toksisitas akut ekstrak daun tephrosia vogelii dan … · menurut malole dan pramono (1989),...

39
TOKSISITAS AKUT EKSTRAK DAUN Tephrosia vogelii DAN EFEKNYA TERHADAP PATOLOGI ANATOMI ORGAN PADA TIKUS PUTIH BUNGA APRILLIA AYUNING DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014

Upload: phamlien

Post on 23-Mar-2019

231 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TOKSISITAS AKUT EKSTRAK DAUN Tephrosia vogelii DAN

EFEKNYA TERHADAP PATOLOGI ANATOMI ORGAN

PADA TIKUS PUTIH

BUNGA APRILLIA AYUNING

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER

INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Toksisitas Akut

Ekstrak Daun Tephrosia vogelii dan Efeknya terhadap Patologi Anatomi Organ

pada Tikus Putih adalah benar karya saya dengan arahan dari dosen pembimbing

dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun.

Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun

tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan

dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, Maret 2014

Bunga Aprillia Ayuning

NIM A3400071

ABSTRAK

BUNGA APRILLIA AYUNING. Toksisitas Akut Ekstrak Daun Tephrosia

vogelii dan Efeknya terhadap Patologi Anatomi Organ pada Tikus Putih.

Dibimbing oleh SWASTIKO PRIYAMBODO dan WIWIN WINARSIH.

Ekstrak daun Tephrosia vogelii sudah banyak diuji dan terbukti

keefektifannya terhadap berbagai serangga hama. Insektisida yang dapat

digunakan dalam pengendalian hama terpadu selain efektif terhadap hama sasaran

juga harus memenuhi persyaratan keamanan terhadap organisme non sasaran.

Dalam penelitian ini toksisitas akut dari ekstrak daun Tephrosia vogelii diujikan

terhadap tikus putih dengan 4 dosis bertingkat, yaitu 25, 50, 100, dan 200 mg/kg

bb. Pemberian ekstrak daun T. vogelii diberikan dalam dosis tunggal

menggunakan sonde lambung berbentuk jarum yang berujung tumpul.

Pengamatan dilakukan pada 15 dan 30 menit, 1, 2, dan 4 jam setelah perlakuan,

dan dilanjutkan setiap hari sampai hari ke-14 setelah perlakuan. Parameter yang

diamati yaitu mortalitas tikus dan konsumsi gabah sebagai pakan tikus. Data

mortalitas dianalisis untuk mencari nilai LD50 dari ekstrak daun T. vogelii. Hasil

perhitungan menunjukkan bahwa nilai LD50 yang didapat sebesar 92.897 mg/kg

bb. Nilai ini menunjukkan bahwa ekstrak daun T. vogelii bersifat sangat toksik

terhadap tikus. Bobot tubuh tikus menurun pada hari pertama setelah perlakuan.

Ekstrak daun T. vogelii dapat menurunkan konsumsi tikus terhadap gabah pada

semua dosis, kecuali kontrol dan dosis 25 mg/kg bb. Dosis 200 mg/kg bb

menyebabkan kongesti pada hati dan paru-paru, serta peradangan pada usus dan

lambung.

Kata kunci: toksisitas akut, Tephrosia vogelii, Rattus norvegicus, patologi.

ABSTRACT

BUNGA APRILLIA AYUNING. Acute Toxicity of Leaf Extract Tephrosia

vogelii and Gross Pathology Effect on White Rats. Supervised by SWASTIKO

PRIYAMBODO and WIWIN WINARSIH.

Leaf extract of Tephrosia vogelii has been extensively tested and proven its

effectiveness against a variety of insect pests. Insecticides that can be used in

integrated pest management should not only effective against the target pest but

also meet the safety requirements to non-target organisms. In this study the acute

toxicity effect of T.vogelii leaf extract was tested to white rats. Four doses level

was tested, i.e. 25, 50, 100, and 200 mg extract of kg body weight. The extract

was given in a single dose using a blunt tip syringe. Observations were made at 15

and 30 minutes, 1, 2, 4 hours after treatment and every day until 14 day after

treatment. The variable observed were mortality of rats and consumption of

paddy. The mortality data was analyzed to determine LD50 of the leaf extract.

The result gave LD50 of T.vogelii extract was 92.897 mg of kg body weight

which indicate that the extract was very toxic to rats. The body weights of the rats

decreased in first day after treatment. Extract of leaf T.vogelii decreased

consumption of paddy by the rats at all doses, except control and 25 mg/kg body

weight. Dose 200 mg of kg body weight caused congestion in the liver and lungs,

and inflammation of the intestines and stomach.

Keywords: acute toxicity, Tephrosia vogelii, Rattus norvegicus, pathology.

© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar bagi IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

TOKSISITAS AKUT EKSTRAK DAUN Tephrosia vogelii

DAN EFEKNYA TERHADAP PATOLOGI ANATOMI ORGAN

PADA TIKUS PUTIH

BUNGA APRILLIA AYUNING

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian

pada

Departemen Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2014

Judul Usulan : Toksisitas Akut Ekstrak Daun Tephrosia vogelii dan Efeknya

terhadap Patologi Anatomi Organ pada Tikus Putih

Nama Mahasiswa : Bunga Aprillia Ayuning

NIM : A34100071

Disetujui oleh

Dr Ir Swastiko Priyambodo, MSi Dr drh Wiwin Winarsih, MSi

Pembimbing I Pembimbing II

Diketahui oleh

Dr Ir Abdjad Asih Nawangsih, MSi

Ketua Departemen

Tanggal lulus :

