tp alergiku revisi+sitasi

24
ALLERGIC MARCH PENDAHULUAN Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis, yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan sel mast. Reaksi timbul akibat paparan terhadap alergen yaitu bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan. Alergen dapat masuk ke dalam tubuh melalui beberapa cara seperti inhalasi, kontak langsung, saluran cerna, atau suntikan. 1 Paparan berulang oleh alergen spesifik akan mengakibatkan reaksi silang terhadap sel mast yang mempunyai ikatan dengan afinitas kuat pada IgE. Sel mast akan teraktivasi dengan melepaskan mediator terlarut seperti histamin untuk kemudian menuju target organ, menimbulkan gejala klinis sesuai dengan target organ tersebut. Manifestasi klinis alergi dapat berupa rinitis alergi, asma bronkial, urtikaria atau dermatitis atopi, alergi makanan, dan konjungtivitis. Penyakit tersebut berhubungan erat dengan faktor genetik dan lingkungan. Insidensi dermatitis atopi dan alergi makanan cenderung meningkat pada usia hingga 2 tahun, hal ini diikuti dengan meningkatnya resiko timbulnya manifestasi alergi lainnya seperti asma dan rinitis alergi pada usia setelahnya. Fenomena perubahan alamiah manifestasi klinis alergi sesuai dengan perubahan usia tersebut sering diistilahkan dengan “Allergic March” atau “atopic march”. 2,3

Upload: ridha-patria-febriani

Post on 09-Aug-2015

39 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: TP ALERGIKU Revisi+Sitasi

ALLERGIC MARCH

PENDAHULUAN

Alergi adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang diawali oleh mekanisme imunologis,

yaitu akibat induksi oleh IgE yang spesifik terhadap alergen tertentu, yang berikatan dengan

sel mast. Reaksi timbul akibat paparan terhadap alergen yaitu bahan yang pada umumnya

tidak berbahaya dan banyak ditemukan dalam lingkungan. Alergen dapat masuk ke dalam

tubuh melalui beberapa cara seperti inhalasi, kontak langsung, saluran cerna, atau suntikan.1

Paparan berulang oleh alergen spesifik akan mengakibatkan reaksi silang terhadap sel mast

yang mempunyai ikatan dengan afinitas kuat pada IgE. Sel mast akan teraktivasi dengan

melepaskan mediator terlarut seperti histamin untuk kemudian menuju target organ,

menimbulkan gejala klinis sesuai dengan target organ tersebut. Manifestasi klinis alergi

dapat berupa rinitis alergi, asma bronkial, urtikaria atau dermatitis atopi, alergi makanan, dan

konjungtivitis. Penyakit tersebut berhubungan erat dengan faktor genetik dan lingkungan.

Insidensi dermatitis atopi dan alergi makanan cenderung meningkat pada usia hingga 2

tahun, hal ini diikuti dengan meningkatnya resiko timbulnya manifestasi alergi lainnya seperti

asma dan rinitis alergi pada usia setelahnya. Fenomena perubahan alamiah manifestasi klinis

alergi sesuai dengan perubahan usia tersebut sering diistilahkan dengan “Allergic March”

atau “atopic march”.2,3

Pengetahuan tentang perjalanan alamiah dari atopi dan hubungannya dengan

manifestasi alergi sangat penting dalam praktek sehari- hari. Dengan penanganan yang tepat,

diharapkan dapat mengurangi manifestasi alergi yang muncul, sehingga dapat meningkatkan

kualitas hidup penderita alergi, atau jika mungkin mencegah timbulnya manifestasi alergi

lainnya.

Page 2: TP ALERGIKU Revisi+Sitasi

TINJAUAN PUSTAKA

SISTEM IMUN

Sistem imun dibagi menjadi dua, yaitu sistem imun self dan non self. Sistem imun

dapat mengenali dan menghancurkan benda asing yang masuk ke dalam tubuh dan dapat

melindungi tubuh terhadap benda asing tersebut. Sistem imun akan mengenali partikel yang

menempel di permukaan sel, kemudian terjadi reaksi untuk menghancurkan partikel asing

tersebut. Sel imun yang secara khusus berperan dalam pengenalan proses imun adalah

limfosit, limfosit mempunyai reseptor spesifik dipermukaannya untuk mengenal antigen,

epitop atau benda asing. Setiap limfosit mempunyai reseptor tertentu dalam jumlah banyak,

sehingga dibutuhkan limfosit dalam jumlah banyak untuk mengenali substansi asing yang

terpapar pada manusia selama proses kehidupannya.4

Teori tentang asal dan perkembangan sel imun menyatakan bahwa (a) antigen spesifik

hanya dapat dikenali oleh limfosit yang spesifik pula (b) spesifitas limfosit tersebut dibentuk

sebelum ada paparan antigen. Jadi, antigen yang kontak dan mengikat reseptor menyebabkan

limfosit langsung teraktivasi dan mengalami proliferasi. Proliferasi limfosit tersebut atau

clonal expansion menyebabkan terbentuknya limfosit dengan reseptor yang sama dalam

