tradisi pernikahan di masyarakat desa payudan...

105
TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN KARANGSOKON GULUK-GULUK SUMENEP (KAJIAN LIVING HADIS) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S. Ag) Oleh: Ahmad Mahfudz 1112034000032 PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1438 H/2017 M

Upload: dinhquynh

Post on 08-Mar-2019

226 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN

KARANGSOKON GULUK-GULUK SUMENEP

(KAJIAN LIVING HADIS)

Skripsi

Diajukan Kepada Fakultas Ushuluddin

Untuk Memenuhi Persyaratan dalam Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S. Ag)

Oleh:

Ahmad Mahfudz

1112034000032

PROGRAM STUDI ILMU AL-QUR’AN DAN TAFSIR

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)

SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1438 H/2017 M

Page 2: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v
Page 3: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v
Page 4: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v
Page 5: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

iv

ABSTRAK

Ahmad Mahfudz

Tradisi Pernikahan di Masyarakat Payudan Karangsokon Guluk-Guluk

Sumenep (Kajian Living Hadis) Pernikahan merupakan suatu cara yang dipilih dalam menyatukan dua

pasangan yang berbeda jenis, sehingga kemudian akan menjadi media terhadap

perkembangan manusia serta menghindari dari hawa nafsu. Sedangkan hadis

merupakan suatu bagian yang penting bagi masyarakat karena didalamnya

terungkap tentang berbagai tradisi pada masa Nabi. Salah satu tradisi pernikahan

yang mengakar di Masyarakat Karangsokon adalah tentang persetujuan

pernikahan yang kemudian seakan-akan mengambil hak berbicara dari seoarang

anak dalam menentukan pasangannya. Serta adanya sebuah upaya untuk

menentukan hari baik (Nyareh Dhinah Begus) setiap akan melangsungkan

pernikahan putrinya bahkan Masjid/Mushalla yang diyakini sebagai tempat suci

juga menjadi bagian untuk tempat berlangsunya pernikahan.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode Living Hadis yang

menggunakan pendekatan sosiologi karena yang menjadi obyek kajiannya adalah

masyarakat, kemudian untuk lebih mendukung penelitian ini maka penulis

menggunakan metode pengumpulan data yaitu dengan metode interview, metode

observasi dan metode dokumentasi. Data yang telah terkumpul kemudian

dideskripsikan secara alami dan dianalisis.

Setelah penulis melakukan penelitian, maka penulis dapat mengambil

kesimpulan bahwa dalam pelaksanaan pernikahan masyarakat Karangsokon

Guluk-Guluk Sumenep masih berdasar pada kepercayaan leluhur yang kemudian

diimbangai dengan dasar Islam. Seperti halnya dalam persetujuan pernikahan,

masyarakat merujuk terhadap hadis Nabi. Walaupun dalam hal tersebut tidak

sesuai dengan yang dianjurkan dalam pengamalannya untuk meminta persetujuan.

Sebab yang terjadi di Masyarakat adalah tidak meminta persetujuan, melainkan

hanya memberitahukan saja (formalitas) tanpa mengindahkan pada jawaban.

Sedangkan pada acara yang lain tidak demikian seperti halnya penentuan hari baik

(Nyareh Dhinah Begus) dalam pelaksanaan pernikahan, dimana acara akad nikah

dengan resepsi pernikahan dilakukan pada waktu yang sama. Kebiasaan

masyarakat Karangsokon ini dimaknai sebagai upaya menghilangkan rasa cemas

dan dapat memberikan keberkahan kepada kedua mempelai. Begitu pula dengan

mushalla yang biasa dijadikan sebagai tempat pernikahan, didasari hadis nabi

yang menganjurkan untuk mengumumkan pernikahan di Masjid/Mushalla.

Berdasar hal itu pula diharapkana kedua menpelai akan mendapatkan keberkahan

dari tempat yang oleh umat Islam dianggap sebagai tempat yang suci, sehingga

kemudian akan menjadikan keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah.

Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla

Page 6: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

v

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, segala puji bagi Allah Swt. Tuhan yang maha membolak

balikkan hati. Dialah yang maha pengasih dan penyayang kepada seluruh

makhluk yang ada di muka bumi. Hanya Dialah yang maha pemberi rahmat dan

maha menentukan atas segala seuatu yang terjadi di alam semesta termasuk

dengan selesainya penulisan skripsi ini. Salawatullah wa salamuhu saya haturkan

kepada Nabi Muhammad Saw. Karena berkat beliaulah saya masih bisa

menikmati adanya agama Islam.

Dalam penyelesaian tulisan ini tentunya juga disertai dengan peran serta

orang lain, seperti halnya keluarga, dosen, kerabat serta beberapa teman yang

selalu membantu baik dengan menyumbangkan ide dan memberikan motivasi

kepada saya. Oleh karenanya, saya mengucapkan terimakasih yang setinggi-

tingginya terhadap segala pihak yang terlibat dalam penulisan skripsi ini,

diantaranya:

1. Prof. Dr. Dede Rosyada, MA selaku rektor Universitas Islam Negeri (UIN)

Syarif Hidayatullah.

2. Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas Ushuluddin.

3. Dr. Lilik Ummi Kaltsum selaku Ketua Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.

Serta Terimakasih pula kepada Dra. Banun Binaningrum, M.Pd selaku

Sekretaris Jurusan Ilmu al-Qur’an dan Tafsir.

4. Terimakasih kepada segenap dosen serta seluruh civitas akademika yang

berada di lingkungan Fakultas Ushuluddin yang telah memberikan dukungan

dengan beberapa fasilitas yang disiapkan sehingga memudahkan penulis

ketika sedang membutuhkan sesuatu.

5. Dr. Muhammad Zuhdi Zaini, M, Ag. Beliau yang telah memberikan waktu

luangnya untuk bimbingan, memberikan saran dan kritikan pada penelitian

saya secara teliti demi maksimalnya penulisan skripsi ini. Semua bimbingan

yang telah beliau berikan sangat membantu bagi saya dalam penulisan ini.

6. Saya juga mengucapkan terima kasih kepada bapak Eva Nugraha, MA, selaku

dosen pembimbing akademik yang juga ikut berpartisipasi menyumbangkan

ide dan saran demi kelancaran skripsi ini.

Page 7: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

vi

7. Abah Ahmad Syafi’i, Lc dan Umik Thayyibah S.Pd.I serta kakak (Ahmad

Mas Udi, S.Si) dan adik-adik (Alfiyaturrahmaniyah dan Zahraa Zumaikaa)

yang telah memberikan support kepada saya, baik secara materi ataupun

nonmateri yang terkadang membuat saya menjadi terpacu untuk segera

menyelesaikan kuliah. Serta, merekalah yang selalu mengasuh, mendidik dan

juga selalu mendoakan dengan ikhlas dan penuh dengan kasih sayang kepada

saya.

8. Terimakasih juga kepada istri saya (Nailatur Riska Amaliya) yang sudah

menemani dan membatnu dalam proses penyelesaian skripsi ini. Serta tak

luput juga teruntuk anak saya (Fathimah Naura Qanita) yang juga membantu

dengan tingkah mungilnya.

9. Seluruh teman seperjuangan Prodi Tafsir Hadis angkatan 2012 baik dari kelas

A samapai dengan E yang terkadang juga menjadi teman diskusi,

memberikan saran serta mendengarkan keluh kesah dan kegalauan dalam

pembuatan skripsi ini mulai dari awal hingga sampai selesai.

10. Seluruh teman-teman kelompok KKN KREASI 2015, Fadhil, Atang, Anas,

Irfan, Riska, Harti, Mala, Ina, Dian, Ajip, Salma, dan Nuzroh yang telah

memanas-manasi saya dengan foto wisuda sering dipajang menandakan

bahwa mereka sudah lebih dulu lulus.

11. Tan-Taretan IMABA DPW Jabodetabek yang sebelumnya telah menampung

saya dan juga selalu menjadi teman diskusi pada setiap waktu ketika penulis

sudah mulai kebingunan untuk melanjutkan penelitian ini.

Tidak semua nama yang sudah berjasa dapat saya sebutkan disini, disebabkan

keterbatasan ruang. Oleh karenanya, saya ucapkan terimakasih kepada semua

pihak yang telah terlibat dalam penulisan skripsi ini . Semoga Allah Swt.

membalas dan mencatat segala bantuannya sebagai Amal perbuatan yang baik.

Amin.

Ciputat, 30 Maret 2017

Ahmad Mahfudz

Page 8: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

vii

PEDOMAN TRANSLITERASI

Transliterasi Arab-Latin yang digunakan dalam skripsi ini berpedoman

pada buku pedoman penulisan skripsi yang terdapat dalam buku Pedoman

Akademik Program Strata 1 tahun 2013-2014 UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

a. Padanan Aksara

Huruf Arab Huruf Latin Keterangan

tidak dilambangkan ا

b be ب

t te ت

ts te dan es ث

j je ج

h ha dengan garis di bawah ح

kh ka dan ha خ

d de د

dz de dan zet ذ

r er ر

z zet ز

s es س

sy es dan ye ش

s es dengan garis di bawah ص

d de dengan garis di bawah ض

t te dengan garis di bawah ط

z zet dengan garis di bawah ظ

koma terbalik di atas hadap kanan ´ ع

gh ge dan ha غ

f ef ف

q ki ق

k ka ك

l el ل

m em م

Page 9: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

viii

n en ن

w we و

h ha ه

apostrof ء

y ye ي

b. Vokal

Vokal dalam bahasa Arab, seperti vokal dalam bahasa Indonesia,

terdiri dari vocal tunggal atau monoftong dan vokal rangkap atau

diftong. Untuk vocal tunggal, ketentuan alihaksaranya adalah sebagai

berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

a fathah

i kasrah

u dammah

Ada pun untuk vokal rangkap, ketentuan alihaksaranya adalah

sebagai berikut:

Tanda Vokal Arab Tanda Vokal Latin Keterangan

ي ai a dan i

و au a dan u

Vokal Panjang

Ketentuan alihaksara vokal panjang (madd), yang dalam bahasa

Arab dilambangkan dengan harakat dan huruf, yaitu:

TandaVokal Arab TandaVokal Latin Keterangan

â a dengantopi di atas ى ا

î i dengantopi di atas ى ي

Page 10: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

ix

û u dengantopi di atas ىو

Kata Sandang

Kata sandang, yang dalam system aksara Arab dilambangkan

dengan huruf, yaitu ال, dialihaksarakan menjadi hurup /l/, baik diikuti

huruf syamsiyyah maupun huruf qamariyyah. Contoh: al-rijâl bukan ar-

rijâl, al-diwân bukan ad-diwân.

Syaddah(Tasydîd)

Syaddah atau tasydîd yang dalam system tulisan Arab

dilambangkan dengan sebuah tanda ( ), dalam alihaksara ini

dilambangkan dengan huruf, yaitu dengan menggandakan huruf yang

diberi tanda syaddah itu. Akan tetapi, hal ini tidak berlaku jika huruf yang

menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang yang diikuti oleh

huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya, kata رورة tidak ditulis ad-darûrah الض

melainkan al-darûrah, demikian seterusnya.

Ta Marbûtah

Berkaitan dengan alihaksara ini, jika huruf ta marbûtah terdapat

pada kata yang berdiri sendiri, maka huruf tersebut dialihaksarakan

menjadi huruf /h/ (lihat contoh 1 di bawah). Hal yang sama juga berlaku

jika ta marbûtah tersebut diikuti oleh kata sifat (na’t) (lihat contoh 2).

Namun, jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti kata benda (ism), maka

huruf tersebut dialihaksarakan menja dihuruf /t/ (lihat contoh 3).

Contoh:

No TandaVokal Latin Keterangan

tarîqah طريقة 1

Page 11: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

x

al-Jâmi’ah al-Islâmiyyah اجلامعة اإلسالمية 2

Wahdat al-wujûd وحدة الوجود 3

Huruf Kapital

Meski pun dalam sistem tulisan Arab huruf kapital tidak dikenal,

dalam alihaksara ini huruf kapital tersebut juga digunakan, dengan

mengikuti ketentuan yang berlaku dalam Ejaan Yang Disempurnakan

(EYD) bahasa Indonesia, antara lain untuk menuliskan permulaan kalimat,

huruf awal, nama tempat, nama bulan, nama diri, dan lain-lain. Penting

diperhatikan, jika nama diri didahului oleh kata sandang, maka yang

ditulis dengan huruf capital tetap huruf awal nama diri tersebut, bukan

huruf awal atau kata sandangnya. (Contoh: Abû Hâmid al-Ghazâlî bukan

Abû Hâmid Al-Ghazâlî, al-Kindi bukan Al-Kindi).

Beberapa ketentuan lain dalam EYD sebetulnya juga dapat

diterapkan dalam alihaksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak

miring (italic) atau cetak tebal (bold). Jika menurut EYD, judul buku itu

ditulis dengan cetak miring, maka demikian halnya dalam alihaksaranya.

Demikian seterusnya.

Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama tokoh yang

berasal dari dunia Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan

meskipun akar katanya berasal dari bahasa Arab. Misalnya ditulis

Abdussamad al-Palimbani, tidak ‘Abd al-Samad al-Palimbânî; Nuruddin

al-Raniri, tidak Nûr al-Dîn al-Rânirî.

Page 12: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

xi

DAFTAR ISI

HALAMAN SAMPUL …………………………………………………..

LEMBAR PENGESAHAN PEMBIMBING ……………………........... i

LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................... ii

PENGESAHAN PANITIAN UJIAN ….................................................... iii

ABSTRAK .................................................................................................. iv

KATA PENGANTAR ..................................................... ......................... v

PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................... vii

DAFTAR ISI .............................................................................................. xi

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ...................................................................

B. Permasalahan ....................................................................................

1. Identifikasi Masalah ...................................................................

2. Batasan Masalah .........................................................................

3. Rumusan Masalah ......................................................................

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .........................................................

D. Tinjauan Pustaka ...............................................................................

E. Metododologi Penelitian ...................................................................

F. Sistematika Penulisan .......................................................................

1

10

10

11

11

11

12

16

20

BAB II GAMBARAN UMUM DESA PAYUDAN KARANGSOKON

GULUK-GULUK SUMENEP

A. Sejarah Desa Payudan Karangsokon ………………………………

B. Letak Geografis Desa Payudan Karangsokon ..................................

C. Demografi Desa Payudan Karangsokon ...........................................

1. Pendidikan Masyarakat ...............................................................

2. Sosial budaya Masyarakat ...........................................................

3. Ekonomi Masyarakat ..................................................................

4. Keberagaman Masyarakat ...........................................................

23

24

25

26

27

28

31

BAB III PERNIKAHAN DI MASYARAKAT PAYUDAN

KARANGSOKON GULUK-GULUK SUMENEP

A. Sekilas Tentang Living Hadis ……………………………………

34

Page 13: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

xii

B. Sekilas Tentang Pernikahan .............................................................

C. Prosesi Pernikahan ...........................................................................

1. Mintah (Melamar) Perempuan ...................................................

a. Pengertian Khithbah ............................................................

b. Pendapat Para Ulama Tentang Persetujuan Pernikahan ......

2. Penentuan Waktu Pernikahan (Nyareh Dhinah Begus) .............

a. Perhitungan Jawa .................................................................

b. Hari Baik Dalam Islam .........................................................

3. Pelaksanaan Pernikahan .............................................................

a. Pengertian Walimah al-Urs ..................................................

b. Dasar Hukum Walimah al-Urs .............................................

36

39

39

39

40

47

47

49

51

51

53

BAB IV ANALISIS DAN PEMAHAMAN MASYARAKAT

TENTANG PERNIKAHAN DI DESA PAYUDAN

KARANGSOKON

A. Pemahaman Masyarakat Terhadap Persetujuan Pernikahan ...........

B. Makna Penentuan Waktu Pernikahan (Nyareh Dhinah Begus)

Menggunakan Perhitungan Jawa ....................................................

C. Pemahaman Masyarakat Terhadap Masjid Sebagai Tempat

Pelaksanaan Pernikahan ..................................................................

57

64

71

BAB V PENUTUP

A. Kesimpulan ........................................................................................

B. Saran ..................................................................................................

78

79

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 81

LAMPIRAN-LAMPIRAN

Page 14: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Tradisi (bahasa latin: traditio, artinya diteruskan) secara bahasa

bermakna adat kebiasaan turun-temurun (dari nenek moyang) yang masih

dijalankan masyarakat, baik yang menjadi adat kebiasaan atau yang

disesuaikan (peleburan) dengan ritual adat atau agama.1 Biasanya tradisi ini

berlaku secara turun temurun baik dari informasi lisan atau informasi tulisan

yang hal tersebut kemudian dapat tetap tergambar pada generasi berikutnya.

Manusia tidak dapat dilepaskan dari tradisi dan kebudayaan. Mulai dari

Cara berpakaian, cara makan, atau cara berbicara sebuah masyarakat serta

penilaian atau anggapan bahwa cara-cara yang telah ada merupakan yang

paling baik dan benar juga merupakan bagian dari tradisi dan kebudayaan

masyarakat tersebut.2

Sudah semestinya, masyarakat Islam berprilaku sebagaimana ajaran-

ajaran yang dijelaskan dalam al-Qur’an dan hadis. Namun fenomena yang ada

tidak selalu sama dengan apa yang semestinya dipraktikkan dan diamalkan

dalam kehidupan. Ada juga tradisi atau kebiasaan masyarakat Islam yang

dianggap menyimpang, tetapi masih dapat dilacak landasan normatifnya.

Misalnya seperti masalah peret kandung. Kita temui bahwa ada disebagian

daerah ketika kehamilan seorang perempuan memasuki bulan ke empat atau

ke tujuh diadakan upacara peret kandung, seperti halnya dimandikan dengan

air kembang, dipijat dan dibacakan beberapa surah al-Qur’an .3 Atau masalah

lain adalah tentang khitan perempuan. Tradisi khitan telah ditemukan jauh

sebelum Islam datang. Berdasarkan penelitian Ahmad Ramali yang dikutip

oleh M. Alfatih Suryadilaga menunjukkan bahwa khitan sudah pernah

dilakukan masyarakat pengembala di Afrika dan Asia Barat Daya, suku Semit

(Yahudi dan Arab) dan Hamit. Mereka yang dikhitan tidak hanya laki-laki,

1 KBBI 2 Hasbullah Bakry, Pedoman Islam di Indonesia (Jakarta: UI Press, 1990), h. 371-372 3 Rafi’uddin, Pembacaan Ayat-Ayat al-Qur’an Dalam Upacara Peret Kandung (Studi

Living Qur’an di Desa Poteran Kec. Talango Kab. Sumenep Madura), (Skripsi S1 Fakultas

Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2013)

Page 15: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

2

tetapi juga kaum perempuan, khususnya kebanyakan dilakukan suku negro di

Afrika Selatan dan Timur.4

Pada sisi yang lain, masyarakat Islam juga mengalami proses interaksi

dengan sunnah-sunnah Rasulullah Saw yang dibukukan dalam kitab-kitab

hadis, tarikh, sirah Nabawiyyah, ataupun yang lainnya. Pengertian sunnah5

dalam hal ini disamakan dengah hadis, yakni segala sesuatu yang disandarkan

pada Nabi Saw baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir (persetujuan), physic

appearance (sifat fisik) maupun sifat akhlak/karakternya.6 Proses interaksi

tersebut menghasilkan sebuah formulasi yang dinamakan dengan living hadis,

yakni proses revaluasi, reinterpretasi dan reaktualisasi atas teks-teks yang

disandarkan kepada Nabi Saw yang kemudian diwujudkan dalam tindakan

nyata seseorang atau sekolompok orang. Berdasarkan bentuknya living hadis

dapat dibedakan menjadi tiga macam yakni living hadis tulisan,7 living hadis

lisan8, dan living hadis praktek.9

4 Alfatih Suryadilaga, Model-Model Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed),

Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 123-124 5 Fazlur Rahman mengkonsepsikan Sunnah sebagai konsep perilaku, atau menurutnya,

Sunnah tidak sekedar hukum tingkah laku, tapi merupakan aturan-aturan tingkah moral yang

bersifat normatif, keharusan moral adalah unsur yang tidak dapat dipisahkan dari pengertian

konsep sunnah. Sunnah berarti “tingkah laku yang merupakan teladan” atau menjadi konsep

normatif, dan selanjutnya. Sunnah berarti jalan yang ditempuh; Sunnah adalah jalan lurus tanpa

ada pembelokan ke kanan atau kiri yang berarti memberi makna sebagai “penengah di antara hal-

hal ekstrim” atau “jalan tengah” lihat Zuhri. Studi Islam dalam Tafsir Sosial; Tela’ah Sosial

Gagasan KeIslaman Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun, (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin

dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2008), h. 27 6 Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis (Damaskus: Dar al-Fikr, 1997), h. 26 7 Tradisi tulis menulis sangat penting dalam perkembangan living hadis. Tulis menulis

tidak hanya sebatas sebagai bentuk ungkapan yang sering terpampang dalam tempat-tempat yang

strategis seperti bus, masjid, sekolahan, pesantren, dan fasilitas umum lainnya. Ada juga tradisi

yang kuat dalam khazanah khas Indonesia yang bersumber dari hadis Nabi Muhammad saw.

sebagaimana terpampang dalam berbagai tempat tersebut. Tidak semua yang terpampang berasal

dari hadis Nabi Muhammad saw atau diantaranya ada yang bukan hadis namun di masyarakat

dianggap sebagai hadis. Seperti kebersihan itu sebagian dari iman ( اني ال ن م ة اف ظ لن ا ) yang bertujuan

untuk menciptakan suasana kenyamanan dan kebersihan lingkungan, mencintai negara sebagaian

dari iman (ي ان الو ط نم ن ال .yang bertujuan untuk membangkitkan nasionalisme dan sebagainya (ح ب

8 Tradisi lisan dalam living hadis sebenarnya muncul seiring dengan praktik yang

dijalankan oleh umat Islam. Seperti bacaan dalam melaksanakan shalat shubuh di hari jum’at. Di

kalangan pesantren yang kiayinya hafiz al-Qur’an, shalat shubuh hari jum’at relatif panjang karena

di dalam shalat tersebut dibaca dua ayat yang panjag yaitu hāmim al-Sājadah dan al-Insān.

Sebagaimana sabda Nabi Muhammad saw. ث نا ث نا أبو بكر بن أب شيبة حد ب عبدة بن سل حد و عن يا عن س ا ن ي

Page 16: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

3

Konsep Living Hadis yang diutarakan oleh M. Alfatih merupakan

pengembangan dari Living Sunnah Fazlur Rahman. Kedua konsep tersebut

memiliki perangkat metodologi yang berbeda. Living Sunnah menggunakan

pendekatan historis dalam menelusuri jejak tradisi Nabi yang tenggelam,

implikasi dari hadis yang diverbalisasikan.10 Sedangkan Living Hadis lebih

bernuansa fenomenologi dalam mengungkap tradisi dan budaya yang diklaim

bersumber dari hadis Nabi. Kedua perangkat tersebut beroperasi pada wilayah

dan cakupan yang berbeda.11

Kajian living hadis semakin menarik seiring dengan meningkatnya

kesadaran masyarakat Islam terhadap ajaran agamanya. Kita banyak

menjumpai kegiatan-kegiatan keagamaan, baik ditempat-tempat tertentu

seperti di masjid maupun media cetak dan elektronik. Hal yang menarik,

misalnya berkaitan tentang pernikahan yang terjadi di Madura yaitu, bahwa

terdapat sesuatu pengamalan berbeda terhadap hadis Nabi yang hal tersebut

merupakan rujukan otoritatif kedua setelah al-Qur’an. Seperti halnya

pemberitahuan pinangan yang terkesan hanya sebagai bentuk pemberitahuan

formalitas saja, hal ini berbeda dengan penentuan waktu pernikahan dan

pelaksanaan pernikahan.

النب صلى الل عليه و عة امراشد عن مسلم البطني عن سعيد بن جب ي عن ابن عباس أ ر و ا ة ال رأ ص ا زل ت ن سلم ا عليه وسلم النب صلى الل هر وأ حني من الد نسا دة وهل أتى على ال عة الس عة سورة ا ة ا .رأ ص

9 Tadisi praktek dalam living hadis ini cenderung banyak dilakukan oleh umat Islam. Hal

ini didasarkan atas sosok Nabi Muhammad saw. dalam menyampaikan ajaran Islam. Salah satu

persoalan yang ada adalah masalah ibadah shalat. Di masyarakat Lombok NTB mengisyaratkan

adanya pemahaman shalat wetu telu dan wetu lima. Padahal dalam hadis Nabi Muhammad saw.

contoh yang dilakukan adalah lima waktu. Lihat Muhammad Alfatih Suryadilaga, Model-Model

Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis

(Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 116 10 Menurutnya hadis merupakan verbal tradition, sedangkan Sunnah adalah practical

tradition atau silent tradition. Istilah yang berkembang dalam kajian ini adalah Sunnah dahulu

baru kemudian menjadi istilah hadis. Hadis bersumber dan berkembang dalam tradisi Rasulullah

Saw serta menyebar secara luas seiring dengan menyebarnya Islam. Teladan Nabi Muhammad

Saw telah diaktualisasikan oleh sahabat dan tabi’in menjadi praktek keseharian mereka dengan

menyebutnya sebagai the living tradition atau Sunnah yang hidup. Lihat Fazlur Rahman, Islam

dan Islamic Methodology un History (Karachi: Central Institute of Islamic Research, 1965)

11 Living hadis lebih didasarkan atas adanya tradisi yang hidup dimasyarkat yang

disandarkan kepada hadis Nabi Muhammad Saw. Penyandaran terhadap hadis Nabi tersebut bisa

saja merupakan bentuk pembakuan tradisi menjadi suatu yang tertulis bukan menjadi alasan tidak

adanya tradisi yang hidup didasarkan atas hadis. Lihat Muhammad Alfatih Suryadilaga, Model-

Model Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed), h. 113

Page 17: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

4

Pernikahan merupakan sunnatullah yang mengikat batin antara seorang

pria dan wanita yang ditandai dengan akad yang pada umumnya berasal dari

keluarga yang berbeda, terutama berasal dari keluarga asalnya, kemudian

mengikatkan dirinya menjadi satu kesatuan dalam ikatan keluarga12 dan

kemudian menciptakan suasana berbeda bagi keduanya, yaitu beralih

kerisauan laki-laki dan perempuan menjadi ketentraman dan sakinah.13

Sebagaimana Firman Allah Swt dalam Surah an-Nisa’ ayat 1:

ا ه ن م ث ب ا و ه ج و ا ز ه ن م ق ل خ و ة د ح و س ن ن م م ك ل ى خ ذ ال م ك ب وا ر ات اس ا الن ه أ

ح ر ال و ه ب و ل اء س ى ت ذ ال ا للا و ات ، و اء س ن ا و ر ي ث ال ج ر للا ، ا ا اب ي ق ر م ك ي ل ع ا

Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang telah

menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan

isterinya; dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-

laki dan perempuan yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang

dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain,

dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu

menjaga dan mengawasi kamu (QS. An Nisa ayat 1)14

Dalam menikahkan putrinya Nabi Saw. Memiliki kebiasaan tertentu, yakni

apabila akan menikahkan putri-putrinya terlebih dahulu beliau memberi tahu

mereka. Sebagaimana diriwayatkan dalam Musnad ibn Hanbal, Rasulullah saw.

berkata kepada putrinya: "Sesungguhnya si Fulan menyebut-nyebut namamu.

Kemudian beliau melihat reaksi putrinya itu. Jika dia diam, itu tandanya setuju

dan pernikahan dapat segera dilangsungkan. Namun, jika putrinya menutup tirai

di kamar, itu tandanya tidak suka dan Rasul pun tidak memaksakan

kehendaknya".15

Dalam riwayat yang lain disebutkan bahwa salah satu sahabat bertanya

tentang tanda setujunya seorang perawan:

12 Direktoral Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam Departemen Agama, Ilmu

Fiqih Jilid II (Jakarta, 1985), h 49 13 Hal ini senada dengan Firman Allah Swt dalam Surah ar-Rum ayat 21 yang berbunyi:

ف ا ة ح ر و ة د و م م ك ن ي ب ل ع ج ا و ه ي ل ا ا و ن ك س ت ا ل اج و ز ا م ك س ن ا ن م م ك ل ق ل خ ا ه ت ءا ن م و و ر ك ت و ل ت ل ك ل yang artinya: “Dan

diantara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu

sendiri, suapaya kamu cenderung merasa tenteram kepadanya, dan jadikan-Nya diantaramu rasa

kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi

kaum yang berfikir (QS. Ar-Rum (30): 21) 14 Departemen Agama, Al Qur’an dan Terjemah (Semarang: PT Karya Toha Putra,

1971), h. 6 15 Taufiq Abu A'lam al-Mishri, Fathimah al-Zahrah (Bandung: Pustaka Pelita, 1999), h.