PRAKATA

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah

melimpahkan rahmat serta karunia-Nya sehingga skripsi yang berjudul

“Toksisitas Akut Ekstrak Daun Tephrosia vogelii dan Efeknya terhadap Patologi

Anatomi Organ pada Tikus Putih” dapat diselesaikan. Penulisan skripsi ini

merupakan prasyarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pertanian dari Departemen

Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr.Ir.Swastiko Priyambodo,

M.Si dan Dr.drh.Wiwin Winarsih,M.Si.APVet selaku dosen pembimbing skripsi

yang senantiasa memberikan dukungan, saran, motivasi, serta masukan dalam

penyusunan skripsi ini. Terima kasih kepada Papa, Mama, kedua adik atas kasih

sayang, dan doa yang dilimpahkan kepada penulis. Ucapan terima kasih juga

penulis sampaikan kepada Esi dan Eka sebagai teman seperjuangan di

Laboratorium Vertebrata Hama, teknisi Laboratorium Vertebrata Hama, Pak

Ahmad Soban, para sahabat serta teman-teman di IPB khususnya di Departemen

Proteksi Tanaman Angkatan 47.

Pada akhirnya penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari

sempurna, oleh karena itu penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca.

Penulis berharap Skripsi ini dapat memberikan informasi dan mendukung

perkembangan ilmu pengetahuan.

Bogor, Maret 2014

Bunga Aprillia Ayuning

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vii

DAFTAR GAMBAR viii

DAFTAR LAMPIRAN viii

PENDAHULUAN 1

Tujuan 2

Manfaat 2

BAHAN DAN METODE 3

Waktu dan tempat penelitian 3

Bahan dan alat 3

Metode 3

Ekstraksi daun T. vogelii 3

Pengujian toksisitas akut pada tikus 4

Pengamatan patologi anatomi 7

Pengolahan data 7

HASIL DAN PEMBAHASAN 8

Mortalitas tikus dan nilai LD50 8

Konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi 9

Rerata bobot tikus sebelum dan setelah aplikasi 10

Hasil pengamatan patologi anatomi 11

SIMPULAN DAN SARAN 13

Simpulan 13

Saran 13

DAFTAR PUSTAKA 14

LAMPIRAN 16

RIWAYAT HIDUP 19

DAFTAR TABEL 1 Mortalitas tikus setelah aplikasi 8

2 Konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi 10

3 Rerata bobot tubuh tikus sebelum dan setelah aplikasi 10

DAFTAR GAMBAR

1 Laboratorium pengujian 3

2 Proses ekstraksi 4

3 Kandang pengujian dan layout kandang 5

4 Pakan gabah dan penimbangan gabah 5

5 Persiapan ekstrak untuk pengujian toksisitas akut 6

6 Sonde lambung, proses pencekokan serta penimbangan tikus mati 6

7 Peralatan bedah, dan pembedahan tikus 7

8 Perubahan organ dalam tikus perlakuan kontrol, 25, 50 dan 100 mg/kg bb 11

9 Perubahan organ dalam tikus perlakuan 200 mg/kg bb 12

DAFTAR LAMPIRAN

1 Analisis ragam konsumsi gabah sebelum aplikasi pada uji kolom 16

2 Konsumsi gabah sebelum aplikasi pada uji kolom 16

3 Analisis ragam konsumsi gabah setelah aplikasi pada uji kolom 16

4 Konsumsi gabah setelah aplikasi pada uji kolom 16

5 Analisis ragam konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi pada uji 17

baris terhadap kontrol

6 Konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi pada uji baris 17

terhadap kontrol

7 Analisis ragam konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi pada uji 17

baris terhadap dosis 25 mg/kg bb

8 Konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi pada uji baris 17

terhadap dosis 25 mg/kg bb

9 Analisis ragam konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi pada uji 17

baris terhadap dosis 50 mg/kg bb

10 Konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi pada uji baris 18

terhadap dosis 50 mg/kg bb

11 Analisis ragam konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi pada uji 18

baris terhadap dosis 100 mg/kg bb

12 Konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi pada uji baris 18

terhadap dosis 100 mg/kg bb

13 Analisis ragam rerata konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi 18

14 Rerata konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi pada uji baris 18

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Tikus putih (Rattus norvegicus strain albinous) merupakan spesies pertama

yang didomestikasi untuk tujuan ilmiah. Tikus putih memiliki daya adaptasi yang

baik sehingga cocok dijadikan hewan model dari berbagai jenis penelitian, salah

satunya toksikologi (Malole dan Pramono 1989). Jenis tikus ini sering dijadikan

hewan percobaan untuk pengujian obat manusia dan tingkat toksisitas racun hama

terhadap manusia (Priyambodo 2003). Tikus termasuk hewan mamalia, oleh

sebab itu dampaknya terhadap suatu perlakuan mungkin tidak jauh berbeda

dibandingkan dengan mamalia lainnya (Smith dan Mangkoewidjojo 1988).

Tikus putih merupakan hewan percobaan yang memiliki berbagai

keunggulan. Hewan ini mudah ditangani dan memberi hasil nilai ulangan yang

cukup dipercaya. Menurut Malole dan Pramono (1989), keunggulan tikus putih

sebagai hewan percobaan adalah siklus hidupnya yang relatif pendek dan dapat

berkembangbiak dengan cepat. Smith dan Mangkoewidjojo (1988) menyebutkan

bahwa struktur anatomi tikus memiliki keunggulan dibandingkan dengan hewan

percobaan lainnya yang menyebabkan tikus tidak dapat muntah. Selain itu, tikus

putih juga sangat sensitif terhadap toksikan tanaman (Efal 2007). Efek toksisitas

dari racun hama dapat dilihat dari kerusakan organ dalamnya. Salah satu metode

yang dapat dilakukan adalah dengan melakukan pengamatan patologi anatomi,

seperti yang dilakukan pada penelitian ini.

