topik 5 - (ariz kian, m. ikhsan, putri karbelani, rahayu eka, ryan hafiz)
DESCRIPTION
PenggasTRANSCRIPT
TUGAS III PENGOLAHAN GAS BUMI
CASE STUDY TOPIK 5
Ariz Kiansyahnur 1006679453
M. Ikhsan Asyari 1006773295
Putri Karbelani 1006679831
Rahayu Eka S. 1006679850
Ryan Hafiz 1006773332
DEPARTEMEN TEKNIK KIMIA
FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS INDONESIA
DEPOK 2013
Ki
1
Pengolahan Gas Bumi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penggunaan gas alam (Conventional Gas) telah meningkat secara signifikan dalam
beberapa kurun waktu belakangan ini dan diprediksi terus berlanjut menjadi sumber energi
utama untuk memenuhi kebutuhan industri ataupun kebutuhan lainnya. Kenaikan konsumsi akan
gas alam dapat dipenuhin dengan menggunakan cadangan natural gas yang masih banyak baik
yang conventional maupun yang unconventional dengan cadangan 187 tcf (ESDM, 2006) untuk
conventional dan 453.3 tcf (CBM) (ADB dan Migas 2003).
Fluida yang berasal dari sumur gas secara umum terdiri dari 3 fasa, yaitu gas, liquid dan
air. Gas yang berasal dari sumur gas masih banyak mengandung kandungan air, kadar CO2 yang
tinggi, suhu dan tekanan yang berbeda dengan spesifikasi yang diinginkan. Sebelum gas alam
yang berasal dari sumur gas tersebut digunakan sebagai sumber energi, maka gas alam tersebut
harus diproses untuk memenuhi spesifikasi gas jual seperti kandungan air kurang dari 10
lb/MMSCF untuk mencegah terjadinya hydrate dan korosi, kandungan CO2 < 5% mol
dikarenakan CO2 tidak berkontribusi terhadap pembakaran gas, tekanan untuk menjamin
pengiriman gas kekonsumen, suhu untuk menjauhkan dari dewpointnya dan HHV (Higher
Heating Value) 950-1100 Btu/scf sebagai nilai bakar dari gas tersebut.
Sumur gas umumnya memiliki kadar CO2 dibawah 20% mol tetapi terdapat juga sumur
gas XXX yang memiliki kadar CO2 mencapai 70% seperti dalam studi kasus 5 yang akan
dibahas dalam makalah ini. Sumur gas XXX memiliki cadangan gas sebesar 220 TCF. Untuk
mengurangi kadar CO2 dalam gas alam diperlukan suatu proses pengurangan CO2. Proses
pengurangan kadar CO2 (<20% mol) merupakan suatu proses yang sudah umum dimana proses
tersebut sudah banyak digunakan dalam industri gas seperti proses adsorpsi dengan
menggunakan molecular sieve ataupun dengan proses absorpsi dengan amine dan hot pontasium
carbonate. Tetapi untuk sumur gas yang memiliki kadar CO2 yang tinggi sampai 70% mol
diperlukan suatu process pengurangan kadar CO2 yang lebih handal lagi.
Ada beberapa alternatif proses pemisahaan CO2 dari gas alam diantaranya adalah dengan
menggunakan physical separation (membran dan cryogenic), absorpsi (amine, hot pontasium
Ki
2
Pengolahan Gas Bumi
carbonate, fluor, selexol dan rectisol), dan adsorpsi. Membran dapat mengurangi kadar CO2 dari
70% sampai 10% yang terdapat di Mexico oleh UOP (David Dortmundt and Kishore Doshi,
1999).
Setelah proses pengurangan CO2, cadangan gas menjadi 45 TCF yang nantinya akan akan
diolah menjadi sales gas (2/3 bagian) dan LNG (1/3 bagian).
Dari hasil perbandingan metode, akan dibahas lebih lanjut 3 proses pengurangan CO2
dengan kadar tinggi (70%) menggunakan system membrane, kriogenik, dan adsorpsi dengan
amine.
1.2 Perumusan Masalah
Proses pemurnian gas dengan kandungan CO2 yang tinggi merupakan proses yang cukup
mahal. Gas dari lapangan XXX dalam studi kasus ini akan diolah menjadi sales gas dan LNG.
Perumusan masalah dalam makalah ini adalah untuk merancang proses yang efisien untuk
menghilangkan impurities pada gas sehingga sesuai dengan spesifikasi sales gas dan LNG.
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembuatan makalah ini antara lain:
1. Menganalisis proses penghilangan kadar CO2 untuk memenuhi spesifikasi sales gas
dan LNG.
2. Membandingkan beberapa metode yang sesuai untuk proses penghilangan kandungan
CO2 yang tinggi berdasarkan komposisi gas diberikan pada studi kasus.
1.4 Batasan Masalah
Batasan masalah dari makalah ini adalah mememberikan pilihan proses pemurnian gas
dari pengotor seperti CO2 dengan kadar tinggi dan melakukan analisis terhadap proses mana
yang lebih sesuai untuk diterapkan dalam kondisi gas pada studi kasus yang telah diberikan.
1.5 Sistematika Penulisan
Sistematika penulisan pada makalah ini dibagi menjadi beberapa bab. Sistematika
penulisan yang digunakan adalah sebagai berikut.
Ki
3
Pengolahan Gas Bumi
BAB I menjelaskan latar belakang pembuatan proses pemisahan CO2 untuk gas alam,
perumusan masalah, tujuan, batasan masalah dalam pembuatan makalah ini serta sistematika
penulisan untuk menghasilkantulisan yang terstruktur.
BAB II menjelaskan tentang tinjauan pustaka yang mendukung proses pemilihan metode
pemurnian gas dari kadar CO2 yang tinggi. Terdapat beberapa metode penghilangan CO2 yang
dibahas dalam bagian ini.
BAB III menjelaskan metodologi penelitian yang akan dilakukan menyangkut pencarian
proses pemisahan CO2 dengan kadar tinggi pada gas alam.
BAB IV berisi pembahasan dan analisis mengenai proses apa yang sesuai untuk
diterapkan pada gas alam dari lading gas XXX.
BAB V berisi kesimpulan serta saran yang akan dapat digunakan jika terdapat proses
serupa.
Ki
4
Pengolahan Gas Bumi
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Teknologi Membran
Membran diaplikasikan pertama kali pada 1981. Penerimaan terhadap tekonologi ini
lambat, terbatas pada flowrate yang kecil. Pada flowrate yang lebih besar, terdapat risiko
ekonomi, di samping banyak parameter proses yang belum diketahui. Terkait manfaat yang
menjanjikan, industri menggunakan hybrid system, yaitu menggabungkan membran dengan
teknologi yang sudah ada, atau menggunakan membran sebagai debottleneck dari plant yang
menggunakan solvent.
