tradisi tenun ikat nusantarababbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15...

21
TRADISI TENUN IKAT NUSANTARA BAB PUBLISHING INDONESIA

Upload: lythu

Post on 20-May-2018

265 views

Category:

Documents


6 download

TRANSCRIPT

Page 1: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

TRADISI TENUN IKATN U S A N T A R A

BAB PUBLISHING INDONESIA

Page 2: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

2

BENNY GRATHA & JUDI ACHJADI

Page 3: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

54 tradisi tenun ikat nusantara

Didukung oleh:

KEMENTERIAN PARIWISATA REPUBLIK INDONESIAGedung Sapta PesonaJl. Medan Merdeka Barat No. 17Jakarta 10110Tel. 021 383 8167Fax. 021 384 9715

Penulis & Penyunting Umum:Benny GrathaJudi Achjadi

Penata Artistik:Rafli L. Sato

Pengelola Tata Letak:Samsuri

Koordinator Produksi:Aris Siswandi

Diterbitkan oleh:BAB PUBLISHING INDONESIAwww.babbooks.com

Cetakan Pertama, 2016

Dilarang mereproduksi seluruh maupun sebagian isi buku ini dalam bentuk apapun, elektronik maupun media cetak, termasuk dalam sistem penyimpanan dan kearsipan, tanpa izin tertulis dari penerbit. Hak cipta dilindungi undang-undang.

ISBN 978-979-8926-33-4

7

PrakataMenteri Pariwisata

13

Tradisi Tenun Ikat

31

Hiasan Pada Tenun Ikat

39

Ikat Dalam Kehidupan Masyarakat

53

Ikat di Kepulauan Nusantara

144

Daftar Pustaka

148Daftar Istilah

daftar isi

Hal 2: Penenun Sumba Timur sangat terampil menggunakan teknik ikat lungsi untuk menghasilkan gambar-gambar yang hidup dan memanjakan mata. Koleksi Istimewa.

Hal 5: Di tanah Batak, Sumatra Utara, teknik ikat lungsi menghasilkan motif-motif geometris sederhana atau ragam hias acak mirip hujan gerimis. Koleksi Torang Sitorus.

Hal 6: Bagian dari rok perempuan yang ditenun oleh perempuan Dayak Iban di Putussibau, Kalimantan Barat. Koleksi Kumang Pegari.

Page 4: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

76 tradisi tenun ikat nusantara

Sekapur SirihMENTERI PARIWISATA, REPUBLIK INDONESIA

Dr. Ir. ARIEF YAHYA, M.Sc

Sebagai negara yang diberkahi dengan kekayaan budaya yang melimpah, Indonesia menawarkan beragam tradisi yang diwariskan dari

satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi-tradisi yang sangat mengagumkan tersebut sebagian besar masih dipraktekkan dan bahkan

sangat dihargai di zaman modern ini. Salah satu tradisi tersebut adalah keterampilan dan budaya tenun tradisional yang beberapa di antaranya

diperkenalkan kepada masyarakat setempat di wilayah Nusantara oleh para pedagang asing dari daratan Asia Tenggara dan dari daerah yang

lebih jauh lagi. Budaya wastra Indonesia mencakup beragam teknik; salah satunya yang paling dikenal adalah teknik rintang warna, yang secara

universal disebut sebagai tenun ikat.

Teknik ikat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia, di antaranya di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Jawa, dan di beberapa tempat

lainnya. Tenun ikat bukan hanya selembar wastra biasa, namun memiliki peran penting dalam kehidupan masyarakat pembuatnya. Ikat dengan

beragam warna dan simbol mencerminkan kehidupan masyarakat di mana wastra ikat tersebut digunakan. Banyak hal yang dapat diungkapkan

sehubungan dengan budaya masyarakatnya, dari upacara adat mereka, hingga tata cara mereka berkomunikasi satu dengan lain dan juga

dengan dunia luar. Secara singkat hal tersebut mencerminkan karakter masing-masing masyarakat, sehingga merupakan komponen yang

sangat penting dari budaya Indonesia.

Buku ini diterbitkan dengan tujuan untuk mengeksplorasi budaya tenun ikat di Indonesia yang sulit. Budaya tenun ikat di setiap daerah akan

dibahas secara menyeluruh. Setiap perbedaan disebutkan dan diberi penjelasan yang memadai, serta perkembangannya juga dianalisa dengan

detail. Buku ini dimaksudkan untuk menjadi pengantar yang seksama tentang kekayaan tenun ikat di Indonesia.

Saya berharap buku ini dapat menggugah perhatian masyarakat Indonesia dan masyarakat lain untuk lebih mengenal kebudayaan mereka.

Saya juga berharap buku ini dapat menjadi inspirasi bagi generasi muda agar lebih banyak terlibat dalam budaya mereka sendiri dan menjadi

lebih kreatif. Selain itu juga berharap bahwa memproduksi literatur tentang tenun ikat akan bermanfaat bagi jutaan perajin yang bersahaja dan

para perempuan pembuat wastra yang agung ini, sehingga tradisi adiluhung ini dapat terus berlangsung di masa yang akan datang.

Akhir kata, dengan peluncuran buku ini diharapkan pengembangan tenun ikat akan berkelanjutan dan dapat membantu Indonesia untuk

memperoleh pengakuan yang layak dari dunia bahwa zaman keemasan wastra tenun telah berlangsung di Nusantara di mana masyarakat

setempatlah yang menemukan ragam hias asli, simbol, dan warna. Masyarakat Indonesia mungkin tidak menemukan seluruh teknik wastra,

tetapi kita tentunya telah mengembangkan seluruh budaya wastra yang datang bersama mereka. Dan hal ini akan terus berlanjut.

Salam Pesona Indonesia !!!