Kacang babi (Tephrosia vogelii) merupakan salah satu tumbuhan yang

dimanfaatkan sebagai insektisida nabati (Kardinan 2002). Daun T. vogelii

berwarna hijau dan dapat juga dimanfaatkan sebagai pupuk hijau. Komponen

bahan aktif yang terkandung dalam daun T. vogelii yaitu rotenon, tefrosin, dan

deguelin (Delfel et al. 1970; Caboni et al. 2005). Delfel et al (1970) melaporkan

bahwa kandungan rotenon pada daun T. vogelii lebih tinggi dari pada bagian lain

seperti tangkai daun, batang, dan akar. Abizar dan Prijono (2010) melaporkan

bahwa ekstrak etil asetat daun T. vogelii bunga ungu mengandung senyawa

nonpolar lebih banyak sehingga lebih aktif dibandingkan dengan bunga putih.

Tumbuhan T. vogelii dapat menyerbuk sendiri (Gaskins et al. 1972) dan mudah

dibudidayakan di berbagai tempat ketinggian, serta tidak memerlukan

pemeliharaan khusus. Beberapa hasil penelitian menyebutkan ekstrak daun

T.vogelii efektif mengendalikan Bemisia tabacii (Juliana 2012) dan Myzus

persicae (Fitria 2012) pada tanaman cabai, larva Plutella xylostella pada tanaman

kubis (Febriani 2011), larva Crocidolomia pavonana pada tanaman sayuran

Brassicaceae (Nailufar 2011), dan nimfa Nilapavarta lugens pada tanaman padi

(Muliya 2010).

Berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 6 tahun 1995 pasal 3 disebutkan

bahwa perlindungan tanaman harus dilakukan dengan sistem pengendalian hama

terpadu (PHT). Insektisida yang dapat digunakan dalam PHT selain efektif

terhadap hama sasaran juga harus memenuhi persyaratan keamanan terhadap

organisme non sasaran. Dengan demikian keadaan ini dapat menjaga

keseimbangan ekosistem dan biodiversitas organisme pada suatu ekosistem

pertanian serta aman bagi pengguna. Salah satu golongan insektisida yang

2

memenuhi persyaratan tersebut adalah insektisida nabati. Namun, risiko

keracunan mungkin saja terjadi jika suatu zat secara sengaja atau tidak masuk ke

dalam tubuh dalam dosis tertentu (Koeman 1987). Oleh karena itu diperlukan

informasi mengenai toksisitas ekstrak daun T. vogelii.

Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh pemberian ekstrak daun T.

vogelii terhadap nilai LD50, mortalitas, konsumsi, bobot tubuh, dan perubahan

organ dalam tikus putih.

Manfaat Penelitian Hasil penelitian memberikan informasi mengenai toksisitas akut ekstrak

daun T. vogelii untuk keamanan organisme non sasaran.

3

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian dilakukan di Laboratorium Vertebrata Hama dan Fisiologi dan

Toksikologi Seranggga, Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian serta

Laboratorium Histopatologi, Departemen Klinik, Reproduksi, dan Patologi,

Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor (Gambar 1). Penelitian ini

dilaksanakan dari bulan September 2013 sampai Januari 2014.

Gambar 1 Laboratorium Vertebrata Hama (A), Laboratorium Fisiologi dan

Toksikologi Seranggga (B), Laboratorium Histopatologi (C)

Metode Penelitian

Ekstraksi Daun T. vogelii

Bahan tumbuhan yang digunakan sebagai sumber ekstrak adalah daun T.

vogelii bunga ungu yang diperoleh dari Yayasan Bina Sarana Bakti, Cisarua,

Kabupaten Bogor. Daun T. vogelii dipotong-potong menggunakan gunting untuk

mendapatkan ukuran yang lebih kecil. Potongan daun tersebut diletakkan di atas

nampan yang telah dialasi koran dan dikeringanginkan di dalam ruangan agar

tidak terpapar sinar matahari langsung. Pengeringan dilakukan sampai daun

benar-benar kering dan bertekstur remah. Daun yang sudah kering dihaluskan

dengan blender hingga menjadi serbuk, kemudian diayak menggunakan saringan

kawat kasa berjalinan 0.5 mm. Sebanyak 500 g daun direndam dalam etil asetat

dengan perbandingan 1:8 (w/v) dan diulang sebanyak 3 kali (Nailufar 2011).

Cairan hasil rendaman disaring menggunakan corong kaca yang dialasi kertas

saring dan ditampung dalam labu penguap, kemudian diuapkan dengan

menggunakan alat rotary evaporator bertekanan 240 mbar pada suhu 50 ºC.

Ekstrak yang diperoleh berbentuk cairan kental, lengket, dan berwarna hijau pekat

(Gambar 2). Hasil ekstraksi dimasukkan ke dalam botol ekstrak dan disimpan

dalam lemari es bersuhu ± 4 ºC, hingga dilakukan pengujian pada tikus.

