tradisi gebug ende lap
DESCRIPTION
gebug endeTRANSCRIPT
TRADISI GEBUG ENDE
Desa Seraya merupakan desa di sebelah timur Kabupaten Karangasem yang terkenal
memiliki kondisi lingkungan yang panas. Desa Pakraman Seraya terbagi menjadi 3 daerah
yaitu Seraya Tengah, Seraya Barat, dan Seraya Timur. Desa pakraman Seraya memiliki
tradisi khas yang terkenal yaitu Gebug Ende. Gebug Ende merupakan suatu kebudayaan yang
hidup dan tumbuh di Desa Seraya tidak terlepas dari ajaran agama Hindu yang menjiwainya.
1. FILOSOFI
Konon zaman dahulu krama Desa Seraya adalah prajurit perang Raja Karangasem
yang ditugaskan untuk menggempur atau menyerang sebuah kerajaan di Lombok Barat yaitu
Kerajaan Seleparang. Karena pada waktu itu orang-orang asli Seraya kebal (kuat) sehingga
dijadikan benteng oleh Raja Karangasem sehingga Kerajaan Seleparang takluk terhadap
Kerajaan Karangasem. Belum puas berperang menghadapi musuh dan semangat ksatria
masih berkobar makabertarunglah dengan teman-temannya sendiri ,saling menyerang.
Seiring perkembangan zaman maka terciptalah permainan Gebug Ende yang secara turun
temurun dapat dimainkan dan disaksikan hingga kini. Tombak, pedang dan tameng yang
digunakan pada zaman dahulu diganti dengan peralatan rotan dan ende.
2. PENGERTIAN GEBUG ENDE
Gebug Ende berasal dari dua kata gebug dan ende. Gebug berarti pukul dan ende
merupakan perisai yang berbentuk bulat yang dilapisi dengan kulit sapi kering. Gebug Ende
dilakukan oleh laki-laki baik yang masih kecil dan sudah dewasa. Gebug Ende dilakukan
dengan cara bertarung menggunakan tongkat rotan dengan panjang atara 1,5 sampai 2 meter.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Tari Gebug Ende merupakan salah satu
tarian/permainan yang menjadi tradisi masyarakat Seraya yang dimainkan oleh dua
oranglelaki baik dewasa maupun anak-anak yang sama-sama membawa ende dan
penyalin,dimana pemainnya saling memukul dan menyerang. Tehnik yang dibutuhkan adalah
memukul dan menangkis.
3. TUJUAN
Di Desa Seraya merupakan daerah kering dan disertai dengan musim kemarau yang
tak kunjung berahir. Hujan yang dinanti oleh masyarakat setempat belum juga menunjukkan
tanda-tanda akan turun. Sehingga dari hasil paruman Desa tercetuslah untuk melaksanakan
ritual memohon turunnya hujan yakni dengan mengadakan Gebug Ende. Dipercaya hujan
akan turun apabila pertandingan mampu memercikan darah. Menurut bendesa pakraman
seraya, tradisi ini juga diadakan untuk melestarikan tradisi yang mesti diwarisi secara turun
temurun. Unsur olahraga sangat ditekankan dalam permainan ini yakni kekuatan fisik untuk
melakukan pukulan serta kelincahan untuk menangkis.
4. PERMAINAN
Biasanya tradisi ini dilakukan menjelang musin bercocok tanam, yaitu antara sasih
kelima sampai kepitu. Pada sasih ini masyarakat sudah mulai bersiap-siap untuk mulai
bercocok tanam. Kehidupan warga yang sebagaian besar hidup dengan mendapatkan
penghasilan dari mata pencaharian bertani membuat warga sangat mengharapkan turunnya
hujan.
Aturan permainan Gebug sangat sederhana. Arena yang dipergunakan tidak menuntut
tempat yang luas minimal 6 meter persegi. Pelaksanaan gebuk ende biasanya dilakukan di
lapangan ki kopang di wilayah Seraya tengah. Saye (pemimpin pertandingan) masing-
masing menyeleksi perbandingan/penyesuaian lawan postur tubuh maupun usia. Sebelum
permainan di mulai biasanya didahului permainan pendahuluan yang di mainkan oleh Saye
tapi tidak sampai rotan membentur tubuh lawan. Hal itu hanya dilakukan sebentar sebagai
rangsangan pemberi semangat kepada yang akan bermain.
Biasanya sebelum pertandingan di mulai para pemainnya minum tuak (nira) agar
badan cepat panas tapi tidak sampai mabuk. Peraturan permainannya sederhana sekali,
mereka tidak di perkenankan memukul di bawah pusar dan saling berangkulan. Tidak boleh
menyerang melewati garis batas wilayah posisi pemain. Jika aturan tersebut dilanggar mereka
dilerai dan diberi peringatan. Apabila tidak mengindahkan peringatan maka mereka
dikeluarkan dari arena dan dinyatakan kalah. Umunya permainannya berlangsung singkat
sekitar 10 menit. Tidak ada pernyataan resmi dari wasit pihak yang menang ataupun kalah,
hanya penonton yang dapat menilainya.
5. NILAI YANG TERKANDUNG DALAM TRADISI GEBUG ENDE
Dalam Gebug Ende mengandung nilai keagamaan, nilai solidaritas, nilai estetika.
1. Nilai solidaritas
Permainan ini dapat memupuk rasa persaudaraan diantara pemain. Walaupun saling
berkelahi hingga memercikan darah, namun tidak ada rasa dendam diantara mereka,
karena mereka menyadari bahwa tujuan dari kegiatan ini untuk kesejahteraan
masyarakat.
2. Nilai estetika
Niali estetika dapat dilihat dari gerakan-gerakan yang dilakukan saat gebug ende.
Seperti gerakan memukul menggunakan rotan dan menangkis dengan ende. Dalam
tradisi gebug ende ini, gerakan yang lincah dan tangkas dari pemain sangat nampak
sebagai nilai keindahan dalam tradisi. Nilai estetikanya juga dapat dilihat dari kostum
yang digunakan oleh pemain yaitu ikat kepala (udeng) berwarna merah yang
melambangkan keberanian, kamben, saput hitam putih (poleng).
3. Nilai ritual
Nilai ritual yang nampak dalam tradisi ini adalah adanya ritual permohonan berkat
sebelum permainan dimulai oleh para juru banten agar permainan Gebug Ende ini
dapat berjalan lancar dan memberikan kemakmuran yaitu dengan turunnya hujan bagi
krama desa pakraman Seraya pada khususnya.