Page 5: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

LAUT CINA SELATAN

SAMUDERA PASIFIK

FILIPINA

Jawa

SAMUDERA HINDIA

Seram

Papua

KAMBOJA

Papua Barat

MalukuJakarta

SelayarMakassar

98

Peta sebaran produksi Tenun Ikat di Indonesia

Page 6: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

1110

Trad

isi T

enun

Ika

t

Page 7: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

13tradisi tenun ikat nusantara12

Tradisi Tenun Ikat

Indonesia terkenal akan keanekaragaman teknik tenunnya yang sangat

mengagumkan, sehingga memiliki tempat yang sangat istimewa dalam

dunia wastra. Terletak di persimpangan jalur migrasi kuno dan kemudian

menjadi rute perdagangan melalui Asia dan Pasifik, kepulauan Nusantara

berada di bawah pengaruh budaya asing yang berasal dari daratan tenggara

Asia dan bahkan lebih jauh lagi. Pendatang dari Cina, India, Persia, Mesir,

negara-negara di Asia Barat Daya, dan Eropa yang singgah ke pulau-pulau

di Nusantara membawa serta budaya mereka yang memberikan pengaruh

terhadap budaya setempat. Wastra merupakan bagian yang tidak terpisahkan

dari lalu lintas perdagangan ini dan sangat dipengaruhi oleh teknik dan

ide-ide yang berasal dari persilangan budaya negara-negara tersebut.

Masyarakat setempat menyerap dan menafsirkan budaya asing tersebut dan

mengembangkannya hingga pada tingkat yang kadang lebih baik dari aslinya.

Hal inilah yang menyebabkan wastra Indonesia ditempatkan di antara wastra-

wastra terbaik di dunia, yang telah disebutkan pada buku-buku yang ditulis

oleh para peneliti tentang wastra yang diterbitkan sejak awal abad ke-20.

Di antara berbagai budaya wastra Indonesia yang sangat beragam, teknik

rintang warna, yang secara universal mengacu pada tenun ikat, selain batik,

adalah teknik yang paling dikenal. Kata ‘ikat’ berasal dari Bahasa Melayu berarti

mengikat. Pada proses ini, bagian benang yang tidak boleh terkena warna

pada proses pencelupan, diikat kuat-kuat menggunakan serat alam yang dapat

menahan pewarna agar tidak dapat menembus ke dalam serat-serat benang.

Setelah proses pencelupan selesai, ikatan dilepas dan akan dihasilkan ragam

hias berwarna putih di atas benang berwarna. Teknik ikat dapat diterapkan

pada benang pakan maupun benang lungsi. Bahkan pada kasus yang sangat

jarang, ikat diterapkan pada kedua benang pakan dan lungsi dalam satu kain.

BAB I

Hal. 10: Penenun dari Sumba Barat melakukan percobaan membuat desain baru dengan teknik ikat lungsi untuk dijual di pasar setempat. Wastra tenun berukuran sempit seperti ini laku dijual karena dapat digunakan dengan berbagai cara dan gampang dibawa.

Hal. 11: Hinggi yang dipajang untuk dijual. Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur. Abad ke-21.

Sebelah kiri: Tiga perempuan Batak sedang menenun bagian-bagian dari ulos ragidup. Di sebelah paling kanan adalah bagian tengah ulos, berupa garis-garis yang seringkali dilengkapi dengan lajur ikat lungsi dan songket di kedua ujungnya. Perempuan di tengah sedang menenun dua bidang sisi dengan beberapa pita lungsi tambahan di sisi bagian dalamnya. Sumatra Utara, sekitar tahun 1940. Koleksi Leiden University Library, KITLV Digital Image Library.

Page 8: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

1514 tradisi tenun ikat nusantara

Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi,

sedangkan jika benang pakan yang diberi hiasan dinamakan ikat

pakan. Pada ikat ganda, benang pakan dan benang lungsi masing-

masing diikat dan dicelup warna secara terpisah untuk membentuk

ragam hias.

Bedrich Forman, dalam bukunya Batik and Ikat in Indonesia,

menjelaskan proses ikat sebagai ‘sebuah proses yang unik dan

memerlukan imajinasi, keterampilan khusus dan ketekunan

yang luar biasa’. Proses ikat dapat diibaratkan sebagai grafik

komputer yang memerlukan sejumlah perhitungan matematika yang

rumit. Perhitungan ini disimpan dalam ikatan yang divariasikan warnanya

sebagai kode kapan dibuka untuk warna baru; gambaran tentang motif

hanya ada di dalam benak orang yang mengikat, dan hanya akan terungkap

ketika benang lungsi telah diatur pada alat tenun.

Pekerjaan mengikat dan mencelup warna dilakukan sebelum proses

menenun berlangsung. Kapas hasil panen yang sudah dibersihkan dari

bijinya dan telah kering, kemudian dipukul-pukul agar mengembang, dan

dipintal menjadi benang menggunakan alat yang sederhana. Benang hasil

pintalan kemudian dipisahkan menjadi dua bagian, satu bagian digunakan

sebagai benang lungsi yang diatur secara vertikal pada alat tenun, dan

bagian lainnya sebagai benang pakan, yang akan ditenun secara horizontal

melewati benang lungsi. Benang lungsi atau pakan yang akan diberi hiasan

dengan teknik ikat, diatur pada sebuah bingkai, biasanya berbentuk X

dengan balok di bagian atas dan bawahnya, dan ragam hias diikatkan pada

benang yang direntangkan di bingkai tersebut. Benang yang sudah diikat

kemudian dicelup ke dalam larutan pewarna dan dikeringkan.