A B C

4

Gambar 2 Pengeringan daun (A), penghalusan (B), pengayakan (C), penyaringan

cairan hasil rendaman (D), ekstraksi daun T. vogelii (E), ekstrak (F)

Pengujian Toksisitas Akut pada Tikus

Menurut Djojosumarto (2008) toksisitas menggambarkan potensi suatu zat

dalam menimbulkan kematian langsung pada hewan tingkat tinggi. Toksisitas

dinyatakan dalam LD50, yakni dosis yang mematikan 50% dari hewan uji

(umumnya tikus) yang dihitung dalam mg/kg berat badan (bb). Pada penelitian ini

pengujian toksisitas akut dilakukan pada tikus putih (Rattus norvegicus strain

albinous). Hewan uji didapat dari Fakultas Peternakan IPB. Tikus yang digunakan

berumur 2 sampai 3 bulan dengan kisaran bobot 150 sampai 210 g (Direktorat

Pupuk dan Pestisida 2004).

Pada pengujian ini, tahap pertama yang disiapkan adalah memasukkan 25

ekor tikus ke dalam 25 kandang pengujian. Pada kandang disiapkan mangkuk

untuk wadah makanan dan gelas sebagai tempat minum tikus selama pengujian

(Gambar 3).

Gambar 3 Kandang pengujian (A), layout kandang pengujian (B)

Pengambilan data pada pengujian ini dilakukan dengan 2 tahapan, yaitu

pada pra-perlakuan dan pasca-perlakuan. Pada kedua tahapan pengujian tersebut

tikus diberi pakan berupa gabah sebanyak 20 g setiap hari dan ditimbang setiap 24

jam (Gambar 4). Pengambilan data konsumsi pakan pada pra-perlakuan dilakukan

selama 5 hari. Bobot tikus sebelum dan setelah pengambilan data pra-perlakuan

ditimbang. Pengambilan data konsumsi pra-perlakuan ini untuk mengetahui

jumlah rerata konsumsi pakan gabah sebelum aplikasi dan memastikan bahwa

konsumsi pakan gabah pada pra-perlakuan tidak berbeda nyata secara statistik

D

A B

E

C

F

A B

5

pada setiap taraf perlakuan. Data konsumsi yang didapat, dikonversi ke 100 g

bobot tikus menggunakan rumus (Priyambodo 2012):

C: konsumsi pakan tikus (g). : rata-rata konsumsi pakan tikus (g). m: rata-rata

bobot tubuh tikus (g).

Gambar 4 Pakan gabah (A), penimbangan pakan (B)

Menurut Direktorat Pupuk dan Pestisida (2004) perlakuan pengujian

toksisitas akut pada tikus putih dilakukan pada 5 ulangan dengan 4 taraf pengujian

bertingkat. Dosis yang dipilih pada pengujian ini adalah 25, 50, 100, dan 200

mg/kg bb. Keempat dosis perlakuan tersebut secara berturut-turut setara dengan

konsentrasi ekstrak 0.5%, 1%, 2%, dan 4% untuk volume cekok 1 ml yang

diberikan pada tikus berbobot 200 g. Namun, pada pengujian ini konsentrasi 4%

tidak dapat diujikan karena pada konsentrasi tersebut ekstrak tidak dapat terlarut

secara merata dengan pelarut, pengemulsi, dan aquades. Oleh karena itu,

digunakan konsentrasi 3 % untuk dosis 200 mg/kg bb, sehingga volume cekok

yang diberikan adalah 4/3 kali dari konsentrasi 4%. Persiapan ekstrak untuk

pengujian toksisitas akut dilakukan dengan menimbang ekstrak sesuai kebutuhan,

kemudian ditambahkan pelarut tween 80 dan metanol (1.2%). Ekstrak yang telah

dicampur pelarut dan pengemulsi kemudian dikocok menggunakan pengocok

ultrasonik, setelah tercampur merata ditambahkan aquades sampai tanda tera.

Beberapa hasil penelitian pada berbagai hama menunjukkan bahwa ekstrak T.

vogelii efektif menyebabkan mortalitas serangga pada konsentrasi 0.1% sampai

2%, sehingga dipilih dosis pengujian yang jika dikonversikan ke konsentrasi

nilainya berada diantara dan lebih tinggi dari konsentrasi tersebut. Pada kontrol

diberikan aquades yang telah dicampur dengan tween 80 dan metanol (1.2%)

(Gambar 5). Pemberian ekstrak dilakukan satu kali (single dose) untuk setiap

perlakuan. Perlakuan pada tikus dilakukan secara oral atau melalui mulut dengan

sonde lambung, yaitu jarum khusus dengan panjang sekitar 5 cm dan berujung

tumpul secara intragastrik atau langsung ke dalam lambung. Pemberian ekstrak

dilakukan satu kali (single dose) untuk setiap perlakuan. Pengamatan dilakukan

pada 15 dan 30 menit serta 1, 2, dan 4 jam setelah perlakuan. Data yang diamati

yaitu mortalitas dan gejala sebelum kematian. Tikus yang mati kemudian

ditimbang bobot tubuhnya (Gambar 6).

A B

D

6

Gambar 5 Penimbangan ekstrak (A), pengocok ultrasonik (B), ekstrak untuk

pengujian toksisitas akut (C), penambahan pelarut dan pengemulsi

pada kontrol (D)

Gambar 6 Sonde lambung (A), proses pencekokan (B), penimbangan bobot tikus

yang mati setelah perlakuan (C)

Pada pasca-perlakuan dilanjutkan pengamatan mortalitas tikus dan

penimbangan pakan setiap hari selama 14 hari (Direktorat Pupuk dan Pestisida

2004). Pengambilan data konsumsi pasca-perlakuan berguna untuk mengetahui

perbedaan konsumsi pakan tikus setelah aplikasi pada semua taraf perlakuan.

Penimbangan bobot tikus dilakukan setiap hari selama 14 hari untuk mengetahui

pola perubahan bobot tubuh setelah aplikasi yang dijadikan parameter kesehatan

tikus. Hal ini dilakukan untuk mengetahui ada tidaknya perubahan ketahanan

tubuh atau kesehatan tikus setelah dilakukan pemberian ekstrak.