Kandungan CO2 dalam natural gas dapat mencapai 80%. Bersama air, CO2bersifat
sangat korosif, menyerang pipa dan equipment, kecuali pipa danequipment terbuat dari material
konstruksi khusus. CO2 juga menurunkanheating value dari natural gas dan menuh-menuhin
pipa saja (kapasitas natural gas jadi berkurang karena keberadaan CO2). Teknologi penyisihan
CO2 yang dikenal adalah:
Absorps (biasanya menggunakan larutan potassium karbonat dan amine)
Cryogenic
Adsorpsi (pressure swing adsorption)
Thermal swing adsorption (TSA) dan iron sponge
Membrane
Masing-masing teknologi memiliki kelebihan. Teknologi membran sekarang sedang naik daun,
khususnya untuk flowrate besar, kadar CO2 tinggi, dan lokasi yang terpencil (remote area).
Saat ini material membran yang digunakan untuk penyisihan CO2 adalah polymer based,
seperti selulosa asetat, poliimida, poliamida, polisulfon, polikarbonat, polieterimida. Material
membrane yang umum digunakan adalah selulosa asetat. Polimida memiliki potensi yang
menjanjikan.
Ki
5
Pengolahan Gas Bumi
2.1.1. Membrane Permeation
Membran yang digunakan untuk penyisihan CO2 tidak beroperasi seperti filter. Pada
filter, molekul kecil dipisahkan dari molekul yang lebih besar melalui medium berpori.
Sedangkan pada membran, prinsip operasinya adalah difusi melalui nonporous membrane. Mula-
mula CO2 larut (dissolve) ke dalam membran, kemudian berdifusi. Karena membran tidak
berpori, pemisahan berlangsung bukan berdasarkan ukuran molekul, melainkan seberapa baik
suatu senyawa terlarut dan berdifusi di dalam membran.
Gas yang dapat terlarut dan berdifusi dengan cepat di dalam membran disebutfast gas,
misalnya CO2, H2, He, H2S, dan uap air. Sebaliknya, disebut slow gas, seperti CO, N2, metana,
etana, dan hidrokarbon lain. Membran digunakan untuk memisahkan fast gas dari slow gas.
Proses pelarutan dan difusi digambarkan dengan Fick’s law.
dengan:
J = fluks CO2 melalui membran
k = solubility CO2 di dalam membran
D = koefisien difusi CO2 melalui membran
Δp = perbedaan tekanan CO2 di aliran feed (high pressure) dan permeate (low pressure)
l = ketebalan membran
Untuk mempermudah perhitungan, k dan D dikombinasikan menjadi variabel baru, yaitu
permeabilitas (P). Ada 2 hal pada Fick’s Law terkait ketergantungan, yaitu:
1. Ketergantungan pada membran (P/l)
2. Ketergantungan pada proses (Δp)
Nilai P/l tidak konstan, bergantung pada temperatur dan tekanan. Persamaan Fick’s law
membimbing kita pada variabel penting lainnya, yaitu selektivitas (α). Selektivitas merupakan
rasio permeabilitas CO2 terhadap komponen lain. Misalnya, selektivitas CO2/metana adalah 5
sampai dengan 30. Hal ini berarti CO2 menembus membran 5 sampai 30 kali lebih cepat
dibandingkan metana.
Permeabililtas dan selektivitas merupakan pertimbangan penting dalam menyeleksi
membran. Jika permeabilitas semakin tinggi, luas membran akan semakin kecil (biaya makin
Ki
6
Pengolahan Gas Bumi
rendah). Jika selektivitas semakin tinggi, loss hydrocarbon semakin kecil (volume produk
semakin besar).
Sayangnya, tingginya permeabilitas CO2 belum tentu berbanding lurus dengan tingginya
selektivitas. Kombinasi permeabilitas dan selektivitas merupakan tujuan utama para peneliti
membran. Pilihannya adalah membran yang selektif, atau membran yang permeabel, atau di
antara keduanya. Biasanya yang dipilih adalah material yang sangat selektif, kemudian
membuatnya setipis mungkin untuk meningkatkan permeabilitas. Tetapi pengurangan tebal
membuat membran mudah pecah (fragile) sehingga tidak dapat digunakan. Selama bertahun-
tahun sistem membran tidak berkembang karena diperlukan membran yang tebal untuk menjaga
mechanical strength-nya, sehingga permeabilitasnya minimal. Diperlukan solusi untuk
memecahkan keterbatasan ini.
2.1.2. Struktur Membran
Solusi yang digunakan adalah membran dengan lapisan nonporous sangat tipis,
ditempelkan di lapisan berpori yang tebal, yang materialnya sama. Struktur membran ini disebut
struktur asimetrik (lawan dari struktur homogen). Lapisan nonporous merupakan membran ideal,
selektif, dan tipis. Sedangkan lapisan berpori berfungsi sebagai mechanical support, di mana
permeate bebas mengalir.
Permasalahannya adalah karena hanya terdiri dari satu jenis material, diperlukan biaya
yang mahal untuk membuat polimer yang diinginkan (customized). Untuk memecahkan masalah
di atas, digunakan composite membrane, yaitu lapisan tipis dari polimer, ditempelkan di polimer
lainnya (berbeda material), strukturnya asimetrik. Material komposit banyak digunakan.
Dengan composite membrane, manufaktur leluasa membuat membran yang diinginkan dengan
biaya yang reasonable.
Ki
7
Pengolahan Gas Bumi
Gambar 2.1. Struktur Membran
(Sumber: http://engineering.osu.edu/nie/nie792/images/ho-membrane_opt.jpg diakses pada 17 Oktober 2013)
2.1.3. Elemen Membran
Manufaktur membuat membran dalam dua bentuk, yaitu flat sheet atau hollow fiber. Flat
sheet biasanya digabungkan menjadi spiral-wound element, sedangkan hollow fiber digabungkan
menjadi bundle, seperti shell and tube heat exchanger. Spiral-wound element dapat menangani
tekanan tinggi, lebih resisten terhadapfouling, dan memiliki sejarah panjang dalam natural gas
sweetening.
Gambar 2.2. Spiral Wound Element
(Sumber: http://www.mtrinc.com/images/faq/spiral.gif diakses pada 17 Oktober 2013)
Ki
8
Pengolahan Gas Bumi
Hollow-fiber elements memiliki packing density yang tinggi. Plant yang menggunakan
hollow fiber biasanya lebih kecil daripada yang menggunakan spiral-wound.
Gambar 2.3. Hollow Fiber Element
(Sumber: http://www.medal.airliquide.com/image/photoelement/pj/carbon%20membrane_section38867.gif diakses
pada 17 Oktober 2013)
2.1.4. Modul Membran
Setelah membran difabrikasi ke dalam bentuk elemen, mereka dimasukkan ke dalam
tube. Multiple tube kemudian ditempelkan (mounted) ke skid. Orientasinya bisa vertikal atau
horizontal.