144

Page 18: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

5

ق م ل س و ه ي ل ع ى الل ل ص ب الن ، أ م ه ث د ح ة ر ر ا ه ب ا ا ة ل س ب ا ن ع ت ح ي ال ح ك ن ت : ل ا

س ا ر وا ال ، ق أ ت س ت ت ح ر ك ب ال ح ك ن ت ل ، و ر م أ ت س ت ا، ق ه ن ا ف ي ، و الل و ت ك س ت ا ا

Artinya: Dari Abu Salamah, sesungguhnya Abu Hurairah menceritakan kepada

mereka, sesungguhnya Nabi Saw bersabda: “perempuan janda tidak

dinikahkan hingga diajak musyawarah, dan perempuan perawan tidak

dinikahkan hingga dimintai izin” Mereka berkata, “Wahai Rasulullah,

bagaimana izinnya?” Beliau bersabda, “Dia Diam”.16

Kebiasaan Nabi Saw meminta persetujuan anak gadisnya dalam menikahkan

putrinya merupakan hal baru di kalangan masyarakat Arab. Dalam tatanan

masyarakat Arab ketika itu, perempuan dianggap tidak memiliki dirinya sendiri,

karena itu seluruh keputusan yang berkaitan dengan dirinya termasuk menentukan

pasangan hidupnya tidak perlu dibicarakan dengannya.

Hadis di atas memberikan arahan atau rekomendasi bagi seorang wali untuk

meminta persetujuan dari calon mempelai perempuan sebelum dikawinkan.

Adanya unsur kerelaan calon mempelai perempuan diharapkan mampu

mewujudkan fungsi-fungsi keluarga secara maksimal. Djuju Sudjana sebagaimana

dikutip Mufidah Ch, yang mengatakan bahwa ada tujuh fungsi keluarga, fungsi

biologis, edukatif, religius, protektif, sosialiasi, rekreatif, dan ekonomis.17 Fungsi-

fungsi ini tidak pernah berjalan dengan baik jika tidak didasari asas tersebut.

Berdasarkan teks atau matan hadis di atas, indikator yang menunjukkan

persetujuan itu adalah diamnya seorang perempuan.

16 Para ulama berbeda pendapat pada makna lafadz البكر dan األيم pada hadis ini. Imam

Syafi’i, Ibnu Abi Laila, Ahmad, Ishaq dan lainnya berpendapat bahwa meminta persetujuan gadis

itu diperintahkan jika walinya adalah ayahnya sendiri atau kakeknya; maka disunnahkan untuk

meminta izinnya, sekalipun jika dinikahkan tanpa meminta izinnya maka nikahnya tetap sah, hal

itu sebagai wujud kesempurnaan kasih sayang wali terhadap anak perempuannya. Dan jika

walinya bukan dari keduanya (bukan ayah atau kakeknya) maka wajib hukumnya untuk meminta

izin atau persetujuannya untuk menikah dan tidak sah jika pernikahan dilangsungkan sebelum

meminta persetujuan darinya. Imam al-Auza’i, Abu Hanifah, dan para ulama kufah lainnya

berpendapat bahwa wajib hukumnya meminta persetujuan semua gadis yang sudah baligh (Lihat

An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman, Juz 6,

h.892) perempuan janda yang sudah baligh tidak boleh dinikahkan oleh bapak maupun selainnya

kecuali atas ridhanya. Sedangkan terhadap perempuan janda yang belum baligh terjadi perbedaan

pendapat tentangnya, Malik dan Abu Hanifah berkata “Bapaknya boleh menikahkannya

sebagaimana dia menikahkan gadis”. Namun asy-Syafi’I, Abu Yusuf dan Muhammad berkata

“Bapak tidak boleh menikahkannya (tanpa izinnya) selama keperawanannya sudah hilang karena

jima’, bukan karena sebab lain” dengan alasan bahwa hilangnya keperawanan mengikis pula rasa

malu yang ada pada gadis. (Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari. Penerjemah Amirudin, Juz

25, h. 310) 17 Mufidah Ch., Psikologi Keluarga Berwawasan Gender (Malang: UIN Malang Press,

2008), h. 42-43

Page 19: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

6

Sebagian kalangan kemudian mempersoalkan hadis di atas, sebab diamnya

seorang perempuan memiliki berbagai interpretasi. Selain itu, hadis di atas seolah

melegitimasi adanya hegemoni laki-laki-ayah dan kakek sebagai wali- terhadap

anak-anak perempuan mereka. Persoalannya kemudian apakah indikator

persetujuan calon mempelai perempuan di atas diterima begitu saja (taken for

granted) atau melihat konteks historis turunnya hadis (asbab al-wurud)18.

Di kalangan masyarakat Madura, masih berlaku tradisi yang hampir

mengambil hak kebebasan seorang gadis untuk memilih suaminya, bahkan yang

demikian ini bisa terjadi bagi anak yang masih anak-anak. Biasanya anak itu

didikte untuk menikah dengan seseorang yang disenangi oleh ayah atau ibunya,

sedangkan anak gadis itu, alam pembawaanya sebagai anak gadis yang pemalu,

mestinya ia malu untuk menyatakan pendapatnya dalam hal itu. Dan juga karena

suasana masyarakat tempat ia dibesarkan, yang tidak membolehkan anak itu

membantah kehendak ayah atau walinya. Hal yang demikian ini tentunya

berlainan dengan apa yang sudah dicontohkan oleh Nabi Saw.

Dalam perkembangan zaman terjadi sedikit perubahan pola berfikir yang

terjadi dikalangan masyarakat, yaitu bahwa terjadi fase pemberitahuan kepada

anak gadisnya ketika ada seorang laki-laki yang berniat untuk meminangnya.

Akan tetapi hal tersebut hanya sebagai pemberitahuan saja, bukan sebagai

pertanyaan kepada anaknya sebagaimana hadis Nabi tersebut.

Pernikahan dalam kehidupan masyarakat desa, pada umumnya masih

melestarikan tradisi dan budaya. Salah satunya adalah dalam menentukan hari

baik dengan sebutan “nyareh dhinah” yang dalam bahasa Indonesia dikenal

dengan hari baik dalam penentuan hari pernikahan. Apabila calon suami dan calon

istri akan melangsungkan pernikahan, maka keluarga dari kedua belah pihak akan

menentukan hari “H” atau hari dilaksanakannya akad nikah. Kebiasaan yang

dilakukan masyarakat Payudan Karangsokon dalam menentukan hari “H” ini

adalah kedua belah pihak keluarga mengadakan silaturrohim khusus untuk

memilih harinya. Dan calon mempelai beserta orang tua masing-masing sudah

mempunyai kesamaan tujuan tentang pemilihan hari atau bulan apa yang terbaik,

18 Ramadhita, “Latar Historis Indikator Kerelaan Perempuan Dalam Perkawinan,” de

Jure, Volume 7 Nomor 1 (Juni 2015): h. 31-38

Page 20: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

7

namun yang lebih dominan dalam hal ini ditentukan oleh keluarga mempelai

perempuan.

Dalam acara akad nikah yang sakral ini, maka acara akad tersebut akan

dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Sebelum mendatangi Kyai, masyarakat

biasanya lebih dulu ke sesepuh (orang yang paling tua dan dianggap “tahu”),

dengan tujuan nyareh dhinah. Harapannya adalah kedua mempelai akan

memperoleh kebaikan-kebaikan setelah menikah. Dan apabila pada suatu hari

memperoleh keburukan dalam rumah tangganya, mereka tidak akan merasa

bersalah, karena sudah didahului dengan ikhtiyar atau usaha nyareh dhinah, dalam

istilah Bahasa Madura dikenal dengan “ngadhedhi” dan kemudian pasrah atas

kehendak Allah.

Dalam proses penentuan waktu pernikahan Rasulullah memang tidak

menyebutkan secara eksplisit mengenai hal tersebut, akan tetapi ada salah satu

riwayat yang terdapat dalam Shahih Muslim tentang disunnahkannya menikah

pada bulan Syawal. Adapun hadisnya:

س ر ن ج و ز ت ت ال ق ة ش ائ ع ن ع و ش م ل س و ه ي ل ع ى الل ل ص الل و و ش ب ن ب و ا اء س ن ي أ ف ا

م ل س و ه ي ل ع صلى الل الل رسو ق ن م ه د ن ى ع ظ ح أ ا ل خ د ت أ ب ح ت س ت ة ش ائ ع ت ان و ا

و ش ا ه اء س ن 19ا

Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah Saw menikahiku pada bulan

syawwal, menggauliku pada bulan syawwal; maka isteri beliau yang manakah

yang lebih beruntung disisinya selain aku? Ia berkata, Aisyah senang jika para

wanita dinikahi pada bulan Syawwal.

Ini merupakan salah satu hadis yang mensunnahkan menikah, menikahkan

orang lain, dan menggauli isteri pada bulan Syawwal. Sahabat-sahabat kami

mensunnahkan hal itu berdasarkan pada hadis ini. Aisyah mengucapkan perkataan

seperti itu; untuk membantah keyakinan kaum jahiliyah dan kepercayaan sebagian

orang awam yang membenci menikah, menikahkan orang lain, dan menggauli

19 An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan

Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 902

Page 21: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

8

isteri pada bulan Syawwal.20 Dan bahwa semua itu adalah batil, yang merupakan

peninggalan tradisi orang-orang jahiliyah yang menggantungkan keberuntungan

dan sebagainya berdasarkan bulan; karena Syawwal berarti mengangkat dan

menghilangkan sesuatu.21

س ر ن ج و ز ت ت ال ق ،ة ش ائ ع ن ع و ش م ل س و ه ي ل ع ى الل ل ص الل و و ش ب ن ب و ،ا انت ا . و

ن بنسائها ف شوا ب 22.عائشة تستحب أ

Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw menikahiku pada bulan

Syawwal dan beliau menggauliku pada bulan Syawwal.” Dan Aisyah senang

menikahkan anak perempuan-perempuannya pada bulan Syawal.

Bulan Syawwal menurut sebagian masyarakat Madura khususnya Desa

Payudan Karangsokon merupaka salah satu diantara bulan yang dijadikan pilihan

ketika akan melangsungkan pernikahan. Hal ini dikarenakan bahwa semua yang

berkaitan dengan ritual-ritual penting seperti ini dilakukan perhitungan secara

terperinci dalam setiap aktivitasnya.

Pelaksanaan pernikahan bagi masyarakat Madura, khususnya Desa Payudan

Karangsokon masih identik dengan menggunakan Mushalla atau Masjid23 sebagai

sarana untuk proses akad nikah dan pelaksanaan upacara pernikahan (Walimah).

ini didasari karena Masjid atau Mushalla sebagai media yang baik dan penuh

Barakah, hal ini terlepas dari bahwa memang di Desa tersebut hampir setiap

20 Pada jaman dahulu bangsa Arab mengenal tentang hari baik dan hari yang tidak baik

atau dikenal dengan hari (na’as) yakni bulan Syawal. Sehingga pada masa tersebut, bulan Syawal

sangat dihindari dalam melaksanakan perkawinan. 21 An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan

Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 903 22 Abu Isa berkata, “Hadis ini hasan shahih. Aku tidak mengetahui hadis ini kecuali dari

ats-Tsauri, dari Ismail bin Umayah. Lihat Muhammad Nashiruddin al-Albani, Shahih Sunan at-

Tirmidzi. Penerjemah Ahmad Yuswaji (Jakarta: Pustaka Azzam, 2007), h.836 23 Masjid dalam sejarahnya mempunyai arti penting dalam kehidupan umat Islam, hal ini

karena masjid sejak masa Rasulullah Saw, telah menjadi sentra utama seluruh aktivitas umat Islam

generasi awal, bahkan, masjid kala itu menjadi “fasilitas” umat Islam mencapai kemajuan

peradaban. Sejarah masjid bermula sesaat setelah Rasulullah Saw, hijrah di Madinah. Langkah

pertama yang beliau lakukan di Madinah, adalah mengajak pengikutnya, membangun masjid.

Allah SWT ternyata menakdirkan masjid yang dibangun Rasulullah Saw, di Madinah (sebelumnya

disebut Yatsrib) menjadi rintisan peradaban umat Islam. Bahkan tempat dimana masjid ini

dibangun, benar-benar menjadi Madinah (seperti namanya) yang arti harfiahnya adalah “tempat

peradaban” atau paling tidak dari tempat tersebut telah lahir benih-benih peradaban. Lihat Syamsul

Kurniawan, Masjid Dalam Lintasan Sejarah Umat Islam, h. 1

Page 22: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

9

kepala keluarga atau perkumpulan rumah memiliki Mushalla sebagai sarana

ibadah bersama (berjamaah).

Rasulullah Saw pernah bersabda Bahwa:

رسو للا صلى للا عليه وسلم: ) ف وه ل ع اج و اح ك ا الن ذ وا ه ن ل ع أ عن عائشة قالت: قا

س ا 24 (وف ف الد ب ه ي ل وا ع ب ر اض ، و د اج ل

Artinya: Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Umumkan

pernikahan, adakan akad nikah di masjid dan meriahkan dengan memukul

rebana.”

Syaikh Amr bin Abdul Mun’im Salim mengatakan bahwa masjid

merupakan tempat untuk melakukan ketaatan dan dibangun atas fondasi

ketakwaan.25 Hal ini sebagaimana sabda Rasulullah Saw berikut:

س ر أ ة ر ر ه ب أ ن ع ق م ل س و ه ي ل ع ى للا ل ص للا و ض غ ب أ ا و ه د اج س م للا ل إ د ب ال ب ح أ ا

26 اه اق و س أ للا ل إ د ب ال

Artinya: Dari Abu Hurairah, bahwasanya Rasulullah Saw bersabda,

“Tempata yang paling dicintai Allah Swt masjid-masjid, dan tempat yang paling

dibenci oleh Allah Swt adalah pasar."

Signifikansinya dengan penelitian ini adalah bahwa pola pernikahan

merupakan salah satu bentuk nyata yang dilakukan oleh Masyarakat Payudan

Karangsokon menjadikan Hadis-Hadis tentang pernikahan masuk dalam bagian

kehidupan mereka sehingga lahir beragam persepsi masyarakat terhadap

pernikahan itu sendiri. kajian-kajian semacam ini menjadi penting untuk

menambahkan wawasan keilmuan keislaman serta mengetahui interaksi

masyarakat muslim dengan hadis sebagai rujukan otoritatif setelah al-Qur’an.

Oleh karenanya menurut penulis perlu adanya kajian studi Living Hadis tentang

kebiasaan tersebut, sehingga penulis mengangkat tema yang berjudul “Tradisi

24 Muhammad Aburrahman bin Abdurrahim, Tuhfat al-Ahwadzi bi Syarhi Jāmi’ at-

Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘arabi, 1995), Juz 7, h.210 25 Syaikh Amir bin Abdul Mun’im Salim, Adab Al-Khitbah wa Al-Zifaf, h. 70. 26 An-nawawi, Syarah Shahih Muslim Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan Suratman

(Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 4, h. 50

Page 23: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

10

Penikahan di Masyarakat Desa Payudan Karangsokon Guluk-Guluk Sumenep

(Kajian Living Hadis)”

B. Permasalahan

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis perlu

mengidentifikasi beberapa masalah yang kemudian akan dilakukan kajian

lebih lanjut berkaitan masalah tersebut:

a. Beberapa ulama hadis sudah mulai melakukan pendekatan hadis yang

tidak hanya dicukupkan pada kajian teks saja, melainkan pada ranah

tata praktek atau bagaimana hadis itu di Masyarakat. Fadzlurrahman

misalnya yang melakukan penelitian hadis dengan menggunakan

pendakatan living sunnah yaitu kajian yang tidak cukup hanya pada

teks saja.

b. Permasalahan mengenai perempuan hingga saat ini masih terus dikaji

baik dari segi politik, ekonomi, budaya serta Agama. Posisi

perempuan dalam Islam mempunyai perkembangan yang tidak begitu

bagus apalagi dalam pernikahan, khususnya bagi perempuan di

Madura yang sepertinya tidak memiliki kebebasan untuk menentukan

langkah hidupnya, baik dalam bidang karir, pendidikan dan

pernikahan.

c. Sebagian ulama hadis berbeda pendapat mengenai hal ihwal yang

berkaitan dengan meminta izin kepada anak perawan dan janda. Ada

yang berpendapat bahwa perlu meminta izin terhadap janda dengan

dasar bahwa janda sudah tidak begitu merasa malu dibandingkan

dengan waktu masih gadis. Sedangkan pendapat yang lain mengatkan

bahwa diperlukan izin terhadap janda ataupun dengan anak gadis.

d. Pernikahan menurut Masyarakat Payudan Karangsokon merupakan

salah satu ibadah yang sakral, atinya bahwa pernikahan itu tidak

dilakukan dengan sembarangan baik dengan waktu dan pelaksanaan

pernikahannya. Oleh karenanya dibutuhkan sebuah perhitungan

khusus untuk mengetahui waktu yang baik untuk pelaksanaannya.

Sedangkan untuk tempat pelaksanaannya masyarakat Payudan

Page 24: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

11

Karangsokon masih menggunakan formula yang sama dengan masa

sebelumnya, yakni melaksanakan pernikahan di Mushalla atau Masjid.

2. Batasan Masalah

Dari identifikasi masalah di atas, maka penulis akan menitik

fokuskan penelitian ini pada poin c terkait tentang meminta izin kepada

anak gadis atau janda, meliputi pemahaman masyarakat terhadap hadis

tersebut. Serta pada poin d tentang menentukan waktu pernikahan yang

bertitik fokus pada pemaknaan masyarakat pada kegiatan tersebut dan

pada pemahaman masyarakat terhadap tempat pelaksanaan pernikahan.

3. Rumusan Masalah

Untuk memahami sebuah hadis tentunya tidak cukup hanya dilihat

dari teks dan pemaknaan teksnya saja, melainkan juga diperlukan

pengkajian terhadap bagaimana pemahaman masyarakat terhadap redaksi

hadis-hadis tersebut. Dari batasan masalah yang dikemukan di atas,

penulis merumuskan permasalahan menjadi: Bagaimana fenomana living

hadis pada masyarakat Payudan Karangsokon tentang proses pernikahan?

C. Tujuan dan Manfaat

1. Tujuan

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui fenomana living

hadis pada masyarakat Payudan Karangsokon tentang pernikahan dari

Proses Mintah (Melamar), penentuan waktu pernikahan (Nyareh Dhinah

Begus) dan pelaksanaan pernikahan.

a. Manfaat

Secara akademik, khusunya kajian hadis penelitian ini untuk

memberikan bukti-bukti baru yang belum disebutkan pada penelitian

sebelumnya bahwa pemahaman masyarakat terhadap hadis-hadis Nabi

berbeda-beda khususnya bagi masyarakat Payudan Karangsokon

berkenaan dengan hadis pernikahan.

Adapun manfaatnya secara umum ialah peneliti mengharapkan

penelitian ini dapat memperkaya khasanah penelitian tentang ilmu hadis

khususnya berkaitan dengan living hadis yang masih belum banyak

mendapatkan perhatian bagi banyak peneliti. Kemudian penulis juga

Page 25: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

12

mengharapkan agar penelitian ini dapat menjadi acuan untuk peneltian

berikutnya yang berkaitan tentang kajian living hadis.

D. Tinjauan Pustaka

Sepanjang penelusuran yang dilakukan penulis, beberapa penelitian

sejenis yang telah ada antara lain:

1. Kajian terhadap living hadis

Penelitian Muhammad Alfatih Suryadilaga tentang “Pemaknaan

Shalawat dalam Komunitas Joget Shalawat Mataram: Kajian Living

Hadis” menyebutkan bahwa Joget Shalawat Mataram merupakan sebuah

fenomena tradisi sosial-budaya-keagamaan yang dapat dikategorikan

sebagai tarian spiritual atau gerakan spiritual. Selain itu Joget Shalawat

Mataram diyakini sebagai sebuah fenomena living hadis, sebab Joget

Shalawat Mataram merupakan tarian spiritual yang bernafaskan nilai-nilai

Islam. Hadis-hadis Nabi yang dijadikan prinsip dasar Joget Shalawat

Mataram adalah hadis-hadis tentang perintah bershalawat kepada Nabi

SAW dan hadis-hadis tentang perintah meneladani akhlak Nabi. Joget

Shalawat Mataram juga mengandung fenomena “Syiar Budaya Religius”

dan sebagai gerakan sosial.27

Peneilitian yang dilakukan oleh Muhammad Alfatih Suryadilaga ini

memiliki kemiripan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis, yaitu

bahwa penelitian yang dilakukan ini termasuk dalam kategori penelitian

living hadis akan tetapi objek kajiannya berbeda dengan yang dilakukan oleh

penulis.

Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Bashir tentang Seni Pementasan

LESBUMI NU Grobogan (Studi Living Hadis). Penulis dalam penelitian ini

berusaha mengkaji tentang kesenian di Indonesia yang difokuskan pada

kesenian LESBUMI NU Grobogan dengan menggunakan pendekatan

etnografi yang kemudian dianalisis dengan menggunakan teori semiotika Jurij

M. Lotman dengan menghasilkan kesimpulan bahwa penelitian ini

menunjukkan bahwa seni pementasan LESBUMI NU ini merupakan kajian

27 Muhammad Alfatih Suryadilaga, Pemaknaan Shalawat dalam Komunitas Joget

Shalawat Mataram: Studi Living Hadis”, (Penelitian Dosen Fakultas Ushuluddin, Universitas

Islam Negeri Yogyakarta, 2013)

Page 26: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

13

living hadis dengan menggunakan hadis-hadis tentang kesenian sebagai

rujukan dan juga terdapat beberapa simbol akulturatif yang dapat diambil

makna dan pelajarannya dari pementasan seni tersebut.28

Penelitian yang dilakukan oleh Abdul Bashir ini memiliki kesamaan

dengan penelitian penulis yakni bahwa sama-sama kajian living hadis, akan

tetapi objek bahasannya berbeda yakni bahwa Abdul Bashir meneliti tentang

seni sedangkan penulis meneliti tentang budaya pernikahan.

Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Arrofiqi tentang Iplementasi

Hadis Birrul Walidain Setelah Meninggal Dunia Pada Masyarakat

Wonokromo (Studi Living Hadis). penulis dalam skripsi ini mengkaji tentang

salah satu budaya yang terdapat di Jawa, seperti halnya budaya nyandran

yang dijadikan sebagai fokus penelitian. Bahwa nyandran merupakan sebuah

ritual yang dikhususkan kepada para roh nenek moyang yang telah

meninggal, sebagai upaya meminta petunjuk atas beberapa permasalahan bagi

pelaksana. Hal ini karena menurut mereka bahwa arwah nenek moyang itu

lebih dekat kepada Allah Swt sehingga ketika berdo’a akan lebih mudah

untuk dikabulkan. Akan tetapi setelah Islam datang budaya ini sedikit

mengalami perubahan dari sebelumnya, sebab budaya ini tidak dihapus oleh

para wali songo yang telah menyebarkan Islam.29

Kesamaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah bahwa sama-

sama berfokus pada kajian living hadis, akan tetapi budaya yang diteliti tidak

sama dengan penulis serta tempat penelitian juga tidak sama dengan penlitian

yang dilakukan penulis.

Penelitian yang dilakukan oleh Muhammad Alfatih Suryadilaga tentang

Living Hadis Tradisi Sekar Makam. Dalam penelitian ini disampaikan bahwa

salah satu fenomena living hadis yang dapat ditemukan di Yogyakarta adalah

tradisi ziarah kubur di Pemakaman Parembahan Senopati Kotagede, kegiatan

ziarah kubur dimaksud dirujuk melalui hadis Nabi Muhammad Saw

walaupun tidak semuanya mengetahui teks hadis karena sebatas mendapat

28 Abdul Bashir, Seni Pementasan LESBUMI NU Grobogan (Studi Livingf Hadis), (Tesis

S2 Pascasarjana, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2015) 29 Ahmad Arrofiqi, Implementasi Hadis Birrul Walidain Setelah Meninggal Dunia Pada

Masyarakat Wonokromo (Studi Living Hadis). (Skripsi S1 Fakultsa Ushuluddin dan Pengkajian

Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2009)

Page 27: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

14

pengetahuan dari tokoh agama melalui ceramah. Adapun praktek

pelaksanaannya disesuaikan dengan konteks masyarakat Jawa. Para

pengunjung makam memiliki sikap atau pandangan yang berbeda-beda.

Pelestarian kebiasaan atau tradisi jawa, yaitu mendoakan leluhur, perantara

tuhan dan mencari berkah. Namun ada juga yang lebih dekat, yaitu hanya

sekadar mendoakan ahli kubur yang juga termasuk penyebar agama Islam.30

Perbedaan penelitian penulis dengan penelitian Muhammad Alfatih

Suryadilaga adalah terletak pada perbedaan tempat dan kasus yang diteliti

walaupun pada dasaranya penelitian ini sama-sama menggunakan pendekatan

living hadis.

2. Kajian terhadap resepsi hadis

Penelitian yang dilakukan oleh Anis Hidayatullah Imtihanah tentang

Slametan Sebagai Media Resepsi al-Qur’an dan Hadis di Kalangan

Masyarakat. Menyebutkan bahwa Slametan merupakan salah satu bentuk

peradaban dalam lingkungan kebudayaan yang sudah mengakar selama

berabad-abad di masyarakat – Jawa khususnya – sebelum kedatangan Islam.

Dengan demikian Islam yang nota bene sebagai ajaran baru bagi mereka,

senantiasa mengalami penyesuaian dengan lingkungan peradaban dan

kebudayaan setempat. Slametan dalam tradisi Islam Indonesia (khususnya

Jawa) merupakan produk akulturasi antara budaya dan agama. Karena

sebelum Islam datang, agama Hindu dan Budha telah terlebih dulu

bersinggungan langsung dengan masyarakat. Oleh karena itu agama Islam

sebagai culture reformer, mempunyai tugas untuk mereform tradisi yang

sudah ada dengan menanamkan nilai dan ajaran Islam di dalamnya. Hal ini

bertujuan agar ajaran Islam mudah diterima oleh masyarakat. Slametan juga

menjadi wujud aktivitas keagamaan yang menunjang ikatan kolektif sesama

warga.31

30 Muhammad Alfatih suryadilaga, “Living Hadis Dalam Tradisi Sekar Makam,” al-

Risalah, Volume 13 Nomor 1 (Mei 2016) 31 Anis Hidayatullah Imtihan, “Slametan Sebagai Media Resepsi al-Qur’an dan Hadis di

Kalangan Masyarakat,” al-Ahkam, Volume 12 Nomor 3 (Februari 2015).

Page 28: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

15

Perbedaan penelitian ini dengan penelitian penulis adalah pada objek

resepsi hadis, dalam penelitian ini berkatan dengan Slametan (Shadaqah)

sedangkan yang akan peneliti kaji tentang pernikahan.

3. Kajian terhadap Pernikahan

Pada dasarnya penelitian tentang pernikahan sudah banyak dilakukan

oleh para peneliti sebelumnya, sehingga pencarian dengan kata ini akan

menemukan beragam penelitian, baik berbentuk jurnal, skripsi, thesis dan

sebagainya. Berikut sebagian penelitian tersebut:

Penelitian yang dilakukan oleh Indana Zulfa tentang Pandangan Hadis

terhadap Tatayyur (Studi Kasus Tradisi Pemilihan Pasangan dan Hari

Pernikahan dengan Perhitungan Jawa di Desa Dukuhkembar Kecamatan

Dukuh Kabupaten Gresik). Menyebutkan bahwa masyarakat Dukuhkembar

mempercayai ramalan perhitungan jawa untuk menentukan kecocokan

pasangan dan mencari hari baik dalam pernikahan dengan cara mendatangi

seorang ahli perhitungan jawa. Hal itu dilakukan agar keluarga kedua belah

pihak menjadi keluarga yang bahagia. Kesimpulan dari penelitian ini adalah

Kepercayaan masyarakat Dukuhkembar terhadap ramalan perhitungan Jawa

sama dengan perbuatan Masyarakat Pra-Islam yang percaya dengan nasib sial

karena burung (tatayyur).32

Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan peneliti ini berada

pada masalah yang dikaji, tempat penelitian serta pada metode yang

digunakan dalam penelitian ini, sedangkan kesamaan penelitian ini dengan

penelitian yang akan penulis kaji terdapat pada metode penentuan hari baik

dalam melangsungkan pernikahan.

