tradisi haji (perspektif, jawa pos radar jember, 26 agustus 2015, hlm. 1)

2
7/23/2019 Tradisi Haji (Perspektif, Jawa Pos Radar Jember, 26 Agustus 2015, Hlm. 1) http://slidepdf.com/reader/full/tradisi-haji-perspektif-jawa-pos-radar-jember-26-agustus-2015-hlm-1 1/2 Dilematika Tradisi Haji Oleh: Khairunnisa Musari* “ Saya hanya tukang pijat bayi. Untuk bisa mendaftar haji, saya dan suami harus menabung bertahun-tahun. Ketika mendaftar, saat itu saya bersama suami. Tapi sekarang, ketika hendak berangkat... saya sendirian.... . Itulah sedikit cerita dari seorang Ibu dalam  pertemuan Bimbingan Manasik Haji Tingkat Kecamatan di Kelurahan Tompokersan, Lumajang,  beberapa pekan lalu. Suasana haru kemudian menyelimuti. Bercampur isak, si Ibu menyampaikan  bahwa ruhiyahnya sudah melalui berbagai ujian kehidupan yang menempanya untuk senantiasa  bersabar. Ya, Kementerian Agama (Kemenag) Kabupaten Lumajang selama dua pekan berturut- turut di awal Agustus menyelenggarakan Bimbingan Manasik Haji, baik di Tingkat Kabupaten maupun Tingkat Kecamatan. Bimbingan Manasik Haji mengemban misi agar calon jamaah  benar-benar memahami proses yang akan dilalui sejak pemberangkatan hingga proses kepulangan sampai di rumah. Uniknya, salah satu materi yang khusus dibahas langsung oleh Kepala Kantor Kemenag Lumajang adalah terkait acara  selametan atau tasyakuran atau walimatussafar  yang lazim dilakukan oleh calon jamaah haji sebelum  pemberangkatan serta kebiasaan memberi beragam oleh-oleh setiba pulang di tanah air. Secara  pribadi, saya menangkap pesan tersirat bahwa  beliau mengajak calon jamaah untuk tidak membiarkan tradisi tersebut sebagai kebiasaan, apalagi kewajiban, terlebih bila sebenarnya memberatkan. Kalaupun harus dilakukan, lakukanlah secara sederhana sesuai kemampuan dan tidak perlu memaksakan diri. Ya, saya membayangkan bila Ibu si Tukang Pijat Bayi yang menjanda itu harus mengikuti tradisi masyarakat, maka hal tersebut tentu akan membebaninya. Padahal, beliau mungkin juga harus menyiapkan  sangu selama 40 hari bagi keluarga yang ditinggalkan, ditambah lagi  sangu untuk kebutuhannya selama di Tanah Suci. Biaya tradisi ritual sebelum dan sesudah ibadah haji, yang sesungguhnya bukan bagian dari Rukun, Wajib atau Sunnah Haji tersebut bisa jadi setara atau malah lebih mahal daripada biaya haji itu sendiri. Tidak bisa dipungkiri, tradisi haji yang berkembang luas dan semakin sarat biaya ini menjadi isu sensitif. Hal tersebut tercermin dari beberapa respon calon jamaah terhadap bahasan Kepala Kantor Kemenag Lumajang. Beberapa manggut-manggut, beberapa secara lisan mengakui bahwa tradisi tersebut memberatkan,  beberapa hanya diam menerawang, dan beberapanya lagi meradang serta bersikukuh dengan tradisi tersebut karena ‘nanti diomongin orang’. Hmm... Fenomena Masyarakat Banyak studi menunjukkan bahwa masyarakat cukup memahami ibadah haji sebagai pilar agama dan menjadi perintah bagi seorang muslim. Namun, terdapat pemaknaan lain yang dikonstruksi masyarakat bahwa ibadah haji ternyata juga menjadi simbol kedudukan sosial-ekonomi. Bagi masyarakat etnis tertentu, pergi haji  bukan sekedar berorientasi ibadah, tetapi juga sebagai upaya membangun posisi terhormat dalam stratifikasi sosial. Ada juga yang terobsesi pada aspek-aspek simbolik serta paham-paham keberkahan benda-benda Tanah Suci. Bahkan, pada profesi tertentu, pergi haji menjadi upaya membangun kepercayaan terhadap pelanggan.