Ketika ikatan dilepas, akan muncul ragam hias berwarna putih (warna

asli benang) di atas latar berwarna, karena hanya bagian yang tidak diikat

yang dapat menyerap warna. Proses ini dapat diulang beberapa kali sesuai

dengan kebutuhan, sehingga menghasilkan berbagi kombinasi warna

yang diinginkan. Selanjutnya, benang yang sudah memiliki ragam hias

siap digunakan; benang lungsi dijalin pada alat tenun, sedangkan benang

pakan diatur pada teropong. Ketika benang lungsi sudah disusun pada

alat tenun, ragam hias akan terlihat secara utuh; benang pakan berwarna

tunggal dan tidak diberi hiasan. Sedangkan pada ikat pakan, benang lungsi

tanpa hiasan diatur pada alat tenun dan benang pakan yang sudah diberi

hiasan diatur pada teropong yang selanjutnya dianyamkan naik turun

pada benang lungsi. Pada proses ini, ragam hias hanya akan terlihat ketika

proses menenun telah selesai. Sebagai tambahan, dapat diberi hiasan

berupa garis-garis dengan cara mengganti warna benang pakan atau lungsi

yang tidak diikat secara bergantian.

Di Bali, teknik tenun ikat digunakan untuk menghasilkan ragam

hias positif atau negatif. Negatif berarti latar belakangnya yang diikat

untuk mencegah penyerapan zat warna, sedangkan motifnya berwarna,

merupakan kebalikan dari teknik yang telah dijelaskan sebelumnya.

Pulau Bali juga merupakan salah satu dari sangat sedikit tempat di

dunia di mana teknik ikat ganda masih digunakan. Pada ikat ganda,

benang pakan dan benang lungsi diikat dan diberi warna secara terpisah.

Diperlukan ketelitian dalam mengatur posisi benang lungsi pada alat tenun

dan benang pakan pada teropong, sehingga motif dari benang pakan dan

lungsi dapat bertemu pada satu titik untuk menghasilkan ragam hias yang

sempurna pada saat proses menenun berlangsung.

Atas: Sebagian wastra tenun yang belum selesai yang masih terpasang pada alat tenun gedhog dari Tanimbar, Maluku Tenggara. Tidak ditemukan adanya pengaruh asing pada wastra tradisional dari daerah terpencil ini, walaupun beberapa telah terlihat sejak adanya upaya pelestarian pembuatan wastra tradisional yang dimulai di awal tahun 1980-an. Sekitar tahun 1915. Koleksi Leiden University Library, KITLV Digital Image Library.

Sebelah Kanan: Di bagian atas, seorang perempuan di Lombok sedang memintal benang dari kapas menggunakan jentera buatan sendiri. Bawah: Dua perempuan muda di Troso dengan tekun mengikat ragam hias pada benang lungsi menggunakan rafia plastik (ikat lungsi).

Page 9: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

1716 tradisi tenun ikat nusantara

Proses mengikat dan menenun umumnya dikerjakan oleh

perempuan. Biasanya pekerjaan ini dilakukan oleh beberapa orang:

memintal benang dilakukan oleh seorang perempuan, mengikat

dan mencelup benang dilakukan oleh perempuan yang sudah

berpengalaman, dan perempuan lain yang akan menenun. Tetapi

dapat juga semua proses - dari memintal benang hingga menenun -

dikerjakan oleh orang yang sama.

Dahulu, sebelum memulai menenun, penenun harus melakukan

ritual tertentu, seperti berpuasa, mematuhi hal-hal yang bersifat

tabu, dan membuat sesajen untuk para leluhur atau dewa. Di

beberapa tempat, keahlian membuat tenun ikat dipercaya sebagai

anugerah dari Tuhan, dewa yang memberi inspirasi dan instruksi.

Hal ini berlaku di Bali, di mana ornamen-ornamen wastra ikat ganda

geringsing dari Desa Tenganan dipercaya dibuat dan diwarnai di

langit oleh Batara Indra.

Ikat lungsi tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia, di antaranya

di tanah Batak di Sumatra Utara; pulau Flores, Sumba, Roti, Sawu,

Ndao, dan Timor di Nusa Tenggara Timur, di Kalimantan, terutama

di daerah pedalaman, di Sulawesi di daerah Rongkong, Galumpang

dan Donggala, dan di kepulauan Maluku di sebelah selatan seperti

pulau Tanimbar dan Kisar. Sedangkan ikat pakan ditemukan di

daerah Palembang di Sumatra Selatan, di Bangka di pesisir timur

Sumatra, di Bali, Donggala di Sulawesi Tengah, di Sulawesi Selatan,

dan di Gresik serta Lamongan di Jawa Timur. Ikat ganda, seperti

telah disebutkan, hanya dibuat di Desa Tenganan di Bali Timur.

Sebelah Kiri: Ulos Mangiring dari Batak Toba memiliki ragam hias ikat lungsi sederhana menyerupai panah. Mangiring berarti mengikuti. Ragam hias pada wastra ini, yang dipakai saat upacara kelahiran, mengungkapkan harapan agar memiliki banyak keturunan, yang digambarkan dengan barisan motif berbentuk kepala panah. Sumatra Utara. Abad ke-20. Koleksi Museum Tekstil DKI Jakarta.

Atas: Dua perempuan muda sedang membantu temannya bersiap-siap menenun, memastikan bahwa benang lungsi berada pada tempat yang benar. Salah satu ujung alat tenun diikatkan pada tiang di bawah rumah. Ujung lainnya ‘diikatkan’ di badan penenun oleh ambin yang dikencangkan di bagian belakang tubuhnya. Koleksi Leiden University Library, KITLV Digital Image Library.

Page 10: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

1918 tradisi tenun ikat nusantara

Kata ‘ikat’ diperkenalkan ke dalam perbendaharaan tenun di Eropa

oleh Prof. A.R. Hein pada tahun 1880, menurut Haddon. Kata tersebut

kemudian diadaptasi ke dalam kamus Belanda menjadi ikatten, dan dalam

Bahasa Inggris sebagai ikat, yang memiliki arti proses dan juga wastra yang

dihasilkan dari proses tersebut. Semua ikat lungsi memiliki kesamaan dan

juga ciri-ciri kedaerahan. Terlihat adanya kemiripan dalam gaya, teknik, dan

hiasan, yang kesemuanya berhubungan dengan sejarah dan latar belakang

budaya sebuah komunitas. Beberapa faktor, seperti letak geografis (daerah

terpencil), topografi (medan yang sulit), dan unsur budaya setempat yang

lebih tua (yang masih bertahan), berperan dalam melestarikan budaya

sebuah komunitas, misalnya teknik-teknik tenun khusus. Menurut L.