Ki
9
Pengolahan Gas Bumi
Gambar 2.4. Modul Membran dengan Elemen
(Sumber: Recent Developments in CO2 Removal Membrane Technology, David Dortmundt, Kishore Doshi, UOP
LLC, 1999)
Gambar 2.5. Membrane Skid
(Sumber: Recent Developments in CO2 Removal Membrane Technology, David Dortmundt, Kishore Doshi, UOP
LLC, 1999)
Modul hollow fiber merupakan konfigurasi yang memiliki permukaan volume yang
paling besar dibanding modul jenis lain sehigga paling efektif untuk proses pemisahan (bisa
mencapai 30000 m2/m
3). Keunggulan lain dari modul hollow fiber adalah biaya perancangan
yang murah dan konsumsi energi yang rendah.
Sebuah ilustrasi dari serat berongga (hollow fiber) tunggal ditunjukkan pada Gambar 2.7.
Dalam gambar ini, air mengalir di bagian luar (shell) serat berongga dan arus gas melalui dalam
(lumen). Membran bertindak sebagai pemisah yang memungkinkan kontak antara fasa gas dan
Ki
10
Pengolahan Gas Bumi
fasa cair satu sama lain pada pori-pori. Air tidak akan dengan mudah melewati membran karena
bersifat hidrofobik dan memiliki pori-pori kecil.
Gambar 2.6. Pori-pori Membran
Unit serat berongga (hollow fiber) dapat beroperasi pada aliran non-turbulen atau laminer
dan juga dapat digunakan dengan berbagai orientasi aliran (berlawanan arah atau searah) dan flat
vertikal ataupun horizontal. Keunikan dari kontaktor ini adalah membran yang digunakan non-
dispersif sehingga tidak mempengaruhi koefisien partisi. Dengan kontaktor ini, perbedaan
konsentrasi merupakan gaya penggerak (driving force) yang paling berpengaruh dalam proses
pemisahan jika dibandingkan dengan perbedaan tekanan sehingga hanya diperlukan perbedaan
tekanan yang kecil pada membran untuk membuat interfasa gas-cair berada tetap tidak bergerak
pada mulut pori.
Keuntungan kontaktor membran serat berongga sebagai kontaktor gas-cair dibandingkan
dengan peralatan separasi konvensional antara lain yaitu:
1. Sistem kontak bersifat non-dispersif sehingga memudahkan kontrol terpisah dari laju
alir fasa gas dan cairan.
2. Tidak diperlukan adanya perbedaan densitas antar fluida karena kontaktor membran
dapat mengakomodir fluida dengan densitas yang sama dan sekaligus dapat
dioperasikan pada berbagai orientasi (vertikal atau horizontal, baik searah maupun
berlawanan arah).
Ki
11
Pengolahan Gas Bumi
3. Luas permukaan yang ada tidak mempengaruhi variasi laju alir (baik tinggi maupun
rendah) karena kedua aliran tidak bergantung satu sama lain. Hal ini merupakan suatu
kelebihan yang vital dalam proses industri ketika rasio pelarut terhadap umpan yang
diperlukan sangat tinggi ataupun sangat rendah. Jika kondisi yang sama diterapkan
dalam kolom ber-packing maka dapat terjadi flooding pada saat laju alir gas terlalu
tinggi relatif terhadap laju alir air, sebaliknya bila laju alir gas terlalu rendah relatif
terhadap laju alir air maka dapat terjadi unloading.
4. Efisiensi yang diperoleh lebih tinggi.
5. Luas permukaan kontak yang lebih besar daripada separasi konvensional, kira-kira
dapat memberikan luas permukaan 30 kali lebih besar daripada gas absorber dan 500
kali lebih besar daripada kolom ekstraksi cair-cair.
6. Penskalaan hasil lebih linier sehingga peningkatan kapasitas dapat diprediksi secara
sederhana dengan hanya menambahkan modul membran (dibatasi oleh spesifikasi
peralatan pendukung seperti pompa transfer, perpipaan, dan lain-lain).
7. Tidak memiliki bagian yang bergerak sehingga memudahkan perawatan dan
pemeliharaannya.
8. Desain modularnya memperbolehkan pengaplikasian plant membran dalam lingkup
kapasitas yang sangat luas. Baik kapasitas yang kecil maupun besar dapat dicapai
dengan mudah dengan menggunakan sedikit atau banyak modul membran.
9. Biaya perawatannya rendah jika dibandingkan dengan unit operasi lainnya.
10. Kondisi operasi bebas mikroorganisme (operasi aseptik) akan menguntungkan untuk
proses seperti fermentasi.
Akan tetapi kontaktor membran serat berongga juga memiliki berbagai kelemahan,
diantaranya:
1. Memiliki umur tertentu sehingga biaya periodik pergantian membran juga perlu
diperhitungkan.
2. Untuk membran serat berongga jenis polimer, hanya dapat beroperasi pada rentang
temperatur yang tidak terlalu tinggi karena dapat merusak membran. Selain itu juga
tidak tahan terhadap kondisi yang terlalu asam atau basa.
Ki
12
Pengolahan Gas Bumi
3. Adanya membran menambah tahanan lain pada perpindahan massa, yaitu tahanan
membran itu sendiri. Akan tetapi tahanan ini tidak terlalu penting dan dapat dilakukan
usaha untuk meminimalkan tahanan tersebut.
4. Dapat terjadi fouling walaupun tidak sebesar pada kontaktor dengan driving force
gradien tekanan. Selain itu, polarisasi konsentrasi (penumpukan komponen-
komponen yang memiliki konsentrasi tinggi pada permukaan membran) pada
permukaan membran juga mempengaruhi kekotoran pada membran sehingga kinerja
operasi membran akan menurun. Kekotoran ini dipengaruhi oleh tipe pemisahan dan
tipe membran yang digunakan. Berikut ini adalah tiga tipe pengotor pada peristiwa
fouling:
a. Endapan organik (makromolekul, zat-zat biologis dan lain-lain)
b. Endapan anorganik (garam kalsium, hidroksi logam dan lain-lain)
c. Partikulat
Untuk mengatasi fouling pada membran dapat digunakan metode koagulasi dan
backwash.
5. Efisiensinya berkurang karena adanya aliran bypass dalam shell (shell-side
bypassing) sehingga ada sebagian fluida dalam shell yang tidak kontak dengan
membran. Oleh karena itu, aliran lebih baik dibuat menjadi turbulen.
6. Jumlah tahapan kesetimbangan dibatasi oleh penurunan tekanan.
7. Pemakaian adhesive/perekat (seperti epoksi) untuk menahan bundel serat pada tube
kemungkinan mudah rusak oleh pelarut organik.
2.1.5. Membrane Separation Untuk Gas Sweetening
Membrane bekerja dengan cara melakukan permeasi terhadap komponen gas yang akan
dipisahkan sehingga komponen gas tersebut larut terhadap membrane dan berdifusi melewati
membrane. CO2, H2S dan H2O memiliki tingkat permeasi yang lebih tinggi dibandingkan dengan
metana dan senyawa hidrokarbon yang lebih berat sehingga CO2, H2S dan H2O akan lebih cepat
merembes ke membran dibandingkan senyawa hidrokabon. Oleh karena itu, aliran yang kaya
akan senyawa hidrokarbon menjadi senyawa residu dan aliran yang kaya akan CO2 akan diserap
oleh membran.