jumlah besar. Apabila ada paparan alergen ulang dari jenis yang sama, jumlah limfosit yang

mengenalinya akan meningkat dan reaksi yang ditimbulkannya akan semakin cepat dan

efektif (positive immunologi memory). 4,5

Sistem imun juga terdiri dari sistem imun non spesifik yang dapat meningkatkan efek

dari sistem imun spesifik. Sistem imun non spesifik terdiri dari: Fagosit, sel PMN, sistem

complement sebagai enzim (lisozim), mekanisme fisiologi (gerakan silia), interferon dan

protein (acute-phase protein).5

PERKEMBANGAN SISTEM IMUN

Semua sel yang berperan dalam sistem imun berasal dari stem sel yang bersifat

pluripoten. Stem sel ini berasal dari sumsum tulang dan dapat membentuk prekusor untuk

eritroid, myeloid dan limfoid. Prekusor limfoid pada akhirnya akan menjadi sel pre-B atau

sel pre-T. Sel B yang matur meninggalkan sumsum tulang dan bermigrasi ke sentrum

germinativum didalam folikel limfoid dalam limfonodi dan lien. Sel pre-T pada awalnya

bergerak dari sumsum tulang ke timus dan mengalami maturasi di timus. Sel yang telah

melewati proses pematangan di timus, akan keluar dari timus, menuju ke kortek dari

Page 3: TP ALERGIKU Revisi+Sitasi

limfonodi dan di daerah perivaskuler medula lien. Pendistribusi ke limfonodi dan di

perivaskuler ini menyebabkan terjadi interaksi antara sel T, sel B dan makrofag.4

Limfosit (terutama sel T) selalu beredar didalam limfonodi, pembuluh darah, aliran

limfe dan organ tertentu sehingga dapat melindungi tubuh dari invasi benda asing. Sel-sel

imun yang beredar tersebut dapat bermigrasi ke tempat inflamasi sehingga migrasi limfosit

menjadi hal yang penting dalam proses pertahanan tubuh. 5

FISIOLOGI SISTEM IMUN

Cara kerja sistem imun sangat kompleks dan melibatkan interaksi antara komponen

humoral dan seluler dari sistem imun spesifik dan non-spesifik.

Secara sederhana, cara kerja sistem imunitas adalah sebagai berikut:

1. Antigen dari luar dicegah agar tidak dapat masuk ke tubuh oleh sistem barrier imunitas

non spesifik.

2. Apabila barrier karena sesuatu hal dapat ditembus, maka komponen seluler sistem

imunitas non spesifik akan berusaha memusnahkan antigen dengan cara fagositosis.

3. Apabila antigen belum dapat dimusnahkan oleh komponen seluler, maka komplemen

(komponen humoral sistem imun non spesifik) akan diaktifkan guna memusnahkan

antigen secara langsung dan mengefektifkan fagositosis.

4. Bila antigen tidak dapat dimusnahkan juga, maka antigen tersebut akan tetap berada

ekstra seluler (di luar sel), atau berusaha masuk ke intra seluler (co: virus).

5. Untuk menghadapi antigen yang mastih berada di ekstra seluler, maka sel APC (yang

sebelumnya turut memfagositosis antigen) akan mengikatkan pecahan pecahan antigen

yang telah difagositosis tersebut pada HLA kelas II nya, dan kemudian menampilkannya

di permukaan sel APC tersebut.

6. Untuk menghadapi antigen yang berada intra seluler, maka sel yang terinfeksi (disusupi

antigen ) tersebut akan mengalami perubahan pada HLA kelas I nya, sesuai dengan jenis

protein antigen yang masuk tersebut, sehingga tidak lagi menyerupai HLA kelas I di

permukaan sel tubuh lain.

7. Limfosit T yang beredar dan memiliki CD 4+ akan mengenali HLA kelas II, mengalami

pematangan menjadi T-helper. T helper akan mengefektifkan fagositosis dan

“memanggil” sel-sel yang terlibat dalam sistem imun spesifik, antara lain Limfosit B.

Page 4: TP ALERGIKU Revisi+Sitasi

8. Limfosit T yang beredar dan memiliki CD 8+ akan mengenali HLA kelas I dan

memaksa sel yang terifeksi tersebut untuk mengalami apoptosis (bunuh diri). Hal itu juga

“memanggil” sel-sel fagosit untuk memusnahkan sisa sel yang bunuh diri tersebut,

sehingga pecahan protein antigen dapat dikenali oleh sistem imunitas spesifik.

9. Pada saat sel-sel imunitas terpanggil akibat proses-proses di atas, mereka juga akan

melepaskan mediator-mediator inflamasi, sehingga terjadi proses inflamasi.

10. Limfosit B, setelah mendapat sinyal dari Limfosit T dan mengalami pengenalan terhadap

fragmen protein antigen akan mengalami perubahan menjadi sel plasma yang

menghasilkan antibodi (imunoglobulin) spesifik terhadap antigen tersebut.