Data mortalitas tikus digunakan untuk menghitung LD50. Dalam penelitian

ini, perhitungan nilai dan rentang LD50 menggunakan rumus perhitungan

Thompson dan Weil (Loomis 1978). Nilai LD50 dihitung dengan rumus sebagai

berikut:

Log m = Log D + d (f+1)

m: nilai LD50 (mg/kg bb). D: dosis terkecil. d: log kelipatan dosis. f: faktor dalam

tabel Weil.

Rentang LD50 dihitung menggunakan rumus:

Rentang LD50 = Log m ± 2d .δf

Log m: log nilai LD50. d: log kelipatan dosis. δf: faktor dalam tabel Weil.

A B C D

A B C

7

Pengamatan Patologi Anatomi (PA)

Pengamatan PA dilakukan dengan melakukan nekropsi pada tikus yang mati

karena perlakuan dan tikus yang dimatikan di akhir perlakuan dengan

menggunakan kloroform (Malole dan Pramono 1989). Nekropsi berguna untuk

mengetahui perubahan kondisi organ dalam tikus setelah perlakuan. Informasi

yang didapat dari hasil nekropsi juga berguna untuk membandingkan efek pada

organ di semua taraf perlakuan. Nekropsi dilakukan dengan membedah tikus dan

melihat perubahan organ dalam seperti hati, lambung, usus, paru-paru, dan otak.

Tahap pertama nekropsi adalah menyayat kulit dan otot di bagian ventral

sampai ke bagian di bawah leher. Selanjutnya, dilakukan penyayatan pada kulit

kepala untuk memudahkan pengambilan bagian otak. Pada saat pembedahan,

organ dalam seperti hati, lambung, usus, paru-paru, dan otak diambil dan

dipisahkan dengan menggunakan pinset dan scapel bedah. Tahapan terakhir

adalah pengamatan pada organ dalam tikus. Perubahan pada organ dalam diamati,

dicatat, dan didokumentasikan sebagai data kualitatif (Gambar 7).

Gambar 7 Peralatan bedah (A), tikus yang mati setelah perlakuan (B), tikus

yang sudah dibedah (C)

Pengolahan data

Rancangan percobaan yang digunakan adalah rancangan acak lengkap

dengan 5 kali ulangan untuk masing-masing perlakuan. Perhitungan konversi

konsumsi pakan tikus diolah dengan menggunakan Microsoft Excel 2013. Data

hasil konversi dianalisis ragam menggunakan Statistical Analysis System (SAS)

for Windows versi 9.1.3 dengan uji lanjut pada taraf nyata α=5%. Analisis

toksisitas dilakukan dengan mencari nilai dan rentang LD50 menggunakan rumus

perhitungan Thompson dan Weil, sedangkan data kualitatif dari hasil uji patologi

anatomi ditampilkan dalam bentuk deskripsi.

A B C

8

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mortalitas merupakan peubah utama yang diamati dalam uji toksisitas. Data

mortalitas hewan uji diperlukan untuk menentukan nilai LD50. Berdasarkan data

pada Tabel 1, terlihat adanya perbedaan mortalitas tikus pada setiap taraf

perlakuan. Mortalitas tikus meningkat seiring dengan peningkatan dosis. Pada

kontrol dan dosis 25 mg/kg bb tidak terjadi mortalitas. Dosis yang lebih tinggi,

yaitu 50, 100, dan 200 mg/kg bb mengakibatkan mortalitas sebanyak 20%, 40%,

dan 100%. Nilai ini menunjukkan bahwa ekstrak daun T. vogelii pada dosis

tertentu dapat menyebabkan mortalitas pada tikus.

Tabel 1 Mortalitas tikus setelah aplikasi

Dosis (mg/kg bb) N (ekor)a r (ekor)

b Mortalitas (%)

0 (Kontrol) 5 0 0

25 5 0 0

50 5 1 20

100 5 2 40

200 5 5 100 a

jumlah ulangan; a jumlah kematian tikus

Daun T. vogelii mengandung bahan aktif tefrosin, deguelin, dan rotenon

yang termasuk golongan senyawa rotenoid. Senyawa rotenoid dapat menghambat

transfer elektron di dalam mitokondria sehingga pembentukan ATP dalam proses

respirasi seluler berkurang, sehingga sel kekurangan energi (Hollingworth 2001).

Respirasi seluler merupakan jalur katabolik (penghasil energi) yang merombak

molekul-molekul kompleks menjadi senyawa yang lebih sederhana. Proses utama

katabolisme adalah respirasi seluler yang merombak gula dan bahan organik

lainnya menjadi karbondioksida dan air. Setelah perombakan tersebut, energi

yang tersimpan dalam molekul organik dapat digunakan untuk melaksanakan

kerja sel. Energi merupakan dasar bagi seluruh proses metabolisme (Campbell et

al 2002). Pemberian ekstrak daun T. vogelii yang kelompok bahan aktifnya

rotenoid diduga dapat menghambat atau mengurangi pembentukan ATP sehingga

proses metabolisme pada tikus terganggu dan dapat menyebabkan terjadinya

mortalitas pada dosis yang tinggi.

Data mortalitas tikus diolah untuk dicari nilai LD50, yakni dosis yang

mematikan 50% dari hewan uji yang dihitung dalam satuan mg/kg bb. Kegunaan

nilai LD50 antara lain untuk mengklasifikasikan derajat toksisitas zat kimia,

evaluasi dampak keracunan yang tidak disengaja, sebagai dasar perencanaan

penelitian sub-akut dan kronik pada hewan, serta memberikan informasi mengenai

reaktivitas suatu populasi hewan (Lu 1995).