Penelitian yang dilakukan oleh Sirojuddin dan Mohammad Bashri Asyari

tentang Tradisi Nyareh Dhina Dalam Penentuan Hari Pernikahan Perspektif

Hukum Islam di Desa Larangan Badung. Menyebutkan bahwa

Tradisi nyareh dhinah yang berkembang dalam masyarakat Larangan

Badung adalah sebagai awal dari perencanaan penentuan, baik hari atau bulan

32 Indana Zulfa, Pandangan Hadis terhadap Tatayyur (Studi Kasus Tradisi Pemilihan

Pasangan dan Hari Pernikahan dengan Perhitungan Jawa di Desa Dukuhkembar Kecamatan

Dukuh Kabupaten Gresik), (Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin Universitas Islam Negeri Jakarta,

2015)

Page 29: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

16

untuk melangsungkan acara pernikahan yang biasanya dalam masyarakat

Larangan Badung, akad nikah serta walimah dilaksanakan dalam satu waktu.

Kebiasaan masyarakat Larangan Badung dalam tradisi nyareh dhinah

mempunyai harapan dengan melaksanakan hari pernikahan di hari yang baik

yakni meminta petunjuk pada Kyai maka akan memperoleh kebaikan bagi

kedua mempelai yang melangsungkan pernikahan, sebagaimana harapan

banyak orang dalam bentuk keluarga yang Sakinah, Mawaddah Warahmah

serta untuk mendapatkan keturunan shaleh shalehah yang akan mereka didik

nantinya.33

Perbedaan penelitian yang dilakukan penulis dengan peneliti ini berada

pada ranah kajian yang digunakan dan tempat penelitiannya, sedangkan

penelitian memiliki kesamaan tentang kebiasaan Nyareh Dhina yang

dilakukan masyarakat Madura sebagai uapaya mencari barokah.

Berdasarkan penelusuran dari berbagai literatur, maka belum ditemukan

adanya penelitian tentang living hadis dalam pernikahan yang berfokus pada

pelaksanaan Khithbah (mintah), yakni proses untuk mengetahui mau atau

tidaknya perempuan, kemudian mencari waktu yang baik (nyareh dhina

begus) dan pelaksanaan pernikahan. Oleh karenanya, penelitian ini dapat

dikategorikan dalam penlitian baru pada ranah kajian pernikahan.

E. Metodologi Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian dalam skripsi ini merupakan penelitian lapangan

(field reseacrh). Pernulis terjun langsung ke lapangan atau obyek

penelitian untuk mengetahui secara jelas terhadap kondisi di lapangan,

dalam hal ini Pernikahan di Masyarakat Payudan Karangsokon untuk

kemudian dideskripsikan secara alami34 dan dianalisis sehingga dapat

menjawab persoalan yang telah dirumuskan dalam rumusan masalah.

2. Subjek dan Objek Penelitian

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah:

33 Sirojuddin dan Mohammad Bashri Asyari, “Tradisi Nyareh Dhina Dalam Penentuan

Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam di Desa Larangan Badung,” al-Hikam, Vol. 9 No.1

(Juni 2014) 34 Hasan Hamka, Metodologi Penelitian Tafsir Hadis (Jakarta: Lembaga Penelitian UIN

Syarif Hidayatullah, 2008), h.45

Page 30: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

17

a. Tokoh Masyarakat Desa Payudan Karangsokon (Kyai dan Kepala

Desa)

b. Keluarga yang melakukan pernikahan dipandang dari Izin Nikah bagi

anak gadis atau janda, penentuan waktu dan pelaksanaan pernikahan

c. Sebagian masyarakat yang dianggap tahu tentang tradisi ini

Subjek penelitian di atas yaitu orang-orang yang akan

diwawancarai langsung untuk memperoleh data dan informasi berkaitan

dengan tradisi pernikahan ini mulai dari sejarah awal hingga saat ini.

Informant yang telah disebutkan bisa saja bertambah sesuai dengan apa

yang diterima dan dialami oleh peneliti selama proses pengumpulan data.

Sedangkan objek penelitian ini yaitu tradisi pernikahan yang

dilakukan di Desa Payudan Karangsokon yang menggunakan tradisi

sebagaimana yang telah digambarkan di atas. Sebagai penelitian

lapangan, maka objek penelitian dan subjek penelitian (informan) ini

lebih pada wilayah yang sempit, kasus yang dipilihpun terjadi pada

wilayah yang relatif kecil yaitu studi atas tradisi pernikahan yang ada di

Desa Payudan Karangsokon, termasuk wilayah Madura pada kabupaten

paling timur. Akan tetapi sebagi penelitian lapangan, jumlah informan

dan cakupan wilayah objek penelitian tidak menjadi hal yang penting

dalam penelitian, melainkan lebih menekankan pada kedalaman penelitian

itu sendiri.35

3. Waktu Penelitian

Aktivitas penelitian ini oleh penulis dibagi menjadi tiga periode

yang kemudian dilakukan secara sistematis. Pertama, periode persiapan

yang dilakukan semenjak bulan September s.d Oktober 2016 yang

meliputi survey dan pengamatan awal hingga pembuatan proposal skripsi.

Kedua, periode inti yang meliputi kegiatan observasi dan wawancara yang

dilakukan pada bulan November s.d Desember 2016 serta proses

bimbingan skripsi. Ketiga, periode akhir yang berupa penulisan skripsi,

35 Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama (Yogyakarta:

SUKA Press, 2010) h. 119

Page 31: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

18

bimbingan dan peng-croscekan hasil penelitian dengan beberapa

narasumber penelitian.

4. Metode Pengumpulan data

a. Interview

Wawancara atau interview adalah suatu percakapan, tanya

jawab lisan antara dua orang atau lebih yang duduk berhadapan atau

bertatap muka secara fisik dan diarahkan pada suatu masalah

tertentu,36 sedangkan menurut Hadi metode interview adalah sebagai

alat pengumpulan data, yaitu interview dapat dipandang sebagai

metode pengumpul data dengan jalan tanya jawab secara sistematis

dan berlandaskan pada tujuan penyelidikan.37

Dalam konteks penelitiam ini, jenis interview yang peneliti

gunakan adalah interview bebas terpimpin. Dimana penyusun

mendatangi langsung kerumah atau tempat tinggal tokoh atau orang

yang akan diwawancarai untuk menanyakan secara langsung berkaitan

dengan hal-ha yang sekiranya perlu ditanyakan. Namun, tidak semua

masyarakat Payudan Karangsokon akan penulis wawancarai,

melainkan yang akan menjadi Narasumbernya hanya pada tokoh

Masyarakat, Keluarga yang melakukan proses pernikahan dipandang

dari izin nikah bagi anak gadis atau janda, penentuan waktu dan

pelaksanaan pernikahan serta sebagian masyarakat yang dipandang

mengerti dengan tradisi ini.

b. Observasi

Observasi (pengamatan) adalah alat pengumpulan data yang

dilakukan dengan cara mengamati dan mencatat sistematika gejala-

gejala yang diselidiki. Observasi dilaksanakan pada waktu proses

penelitian ini berlangsung dan penulis menggunakan observasi

partisipatif (participant observation) yaitu dilakukan oleh peneliti

dengan terjun langsung dalam kegiatan dan observasi kebetulan

(incindental observation) yaitu observasi yang dilakukan melalui

36 Kartini Kartono, Pengantar Metodologi Riset Sosial (Bandung: Mandar Maju, 1996),

h. 187 37 Sutrisno Hadi, Metodologo Jilid I (Yogyakarta: Andi Offets, 1999), h. 193

Page 32: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

19

pengamatan kegiatan terhadap objek secara kebetulan tanpa

direncanakan.38

Dalam proses pengumpulan data dilakukan secara terlibat

langsung dengan objek penelitian yang hendak akan dilakukan.

Peneliti akan ikut terlibat secara langsung dengan proses Mintah

(melamar), penentuan waktu pernikahan dan pelaksanaannya.

Sehingga dengan demikian peneliti akan mengetahui bagaimana

sebenarnya proses yang terjadi.

c. Dokumentasi

Metode dokumentasi adalah mencari data yang mengenai hal-

hal atau variable yang berupa catatan, transkip, buku, surat kabar,

majalah, prestasi, notulen rapat, agenda dan sebagainya.39

Dalam hal ini peneliti akan mengambil gambar-gambar yang

memiliki hubungan tentang tradisi pernikahan ini. Peneliti juga akan

mendokumentasikan semua aktivitas yang berhubungan dengan tradisi

pernikahan, seperti lamaran (mintah), penentuan waktu dan

pelaksnaannya.

5. Analisis data

Dalam rangka menganilisis data yang peneliti peroleh selama proses

pengumpulan data, peneliti melakukan tiga tahapan. Pertama, tahap

reduksi data, pada tahap ini peneliti melakukan proses penyeleksian,

pemfokusan dan abstraksi data yang berhubungan dengan pelaksanaan

pernikahan sebagaimana yang dibutuhkan penulis dari hasil catatan

lapangan.40 Semua data yang peneliti peroleh selama dalam proses

pengumpulan data dikumpulkan secara keseluruhan kemudian

diklasifikasikan sesuai dengan konsep penelitian yang telah dirancang

sebelumnya agar data yang diperoleh menjadi data yang sudah terbagi

pada kelompok-kelompok tertentu sesuai dengan konsep (bagian-bagian)

38 Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama (Yogyakarta:

SUKA Press, 2010) h. 91-92 39 Arikunto, S. Prosedur Penelitian, Edisi Revisi (Jakarta: PT Renika Cipta, 2006), h. 123 40Lihat Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama

(Yogyakarta: SUKA Press, 2010) h. 114

Page 33: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

20

yang sudah dibentuk oleh peneliti, sehingga pada tahap ini data yang

diperoleh lebih fokus dan ringkas serta sudah terbagi-bagi.

Kedua, display data atau penyajian data, pada tahap ini peneliti

melakukan organisasi data, mengaitkan hubungan-hubungan tertentu

antara data yang satu dengan yang lainnya. Peneliti sudah menyajikan

data yang lebih konkret dari tahap sebelumnya serta telah diklasifikasikan

pada tema-tema yang dirancang oleh peneliti.

Ketiga, proses verifikasi, pada tahap ini peneliti melakukan

penafsiran (interpretasi) terhadap data yang sudah peneliti proleh dan

sudah dilakukan reduksi dan penyajian, sehingga data yang sudah

memiliki makna dengan cara membandingkan, pencatatan tema-tema dan

pola-pola, pengelompokan melihat kasus-perkasus dan melihat hasil

wawancara dengan informan dan hasil observasi. 41 Proses ini juga

menghasilkan sebuah hasil analisis yang telah dikaitkan dengan kerangka

teoritis yang ada. Dalam penelitian ini penulis menggunakan analisa yang

ketiga, yaitu analisi penafiran.

6. Metode Penulisan

Dalam penulisan penelitian ini, penulis merujuk pada Pedoman

Penulisan Skripsi yang terdapat dalam buku pedoma Program Strata Satu

2012/2013.42 Serta penulis menggunakan Pedoman Transliterasi

Romanisasi Standar bahasa Arab (Romanization of Arabic) tahun 1991

dari American Library Association (ALA) dan Library Congress.

F. Sistematika Penulisan

Sebagai bentuk fokus dan konsistensi dalam penelitian yang hendak

peneliti lakukan ini serta supaya tidak keluar dari rumusan masalah yang

penulis angkat, maka perlu disusun secara sistematis dalam penulisan ini.

Bab Pertama berisi pendahuluan yang meliputi beberapa sub bab, yaitu:

latar belakang, permasalahan, tujuan dan manfaat penelitian, kajian pustaka,

metode penelitian dan sistemitika penulisan.

41 Moh. Soehadha, Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama, h. 115 42 Tim penyusun, Pedoman Akademik Program Strata Satu 2012/2013 (Ciputat: UIN

Syarif Hidayatullah jakarta, 2012)

Page 34: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

21

Latar belakang berisi alasan penting penulis mengangkat topik yang

diteliti. Permasalahan dibagi dalam tiga pembahasan yaitu identifikasi

terhadap permasalahan, pembatasan masalah dan rumusan masalah yang

berisi poin-poin penting yang akan menjadi pembahasan. Tujuan dan manfaat

penelitian merupakan bentuk pemaparan urgensi penelitian yang hendak akan

dilakukan mengenai topik yang diangkat. Kajian pustaka berisi beberapa

literatur yang secara langsung maupun tidak langsung berkaitan dengan

pokok permasalah yang akan dikaji. Dari beberapa literatur yang ada

diungkapkan secara garis besar dari isi guna menemukan spesifikasi dalam

penelitian yang hendak dilakukan dengan penelitian-penelitian yang sudah

dilakukan sebelumnya. Metode penelitian menyebutkan metode-metode

ataupun langkah-langkah yang akan digunakan dalam penelitianini dalam

rangka memperoleh informasi mengenai pokok penelitian, dan yang terakhir

sistematika penulisan yang berisi mengenai susuna bahasan dari hasil

penelitian.

Bab kedua berisi gambaran umum tentang Desa Payudan Karangsokon

sebagai tempat yang dijadikan fokus penelitian oleh penulis yang berisikan

tentang penjelasan mengenai letak geografis Desa dan Demografi Desa.

Bab Ketiga penulis akan membahas tentang pernikahan masyarakat

karangsokon, baik dari segi pengertian prtnikahan, prosesi pernikahan yang

meliputi tentang khithbah dilihat dari pengertian dan pendapat para ulama

mengenai persetujuan pernikahan, penentuan waktu pernikahan pada

perhitungan jawa dan tentang hari baik dalam Islam, serta tentang

pelaksanaan pernikahan dari pengertian walimah dan dasarn hukumnya.

Bab Keempat memaparkan tetang analisis dan pemahaman masyarakat

terhadap pernikahan, dengan perincian tentang pemahaman masyarakat

tentang persetujuan pernikahan, makna penentuan waktu pernikahan dan

pemahaman masyarakat terhadap masjid sebagai tempat pelaksanaan

pernikahan.

Bab Kelima merupakan bab terakhir (penutup) yang berisi kesimpulan

dan saran-saran. Kedua-duanya perlu diletakkan pada setiap akhir dari

pembahasan sebagai kesimpulan atau ringkasan dari semua pembahasan dan

Page 35: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

22

berisi tentang saran-sarang agar pembahasan yang disajikan mendapat saran

bahkan kritikan supaya hasil penelitian ini lebih bersifat ilmiah.

Page 36: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

23

BAB II

GAMBARAN UMUM DESA PAYUDAN KARANGSOKON

GULUK-GULUK SUMENEP

A. Sejarah Desa

Entah dari mana asal muasal nama Payudan diambil. Yang jelas

setelah gua tersebut bernama Gua payudan, daerah sekitarnya juga mendapat

sebutan payudan. Konon putri kuninglah yang menamai gua tersebut dengan

payudan. Seorang putri berkulit putih bertubuh molek, dan cantik menawan.

Putri Kuning merupakan keturunan dari raja sumenep, Kesempurnaan

tubuhnya menjadi idaman pria dan decak kagum para wanita, bahkan menjadi

ikon kecantikan wanita Madura yang melegenda hingga saat ini.

―Putri Kuning‖ merupakan putri kesayangan raja. dia tidak saja

dikenal cantik jelita, namun juga melegenda sebagai wanita yang gemar

bertapa. Dan tempat dimana dia bertapa inilah, beliau menamainya

―Payudan‖. Sejak saat itu orang-orang menyebut Gua tersebut dengan gua

payudan. Nama yang diyakini akan membawa keberkahan tersendiri bagi

warga gua payudan dan sekitarnya, karena diberikan oleh putri raja yang

gemar bertapa.1

Dari sebuah nama yaitu ―Payudan‖, Desa ini kembali melalui sejarah

panjang. Sejarah yang menorehkan ciri khas tersendiri bagi warganya, hingga

suatu saat orang-orang lebih mengenal daerah ini dengan sebutan ―Payudan

Karangsokon‖. Nama yang diambil dari nama sebuah pohon yanng biasanya

tumbuh besar dan tinggi serta memberikan kehidupan bagi berbagai mahluk

disekelilingnya dengan buah yang dapat dimanfaatkan dan diolah menjadi

beberapa macam.

Konon, untuk memudahkan menyebut lokasi yang dulu dikenal

sebagai bagian dari payudan ini, masyarakat luas mengkonotasikannya

dengan Pohon Sokon, yang pada waktu itu tumbuh besar, tinggi, dan rindang

1 Wawancara pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 01 Nopember 2016

Page 37: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

24

didaerah ini. Sebutan tersebut berlangsung begitu lama hingga daerah ini

menjadi sebuah desa.2

Adapun Kepala Desa yang penah menjabat hingga masa sekarang

adalah sebagai berikut : K. Barsidan (tahun –s.d 1945), Mursidi P. Samam

(1945 s.d 1960), Ali Wardi (tahun 1960 s.d 1990), Abdul Karib (tahun 1990

s.d 1998), H. Hasan Hamid (tahun s.d 1999 s.d 2013) dan Hj. Sutiana (tahun

2013-sekarang).3

B. Letak Geografis Desa Payudan Karangsokon

Penelitian ini dilakukan di desa Payudan Karangsokon, dengan

pertimbangan lokasi dimana dirasakan masih kental dengan upacara-uacara

keagamaan walaupun dengan kondisi masyarakat yang sudah mulai bergeser

menjadi masyarakat yang berpendidikan. Desa Payudan Karangsokon adalah

desa yang terbilang subur dibandingkan dengan desa-desaa disebelahnya serta

cocok untuk dijadikan daerah pertanian, perdagangan serta beberapa hal yang

berkaitan dengan kebutuhan hidup masyarakat.

Secara geografis Desa Payudan karangsokon terletak pada posisi

7o21’-7

o31’ lintang selatan dan 110

o10-111

o40 bujur timur. Topografi

ketinggian desa ini adalah berupa daratan sedang yaitu sekitar 256 m di atas

permukaan air laut.

Secara administratif, Desa Payudan Karangsokon terletak di wilayah

kecamatan Guluk-Guluk kabupaten Sumenep dengan posisi dibatasi oleh

wilayah Desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Desa

Payudan Daleman dan Batuampar Guluk-Guluk, di sebelah barat berbatasan

dengan Desa Batuampar di sisi selatan selatan berbatasan dengan Desa

Bakeong Kecamatan Guluk-Guluk, sedang di sisi timur berbatasan dengan

Desa Payudan Daleman kecamatan Guluk-Guluk

Jarak tempuh Desa Payudan karangsokon ke kecamatan adalah ± 15

km, yang dapat ditempuh dengan waktu sekitar ± 20 menit. Sedangkan jarak

2 Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016

3 Sumber Data Monografi Desa Payudan karangsokon, Kabupaten Sumenep, Tahun 2014.

Pada Tanggal 02 Nopember 2016

Page 38: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

25

tempuh ke ibu kota kabupaten adalah ± 45 km, yang dapat ditempuh dengan

waktu sekitar ± 55 menit.4

C. Demografi Desa Payudan Karangsokon

Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa, penduduk desa

payudan karangsokon adalah 3.079 terdiri dari 950 kk, dengan jumlah total

3.079 jiwa, dengan rincian 1531 laki-laki dan 1548 perempuan5 sebagaimana

tertera pada tabel berukut :

TABEL I

JUMLAH PENDUDUK BERDASARKAN USIA

No Usia Laki-laki Perempuan Jumlah Prosentase

1 0-4 120 115 235 7,63%

2 5-9 134 101 235 7,63%

3 10-14 97 97 194 6,30%

4 15-19 107 97 204 6,62%

5 20-24 125 145 270 8,76%

6 25-29 106 117 223 7,24%

7 30-34 151 142 293 9,51%

8 35-39 109 109 218 7,08%

9 40-44 97 110 207 6,72%

10 45-49 170 150 320 10,39%

11 50-54 90 105 195 6,33%

12 55-58 60 85 145 4,70%

13 >59 165 175 340 11,04%

4 Sumber Data Monografi Desa Payudan karangsokon, Kabupaten Sumenep, Tahun 2014.

Pada Tanggal 02 Nopember 2016 5 Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016

Page 39: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

26

Jumlah Total 1531 1548 3079 100,00%

Sumber Data: Monografi Desa Payudan karangsokon

1. Pendidikan Masyarakat

Pendidikan adalah satu hal yang penting dalam memajukan tingkat

SDM (sumberdaya manusia) yang dapat berpengaruh dalam jangka

panjang pada peningkatan perekonomian. Dengan tingkat pendidikan

yang tinggi maka akan mendongkrak tingkat kecakapan masyarakat yang

pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya keterampilan kewirauasahan

dan lapangan kerja baru, sehingga akan membantu program pemerintah

dalam mengentaskan pengangguran dan kemiskinan.

Pada generasi-generasi sebelumnya respon masyarakat terhadap

pendidikan tampak terbalik. Masyarakat menganggap pendidikan hanya

layak diperoleh orang-orang tertentu saja. Antara anak laki-laki dan

perempuan terlihat ada perlakuan yang berbeda dalam hal pendidikan.

Oleh karena itu pendidikan masyarakat hingga saat ini masih tergolong

minim. Terbukti dengan masih banyaknya masayarakat yang buta huruf,

terutama huruf latin dari pada arab.6

Untuk mengukur tinggi rendahnya kemajuan suatu masyarakat

adalah tergantung dari tinggi dan rendahnya pendidikan yang dimiliki

oleh masyarakatnya. Semakin tinggi pendidikan suatu masyarakat,

semakin baik pula tatanan kehidupan masyarakat tersebut. Masyarakat

Payudan Karangsokon setelah dilihat dari data yang peneliti peroleh

bahwa mayoritas penduduknya berpendidikan SD/sederajat dengan

kecenderungan bahwa masyarakat masih sedikit sekali yang

pendidikannya di atas itu. Hal ini dapat dilihat dengan penduduk yang

usia 10 tahun ke atas yang buta huruf tidak ada akan tetapi yang

sekolahnya tidak tamat SD/sederajat sejumlah 823 orang, penduduk yang

tamat SD/sederajat sejumlah 654 orang, penduduk yang SLTP/sederajat

sejumlah 593 orang, penduduk yang tamat SLTA/sederajat sebanyak

1.153 orang, penduduk tamat D-1 sebanyak 15 orang, penduduk tamat D-

6 Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016

Page 40: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

27

2 sebanyak 25 orang, penduduk tamat D-3 sebanyak 30 orang, penduduk

tamat S-1 sebanyak 132 orang, penduduk tamat S-2 sebanyak 2 orang,

dan penduduk tamat S-3 belum ada.7

Adapun untuk prasarana pendidikan formal terdapat 4 jenis yang

berjenjang yaitu mulai dari Taman kanak-kanak (TK) ada 5 buah

bangunan yang baik, SD/sederajat ada 5 buah bangunan yang baik,

SLTP/sederajat ada 3 buah bangunan yang baik, dan SLTA/sederajat ada

2 buah bangunan yang baik. Selain prasarana pendidikan formal ada pula

prasarana pendidikan keterampilan yaitu kursus komputer ada 1 buah.

2. Sosial Budaya Masyarakat

Manusia sebagai makhluk sosial mempunyai kecendrungan untuk

hidup bersama, sesama keluarga, masyarakat dan antara sesama manusia

pada umumnya. Secara garis besar, stratifikasi atau lapisan sosial

masyarakat Payudan Karangsokon meliputi tiga lapis, yaitu orang kéné‟

sebagai lapis terbawah; pongghaba sebagi pelapis menengah; dan parjajih

(Priayi) sebagai lapis paling atas.8 Namun, jika stratifikasi sosial ini

dilihat dari dimensi agama hanya terdiri dari dua lapisan, yaitu santré

(santri), dan banné santré (bukan santri).

Lapisan sosial paling bawah yang disebut dengan oréng kéné‟

(orang kecil) adalah kelompok masyarakat biasa atau kebanyakan. Orang-

orang ini biasanya bekerja sebagai petani, pengrajin, dan sejenisnya;

bahkan juga termasuk di dalamnya adalah orang-orang yang tidak

mempunyai pekerjaan atau para pengangguran. Lapisan sosial menengah

atau pongghaba meliputi para pegawai, terutama yang bekerja sebagai

birokrat, mulai dari tingkatan bawah hingga tinggi. Secara harfiah, kata

pongghaba berarti pegawai atau orang yang bekerja pada institusi-institusi

formal, khususnya kantor-kantor pemerintah. Lapisan sosial yang paling

atas adalah para bangsawan, yang tidak saja secara genealogis merupakan

keturunan langsung raja-raja di Sumenep.9

7 Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016

8 Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016

9 Latif Wiyata, Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura, (Yogyakarta:

LKiS, 2006), h. 47-48

Page 41: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

28

Dalam kehidupan sosial masyarakat Madura tak terkecuali

masyarakat Payudan Karangsokon yang juga temasuk Madura sebenarnya

menekankan hidup harmonis. Hal ini bisa dilihat dari ungkapan Rempak‟

naong beringin korong. Ungkapan tersebut menganjurkan untuk saling

tolong-menolong dan pentingnya solidaritas sosial juga sangat di

tekankan seperti ungkapan gu‟teggu‟ sabbu‟ atau song-osong lombung.

Ungkapan tersebut memilik arti senafas dengan gotong royong.10

3. Ekonomi Masyarakat

Masalah ekonomi timbul bersamaan dengan tumbuhnya manusia di

muka Bumi. Karena ekonomi pada hakekatnya adalah upaya manusia

untuk dapat memenuhi kebutuhannya. Manusia dalam kehidupannya tidak

akan lepas dari kebutuhan-kebutuhan untuk melengkapai hidupnya, baik

sandang maupun pangan, hal tersebut merupakan sunnatullah karena

manusia lahir dengan sejumlah besar kebutuhan dan berusaha keras

dengan jalan apapun untuk memenuhi kebutuhan tersebut.

Seperti daerah-daerah lainnya yang ada di Madura, iklim di desa

Payudan Karangsokon terbagi atas dua musim, yaitu musing nemor

(kemarau), dan musim nampere‟ (penghujan). Musim penghujan berjalan

dari bulan Nopember sampai bulan April, dan musim kemarau dari bulan

Mei sampai bulan Oktober.11

Secara ekonomi, Desa Payudan Karangsokon merupakan mayoritas

masyarakatnya yang berprofesi sebagai petani. Area pertaniannya dengan

pola tegalan dan sawah tadah hujan, dengan kondisi keadaan tanah yang

sebagian kering dan sebagian lagi ada yang Basah, maka pendapatan

perekonomian masyarakat Payudan Karangsokon masih terasa sangat

kurang baik (minus).12

Berikut adalah table kondisi perekonomian

berdasarkan KK.

10

A. Dardiri Zubairi, Rahasia Perempuan Madura; Esai-Esai Remeh Seputar

Kebudayaan Madura, (Surabaya: Andhep Asor, 2013), h. 5 11

Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, ter.

Machmoed Effendhie dan Punang Amaripuja (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2002), h. 27 12

Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016

Page 42: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

29

TABEL II

KONDISI PEREKOMIAN BERDASARKAN KK

No Kondisi Jumlah

1. Miskin 430 kk

2. Pra-sejahtera 298 kk

3. Sejahtera I 10 kk

4. Sejahtera II 12 kk

5. Sejahtera III 105 kk

6. Sejahtera III (plus) 95 kk

Jumlah 950 kk

Sumber Data: Monografi Desa Payudan Karangsokon

Melihat dari perincian tersebut maka dapat dikatakan bahwa tingkat

kemiskinan di Desa Payudan Karangsokon termasuk tinggi. Jika kk

golongan pra-sejahtera digolongkan sebagai kk golongan miskin, maka

lebih 23,96% kk Desa Payudan karangsokon adalah keluarga miskin.13

Di desa Karangsokon ada tiga macam lahan yang digunakan cocok

tanam: Pertama, sawah yang memungkinkan ditanami padi dan tembakau.