11. Antibodi yang dihasilkan akan melapisi antigen, membuat antigen tersebut mengalami

netralisasi, sekaligus membuat antigen tersebut mengalami opsonisasi sehingga

fagositosis terhadap antigen akan jauh lebih efektif. Demikian akan terus berulang

proses tersebut di atas hingga pemusnahan terhadap antigen tersebut menjadi efektif.

12. Jika konsentrasi imunoglobulin dalam plasma telah cukup tinggi, maka sel plasma akan

berhenti menghasilkan antibodi, tetapi tetap menyimpan memori mengenai antigen

tersebut. Jika sel plasma tersebut di lain waktu mengenali antigen serupa, maka ia akan

kembali aktif menghasilkan antibodi dalam jumlah yang jauh lebih banyak. Hal serupa

juga terjadi pada Limfosit T helper, yang akan “istirahat” ketika antigen sudah

ternetralisasi, dan kembali teraktifasi dengan jauh lebih kuat bila terpapar antigen yang

sama kembali. 4,5

IMUNOPATOLOGI

Imunopatologi adalah suatu respon imun yang terjadi secara berlebihan yang akan

menyebabkan kerusakan jaringan. Respon imun ini juga disebut reaksi hipersensitivitas dan

hanya terjadi jika ada kontak alergen spesifik yang kedua kali. Combs dan Gell membagi

reaksi hipersensitivitas menjadi 4 tipe:

- Hipersensitivitas tipe I atau disebut juga Immediate Hipersensitivity atau Anaphylactic

reaction terjadi apabila alergen direspon atau diikat oleh antibodi dari kelas IgE dimana

IgE ini mempunyai aktivitas biologi mampu mengaktifkan sel mast sehingga sel mast

mengalami degranulasi melepaskan mediator-mediator inflamasi terutama adalah histamin

sehingga terjadi reaksi inflamasi dan dapat menyebabkan kerusakan jaringan.

Page 5: TP ALERGIKU Revisi+Sitasi

- Hipersensitivitas tipe II yang disebut juga dengan ADCC Reaction( Antibody Dependent

Cell Cytotoxic ), pada reaksi ini yang berperan dalam mengikat alergen adalah Antibodi

dari kelas IgG atau IgM dimana aktivitas biologi dari kedua antibodi tersebut adalah dapat

mengaktifkan sel Killer untuk melakukan aktivitas fagosit atau juga dapat mengaktifkan

reaksi komplemen untuk melakukan aktivitas sitolisis.

- Hipersensitivitas tipe III disebut juga dengan immune complex reaction merupakan reaksi

hipersensitivitas yang terjadi akibat penumpukan antibodi pada jaringan dimana terdapat

alergen sehingga terjadi reaksi komplek imun yang dapat mengaktifkan reaksi

complement dan dapat merusak jaringan tersebut.

- Hipersensitivitas tipe IV atau disebut juga Delayed Type Hipersensitivity (DTH) berbeda

dengan tiga tipe hipersensitivitas sebelumnya dimana pada tipe IV ini mediator yang

berperan bukan respon imun humoral (Antibodi) tetapi respon imun seluler. Pada tipe IV

ini alergen diikat oleh reseptor sel T(TCR) kemudian sel limfosit T yang teraktivasi

melepas mediator humoral yang berupa sitokin yang dapat mengaktifkan sel fagosit seperti

makrofag untuk melepas mediator inflamasi dan melakukan aktivitas fagositosis.4,5

Gambar1. Tipe Hipersensitivitas

ALERGI

Reaksi alergi merupakan reaksi imunopatologi yang terjadi akibat ikatan IgE dengan

reseptor yang berada di permukaan sel mast. Reaksi ini dapat digolongkan dalam

hipersensitivitas tipe 1.1,5

Asma, rinitis alergi dan dermatitis atopik mempunyai dasar kelainan respons IgE

hipersensitivitas dan inflamasi jaringan spesifik yang ditandai dengan infiltrasi lokal sel T

Page 6: TP ALERGIKU Revisi+Sitasi

memori, sel eosinofil dan sel monosit/makrofag. Pada jaringan yang sedang mengalami

inflamasi akut, akan tampak infiltrasi sel limfosit T dengan ekspresi IL-4, IL-5, dan IL-13.

Sitokin ini diperkirakan memegang peran utama pada respon alergi.5 Riwayat keluarga

dengan alergi merupakan faktor risiko terjadinya alergi. Kedua orang tua dengan riwayat

alergi, lima puluh persennya anaknya akan alergi, jika hanya satu orang saja dari kedua

orang tua yang mempunyai riwayat alergi, maka kemungkinan anaknya menjadi alergi sekitar

30 %. 6

Proses Alergi

Produksi IgE secara lokal terjadi dipermukaan mukosa tempat masuknya antigen.

Ekstrak antigen dapat menembus atau bergerak diantara sel-sel epitel, kemudian berikatan

dengan sel APC sehingga kompleks antigen dengan APC menyebar keseluruh mukosa.