Berdasarkan hasil perhitungan Thompson dan Weil diketahui bahwa nilai

LD50 dari ekstrak daun T. vogelii adalah sebesar 92.897 mg/kg bb, artinya

setengah populasi hewan uji akan mengalami mortalitas pada dosis tersebut.

Kisaran nilai dari LD50 ekstrak daun T. vogelii adalah 92.185 sampai 93.608

mg/kg bb. Berdasarkan klasifikasi toksisitas zat kimia menurut WHO ekstrak

daun T. vogelii diklasifikasikan sebagai zat yang bersifat sangat toksik, karena

9

LD50 ekstrak dalam bentuk cairnya berada diantara nilai 20-200 mg/kg bb. Makin

rendah nilai LD50 makin beracun pestisida tersebut. Pestisida akan berbahaya bila

melampaui dosis tertentu yang membahayakan (Djojosumarto 2008).

Kidd dan James (1991) menyatakan bahwa LD50 rotenon adalah sebesar 132

mg/kg bb. LD50 ekstrak daun T. vogelii yang didapat dalam pengujian ini berada

dibawah LD50 rotenon. Hal ini disebabkan karena jenis kelamin yang dipakai

dalam pengujian tidak seragam. Pada pengujian ini digunakan 3 ekor tikus betina

dan 2 ekor tikus jantan untuk masing-masing perlakuan. Lu (1995) menyatakan

bahwa terdapat perbedaan antara tikus jantan dan tikus betina. Tikus betina

cenderung lebih peka terhadap senyawa kimia. Jenis kelamin tikus yang

mengalami kematian pada pengujian ini mayoritas betina, meskipun pada dosis

tertinggi, yaitu 200 mg/kg bb terjadi kematian pada semua hewan uji. Tikus betina

yang lebih rentan terhadap toksikan menyebabkan lebih banyak terjadi mortalitas

setelah aplikasi. Mortalitas digunakan untuk menghitung nilai LD50. Penggunaan

tikus betina menurunkan nilai LD50, sehingga nilai LD50 dalam pengujian ini lebih

rendah dari LD50 senyawa rotenon yang merupakan senyawa paling aktif dalam T.

vogelii. Jika pengujian dilakukan pada semua tikus jantan, diduga nilai LD50 yang

dihasilkan akan lebih besar dari nilai LD50 rotenon.

Efek toksik dari satu senyawa tidak hanya ditunjukkan oleh mortalitas pada

hewan uji, tetapi dapat juga digambarkan oleh peubah lain seperti pengaruhnya

terhadap konsumsi pakan dan bobot tubuh, yang merupakan respon bertingkat (Lu

1995). Pada penelitian ini diambil data konsumsi harian dari tikus selama 5 hari

sebelum dan 14 hari setelah aplikasi. Pakan yang dipilih yaitu gabah dengan

pertimbangan bahwa gabah mengandung unsur-unsur yang diperlukan oleh tikus.

Kebutuhan dasar tikus adalah 45% sampai 50% karbohidrat, 20% sampai 25%

protein, 5% lemak, 5% serat kasar, 4% sampai 5% abu, serta vitamin (Smith &

Mangkoewidjojo 1988). Kebutuhan tikus tersebut dapat dipenuhi oleh gabah yang

mengandung 75% karbohidrat dan 8% protein serta penyusun lainnya seperti

lemak, serat, dan abu (Haryadi 2008).

Pengaruh pemberian ekstrak daun T. vogelii terhadap konsumsi pakan dan

bobot tubuh dapat dilihat pada Tabel 2 dan 3. Berdasarkan Tabel 2, pada dosis

tertentu konsumsi pakan setelah perlakuan mengalami penurunan. Pada kontrol

dan dosis 25 mg/kg bb konsumsi pakan sebelum dan setelah perlakuan tidak

berbeda nyata. Penurunan konsumsi pakan yang nyata terjadi pada tikus yang

diberi ekstrak dosis 50 dan 100 mg/kg bb. Data konsumsi sebelum dan setelah

perlakuan pada dosis 200 mg/kg bb tidak dapat dibandingkan karena 100% hewan

uji mati setelah aplikasi. Data konsumsi tersebut menunjukkan bahwa efek toksik

dari pemberian ekstrak daun T. vogelii terhadap penurunan konsumsi pakan hanya

terjadi pada perlakuan dosis 50 dan 100 mg/kg bb, sedangkan pada kontrol dan

perlakuan dosis 25 mg/kg bb tidak muncul efek toksik. Lu (1995) menyatakan

kondisi ini terjadi karena tikus mengalami efek pemulihan akibat pemberian dosis

dalam kadar yang masih relatif rendah.

10

Tabel 2 Konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi

Dosis ekstrak

(mg/kg berat badan)

Konsumsi pakan tikus (g)

Sebelum Setelah

0 (Kontrol) 6.30 ± 0.29 a 6.38 ± 0.29 a

25 6.58 ± 1.00 a 6.29 ± 1.10 a

50 6.14 ± 0.35 a 4.99 ± 0.42 b

100 6.17 ± 0.90 a 3.89 ± 1.68 b

200 6.79 ± 0.96 -

Rerata konsumsi 6.40 ± 0.28 a 5.39 ± 1.18 a aAngka-angka pada baris yang sama yang diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan

nilai yang tidak berbeda nyata pada taraf uji 5% (uji selang berganda Duncan)

Pada Tabel 3, bobot tikus setelah aplikasi menunjukkan bahwa terjadi

penurunan bobot tikus pada semua dosis di hari pertama setelah perlakuan,

kecuali kontrol. Penurunan bobot tertinggi pada hari pertama setelah perlakuan

terjadi pada dosis 200 mg/kg bb. Hal ini terjadi karena tikus mengalami diare

setelah perlakuan. Kondisi ini menggambarkan adanya gangguan pada organ di

sistem saluran cerna tikus. Namun, bobot tikus meningkat kembali mulai hari

kedua setelah perlakuan. Peningkatan kembali bobot terjadi karena pemberian

dosis yang singkat atau kadar dosis yang relatif rendah sehingga efek toksikan

pada tikus dapat berpulih (Lu 1995).

