bahannya berasal dari serat alam dengan ragam hias ikat lungsi, warnanya berasal dari sumber kimia. Akhir abad ke-20.
Hal 29: Sabuk yang ditenun perempuan Dayak Iban di Kalimantan Barat sedang dipajang untuk dijual. Motifnya masih tradisional tetapi telah disederhanakan untuk mempersingkat waktu pembuatan. Abad ke-21.
Sebelah Kiri: Rompi cantik untuk perempuan Dayak Benuaq, terdiri dari selembar panjang wastra tenun doyo yang dilipat menjadi dua dan dijahit di kedua sisinya. Setelah tahun 1950. Koleksi Museum Tekstil DKI Jakarta.
3332 tradisi tenun ikat nusantara
Sebagai hiasan pada wastra, unsur-unsur ini dibuat dalam
bentuk geometris berbentuk binatang dengan kekuatannya
masing-masing: buaya, kadal, tokek melambangkan dunia bawah, dan
burung melambangkan dunia atas. Sedangkan kehidupan yang abadi
di ‘dunia lain’ dilambangkan oleh cabang-cabang dan daun-daun yang
rimbun dari pohon kehidupan yang memiliki batang besar di dunia dan
akarnya yang menyebar luas di dunia bawah. Nenek moyang digambarkan
dengan tangan dan kaki yang dibuka lebar. Garis-garis geometris yang
sering digunakan dalam komposisinya antara lain kait, garis lurus, garis
lengkung, segitiga, segi empat, dan persegi.
Wagner memperkirakan bahwa bentuk kait merupakan modifikasi dari
bentuk spiral dari Dongsong. Bentuk ini sering digunakan sebagai hiasan
pada wastra dari sudut pandang kesesuaian dengan teknik tenun. Dia
menambahkan bahwa kombinasi antara kait dan persegi atau wajik sering
ditambahkan dengan garis lurus, segitiga sama sisi, yang merupakan
kombinasi dari berbagai garis-garis berbentuk geometris. Kombinasi
tersebut tidak hanya memperkaya bentuk hiasan, tetapi juga berfungsi
untuk meniru bentuk manusia, buaya, kadal, bunglon, pohon, dan bentuk-
bentuk lainnya.
Tidak mudah untuk mengetahui apakah sebuah ornamen dibuat hanya
sebagai hiasan saja atau merupakan sebuah simbol khusus. Ketidakpastian
ini merupakan hasil dari waktu perkembangan yang lama sehingga makna
sesungguhnya dari obyek yang digambarkan telah dilupakan dan bentuknya
dibuat berbeda dari bentuk aslinya. Pada mulanya motif-motif yang
digunakan untuk menghias wastra tenun umumnya memiliki arti tertentu
atau terlihat abstrak. Ini disesuaikan dengan penggunaan bahan pakaian,
yang diperindah dengan ragam hias khusus untuk kesempatan tertentu.
Bawah: Kebebasan mengadaptasi wastra tradisional untuk penggunaan yang lebih luas, saat ini telah menghasilkan ragam hias dinamis yang indah, seperti yang terlihat pada selendang dari Sumba Timur ini dengan hiasan sepasang buaya yang dikelilingi oleh barisan figur berukuran kecil, kemungkinan burung yang terbang di bagian atas, dan sepasang kupu-kupu dalam bentuk yang unik di bagian bawah selendang. Koleksi Museum Nasional Indonesia.
Atas: Sebuah kampak upacara langka yang berasal dari Zaman Logam ditemukan di Pulau Roti di Nusa Tenggara Timur. Benda sejenis ini menunjukkan kelangsungan motif-motif tertentu melintasi zaman hingga saat ini. Koleksi Museum Nasional Indonesia.
Hal. 32 Kanan: Motif di lajur tengah selendang dari Sumba Timur ini terinspirasi oleh ragam hias wastra India dan singa yang berasal dari lambang kerajaan Eropa, tetapi motif ayam berasal dari lingkungan setempat yang memiliki peran penting sebagai binatang korban. Koleksi Museum Nasional Indonesia.
Konsep yang telah ada sejak zaman Neolitikum ini menjadi bagian
dari kepercayaan tradisional. Alam dan segala sesuatu di dalamnya
mempengaruhi kehidupan umat manusia dan penciptaannya. Tidak
ada satupun yang bebas dari kekuatan maha dahsyat dari unsur alam di
dalam lingkungan.