Ki
13
Pengolahan Gas Bumi
Gambaran proses pada membran meliputi membrane pretreatment dan membrane
process. Membrane pretreatment sangat dibutuhkan sebelum masuk sistem membran supaya
meningkatkan performance dari sistem membran tersebut. Gambar tipikal pretreatment system
pada membran dapat dilihat pada gambar 2.1. Adapun substansi yang harus dikurangi jumlahnya
sebelum masuk sistem membran adalah:
1. Liquid
Liquid dapat menyebabkan pembengkakan pada membran dan kerusakan secara
menyeluruh. Liqud dipisahkan oleh coalescing filter.
2. Heavy hydrocarbons
Heavy hydrocarbons dapat menyebabkan penyumbatan pada permukaan membran
sehingga mengurangi permeabilitasnya. Heavy hydrocarbon dipisahkan oleh
adsorbent guard bed.
3. Particulate Material
Dapat memblokir aliran fluida di membran. Partikel dapat dipisahkan oleh particle
filter.
Gambar 2.7. Tipikal Pretreatment System Pada Membran
(Sumber: David Dortmundt and Kishore Doshi, 1999)
Setelah material partikulat dipisahkan, perlu ditambahkan pemanas untuk menjauhkan
gas tersebut dari suhu dew point nya supaya mencegah kondensasi. Sesudah melewati proses
pretreatment, gas kemudian masuk kedalam proses membrane untuk terjadinya pemisahan gas
dan CO2 yang sebagaimana pada gambar 2.2.
Feed Coalescing Filter Adsorbent Guard Bed Particle Heater Heater Membrane
Ki
14
Pengolahan Gas Bumi
Gambar 2.8. Tipikal Proses Membran
(Sumber: David Dortmundt and Kishore Doshi, 1999)
Driving force untuk pemisahan membran adalah perbedaan tekanan parsial dari
komponen permeate sehingga perbedaan tekanan antara feed gas dengan tekanan permeate dan
kadar komponen permeate sangat menentukan kemurniaan produk dan luas permukaan membran
yang dibutuhkan. Parameter yang penting dalam penentuan kualitas membran adalah
permeability dan selectivity. Permeability yang besar akan menyebabkan molar flow dari
permeate besar sehingga akan membutuhkan luas permukaan membran yang lebih kecil.
Selectivity yang besar akan mengurangi hilang dari hidrokarbon sehingga gas jual yang akan
dihasilkan semakin besar.
Salah satu tantangan untuk sistem membran adalah permeability dan selectivity tidak
bersamaan dapat diperoleh. Salah satu cara untuk meningkatkan permeability dengan membuat
lapisan membran lebih tipis. Hal ini dapat menyebabkan membran mudah mengalami kegagalan
secara mekanik. Beberapa kelebihan separasi menggunakan membran adalah:
1. Kadar CO2 yang dihasilkan bisa kurang dari 2%
2. Bisa digunakan untuk kadar CO2 yang besar
3. Cocok untuk offshore karena membutuhkan ruangan kecil dan tidak terlalu berat
4. Instalasi yang mudah dan murah
5. Perawatan yang mudah dan bisa digunakan untuk unmanned operation
Adapun kekurangannya meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Menambah selectivity tapi mengurangi permeability.
2. Biaya investasinya besar jika digunakan dalam kurun waktu yang lama
3. Sensitif terhadap perubahan kondisi umpan
Ki
15
Pengolahan Gas Bumi
4. Terjadi kondensasi heavy hydrocarbon akan menyebabkan pengurangan kinerja
membran.
5. Untuk membrane polymer, adanya batasan suhu
6. Pressure drop besar, dapat mencapai 5 kg/cm2
2.2. Proses Absorpsi Kimia untuk Mengurangi Kadar CO2 Pada Natural Gas
Proses absorpsi kimia merupakan salah satu cara metode yang sering digunakan untuk
mengurangi kandungan CO2 pada gas alam, terutama dengan kandungan CO2 rendah. Absorpsi
paling banyak digunakan pada industri pengolahan gas karena efektivitasnya yang tinggi,
kualitas gas keluaran yang baik dan relatif mudah dan murah. Pada dasarnya, absorpsi CO2
terjadi karena adanya perbedaan kelarutan antara hidrokarbon dan CO2 dengan absorben yang
digunakan sehingga CO2 akan terlarut pada absorben. Hal ini akan mengurangi kandungan CO2
pada gas alam keluaran dari proses absorpsi.
Salah satu untuk mengontakkan CO2 dengan pelarut adalah dengan menggunakan
kontaktor kolom dan kontaktor membran.
Reaksi yang terjadi saat pemisahan CO2 biasanya terjadi pada tekanan tinggi dan suhu
rendah di kontaktor. Pada regenerator, terjadi reaksi yang endotermik pada tekanan rendah dan
suhu tinggi untuk meregenerasi pelarutnya.
2.2.1. Proses Absorpsi CO2 dengan Menggunakan Senyawa Amine.
Jenis absorben yang sering digunakan pada proses absorpsi CO2 adalah senyawa-senyawa
amine. Secara umum, proses absorpsi CO2 dengan menggunakan senyawa amine digambarkan
pada Gambar 2.9.
Berikut ini adalah gambaran proses singkat absorpsi CO2 dengan absorben amine, seperti
pada digambarkan pada Gambar 2.9.:
1. Gas masuk ke dalam kolom absorpsi atau kontaktor melalui bagian bawah kolom dan
lean amine masuk ke dalam kolom absorpsi gas akan mengalir dari bawah ke atas dan
lean amine akan mengalir atas bawah. Kondisi pada kolom kontaktor adalah dengan
tekanan 0-1000 psig dan dengan suhu 80-125 °F
2. Gas akan keluar dari bagian atas kolom kontaktor dan rich amine atau amine yang
kaya dengan CO2 mengalir ke bagian bawah kolom
Ki
16
Pengolahan Gas Bumi
3. Rich amine dialirkan ke dalam flash drum. Tujuannya adalah untuk memudahkan
untuk memisahkan gas-gas yang masih terdisosiasi pada rich amine
4. Rich amine dipanaskan oleh aliran lean amine keluaran dari reboiler
5. Rich amine masuk pada bagian atas kolom regenerasi. Pada kolom ini, CO2
dipisahkan dari amine pada tekanan 7-10 psig dengan suhu 240-250 °F. Lean amine
akan keluar dari bagian bawah kolom regenerasi dengan suhu yang tinggi. Lean
amine bersuhu tinggi inilah yang digunakan untuk memanaskan rich amine, seperti
dijelaskan pada poin ke 4.
6. Lean amine kemudian dipompakan kembali ke dalam kolom absorber. Sebelum
masuk ke dalam kolom absorber, lean amine didinginkan dulu sebelum diumpankan
kembali ke dalam kolom absorber.