Respon imun mukosa pertama kali terjadi di aliran limfe dan di mucosal associated

lymphoid tissue (MALT). Tonsil dan adenoid merupakan organ disaluran nafas atas yang

pertama kali memberikan respon imun mukosa tersebut. MALT dapat meningkatan respon

memori dengan antigen-focusing activity, sedangkan makrofag dan sel langerhans bermigrasi

dari MALT ke limfonodi. Sel B dapat memproduksi IgE karena peranan APC dan sel Th.

IgE yang diproduksi secara lokal pertama kali akan berikatan dengan sel mast lokal. IgE juga

dapat beredar di pembuluh darah dan berikatan dengan reseptor basofil dan sel mast diseluruh

tubuh. 4,5

Sel Mast

Sel mast mempunyai peranan yang penting dalam reaksi alergi. Penggolongan sel

mast didasarkan atas isi protease, dimana isi tersebut antara lain: Triptase (MCT) dan triptase-

kinase (MCTC). Kedua sel ini berbeda dalam karakter, sifat biologi dan sifat farmakologinya.

Fenotip akhirnya tergantung faktor lingkungan. Kedua tipe sel mast tersebut mengandung

histamin serta menetap di mukosa hidung. Peningkatan jumlah sel mast terjadi setelah ada

paparan alergen. Alergen yang terhirup pertama kali kontak dengan sel mast permukaan

mukosa. Pelepasan mediator oleh sel mast menyebabkan peningkatan permeabilitas

pembuluh darah mukosa tempat masuknya alergen, sehingga alergen bisa bergerak ke

submukosa. Di submukosa alergen akan berikatan lagi dengan sel mast dan dimulailah respon

inflamasi tersebut.5,6

Page 7: TP ALERGIKU Revisi+Sitasi

Mast Cell Triggering

IgE terikat di Fc reseptor di permukaan sel. Cross linking antara dua IgE menyebabkan

degranulasi sel mast. Sel mast juga bisa dipicu dengan mekanisme lainnya, misalnya lektin

bisa terikat di residu karbohidrat pada regio Fc di perbatasan IgE, neuropeptida, f-met-Leu-

Phe dan beberapa sitokin. Beberapa senyawa kimia juga bisa menyebabkan degranulasi sel

mast, antara lain produk pemecahan komplemen (anaphylatoxins C5a dan C3a) dan stimulus

fisik. Beberapa substansi dapat menyebabkan degranulasi sel mast secara langsung antara lain

kalsium ionopor, obat-obatan (kodein, morfin dan hormon adrenokortikotropin sintetis).

Pengaktifan sel mast menyebabkan influk ion kalsium. Proses tersebut menghasilkan

eksositosis isi granul disertai pelepasan mediator (histamin, heparin dan enzim proteolitik).

Pengaktifan sel mast juga menyebabkan sintesis mediator baru yang berasal dari fosfolipid

membran. Mediator baru tersebut : prostaglandin (PG), leukotrin (LT) dan platelet-activating

factor. Efek klinik dari produk-produk tersebut tergantung dari senyawa di lingkungan

sekitar, sebab beberapa anggota produk yang sama tersebut mempunyai efek berlawanan.

Sebagai contoh, PGE2 menyebabkan vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas vaskuler,

PGF2 menyebabkan vasodilatasi. Beberapa sitokin, seperti IL-3,4, TNF2 dan GM-CSF juga

diproduksi sel mast. Histamin dan mediator lain dilepaskan pada reaksi fase awal, sedangkan

sitokin dilepaskan pada reaksi fase lambat.4,5,6

Gambar 2. Patofisiologi alergi

Teori Higiene.

Page 8: TP ALERGIKU Revisi+Sitasi

Peningkatan prevalensi alergi selama beberapa tahun terakhir disebabkan oleh

terganggunya keseimbangan Th1-Th2. Penyebab dari terganggunya keseimbangan Th1- Th2

pada penderita alergi sendiri belum dapat dipastikan, teori yang paling diterima adalah

“hygiene theory” atau Teori higiene. 7

Teori Higiene menyatakan bahwa berkurangnya paparan terhadap bakteri karena

adanya peningkatan pelayanan kesehatan, pengurangan jumlah anggota keluarga, kontak

infeksi yang lebih sedikit, dan penggunaan antibiotik yang dini dapat mengakibatkan

penurunan Th1 yang merupakan respon imun terhadap infeksi. 2,7 Alam dapat memberikan

kekebalan terhadap perkembangan penyakit alergi dan asma melalui infeksi dan paparan

terhadap sistem respirasi,saluran cerna dan kulit pada masa awal kehidupan. Proses

sensitisasi terhadap kulit akan berpengaruh terhadap proses sensitisasi di dalam saluran

pernafasan,yang berdampak pada keseimbangan Th1-Th2 dan produksi sitokin. Juga akan

menginduksi produksi Ig E dan eosinophil.6

Hipotesis teori higiene bermula saat pola kehidupan mengalami perubahan yang

berkibat menurunnya stimulasi terhadap regulasi sel T. Perubahan pola hidup tersebut terdiri

dari menurunnya jumlah parasit,endotoksin,paparan terhadap lingkungan, jumlah anggota

keluarga, meningkatnya penggunaan antibiotik, perubahan susunan flora normal saluran

cerna, menurunnya paparan terhadap alergen dan makanan yang terbebas dari

mikroorganisme- mikroorganisme yang semuanya akan meningkatkan kejadian alergi.