Kedua, paningkin (tegal) tanah yang hanya menghasilkan tanaman

jagung, singkong, dan tembakau.14

Mayoritas masyarakat Payudan Karangsokon sangat

menghandalkan hasil panen tembakau karena tembakau disana memiliki

mutu spesifik yang sangat dibutuhkan oleh pabrik rokok sebagai bahan

baku utama. Oleh karena itu, tembakau msyarakat Payudan Karangsokon

ditanam secara terus menerus pada berbagai tipe lahan, mulai lahan sawah

sampai lahan tegal.15

13

Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016 14

Sumber Data Monografi. Pada Tanggal 02 Nopember 2016 15

Tanaman tembakau di Madura dikenal dengan nama nicotiana tabacum, termasuk

famili solanaceae, dari genus nicotiana. Nicotiana tabacum lebih disenangi oleh produsen dan

konsumen dibanding dengan nicotiana rustica, nicotiana silvestris, nicotiana glutinosa, dan

nicotiana petunoides. Nicotiana rustica mengandung kadar nikotin yang besar, sedangkan

nicotiana silves tris, nicotiana glutinosa, dan nicotiana petunoides, tumbuh secara liar dan tidak

dibudidayakan karena tidak mempunyai nilai ekonomi. (Lihat Thomas Santoso, Tata Niaga

Page 43: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

30

Perekonomian masyarakat Payudan Karangsokon menengah

kebawah, sebagian kecil jug ada yang menengah keatas. Hal ini

dikarenakan kurangnya ketersediaan lapangan pekerjaan yang terdapat di

Desa Payudan Karangsokon, sehingga banyak sebagian kepala keluarga

yang memilih kerja di luar kota seperti di Jakarta, Malaysia, Kalimantan,

saudi dan beberapa tempat lainnya. Namun dari pemerintahan Desa sudah

mengupayakan yang lebih baik dalam hal pembangunan perekonomian

masyrakat, hal ini terbukti dengan diberdirikannya pasar dan ruko pada

akhir tahun 2015 kemaren.16

Tingkat pendapatan rata-rata penduduk desa payudan karangsokon

Rp. 30.000,- secara umum mata pencaharian warga masyarakat desa

payudan karangsokon dapat teridentifikasi ke dalam beberapa sektor yaitu

pertanian, jasa /perdagangan, industri dan lain-lain. Berdasarkan data

yang ada, masyarakat yang bekerja disektor pertanian berjumlah 1.114

orang, yang bekerja disektorjasa berjumlah 306 orang, yang bekerja

disektor industri 65 orang, yang bekerja disektor lain-lain 1.600 orang.

Dengan demikian jumlah penduduk yang mempunyai mata pencaharian

berjumlah 3.079 orang. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk

berdasarkan mata pencaharian. Berikut ini adalah tabel jumlah penduduk

berdasarkan mata pencaharian

TABEL II

Mata Pencaharian dan Jumlahnya

No Mata Pencaharian Jumlah Prosentase

1. Pertanian 1.114 orang 36,18%

2. Jasa/perdagangan

1. Jasa pemerintahan

2. Jasa perdagangan

10 orang

83 orang

0,32%

2,69%

Tembakau di Madura, Jurnal Manajemen & Kewirausahaan Vol. 3, No. 2, September 2001: 96-

105 dan pada Kuntowijoyo, Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940, h.

47 16

Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016

Page 44: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

31

3. Jasa angkutan

4. Jasa keterampilan

5. Jasa lainnya

70 orang

23 orang

120 orang

2,27%

0,74%

3,89%

3. Sektor industri hume 65 orang 2,11%

4. Sektor lain 1.600 orang 51,96%

Jumlah 3.079 orang 100%

Sumber Data: Monografi Desa payudan karangsokon

Dengan minusnya perekonomian masyarakat Payudan

Karangsokon maka sifat ulet, pantang menyerah, tidak pernah pilih-pilih

pekerjaan, dan suka tantangan, merupakan bagian dari etos kerja mereka.

Ada pepatah Madura yang mengatakan ―sapa atane “bakal atana‟”

(siapa yang tekun bertani akan menanak nasi), “sapa adegeng bakal

adaging” (siapa berdagang akan berdaging/sehat), “ollena alako berre‟

apello koneng‖ (hasil dari bekerja keras berkeringat kuning—memperoleh

emas). Kerja keras tersebut sudah mulai awal menjadi prinsip dasar

masyarakat Madura untuk memenuhi kebutuhan primer dan sekundernya.

Selain itu, hemat dan halal juga termasuk dalam prinsip kerja

masyarakatnya, meski sebagian ada yang didapat dari hasil pekerjaan

yang tidak halal.17

4. Keberagamaan Masyarakat

Bentuk keberagamaan masyarakat Payudan Karangsokon tampak

pada kehidupan kemasyarakat yang religius. Seperti masyarakat Madura

pada umumnya, masyarakat Payudan Karangsokon juga dikenal patuh

mengamalkan ajaran-ajaran Islam. Bahkan Islam dijadikan bagian dari

ethnic identity, sehingga keberagamaan masyarakat Payudan

Karangsokon memiliki ciri khas kedaerahan yang sangat kental

sebagaimana beberapa desa sekitar.

17

Agus Afandi, dkk., Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu, (Yogyakarta: Ar-

Ruzz, 2006), h. 11-12

Page 45: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

32

Paham keagamaan masyarakat Payudan Karangsokon

diapresiasikan dalam bentuk simbol, seperti sarung, kopyah, dan sorban

bagi pria. Serta sarung, kebaya dan kerudung bagi wanita sebagai atribut

yang digunakan dalam setiap harinya kecuali pada kegiatan yang memang

mengharuskan menggunakan atribut selain hal tersebut. Seperti halnya

bersawah, sekolah SD, SMP dan SMA, serta beberapa kegiatan yang

lainnya.18

Keberagaman masyarakat Payudan Karangsokon juga diwujudkan

dalam sikap kolot dan fanatik terhadap sesuatu hal yang merupakan

kebiasaan. Sikap kolot nampak pada keharusan menggunakan kopyah dan

sarung ketika menjalankan shalat, seolah sarung dan kopyah menjadi

syarat sah shalat. Bahkan bukan hanya dalam hal demikian saja, dalam

tatacara atau model pakaian yang digunakan dalam shalat juga harus

terkesan rapi, mulai dari pemakaian kancing dan sebagainya. Sikap

fanatik terlihat juga pada sikap masyarakat yang tidak mau menerima

paham selain Nahdlatul Ulama’, entah hal tersebut dikarenakan karena

mempertahankan warisan para leluhur atau yang lainnya, sehingga

menyebabkan fanatisme keyakinan itu sangatlah kental. Demikian pula

sikap fanatik tercermin pada taatnya pada satu kyai walaupun di Desa

tersebut yang menjadi tokoh bukan hanya satu orang saja, akan tetapi

sikap fanatik dan penggolongan terhadap kyai tersebut masih sangat

kental.19

Bagi masyarakat Payudan Karangsokon, sosok seorang Kyai

merupakan segala-galanya, yang menjadi tempat untuk meminta jalan

keluar atas persoalan dan kesulitan hidup yang mereka hadapi.20

Masyarakat Payudan Karangsokon sangat taat dan patuh kepada figur atau

18

Wawancara Pribadi dengan Abd Hamid, Karangsokon 30 Oktober 2016 19

Wawancara Pribadi dengan KH. Abd Majid, Karangsokon 31 Oktober 2016 20

Melalui kharisma yang melekat padanya, Kyai dijadikan imam dalam bidang

„ubûdiyyah dan sering diminta kehadirannya untuk menyelesaikan problem yang menimpa

masyarakat. Rutinitas ini semakin memperkuat peran kyai dalam masyarakat, sebab kehadirannya

diyakini membawa berkah. Misalnya, tidak jarang kyai diminta mengobati orang sakit,

memberikan ceramah agama, diminta do’a untuk melariskan barang dagangan dan lain sebagainya.

Sebagai implikasi dari peran yang dimainkan kyai ini, kedudukan pesantren menjadi multi fungsi.

(Lihat Edi Susanto, Kepemimpinan (Kharismatik) Kyai Dalam Perspektif Masyarakat Madura,

Jurnal Karsa, Vol. XI No.1, April 2007

Page 46: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

33

tokoh tradisonal (ulama/kyai) daripada kepada figur atau tokoh formal.

Hal ini tidak dapat disalahkan sepenuhnya karena dalam kehidupan sosial

budaya masyarakat Payudan Karangsokon terdapat ungkapan buppa'

(bapak), babu' (ibu), guruh (guru), dan ratoh (rato).21

Makna ini

menunjukkan kepatuhan dan ketaatan masyarakat Payudan Karangsokon

pertama-tama kepada kedua orangtua, kemudian berturut-turut kepada

guru (figur ulama/kyai), dan terakhir kepada figur rato (pemimpin

formal). Dengan demikian, dapat disebut di sini bahwa seorang Kyai dan

Ulama dalam kultur masyarakat Payudan Karangsokon merupakan sosok

pemimpin formal dan informal, yang keberadaannya turut memberikan

warna dalam harmoni kehidupan masyarakat Payudan Karangsokon.22

Dengan demikian, citra tentang kepatuhan, ketaatan, atau

kefanatikan masyarakat Payudan Karangsokon pada agama Islam yang

dianut tentu sudah lama terbentuknya. Secarah harfiah mereka memang

sangat patuh menjalankan syariat agama seperti melakukan sembahyang

lima waktu, berpuasa, berzakat (pemberian wajib) dan bersedekah

(pemberian sukarela). Hasrat mereka untuk menunaikan kewajiban naik

haji besar sekali, sebagaimana juga dengan keinginan untuk belajar agama

di pesantren alih-alih belajar ilmu keduniawian di sekolah umum.

Sehingga secara keseluruhan ajaran Islam sangat pekat mewarnai budaya

dan peradaban desa Payudan Karangsokon. Ketaatan masyarakat Payudan

Karangsokon kepada elit agama (ulama/kyai) ini merupakan indikasi

bahwa masyarakat Payudan Karangsokon adalah masyarakat yang sangat

taat beragama. Selain ikatan kekerabatan, agama menjadi unsur penting

sebagai penanda identitas etnik Payudan Karangsokon.23

21

ada tingkatan penghormatan dalam masyarakat Madura, yaitu buppa’ (ayah), babu’

(ibu), guru (guru), dan rato (pemerintah). Sikap hormat dimulai dari bapak dan ibu (orang tua di

rumah), guru dan pemerintah, serta penghormatan kepada orang lain (Lihat Hasan Busri, Kearifan

Lokal Budaya Madura dalam Dinamika Sosial. Disertasi tidak Diterbitkan. (Malang: Pascasarjana

UniversitasNegeri Malang, 2010), h. 70 22

Huub De Jonge, Madura Dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan Ekonomi,

dan Islam, ter. KITLV-LIPI (Jakarta: PT Gramedia, 1989), 240. 23

Agus Afandi, dkk., Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu, h.13

Page 47: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

34

BAB III

PERNIKAHAN MASYARAKAT DESA PAYUDAN KARANGSOKON

GULUK-GULUK SUMENEP

A. Sekilas Tentang Living Hadis

Nabi Muhammad Saw sebagai penjelas (mubayyin) al-Qur’an dan

musyari’ menempati posisi yang penting dalam agama Islam. Selain dua hal

tersebut, nabi berfungsi sebagai ontoh teladan bagi umatnya. Dalam rangka

itulah, apa yang dikatakan, diperbuat dan ditetapkan oleh Nabi Muhammad

Saw dikenal dengan hadis yang di dalam ajaran Islam sebagai sumber kedua

setelah al-Qur’an.1 Hadis yang menyebar dikalangan umat Islam dan

diaktualisasikan dalam konteks tradisi dan budaya local inilah yang disebut

dengan living hadis.2

Kajian living hadis di Indonesia bermula dari fenomena Qur’an

and hadith in daily life yang marak satu dekade belakangan. Istilah

living hadis awalnya memang tidak bisa dilepaskan dari kajian living Qur’an,

mengingat keduanya secara teologis tidak dapat dipisahkan.3

Fazlurrahman memiliki pemahaman yang berbeda tehadap hadis,

bahwa hadis merupakan verbal tradition dan Sunnah merupakan pratical

tradition atau silent tradition. Istilah yang berkembang dalam kajian ini

adalah Sunnah dahulu baru kemudian menjadi istilah hadis. Hadis bersumber

dan berkembang dalam tradisi Rasulullah Saw serta menyebar secara luas

seiring dengan menyebarnya Islam. Teladan Nabi Muhammad Saw telah

diaktualisasikan oleh sahabat dan tabi’in menjadi praktek keseharian mereka

dengan menyebutnya sebagai the living tradition atau Sunnah yang hidup.4

Living Sunnah dimaknai sebagai teladan Nabi Muhammad Saw yang

telah diaktualisasikan oleh sahabat dan tabiin menjadi praktek keseharian

1 Muhammad Alfatih Suryadilaga, Model-Model Living Hadis, dalam Syahiron

Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 107 2 Nikmatullah, “Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks”

Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 227 3 Jajang A Rohmana, “Pendekatan Antropologi Dalam Studi Living Hadis Di Indonesia:

Sebuah Kajian Awal” Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 254 4 Fazlur Rahman, Islam dan Islamic Methodology un History. Penerjemah Ahsin

Muhammad (Bandung: Pustaka, 1994), h. 141

Page 48: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

35

mereka. Praktek ini muncul dari penafsiran yang bersifat individual terhadap

teladan Nabi.5 Suryadi menambahkan bahwa living Sunnah adalah Sunnah

Nabi yang secara bebas ditafsirkan oleh para ulama, penguasa dan hakim

sesuai dengan situasi yang mereka hadapi.6

Adanya pergeseran pandangan tentang tradisi Nabi Muhammad Saw

yang berujung pada adanya pembakuan dan menjadikan hadis sebagai sesuatu

yang mempersempit akupan, menyebabkan kajian living hadis menarik untuk

dikaji secara serius dan mendalam. Sedangkan living hadis lebih didasarkan

atas adanya tradisi yang hidup di masyarakat yang disandarkan kepada hadis.

Penyandaran tersebut bisa saja hanya difokuskan terhadap daerah khusus saja

atau bahkan bisa lebih diluaskan lagi dalam cakupan pelaksanaannya.7

Sementara Barbara D. Metcalf sebagaimana yang dikutip Nikmatullah

menyatakan bahwa living hadis mempunyai makna ganda yang mencakup

pemahaman terhadap hadis dan internalisasi tertulis/teks yang didengar ke

dalam kehidupan nyata.8

Melihat dari gambaran di atas maka penulis menarik sebuah asumsi bahwa,

living sunnah merupakan suatu kegiatan yang bukan hanya difokuskan pada

Rasulullah saja melainkan juga dikaitkan pada pengamalan setelahnya, seperti

halnya pada masa sahabat, tabi’’i dan generasi berikutnya. Sedangkan living hadis

merupakan suatu fenomena sosial-budaya yang bersumber dari pemaknaan terhadap

teks-teks hadis serta menyangkut juga praktek sosial keagamaan sebagai bentuk

pengamalan seorang hamba dalam kehidupa sehari-harinya. Sehingga pada umunya

dalam pendekatannya tidak jauh berbeda seperti halnya penelitian sosial keagamaan

pada umumnya.

5 Contoh dari living Sunnah adalah tentang harta rampasan perang, dimana pada kegiatan

tersebut terjadi pengamalan yang berbeda antara masa kepempinan Nabi Muhammad Saw dan

Sahabatnya. Lihat Nikmatullah, “Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan

Konteks” Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 228 Contoh lainnya

adalah masalah unta yang terlepas dari pemiliknya. Lihat Suryadi, Dari Living Sunnah ke Living

Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed), h. 93 6 Suryadi, Dari Living Sunnah ke Living Hadis, dalam Syahiron Syamsuddin (ed),

Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 93 7 Muhammad Alfatih Suryadilaga, Model-Model Living Hadis, dalam Syahiron

Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis (Yogyakarta: TERAS, 2007), h. 113-

114 8 Nikmatullah, “Review Buku Dalam Kajian Living Hadis: Dialektika Teks dan Konteks”

Jurnal Holistic al-Hadis, Vol. 01, No. 02, (Juli-Desember) 2015, h. 229

Page 49: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

36

B. Pengertian Pernikahan

Istilah nikah berasal dari akar kata Arab nakaha, yankihu, nikahan,

yang artinya “adh-Dham, al-Wath’u dan al-Aqdu”.9 Misalnya ketika

dikatakan “tanakahat al-Asyjār” maksudnya adalah “idzā tamayalat wa al-

dhamma ba’dun ila ba’din”, artinya “ketika pohon-pohon saling condong,

kemudian mereka saling berkumpul satu sama lainnya”.10

Pengertian pernikahan ialah akad yang menghalalkan pergaulan dan

membatasi hak dan kewajiban serta tolong-menolong antara seorang laki-laki

dan seorang perempuan yang bukan mahram.

Nikah adalah salah satu asas pokok hidup yang paling utama dalam

pergaulan atau masyarakat yang sempurna.11 Pernikahan itu bukan saja

merupakan satu jalan yang amat mulia untuk mengatur kehidupan rumah

tangga dan keturunan, tetapi juga dapat dipandang sebagai satu jalan menuju

pintu perkenalan antara suatu kaum dengan kaum lain, dan perkenalan itu

akan menjadi jalan untuk menyampaikan pertolongan antara satu dengan

yang lainnya.12

Secara arti kata nikah berarti bergabung “ammu” hubungan kelamin

wath’u dan juga berarti “akad” aqdun adanya dua kemungkinan yaitu

hubungan kelamin dan akad nikah, meskipun ada dua kemungkinan arti kata

“nakaha” akan tetapi masih terdapat perbedaan pendapat di kalangan ulama.

Perkawinan dalam pengertian bahasa Arab adalah nikah, nikah secara

bahasa berarti اجلمع (menghimpun) dan نكحت dikatakan (mengumpulkan) الضم

jika (pohon-pohon itu saling berhimpun antara satu dengan yang lain) االشجار

suatu bagian pohon itu saling berhimpun antara satu dengan yang lainnya).

9 an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim, Kitab Nikah, Juz: 9, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 171

dijelaskan juga oleh Syihabuddin Ahmad al-Qastalani dalam Kitab Irsyadu al-Sari li Syarhi

Shahihi al-Bukhari, Kitab Nikah, Juz: 11, (Beirut: Dar al-Fikr, tt), h. 382 10 Syafiq Hasyim, Hal-Hal yang Tak Terfikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan Dalam

Islam, (Bandung: Mizan, 2001), h. 149 11 arti nikah adalah akad yang membolehkan seorang laki-laki bergaul bebas dengan

perempuan tertentu dan pada waktu akad menggunakan lafaz “nikāh” atau “Tazwij”, atau

terjemahannya. Adapun “zawāj” atau “tazwij” bermakana sama dengan nikah (Lihat Peunoh Daly,

Hukum Perkawinan Islam Studi Perbandingan dalam Kalangan Ahlus Sunnah dan Negara-negara

Islam, cet. ke-19 (Jakarta: Bulan Bintang, 1988), h. 104.) 12 H. Sulaiman Rasjid, Fiqih Islam (Hukum Fiqih Lengkap), (Bandung: Sinar Baru

Algensindo, 2014), h. 374

Page 50: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

37

Jika suatu bagian pohon dengan bagian pohon yang lainnya saling berhimpun

atau berkumpul.13

Perkawinan dalam Islam merupakan sunnatullah yang sangat

dianjurkan karena perkawinan merupakan cara yang dipilih Allah Swt. untuk

melestarikan kehidupan manusia dalam mencapai kemaslahatan dan

kebahagiaan hidup.14 Perkawinan diartikan dengan suatu akad persetujuan

antara seorang pria dan seorang wanita yang mengakibatkan kehalalan

pergaulan (hubungan) suami-istri, keduanya saling membantu dan

melengkapi satu sama lain dan masing-masing dari keduanya memperoleh

hak dan kewajiban.15

Golongan Ulama Syâfi’îyah berpendapat bahwa kata nikah berarti akad

dalam arti sebenarnya (hakiki); dapat berarti juga untuk hubungan kelamin,

namun arti tidak sebenarnya (arti majâzî). Sebaliknya, Ulama Hānafiyah

berpendapat bahwa kata nikah itu mengandung arti secara hakiki untuk

hubungan kelamin.16 Pengertian perkawinan menurut istilah ilmu fiqih sering

memakai lafaz “nikah” dan “zawaj”. Menurut bahasa, nikah dapat

mengandung makna haqiqi, yaitu “dhām” , yang berarti menghimpit atau

berkumpul dapat pula mengandung makna majâzî, yaitu “wala”, yang berarti

bersetubuh atau aqad (mengadakan perjanjian pernikahan).17

Sedangkan nikah menurut istilah, ada beberapa pengertian yaitu:

1. Menurut M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syâfi’ah AM., nikah adalah

sesuatu akad yang menghalalkan pergaulan antara seorang laki-laki dan

perempuan yang bukan muhrim.18

2. Ulama Hânâfiyah, mendefinisikan pernikahan sebagai suatu akad yang

berguna untuk memiliki muth’ah dengan sengaja. Artinya seorang laki-

13 Taqiyuddin Abu Bakar Bin Ahmad Al Husaini, Kifayat al-Akhyār, Juz II, (Indonesia:

Darul Ihya Kutubil Arabiyah, tth) h.3 14 As-Sayyid Sabiq, Fiqih al-Sunnah (Beirut: Dar al-Kitab al-‘Anbi, 1973), 11: 6 15 Abu Zahrah, al-Ahwāl asy-Syakshiyah (Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957) VIII: 6513 16 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan cet.ke.-I. (jakarta : kencana 2006), h. 36-37. 17 Kamal Muktar, Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan, cet ke.-3 (Jakarta: Bulan

Bintang, 1993), h. 1. 18 M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi’ah AM., Kamus Istilah Fiqih, (Jakarta:

Pustaka Firdaus, 1994, cet. 1), h. 249.

Page 51: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

38

laki dapat menguasai perempuan dengan seluruh anggota badannya untuk

mendapatkan kesenangan dan kepuasan.

3. Ulama Syāfi’iyah, menyebutkan bahwa pernikahan adalah suatu akad

dengan menggunakan lafal nikah atau zauj yang menyimpan arti

memiliki. Artinya dengan pernikahan seseorang dapat memiliki atau

mendapatkan kesenangan dari pasangannya.19

4. Menurut Harun Nasution, yang dimaksud nikah menurut istilah ialah

suatu akad yang dengannya hubungan kelamin antara pria dan wanita

yang melakukan akad (perjanjian) tersebut menjadi halal.20

5. Menurut Undang-undang No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan

disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wania sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha

Esa.21

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa arti perkawinan atau

pernikahan adalah suatu akad perikatan untuk menghalalkan hubungan kelamin

antara laki-laki dan perempuan dalam rangka mewujudkan kebahagian hidup

keluarga yang diliputi rasa ketentraman serta kasih sayang dengan mencari

ridha Allah SWT.22 Perkawianan merupakan sesuatu ikatan yang suci yang

dianggap luhur untuk dilakukan. oleh karena itu, apabila seseorang hendak

melangsungkan perkawinan dengan tujuan yang mencari ridha Allah dan

perintah agama sementara seolah-olah sebagai tindakan permainan, maka

agama Islam tidak memperkenankannya. Perkawinan hendaknya dinilai

sebagai sesuatu yang suci, yang hanya dilakukan oleh orang-orang dengan

tujuan yang luhur dan suci. Hanya dengan demikian tujuan perkawinan dapat

tercapai.23

19 Slamet Abidin dan Aminudin, fiqih Munakahat 1 ( Bandung: Pustaka setia, 1999 ),

h.11. 20 Harun Nasution, Ensiklopedi Islam Indonesia, Djambatan, h 741 21 Undang-Undang Perkawinan No. I Tahun 1974 Tentang Perkawianan. Bab I Pasal 2

ayat (2) 22 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkawinan Islam. cet. ke-9 (Yogyakarta: UII PreSs,

1999), h. 11. 23 Lili Rasjidi, Pekawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia, (Bandung: PT

Remaja Rosda Karya,1991), h. 7.

Page 52: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

39

C. Prosesi Pernikahan

1. Mintah (Melamar) Perempuan

a. Pengertian Khithbah

Kata peminangan berasal dari kata pinang, meminang (kata

kerja). Meminang sinonimnya adalah melamar yang dalam bahasa

Arab disebut Khitbah. Menurut etimologi, meminang atau melamar

artinya (antara lain) “meminta wanita untuk dijadikan istri (bagi diri

sendiri atau orang lain)”.24

Peminangan dalam Ilmu fiqih dikenal dengan istilah khitbah,

secara etimologi berasal dari suku kata yaitu:25 خطب – خيطب – خطبا

Kata “khitbah” , dalam terminologi Arab memiliki akar kata

yang sama dengan al-khithāb dan al-khathāb. Kata al-khathāb berarti

“pembicaraan”. Apabila dikatakan takhāthaba maksudnya “dua

orang yang sedang berbincang-bincang”. Jika dikatakan khāthabahu

fi amr artinya “ia memperbincangkan sesuatu persoalan pada

seseorang”. Jika khitbah (pembicaraan) ini berhubungan dengan

ihwal perempuan, maka makna yang pertama kali ditangkap adalah

pembicaraan yang berhubungan dengan persoalan pernikahannya.26

Dalam pangertian lain Khitbah adalah:

و ب ج و ز لت ل نة ي ع م ة أ ر ام د ي ل ج الر ب ل ط ن يه ل ا م د ق الت ا ب ه ي و ا ة ال ح ان ي ب ا

ت ض او ف م و 27 ه ن اع ش همب ب ال ط م و ة ب ال ط م و قد الع مر أ همف

Artinya:

“Permintaan seorang pria kepada seorang wanita tertentu secara

langsung untuk memperistrikannya atau kepada walinya dengan

menjelaskan hal dirinya dan pembicaraan mereka dengan

masalah akad, harapan-harapannya dan harapan mereka

mengenai perkawinan”.

24 Kamal Muchtar, Asas-asas Hukum Islam Tentang Perkawinan, (Jakarta: Bulan

bintang, 1974) h, 28-29 25 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, (Beirut:Dar Al-Kitab Al-‘arabi,1977), h. 25 26 Cahyadi Takariawan Izinkan Aku Meminangmu, (Solo: Era Intermedia, 2004), h. 35 27 Abu Zahroh, al-Ahwāl as-Syakhsiyah, (Beirut: Dar Fikr, th), h. 27

Page 53: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

40

Menurut Abdul Azis Dahlan makna Khitbah adalah suatu

langkah pendahuluan menuju kearah pernikahan antara seorang pria

dan wanita.28 Pengertian ini sama halnya dengan pendapat yang

dikemukakan oleh Sayyid Sabiq yang lebih condong memaknai

Khithbah sebagai permintaan seorang lelaki terhadap seorang wanita

untuk kemudian dijadikan sebagai isterinya dengan melalui tahapan

yang sudah berlaku dikalangan Masyarakat.29

Sedangkan menurut Dr. Wahbah Az-Zuhaily, yang dimaksud

Khithbah adalah memperlihatkan keinginan untuk menikah terhadap

seorang perempuan tertentu dengan memberitahukan niat baiknya

kepada perempuan tersebut beserta walinya. Pemberitahuan tersebut

bisa dilakukan secara langsung oleh laki-laki yang hendak

mengkhitbah, atau bisa dengan cara memakai perantara keluarganya.

Jika si perempuan yang hendak dikhitbah atau keluarganya setuju

maka tunangan dinyatakan sah.30

Berdasarkan uraian di atas, maka dapat ditarik pemahaman

bahwa proses khithbah merupakan salah satu dari bagian untuk

menyampaikan keinginan seoranng laki-laki maupun perempuan

terhadap lawan jenisnya untuk dijadikan sebagai seseorang yang akan

menjadi pendamping kehidupannya dikemudian hari. Hal yang

demikian ini bisa saja orang tersebut langsung mengutarakan niatnya

terhadap keluarga wanita maupun melalui orang lain dalam

menyampaikannya.

b. Pendapat Para Ulama Tentang Persetujuan Pernikahan

Dalam diri manusia terdapat dimensi eksoterik yang dapat dilihat

melalui panca indera dan dimensi isoterik yang bersifat abstrak, tidak

terlihat, tetapi bisa dirasakan. Menurut Annemarie Schimmel, aspek-

aspek ruhaniah dari kehidupan hanya dapat diungkapkan melalui

28 Abdul Aziz Dahlan, Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ictiar Baru Van Hoeve,

199), h. 927 29 Sayyid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, Penerjemah Mudzakkir As, Jilid VI (Bandung: PT. al-

Ma’rifah, 1980), h. 30-31 30 Wahbah Az-Zuhaili, Fiqh al-Islām wa Adillatuhu, alih bahasa oleh Abdul Hayyie al-

Kattani, (Jakarta:Gema Insani, 2011), h. 21

Page 54: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

41

aspek-aspek yang terinderai. Misalnya, angin hanya dapat dilihat

melalui gerakan rumput. Debu yang terlihat dari jauh di gurun pasir,

menyembunyikan seorang penunggang kuda.31

Berikut penjelasan mengenai persetujuan gadis dewasa dalam

perkawinanaya menurut pendapat para ulama adalah sebagai berikut :

1) Madzhab al-Syāfi’i

Imam Syāfi’i membuat klasifikasi terkait dengan kebebasan

wanita dan persetujuannya kepada tiga kelompok, yakni: pertama,

gadis yang belum dewasa, kedua, gadis dewasa, dan ketiga, janda.