Gambar 2.9. Diagram Alir Proses Absorpsi CO2 dengan Menggunakan Senyawa Amine Sebagai
Absorben (Maurice Stewart dan Ken Arnold, 1999)
Ki
17
Pengolahan Gas Bumi
Beberapa kelebihan separasi dengan menggunakan absorpsi dengan amine adalah
1. Dapat menampung gas dengan kapasitas CO2 besar
2. Konsumsi energi yang rendah
3. Proses yang sudah mature
MEA (Monoethanolamine), DGA (Diglycolamine), DEA (Diethanolamine), DIPA
(Diisopropanolamine) dan MDEA (Methylethanolamine) merupakan senyawa-senyawa amine
yang sering digunakan sebagai absorben dalam proses absorpsi CO2. Senyawa amine dapat
bereaksi dengan CO2 membentuk senyawa kompleks (ion karbamat) dengan ikatan yang lemah
(Wang, 2003). MEA, DEA dan MDEA merupakan ketiga senyawa amine memiliki kemampuan
menyerap CO2 yang baik, laju absorpsi yang cepat dan mudah untuk diregenerasi (Astarita
1983,Barth 1984,Yu 1985). Tabel 1 dibawah ini adalah perbandingan sifat karakteristik MEA,
DEA dan MDEA.
Tabel 1. Perbandingan Sifat/Karakteristik MEA, DEA dan MDEA
No.
Sifat / Karakteristik
MEA DEA MDEA
1 Senyawa amina yang
paling ekonomis
Harganya tidak terlalu
mahal
Harganya paling mahal
diantara MEA dan DEA
2 Memiliki sifat yang
reaktif dengan CO2
karena paling basa,
namun korosif
Merupakan senyawa
yang moderat dan
tidak terlalu korosif
Tidak korosif
3 Memiliki tekanan uap
yang paling tinggi,
sulit diregenerasi
Memiliki tekanan uap
yang cukup rendah
Mudah diregenerasi
2.2.2. Pemilihan Jenis Senyawa Amine Sebagai Absorben pada Proses Absorpsi CO2
Untuk melihat perbandingan antara senyawa-senyawa amine terhadap absorpsi CO2 yang
terjadi, akan dilihat perbandingan performance dari MDEA, MEA, DEA dan DGA. Untuk
Ki
18
Pengolahan Gas Bumi
melihat performance dari senyawa-senyawa amine tersebut, akan dibuat 3 case yang menyatakan
kondisi operasi dari abosrpsi CO2. 3 case tersebut adalah
a. Case 1, Gas alam dengan kandungan CO2 sedang (3.5%)
b. Case 2, Gas alam dengan kandungan CO2 tinggi (15%)
Untuk Case 1, didapatkan Tabel 2, yang merupakan pengaruh dari seleksi larutan amine.
Untuk Case 2, didapatkan Tabel 3 yang merupakan pengaruh dari seleksi larutan amine.
2.3. Cryogenic Distillation
Cryogenic distillation merupakan teknologi pengolahan gas bumi dengan melibatkan
proses pemisahan dan pemurnian yang beroperasi pada suhu yang sangat rendah (-73,3 oC).
Proses Cryogenic distillation biasa dan cocok digunakan untuk gas alam yang memiliki
konsentrasi CO2 yang tinggi (>50%-70%).
Cryogenic distillation dapat memisahkan CO2 dengan komponen lain yang terkandung di
gas alam dengan menggunakan kontrol suhu dan tekanan dengan prinsip kondensasi gas. Kondisi
operasi yang berlangsung pada suhu rendah (di bawah titik didih CO2) bertujuan untuk
Tabel 2. Pengaruh Seleksi Senyawa Amine untuk Absorpsi CO2 Kandungan 3.5% (Donnelly et al, 2001)
Tabel 3. Pengaruh Seleksi Senyawa Amine untuk Absorpsi CO2 Kandungan 15% (Donnelly et al, 2001)
Ki
19
Pengolahan Gas Bumi
mengkondensasikan gas CO2 yang terkandung pada gas alam. Hal tersebut menyebabkan gas
CO2 akan mengalami perubahan fase menjadi fase cair maupun fase padat. Karena terdapat
perbedaan titik didih antara CO2 dan komponen lain yang terkandung pada gas alam sehingga
menyebabkan hanya CO2 yang mengalami kondensasi. Sehingga CO2 dapat terpisah dengan
komponen gas alam lainnya.
Gambar 2.10. Diagram Proses Pemisahan dan Pemurnian Gas Alam dengan Teknologi Cryogenic Distillation
Pada proses awal cryogenic distillation moisture yang ada pada gas terlebih dahulu
dikondensasikan dengan menggunakan heat exchanger dan kemudian dikompres oleh
compressor. Gas yang panas kemudian didinginkan diatas suhu pembentukan padatan dari CO2
pada suhu sekitar -70 F. Setelah didinginkan oleh gas yang diekspansi dimana apabila ada
padatan yang terbentuk maka dipisahkan di solid-gas separator. Solid yang terbentuk kemudian
dipanaskan sehingga berubah fasa menjadi cair. Gas N2 dan liquid CO2 yang dingin hasil dari
ekspansi dialirkan ke penukar panas sebagai fluida pendingin.
Beberapa kelebihan dengan menggunakan cryogenic distillation adalah:
1. Cocok untuk gas yang memiliki kadar CO2 yang tinggi (lebih dari 50-70%).
2. Cocok untuk menghasilkan gas alam dengan spesifikasi pipeline.
3. Tidak membutuhkan bahan kimia tambahan.
Ki
20
Pengolahan Gas Bumi
Adapun kekurangannya meliputi hal-hal sebagai berikut:
1. Membutuhkan energi yang sangat besar untuk proses refrigerasi.
2. Membutuhkan biaya operasi yang besar ($ 0,3-1/Mscf gas alam).
3. Tidak efektif karena mengurangi kandungan propana maupun butana pada produk gas
alam yang dihasilkan.
4. Memiliki kecenderungan mengalami blok terhadap peralatan tinggi.
Ki
21
Pengolahan Gas Bumi
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
Proses pemisahaan kadar CO2 kadar tinggi ini dilakukan dengan melakukan simulasi
menggunakan HYSYS didapat proses yang menghasilkan komposisi metana paling banyak di
produk gas. Apabila tidak memenuhi spesifikasi kadar CO2 gas jual maka akan dilakukan
modifikasi terhadap proses patent dengan cara penambahan peralatan proses. Penambahan
peralatan ini dapat dilakukan dengan mempertimbangkan atau mengadopsi prinsip proses
pemisahaan CO2 dan gas alam yang telah ada seperti penggunaan chemical seperti amine,
penggunaan low temperature separation ataupun menambah unit yang sama. Penambahan
peralatan tersebut dapat ditempatkan pada sebelum proses utama, sesudah proses utama, ataupun
diantara equipment proses utama.