Fungsi proteksi imun Th1 terhadap paparan mikrobial berlangsung segera sesaat setelah

kelahiran karena saat itu bayi meninggalkan lingkungan dalam rahim yang relatif steril.

Ketika proses ini berlangsung normal, perkembangan Th1 mencegah perkembangan yang

berlebihan dari Th2 proalergi dan perkembangan keadaan atopi,dimana keadaan atopi

tersebut menjadikan lingkungan sekitar menjadi suatu sumber alergen. Fungsi imunitas Th1

yang lain adalah meningkatkan kekebalan tubuh melalui mekanisme induksi antiviral yang

mencegah proliferasi virus pada epitel saluran pernafasan yang akan mengakibatkan

perubahan patologis dari jaringan respiratorius pada keadaan penyakit asma. Apabila ekspresi

Th2 yang lebih dominan,maka akan terbentuk sitokin- sitokin IL-4, IL-5, IL 10 dan IL-14.

Sitokin- sitokin tersebut dapat merangsang produksi IgE dan mengaktifkan eosinofil yang

berperan dalam proses peradangan karena alergi. Selanjutnya akan terjadi peningkatan Th2

dan peningkatan ekspresi sitokin 6,7

ALLERGIC MARCH

Page 9: TP ALERGIKU Revisi+Sitasi

Allergic march adalah perjalanan alamiah penyakit alergi yang ditandai urutan gejala

penyakit yang mulai muncul pada masa anak-anak dan bertahan selama beberapa tahun.3

Beberapa kondisi klinis menjadi lebih menonjol sementara gejala lain berkurang atau

menghilang. Allergic march memiliki beberapa karateristik rangkaian urutan yang khas mulai

dari sensitasi dan menimbulkan gejala- gejala yang muncul pada usia- usia tertentu, yang

kemudian menetap selama beberapa tahun dan menghilang pada usia tertentu pula. Pada

allergic march, biasanya salah satu bentuk manifestasi alergi akan semakin nyata sesuai

dengan usia, sementara manifestasi lainnya akan berkurang atau menghilang.2,3

`

Gambar 3. Perjalanan manifestasi alergi sesuai umur

Secara singkat, terdapat 4 karakteristik utama dari allergic march :3

1. Alergi makanan dan dermatitis atopik biasanya terjadi lebih awal, bukan sejak lahir tapi

mulai usia 3-12 bulan.

2. Kondisi tersebut dapat membaik atau dapat teratasi pada usia prasekolah

3. Asma dan rhinitis alergi cenderung terjadi lebih lambat, umumnya mulai terjadi pada

usia 3-4 tahun hingga usia sekolah.

4. Anak dengan alergi makanan dan/atau dermatitis atopik pada akhirnya sering

berkembang menjadi rhinitis alergi dan asma

Page 10: TP ALERGIKU Revisi+Sitasi

Perjalanan manifestasi alergi tersebut dibuktikan oleh penelitian Rhodes et al terhadap

100 bayi dari keluarga atopi di Inggris dalam kurun waktu 22 tahun melaporkan bahwa

prevalensi dermatitis atopi mencapai puncak pada 20% anak pada usia 1 tahun dan kemudian

menurun hingga dibawah 5% pada akhir penelitian. Keluhan wheezing yang dilaporkan oleh

orang tua anak sebesar 5% pada tahun pertama meningkat menjadi 40% pada usia 22 tahun.

Perkembangan allergic march berhubungan dengan penyakit alergi pada saluran

pernafasan. Penyebab keadaan atopi adalah terjadi penyimpangan saat pembentukan sistem

imun terhadap paparan yang tidak dapat dihindari dan terdapat dimana-mana.8 Paparan yang

tidak seharusnya ini akan mengakibatkan cedera dan inflamasi saluran pernafasan dan dapat

terjadi pemulihan jaringan yang meyimpang dari yang seharusnya. Jika keadaan ini terjadi

saat periode kritis pembentukan paru-paru saat setelah kelahiran maka akan terbentuk

anatomi paru- paru yang berbeda dari paru- paru normal. Hal ini menimbulkan fenotip asma

yang persisten.8

Proses sensitasi dapat terjadi mulai dari saat prenatal (selama kehamilan) dan postnatal

(setelah kelahiran). Proses ini merupakan hasil interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.