Upload: khairunnisa-musari

Post on 18-Feb-2018

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tradisi Haji (Perspektif, Jawa Pos Radar Jember, 26 Agustus 2015, Hlm. 1)

7/23/2019 Tradisi Haji (Perspektif, Jawa Pos Radar Jember, 26 Agustus 2015, Hlm. 1)

http://slidepdf.com/reader/full/tradisi-haji-perspektif-jawa-pos-radar-jember-26-agustus-2015-hlm-1 1/2

Dilematika Tradisi Haji

Oleh: Khairunnisa Musari*

“ Saya hanya tukang pijat bayi. Untuk bisa

mendaftar haji, saya dan suami harus menabung

bertahun-tahun. Ketika mendaftar, saat itu saya

bersama suami. Tapi sekarang, ketika hendak

berangkat... saya sendirian....”

Itulah sedikit cerita dari seorang Ibu dalam

 pertemuan Bimbingan Manasik Haji Tingkat

Kecamatan di Kelurahan Tompokersan, Lumajang,

 beberapa pekan lalu. Suasana haru kemudian

menyelimuti. Bercampur isak, si Ibu menyampaikan

 bahwa ruhiyahnya sudah melalui berbagai ujian

kehidupan yang menempanya untuk senantiasa

 bersabar.

Ya, Kementerian Agama (Kemenag)

Kabupaten Lumajang selama dua pekan berturut-turut di awal Agustus menyelenggarakan

Bimbingan Manasik Haji, baik di Tingkat

Kabupaten maupun Tingkat Kecamatan. Bimbingan

Manasik Haji mengemban misi agar calon jamaah

 benar-benar memahami proses yang akan dilalui

sejak pemberangkatan hingga proses kepulangan

sampai di rumah.

Uniknya, salah satu materi yang khusus

dibahas langsung oleh Kepala Kantor Kemenag

Lumajang adalah terkait acara  selametan  atau

tasyakuran  atau walimatussafar   yang lazimdilakukan oleh calon jamaah haji sebelum

 pemberangkatan serta kebiasaan memberi beragam

‘oleh-oleh’  setiba pulang di tanah air. Secara

 pribadi, saya menangkap pesan tersirat bahwa

 beliau mengajak calon jamaah untuk tidak

membiarkan tradisi tersebut sebagai kebiasaan, apalagi kewajiban, terlebih bila sebenarnya memberatkan.

Kalaupun harus dilakukan, lakukanlah secara sederhana sesuai kemampuan dan tidak perlu memaksakan diri.

Ya, saya membayangkan bila Ibu si Tukang Pijat Bayi yang menjanda itu harus mengikuti tradisi

masyarakat, maka hal tersebut tentu akan membebaninya. Padahal, beliau mungkin juga harus menyiapkan

 sangu  selama 40 hari bagi keluarga yang ditinggalkan, ditambah lagi  sangu  untuk kebutuhannya selama di

Tanah Suci. Biaya tradisi ritual sebelum dan sesudah ibadah haji, yang sesungguhnya bukan bagian dari Rukun,

Wajib atau Sunnah Haji tersebut bisa jadi setara atau malah lebih mahal daripada biaya haji itu sendiri.

Tidak bisa dipungkiri, tradisi haji yang berkembang luas dan semakin sarat biaya ini menjadi isu sensitif.

Hal tersebut tercermin dari beberapa respon calon jamaah terhadap bahasan Kepala Kantor Kemenag

Lumajang. Beberapa manggut-manggut, beberapa secara lisan mengakui bahwa tradisi tersebut memberatkan,

 beberapa hanya diam menerawang, dan beberapanya lagi meradang serta bersikukuh dengan tradisi tersebut

karena ‘nanti diomongin orang’. Hmm...

Fenomena MasyarakatBanyak studi menunjukkan bahwa masyarakat cukup memahami ibadah haji sebagai pilar agama dan

menjadi perintah bagi seorang muslim. Namun, terdapat pemaknaan lain yang dikonstruksi masyarakat bahwaibadah haji ternyata juga menjadi simbol kedudukan sosial-ekonomi. Bagi masyarakat etnis tertentu, pergi haji

 bukan sekedar berorientasi ibadah, tetapi juga sebagai upaya membangun posisi terhormat dalam  stratifikasi

sosial. Ada juga yang terobsesi pada aspek-aspek simbolik serta paham-paham keberkahan benda-benda Tanah

Suci. Bahkan, pada profesi tertentu, pergi haji menjadi upaya membangun kepercayaan terhadap pelanggan.