Langewis, hiasan pada wastra yang dibuat oleh masyarakat yang menenun

dengan teknik ikat lungsi menunjukkan bahwa teknik tersebut berasal

dari masyarakat yang kurang mendapat pengaruh teknik dan ragam hias

wastra impor. Dia memberi contoh ikat lungsi dari Batak, Dayak, Toraja,

dan Sumba dan meletakkan daya tahan unsur-unsur setempat pada

sedikitnya kepentingan yang dimiliki komunitas-komunitas tersebut bagi

dunia perdagangan. Pada kenyataannya, unsur-unsur baru merupakan

hasil dari adanya perdagangan yang intensif dan masuknya wastra impor.

Ikat pakan relatif baru dikenal di Indonesia. Beberapa ciri tenun ikat

pakan telah dikenal pada masa sejarah, ketika kapas mulai digunakan untuk

menenun. Tetapi tenun ikat pakan yang menggunakan benang sutera lebih

dikenal saat ini. Awalnya sutera diimpor dari Cina, kemudian penduduk asli

Indonesia mulai menanam pohon murbei dan membudidayakan ulat sutera

sendiri. Dengan demikian perkembangan ikat pakan berhubungan dengan

benang sutera impor yang diperoleh dari pedagang-pedagang Muslim

India yang datang di daerah pesisir Indonesia pada abad ke-15, terutama

di daerah pesisir bagian timur Sumatra, di bagian utara Jawa, dan bagian

barat Sulawesi. Para pedagang ini juga lah yang membawa benang emas

dan perak yang sering dikombinasikan dengan ikat pakan di Indonesia.

Indonesia telah melakukan hubungan dagang yang intensif dengan

negara-negara Asia lainnya pada masa sejarah. Kehadiran barang-barang

impor tersebut telah memperbanyak variasi teknik tenun dan hiasan

wastra. Pengaruh Hindu dan Budha masuk ke Indonesia melalui jalur

perdagangan sekitar abad ke-4 dan pengaruh Islam masuk sekitar abad

ke-15; masing-masing menjadi agama baru sebagai panduan hidup yang

mengatur perilaku para pengikutnya dan menyerap pada budaya setempat.

Ikat pakan memiliki penampilan yang cerah dengan warna-warna

yang memikat dan kadang dihiasi dengan benang emas atau perak,

yang ditambahkan sebagai pakan tambahan selama proses menenun

berlangsung. Beberapa dari wastra ini, terutama dari Bali dan Donggala

(Sulawesi Tengah), dapat diberi warna menggunakan alat menyerupai

kuas pada area tertentu yang dikehendaki, sedangkan latar belakangnya

diwarnai dengan cara dicelup.

Atas: Salah satu gaya sarung perempuan Sawu yang dapat dipakai oleh siapa saja asal bukan untuk upacara; motifnya tidak mewakili kelompok tertentu. Ragam hias pada lajur lebar terdiri dari bentuk bunga di bagian tengah dan daun-daun yang menjulur ke luar dari kedua sisinya yang dibuat bergaya arabesk dengan teknik ikat lungsi. Nusa Tenggara Timur. Setelah tahun 1990. Koleksi Museum Nasional Indonesia.

Sebelah Kanan: Bagian bawah sarung perempuan dari Sikka, Flores. Motif rumit berbentuk persegi berukuran besar, dikenal sebagai korasang, berasal dari seni sulam Portugis yang dibawa oleh pendeta Katolik dan orang awam Portugis ke kepulauan Indonesia pada abad ke16. Nusa Tenggara Timur. Setelah tahun 1950. Koleksi Museum Tekstil DKI Jakarta.

Page 11: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

2120 tradisi tenun ikat nusantara

Pembahasan tentang tenun ikat Indonesia kurang lengkap tanpa

menyinggung patola, wastra ikat ganda dari India. Patola dibawa ke

Indonesia oleh pedagang Gujarat yang juga memperkenalkan Islam, dan

dicirikan oleh kombinasi bentuk wajik, segitiga dan “bunga” segi delapan,

dan terbuat dari sutera. Pada waktu itu masyarakat Indonesia juga

membuat motif-motif sejenis, umumnya dengan teknik ikat tunggal, bukan

ikat ganda, menggunakan bahan katun, bukan benang sutera. Persamaan

ini dapat dihubungkan dengan dua faktor, yaitu penggunaan bahan yang

sama dan asimilasi pengaruh luar pada budaya setempat.

Patola dari India digunakan sebagai wastra ritual di berbagai tempat

di Indonesia. Paramita Abdurachman menyatakan bahwa di Aceh,

sebagai pelabuhan pertama untuk barang dagangan dari India, dan pada

kenyataannya semua pelabuhan dan kota-kota pesisir yang berada di

jalur perdagangan internasional, patola dan wastra sejenisnya pasti telah

digunakan secara luas. Motif pada wastra tersebut membuktikan adanya

pengaruh dari pertukaran barang. Pada ujung jalur perdagangan lainnya,

dia menyebutkan, di Sulawesi, di bagian utara Maluku, dan di Pulau Seram

dan Banda, ditemukan bukti nyata dan pengetahuan tentang penggunaan

patola. Di bagian utara Maluku dan Sulawesi, patola asli masih disimpan

sebagai benda pusaka yang hanya dikeluarkan pada upacara suci. Lebih

seringnya, fungsi tersebut mengacu pada upacara daur hidup.