Respon imun manusia diketahui sudah mulai tampak pada minggu ke-20 masa

kehamilan,dimana ditemukan alergen tungau debu rumah pada cairan amnion. Mekanisme

transport alergen- alergen tersebut melalui transplasental .3,8

Paparan partikel udara berdebu yang mengandung mikroba akan menginduksi proses

inflamasi pada paru- paru,termasuk peningkatan ekspresi dari Toll Like Receptor (TLR) (yang

merupakan suatu protein penting dlm sistem imun bawaan ) dan produksi sitokin. Sitokin

kemungkinan akan masuk ke dalam aliran sirkulasi darah dan diantarkan langsung ke dalam

jaringan plasenta, dan menekan ekspresi TLR, produksi sitokoin dan mempengaruhi fungsi

sel-sel myeloid. Sitokin yang berada di dlm aliran darah ini juga akan masuk ke dalam

sumsum tulang (bone marrow),dimana mereka akan menstimulasi dan memprogram

prekursor dari sel- sel myeloid. Sel- sel dendritik (APC) dan monosit selanjutnya akan masuk

ke dlm aliran darah dan beberapa diantaranya memasuki lapisan desidua dimana sel- sel

dendritik dan monosit ini akan menggantikan populasi sel-sel myeloid 3,9

Pada masa setelah kelahiran,alergen-alergen inhalan dan alergen makanan berperan saat

sensitasi terhadap individu-individu yang memiliki predisposisi genetik. Penyakit-penyakit

alergi saluran pernafasan seperti rinitis alergi dan asma meningkat hingga puncaknya saat

usia 7 tahun.8

Page 11: TP ALERGIKU Revisi+Sitasi

DERMATITIS ATOPIK

Dermatitis atopik (DA) merupakan penyakit inflamasi kronis yang disertai gatal dan

kelainan kulit lain seperti xerosis, ekskoriasi, dan likenifikasi.10 Kebanyakan terjadi pada

masa bayi dan anak, sering dihubungkan dengan peningkatan kadar imunoglobulin E (IgE)

dan adanya riwayat atopi pada diri sendiri atau keluarga seperti rinitis alergi atau asma.

DA ini biasanya ditemukan mulai dari umur 2 bulan dan sekitar 1 tahun pada 60%

pasien, 30% terlihat pertama kali pada usia 5 tahun, dan hanya 10% timbul dermatitis atopik

antara usia 6 sampai 20 tahun.10 Data dari catatan medik pasien rawat jalan klinik Alergi

KTHT-KL RSUP Dr. Kariadi dari Juli 1996-Juni 1999 menunjukkan jumlah kasus rata-rata

313 kasus per tahun dari 20.630 kasus THT, meliputi kasus anak hingga dewasa.11 Data

dermatitis atopik pada tahun 1996-2000 menunjukkan angka tertinggi pada usia kurang dari 5

tahun (62,6%), dan pada kelompok umur 5-14 tahun 37,4%.12

Patofisiologi DA belum diketahui pasti.12,13 Faktor genetik, lingkungan, disfungsi barier

epitel dan gangguan regulasi respon imunologis diduga berperan dalam patogenesis

dermatitis atopik. Dari penelitian sebelumnya14 dikatakan bahwa alergen inhalan yang paling

sering berpotensi menyebabkan dermatitis atopik antara lain house dust mite (HDM), kecoa,

pet dander dan berbagai polen. Melalui aktivitas proteolitik alami, protein inhalan yang

dihasilkan HDM dapat merusak langsung fungsi barier kulit dan menghambat proses

regenerasi barier pada penderita dermatitis atopik. Makanan yang sering merupakan faktor

pencetus terjadinya DA adalah susu sapi, telur, makanan hasil laut misalnya ikan dan udang

serta buah-buahan atau sayur-sayuran tertentu misalnya kacang-kacangan. alergi makanan

yang menimbulkan DA dapat juga diperantarai oleh cell mediated immunity15 Sedangkan

alergi makanan yang diperankan oleh reaksi hipersensitivitas tipe II dan III jarang dilaporkan.

Penelitian oleh Wistiani (2011) di klinik KTHT-KL RSDK dari 18 kasus dermatitis atopik

pada anak, alergen yang teridentifikasi berupa debu rumah dan human dander, kecoa, mite

culture, alergen dog dander, makanan laut, telur, maize pollen, mixed fungi, dan cat

dander,sedangkan sumber alergen terbanyak berupa aeroalergen debu rumah, human dander

dan kecoa. 16

Dermatitis diduga sebagai ‘entry point’ untuk penyakit alergi yang berkelanjutan,

sehingga diharapkan dengan penanganan dermatitis yang efektif dapat mencegah timbulnya

manifestasi alergi di saluran nafas atau setidaknya dapat mengurangi tingkat keparahannya.