Untuk gadis yang belum dewasa, batasan umurnya adalah belum

lima belas tahun (15) atau belum haid, maka seorang bapak dalam

hal ini menurut beliau boleh menikahkan si gadis walaupun tanpa

seizinnya, dengan syarat perkawinan itu menguntungkan bagi si anak

gadis.32 Pandangan beliau ini didasarkan pada tindakan Abu Bakar

yang menikahkan ‘Aisyah kepada Nabi, dan umur ‘‘Aisyah ketika

itu baru sekitar tujuh tahun”.33

Adapun perkawinan gadis dewasa, ada hak berimbang antara

bapak (wali) dengan anak gadisnya. Hak bapak didasarkan pada

mafhum mukhalafah hadis yang menyatakan “janda lebih berhak

terhadap dirinya”. Menurut imam asy- Syāfi‘i mafhum mukhalafah

hadis ini bapak lebih berhak menentukan urusan perkawinan anak

gadisnya,34 meskipun dianjurkan musyawarah antara bapak dengan

31 Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi Memahami Islam secara

Fenonenologis, Penerjemah Rahmani Astuti (Bandung: Mizan, 1996), h. 22-23. 32 Ketika melihat kondisi sekarang ini bisa dikatakan bahwa 9 tahun sudah bisa haid

dengan beberapa unsur yang sudah mulai bergeser dari zaman sebelumnya kepada kehidupan

sekarang ini, sehingga menyebabkan beberapa anak mengalami haid lebih awal dari gambaran

yang ditentukan disini. 33 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan cet.ke.-I. (jakarta : kencana, 2006), h. 38 34 Hal ini didukung pernyataan ulama Al-syafi’iyyah bahwa apabila bapak sebagai wali

tidak perlu lagi meminta izin kepada anak gadisnya apabila telah memenuhi ketujuh syarat berikut:

pertama, antara bapak dengan anak tidak ada permusuhan. Kedua, anatara si anak gadis dengan

calon suaminya tidak ada permusuhan. Ketiga, calon suaminya sekufu’. Keempat, calon suami

sanggup memberikan mahar. Kelima, mahar yang sesuai. Keenam, mahar merupakan mata uang

setempat, ketujuh mahar dibayar kontan, lihat ‘Abdul ar-Rahman al-Jaziri, al-Fiqih ‘ala al-

Mazahib al-Arba‘ah (Beirut: Dar al-Afkar, t.t) h, 35

Page 55: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

42

si anak gadis, berdasarkan firman Allah dalam Surah al-Imran (3)

ayat 159:

اال م ر و ش او ر ه مف

Dari penjelasan al-Syāfi’i, akhirnya bisa dilihat bahwa dalam

kasus gadis dewasa pun hak bapak sebagai wali masih melebihi hak

gadis. Kesimpulan ini didukung oleh ungkapan al-Syāf’i sendiri

yang menyatakan bahwa persetujuan gadis bukanlah suatu keharusan

.(اختيار) tetapi hanya sekedar pilihan (فرض)

Adapun perkawinan seorang janda al-Syāfi’i menurut beliau

harus ada persetujuan yang jelas dari yang bersangkutan. Keharusan

ini didasarkan pada kasus perkawinan yang ditolak Nabi karena ia

dinikahkan oleh walinya dengan seorang laki-laki yang tidak

disenangi ditambah lagi tanpa diminta persetujuannya terlebih

dahulu.35 Dengan demikian, hadis ini menurut beliau menyatakan

seorang janda lebih berhak terhadap dirinya dari walinya. Ketetapan

ini diperkuat hadis lain.36 Dengan menyebut lebih berhak pada

dirinya (احق بنفسها) berarti untuk sempurnanya perkawinan harus

dengan persetujuannya dan tidak ada orang lain yang berhak untuk

mencegahnya untuk nikah.37

2) Maliki

Dalam kaitan persetujuan dan kebebasan wanita dalam

memilih pasangan (calon suami), imam Malik membedakan antara

janda dengan gadis. Untuk janda harus ada persetujuan dengan tegas

sebelum akad nikah. Adapun gadis dan janda yang belum dewasa

yang belum digauli oleh suaminya ada perbedaan antara bapak

sebagai wali dengan wali selain bapak. Bapak sebagai wali menurut

imam Malik beliau berhak memaksa anak gadisnya dan janda yang

35 Yusuf Qardhawi, Fatwa-Fatwa Kontemporer, alih bahasa As’ad Yasin, cet. II, (Jakarta:

Gema Insani Press, 1996), h. 467. 36 Hendi Suhendi, Fiqih Muamalah, cet. I (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002), h.

3 37 Lihat Ibnu Hajar al-Asqalani, Fathul Bari, Juz 25, h. 310

Page 56: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

43

belum dewasa (hak ijbar) untuk nikah, sedangkan wali selain bapak

tidak mempunyai hak ijbar. Dengan kata lain, seorang bapak boleh

menikahkan anak gadis dan janda yang belum dewasa walaupun

tanpa persetujuan keduanya.38 Otoritas yang dimiliki bapak itu lanjut

imam Malik karena memang syara’ mengkhususkan demikian, atau

karena kasih sayang seperti yang dimiliki seorang bapak tidak akan

dimiliki oleh wali yang lain.39

Kemudian az-Zarqanî menuliskan dua pandangan ‘Iyad

tentang pembahasan ini, pertama bahwa wanita yang masih gadis,

walinyalah yang lebih berhak dalam menentukan persetujuan dalam

perkawinannya. kedua, sedangkan wanita janda lebih berhak dalam

menentukan persetujuan dalam perkawinannya.40 Kedua pendapat ini

didasarkan pada hadis Nabi:

ق ا الن ب ص ل ىهللا ع ل ي ه و س ل م أ ن ع ب اس ابن ع ن ل ا ل اه ي ل و ن ام ه س ف ن ب ق ح ا ي

ن ع م ات ه اق ال إ ذ ن ه اص م ه او ن ف س ت أ ذ ن ف ت س ر 41 و الب ك

Artinya:

Dari Ibnu Abbas, bahwa Nabi Muhammad Saw bersabda, “Janda

lebih berhak atas dirinya dari pada walinya, dan gadis perawan

diminta izinnya (dalam urusan nikahnya), sedangkan tanda ia

mengizinkan adalah bila ia diam?”. Malik menjawab, “Ya”.

Pendapat pertama, dengan mengambil mafhum mukhalafah

dari hadis ini, sedangkan pendapat kedua dengan menghubungkan

hadis ini dengan hadis Nabi:

هللا ص ل ىهللاع ل ي ه و س ل م : ر س ول :ق ال أ ب م و س ىق ال 42 ال و ب ال ا اح ك ن ال ع ن

38 Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I)

(Yogyakarta: Academia + Tazzafa, 2004), h. 70 39 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 407 40 Ibn Rusyd, Bidayah al-Mujtahid, h. 71 41 An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan

Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 88

Page 57: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

44

Artinya:

Dari Abi Musa, ia berkata, Rasulullah Saw bersabdda: “Tidak

ada nikah kecuali dengan wali”

3) Hanbali

Dalam al-Mugni, Ibn Qudamah seorang ulama besar dari

mazhab Hanbali ini mengklaim, bahwa ulama sepakat adanya hak

ijbar wali untuk menikahkan gadis yang belum dewasa, baik wanita

itu senang atau tidak, dengan syarat sekufu. Ibn Qudamah sendiri

cenderung berpendapat, bahwa bapak berhak memaksa anak

gadisnya baik dewasa atau belum, menikah dengan pria sekufu

walaupun wanita tersebut tidak setuju.43 Menurut beliau, dasar

bolehnya menikahkan gadis yang belum dewasa adalah firman Allah

dalam Surah ath-Thalaq (65): 4:

ن ض ي ل ىئ ل او ر ه ش ا ة ث ل ث ن ه ت د ع ف م ت ب ت ار ن إ م ك ائ س ن ن م ض ي ح ال ن م ن س ئ ي ئ ىال و

Artinya:

“Permepuan-perempuan yang tidak haid lagi (menopause) diantara

istri-istrimu jika kamu ragu-ragu (tentang masa idahnya) maka

idahnya adalah tiga bulan; dan begitu (pula) perempuan-perempuan

yang tidak haid. (QS. Ath-Thalaq (65): 4)

Pada prinsipnya ayat ini berbicara tentang masa ‘iddah

seorang wanita yang belum haid atau wanita yang sudah putus haid.

Logika sederhana adalah ‘iddah muncul karena talak, dan talak

muncul karena nikah.44 Dasar pendapat ini sesuai dengan hadis fi‘li

Nabi Saw:

42 Abi ‘Isa Muhammad bin Sawrah, Sunan at-Tirmizi, Beirut: Dar al-Fikr, 1408/1988),

III: 407, hadis nomor 1101, “Kitab an-Nikah”, “Bab Ma Ja'a illa bi Waliyyi", Sanad hadis ini

marfu‘ muttasil, hadis dari ‘Ali bin Hujr diceritakan Syarik bin ‘Abdullah dari Abi Ishaq. 43 Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), h.

88 44 Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), h.

89

Page 58: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

45

ج و ز ت ت ال ق ة ش ائ ع ن ع الن ن ن س ت س ت ن اب ن ا و م ل س و ه ي ل ع ىهللا ل ص ب ن ب و ي

ن س ع س ت ت ن اب ن ا و ب 45 ي

Artinya:

Dari Aisyah, ia berkata, “Rasulullah Saw menikahiku ketika aku

berusia enam tahun, dan aku menggaulinya ketika aku berusia

sembilan tahun”.

Menurut ibn Qudamah, disamping sebagai dalil bolehnya

menikahkan gadis yang belum dewasa, hadis ini juga menunjukkan

tidak adanya permintaan izin dari Abu Bakr (bapak/wali) kepada

‘Aisyah.

4) Hanafi

Menurut Abu Hanifah, persetujuan wanita (calon istri) gadis

atau janda harus ada dalam perkawinan. Sebaliknya, kalau mereka

tidak setuju, maka akad nikah tidak boleh dilanjutkan. Walaupun

yang menjadi wali adalah bapak kandung mereka sendiri.

ال ن ص ار ي ة ام ذ خ ب ن ت خ ن س اء ع ن ذ ل ك ف ك ر ه ت ث ي ب و ه ي ا ز و ج ه أ ب اه ا أ ن

ا ل ه ف ر د ن ك اح ه ذ ل ك هللا صل ىهللاعليهوسل مف ذ ك ر ت ر س ول 46ف ج اء ت

Artinya:

Diriwayatkan oleh Khansa binti Khidzami al-Anshariyah,

“sesungguhnya ayahnya telah menikahkannya, saat itu

statusnya dalam keadaan perawan. Ia tidak menyukai perilaku

ayahnya yang demikian, kemudian ia mendatangi Rasulullah

Saw dan menceritakan apa yang dialaminya, maka pernikahan

yang dilakukan oleh sang bapak tersebut ditolak oleh Nabi

Saw.”

45 An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan

Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 896 46 Bukhari, Shahih Bukhari, cet. III, V Beirut: Dar al-Fikr, 1401/1981,: 135, “Kitab an-

Nikah”, “Bab Iza Zawwajahu Ibnatahu wa Hiya Karihah fa Nikahuhu Mardud”. Sanad hadis ini

marfu‘ muttasil, hadis diceritakan oleh Ismail diceritakan Malik dari Abdul ar-Rahman.

Page 59: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

46

ة ي ار ج ن ا ":اس ب ع ن اب يث د ح ن م ن ن الس ف و ر ا( الن ت ت ا )ب ك اهللا صل ب ى

الن ه ر ي خ ف ةه ار ك ي ه او ه ج و ز ااه ب ا ن ا ت ر ك ذ مف ل س و ه ي ل ع ا يه ل ع هللا ىصل ب

47مل س و

Artinya:

Dalam hadis sunan dari ibn Abbas Ra: “Sesunguhnya seorang

wanita datang kepada Nabi Saw, kemudian ia menceritakan

kepada Nabi Saw bahwa ayahnya telah menikahkannya, dan ia

tidak menyukai perkawinannya. Maka Nabi pun memberikan

wanita tersebut hak untu memilih.”

Adapun dasar penetapan harus adanya persetujuan gadis

dalam perkawinan, menurut abu Hanifah adalah kasus di masa Nabi

yang menyatakan bahwa Nabi menolak perkawinan seorang gadis

yang dinikahkan bapaknya, karena gadis tersebut tidak menyetujui,

yakni kasus yang terjadi pada al-Khansa’. dalam kasus ini, al-

Khansa’ menemui dan melaporkan kasus yang menimpa dirinya,

yakni dia dinikahkan bapaknya kepada saudara bapaknya yang tidak

ia senangi, pada saat itu Nabi balik bertanya “apakah kamu diminta

izin (persetujuan)?” al-Khansa’ menjawab “saya tidak senang

dengan pilihan bapak”. Nabi lalu menetapkan perkawinannya

sebagai perkawinan yang tidak sah, seraya bersabda/berpesan

“nikahlah dengan orang yang kamu senangi”. al-Khansa’

berkomentar, “bisa saja aku menerima pilihan bapak, tetapi aku

ingin agar para wanita mengetahui bahwa bapak tidak berhak untuk

memaksakan kehendaknya untuk menikahkan anak wanitanya dan

nabi menyetujuinya. Ditambah lagi oleh al-Khansa’, “nabi tidak

minta keterangan apakah saya gadis atau janda”, seperti dicatat

sebelumnya.

47 Abu Daud, Sunan Abi Daud, cet. I, II , Beirut: Dar al-Fikr,t.t.,h 232, hadis nomor 2096,

”Kitab an-Nikah”, “Bab al-Bikr Yuzawwijuha Abuha wa la Yasta’miruha.” sanad hadis ini marfu‘

muttasil, hadis diceritakan oleh Usman bin Abi Syaibah diceritakan oleh Husain bin Muhammad

diceritakan oleh Jarir bin Hazim.

Page 60: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

47

Kasus al-Khansa’ ini menjadi salah satu dalil tidak adanya

perbedaan antara janda dengan gadis tentang harus adanya

persetujuan dari yang bersangkutan dalam perkawinan.

Perbedaannya hanya terletak pada tanda persetujuan itu sendiri;

kalau gadis cukup dengan diamnya saja, sementara janda harus

tegas.48

Melihat dari pendapat dari berbagai madzhab tersebut,

penulis sejalan terhadap pemikiran madzhab Hanafi yang

mengatakan bahwa harus ada persetujuan. Oleh karenanya jika

orang tuanya berniat untuk menikahkan anak perempuaannya maka

harus mendapatkan persetujuan dari anaknya tersebut, baik dia

dalam keadaan janda maupun masih perawan.

2. Penentuan Waktu Pernikahan (Nyareh Dhinah Begus)

a. Perhitungan Jawa

Dalam pelaksanaan perkawinan yang perlu diperhitungkan

adalah hari dan tanggalnya pada saat pelaksanaan ijab kabul atau akad

nikah. Saat ijab kabul merupakan acara inti dari perkawinan,

sedangkan untuk pesta perkawinan merupakan salah bentuk rasa

syukur atas berlangsungnya akad tersebut. Saat pelaksanaan akad

pernikahan waktu perlu diperhitungkan dengan seksama, hal ini

sebagaimana adat Jawa yaitu adanya perhitungan hari kelahiran atau

weton (Bahasa jawa) kedua belah pihak calon pengantin.49

Setelah lamaran seorang laki-laki terhadap seorang perempuan

diterima, maka kemudian selanjutnya kedua belah pihak biasanya

melakukan perundingan untuk mencari hari baik untuk pelaksanaan

akad nikahnya yang didasari dari tanggal, bulan dan tahun lahir dari

keduanya untuk kemudian dijadikan acuan untuk menentukan hari

baik.

48 Khoiruddin Nasution, Islam: Tentang Relasi Suami Dan Istri (Hukum Perkawinan I), h.

77 49 Fahmi Kamal, Perkawinan Adat Jawa Dalam Kebudayaan Indonesia, Jurnal Khasanah

Ilmu Vol. 5 No. 2 September 2014, h. 40

Page 61: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

48

Sejak dahulu masyarakat Jawa telah pandai meramal dengan

berpedoman pada neptu dina dan meptu pasaran, neptu bulan serta

neptu tahun, sebagaimana orang Yunani ataupun Romawi kuno

pandai meramal dengan menggunakan pedoman planet-planet, maka

ramalan itu wajar bila ada yang benar dan ada yang salah.50

Kepandaian tersebut didapat karena mereka tekun dalam penelitian

dan mencatat peristiwa-peristiwa yang dianggap perlu, maka

penelitian itu kemudian dijadikannya patokan. Lalu patokan-patokan

ini dihubungkan dengan penangguhan-penangguhan adat Jawa.

Kepandaian orang Jawa dalam hal “neptu dina, pasaran, bulan

dan petung tahun” sudah dikenal sejak lama. Bermula dari tahun 1387

dari tahun Jawa. Ada pula yang mengatakan bahwa bermula dari

kerajaan Majapahit, sejak Hayam Waruk menjadi Raja.51

Dalam adat istiadat Jawa, neptu merupakan salah satu faktor

yang amat penting, hal ini karena erat hubungannya dengan aktifitas

kehidupan sehari-hari. Diantaranya adalah untuk memperhitungkan

atau menentukan pelaksanaan di hari pernikahannya. Adapun

perhitungan (petung Jawa) menurutt perhitungan pujangga itu terbagi

pada neptu dina52, pasaran53, sasi54 dan tahun.55

Neptu Dina ialah suatu perhitungan dalam adat istiadat Jawa

yang berdasarkan atas ketentuan nilai hari, yaitu minggu, senin,

50 Dalam pelaksanaan hari perkawinan, ada dhina, baik hari atau bulan yang memang

khusus dianjurkan untuk melaksanakan acara tersebut, misalnya mengikuti jejak Rasulullah SAW.

Seperti apa yang telah diceritakan Siti Aisyah R.A. bahwasanya Rasulullah menikahiku bulan

Syawal, dan menyetubuhiku bulan syawal, maka dari itu Siti Aisyah menganjurkan para suami

untuk menggauli istri untuk pertama kalinya di bulan Syawal. (Lihat Fadli Bahri, Ensiklopedi

Muslim (Jakarta: PT Darul Falah, 200), 581 51 L. Canifah AG, Primer dan Horoskop (Jakarta: CV Bintang Pelajar, T.th), h. 7 52 Neptu Dina: Akad (Neptune: 5), Senen (Neptune: 4), Selasa (Neptune: 3), Rabu

(Neptune: 7), Jum’at (Neptune: 6) dan Sabtu (Neptune: 9) 53 Neptu Pasaran: Kliwon (Neptune: 8), Legi (Neptune: 5), Pahing (Neptune: 9), Pon

(Neptune: 7), dan Wage (Neptune: 4.5) 54 Neptu Bulan: Sura (Neptune: 7), Sapar (Neptune: 2), Rabiul Awal (Neptune: 3), Rabiul

Akhir (Neptune: 5), Jumadil Awal (Neptune: 6), Jumadil Akhir (Neptune: 1), Rejeb (Neptune: 2),

Ruwah (Neptune: 4), Poso (Neptune: 5), Sawal (Neptune: 7), Dzulqa’dah (Neptune: 1) dan Besar

(Neptune: 3) 55 Neptu Windu: Alip (Neptune: 1), Ehe’ (Neptune: 5), Jimawal (Neptune: 3), Je’

(Neptune: 7), Dal (Neptune: 4), Be’ (Neptune: 2), Wawu (Neptune: 6) dan Jimakir (Neptune: 3).

(Lihat Tjakraningrat, KPH, Primbon Bental Jemur Adammakna (Yogyakarta: dihimpun oleh R.

Soemodibjo), h.7

Page 62: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

49

selasa, rabu, kamis, jum’at dan sabtu. Neptu Pasaran ialah suatu

perhitungan dalam adat istiadat Jawa berdasarkan ketentuan nilai

pasaran, yaitu pahing, pon, wage, kliwon dan legi. Neptu bulan ialah

suatu perhitungan dalam istiadat Jawa berdasarkan ketentuan nilai

bulan, yaitu suro, sapar, syawal, dzulqa’dah, dan besar. Neptu tahun

ialah suatu perhitungan dalam adat istiadat Jawa berdasarkan

ketentuan nilai tahun, yaitu alip, ehe’, jimawal, je’, be’, wawu dan

jimakir.56

b. Hari Baik Dalam Islam

Pada dasarnya setiap hari adalah baik, namun dalam jumlah hari

dalam satu minggu ada hari-hari yang dianggap istimewa oleh

sebagian masyarakat, dalam satu tahun ada bulan-bulan yang dinggap

karomah. Dalam Islam, memang terdapat hari-hari atau bulan-bulan

tertentu yang diagungkan, sebab pada hari atau bulan tersebut terdapat

sebuah keutamaan-keutamaan tersendiri. seperti bulan yang dianggap

bulan penuh berkah yakni bulan Ramadlon, Dzulhijjah, hari Arafah

dan Asyuro’, bulan Muharram.57

Menurut Bangsa Arab bulan Dzulqa’dah, Dzulhijjah, Muharram

dan Rajab dikategorikan sebagai bulan yang suci atau yang dikenal

dengan sebutan Asysyahrul Hurum, karena bulan-bulan tersebut

merupakan rentang waktu pelaksanaan ibadah haji menuju Bait Allah

yang merupakan tempat suci. Sementara pada bulan Rajab adalah

waktu pelaksanaan Umrah.58 Sebagaimana dijelaskan dalam hadis

Nabi Saw berikut:

ح ال الص ل م ع ال ام ي أ ن ام مم ىهللاعليهوسل هللاصل ول س ر ال ق ال ق اس ب ع ن اب ن ع

ه ذ ه ن م هللا ل ا ب ح أ ن ه ي ف ل ي ب س ف اد ه اجل ال و هللا ول س ار اي و ال ق ف ر ش الع ام ي ال

56 Kisuro, Primbon Jawi Lengkap Edisi Bahasa Indonesia, cet. 1 (Solo: UD Mayasari,

1995), h. 3 57 Muhammad Abdussalam al-Syaqiry, Bid’ah-bid’ah yang Dianggap Sunnah, Cet III

(Jakarta: Qisthi Press, 2004), h. 149 58 Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah Perkelahiran dan Pemakaman (Yogyakarta:

LKIS, 2003), h.10

Page 63: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

50

ج ر خ لج ر ال ا هللا ل ي ب س ف اد ه اجل ال مو ىهللاعليهوسل صل هللا ل سو ر ال ق ف هللا

59ء ي ش ب ك ل ذ ن م ع ج ر ي م ل ف ه ال م و ه س ف ن ب

Artinya:

Dari Ibnu Abbas berkat, Rasulullah Saw bersabda: “tidak ada hari-

hari untuk berbuat Amal shalih yang lebih Allah cintai kecuali

sepuluh hari pertama bulan Dzul Hijjah” para sahabat

bertanya,wahai Rasulullah, sekalipun Jihad fi Sabilillah? Rasulullah

Saw menjawab “seskalipun jihad fi sabilillah, kecuali seorang

lelaki yang pergi berjjihad dengan harta dan jiwanya lalu tidak

kembali sedikitpun dari keduanya”.

Selain itu, Nabi juga pernah menikahkan putrinya dibulan

tertentu, namun hal tersebut memang disengaja tanpa

memperhitungkannya terlebih dahulu. Artinya, sebelum menikahkan

putrinya Nabi tidak memilih bulan yang cocok dan baik untuk

pernikahan putrinya, namun karena memang sudah waktunya menikah

hal tersebut dilakukan.60 Namun pada bulan ini Nabi juga pernah

melangsungkan pernikahannya dengan Siti Aisyah sebagaimana hadis

yang dikisahkan oleh Siti Aisyah R.A.:

ج و ز ت ت ال ق ة ش ائ ع ن ع م ل س و ه ي ل ع ىالل ل ص الل ول س ر ن ن ب و ال و ش ف ب ف

اء س ن ي أ ف ال و ش الل ر س ول الل ع ظ ح أ ان ك م ل س و ه ي ل ع ص ل ى م ه د ن ى ال ق ن

ه اء س ن ل خ د ت ن أ ب ح ت س ت ة ش ائ ع ت ان ك و 61ال و ش اف

Artinya:

Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah Saw menikahiku pada bulan

syawwal, menggauliku pada bulan syawwal; maka isteri beliau

yang manakah yang lebih beruntung disisinya selain aku? Ia

berkata, Aisyah senang jika para wanita dinikahi pada bulan

Syawwal.

59 Abu Isa al-Tirmidzi, al-Jāmi’ al-Shahih li al-Tirmidzi (Beirut: Dar al-Fikr, 1936), h.

205 60 Khalil Abdul Karim, Syari’ah Sejarah Perkelahiran dan Pemakaman (Yogyakarta:

LKIS, 2003), h.10 61 An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan

Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 903

Page 64: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

51

Dengan riwayat tersebut Sitti Aisyah ingin meluruskan asumsi

masyarakat Arab yang menghindari bulan Syawal untuk

melaksanakan pernikahan, bahkan menganjurkannya. Sebab Pada

jaman dahulu bangsa Arab mengenal tentang hari yang baik dan tidak

baik atau dikenal dengan hari (na’as) yakni bulan Syawal. Sehingga

pada masa tersebut, bulan Syawal sangat dihindari dalam

melaksanakan perkawinan.62 Hal yang serupa juga sebagaimana

pernikahan Rasulullah Saw dengan Saudah binti Zam’ah yang

dilaksanakan pada bulan Syawal tahun kesepuluh dari kenabian.63

Pada dasarnya semua bulan dalam Islam memiliki keutamaan

masing-masing. Hari, bulan dan Tahun yang telah Allah ciptakan

semuanya baik, tidak ada hari yang na’as, karena kecelakaan dan

kesialan merupakan takdir dari Allah Swt yang mana hal tersebut

tidak diketahui oleh Manusia kecuali setelah hal tersebut terjadi.

Menganggap waktu sebagai penyebab kesialan suatu usaha

sebenarnya merupakan mitos yang terjadi di Masyarakat Pra-Islam.

Pada masa itu mereka sering berkumpul diberbagai kesempatan untuk

berbincang-bincang berkaitan dengan berbagai hal, dan dalam

perbicangan tersebut terlontar ucapan-ucapan yang menjadikan waktu

sebagai penyebab kesialan usaha mereka, atau ketika mereka terkena

musibah yang lain.

3. Pelaksanaan Pernikahan

a. Pengertian Walimah al-Urs

Walimah berasal dari kata walm yang berarti berkumpul. Sebab,

kebiasaan orang berkumpul, ketika ada walimah. Sedangkan secara

syara’ walimah digunakan pada makanan yang disediakan untuk

mengungkapkan rasa bahagia yang sedang dirasakan. Baik rasa

62 Sirojuddin dan Mohammad Bashri Asyari, Tradisi Nyareh Dhina Dalam Penentuan

Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam di Desa Larangan Badung. Jornal al-Hikam Vol. 9 No.