Model HYSYS yang akan dibuat adalah simulasi kolom absorber dan simulasi kolom
stripper. Langkah-langkah pembuatan simulasi HYSYS adalah sebagai berikut:
1. Membuat data untuk umpan (gas dan amine) kolom kontaktor dan kolom stripper dengan
menggunakan data feed dari LSTC yang diberi nama “FEED” dan “AMINE TO
ABSORBER”.
2. Menentukan kondisi dari stream “FEED” dan “AMINE TO ABSORBER” sesuai dengan
data desain.
3. Membuat simulasi kolom kontaktor (20 tray).
4. Membuat simulasi heat exchanger dengan inlet produk “RICH AMINE” dari absorber.
Memberi nama outlet dari heat exchanger dengan “REGEN FEED” ke kolom stripper.
Temperatur dan suhu pada stream menyesuaikan dengan data aktual dari panel pada Juli
2009.
5. Membuar simulasi kolom stripper dengan reboiler dan condenser (18 tray) sebagai
regenerator amine.
6. Membuat simulasi cooler dengan inlet produk “AMINE TO COOLER” dari regenerator.
Memberi nama outlet dari heat exchanger dengan “AMINE TO RECYCLE” untuk di-
Ki
22
Pengolahan Gas Bumi
recycle dan kembalikan ke kolom kontaktor sebagai lean amine. Temperatur dan suhu pada
stream menyesuaikan dengan data aktual dari kasus.
7. Membuat Set-1 dan Set-2 pada simulasi.
Ki
23
Pengolahan Gas Bumi
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Kasus
Sumur beroperasi pada T = 50 °C dan P = 1000 psia.
Gambar 4.1. Komposisi Masukan Gas pada Sumur
Cadangan Gas : 220 TCF
CO2 > 70 %
Hidrokarbon: 45 TCF
1/3 Sales Gas
2/3 Feed LNG Plant
Ki
24
Pengolahan Gas Bumi
4.2. Proses Pengolahan Gas dari Offshore
Skema proses pengolahan gas dari offshore adalah sebagai berikut:
4.3. Pengolahan dan Produksi (Gas Sweetening) Offshore
Penentuan proses yang tepat pada pengolahan dan produksi gas berdasarkan:
1. Komposisi gas mentah mengandung sekitar 71% CO2
2. Gas keluaran merupakan gas pipa (sales gas) yang akan dialirkan menuju on-shore
untuk diolah lebih lanjut
Adapun skema proses yang terjadi adalah:
Gambar 4.2. Flow Diagram Proses Pengolahan Gas Offshore
Ki
25
Pengolahan Gas Bumi
4.4. Spesifikasi Gas Asam
CO2 4 % (maksimum) pada sales gas
20 PPM dalam proses LNG
< 6 % dalam produksi syngas
H2S < 4 ppm dalam sales gas
1-2 ppm (maximum) dalam proses LNG
< 0.01 ppm dalam produksi syngas
4.5. Seleksi Proses
Berdasarkan kandungan CO2 dalam gas alam
1. CO2 < 10 % Amine Solvent
2. CO2 = 10 – 20 % Banfield Process
3. CO2 = 10 – 50 % Physical Solvents
4. CO2 > 50 % Cryogenic Distilation
5. CO2 > 50 % Membrane System
Berdasarkan sifat lain
5. Banfield Process Tidak cccok untuk aliran gas yang hanya mengandung H2S
6. Iron sponge & Zinc Oxide Hanya selektif untuk H2S, H2S rendah
7. Sistem membrane Aliran besar, kandungan CO2 tinggi, atau berada pada lokasi
remote
8. Sulfinol Process
Sulfinol D: penghilangan sempurna H2S, CO2, dan COS
Sulfinol M: Selektif untuk penghilangan H2O pada gas yang mengandung CO2,
dengan penghilangan parsial COS
Berdasarkan kandungan CO2 pada umpan yang sangat tinggi (71%) yang artinya > 50%
maka alternative proses yang dipilih adalah teknologi membran (aliran sangat besar
beserta sumur terletak di lokasi remote) dan distilasi kriogenik.
Ki
26
Pengolahan Gas Bumi
Gambar 4.3. Alternatif Teknologi untuk Gas Sweetening
Adapun perbandingan alternative kedua proses teknologi membran dan distilasi kriogenik
adalah:
1. Distilasi Kriogenik
Prosesnya pada temperatur rendah dan sangat energi intensif. Umum digunakan pada
proses pemisahan gas. Teknologi ini digunakan pada skala apapun, harganya beragam
sekitar range $0.30-0.50/Mscf for plants handling 75 MMscfd dan $1.00/Mscf for
plants 2 MMscfd.
Gambar 4.4. Skema Proses Distilasi Kriogenik
Ki
27
Pengolahan Gas Bumi
2. Teknologi Membran
Pemisahan CO2 menggunakan membran ialah dengan prinsip perbedaan
permeabilitas antara CO2 dengan CH4. Permeabilitas atau kemampuan realitf senyawa
melewati membran, secara khusus untuk komposisi gas alam diilustrasikan oleh
gambar berikut:
Gambar 4.5. Perbandingan Permeabilitas Senyawa Gas Alam
Sehingga, jika gas alam dilewatkan melalui membran, maka CO2 akan lebih cepat
lolos melewati membran dan gas alam yang bersih akan keluar sebagai produk.
Namun teknologi ini mempunyai beberapa kelemahan, yaitu slektivitasnya yang
buruk dan penurunan tekanan yang sangat besar. Selektivitas dari membran yang
buruk menyebabkan banyak hidrokarbon yang hilang ikut terlewatkan bersama-sama
dengan CO2. Hal ini tentunya menyebabkan kerugian yang relatif besar.
Gambar 4.6. Skema Proses Teknologi Membran
Ki
28
Pengolahan Gas Bumi
Distilasi kriogenik ialah distilasi pada suhu yang sangat rendah, mencapai -180 oC. Proses
distilasi kriogenik ini terdiri dari dua, tiga atau empat kolom fraksinasi, di mana kolom pertama
beroperasi pada tekanan 3100-4500 kPa dan kolom kedua beroperasi pada tekanan sedikit lebih
rendah. Distilasi kriogenik ini membutuhkan persiapan awal umpan yang rumit, instalasi unit ini
sangat mahal, dan kompresi yang dibutuhkan menyebabkan operasi kompresor besar yang
berbiaya tinggi. Sehingga secara ekonomi, jika tidak dalam keadaan mendesak, pilihan distilasi
kriogenik ini relatif tidak diminati.
Teknologi berbasis membran bersifat sederhana, biaya rendah, dan cocok digunakan
dalam mengeliminasi kandungan CO2 dari gas alam. Keuntungan teknologi membran: mudah
diterapkan, ramah lingkungan, dan mudah dioperasikan. Kondisi operasi dari teknologi membran
yaitu pada tekanan di atas 450 psig, ketersediaan listrik yang memadai, dan adanya tempat untuk
operasi di offshore. Adapun performa sistem membran berupa laju umpan antara 1 – 300
MMSCFD, kandungan CO2 dalam umpan antara 5 – 40% mol, kandungan CO2 dalam produk
dapat mencapai maksimal 2%, serta hydrocarbon recovery bernilai lebih dari 95%.