Aspek mistis dari alam ini dianggap dapat diwujudkan pada spesies
flora dan fauna tertentu, gunung, sungai, matahari, bintang-bintang, dan
sebagainya. Nenek moyang juga dipercaya dikaruniai dengan kekuatan
tertentu dan berlangsung di tempat pemujaan.
3534 tradisi tenun ikat nusantara
Selama masa kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia, unsur-unsur baru
dimasukkan ke dalam budaya setempat, terutama yang bermanfaat secara
estetika: perasaan keindahan dan kreatifitas. Flora dan fauna Indonesia
juga diperkenalkan pada seni hiasan setempat dalam hubungannya dengan
ajaran Hindu dan perilaku terhadap alam, bersama dengan hiasan yang
dipakai oleh Dewa-Dewa Hindu.
Islam, yang masuk ke Jawa pada saat Kerajaan Majapahit mengalami
keruntuhan pada akhir abad ke-15, juga telah memperkaya seni hias
Sebelah Kiri: Sebuah wastra sutera tua sangat indah dari Singaraja, Bali, yang dihiasi menggunakan teknik ikat pakan dan di kedua ujungnya diberi hiasan segitiga menyerupai daun dari benang emas. Bentuk segitiga merupakan motif tua asli Indonesia; figur pada wastra ini berasal dari epos Ramayana yang terkenal, dengan motif pohon kehidupan yang memisahkan tiap adegan. Koleksi Museum Nasional Indonesia.
setempat secara umum dan khususnya hiasan pada wastra tenun. Figur
manusia jarang terlihat pada seni Islam, karena penggambaran bentuk
mahluk hidup dilarang, tetapi gambar fauna dengan penekanan pada
bentuk burung muncul sebagai hiasan pada tenun ikat. Karya seni dalam
dunia Islam memiliki kencenderungan ke arah flora dan mengembangkan
bentuk melengkung geometris dan bentuk-bentuk yang serupa dengan
huruf Arab.
Ide-ide setempat tidak digantikan oleh ide-ide baru ini. Pada
kenyataannya, muncul kreasi baru yang berasal dari ajaran Hindu,
meresap dengan ciri-ciri prasejarah. Wujudnya dapat sama, tetapi
maknanya berbeda. Salah satu contohnya adalah segitiga sama kaki yang
kadang-kadang disebut tumpal, di Indonesia telah dikenal sejak zaman
prasejarah tetapi juga ditemukan pada seni ragam hias Indonesia-Hindu
yang melambangkan Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan dan juga istri
Dewa Wisnu. Pada saat yang bersamaan ini merupakan penyederhanaan
dari bentuk pucuk rebung yang melambangkan kekuatan yang tumbuh
dari dalam. Sementara yang lain melihatnya sebagai gambaran abstrak
dari manusia.
Epos Hindu Mahabarata merupakan salah satu sumber dari berbagai
cerita wayang kulit di Jawa dan Bali. Tokoh wayang pada wastra ikat ganda
geringsing dari desa Tenganan di Bali Timur dipercaya melambangkan
dewa-dewa Hindu. Para dewa ini digambarkan berpasangan yang diatur
di sekitar tiga motif berbentuk bintang yang mendominasi bagian tengah
geringsing. Mereka juga ditemukan pada wastra ikat pakan, endek, yang
diterjemahan sebagai Rama, Shinta, dan kera putih Hanoman dari epos
Hindu lainnya, Ramayana, yang diangkat dalam pentas wayang. Endek
sering digabungkan dengan motif-motif geometris yang dibuat dengan
teknik songket.
3736
Ikat
Dal
am K
ehid
upan
Mas
yara
kat
3938 tradisi tenun ikat nusantara
Wastra merupakan bagian dari kehidupan manusia dan telah dikenal
sejak zaman prasejarah, sebagai suatu perkembangan penutup tubuh,
setelah penggunaan rumput dan kain kulit kayu. Sebagai sebuah kebutuhan,
wastra terhubung dengan semua kebutuhan sehari-hari, bersama-sama
dengan makanan, minuman dan tempat tinggal, dan merupakan bagian
yang tidak dapat dipisahkan. Ikat, yang merupakan teknik pewarnaan atau
hiasan, dikembangkan sebagai suatu cara untuk menghias wastra tenun
yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan paling dasar sebagai penutup
tubuh manusia.
Wastra juga memiliki fungsi khusus dalam aspek sosial, ekonomi,
agama, estetika, dan aspek-apek lainnya dalam kehidupan masyarakat.