1 Juni 2014, h. 25 Lihat Pula An-nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun,

Suharlan dan Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 903 63 Maulana Muhammad Zakariya al-Kandahlâwî, Fadilah al-A’mâl, penerjemah Musthafa

Sayani (Bandung: Pustaka Ramadhan, tt), h. 574-575

Page 65: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

52

bahagia tersebut didasari atas sesuatu yang telah terjadi maupun

sesuatu hal yang akan terjadi.64

Adapun walimah dalam arti yang khusus dinamakan walimah

al-Urs yang mengandung pengertian peresmian pernikahan yang

bertujuan untuk memberitahukan kepada khalayak umum bahwa

kedua pengantin telah resmi menjadi suami istri dan sekaligus sebagai

rasa syukur keluarga kedua belah pihak atas berlangsungnya

pernikahan tersebut.65

Walimah al-Urs terdiri dari dua kata, yaitu walimah dan al-Urs.

walimah secara etimologi berasal dari bahasa arab, yaitu dari kata ،اولم

dalam bahasa Indonesia berarti kenduri atau يولم، إيالما، ومولم، وليمة

pesta. Jama’ kata وليمة adalah 66.والئم

Sedangkan al-Urs secara etimologi juga berasal dari bahasa

arab, yaitu عرس dan jama’nya adalah اعراس yang berarti perkawinan

atau makanan pesta.67 Walimah al-Urs secara terminologi adalah

suatu pesta yang mengiringi akad pernikahan,68 atau perjamuan karena

sudah menikah.69

Walimah atau pesta nikah adalah satu hal yang dilakukan untuk

memberi kesan bagi suami isteri yang segera memasuki jenjang

keluarga. Ia merupakan perayaan suci bagi lahirnya kekuatan baru

yang merupakan gabungan dua kekuatan cinta. Semacam deklarasi

kasih sayang pada segenap handai taulan bahwa mereka sanggup

mengemban amanah suci.70

64 Abu Yasid, Fiqih Realitas Respon Ma’had Aly Terhadap Wacana Hukum Islam

Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 247. 65 Abdul Aziz Dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Houve,

1996), h. 1917. 66 Syams al-Din Muhammad bin Abi Abbas al-Ansari, Nihayah al-Muhtâj ila Syarh al-

Minhâj, (Beirut: Dar al-Fikr, t,th), h.369. 67 Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Yayasan Penyelenggara

Penterjemah/ Penafsir Al-Qur'an, 1973), h. 260 68 Cyril Glasse, Ensiklopedi Islam (Ringkas), (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 1999), h.

430. 69 Muchtar Effendi, Ensiklopedi Agama dan Filsafat, (Palembang : Universitas Sriwijaya,

2001), h. 400. 70 Ashad Kusuma Djaya, Rekayasa Sosial Lewat Malam Pertama (Yogyakarta: Kreasi

Wacana, 2001), h.133-134

Page 66: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

53

Menurut Ibn Atsir, walimah hanya khusus bagi jamuan yang

dilakukan berkenaan dengan pernikahan saja. Dan dapat dikatakan,

bahwasanya walimah yang dimaksud hanya walimah al-Urs saja.

Dijelaskan bahwa walimah ialah jamuan yang diadakan kaena

peristiwa atau acara yang diadakan dengan mengundang orang untuk

menghadirinya.71

Di dalam melaksanakan resepsi pernikahan tidaklah harus

dengan bermewah-mewahan, akan tetapi cukup dengan

menghidangkan makanan semampunya, sekalipun tidak terdapat

makanan berupa daging atau roti. Karena pada saat Rasulullah Saw.

Mengadakan resepsi perkawinannya dengan Siti Shafiah hanya

menghidangkan makanan kurma, keju serta minyak samin dan para

shabatpun merasa puas (kenyang) dengannya.72

Berdasarkan beberapa pengertian di atas maka dapat pahami

bahwa walimah al-Urs merupakan sebuah acara sebagai tanda syukur

atas akad nikah yang sudah dilaksanakan serta sebagai upaya untuk

pemberitahuan atau mengumumkan kepada masyarakat bahwa

anaknya sudah memiliki pasangan. Serta menyediakan jamuan

makanan yang khsus disiapkan untuk para tamu, dengan penyajian

sesuai dengan kemampuannya.

b. Dasar Hukum Walimah al-Urs

Para ulama berbeda pendapat mengenai pelaksanaan pernikahan

ini, hal ini dilatar belakangi anjuran Rasulullah Saw. Terhadap para

sahabat untuk melaksanakan walimah walaupun hanya dengan seekor

kambing saja. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw berikut:

71 Teungku Muhammad Hsbi Ash Shiddieqy, Koleksi Hadis-Hadis Hukum (Semarang:

PT. Pustaka Rizki Putra, 2001) h. 158 72 Mahmud Mahdi al-Istanbuli, Kado Perkawinan (Jakarta: Pustaka Azzam, 2012), h. 236

Page 67: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

54

ن ب ن ح الر د ب ىع ل ىع أ مر ىهللاعليهوسل صل هللا ول س ر ن أ ك ل ام ن ب س ن أ ن ع

يارسولهللاإ ال اق ذ اه م ال ق ف ة ر ف ص ر ث أ ف و ع ن م اة و ن ن ز ىو ل ع ة أ امر ت ج و ز ت ن

73 اة ش ب و ل و ،أ و ل ،ك ل هللا ك ار ب ال ق ف ب ه ذ

Artinya:

“Dari Anas bin malik, bahwa Rasulullah Saw. Telah melihat

bekas kekuning-kuningan pada Abdurrahman bin Auf, maka

Rasulullah Saw. Bertanya, apa ini? Abdurrahman menjawab,

sesungguhnya saya telah menikah dengan seorang perempuan

dengan mas kawin seberat satu biji emas. Kemudian Rasulullah

Saw. bersabda, semoga Allah Swt memberkatimu, adakanlah

walimah sekalipun dengan seekor kambing”

Perintah nabi untuk mengadakan walimah dalam hadis ini tidak

mengandung kewajiban, akan tetapi dipahami oleh jumhur ulama

sebagai kesunnahan karena demikian hanya merupakan tradisi yang

hidup melanjutkan tradisi yang sudah ada pada kalangan masyarakat

Arab semenjak Islam belum datang. Pelaksanaan walimah pada masa

sebelum Islam itu diakui oleh Nabi bahwa hal tersebut perlu

dilanjutkan, namun juga disertai dengan perubahan yang sesuai

dengan yang diajarkan dalam agama Islam.74

Ulama berbeda pendapat dengan jumhur ulama adalah Zahiriyah

mengatakan bahwa diwajibkan atas setiap orang yang melaksanakan

perkawinan untuk kemudian melaksanakan acara walimah al-Urs,

baik dengan acara yang sederhana maupun dengan acara yang cukup

mewah sebagaimana dengan kemampuan yang dimiliki oleh masing-

masing keluarga. Pendapat ini didasarkan terhadap hadis yang

73 Muhammad bin Isa bin Saurah al-Tirmidzi, Shahih Sunan al-Tirmidzi, Kitab al-Nikah

Bab Mā Jāa Fi al-Walimah (Riyad: al-Ma’arif li al-Nasyri wa al-Tauzi’, 2000), h. 555 74 Imam al-Ghazali, Etika Perkawinan (Membentuk Keluarga Bahagia), terj. (Jakarta:

Pustaka Panjimas, 1993), h. 65

Page 68: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

55

dikemukakan di atas dengan pemahaman bahwa perintah yang

terdapat dalam hadis tersebut sebagai perintah yang wajib.75

Pendapat yang demikian juga dikemukakan oleh Imam Syafi’i

dalam kitabnya al-Um bahwa mengadakan walimah al-Urs itu adalah

wajib, hal ini berlandasakan karena Rasulullah Saw. sendiri selalu

mengadakan walimah terhadap para istrinya baik ketika Rasulullah

Saw. sedang dalam kondisi bepergian ataupun dalam kondisi sedang

menetap.76

Ibn Hazm mengatakan bahwa hukum pelaksanaannya adalah

wajib. Hal ini didasari pada hadis-hadis yang membicarakan tentang

walimah al-Urs menunjukkan bahwa dalam melaksanakannya adalah

wajib terutama terhadap hadis yang telah dikemukakan di atas tentang

perintah Rasulullah terhadap Abdurrahman bin Auf.77 Serta ia juga

menolak yang menyatakan bahwa hukum pelaksanaan walimah adalah

Sunnah.78

Sebagian ulama yang lain mengatakan bahwa hukumnya adalah

Sunnah, dengan landasan bahwa disuguhkannya makanan pada acara

walimah itu dikarenakan untuk menggambarkan bahwa sedang

terdapat suatu kebahagiaan yang dirasakan suatu keluarga. Oleh

karenanya hukum pelaksanaannya disamakan sebagaimana hukum

walimah-walimah pada umunya (sunnah). Pendapat yang demikian ini

juga dikemukakan oleh Imam Taqiyuddin, sebab sesungguhnya

walimah al-Urs adalah makanan yang tidak dikhususkan bagi orang

yang membutuhkan, maka diserupakan dengan qurban dan hukum

tersebut diqiyaskan terhadap walimah yang lainnya.79

75 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqih Munakahat

dan Undang-Undang Perkawinan (Jakarta: Kencana, 2006), h. 156 76 Muhammad bin Idris al-Syafi’i, al-Um, (Beirut: Dar al-Wafa’, 2001), h.213 77 Ibnu Hazm, al-Muhalla, Juz IX (Beirut: Dar al-Fikr, t.th), h. 450 78 Abdul Aziz dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum islam (Jakarta: Ictiah baru van Houve,

1996), h. 1917 79 Imam Taqiyuddin, Kifayat al-Akhyar, Juz II (Semarang: Toha Putra, t.th), h. 68

Page 69: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

56

an-Nawi menyatakan bahwa pendapat yang masyhur pada

kalangan sahabat adalah hukum Sunnah, dengan merujuk pada

pemahaman bahwa amar yang terdapat dalam hadis di atas

menunjukkan terhadap hukum yang Sunnah. Hal ini juga senada

dengan pendapat yang dikemukakan oleh Imam Malik bahwa hadis

Nabi أ و ل م و ل و ب ش اة menunjukkan bahwa hal tersebut adalah Sunnah.80

80 Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat I (bandung: CV Pustaka Setia,

1999), h. 159

Page 70: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

57

BAB IV

ANALISIS PEMAHAMAN MASYARAKAT TENTANG PERNIKAHAN DI

DESA PAYUDAN KARANGSOKON

A. Pemahaman Masyarakat Terhadap Persetujuan pernikahan

Wanita dalam istilah Arab dikategorikan menjadi dua status yakni gadis

(al-bikr) dan janda (as-tsayyib). Kedua status tersebut mempunyai

konsekwensi hukum berbeda, sehingga terjadi perdebatan dikalangan fuqaha’

terhadap bagaimana langkah ketika akan menikahkan putrinya sebagaimana

yang telah penulis kemukakan sebelumnya.

Perdebatan yang terjadi dikalangan ulama umumnya berkaitan dengan

persetujuan perempuan perawan ketika akan dinikahkan yang terkadang

masih identik dengan kemaluannya, sehingga ketika orang tuanya

menanyakan terhadap dirinya ada yang diam dan tidak. Oleh karenanya perlu

atau tidaknya orang tua meminta persetujuan terhadapnya ketika terdapat

seseorang laki-laki yang berniat meminangnya menjadi bagian yang ikut

dikaji oleh para ulama.

Sebagian sahabat berpendapat, apabila walinya adalah ayah atau

kakeknya sendiri, maka meminta persetujuannya disunnahkan dan bisa

diketahui bila ia diam. Dan jika walinya adalah selain keduanya, maka tanda

ia setuju adalah dengan ucapannya, karena seorang gadis biasanya sangat

malu kepada ayah atau kakeknya daripada orang lain. Jumhur ulama

berpendapat bahwa cukuplah persetujuannya diketahui bila ia diam saja dan

berlaku bagi semua wali, berdasarkan keumuman lafadz hadis; karena

perawan mempunyai sifat pemalu dibandingkan lainnya.1

Perdebatan para ulama akan hal tersebut bersumber terhadap ‘illat yang

digunakan oleh para ulama itu sendiri. Dalam kaitan ini ada dua ‘illat yang

dipakai ulama sebagai dasar argumennya, masing-masing ‘illat mempunyai

1 Imam an-Nawawi, terj Syarah Shahih Muslim (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz.

6, h. 893

Page 71: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

58

konsekwensi hukum yang berbeda. ‘illat yang dimaksud adalah kegadisan

seorang wanita dan kedewasaannya.2

Nor Kholis yang merupakan salah satu tokoh mengatakan bahwa terjadi

perbedaan pemahaman yang dianut oleh masyarakat Karangsokon. Yakni ada

yang minta persetujuan anaknya, merundingkan akan tetapi pendapat anak

tidak begitu dipentingkan serta ada pula yang tidak meminta persetujuan.

Menurutnya perbedeaan pemikiran tersebut didasari dari dua aspek,

yaitu kebiasaan yang terjadi turun temurun dalam masyarakat dan

meningkatnya intelektual masyarakat. Sehingga ada yang mempertahankan

kebiasaan tidak meminta persetujuan dan ada yang merubah cara tersebut.

Pada generasi anak mereka juga sudah mulai mengalami sedikit perbedaan

dimana yang sebelumnya hanya diam atas pilihan orang tuanya, lambat laun

mulai melontarkan pendapatnya terhadap calon pasangannya.3

Kholis dalam hal ini berpendapat bahwa, tidak perlu meminta

persetujuan perempuan gadis. Sebab menurutnya, orang tua lebih tahu mana

yang lebih baik dan lebih buruk untuk anaknya karena tidak mungkin orang

tua akan menjerumuskan anaknya pada sesuatu yang tidak baik.4 Hal yang

senada juga diungkapkan Muzanni, bahwa tidak perlu meminta persetujuan

gadis dikarenakan tingkat emosional yang dimilikinya belum begitu stabil,

sehingga ketika mengambil keputusan terkadang tanpa melalui proses

pemikiran yang matang terhadap langkahnya, sehingga terkadang malah

berdampak pada penyesalan yang begitu tinggi.5

Hal yang berbeda diungkapkan oleh Ahmad Syafi’I, bahwa perlu

adanya persetujuan dari seorang gadis. Hal ini dikarenakan yang akan

menjalani kehidupan selanjutnya adalah putrinya, ia takut dikemudian hari

terjadi ketidak cocokan antara keduanya yang menyebabkan rusaknya rumah

tangga mereka. Menurutnya, ketika gadis diberikan kesempatan untuk

berbicara maka dia tentunya akan mencoba untuk menyampaikan

keinginannya. Sebab perempuan masa sekarang tentunya tidak akan sama

2 Ibnu Rusyd, ad-Dharuri fi Ushul Fiqh aw Mukhtashar al-Mustashfa, ( Beirut : Dar al-

Gharbu al-Islamiy, 1994), h.4 3 Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016 4 Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016 5 Wawancara Pribadi dengan Muzanni, Karangsokon 27 Desember 2016

Page 72: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

59

dengan perempuan pada masa sebelumnya yang akan patuh dan akan tetap

menjaga keinginan orang tuanya.

Memusyawarahkan atau meminta pendapat seorang anak juga

merupakan salah satu media untuk mengajarkan kepada seorang anak untuk

mempertimbangkan setiap langkah yang akan dilangsungkan pada kemudian

hari. Sehingga dengan demikian menurutnya seoarang anak jika terdapat

sesuatu pertentangan pada lain waktu akan merundingkannya dengan pihak

keluarga dan suaminya.6

Ali ibn Adam ibn Musa berpendapat bahwa ada pemisahan antara al-

tsayyib dengan al-bikr. Penggunaan bahasa yang digunakan untuk keduanya

juga berbeda. Kalimat al-Isti’māra menunjukkan adanya musyawarah,

sedangkan ista’dzana untuk menggambarkan indikator yang jelas dari gadis,

baik melalui ucapan dan sikap diam, karena terkadang gadis itu pemalu.7

Pada dasarnya untuk mengetahui sesuatu yang tidak tampak memang

sangat sulit untuk dipahami, sama halnya dengan diamnya seorang

perempuan, sebab tidak dapat dapat dilihat sebagaimana dimensi eksoterik.

H. Hasan mengatakan bahwa diam itu belum tentu menandakan sebagai

bentuk peng-iyaan atas tawarannya, melainkan karena ketidak berdayaan

seorang gadis untuk menolak keinginan keluarganya yang terkadang juga

merasa bingung terhadap lamaran tersebut, karena masih memiliki ikatan

kekeluargaan.

Lebih lanjut H. Hasan mengatakan bahwa, ketika yang melamar

seorang gadis masih memiliki ikatan famili maka keluarga perempuan akan

enggan untuk menolaknya dikarenakan takut terjadi sesuatu yang nantinya

akan memecahkan hubungan silaturrahmi mereka.8

Annemarie Schimmel mengatakan bahwa dalam diri manusia terdapat

dimensi eksoterik yang dapat dilihat melalui panca indera dan dimensi

isoterik yang bersifat abstrak, tidak terlihat, tetapi bisa dirasakan. aspek-aspek

6 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016 7 Ali ibn Adam ibn Musa al-Atyubi al-Wallawi, Syarh Sunan al-Nasa’i Juz 29 (Makkah:

Maktabah al-‘Arabiyah, 2007), h. 219 8 Wawancara Pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 28 Desember 2016

Page 73: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

60

ruhaniah dari kehidupan hanya dapat diungkapkan melalui aspek-aspek yang

terinderai.9

Nor Kholis menyampaikan bahwa tanda persetujuan seorang gadis bisa

pada diamnya, hal ini dikarenakan rasa percaya diri seorang gadis masih

cukup rendah sehingga untuk menyampaikan perasaannya masih tidak bisa.10

Hal ini didasari dengan hadis Nabi yang berbunyi:

ث نا س ث نا ابن أبي عمر حد سناد وقال حد ذا اإلي ا، ه ي ي لي و ن ا مي ه سي ف ن بي ق ح ا ب ي ي لث ا فيان بي

11 اه ار ر ق ا إي ه ت م ص و ال ا ق ب ر و اه ات م ا ص ه ن ذ اي ا و ه سي ف ن ا في ه و ب ا أ ه ن ذي أ ت س ي ر ك البي و

Artinya:

“Janda lebih berhak atas dirinya sendiridari pada walinya, dan seorang

gadis, maka ayahnya yang meminta izinnya (dalam urusan nikahnya),

tanda ia mengizinkannya adalah bila ia diam.

Tidak perlunya meminta persetujuan terhadap seorang gadis tetaplah

menjadi perdebatan, akan tetapi ketika melihat pada pendapat yang dianut

oleh madzhab al-Syāfi’i masih perlu adanya persetujuan seorang gadis

apabila perempuan tersebut sudah baligh, walaupun pada dasarnya orang tua

masih jauh lebih berhak daripada anaknya.12

Madzhab al-Syāfi’i mengkategorikannya menjadi tiga kelompok, yaitu:

pertama, gadis yang belum dewasa yang dimaksud adalah perempuan yang

belum haid dengan ketentuan bahwa seorang bapak boleh menikahkan

putrinya tanpa adanya persetujuan dengan syarat harus menguntungkan bagi

anaknya. Kedua, gadis dewasa adalah yang sudah haid dengan ketentuan

antara anak memiliki hak sama, namun hak tersebut masih lebih

diperuntukkan kepada bapaknya walaupun dianjurkan musyawarah antara

keduanya (anak dan bapak). Ketiga, janda yang dalam hal tersebut harus

mendapatkan persetujuan dari yang bersangkutan.

Madzhab al-Syāfi’i merupakan madzhab yang dijadikan sebagai

pedoman oleh Masyarakat Karangsokon dalam segala kegiatannya, akan

9 Annemarie Schimmel, Rahasia Wajah Suci Ilahi Memahami Islam secara

Fenonenologis, Terj. Rahmani Astuti, (Bandung: Mizan, 1996), h. 22-23. 10 Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016 11 Imam an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan

Suratman (Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013), juz. 6, h. 889 12 Lihat Abdul ar-Rahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘ala Madzahibi al-Arba’ah, Juz IV (Beirut:

Dar al-Afkar, tt), h. 35

Page 74: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

61

tetapi dalam persetujuan gadis tidak demikian sebagaimana yang semestinya.

Hal ini dikarenakan karena kentalnya budaya terdahulu tentang menikahkan

putrinya yang tidak memerlukan persetujuan anaknya. Bahkan malah

mengarah pada perjodohan terhadapnya yang disandingkan dengan

kerabatnya baik yang dekat ataupun yang jauh, dengan alasan untuk

mempererat tali silaturrahmi.

Hasibah mengatakan bahwa kebiasaan tidak meminta persetujuan pada

gadis itu tentunya memiliki kekurangan dan kelebihan tersendiri. Sebab

menurutnya ketika seorang gadis tidak dimintai persetujuan atau bahkan

kiranya seperti berjodohan akan berdampak pada mental seorang gadis, baik

rasa takut, tidak tenang dan beberapa perasaan lainnya. Bahkan tak ayal

terkadang ketika sudah dilangsungkan resepsi pernikahan masih banyak

seorang gadis yang kemudian menangis ketika akan disandingkan

dipelaminan, ironisnya lagi ketika dipertemukan sang gadis seakan hanya

menjaga agar orang tuanya tidak malu didepan orang banyak. Sebab ketika

sang gadis dipertemukan dengan suaminya setalah akad nikah, sepertinya

tidak sedikitpun merespon akan kedatangan suaminya tersebut.

Lebih lanjut ia mengatakan, bahwa ketika gadis tahu bahwa ia sudah

dipasangkan dengan seorang laki-laki terbersit keinginan untuk

menggagalkan ikatan tersebut. Namun kebanyakan dari mereka tidak

memiliki keberanian untuk menyampaikan perasaannya tersebut. Sehingga

kemudian berdampak pada keseharian mereka yang berubah, seperti halnya

murung, tidak begitu bisa makan atau bahkan dalam kesehariannya selalu

menagis.

Sikap yang demikian tersebut didasari dengan pemikiran mereka,

bahwa ketika sudah memiliki pasangan maka tidak akan lama lagi mereka

akan dinikahkan bahkan walaupun sedang menjalani masa pendidikan.

Sehingga tentunya bagi seorang gadis yang masi ingin untuk melanjutkan

pendidikan yakin bahwa ia tidak kan lagi bisa belajar ke jenjang yang lebih

tinggi. Oleh karenanya ada sebagian mereka malah terbersit untuk kabur dari

rumahnya agar tidak dapat dilangsungkan pernikahan.13

13 Wawancara pribadi dengan Hasibah, Karangsokon 27 Desember 2016

Page 75: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

62

Kholis mengatakan bahwa pentingnya menikahkan puterinya dengan

laki-laki yang masih memiliki ikatan family, selain karena nasab dan

bagaimana tingkah laku anak tersebut sudah diketahui juga dikarenakan untuk

semakin mempererat hubungan kekerabatan yang sudah ada.14

Kebiasaan memasangkan antara sanak famili ini diidentikkan terhadap

famili yang memiliki ikatan agak jauh dengan keyakinan akan semakin

mengikat terhadap persaudaraan tersebut (makle ta’ elang). Begitulah yang

diyakini sebagian warga, akan tetapi ada pula yang hanya beda dua langkah

antara satu rumah dengan yang satunya (settong tanian) dan yang demikian

tidak memiliki hubungan yang jauh melainkan terkadang hanya sepupu saja.

Pernikahan dengan saudara yang masih dekat diyakini oleh sebagian

masyarakat bahwa hal itu akan menyebabkan akan lemahnya syahwat, hal ini

dikarenakan menurut mereka keseringan bertemu dan bersama menjadikan

keduanya tidak memiliki perasaan apapun, sebab syahwat itu hanyalah akan

bangkit jika mendapatkan dorongan dari kekuatan indera. Keyakinan yang

demikian ini juga pernah disabdakan Nabi Saw: “janganlah kamu menikahi

(wanita) yang masih kerabat dekat, karena anak terlahir (tercipta) dalam

keadaan kurus.”15

H. Hasan menambahkan bahwa ketika seoarang anak dipasangkan

dengan yang maih memiliki ikatan keluarga, maka kedua belah pihak tidak

perlu mengkhawatirkan tentang keadaan nasab antar keduanya. Tentunya

mereka sudah saling mengetahui, berbeda dengan ketika seorang anak

memilih pasangannya sendiri yang sebelumnya tidak dikethui kedua orang

tuanya.

Sebab menurutnya ketika orang tua akan menikahkan putrinya atau

bahkan menikahkan putranya harus melihat pada bagaimana kondisi nasab

yang ada pada kedua keluarga. Hal ini sebagaimana yang diajarkan agama

bahwa ketika ada seorang laki-laki ingin melamar seorang gadis harus dilihat

dari beberapa aspek yang diantaranya adalah Linasabiha (keadaan

keluarganya).

14 Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016 15 Imam al-Ghazali, Etika Perkawinan (Membentuk Keluarga Bahagia), terj. (Jakarta:

Pustaka Panjimas, 1993), h. 58

Page 76: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

63

Menurutnya jikalau seorang anak sudah memilih sendiri, maka orang

tuanya ketika terjadi sesuatu diantara kedua pasangan terkadang merasa

enggan dan tidak akan ikut campur seakan-akan acuh dengan apa yang terjadi

antara kedua anaknya pada waktu tersebut. Serta sebagian keluarga juga

meyakini bahwa jika memilih sendiri maka hubungannya tidak akan

berlangsung lama (langgeng). Sebab menurut mereka, pilihan tersebut hanya

didasari dari rasa emosional saja yang mereka rasa pemilihan yang ada

didasari dengan nafsu itu hanya bersifat sementara.16

Tidak semua orang tua memilih untuk menikahkan putrinya dengan

laki-laki yang masih memiliki ikatan famili, dengan pengakuan bahwa

mereka khawatir jika pada kemudian hari terjadi perpecahan anatara

keduanya. Karena jika hal tersebut sampai terjadi maka akan sulit untuk

menghindari kesenjangan diantara kedua keluarga, walaupun terkadang

diantara kedua putra dan putrinya tidak mempermasalahkan akan hal tersebut.

Akan tetapi tidak demikian dengan orang tua mereka.

Ahmad Syafi’i menambahkan bahwa untuk mempererat hubungan

antara famili bukan hanya dengan menikahkan anaknya saja, melainkan

dengan berbagai hal yang lain. Sebab menurutnya jika disandingkan dengan

yang masih memiliki hubungan famili akan terjadi kecangguungan antara

kedua anak, seperti halnya terhadap panggilan kesehariannya sebelum mereka

dinikahkan Semisal laki-lakinya terbiasa memanggil cebbing (ponakan) dan

perempuannya memanggil paman (Majedik) maka panggilan tersebut akan

tetap seperti itu walaupun sudah menikah. Sehingga dengan sebutan tersebut

seakan-akan terdapat kesenjangan anatar pasangan tersebut.17

Kebiasaan Masyarakat Payudan Karangsokon tidak meminta

persetujuan gadis sebelum dinikahkan merupakan tradisi yang sudah

berlangsung semenjak dahulu, walaupun sudah mengalami sedikit pergesaran

untuk mengajak putrinya berunding terkait dengan calon pasangannya, akan

tetapi walaupun demikian terkadang pendapatnya tetap tidak dijadikan

pertimbangan untuk mengambil suatu keputusan. Artinya adalah bahwa

perundingan yang dimaksud hanya sebatas untuk memberitahukan saja

16 Wawancara Pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 28 Desember 2016 17 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016

Page 77: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

64

(formalitas) agar supaya tahu bahwa anak gadis tersebut sudah ada yang

melamar sehingga putrinya tidak terkejut ketika sudah sampai pada hari

pernikahan.

B. Makna Tradisi Penentuan hari baik (Nyareh Dhinah Begus) bagi

Masyarakat Payudan Karangsokon

Pernikahan merupakan sesuatu yang sangat sakral dan agung, sebab

dalam berbagai ritual yang dilakukan didalamnya semenjak dimulainya

lamaran hingga kemudian sampai pada acara ijab qabul memiliki makna

tersendiri. Hal ini dikarenakan pernikahan merupakan pangkal dari

pembentukan rumah tangga yang nantinya akan menjadi bagian dari

kehidupan masyarakat.

Pelaksanaan dari pernikahan tersebut tentunya akan diupayakan dan

disiapkan sebaik mungkin. Salah satu yang menjadi bagian penting menurut

masyarakat Payudan Karangsokon adalah menentukan waktu yang baik dari

pelaksanaan acara pernikahan tersebut dengan keyakinan bahwa hal tersebut

akan menjadi penunjang keberlangsungan rumah tangganya.

Dalam pelaksanaan perkawinan yang perlu diperhitungkan adalah hari

dan tanggalnya pada saat pelaksanaan ijab kabul atau akad nikah. Sebab ijab

kabul merupakan acara inti dari perkawinan, sedangkan untuk pesta

perkawinan merupakan salah bentuk rasa syukur atas berlangsungnya akad

tersebut. Saat pelaksanaan akad pernikahan perlu diperhitungkan dengan

seksama, hal ini sebagaimana adat Jawa yaitu adanya perhitungan hari

kelahiran atau weton (Bahasa jawa) kedua belah pihak calon pengantin.18

Semenjak dahulu di berbagai daerah mempunyai anggapan bahwa hari

dan bulan tertentu terdapat waktu yang tidak baik untuk melangsungkan

sebuah acara, apalagi acara pernikahan. Kalau hari atau waktu yang dikatakan

tidak baik itu didasari dari keradaan ruhani kedua mempelai yang

bersangkutan.