Tabel 3 Rerata bobot tubuh tikus pada sebelum dan setelah perlakuan

Waktu Bobot tikus (g) pada dosis (mg/kg bb)

Kontrol 25 50 100 200

Sebelum perlakuan 168.90 174.43 169.02 188.50 161.43

Setelah perlakuan (hari ke-)

1 169.11 172.17 164.58 180.88 152.21

2 170.69 176.27 160.29a 200.41

b -

3 171.22 174.75 156.50 200.30 -

4 173.57 179.42 160.82 203.00 -

5 174.19 182.82 160.96 205.26 -

6 174.85 181.34 163.06 208.21 -

7 177.43 185.44 166.78 211.21 -

8 177.97 184.38 164.01 209.79 -

9 177.58 186.17 164.70 209.42 -

10 180.13 190.53 166.66 214.11 -

11 180.94 191.46 166.70 212.90 -

12 182.06 191.63 168.45 215.55 -

13 182.67 192.79 166.62 217.53 -

14 183.27 192.41 170.64 218.33 - a 4 ulangan;

b 3 ulangan sampai hari ke-14 setelah perlakuan

11

Hasil Pengamatan Patologi Anatomi

Gambar 8 Pembendungan pada organ hati dan paru-paru pada kontrol (A dan B),

dosis 25 mg/kg bb (C dan D), dosis 50 mg/kg bb (E dan F), dan dosis

100 mg/kg bb (G dan H)

A B

C D

E F

G H

12

`

Gambar 9 Pembendungan (kongesti) organ hati (A), pembendungan paru-

paru (B), peradangan usus (entritis) (C), peradangan lambung

(gastritis) (D) pada tikus perlakuan 200 mg/kg bb

Hasil pengamatan patologi anatomi menunjukkan bahwa secara umum

perubahan organ dalam terjadi pada hati dan paru-paru. Pada semua dosis terjadi

pembendungan pada hati, baik pada tikus yang mati maupun tikus yang dimatikan

di akhir perlakuan. Hal ini terjadi karena hati merupakan organ terbesar dan

terlibat dalam metabolisme toksikan serta memiliki kapasitas yang lebih tinggi

untuk mengikat zat-zat kimia dibanding organ lain (Lu 1995). Kerentanan hati

terhadap toksikan berhubungan dengan fungsinya yang berkaitan dengan

peredaran darah dan zat yang terdapat di dalamnya. Pada kontrol, hati mengalami

pembendungan karena tikus dieuthenasia menggunakan kloroform yang dapat

menginduksi kerusakan hati secara akut (Koeman 1987). Perubahan kondisi organ

paru-paru juga terjadi di semua dosis (Gambar 8). Dosis tertinggi tidak hanya

menyebabkan perubahan pada organ hati dan paru-paru tetapi juga pada usus dan

lambung (Gambar 9). Peradangan pada usus dan lambung merupakan indikator

terganggunya sistem saluran cerna (Lu 1995).

A B

C D

13

SIMPULAN DAN SARAN

Simpulan

Nilai LD50 dari ekstrak daun T. vogelii adalah sebesar 92.897 mg/kg bb,

dengan rentang nilai 92.185 sampai 93.608 mg/kg bb. Peningkatan dosis

berbanding lurus dengan peningkatan kematian tikus. Dosis 50, 100, dan 200

mg/kg bb menyebabkan kematian sebesar 20%, 40%, dan 100%. Pemberian

ekstrak menyebabkan penurunan bobot tikus pada hari pertama setelah perlakuan,

kemudian kembali meningkat karena terjadi pemulihan. Perubahan organ dalam

yang terjadi antara lain pembendungan pada hati dan paru-paru, serta peradangan

pada usus dan lambung.

Saran

Perlu penelitian lebih lanjut tentang uji toksisitas sub-kronis dan kronis dari

ekstrak daun T. vogelii.

14

DAFTAR PUSTAKA

Abizar M dan Prijono D. 2010. Aktivitas insektisida daun dan biji Tephrosia

vogelii J. D. Hooker (leguminosae) dan ekstrak buah Piper cubeba L.

(Piperaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana (F.) (Lepidoptera:

Crambidae). JHPT Trop 10(1):1-12.

Campbel NA, Reece JB, Mitchell LG. 2002. Biologi Ed ke-5 Jilid I. Jakarta (ID):

Erlangga

Caboni P, Sarais G, Angioni A, Garau VL, Cabras P. 2005. Fast and versatile

multi residue method for the analysis of botanical insecticides on fruits and

vegetables by HPLC/DAD/MS. J Agric Food Chem. 53(22):8644-8649.

Delfel NE. Tallent Wh. Carlson DG. Wollf IA.1970. Distribution of rotenone and

deguelin in Tephrosia vogelii and separation of retonoid-rich fractions. J

Agric Food Chem 18(3):385-390.

Direktorat Pupuk dan Pestisida. 2004. Pedoman Metode Pengujian Toksisitas

Akut Formulasi pada Tikus. Ikan dan Cacing Tanah. Jakarta (ID):

Direktorat Jenderal Bina Sarana Pertanian-Departemen Pertanian.