Dohi et al meneliti 8 pasien dengan asma tanpa dermatitis atopi dan 8 pasien dengan

Page 12: TP ALERGIKU Revisi+Sitasi

dermatitis atopi tanpa asma yang diberi sensitisasi berupa tungau debu rumah. Kedua

kelompok tersebut menghirup asetilkolin, bronkodilator, dan tungau debu rumah. Kedua

kelompok menunjukkan adanya hipersensitivitas pada tungau debu rumah di saluran nafas,

dan pada pasien dengan dermatitis atopi menunjukkan respon terhadap asetilkolin dari

normal sampai timbulnya gejala asma. Hal ini menunjukkan bahwa pasien dengan kulit yang

tersensitisasi terhadap tungau debu rumah dapat memiliki sensitifitas saluran nafas yang

sama.17 Penelitian kohort di Jerman juga melaporkan bahwa adanya sensitisasi dengan telur

pada usia < dari 12 bulan dapat digunakan sebagai dugaan akan terjadi sensitisasi dengan

aeroalergen pada usia 3 tahun.18 Peran aeroalergen pada DA dilaporkan lebih banyak pada

usia > 2 tahun yang dibuktikan dengan uji tempel dan IgE spesifik dalam serum.19

RINITIS ALERGI

Rinitis alergi (RA) menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma)

tahun 2001, adalah kelainan pada hidung yang dikarenakan proses inflamasi mukosa hidung

yang dimediasi oleh reaksi hipersensitifitas tipe I, dengan gejala hidung gatal, bersin-bersin,

rinore, dan hidung tersumbat20.

Diagnosis RA dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan

pemeriksaan penunjang. Gejala RA disebabkan oleh beberapa proses yaitu 1) permeabilitas

vaskuler yang menyebabkan terkumpulnya cairan pada mukosa sehingga menimbulkan

keluhan hidung buntu, 2) hidung berair yang disebabkan oleh hipersekresi dari kelenjar

submukosa oleh stimulasi histamin, 3) reflek bersin dan hidung gatal, bahkan bisa disertai

mata gatal. Terdapat faktor resiko paparan alergen dan riwayat alergi keluarga. Keluhan

biasanya akan timbul bila penderita telah terpapar alergen yang menyebabkan RA. Pada

pemeriksaan fisik biasanya akan didapatkan mukosa hidung yang edema, berwarna pucat atau

livid disertai adanya secret encer. Test diagnosis pada rhinitis alergi dilakukan untuk

mendeteksi IgE baik secara langsung IgE yang bebas dalam darah atau IgE yang terikat.

Berbagai metode pemeriksaan test diagnosis RA baik secara in vivo atau in vitro tetapi yang

sering digunakan pada umumnya adalah tes diagnosis in vivo dengan metode test cukit kulit

(skin prick test). Metode ini mudah dilakukan, dapat ditoleransi berbagai penderita termasuk

pada anak-anak serta mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang tinggi terhadap hasil

pemeriksaan IgE spesifik21

Klasifikasi RA menggunakan parameter gejala dan

kualitas hidup, berdasarkan lamanya dibagi menjadi intermiten dengan gejala ≤4 hari

Page 13: TP ALERGIKU Revisi+Sitasi

perminggu atau ≤4 minggu dan persisten dengan gejala >4 hari perminggu dan >4

minggu. Berdasarkan beratnya penyakit dibagi dalam ringan dan sedang-berat tergantung

dari gejala dan kualitas hidup. Dikatakan ringan yaitu tidak ditemukan gangguan tidur,

gangguan aktivitas harian, bersantai, olahraga, belajar, bekerja dan lain-lain yang

mengganggu. Dikatakan sedang-berat jika terdapat satu atau lebih gangguan tersebut di atas.22

ASMA

Asma bronkial adalah penyakit inflamasi saluran napas pada penderita yang didasari

hipereaktivitas bronkus. Hipereaktivitas bronkus yaitu kepekaan saluran nafas yang

berlebihan terhadap berbagai rangsangan dari dalam maupun dari luar tubuh dengan

manifestasi penyempitan saluran napas yang difus.23

Faktor resiko mayor asma pada dewasa adalah adanya sensitisasi awal terhadap

makanan pada tahun pertama kehidupan atau terhadap aeroalergen pada 2 tahun pertama

kehidupan. Penelitian tentang atopi multisenter di Jerman pada 1314 anak, melaporkan

bahwa pada usia 5 tahun 50% anak dengan dermatitis atopi dan riwayat alergi pada keluarga

menderita asma atau rhinitis alergi.24 Sedangkan anak tanpa dermatitis ataupun riwayat alergi

pada keluarga hanya 12% yang menderita asma ataupun rhinitis alergi. Hal yang hampir

serupa didapatkan oleh Punekar et al, yang menyatakan bahwa pada 24112 anak, 60.7%

penderita alergi yang didiagnosis awal dengan dermatitis, akan diikuti asma kemudian

rhinitis.25

Patogenesis asma menunjukkan gambaran proses penyakit yang kompleks yang

melibatkan sel mast, eosinofil, neutrofil, basofil makrofag, platelet dan sel T dengan

partisipasi sitokin dan mediator inflamasi lain.Inflamasi saluran nafas pada asma melibatkan

tahapan pelepasan mediator-mediator imunologik baik melalui mekanisme IgE Dependen,

limfosit T-Dependen, maupun melalui mekanisme IgE-Independen, limfosit T-Dependen.26

Preformed mediator, antara lain histamin, menyebabkan terjadinya respons asma tipe cepat

(early-phase asthmatic response/EAR). Sedangkan newly generated mediator, antara lain

leukotriene, menyebabkan respons asma tipe lambat (late phase asthmatic response/LAR).27

Penatalaksanaan

Page 14: TP ALERGIKU Revisi+Sitasi

Pencegahan berkembangnya manifestasi alergi tersebut dapat dilakukan dengan cara

mencegah pajanan alergen yang berupa makanan atau bahan hirupan tertentu sejak lahir.