Menurut G.P Rouffaer dalam bukunya Over Ikat’s, Tjinde’s, Patola’s end

Chinde’s, pengaruh Gujarat dapat diterima di Indonesia karena Indonesia

telah memiliki hiasan yang serupa dengan patola, dengan warna serta

ragam hias yang terinspirasi dari sisik ular sawah. Ragam hias patola

Sebelah Kiri: Benang lungsi maupun pakan diikat dan dicelup warna secara terpisah untuk membentuk motif di lungsi dan di pakan pada wastra dari Donggala, Sulawesi Tengah ini yang ditenun menggunakan benang rayon dan pewarna kimia. Untuk memberi kesan mewah, ditambahkan beberapa benang pakan emas pada kedua sisi lajur sempit yang membingkai kotak-kotak besar. Sekitar tahun 1985. Koleksi Judi Achjadi.

Kanan: Wastra ikat ganda geringsing dari Desa Tenganan, Bali. Untuk menghasilkan motif, benang pakan dan benang lungsi masing-masing diikat dan dicelup secara terpisah, kemudian ditenun bersama. Agar motifnya dapat terbentuk, benang pakan yang sudah bermotif disisipkan pada benang lungsi yang sudah bermotif dengan tekanan yang harus persis sama, suatu hal yang sangat sulit dilakukan. Wastra ini digunakan dengan berbagai cara pada upacara ritual. Sebelum tahun 1950. Koleksi Museum Tekstil DKI Jakarta.

Page 12: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

2322 tradisi tenun ikat nusantara

ditemukan pada tenunan dari berbagai tempat di Indonesia, di antaranya

di Palembang, Bangka, Jawa, Bali, Flores, Sumba, Roti, dan Sawu di Nusa

Tenggara Timur, dan dahulu juga ditemukan di Minahasa (Sulawesi Utara).

Kemungkinan adanya hubungan antara tradisi ikat ganda di Desa

Tenganan di Bali dengan tradisi ikat ganda dari Gujarat belum dikaji

secara mendalam. Tenganan adalah sebuah desa di daerah pegunungan

yang secara tradisional hanya menenun satu jenis wastra saja, yaitu ikat

ganda geringsing yang terbuat dari kapas pintal tangan. Bahan kapas tidak

tumbuh ataupun dipintal di Tenganan, tetapi dibeli dari Pulau Nusa Penida

yang terletak di sebelah selatan Bali. Jika wastra impor patola dibuat dalam

jumlah besar di India dan diperdagangkan di Indonesia, geringsing hanya

ada di Bali dan dibuat khusus untuk upacara ritual dan keagamaan.

Tradisi tenun ikat ganda terus berkembang hingga saat ini. Tetapi

sayangnya, beberapa tradisi tenun ikat yang lain di Indonesia telah punah.

Di antaranya adalah kain kasang dari Jawa Barat dan Jawa Tengah, yang

oleh Jasper digambarkan sebagai kain berbentuk panjang dan sempit yang

digunakan pada berbagai upacara. Seni tradisi lainnya yang juga punah

adalah tenun ikat lungsi yang dibuat oleh masyarakat Bantik dari Pulau

Bentenan dan kabupaten Ratahan di Minahasa Sulawesi Utara. Menurut

peneliti Belanda Hetty Nooy-Palm, kain Bentenan terakhir dibuat sekitar

Atas: Sarung ikat lungsi dari daerah Lio, Flores. Pengaruh wastra ikat patola dari India yang sangat dihargai pada masa kolonial terlihat jelas pada ragam hias di bagian tengah sarung. Wastra tenun dari Lio, Ende dan Sikka di Flores menunjukkan adanya pengaruh yang kuat dari patola pada ragam hias tenunan setempat. Nusa Tenggara Timur. Setelah tahun 1950. Koleksi Flores Ikat Art.

Sebelah Kanan: Ikat lungsi dulu pernah dibuat hampir di seluruh wilayah Indonesia, termasuk di Jawa Barat. Contoh yang sangat langka ini diperkirakan berasal dari awal abad ke-20, digunakan sebagai tirai dan panjangnya mencapai 14 meter. Disebut kain kasang, yang berarti kain tirai. Awal abad ke-20. Koleksi Museum Nasional Indonesia.

Page 13: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

2524 tradisi tenun ikat nusantara

Page 14: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

2726 tradisi tenun ikat nusantara

tahun 1880. Seperti halnya tenunan dari berbagai daerah di Indonesia,

ragam hias kain Bentenan dipengaruhi oleh patola (cinde, Bahasa

Indonesia). Di Minahasa, wastra tenun dengan ragam hias demikian

dikenal juga sebagai patola yang dikombinasikan dengan motif kait dan

kunci, yang membuatnya sedikit mirip dengan wastra buatan orang Iban

di pedalaman Kalimantan Barat dan Sarawak. Ragam hias lainnya memiliki

hubungan yang nyata dengan tenunan dari Maluku Tenggara dan Maluku

Barat Daya. Bagi Nooy-Palm dan J.E. Jasper motif geometris berbentuk

manusia dengan tangan terangkat mengingatkan pada motif tenun ikat

lungsi dari Pulau Leti, Kisar, dan Tanimbar.

Kain Bentenan memiliki warna dominan coklat, biru gelap, dan merah

anggur. Dipakai sebagai sarung oleh pendeta untuk ritual tertentu: bagian

bawahnya dihiasi dengan lonceng kecil. Terdapat indikasi bahwa wastra ini

mungkin dibuat untuk perempuan bangsawan, yang juga menggunakan

wastra impor seperti wastra dari India. Wastra yang dibuat dari kulit kayu

dan tenunan kasar dari serat alam biasanya digunakan masyarakat biasa

untuk memenuhi kebutuhan akan pakaian. Adaptasi yang cukup besar

terhadap budaya asing telah berlangsung di Minahasa pada khususnya,

yang pada akhirnya menggantikan unsur-unsur setempat, sehingga

beberapa di antaranya menjadi punah.