Pemisahan CO2 dengan absorpsi ialah metode yang paling sering dijumpai. Absorpsi
lebih disukai dalam industri pengolahan gas dibanding teknologi lain karena efektivitas yang
tinggi, kualitas produk yang baik, dan relatif mudah serta murah jika melihat efektivitasnya.
Teknologi absorpsi prinsipnya ialah melarutkan CO2 dalam pelarut yang sesuai. Perbedaan
kelarutan antara hidrokarbon dan CO2 dalam absorben menyebabkan produk keluaran akan
bersih dari CO2. Untuk dapat mengabsorp CO2, maka absorben (pelarut) dan sour gas haruslah
dikontakkan. Ada beberapa cara dalam mengontakkan CO2 dengan pelarut, diantaranya ialah
dengan kontaktor kolom dan kontaktor membran.
Ki
29
Pengolahan Gas Bumi
Gambar 4.7. Diagram Alir Proses Absorpsi dengan Amina
Kontaktor kolom berbentuk seperti kolom tinggi yang di dalamnya berisi media
pengontak seperti tray atau packing. Kolom absorber biasanya berisi tray dan kolom regenerasi
pelarut menggunakan packing. Sour gas akan masuk dari bagian bawah kolom absorber dan
solven dimasukkan dari atas, sehingga terjadi kontak secara countercurrent dan CO2 akan larut
dalam absorben (biasanya senyawa alko-amina). Namun kontaktor kolom ini memiliki berbagai
kekurangan, seperti terbentuknya flooding, loading, foaming, dan channeling. Hal ini
menyebabkan absorpsi tidak efisien dan laju perpindahan masa kurang baik.
Senyawa amina adalah pelarut yang paling banyak digunakan pada proses absorpsi CO2
sebagai absorben, karena senyawa amina dapat bereaksi dengan CO2 membentuk senyawa
kompleks (ion karbamat) dengan ikatan kimia yang lemah (Wang 2003). Ikatan kimia ini dapat
dengan mudah terputus dengan pemanasan (mild heating), sehingga regenerasi absorben
(senyawa amina) dapat dengan mudah terjadi (Wang 2003). Oleh sebab itu dapat dikatakan
bahwa senyawa amina adalah pelarut yang efisien pada proses operasional absorpsi CO2.
Senyawa amina yang paling sering digunakan sebagai absorben pada absorpsi CO2
adalah MEA (monoethanolamine), DEA (diethanolamine), dan MDEA (methyldiethanolamine),
ketiga senyawa amina tersebut memiliki kemampuan menyerap CO2 yang baik, laju absorpsi
yang cepat, dan mudah untuk diregenerasi (Astarita 1983, Barth 1984, Yu 1985). Berikut adalah
perbandingan dari ketiga senyawa amina tersebut (Kim 2000, Jian-gang 2009, Wang 2003):
Ki
30
Pengolahan Gas Bumi
Tabel 4.1. Perbandingan Sifat/Karakteristik MEA, DEA, dan MDEA
No.
Sifat / Karakteristik
MEA DEA MDEA
1 Senyawa amina yang
paling ekonomis
Harganya tidak terlalu
mahal
Harganya paling mahal
diantara MEA dan DEA
2 Memiliki sifat yang
reaktif dengan CO2
karena paling basa,
namun korosif
Merupakan senyawa
yang moderat dan
tidak terlalu korosif
Tidak korosif
3 Memiliki tekanan uap
yang paling tinggi,
sulit diregenerasi
Memiliki tekanan uap
yang cukup rendah
Mudah diregenerasi
Dari berbagai penelitian yang telah dilakukan diketahui bahwa pelarut campuran lebih
baik dari pada pelarut amina tunggal (Jian-gang 2009). Penelitian serupa juga dilakukan dan
disimpulkan bahwa CO2 yang diserap akan semakin banyak dengan pencampuran absorben
piperazine dan absorben 2-amino-2-methyl-1-propanol dibandingkan jika absorben tersebut
digunakan tanpa melalui pencampuran (Lin 2009). Hasil penelitian tersebut di atas menunjukkan
bahwa pelarut campuran senyawa amina lebih baik dalam mengabsorpsi gas CO2 dari pada
pelarut amina tunggal.
Pelarut MDEA diketahui menjadi senyawa yang paling lemah dalam mengikat CO2.
Faktor resistansi yang besar dalam proses absorpsi melalui kontaktor membran memperlemah
daya absorpsi dari MDEA. Nilai koefisien perpindahan massa yang kecil menjadikan pelarut ini
kurang disukai untuk digunakan dalam proses absorpsi CO2 melalui kontaktor membran.
Sebaliknya MEA dan DEA mempunyai daya penyerapan yang baik. Sehingga pada penelitian ini
digunakan campuran kedua pelarut dengan harapan dapat meningkatkan daya absorpsi. Selain
karena pelarut campuran terbukti lebih baik dibanding pelarut tunggal, tujuan pencampuran
MEA dan DEA dalam penelitian ini juga didasarkan pada adanya batasan konsentrasi MEA di
mana untuk konsentrasi MEA yang lebih tinggi justru akan menurunkan daya absorpsi pelarut
(Kim 2000).
Ki
31
Pengolahan Gas Bumi
Oleh karena itu, kondisi terbaik yang memungkinkan untuk separasi dari 70% menjadi
4% adalah dengan menggabungkan beberapa proses dilihat dari keuntungan dan kekurangan
masing-masing.
Jika dengan amine membutuhkan amine yang banyak dan alat yang besar.
Untuk membran, alat ini cocok digunakan di offshore seperti penjelasan diatas,
simple and low cost.
Maka, kami membagi prosesnya menjadi 2 tahap:
71% - 10% dengan membrane separation
10% - maksimal 4% dengan amine solvent absorption
Spesifikasi pada gas pipeline yang diinginkan adalah gas asam CO2 maksimal 4% dan
H2S maksimal ppm yang telah dilakukan di proses gas sweetening. Selanjutnya hasil sweet gas
tersebut akan dibagi menjadi dua aliran yaitu 1/3 hasil produk berupa sales gas dan 2/3 hasil
produk akan digunakan sebagai umpan untuk LNG Plant.