Page 2: Tradisi Haji (Perspektif, Jawa Pos Radar Jember, 26 Agustus 2015, Hlm. 1)

7/23/2019 Tradisi Haji (Perspektif, Jawa Pos Radar Jember, 26 Agustus 2015, Hlm. 1)

http://slidepdf.com/reader/full/tradisi-haji-perspektif-jawa-pos-radar-jember-26-agustus-2015-hlm-1 2/2

Ragam motif beribadah haji pada gilirannya berdampak pada perbedaan ekspresi dalam menjalankan

ibadah tersebut. Salah satunya termanifestasi dalam menyikapi tradisi masyarakat. Jamak terjadi bagi calon

 jamaah haji menggelar  selametan  atau tasyakuran  atau walimatussafar   sebelum pemberangkatan. Beberapa

 pihak menyebutkan bahwa fenomena ini dalam 15 tahun terakhir menjadi marak, bahkan seolah menjadi

rangkaian wajib bagi siapa saja yang akan pergi haji. Semakin tinggi tingkat sosial-ekonomi seseorang, maka

semakin besar perhelatannya, baik dari jumlah undangan, penceramah, hidangan, hingga menu berkatan.

Manifestasi lainnya juga tercermin pada ‘oleh-oleh’ dari Tanah Suci yang sesungguhnya sudah

dipersiapkan jauh-jauh hari dengan berbelanja di toko-toko suvenir haji di dalam kota atau di kota lain yang

tidak jauh dari domisili. ‘Oleh-oleh’ ini seolah menjadi syarat wajib bagi mereka yang pulang haji untukmemberi buah tangan kepada para tamu di rumah maupun kepada kolega dan handai taulan.

Terlepas dari berbagai pandangan maupun rujukan hukum yang digunakan dalam menilai tradisi 

 selametan atau tasyakuran atau walimatussafar   termasuk ‘oleh-oleh’, fenomena masyarakat ini patut disikapi

secara arif. Selayaknya masyarakat tetap diedukasi dalam memaknai penyelenggaraan tradisi. Pasalnya, dari

aspek sosial-ekonomi, tradisi ini dapat menjadi beban bagi sebagian masyarakat karena realitasnya pergi haji

tidak selalu berkorelasi dengan peningkatan kemampuan ekonomi maupun perubahan perilaku sosial.

Sejumlah studi membuktikan tingginya jumlah jamaah haji di wilayah tertentu ternyata tidak dapat

digunakan untuk mengukur tingkat ketakwaan dan peningkatan perekonomian sebuah masyarakat. Motif non-

ibadah menjadi penyebabnya. Bahkan, sebagian dari mereka mengkonsentrasikan keuangan rumah tangga

untuk kebutuhan ibadah haji (dan tradisi masyarakat) hingga mengabaikan biaya pendidikan anak, termasuk

mengabaikan perintah zakat. Oleh karena itu, Kemenag, alim ulama dan tokoh masyarakat seyogyanya jugamengedukasi dilematika masyarakat, terutama calon jamaah haji, untuk meluruskan niat dan memprioritaskan

 persiapan pelaksanaan Rukun, Wajib dan Sunnah Haji serta peningkatan kesalehan sosial-ekonomi pasca

ibadah.

Kesalehan Sosial-EkonomiPasca ibadah haji, layaknya seseorang memiliki kesalehan sosial-ekonomi yang lebih baik. Sejatinya,

ritual haji berdampak kepada kehidupan mereka yang telah menjalaninya karena semua praktek ibadah haji

mengandung pesan tertentu. Implikasi ibadah haji seharusnya berbanding lurus dengan kesalehan sosial-

ekonomi, termasuk dalam menahan diri untuk tidak melakukan haji berulang dengan memberi kesempatan

kepada kaum muslimin lainnya untuk menunaikan.

Ya, kesalehan sosial-ekonomi dapat berwujud aneka rupa. Prinsipnya, perjalanan ibadah haji seharusnyamembawa pengalaman kemanusiaan dan ketauhidan yang luar biasa yang membawa perubahan perilaku.

Implikasi dari ibadah haji seyogyanya dapat meningkatkan kepekaan terhadap kondisi sosial masyarakat,

membantu mengurangi ketimpangan antara Si Kaya dan Si Miskin, senantiasa mengingatkan tentang misi

 persamaan dan persaudaraan, serta memerangi berbagai ketidakadilan dalam masyarakat.

Selamat mengunjungi Baitullah untuk calon jamaah haji dari Bondowoso dan Jember yang akan

 berangkat tak lama lagi dalam Gelombang I. Begitu pula untuk calon jamaah haji dari Lumajang yang masuk

Gelombang II. Semoga menjadi haji mabrur. Labbaik allaahumma labbaik...

*Dosen FEBI IAIN Jember; Sekjen IAEI Besuki Raya, Peneliti PusKAPI FISIP Unej