Hal. 24-25: Wastra yang ditenun oleh perempuan Bantik di Sulawesi Utara ini mungkin merupakan satu satunya dari jenisnya yang masih tersisa di dunia. Dibuat dari kapas pintal tangan yang halus dan diwarnai dengan ragam hias ikat lungsi yang rumit, menjadi koleksi Museum Nasional Indonesia pada tahun 1885. Patola dari India merupakan wastra yang sangat berharga di Sulawesi Utara, sehingga bukan hal yang aneh melihat pengaruhnya pada wastra ini; ragam hiasnya oleh masyarakat setempat disamakan dengan kulit pyton, ular patola.

Atas: Para penenun bekerja menggunakan alat tenunnya di Besikama, Timor. Terlihat bahwa kaki mereka diletakkan pada ujung bingkai alat tenun. Dengan menekan kaki melawan bingkai dan secara bersamaan menarik diri kembali melawan ambin yang diletakkan di bagian belakang tubuh mereka, penenun menjaga lungsi tetap tegang saat dibutuhkan. 1909. Koleksi Leiden University Library, KITLV Digital Image Library.

Sebelah Kanan: Dahulu kala, penenun Aluna dari Pulau Seram di Maluku Tengah menenun wastra indah berwarna merah-biru-putih yang diberi hiasan menggunakan teknik ikat lungsi dan juga lompat lungsi. Motif-motifnya sangat sederhana, ditenun dari kapas dan juga serat tanaman lainnya. Maluku. Awal abad ke-20. Koleksi Georges Breguet.

Page 15: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

2928

Hia

san

Pada

Ten

un I

kat

Page 16: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

3130 tradisi tenun ikat nusantara

Hiasan Pada Tenun Ikat BAB II

Hiasan pada tenun ikat di Indonesia berhubungan dengan sejarah

kebudayaan Nusantara dan juga prasejarah. Nenek moyang tiba di

Indonesia pada zaman Neolitikum sekitar 2.000 tahun sebelum Masehi.

Mereka membuat gerabah dari tanah lempung yang dikeringkan dan

menganyam daun dan serat dari pohon dan kayu sebagai wadah makanan.

Dengan menganyam bersama-sama berbagai jenis daun pandan, alang-

alang, dan rotan, mereka mampu memenuhi berbagai kebutuhan akan

barang-barang rumah tangga. Mereka juga menganyam benda tertentu

seperti keranjang, yang dapat digunakan untuk mengangkut barang-

barang. Keterampilan dasar yang mereka miliki ini adalah dasar menenun

wastra, yang didasarkan pada prinsip saling menganyam unsur-unsur tegak

atau vertikal dengan dengan unsur horizontal atau melintang.

Pada periode berikutnya yang disebut kebudayaan Dongson,

pembuatan perunggu telah dikembangkan. Dongson adalah nama sebuah

tempat di bagian utara Annam di mana sejumlah artefak ditemukan,

termasuk nekara yang berakhir di Indonesia dan digunakan dalam upacara

meminta hujan dan juga sebagai genderang perang. Keahlian membuat

perunggu juga dibawa ke Indonesia dari Asia Tenggara, menyebabkan

nekara dapat dibuat di tempat tertentu, yang kepemilikannya dianggap

sebagai lambang kehormatan yang tinggi.

Nekara dihiasi dengan ragam hias geometris berdasarkan bentuk

bentuk melingkar, berkelok-kelok, garis lurus, lingkaran, dan sebagainya,

menyerupai ragam hias yang ditemukan pada kapak upacara, juga pada

benda tembaga yang digunakan untuk upacara. Hiasan pada nekara yang

dibawa oleh nenek moyang ke Indonesia nampaknya memberi pengaruh

terhadap hiasan wastra di kepulauan Nusantara dan bercampur dengan

kepercayaan setempat bahwa alam memiliki kekuatan gaib.

Hal 28: Sepasang Dayak Benuaq dari Kalimantan Timur mengenakan pakaian yang ditenun dari serat daun sejenis anggrek liar, disebut doyo. Meskipun bahannya berasal dari serat alam dengan ragam hias ikat lungsi, warnanya berasal dari sumber kimia. Akhir abad ke-20.

Hal 29: Sabuk yang ditenun perempuan Dayak Iban di Kalimantan Barat sedang dipajang untuk dijual. Motifnya masih tradisional tetapi telah disederhanakan untuk mempersingkat waktu pembuatan. Abad ke-21.

Sebelah Kiri: Rompi cantik untuk perempuan Dayak Benuaq, terdiri dari selembar panjang wastra tenun doyo yang dilipat menjadi dua dan dijahit di kedua sisinya. Setelah tahun 1950. Koleksi Museum Tekstil DKI Jakarta.

Page 17: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

3332 tradisi tenun ikat nusantara

Sebagai hiasan pada wastra, unsur-unsur ini dibuat dalam

bentuk geometris berbentuk binatang dengan kekuatannya

masing-masing: buaya, kadal, tokek melambangkan dunia bawah, dan

burung melambangkan dunia atas. Sedangkan kehidupan yang abadi

di ‘dunia lain’ dilambangkan oleh cabang-cabang dan daun-daun yang

rimbun dari pohon kehidupan yang memiliki batang besar di dunia dan

akarnya yang menyebar luas di dunia bawah. Nenek moyang digambarkan

dengan tangan dan kaki yang dibuka lebar. Garis-garis geometris yang

sering digunakan dalam komposisinya antara lain kait, garis lurus, garis

lengkung, segitiga, segi empat, dan persegi.

Wagner memperkirakan bahwa bentuk kait merupakan modifikasi dari

bentuk spiral dari Dongsong. Bentuk ini sering digunakan sebagai hiasan

pada wastra dari sudut pandang kesesuaian dengan teknik tenun. Dia

menambahkan bahwa kombinasi antara kait dan persegi atau wajik sering

ditambahkan dengan garis lurus, segitiga sama sisi, yang merupakan

kombinasi dari berbagai garis-garis berbentuk geometris. Kombinasi

tersebut tidak hanya memperkaya bentuk hiasan, tetapi juga berfungsi

untuk meniru bentuk manusia, buaya, kadal, bunglon, pohon, dan bentuk-

bentuk lainnya.