Pada dasarnya, mencari waktu yang baik atau yang paling baik

bukanlah termasuk dari bagian sesuatu yang disyaratkan dalam setiap

melangsungkan akad nikah. Namun dalam tradisi yang terjadi di Masyarakat

18 Fahmi Kamal, Perkawinan Adat Jawa Dalam Kebudayaan Indonesia, Jurnal Khasanah

Ilmu Vol. 5 No. 2 September 2014, h. 40

Page 78: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

65

tidaklah sama mengatakan demikian, bahwa menentukan hari dalam akad

nikah adalah sesuatu tindakan yang tidak dapat ditinggalkan begitu saja.

Kepercayaan yang sudah mengakar di Masyarakat mengatakan bahwa nyareh

dhinah begus (mencarai hari baik) adalah media mencari berkah Allah dalam

pelaksanaan akad nikah untuk kebahagian anaknya, serta untuk

menghilangkan prasangka atau praduga buruk yang biasanya muncul pada

diri Masyarakat ketika akan melangsungkan acara.19

Perhitungan hari baik yang digunakan oleh masyarakat Desa Payudan

Karangsokon masih tetap menggunakan perhitungan Jawa yang sudah

dilestarikan semenjak masa nenek moyang, proses pencarian tersebut bisa

melalui perantara tokoh masyarakat atau dengan melakukan perhitungan

sendiri jikalau orang tersebut mengetahui tentang proses perhitungannya.

Perhitungan jawa yang dimaksud memiliki dua macam, diantaranya:

pertama buku primbon: kebiasaan dalam masyarakat untuk mempermudah

mengetahui hari yang baik dengan berpedoman padanya. Setelah melakukan

penghitungan jumlah hari dan pasaran dari suami serta istri, lalu ditemukan

neptu dari tanggal lahir keduanya, Seperti halnya dengan tradisi Kejawen

yang mana dalam tradisi tersebut banyak hitung-hitungan hari baik atau hari

yang membawa keberuntungan atau hari yang tidak baik atau hari yang

membawa sial.20

Kedua ramalan pada era modern ini muncul banyak paranormal yang

menguasai ilmu nujum yakni ilmu perbintangan yang dalam istilah

maduranya adalah “tokang tebbek”. Misalnya dalam tanggal kelahiran 22 Juni

sampai 22 Juli disebut dengan bintang cancer dimana dalam bulan tersebut

seseorang diramal tidak baik dan tergesa-tergesa dalam segala urusannya dan

akan disesali di kemudian hari, sehingga dianjurkan untuk membenahi dan

banyak memerlukan waktu untuk evaluasi.21 Sedangkan yang masyhur

digunakan Masyarakat Karangsokon adalah pada bagian petama diatas

tentang neptu.

19 Wawancara Pribadi dengan K Muzakki, Karangsokon 29 Desember 2016 20 Muhammad Fairûz Nadhir Amrullah, Terjemahan Qurratul ‘Uyun, (Surabaya: Pustaka

Media, t.t.) h. 44 21 Tabloid Genie, (Jakarta: Pranata Komunikasi Massa, 2006), (16 juli 2006), h. 39.

Page 79: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

66

Proses penentuan yang dilakukan oleh masyarakat adalah terbiasa

dengan cara mendatangi seorang tokoh yang dianggap mempunyai

pengetahuan lebih mendalam mengenai agama dan perhitungan tersebut.

Serta mereka juga mendatangi seorang kyai yang tentunya menurut mereka

faham, kemudian apa yang menurut kyai atau tokoh tersebut baik maka itu

yang kemudian dilaksanakan oleh masyarakat.

Kebiasaan mendatangi kyai atau tokoh ini umumnya dilakukan oleh

pihak perempuan, yakni setelah seorang dari pihak keluarga laki-laki datang

untuk memberitahukan bahwa akan melangsungkan pernikahan. Namun dari

pihak laki-laki terbiasa juga membawa waktu yang juga sudah dirundingkan,

setelah itu maka pihak perempuan meminta pertimbangan kembali kepada

tokoh tersebut untuk memperkuat bahwa waktu tersebut memang sudah

merupakan yang terbaik. Dan apabila pada suatu hari memperoleh keburukan

dalam rumah tangganya, mereka tidak akan merasa bersalah, karena sudah

didahului dengan ikhtiyar atau usaha nyare dhina, dalam istilah madura

dikenal dengan “ngadhedhi” dan kemudian pasrah atas kehendak Allah.

Terdapat beberapa aturan yang perlu diperhatikan mengenai penentuan

waktu pernikahan, hal tersebut tentunya harus diperhatikan dan akan selalu

dilakukan oleh Masyarakata, yaitu menyangkut hari-hari lahir antara kedua

calon pasangannya. Hal ini dikarenakan dari hari lahir dapat dilihat tentang

waktu yang baik untuk melangsungkan pernikahannya, sebab dalam

perhitungan Jawa. tanggal, bulan dan tahun kelahiran merupakan rujukan

awal bagi mereka.22

Dalam melakukan hajat pernikahan, kebanyakan Masyarakat

Karangsokon berpedoman dengan melihat pada neptu saja tanpa

menggunakan Ramalan. Seperti halnya neptu dina, neptu pasaran, neptu

bulan dan tahun yang dalam adat istiadat Jawa merupakan salah satu faktor

yang amat penting, hal ini karena neptu memiliki kaitan yang erat dengan

aktifitas kehidupan sehari-hari.

Berikut hari dan pasaran yang dipahami oleh masyarakat Karangsokon:

Jum’at 6 Pahing (Paeng) 9

22 Hildred Geertz, Keluarga Jawa (jakarta: Grafiti Perss, 1985), h. 63

Page 80: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

67

Sabtoh 9 Pon (Pon) 7

Ahad 5 Wage (Begih) 4

Senin 4 Kliwon (Klebun) 8

Selasa 3 Legi (Manis) 5

Rebu 7

Kemmis 8

Adapun Nama Bulan-Bulan dalam Kalender Madura dan Hijriah,

sebagai berikut:

No Bulan Hijriah Bulan Madura

1 Muharrom Sorah

2 Safar Sapar

3 Rabi’ul Awwal Molod

4 Rabi’ul Akhir Rasol

5 Jumadil Awwal Mandiwel

6 Jumadil Akhir Mandil Akher

7 Rajab Rejeb

8 Sya’ban Rebbe

9 Ramadhan Pasah

10 Syawal Syabel

11 Dzul Qa’dah Tekepek (Ellak)

12 Dzul Hijjah Hajji

Masyarakat Karangsokon pada umumnya menganggap Jumat sebagai

hari terpenting diantara hari-hari yang lain. sehingga dalam bitongan

diletakkan dalam urutan pertama, oleh karenanya perhitungan hari dalam satu

minggu (samingguh) dimulai dari hari jum’at dan diakhiri dengan hari kamis.

Sedangkan dalam gan pasaran, klebun diletakkan dianggap paling penting

dan ditempatkan dalam jejer pertama sehingga hari pasaran dimulai dari

klebun. Kenapa orang Madura (dan Jawa) mengistimewakan malam jum’at

kliwon karena kedua jejer pertama bertemu dan ini hanya terjadi dalam 35

hari sekali.23

Diutamakannya hari Jum’at oleh masyarakat Karangsokon seperti

halnya umat Islam juga mengutamakannya, biasanya pada malam tersebut

digunakan untuk melakukan kegiatan-kegiatan rohani. Seperti halnya

melakukan Khatmi al-Qur’an, membaca surah-surah khusus dan beberapa

23 Iksan Sari, “Bitongan dan Pena’asen: Numerologi Bangsa Madura,” artikel diakses

pada 4 Maret 2017 dari https://web.facebook.com/notes/iksan-sahri/bitongan-dan-penaasen-

numerologi-bangsa-madura/10156544316905612

Page 81: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

68

kegiatan yasinan yang terbiasa dilakukan oleh beberapa kepala keluarga

untuk mendo’akan para sesepuh dan mengharap agar terhindar dari kesialan.

Kholis dalam hal ini mengatakan bahwa hari, tanggal, bulan dan tahun

sama-sama dihitung. Ia menambahkan bahwa terdapat tanggal-tanggal khusus

yang biasanya digunakan oleh Masyarakat untuk melangsungkan pernikahan.

Yaitu pada tanggal 4, 5, 10 dan 14 dan juga menghindari tanggal 3, 7 dan 25

serta juga terdapat bulan-bulan yang dianggap baik dan tidak baik.

Perhitungan yang dilakukan oleh masyarakat untuk menentukan hari

yang baik dalam melaksanakan pernikahan adalah melihat pada neptu

kelahiran calon suami dan istri beserta hari jumlahnya juga harus

dijumlahkan. Misalnya: seorang laki-laki lahir pada hari Kamis Pon,

perempuan lahir pada hari Selasa Wage untuk akad nikah pada Rebbo

Pahing. Maka, Kamis (8) Pon (7) berjumlah (15). Selasa (3) Wage (4)

jumllah (7), kemudian Rebbu (7) Pahing (9) dengan jumlah (16). Ketika

dijumlahkan seluruhnya adalah 15 + 7 + 16 = 38 kemudian dikurangi lima-

lima sampai habis. 38 – (5x7) = 3. Seperti halnya yang dikemukan kholis di

atas, maka hasil tersebut tidak baik sebab merupakan angka yang dihindari.

Disebutkan dalam kitab Makârîm al-akhlâq bahwa tanggal yang baik

untuk pernikahan dalam setiap bulannya adalah pada tanggal 23 dan 26,

beliau mengatakan pada waktu itu sangat baik untuk dijadikan pilihan dalam

melaksanakan pernikahan, perdagangan dan pemerintahan.24

Selain dari hal tersebut diatas, waktu pelaksanaan ijab qabul juga ikut

diperhitungkan sehingga ketika akan melaksanakan ijab qabul harus sesuai

dan sama persis dengan waktu yang sudah ditentukan. Sebab jika tidak

demikian, maka akan timbul perbincangan dan prasangka yang tidak baik

pada diri masing-masing orang tua.25

Rasa fanatik masyarakat Karangsokon untuk menentukan waktu yang

baik untuk ijab qabul saja, melainkan tempat keluar yang baik untuk seorang

laki-laki keluar rumah sama-sama diperhitungkan pula. Baik dari sisi kanan,

24 Di dalam kitab tersebut dijelaskan mengenai semua hari yang baik dalam pernikahan

yang dikhususkan dalam pembahasan tentang pemiliharan hari. Lihat Syaikh al-Jalîl Radî al-dîn

Abî Nashr al-Hasan bin al-Fadhl al-thabrasî, Makârîm al-Akhlâq (Quwait: Maktabat al-alfayni, t.t),

h.60-601 25 Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016

Page 82: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

69

barat, timur atau pun selatan dari rumah laki-laki tersebut yang menurut

mereka kemudian akan mempermudah bagi seorang laki-laki untuk

mengucapkan kalimat ketika ijab dan qabul.

Berbeda dengan pendapat tersebut, Nor Kholis menuturkan bahwa

perhitungan hari baik yang digunakan oleh sebagian kyai adalah dengan

menggunakan hitungan tanggal, yaitu: 1. انا هلل .3 ألحمد هلل .2 بسم هللا dan

seterusnya. Dia menuturkan bahwa pada dasarnya setiap hari itu adalah baik,

hanya saja orang masih percaya dengan sebutan hari yang baik sehingga

seakan-akan mengkonotasikan bahwa terdapat hari yang tidak baik.26

Berikut yang merupakan Bulan-bulan yang dianggap tidak baik: (1)

Muharrom (Sorah), yang diyakini bahwa jika untuk perkawinan wataknya:

bertengkar dan mengalami kerusakan (2) Rabi’ul Awwal (Mulod) kalau

untuk perkawinan diyakini: Mati salah satu (mati dalam arti luas) (3) Bulan

Romadhan (pasah) yang diyakini Celaka besar jika melakukan pernikahan

pada bulan ini. (4) Bulan Dzul Qa’dah (takepek) diyakini Banyak musuh dan

sakit-sakitan. (5) Bulan Safar (sappar) Kekurangan dan banyak hutang. Boleh

dilakukan (6) Bulan Robi’ul Akhir (Mandil Akher) selalu dicacat dan menjadi

pergunjingan yang tidak baik. Boleh dilakukan; (7) Bulan Jumadil Awal

(Mandiwel) sering kehilangan, kena tipu dan banyak musuh. Boleh

dilakukan; (8) Bulan Sawal (sabel) kekurangan dan banyak hutang. Boleh

dilakukan.27

Melihata dari uraian tersebut terdapat bulan-bulan yang tidak boleh dan

boleh untuk melaksanakan pernikahan, walaupun ketika dilihat masih

terdapat keterangan pada setiap bulannya. Akan tetapi walaupun terdapat

penjelasan yang kurang baik pada beberapa bulan yang dibolehkan menikah

itu menunjukkan bahwa tidak semua hari atau tanggal yang terdapat pada

bulan tersebut tidak baik, oleh karenanya diperlukan kematangan dalam

pemilihan waktunya,

26 Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016 27 Sirojuddin, dan Mohammad Bashri Asyari, Tradisi “ Nyare Dhina” Dalam Penentuan

Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam Di Desa Larangan Badung. Journal al-Hikmah Vol. 9

No. 1 Juni 2014

Page 83: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

70

Dilihat dari perincian di atas, maka sisa empat bulan yang dianggap

baik. Namun yang dianggap sebagai bulan pernikahan oleh masyarakat

Karangsokon adalah bulan Jumadi Tsani (Rasol) dan Bulan Dzul Hijjah. Pada

dua bulan tersebut tadi, akan dijadikan pilihan utama ketika ada yang akan

melangsungkan pernikahan. Bahkan terkadang pada kedua bulan tersebut bisa

tiga perkawinan yang dilakukan dalam satu harinya, sebab bulan ini benar-

benar diyakini sebagai bulan yang baik.

Hal lain yang terkadang juga menjadi pertimbangan oleh Masyarakat

Karangsokon adalah melihat pada bulan pelaksanaan pernikahan orang tua

dari calon kedua mempelainya, artinya adalah tidak boleh melaksanakan

acara pernikahan pada bulan yang sama dengan bulan yang telah

dilangsungkan oleh orang tua mereka sebelumnya, walaupun dalam

perhitungan jawa menunjukkan bahwa waktu tersebut baik untuk

melangsungkan pernikahan. Sebab mereka meyakini bahwa hal tersebut akan

terjadi sesuatu yang tidak baik bagi calon kedua mempelai, seperti tidak

langgengnya pernikahan dan sebagainya.

Penentuan hari baik (Nyareh Dhinah Begus) menurut masyarakat

Karangsokon adalah sebagai upaya untuk menghindari sesuatu yang tidak

baik pada kemudian hari setelah pernikahan dilangsungkan dan tentunya hal

tersebut sebagai untuk mendapatka Barokah dari Allah Swt jika acara yang

dilangsungkan didasari dengan perhitungan yang baik dan matang. Sehingga

dari hal itu kemudian akan menambahkan keberkahan terhadap rumah tangga

anaknya.

Sebagian masyarakat mengatakan bahwa dengan adanya upaya

menentukan hari baik (nyareh dhina begus) ini menimbulkan dampak positif

yang dirasakan oleh masyarakat setempat, seperti halnya menghilangkan rasa

ragu, menciptakan kedamaian dan saling mengerti baik diantara orang tua

masing-masing serta bagi kedua pasangan pengantin.

Kholis mengatkan bahwa mentukan hari baik ini merupakan upaya

yang baik, karena semua sesuatu yang dianggap baik oleh orang Islam maka

di hadapana Allah Swt juga baik dan juga sebalinya. Ungkapan ini ia dasari

pada hadis yang berbunyi: ن و م لي س ال ه ا ار م ا و ن س ح للاي د ن عي و ه ا ف ن س ح ن و م لي س ال ه ا ار م

Page 84: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

71

ح ي بي ق للاي د ن عي و ه ا ف ح ي بي ق (sesuatu yang dilihat oleh orang Islam baik, maka

dihadapan Allah juga baik dan sesuatu yang dilihat jelek oleh orang Islam

maka dihadapan Allah juga jellek).28

Oleh karenanya dapat difahami bahwa pemaknaan masyarakat

Karangsokon terhadap penentuan hari baik ini adalah untuk menghilangkan

rasa cemas dan was-was bahwa akan terjadi sesuatu yang tidak baik

kemudian harinya.

C. Pemahaman Masyarakat Terhadap Penggunaan Masjid Sebagai Tempat

Pelaksanaan Pernikahan

Upacara pernikahan merupakan acara lanjutan setelah menentukan hari

baik dan proses khitbah. Kegiatan ini merupakan bentuk rasa syukur

masyarakat atas pernikahan anaknya dan juga sebagai media untuk

memberitahukan bahwa anaknya sudah memiliki pasangan yang sah secara

hukum Islam, sebab jika tidak demikian dimungkinkan akan adanya

pembicaraan yang kurang baik terhadap anaknya ketika dilihat oleh seseorang

sedang bersamaan dengan seseorang yang berlainan jenis.

Upacara pernikahan lebih masyhur dengan sebutan Walimah al-‘Urs

yang memiliki arti peresmian pernikahan untuk memberitahukan kepada

orang banyak bahwa pasangan tersebut telah resmi menjadi suami istri

sekaligus sebagai bentuk rasa syukur keluarga kedua belah pihak atas

berlangsungnya pernikahan putra-putrinya.29

Dalam pelaksanaannya, calon suami tidak akan lansgsung disandingkan

dengan calon istrinya sebagaimana kebiasaan sebagian masyarakat yang lain.

Keduanya akan dipertemukan setelah laki-laki tersebut selesai mengucapkan

ijab dan qabul.

Kholis mengatatakan bahwa Walimah yang dipahami masyarakat

Karangsokon adalah merupakan acara tasyakkuran dan do’a atas pernikahan

yang dilangsungkan, sehingga pada acara tersebut mengundang para ulama,

asatidz, kerabat serta tetangga untuk ikut mendo’akan mempelai berdua agar

28 Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016 29 Abdul Aziz Dahlan (eds), Ensiklopedi Hukum Islam, (Jakarta : Ichtiar Baru Van Houve,

1996), h. 1917.

Page 85: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

72

menjadi keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah yang dikemas dengan

acara Aqdun Nikah. Pada acara tersebut biasanya diisi layaknya beberapa

acara formal seperti pembukaan, pembacaan ayat suci al-Qur’an, Ijab Qabul,

pembacaan shalawat, sambutan dan pembacaan do’a bersama yang

dilanjutkan dengan proses silaturrahmi antara keluarga.30

Setelah sampai pada pembacaan shalawat Nabi, maka mempelai laki-

laki kemudian menyalami semua tamu undangan yang hadir pada majelis

tersebut. Kemudian setelah itu mempelai laki-laki dibawa untuk menemui

mempelai perempuannya dengan diantarkan oleh pihak perempuan menuju

kamar sang istri. Namun pertemuan itu tidaklah berlangsung lama, sebab

kebiasaan yang terjadi adalah bahwa mempelai laki-laki harus menyambut

tamu undangan dan bisa bersama dengan istrinya kembali ketika sudah

menjelang waktu maghrib yang pada waktu itu biasanya tidak ada lagi tamu

yang datang.

Dalam pelaksanaan acara tersebut sangat berfareasi dikalangan

masayarakat pada umumnya tergantung pada kesepakatan kedua belah pihak,

akan tetapi umumnya kegiatan ini dilaksanakan dirumah mempelai

perempuan. Namun ada juga yang lebih memilih untuk melangsungkan

upacara pernikahan di gedung yang besar dengan kapasitas bisa menampung

orang banyak. Sebagian lagi ada yang lebih memilih untuk melangsungkan

pernikahannya di masjid (mushalla) yang hal tersebut biasanya terjadi pada

masyarakat pedesaan.

Melangsungkan akad nikah di masjid merupakan pilihan yang biasa

dilakukan oleh kaum muslimin pada umumnya, selain mereka melakukan

pernikahan di KUA dirumah maupun beberapa tempat lain yang diyakini

sebagai tampat yang baik oleh masing-masing daerah dengan keyakinan dan

pengamalan yang memang sudah terbiasa dilaksankan.

Di samping masjid, di Indonesia memang mengenal surau atau oleh

masyarakat Karangsokon disebut dengan langgar. Pada dasarnya tidak ada

perbedaan fungsi dan peran langgar dengan masjid, akan tetapi yang berbeda

hanyalah ukuran bangunan. Langgar pada umumnya bentuknya lebih kecil

30 Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016

Page 86: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

73

dari masjid. Oleh karenanya masyarakat dapat membangun langgar sesuai

dengan keinginannya sendiri, sehingga tak heran jika beberapa keluarga

memiliki langgar sendiri dan dengan ukuran dan fareasi sesuai dengan yang

diinginkan.31

Pelaksanaan yang demikian ini tentunya tidak akan memberatkan pada

pihak keluarga yang melangsungkan acara pernikahan, walaupun pelaksanaan

tersebut akan membutuhkan bantuan banyak orang tentunya untuk

mempersiapkan dan menghidangkan segala sesuatunya. Akan tetapi

kebiasaan masyarakat Karangsokon masih mengutamakan gotong royonga,

sehingga pihak keluarga tidak perlu kebingungan untuk mencari tenaga

bantuan yang dibutuhkan dalam acara tersebut.32

Masjid yang notabenenya dipahami sebagai tempat ibadah lebih

diidentikkan hanya pada ibadah shalat saja yang sepertinya mulai mengalami

pergesaran pemahaman pada sebgaian daerah sebagaimana yang terjadi pada

masa Rasulullah Saw sebelumnya. Namun tentunya hal tersebut bisa juga

dilatar belakangi dengan jauhnya perbedaan sosial masyarakat jika

dibandingkan dengan waktu masa Rasulullah.

Masjid pada masa Rasulullah Saw, menjadi tempat yang paling suci

untuk mengucap janji pernikahan. Difungsikannya masjid sebagai tempat

melangsungkan pernikahan ditujukan agar pihak keluarga yang

melangsungkan acara pernikahan kala itu dapat menampung banyaknya tamu

yang hadir. Selain itu, pasangan pengantin yang melangsungkan akad nikah

di masjid diharapkan lebih dapat menjaga ikatan tali pernikahan mereka.

Demikian pula para saksi, dapat memelihara persaksian atas pernikahan

tersebut.33

Masjid selalu diidentikkan dengan citra yang sakral. Di mihrabnya, para

takmir menyerukan ayat-ayat suci, sabda Nabi, nasihat para ulama. Sesuai

dengan namanya, masjid adalah tempat untuk bersujud-simbol ketundukan

31 Ridwan al-Makssary dan Ahmad Gaus Af, Benih-Benih Islam Radikal di Masjid (Studi

Kasus di Jakarta dan Solo), (Jakarta: CSRC UIN Syarif Hidayatullah, 2010), h.xxi-xxii pada kata

pengantar. 32 Wawancara Pribadi dengan Kholis, Karangsokon 27 Desember 2016 33 Drs. Sidi Gazalba, Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam (Jakarta: Pustaka

Antara, 1983) h. 276

Page 87: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

74

manusia kepada Allah Swt, sang pencipta dan penguasa seluruh makhluk.

Karena itu, sekali lagi, setiap perkara diluar kepentingan untuk tunduk kepada

Allah Swt diletakkan di luar masjid, hal itu hanya semata-mata untuk

menghormati masjid sebagai tempat yang suci.

Upacara pernikahan yang terjadi pada masyarakat Karangsokon

memiliki dua ciri, yaitu di rumah mempelai wanita dan dimasjid. Pelaksanaan

pernikahan di rumah mempelai wanita itu dilaksanakan jika pada rumah

wanita tersebut jauh dari Masjid atau bahkan di rumahnya tidak memiliki

Mushalla yang pada umumnya kepala Keluarga memiliki Mushalla untuk

dijadian tempat beribadah bersama dengan tetangga yang berada disekitarnya.

Akan tetapi jika keluarga dilingkungan keluarga mempelai perempuan

terdapat Mushalla atau Masjid, maka upacara pernikahan akan dilangsungkan

pada tempat tersebut.34

Ahmad syafi’I menambahkan bahwa kebiasaan yang terjadi adalah

pelaksanaan acara tersebut dilakukan di Masjid atau Mushalla sebagaimana

yang terjadi pada masa Rasulullah dahulu. Faktor lain yang melatar belakangi

pelaksanaan tersebut adalah budaya nenek moyang yang sudah diwariskan

pada generasinya.

Pelaksanaan pernikahan di Masjid atau Mushalla tentunya akan lebih

meminimalisir atas biaya yang harus dikeluarkan untuk melangsungkannya,

tentunya berbeda dengan gedung yang masih membutuhkan biaya sewa yang

terkadang tidak sedikit serta juga akan mengurangi pada kesempurnaan

(kasampornaan panganggep) pada tamu yang sudah diundang.35

Tempat merupakan saksi bisu atas berlangsungnya pernikahan, serta

tempat juga diharapkan dapat memberikan keberkahan atas terlaksananya

acara tersebut yang tentunya jika bersamaan seizin Allah Swt. Oleh

karenanya acara tersebut lebih identic dilangsungkan di Masjid atau Mushalla

dengan harapan keberkahan tempat tersebut sebagai tempat yang suci dapat

mengalir pula pada kedua mempelai.

Nor kholis mengatakan bahwa kebiasaan masyarakat melangsungkan

pernikahan di Masjid merupakan media untuk mengharapkan sebuah

34 Wawancara Pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 28 Desember 2016 35 Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016

Page 88: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

75

keberkahan atas acara yang dilangsungkan. Sebab mereka meyakini bahwa

Masjid merupakan salah satu tempat yang sakral dan suci, sehingga menurut

mereka akan menambahkan keberkahan dan kebaikan pada kedua mempelai

jika pernikahan tersebut dilangsungkan di Masjid.

Kemudian ia menambahkan bahwa, kebiasaan masyarakat Karangsokon

melangsungkan pernikahan di Masjid berdasarkan pada salah satu hadis yang

berbunyi:

في وه ل ع اج و اح ك ا الن ي ذ وا ه ن لي ع أ ليهي وسلم: )عن عائيشة قالت: قال رسول للاي صلى للا ع

36 (وفي ف الد بي هي ي ل وا ع ب ري اض ، و دي اجي لمس ا

Artinya:

Dari Aisyah, ia berkata, Rasulullah Saw bersabda: “Umumkan pernikahan,

adakan akad nikah di masjid dan meriahkan dengan memukul rebana.”

Lebih lanjut ia mengatakan bahwa menurutnya tempat itu sangat baik,

karena dengan pemilihan tempat yang baik maka tempat itu dapat

mengingatkan antara kedua pasangan untuk kemudian saling mengingatkan

dalam setiap keadaan walaupun terkadang mereka belum saling mengenal dan

tahu satu sama lain.

Kebiasaan sebagian warga dalam pembacaan Shalawat diba’ ini

biasanya juga dibarengi dengan pemukulan hadrah yang khusus mereka

undang untuk meramaikan dan melantunkan tabuhan rebananya. Hal ini

dirasa menurut warga lebih nyaman dan dirasa akan menjadikan nuansa

upacara pernikahan yang lebih baik dan nyaman.37

Ahmad Syafi’i menambahkan pada masa terdahulu masjid dijadikan

sebagai tempat untuk pengucapan janji, seperti halnya pernikahan yang

diyakini bahwa dengan pengikraran di masjid akan menambahkan

pengamalan terhadap janji. Baik bagi orang yang mengucapkan janji itu

ataupun terhadap seseorang yang turut menjadi saksi dalam ikrar tersebut.38

36 Muhammad Aburrahman bin Abdurrahim, Tuhfa al-Ahwadzi bi Syarhi Jāmi’ at-

Tirmidzi (Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘arabi, 1995), Juz 7, h.210 37 Wawancara Pribadi dengan KH. Nor Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016 38Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016

Page 89: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

76

Keadaan perekonomian masyarakat Karangsokon yang notabene

sebagai seorang petani juag menjadi salah satu faktor yang menyebabkan

masyarakat tidak melangsungkan acara pernikahannya di gedung yang

megah. Sebab jika demikian maka mereka harus menyiapkan biaya yang

tentunya tidaklah sedikit hanya untuk menyewanya, belum lagi untuk biaya

yang lainnya. Namun faktor tersebut sebenarnya tidak menjadi masalah bagi

sebagian kalangan yang memiliki cukup keuangan, akan tetapi pilihan

tersebut tidak dimanfaatkannya seperti demikian.