Membran Amine
>71% CO2
10% CO2 <4% CO2
Sweet Gas <4% CO2
Onshore
1/3 Sales Gas
2/3 Feed LNG Plant
Ki
32
Pengolahan Gas Bumi
4.6. Hasil Simulasi (Amine Absorber)
Gambar 4.8. Simulasi Hysys Amine Absorber
Gambar 4.9. Spesifikasi Keluaran (Sales Gas)
Ki
33
Pengolahan Gas Bumi
Gambar 4.10. Spesifikasi Keluaran (Feed LNG Plant)
Gambar 4.11. Grafik MEA vs CO2 Loading
0.0100
0.0200
0.0300
0.15 0.2 0.25
CO
2 Lo
adin
g
Mass Fraction of MEA
MEA vs CO2 Loading
MEA vs CO2Loading
Ki
34
Pengolahan Gas Bumi
Gambar 4.12. Grafik DEA vs CO2 Loading
Gambar 4.13. Grafik MDEA vs CO2 Loading
Berdasarkan hasil perhitungan CO2 loading di atas, terlihat bahwa Grafik di atas
menggambarkan bagaimana hubungan antara variasi fraksi massa MEA, DEA, dan MDEA
terhadap CO2 loading. Dari grafik tersebut didapat bahwa semakin tinggi nilai fraksi massa dari
MEA, DEA, dan MDEA dalam sebuah proses gas sweetening maka nilai CO2 loading pun akan
semakin tinggi. CO2 loading adalah perbandingan jumlah massa CO2 yang dibawa dalam satuan
massa amine tertentu. Nilai CO2 loading bertambah seiring bertambahnya fraksi massa MEA,
DEA, dan MDEA sampai pada titik tertentu. Ketika fraksi massa MEA/DEA dinaikkan lagi, nilai
CO2 juga bertambah naik namun tidak sesignifikan sebelumnya. Hal itu disebabkan CO2 dan
amine sudah mencapai kesetimbangan pada titik tersebut. Selain itu, semakin tinggi nilai acid
0.0000
0.0010
0.0020
0.0030
0.0040
0.25 0.3 0.35
CO
2 L
oad
ing
Mass Fraction of DEA
DEA vs CO2 Loading
DEA vs CO2Loading
0.0000
0.0010
0.0020
0.0030
0.35 0.4 0.45
CO
2 Lo
adin
g
Mass Fraction of MDEA
MDEA vs CO2 Loading
MDEA vsCO2 Loading
Ki
35
Pengolahan Gas Bumi
loading ini, maka setiap mol amina akan membawa lebih banyak CO2, dengan kata lain amina
menjadi lebih efisien.
Dari ketiga grafik di atas didapatkan bahwa nilai acid loading dengan pelarut MEA lebih
besar daripada pelarut DEA dan MDEA dan nilainya semakin menurun. Hal ini disebabkan oleh
pelarut MEA yang merupakan amine primer lebih reaktif dengan CO2 sehingga daya absorpsinya
lebih besar daripada DEA dan MDEA. Sementara itu, DEA sebagai amine sekunder memiliki
daya absorb yang lebih tinggi daripada MDEA dan tentunya lebih reaktif terhadap CO2.
Monoethanolamine (MEA) merupakan basa paling kuat di antara pelarut amine yang lain
dan bereaksi paling cepat dengan gas asam. Namun demikian, MEA memiliki tekanan uap yang
lebih besar daripada pelarut amine yang lain. Hal ini tentunya akan menambah nilai loss pada
larutan karena terjadi penguapan. Hal ini dapat diselesaikan dengan pemberian water wash pada
keluaran produk sweet gas. Rentang MEA yang digunakan umumnya 15-25% massa dalam
larutan.
Diethanolamine (DEA) memiliki prinsip dan operasi sama dengan MEA. Hal yang
membedakan kedua pelarut adalah reaksi DEA dengan gas asam berlangsung lebih lambat.
Namun demikian hal ini berefek pada loss untuk larutan DEA menjadi minimum. Akibatnya,
saat ini DEA umum digunakan pada unit pengolahan dan manufaktur karena kurang mudah
menguap dibandingkan daripada MEA. Rentang DEA yang digunakan umumnya 25-35% massa
dalam larutan.
Methyldiethanolamine (MDEA) merupakan amine tersier dan relativ baru dalam
penggunaannya di gas sweetening. MDEA ini merupakan jenis amine yang selektif. Rentang
MDEA yang digunakan umumnya 35-50% massa dalam larutan.
Ki
36
Pengolahan Gas Bumi
BAB V
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Adapun kesimpulan hasil kasus studi adalah:
1. Teknologi yang digunakan dalam proses pemurnian gas yaitu teknologi membrane
(kandungan CO2 71% menjadi 10%) dan amine solvent absorber (kandungan CO2
10% menjadi maksimal 4%).
2. Skenario sweetening gas pada offshore:
3. Skema proses pada onshore:
4. Teknologi membran dipilih karena dapat mengeliminasi kandungan CO2 yang tinggi
(dalam kasus ini 71%) menjadi maksimal 10% dan memiliki beberapa keuntungan
seperti biaya operasi yang murah dan penghilangan CO2 yang relative cepat.
5. Amine Solvent Absorber dipilih karena dapat mengurangi kandungan CO2 sampai
maksimal 4% yang nantinya digunakan sebagai sales gas dan feed LNG Plant serta
maturity dari sistem ini sudah tinggi karena telah banyak diaplikasikan dalam
berbagai industri sebagai gas sweetener. Namun demikian, biaya maintenance dan
operasi proses ini cukup besar sehingga kandungan CO2 pada feed absorber harus
cukup rendah.
Ki
37
Pengolahan Gas Bumi
5.2. Saran
Untuk memperoleh kandungan CO2 paling kecil, pelarut yang digunakan adalah amine
primer (MEA) karena paling reaktif dan paling murah. Namun, MEA sangat korosif dan
mudah menguap sehingga nilai loss-nya besar. Namun demikian, hal ini dapat diatasi
dengan instalasi wash water pada aliran sweet gas. Campuran dua amine tunggal (MEA+
MDEA atau DEA+MDEA) sebagai pelarut dianjurkan untuk memperoleh hasil yang
lebih efektif dan mengurangi korosi.
Ki
38
Pengolahan Gas Bumi
DAFTAR PUSTAKA
Aliabad, Zare, dan Mirzaei. 2009. Removal of CO2 and H2S using Aqueous Alkanolamine
Solusions. International Journal of Chemical and Biological Engineering, 2, pp. 78-87.
Arthur J. Kidnay and William R. Parrish, 2006, Fundamentals of Natural Gas Processing, Taylor
& Francis Group; ISBN: 0-8493-3406-3.
Campbell, John M, 1984, Gas Conditioning and Processing Vol 2 The Equipment Modules 6th
ed, Campbell Petroleum Series : U.S.A.
Johnston, A.L., Moore, B.K., Balancing cost with process, resident and regulatory needs,
Laurence Reid Gas Conditioning Conference paper, March 1997.
Kohl, A.L., Nielsen, R., Gas Purification, 5th Edition, Gulf Publishing: Houston, Texas, 1997, p
153.
McKee, R.I., et al., CO2 removal: membrane plus amine, Hydrocarbon Processes, April 1991, pp
63-65.
Maddox, Robert, dan John Morgan. 1985. Gas Conditioning and Processing, Volume 4: Gas
Treating and Sulfury Recovery. USA: Campbel Petroleum Series.