Wastra dapat memiliki arti penting secara sosial sebagai penanda status,
dikenakan sebagai pakaian oleh kepala adat, kepala suku, pahlawan,
pendeta dan dukun, dan menunjuk apakah pemakai laki-laki atau
perempuan, sudah menikah, belum menikah atau janda, sudah atau belum
akil balig, siap untuk menikah atau sudah berhenti menstruasi, orang tua
yang sangat dihormati dan lain sebagainya. Desain pada wastra, seperti
yang dibuat menggunakan teknik ikat, sering dihubungkan juga dengan
hal-hal yang bersifat spiritual, etika, dan filsafat dari masyarakat.
Wastra ikat merupakan jenis wastra yang paling banyak digunakan
sebagai pakaian sehari-hari, upacara ritual, dan pesta di Indonesia, di
luar Jawa. Pakaian yang dibuat dari wastra ini berupa sarung, selendang
berukuran besar dan kecil, dan beberapa bentuk tradisional lainnya.
Wastra tersebut umumnya ditenun menggunakan alat tenun gedhog di
mana penenunnya duduk di lantai, tetapi saat ini banyak dibuat dengan
alat tenun yang lebih modern di mana penenunnya duduk di bangku, dan
bahkan dibuat menggunakan alat tenun mesin.
Ikat Dalam Kehidupan Masyarakat BAB III
Hal. 36: Gadis-gadis muda dari Tenganan Bali mengenakan busana untuk tari ritual Rejang
Hal. 37: Tumpukan wastra ikat ganda dari Tenganan yang sangat terkenal.
Sebelah Kiri: Para dukun, rato, dan para pembantunya duduk dalam pertemuan di Sumba Timur, mengenakan ikat kepala berwarna hitam-merah dan selendang ikat lungsi di atas baju dan celana pendek. Abad ke-21.
4140 tradisi tenun ikat nusantara
Kepemilikan sejumlah besar wastra umumnya sangat
dihormati di Indonesia, karena dapat meningkatkan
martabat pemiliknya dan sebagai simbol kekayaan. Bahkan
motif tertentu dapat berfungsi sebagai hak istimewa
keluarga atau suku tertentu, yang diwariskan dari generasi
ke generasi, dan dijaga oleh kaum perempuan di dalam
keluarga tersebut. Di Pulau Sumba di Nusa Tenggara
Timur, wastra yang paling berharga disimpan bersama-
sama dengan benda-benda pusaka lainnya persis di bawah
atap rumah tradisional yang menjulang tinggi. Hal ini
disebabkan karena bagian atap merupakan rumah dari
marapu, arwah para leluhur. Hanya tokoh tertentu saja
yang diperbolehkan melihat harta karun marapu, demikian
mereka menyebutnya.
Ketika terjadi kesepakatan pernikahan antara dua
keluarga, kedua belah pihak melakukan pertukaran benda-
benda yang memiliki makna simbolis. Keluarga calon
mempelai laki-laki akan memberikan kuda, karena kuda
merupakan ranah laki-laki, sedangkan wastra identik
dengan dunia perempuan. Selama berlangsungnya
musyawarah yang dapat memakan waktu berbulan-
bulan, kedua macam benda tersebut dipertukarkan
dalam beberapa kali kesempatan. Keluarga pihak laki-
laki akan menyerahkan sejumlah kuda dan benda-benda
yang terbuat dari logam (perhiasan emas) sesuai dengan
kesepakatan, yang akan dibalas oleh keluarga calon
Atas: Beberapa teknik hias digunakan untuk menenun sarung dari Sumba Timur ini. Di bagian atas, burung yang ketakutan mencoba untuk menghindar dari naga Cina di bawahnya, dibuat dengan aplikasi kerang; di bawahnya, buaya, kuda dan kemungkinan ular sendok dibuat dengan teknik lungsi tambahan; di bagian bawah dengan ikat lungsi, sebuah pohon tengkorak dan pohon palem yang berbunga. Wastra seperti ini dibuat berdasarkan permintaan kolektor dan pelanggan asing. Abad ke-21. Koleksi Julius H. Prawira - Sumba Art.
Sebelah Kanan: Sebuah selimut laki-laki buatan baru dari Sumba Timur yang diberi hiasan ikat lungsi. Saat ini, desain dari Sumba penuh ekspresi, seperti gertakan binatang yang terdapat pada lajur putih dan burung onta dengan kepalanya dalam tanah. Abad ke-21. Koleksi Julius H. Prawira - Sumba Art.