Sangat direkomendasikan untuk melakukan test alergi terhadap anak-anak yang dicurigai

bertendensi mengalami allergic march. Bila terdapat makanan sebagai sumber alergi,maka

perlu dipertimbangkan kemungkinan susu sapi, telur dan alergen kacang. Pengenalan

makanan padat yang lebih lambat disarankan untuk bayi dengan atopi, dan pada bayi yang

sudah menderita dermatitis atopi dianjurkan untuk menghindari telur.21

Bayi dengan dermatitis atopi sebaiknya menjalani terapi untuk pencegahan asma.

Penelitian Iikura et al menerapi 121 anak ( umur 1-36 bulan) penderita dermatitis atopi

dengan ketotifen atau plasebo sebelum onset asma. Setelah diikuti selama satu tahun,

didapatkan lebih sedikit pasien yang menderita asma pada kelompok yang mendapat

ketotifen dibanding dengan kelompok yang mendapat plasebo.28 Penelitian prospektif ETAC (

Early Treatment of The Atopic Child) terhadap 817 bayi berusia 1-2 tahun penderita

dermatitis atopi dan riwayat atopi keluarga yang diterapi dengan cetirizine atau plasebo

selama 2 tahun, didapatkan hasil pada pasien yang sensitif terhadap tungau debu rumah pada

kelompok plasebo sebanyak 51% akhirnya menderita asma, sedangkan pada kelompok

cetirizine hanya sebanyak 28.6%. Pada pasien yang sensitif terhadap rumput, kelompok

plasebo yang akhirnya menderita asma sebanyak 58%, sedangkan pada kelompok cetirizine

hanya sebanyak 27.8%.29

Terapi lain yang sedang dalam penelitian adalah penggunaan probiotik. Probiotik

adalah hasil kultur “bakteri baik” yang dapat menjaga keseimbangan mikrobial dalam tubuh

dan mengembalikan permeabilitas serta mikroekologi usus. Probiotik juga dapat

meningkatkan fungsi barier imun dari usus dan mengurangi produksi sitokin penyebab

inflamasti karena alergi pada usus. Dalam uji klinis, pengggunaan probiotik pada berbagai

manifestasi klinis atopi dan sebagai pencegahan primer terhadap atopi tampak menjanjikan.3

Pajanan terhadap berbagai macam alergen pada waktu yang bersamaan ( allergen load)

berhubungan dengan derajat keparahan alergi, sehingga pembatasan alergen load akan sangat

mempengaruhi keberhasilan terapi.30 Di masa mendatang, diperlukan modalitas

penatalaksanaan yang memodifikasi penyakit atopik pada anak-anak, sehingga pada akhirnya

dapat mengurangi angka kejadian penyakit alergi di kemudian hari, dan juga mengurangi

akibat terjadinya allergic march

Kontroversi

Page 15: TP ALERGIKU Revisi+Sitasi

Dapat pula terjadi perjalanan alergi yang tidak sesuai dgn pola teori,dimana beberapa

anak2 dgn rinitis atopi pertama menderita asma dilanjutkan dgn ekzema (reverse allergic

march).

Pada penelitian oleh Barberio et al.31 692 anak yang menderita asma saja diikuti selama

9 tahun. Sebesar 20% anak menderita dermatitis atopik setelah 9 tahun. Dari data

epidemiologi dan genetik baru- baru ini timbul keragu- raguan, apakah dermatitis

berkembang menjadi asma, ataukah kedua penyakit itu merupakan bagian dari suatu sindrom.

SIMPULAN

Penyakit alergi menjadi salah satu kelompok penyakit yang paling sering dijumpai pada

kanak-kanak. Penyakit trsebut dapat berubah-ubah bentuk bergantung pada umur penderita,

dan merupakan suatu kesatuan perjalanan penyakit. Perjalanan penyakit tersebut dinamakan

allergic march.

Allergic march dimulai dengan adanya sensitisasi saat prenatal. Pada tahun-tahun

pertama kehidupan manifestasi klinis yang mncul adalah alergi makanan atau dermatitis

atopik. Pada perkembangan selanjutnya manifestasi atopi akan berkembang menjadi rhinitis

alergi, kemudian asma.

Penatalaksanaan terutama dengan mencegah atau mengendalikan gejala perlu diberikan

sejak dini untukmencegah terjadinya perkembangan allergic march.

Penatalaksanaan untuk memodifikasi keparahan penyakit, misalnya pemberian

immunoterapi masih memerlukan penelitian lebih jauh dalam penggunaannya untuk

mencegah perkembangan allergic march.