Tidak mudah untuk mengetahui apakah sebuah ornamen dibuat hanya

sebagai hiasan saja atau merupakan sebuah simbol khusus. Ketidakpastian

ini merupakan hasil dari waktu perkembangan yang lama sehingga makna

sesungguhnya dari obyek yang digambarkan telah dilupakan dan bentuknya

dibuat berbeda dari bentuk aslinya. Pada mulanya motif-motif yang

digunakan untuk menghias wastra tenun umumnya memiliki arti tertentu

atau terlihat abstrak. Ini disesuaikan dengan penggunaan bahan pakaian,

yang diperindah dengan ragam hias khusus untuk kesempatan tertentu.

Bawah: Kebebasan mengadaptasi wastra tradisional untuk penggunaan yang lebih luas, saat ini telah menghasilkan ragam hias dinamis yang indah, seperti yang terlihat pada selendang dari Sumba Timur ini dengan hiasan sepasang buaya yang dikelilingi oleh barisan figur berukuran kecil, kemungkinan burung yang terbang di bagian atas, dan sepasang kupu-kupu dalam bentuk yang unik di bagian bawah selendang. Koleksi Museum Nasional Indonesia.

Atas: Sebuah kampak upacara langka yang berasal dari Zaman Logam ditemukan di Pulau Roti di Nusa Tenggara Timur. Benda sejenis ini menunjukkan kelangsungan motif-motif tertentu melintasi zaman hingga saat ini. Koleksi Museum Nasional Indonesia.

Hal. 32 Kanan: Motif di lajur tengah selendang dari Sumba Timur ini terinspirasi oleh ragam hias wastra India dan singa yang berasal dari lambang kerajaan Eropa, tetapi motif ayam berasal dari lingkungan setempat yang memiliki peran penting sebagai binatang korban. Koleksi Museum Nasional Indonesia.

Konsep yang telah ada sejak zaman Neolitikum ini menjadi bagian

dari kepercayaan tradisional. Alam dan segala sesuatu di dalamnya

mempengaruhi kehidupan umat manusia dan penciptaannya. Tidak

ada satupun yang bebas dari kekuatan maha dahsyat dari unsur alam di

dalam lingkungan.

Aspek mistis dari alam ini dianggap dapat diwujudkan pada spesies

flora dan fauna tertentu, gunung, sungai, matahari, bintang-bintang, dan

sebagainya. Nenek moyang juga dipercaya dikaruniai dengan kekuatan

tertentu dan berlangsung di tempat pemujaan.

Page 18: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

3534 tradisi tenun ikat nusantara

Selama masa kerajaan Hindu dan Budha di Indonesia, unsur-unsur baru

dimasukkan ke dalam budaya setempat, terutama yang bermanfaat secara

estetika: perasaan keindahan dan kreatifitas. Flora dan fauna Indonesia

juga diperkenalkan pada seni hiasan setempat dalam hubungannya dengan

ajaran Hindu dan perilaku terhadap alam, bersama dengan hiasan yang

dipakai oleh Dewa-Dewa Hindu.

Islam, yang masuk ke Jawa pada saat Kerajaan Majapahit mengalami

keruntuhan pada akhir abad ke-15, juga telah memperkaya seni hias

Sebelah Kiri: Sebuah wastra sutera tua sangat indah dari Singaraja, Bali, yang dihiasi menggunakan teknik ikat pakan dan di kedua ujungnya diberi hiasan segitiga menyerupai daun dari benang emas. Bentuk segitiga merupakan motif tua asli Indonesia; figur pada wastra ini berasal dari epos Ramayana yang terkenal, dengan motif pohon kehidupan yang memisahkan tiap adegan. Koleksi Museum Nasional Indonesia.

setempat secara umum dan khususnya hiasan pada wastra tenun. Figur

manusia jarang terlihat pada seni Islam, karena penggambaran bentuk

mahluk hidup dilarang, tetapi gambar fauna dengan penekanan pada

bentuk burung muncul sebagai hiasan pada tenun ikat. Karya seni dalam

dunia Islam memiliki kencenderungan ke arah flora dan mengembangkan

bentuk melengkung geometris dan bentuk-bentuk yang serupa dengan

huruf Arab.

Ide-ide setempat tidak digantikan oleh ide-ide baru ini. Pada

kenyataannya, muncul kreasi baru yang berasal dari ajaran Hindu,

meresap dengan ciri-ciri prasejarah. Wujudnya dapat sama, tetapi

maknanya berbeda. Salah satu contohnya adalah segitiga sama kaki yang

kadang-kadang disebut tumpal, di Indonesia telah dikenal sejak zaman

prasejarah tetapi juga ditemukan pada seni ragam hias Indonesia-Hindu

yang melambangkan Dewi Sri, dewi padi dan kesuburan dan juga istri

Dewa Wisnu. Pada saat yang bersamaan ini merupakan penyederhanaan

dari bentuk pucuk rebung yang melambangkan kekuatan yang tumbuh

dari dalam. Sementara yang lain melihatnya sebagai gambaran abstrak

dari manusia.

Epos Hindu Mahabarata merupakan salah satu sumber dari berbagai

cerita wayang kulit di Jawa dan Bali. Tokoh wayang pada wastra ikat ganda

geringsing dari desa Tenganan di Bali Timur dipercaya melambangkan

dewa-dewa Hindu. Para dewa ini digambarkan berpasangan yang diatur

di sekitar tiga motif berbentuk bintang yang mendominasi bagian tengah

geringsing. Mereka juga ditemukan pada wastra ikat pakan, endek, yang

diterjemahan sebagai Rama, Shinta, dan kera putih Hanoman dari epos

Hindu lainnya, Ramayana, yang diangkat dalam pentas wayang. Endek

sering digabungkan dengan motif-motif geometris yang dibuat dengan

teknik songket.