H. Hasan mengatakan bahwa melangsungkan pernikahan di Mushalla

masih menjadi pilihan utama bagi masyarakat. Walaupun secara berangsur

sudah banyak warga yang mulai berkembang dalam perekenomiannya yang

telah dihasilkan dengan usaha mereka merantau ke berbagai daerah. Namun

walaupun demikian tidak bisa merubah kebiasaan untuk melangsungkan

pernikahan di Masjid atau Mushalla yang memang sudah menjadi kebiasaan

dan tradisi yang sudah ada semenjak nenek moyang mereka. Bahkan mereka

lebih memilih untuk memperbagus pengkemasan acara tersebut dengan

konsep dan suguhan yang seuai dengan kemampuan mereka.39

Sependapat dengan yang dikemukakan Hasan di atas, Rahemah

menambahka bahwa bagi keluarga yang putrinya pernah berada di pondok

atau bahkan orang tuanya yang pernah mondok di Pesantren lebih memilih

untuk melaksanakan pernikahan di mushalla yang ada disekitar rumahnya.

Selain diharapkan akan mendapatkan barokah dari tempat yang suci, sebagian

masyarakat lebih memilih untuk mengundang guru (kyai) semasa masih

dipondok. Sehingga ketika demikian maka rasa penghormatan kepada guru

dirasa lebih baik dari pada ditempat-tempat yang lain.

Ia menambahkan bahwa jika melaksanakan pernikahan dan kemudian

mengundang gurunya ditempatkan pada selain masjid (gedung misalnya)

dirasa akan mengurangi rasa penghormatan dan ta’dzimnya kepada seorang

guru. Sebab menurutnya menghormati dan menghadirkan gurunya akan

menambahkan keberkahan pada berlangsungnya pernikahan. Oleh karaenya,

39 Wawancara Pribadi dengan H. Hasan Hamid, Karangsokon 28 Desember 2016

Page 90: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

77

ketika seorang mempelai mendpatkan barokah dari guru dan majlis acara

maka tentunya orang tua akan merasakan kepuasan batin tersendiri.40

Penghormatan masyarakat terhadap guru memang sangat kuat, sebab

masyarakat yang notabene anaknya adalah tamatan pesantren kemudian

mengamalkannya sesuai dengan yang telah diajarkan ketika masih di

Pesantren. Dimana menghormati seorang guru diposisikan sebagai bagian

terpenting dalam tingkah laku kesehariannya dengan motifasi bahwa

“kesopanan lebih tinggi nilainya dari pada kecerdasan”.

Sebagaimaa disebutkan di atas bahwa selain di mushalla pernikahan

dilakukan pada rumah mempelai perempuan. Hal ini sudah masyhur

dikalangan masyarakat, sebab pada waktu pernikahan juga disertai dengan

beberapa seserahan yang memang sudah terbiasa disediakan atau dihaturkan

pihak laki-laki kepada pihak perempuan.

Kebiasaan yang lain terkadang sebagian mereka membawa

seserahannya pada hari sebelum pernikahan, seperti hal-hal beberapa

keperluan rumah tangga. Sedangkan pada waktu pernikahan mebawa barang-

barang yang dikhususkan untuk mempelai perempuan serta beberapa

seserahan lainnya yang memang lumrah dibawa oleh pihak laki-laki.

40 Wawancara Pribadi dengan Rahemah, Karangsokon 31 Desember 2016

Page 91: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

78

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dipaparkan

oleh penulis di atas, maka penulis dapat mearik kesimpulan dari tradisi

pernikahan yang dilakukan di Masyarakat Desa Payudan Karangsokon

Guluk-Guluk Sumenep sebagai berikut:

Pertama, pemahamam masyarakat Desa Payudan Karangsokon tentang

tidak perlunya persetujuan gadis adalah selain merupakan bentuk pengamalan

terhadap tradisi yang sudah ada semenjak nenek moyang juga didasari

terhadap redaksi hadits yang berbunyi: م ه س ف ن ب ق ح ا ب ي لث ا و ه ي ل و ن ا ر ك الب ا،

أ ه ن ذ أ ت س ي ف ه و ب ا و ه س ف ن ا ص ه ن ذ ا ا و ص اه ات م ا ق ال او ر ب ا ق ر ار ه ا ت ه م . Pengamalan

terhadap hadits ini tidaklah sama persis, yakni bahwa tidak ada penberitahuan

kepada anaknya. Karena menurut mereka orang tua berhak memilih apa yang

terbaik untuk putrinya kelak, serta orang tua jauh lebih tahu apakah

pasangannya itu baik atau tidak. Bukan hanya tanpa meminta persetujuan,

melainkan hal tersebut seperti sebagai perjodohan terhadap putrinya yang

ketika dipinang bahkan tidak tahu atau bahkan sebelumnya tidak pernah kenal

dengan calon pasangannya itu.

Musyawarah yang dilakukan antara orang tua dan anaknya ini hanya

sebagai suatu bentuk pemberitahuan saja, tanpa memerlukan respon atau

jawaban dari anaknya berkaitan dengan proses khitbah yang dilakukan lelaki

tesebut. Artinya adalah bahwa persetujuan yang dimaksud hanya dijadikan

sebagai formalitas saja.

Kedua, penentuan hari baik dalam pernikahan menurut masyarakat desa

payudan Karangsokon merupakan bagian penting untuk mempersiapkan acara

yang akan dilangsungkan dengan pemaknaaan bahwa dengan adanya proses

tersebut akan mengurangi beberapa rasa khawatir yang biasa muncul pada

masyarakat ketika akan melangsungkan sebuah acara yang dianggap penting.

Page 92: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

79

Selain untuk menghilangkan kekhawatiran, perhitungan tersebut juga untuk

menghindari dari waktu-waktu yang diyakini tidak baik ketika akan

melangsungkan acara, termasuk pernikahan yang diyakini sebagai proses

yang sakral dan penting dalam suatu kehidupan.

Persiapan yang baik tentunya akan menghasilkan sesuatu yang baik

pula, sehingga dengan persiapan tersebut sering berdampak akan langgennya

pernikahan yang sudah dilangsungkan, rasa damai dan saling pengertian

diantara keduanya setelah menjalani kehidupan bersama. Upaya tersebut

sebagai salah satu untuk mendapat keberkahan dalam pernikahan sehigga

tercipta keluarga yang Sakinah Mawaddah Warahmah. adapun antara waktu

ijab dan qabul juga bersamaan dengan waktu pelaksanaan upacara pernikahan

(walimah).

Ketiga, dasar dari pelaksanaan pernikahan di Masjid oleh Masyarakat

payudan Karangsokon adalah berdasarkan terhadap hadits yang diriwayatkan

oleh Imam Tirmidzi dalam kitabnya Tuhfa al-Ahwadzi bi Syarhi Jāmi at-

Tirmidzi dalam bab pelaksanaan pernikahan, pengamalan tersebut juga

didasari sebagaimana penggunaan masjid pada masa Rasulullah Saw dan para

sahabat yang menggunakan Masjid sebagai tempat pengucapan janji dengan

kepercayaan bahwa masjid sebagai tempat yang suci sehingga pengikraran

dan persaksiannya dapat lebih diresapi.

B. Saran-saran

Penelitian tentang pernikahan ini hanya penulis fokuskan terhadap tiga

kegiatan yang merupakan bagian dari pernikahan. Penelitian pada tiga

kegiatan tersebut hanya penulis kaji dari sudut pandang yang tidak begitu

dalam serta hanya fokus pada penggunaan metode living hadits yang

notebenenya menggunakan pendekatan field research saja.

Berangkat dari hal tersebut penulis sangat menyarankan kepada para

pembaca untuk kemudian melakukan penelitian terhadap tradisi-tradisi yang

terjadi di Masyarakat Payudan Karangsokon tentunya dengan menggunakan

pendekatan dan metode yang sekiranya mampu untuk menjawab persoalan-

persoalan tersebut. seperti halnya apakah terdapat pengaruh yang signifikan

Page 93: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

80

terhadap penentuan hari baik tersebut terhadap berlangsunya rumah tangga

yang bahagia.

Penelitian yang dilakukan oleh penulis ini tentunya jauh dari

kesempurnaan, sehingga memungkinkan untuk memiliki kesalahan baik dari

penyajian ataupun substansinya. Oleh karenanya, penulis sangat terbuka

terhadap kritik dan saran yang dapat dijadikan sebagai masukan atau

pertimbangan untuk kemudian dapat memberikan hasil yang lebih baik. Dan

terakhir, penulis berharap semoga tulisan ini dapat memberikan manfaat serta

dapat menjadi rujukan dan pelengkap kajian yang sudah ada, baik untuk

kalangan akademik pada khususnya maupun umat Islam secara umum.

Page 94: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

81

DAFTAR PUSTAKA

Abidin, Slamet dan Aminudin. fiqih Munâkahât 1. Bandung: Pustaka setia,

1999.

Afandi, Agus. dkk. Catatan Pinggir di Tiang Pancang Suramadu. Yogyakarta:

Ar-Ruzz, 2006.

Amrullah, Muhammad Fairûz Nadhir. Penerjemahemahan Qurratul ‘Uyun.

Surabaya: Pustaka Media, t.t.

Arikunto, S. Prosedur Penelitian Edisi Revisi. Jakarta: PT Renika Cipta, 2006.

al-Asqalani, Ibnu Hajar. Fathul Bâri fi Syarhi Shahîh Bukhârî. Beirut: Dar al-

Ma’rifah, 1997.

Bakry, Hasbullah. Pedoman Islam di Indonesia. Jakarta: UI Press, 1990.

Basyir, Ahmad Azhar. Hukum Perkawinan Islam. cet. ke-9, Yogyakarta: UII

Prees, 1999.

Dahlan, Abdul Aziz. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: PT. Ictiar Baru Van

Hoeve, 1999.

Departemen Agama, al-Qur’an dan Penerjemahemah. Semarang: PT Karya

Toha Putra, 1971.

Geertz, Hildred. Keluarga Jawa. Jakarta: Grafiti Perss, 1985.

Gazalba, Sidi. Mesjid Pusat Ibadat dan Kebudayaan Islam. Jakarta: Pustaka

Antara, 1983.

Hadi, Sutrisno. Metodologo Jilid I. Yogyakarta: Andi Offets, 1999.

Hamka, Hasan. Metodologi Penelitian Tafsir Hadis. Jakarta: Lembaga Penelitian

UIN Syarif Hidayatullah, 2008.

Hasyim, Syafiq. Hal-Hal yang Tak Terfikirkan Tentang Isu-Isu Keperempuanan

Dalam Islam. Bandung: Mizan, 2001.

Jonge, Huub De. Madura Dalam Empat Zaman; Pedagang, Perkembangan

Ekonomi, dan Islam, ter. KITLV-LIPI. Jakarta: PT Gramedia, 1989

Kamal, Fahmi. Perkawinan Adat Jawa Dalam Kebudayaan Indonesia. Jurnal

Khasanah Ilmu Vol. 5 No. 2 September 2014

al-Kandahlâwî, Maulana Muhammad Zakariya. Fadilah al-A’mâl. Penerjemah

Musthafa Sayani. Bandung: Pustaka Ramadhan, t.t.

Page 95: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

82

Karim, Khalil Abdul. Syari’ah Sejarah Perkelahiran dan Pemakaman.

Yogyakarta: LKIS, 2003.

Kartono, Kartini. Pengantar Metodologi Riset Sosial. Bandung: Mandar Maju,

1996.

Kurniawan, Syamsul. Hadis Jampi-Jampi dalam Kitab Mujarrabat Melayu dan

Taj al-Muluk Menurut Pandangan Masyarakat Kampung Seberang Kota

Pontianak Propinsi Kalbar. Skripsi S1 Fakultas Ushuluddin dan

Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta, 2005.

Kuntowijoyo. Perubahan Sosial Dalam Masyarakat Agraris Madura 1850-1940,

ter. Machmoed Effendhie dan Punang Amaripuja. Yogyakarta: Mata

Bangsa, 2002.

al-Makssary, Ridwan dan Ahmad Gaus Af. Benih-Benih Islam Radikal di Masjid

(Studi Kasus di Jakarta dan Solo). Jakarta: CSRC UIN Syarif

Hidayatullah, 2010.

al-Mishri, Taufiq Abu A'lam. Fathimah al-Zahrah. Bandung: Pustaka Pelita,

1999.

Mufidah Ch., Psikologi Keluarga Berwawasan Gender. Malang:UIN Malang

Press, 2008.

Muktar, Kamal. Asas-asas Hukum Islam tentang Perkawinan. cet ke.-3. Jakarta:

Bulan Bintang, 1993.

Najmuddin, “Pemahaman Masyarakat Bayan Terhadap al-Qur’an (Studi

Perbandingan antara Masyarakat Penganut ajaran Islam Wetu Tellu

dengan Penganut ajrang Agama Islam Wetu Lima).” Skripsi S1 Fakultas

Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta,

2005.

an-Nawawi, Syarah Shahih Muslim. Penerjemah Agus Ma’mun, Suharlan dan

Suratman Jakarta: Darus Sunnah Pres, 2013.

Nuruddin ‘Itr, Manhaj al-Naqd fi Ulum al-Hadis. Damaskus: Dar al-Fikr, 1997.

Qardhawi, Yusuf. Fatwa-Fatwa Kontemporer. alih bahasa As’ad Yasin. Jakarta:

Gema Insani Press, 1996.

al-Qastalani, Syihabuddin Ahmad. Irsyadu al-Sari li Syarhi Shahihi al-Bukhari.

Beirut: Dar al-Fikr, t.t.

Page 96: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

83

Ramadhita, Latar Historis Indikator Kerelaan Perempuan Dalam Perkawinan.

de Jure, Jurnal Syariah dan Hukum. Volume 7 Nomor 1, Juni 2015

Rasjid, Sulaiman. Fiqih Islam (Hukum Fiqh Lengkap). Bandung: Sinar Baru

Algensindo, 2014.

Rasjidi, Lili. Pekawinan dan Perceraian di Malaysia dan Indonesia. Bandung:

PT Remaja Rosda Karya,1991.

Robson, James Magic Cures in Popular Islam. dalam Samuel M. Zweemer (ed),

Moslem World. Vol XXIV New York: Karuss Reprint Corporation, 1996.

Rusyd, Ibnu, ad-Dharuri fi Ushul Fiqh aw Mukhtashar al-Mustashfa. Beirut :

Dar al-Gharbu al-Islamiy, 1994.

Sabiq, As-Sayyid. Fiqh al-Sunnah. Beirut: Dar al-Kitab al-‘Anbi, 1973

Schimmel, Annemarie. Rahasia Wajah Suci Ilahi Memahami Islam secara

Fenonenologis. Penerjemah. Rahmani Astuti. Bandung: Mizan, 1996.

Saedi, Saedah. Research Approach and Data Collection Technique. Leeds

Metropolitan Unisversity, 2002.

Sari, Iksan. “Bitongan dan Pena’asen: Numerologi Bangsa Madura.” Artikel

pada 04 Maret 2016 dari https://web.facebook.com/notes/iksan-

sahri/bitongan-dan-penaasen-numerologi-bangsa-

madura/10156544316905612

as-Silmi, Muhammad bin ‘Isa Abu ‘Isa at-Tirmidzi. al-Jami as-Shahih Sunan

Tirmidzi. Beirut: Dar Ihya’ at-Turats al-‘arabi, 1998.

Sirojuddin dan Mohammad Bashri Asyari, Tradisi Nyareh Dhina Dalam

Penentuan Hari Pernikahan Perspektif Hukum Islam di Desa Larangan

Badung. Jornal al-Hikam Vol. 9 No. 1 Juni 2014.

Suhendi, Hendi. Fiqih Muâmalah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2002.

Suryadilaga, Muhammad Alfatih. Model-Model Living Hadis. dalam Syahiron

Syamsuddin (ed), Mitodologi Penelitian Qur’an dan Hadis. Yogyakarta:

TERAS, 2007.

Susanto, Edi. “Kepemimpinan (Kharismatik) Kyai Dalam Perspektif Masyarakat

Madura.” Jurnal Karsa, Vol. XI No.1, (April 2007)

Sutrisno. Hadi, Metodologo Jilid I. Yogyakarta: Andi Offets, 1999.

Page 97: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

84

Soehadha, Moh. Metode Penelitian Sosial Kualitatif untuk Studi Agama.

Yogyakarta: SUKA Press, 2010.

Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh

Munakahat dan Undang-Undang Perkawinan. Jakarta : kencana 2006.

al-Syaqiry, Muhammad Abdussalam. Bid’ah-bid’ah yang Dianggap Sunnah.

Jakarta: Qithi Press, 2004.

Takariwan, Cahyadi. Izinkan Aku Meminangmu. Solo: Era Intermedia 2004.

Tim Penyusun, Pedoman Akademik Program Strata Satu 2012/2013. Ciputat:

UIN Syarif Hidayatullah jakarta, 2012.

Wawancara Pribadi dengan Hj. Sutiana, Karangsokon 02 Nopember 2016

Wawancara Pribadi dengan H. Hasan, Karangsokon 01 Nopember 2016

Wawancara Pribadi dengan KH. Abd Majid, Karangsokon 31 Oktober 2016

Wawancara Pribadi dengan KH. Noer Kholis, Karangsokon 25 Desember 2016

Wawancara Pribadi dengan olis, Karangsokon 27 Desember 2016

Wawancara Pribadi dengan Muzanni, Karangsokon 27 Desember 2016

Wawancara Pribadi dengan Ahmad Syafi’i, Karangsokon 30 Desember 2016

Wawancara Pribadi dengan Hasibah, Karangsokon 27 Desember 2016

Wawancara Pribadi dengan Rahemah, Karangsokon 31 Desember 2016

Wiyata, Latif. Carok Konflik Kekerasan dan Harga Diri Orang Madura.

Yogyakarta: LKiS, 2006.

Zahrah, Abu. al-Ahwal asy-Syakshiyah. Kairo: Dar al-Fikr al-Arabi, 1957.

Zubairi, A. Dardiri. Rahasia Perempuan Madura; Esai-Esai Remeh Seputar

Kebudayaan Madura. Surabaya: Andhep Asor, 2013.

Az-Zuhaili, Wahbah. Fiqh al-Islam wa Adillatuhu. alih bahasa oleh Abdul

Hayyie AlKat.tani. Jakarta:Gema Insani, 2011.

Zuhri. “Studi Islam dalam Tafsir Sosial; Tela’ah Sosial Gagasan KeIslaman

Fazlur Rahman dan Mohammed Arkoun.” Skripsi S1 Fakultas

Ushuluddin dan Pemikiran Islam, Universitas Islam Negeri Yogyakarta,

2008.

Zulfa, Indana. “Pandangan Hadis terhadap Tatayyur (Studi Kasus Tradisi

Pemilihan Pasangan dan Hari Pernikahan dengan Perhitungan Jawa di

Page 98: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

85

Desa Dukuhkembar Kecamatan Dukuh Kabupaten Gresik)”. Skripsi S1

Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri Jakarta, 2015.

Page 99: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

Lampiran I

PEDOMAN WAWANCARA

(Orang Tua Anak)

A. IDENTITAS DIRI

Nama :

Pekerjaan :

B. DAFTAR PERTANYAAN

1. Persetujuan Pernikahan

a. Apakah anda merundingkan dengan putri anda ketika ada orang yang

meminangnya?

b. Apa yang melatarbelakangi terjadinya perjodohan itu?

c. Dalam perjodohan tersebut, mengapa harus dengan sesama saudara?

d. Apakah terdapat perbedaan antara anak yang masih memiliki ikatan

famili dengan yang tidak dalam mencapai tujuan pernikahan?

e. Menurut anda perlukah meminta persetujuan terhadap anak ketika ada

seseorang yang berniat meminangnya?

2. Proses Penentuan Hari Baik (Nyareh Dhinah Begus)

a. Apakah masyarakat masih menggunakan kultur jawa khususnya dalam

hal yang berkaitan dengan waktu pernikahan?

b. Dalam penentuan hari baik itu apakah hanya memperhitungkan harinya

saja atau juga dengan waktu, hari dan bulannya juga?

c. Dalam perhitungan hari baik itu dilakukan sendiri oleh keluarga yang

bersangkutan atau meminta bantuan orang lain dalam proses

pencapaiannya?

d. Bagaimana proses perhitungan hari baik dalam penentuan pernikahan?

e. Apakah dalam penentuan hari baik itu dihasilkan dengan proses

perundingan antara keluarga laki-laki dan perempuan atau hanya

ditentukan oleh keluarga perempuan saja?

f. Apakah ada bulan-bulan khusus yang dianggap tidak boleh untuk

melangsungkan acara pernikahan?

g. Apakah yang mendasari adanya perhitungan hari baik itu?

h. Apakah urgensi atau manfaat dari pencapaian penentuan hari baik

tersebut?

Page 100: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

i. Apakah dampak yang akan terjadi jika pernikahan itu dilangsungkan

pada bulan ataupun waktu yang tidak diperbolehkan tersebut?

3. Pelaksanaan Walimah

a. Dimanakan acara Walimah itu dilaksanakan?

b. Apakah dirumah anda terdapat Mushallah atau masjid?

c. Apakah terdapat makna khusus terhadap tempat yang menjadi tempat

pelaksanaan acara walimah, sehingga harus dilaksanakan pada tempat

tersebut?

d. Bagaimana proses pelaksanaa walimah?

e. Apakah dalam pemilihan tempat pelaksanaan walimah masih melalui

perhitungan terlebih dahulu?

f. Apakah tempat pelaksanaan walimah juga memberikan pengaruh

terhadap langgengnya pernikahan?

4. Bagaimana anda memaknai terhadap,

a. Hadis tentang perlunya meminta persetujuan terhadap anak perempuan

ketika ada orang berniat mengawininya?

b. Penentuan waktu pernikahan (Nyareh dhinah begus) yang didalam hadis

Nabi telah disebutkan mengenai bulan-bulan yang baik?

c. Masjid atau Mushallah menjadi tempat pelaksanaan walimah yang hal

tersebut merupakan salah satu anjuran dari Nabi?

Page 101: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

PEDOMAN WAWANCARA

(Anak yang Dijodohkan)

A. IDENTITAS DIRI

Nama :

Usia Pernikahan Anda :

B. DAFTAR PERTANYAAN

1. Ketika ada seseorang yang meminang anda, apakah anda dimintai

pendapat terkait tentang setuju atau tidak terhadap pinangan tersebut?

2. Bagaimana perasaan anda ketika tahu bahwa anda di jodohkan dan

bagaimana pengaruhnya dalam keseharian anda?

3. Pernahkan ada keinginan untuk membatalkan ikatan tersebut?

4. Menurut anda apakah akan ada perbedaan antara pasangan yang anda

pilih sendiri dengan pasangan yang dipilih orang tua anda?

5. Bagaimana pendapat anda tentang perjodohan itu?

6. Orang yang dijodohkan dengan anda apakah masih memiliki ikatan

keluarga atau tidak?

7. Apakah terdapat perbedaan dalam keluarga anda terhadap anak laki-laki

dan perempuan dalam pemilihan pasangan?

8. Menurut anda perlukah orang tua itu meminta pendapat ketika ada

seseorang yang meminang putrinya, sertakan dengan alasannya?

9. Bagaimana solusi yang anda lakukan ketika anda sudah dijodohkan,

agar supaya bisa menerima akan hal tersebut? Sehingga hal tersebut

tidak mempengaruhi terhadap kehidupan rumah tangga anda nantinya?

Page 102: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

PEDOMAN WAWANCARA

(Tokoh Masyarakat)

C. IDENTITAS DIRI

Nama :

Pekerjaan :

D. DAFTAR PERTANYAAN

1. Menurut pengetahuan anda, bagaimana pengetahuan masyarakat terhadap

hadis Nabi?

2. Seberapa banyak hadis itu mempengaruhi dalam kehidupan masyarakat?

3. Persetujuan Pernikahan

a. Apa yang melatarbelakangi terjadinya perjodohan itu?

b. Bagaimana sejarah perjodohan tersebut?

c. Menurut anda perlukah meminta persetujuan terhadap anak ketika ada

seseorang yang berniat meminangnya?

d. Dalam pengamatan anda apakah ada perbedaan antara keluarga yang

dijodohkan dengan keluarga hasil dari pilihannya sendiri?

e. Menurut anda, kebiasaan seseorang keluarga tidak merundingkan dengan

anaknya dalam hal pasangan hidupnya pelu dipertahnkan atau tidak?

4. Proses Penentuan Hari Baik (Nyareh Dhinah Begus)

a. Apakah masyarakat masih menggunakan kultur jawa khususnya dalam

hal yang berkaitan dengan waktu pernikahan?

b. Dalam penentuan hari baik itu apakah hanya memperhitungkan harinya

saja atau juga dengan waktu, hari dan bulannya juga?

c. Dalam perhitungan hari baik itu dilakukan sendiri oleh kedua calon

keluarga atau masih melibatkan kyai atau orang yang lainnya?

d. Bagaimana proses perhitungan hari baik dalam penentuan pernikahan?

e. Apakah masyarakat Payudan Karangsokon memiliki rasa fanatik

terhadap bulan-bulan tertentu, sertakan dengan alasannya?

f. Apakah urgensi atau manfaat dari pencapaian penentuan hari baik

tersebut?

g. Bagaimana sejarah penentuan hari baik itu sejauh yang anda ketahui?

5. Pelaksanaan Walimah

a. Dimanakah acara Walimah itu dilaksanakan?

Page 103: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

b. Apakah terdapat makna khusus terhadap tempat yang menjadi tempat

pelaksanaan acara walimah, sehingga harus dilaksanakan pada tempat

tersebut?

c. Bagaimana pemaknaan masyarakat Payudan Karangsokon terhadap

Mushallah yang menjadi salah satu tanda keagamaan yang kerap kali

juga dijadikan sebagai tempat pelaksanaan walimah?

d. Apakah setiap kepala keluarga memiliki Mushallah?

6. Bagaimana anda memaknai terhadap,

a. Hadis tentang perlunya meminta persetujuan terhadap anak perempuan

ketika ada orang berniat mengawininya?

b. Penentuan waktu pernikahan (Nyareh dhinah begus) yang didalam hadis

Nabi telah disebutkan mengenai bulan-bulan yang baik?

c. Masjid atau Mushallah menjadi tempat pelaksanaan walimah yang hal

tersebut merupakan salah satu anjuran dari Nabi?

Page 104: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

Lampiran II

DATA RESPONDEN WAWANCARA

No Nama Status Alamat

1. KH. Abdul Majid Tokoh Dusun Benyato

2. KH. Noer Kholis Tokoh Dusun Benyato

3. H. Hasan Kepala Desa Dusun Be’regih

4. Hj. Sutiana Kepala Desa Dsun Be’regih

5. H. Ahmad Syafi’i Tokoh Dusun Somber Rajeh

6. Hj. Rahemah Tokoh Dusun Somber Rajeh

7. Noer Khalis Orang Tua Anak Dusun Benyato

8. Siri Orang Tua Anak Dusun Benyato

9. Hasibah Anak Dusun Benyato

10. Halimatus Sa’diyah Anak Dusun Benyato

11. Ida Ubaidatul Hasanah Anak Dusun Be’regih

12. Mujasit Orang Tua Anak Dusun Be’regih

13. Qomaruddin Orang Tua Anak Dusun Be’regih

14. Ulfatul Muslimah Anak Dusun Benyato

15. Dalilah Anak Dusun Benyato

16. Rusdi Orang Tua Anak Dusun Benyato

17. Abdul Jalal Orang Tua Anak Dusun Banyukalong

18. Juwaini Tokoh Dusun Be’regih

19. Syamsuri Orang Tua Anak Dusun Banyukalong

20. H. Sahari Orang Tua Anak Dusun Banyukalong

Page 105: TRADISI PERNIKAHAN DI MASYARAKAT DESA PAYUDAN …repository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/34694/1/AHMAD... · Kata Kunci: Living Hadis, Pernikahan, Masjid/Mushalla . v

Lampiran III

DOKUMENTASI

1. Pernikahan di Mushallah

2. Pemukulan Rebana

3. Rombongan yang Membawa Seserahan