Page 19: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

3736

Ikat

Dal

am K

ehid

upan

Mas

yara

kat

Page 20: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

3938 tradisi tenun ikat nusantara

Wastra merupakan bagian dari kehidupan manusia dan telah dikenal

sejak zaman prasejarah, sebagai suatu perkembangan penutup tubuh,

setelah penggunaan rumput dan kain kulit kayu. Sebagai sebuah kebutuhan,

wastra terhubung dengan semua kebutuhan sehari-hari, bersama-sama

dengan makanan, minuman dan tempat tinggal, dan merupakan bagian

yang tidak dapat dipisahkan. Ikat, yang merupakan teknik pewarnaan atau

hiasan, dikembangkan sebagai suatu cara untuk menghias wastra tenun

yang dirancang untuk memenuhi kebutuhan paling dasar sebagai penutup

tubuh manusia.

Wastra juga memiliki fungsi khusus dalam aspek sosial, ekonomi,

agama, estetika, dan aspek-apek lainnya dalam kehidupan masyarakat.

Wastra dapat memiliki arti penting secara sosial sebagai penanda status,

dikenakan sebagai pakaian oleh kepala adat, kepala suku, pahlawan,

pendeta dan dukun, dan menunjuk apakah pemakai laki-laki atau

perempuan, sudah menikah, belum menikah atau janda, sudah atau belum

akil balig, siap untuk menikah atau sudah berhenti menstruasi, orang tua

yang sangat dihormati dan lain sebagainya. Desain pada wastra, seperti

yang dibuat menggunakan teknik ikat, sering dihubungkan juga dengan

hal-hal yang bersifat spiritual, etika, dan filsafat dari masyarakat.

Wastra ikat merupakan jenis wastra yang paling banyak digunakan

sebagai pakaian sehari-hari, upacara ritual, dan pesta di Indonesia, di

luar Jawa. Pakaian yang dibuat dari wastra ini berupa sarung, selendang

berukuran besar dan kecil, dan beberapa bentuk tradisional lainnya.

Wastra tersebut umumnya ditenun menggunakan alat tenun gedhog di

mana penenunnya duduk di lantai, tetapi saat ini banyak dibuat dengan

alat tenun yang lebih modern di mana penenunnya duduk di bangku, dan

bahkan dibuat menggunakan alat tenun mesin.

Ikat Dalam Kehidupan Masyarakat BAB III

Hal. 36: Gadis-gadis muda dari Tenganan Bali mengenakan busana untuk tari ritual Rejang

Hal. 37: Tumpukan wastra ikat ganda dari Tenganan yang sangat terkenal.

Sebelah Kiri: Para dukun, rato, dan para pembantunya duduk dalam pertemuan di Sumba Timur, mengenakan ikat kepala berwarna hitam-merah dan selendang ikat lungsi di atas baju dan celana pendek. Abad ke-21.

Page 21: TRADISI TENUN IKAT NUSANTARAbabbooks.com/assets/books/b54dca2f1a436e107052cb6891a8d7...14 tr a 15 Disebut ikat lungsi jika ragam hias diterapkan pada benang lungsi, sedangkan jika

4140 tradisi tenun ikat nusantara

Kepemilikan sejumlah besar wastra umumnya sangat

dihormati di Indonesia, karena dapat meningkatkan

martabat pemiliknya dan sebagai simbol kekayaan. Bahkan

motif tertentu dapat berfungsi sebagai hak istimewa

keluarga atau suku tertentu, yang diwariskan dari generasi

ke generasi, dan dijaga oleh kaum perempuan di dalam

keluarga tersebut. Di Pulau Sumba di Nusa Tenggara

Timur, wastra yang paling berharga disimpan bersama-

sama dengan benda-benda pusaka lainnya persis di bawah

atap rumah tradisional yang menjulang tinggi. Hal ini

disebabkan karena bagian atap merupakan rumah dari

marapu, arwah para leluhur. Hanya tokoh tertentu saja

yang diperbolehkan melihat harta karun marapu, demikian

mereka menyebutnya.

Ketika terjadi kesepakatan pernikahan antara dua

keluarga, kedua belah pihak melakukan pertukaran benda-

benda yang memiliki makna simbolis. Keluarga calon

mempelai laki-laki akan memberikan kuda, karena kuda

merupakan ranah laki-laki, sedangkan wastra identik

dengan dunia perempuan. Selama berlangsungnya

musyawarah yang dapat memakan waktu berbulan-

bulan, kedua macam benda tersebut dipertukarkan

dalam beberapa kali kesempatan. Keluarga pihak laki-

laki akan menyerahkan sejumlah kuda dan benda-benda

yang terbuat dari logam (perhiasan emas) sesuai dengan

kesepakatan, yang akan dibalas oleh keluarga calon

Atas: Beberapa teknik hias digunakan untuk menenun sarung dari Sumba Timur ini. Di bagian atas, burung yang ketakutan mencoba untuk menghindar dari naga Cina di bawahnya, dibuat dengan aplikasi kerang; di bawahnya, buaya, kuda dan kemungkinan ular sendok dibuat dengan teknik lungsi tambahan; di bagian bawah dengan ikat lungsi, sebuah pohon tengkorak dan pohon palem yang berbunga. Wastra seperti ini dibuat berdasarkan permintaan kolektor dan pelanggan asing. Abad ke-21. Koleksi Julius H. Prawira - Sumba Art.

Sebelah Kanan: Sebuah selimut laki-laki buatan baru dari Sumba Timur yang diberi hiasan ikat lungsi. Saat ini, desain dari Sumba penuh ekspresi, seperti gertakan binatang yang terdapat pada lajur putih dan burung onta dengan kepalanya dalam tanah. Abad ke-21. Koleksi Julius H. Prawira - Sumba Art.