Djojosumarto P. 2008. Teknik Aplikasi Pestisida Pertanian. Yogyakarta (ID):

Kanisius.

Efal A. 2007. Gambaran histopatologi ginjal tikus putih pada uji toksisitas sub-

kronis fraksi asam amino non-protein daun lamtoro merah (Acacia villosa).

[skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Febriani A. 2011. Aktivitas insektisida ekstrak biji Annona squamosa, minyak

atsiri, daun Cinnamomum multiflorum, ekstrak daun Tephrosia vogelii, dan

campuran ketiganya terhadap larva Plutella xylostella (Lepidoptera:

Yponomeutidae) [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Fitria D. 2012. Toksisitas ekstrak Tephrosia vogelii dan Alpinia galanga terhadap

Myzus persicae pada tanaman cabai [skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian

Bogor.

Gaskins M, White GA, Martin FW. 1972. Tephrosia vogelii: a source of rotenoids

for insecticidal and piscicidal use. [Internet]. [diunduh 2013 Januari17].

Tersediapada:http://gears.tucson.ars.ag.gov/book/chap9/tephrosia.html

Haryadi. 2008. Teknologi Pengolahan Beras. Yogyakarta (ID): Universitas Gajah

Mada Press.

Hollingworth RM. 2001. Inhibitor and uncouplers of mitochondrial oxidative

phosphorylation. 1169-1227. Di dalam: Nailufar N. 2011. Aktivitas

insektisida ekstrak daun Tephrosia vogelii (Leguminosae) dan buah Piper

aduncum (Piperaceae) terhadap larva Crocidolomia pavonana [skripsi].

Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Juliana ED. 2012. Keefektivan ekstrak Annona muricata dan Tephrosia vogelii

Hook. terhadap mortalitas Bemisia tabaci pada tanaman cabai [skripsi].

Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Kardinan A. 2002. Pestisida Nabati: Ramuan dan Aplikasi. Jakarta (ID): Penebar

Swadaya.

15

Kidd H, James D. 1991. The Agrochemicals Handbook. Ed. Ke-3. The Royal

Society of Chemistry. Cambridge, England. Di dalam:http://pmep.cce.

cornell.edu/profiles/extoxnet/pyrethrins-ziram/rotenone-ext.html

Koeman JH. 1987. Pengantar Umum Toksikologi. Yogyakarta (ID): Universitas

Gajah Mada Press.

Loomis. T. 1978. Toksikologi Dasar. Donatus I, penerjemah. Semarang (ID):

IKIP Semarang Press. Terjemahan dari: Essentials of Toxicology

Lu FC. 1995. Toksikologi Dasar: Asas. Organ Sasaran dan Penilaian Risiko.

Jakarta (ID): Universitas Indonesia Press.

Malole MBM. Pramono CSU. 1989. Penggunaan Hewan-Hewan Percobaan di

Laboratorium. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Muliya E. 2010. Selektivitas ekstrak Piper retrofractum dan Tephrosia vogelii

terhadap Nilaparvata lugens dan Cyrtorhinus lividipennis [skripsi]. Bogor

(ID): Institut Pertanian Bogor.

Nailufar N. 2011. Aktivitas insektisida ekstrak daun Tephrosia vogelii

(Leguminosae) dan buah Piper aduncum (Piperaceae) terhadap larva

Crocidolomia pavonana. [skripsi] Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

Priyambodo S. 2003. Pengendalian Hama Tikus Terpadu. Ed ke-3. Jakarta (ID):

Penebar Swadaya.

Priyambodo S. 2012. Buku Praktikum Vertebrata Hama. Bogor (ID): IPB Press.

Smith JW, Mangkoewidjojo. 1988. Pemeliharaan. Pembiakan dan Penggunaan

Hewan Percobaan di Daerah Tropis. Jakarta (ID): Universitas Indonesia

Press.

16

LAMPIRAN

Lampiran 1 Analisis ragam konsumsi gabah sebelum aplikasi pada uji kolom

Sumber

keragaman

db Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

tengah

F hitung Pr > F

Model 4 1.574824 0.3937060 0.67 0.6187

Galat 20 11.706720 0.5853360

Total terkoreksi 24 13.281544

Lampiran 2 Konsumsi gabah sebelum aplikasi pada uji kolom

Dosis ekstrak

(mg/kg bb)

ulangan Pengelompokan

Berdasarkan

Duncan

Rataan Standar

deviasi

Kontrol 5 A 6.2980 0.28665310

A

25 5 A 6.5800 0.99591666

A

50 5 A 6.1420 0.34665545

A

100 5 A 6.1720 0.90469332

200

5

A

A

6.7920

0.95604393

Lampiran 3 Analisis ragam konsumsi gabah setelah aplikasi pada uji kolom

Sumber

keragaman

db Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

tengah

F hitung Pr > F

Model 3 18.47209444 6.15736481 6.08 0.0072

Galat 14 14.16675000 1.01191071

Total terkoreksi 17 32.63884444

Lampiran 4 Konsumsi gabah setelah aplikasi pada uji kolom

Dosis ekstrak

(mg/kg bb)

ulangan Pengelompokan

Berdasarkan

Duncan

Rataan Standar

deviasi

Kontrol 5 A 6.3820 0.29371755

A

25 5 A 6.2940 1.09612043

A

50 4 A 4.9925 0.41532116

B

100 4 B 3.8875 1.68308001

17

Lampiran 5 Analisis ragam konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi

pada uji baris terhadap kontrol

Sumber

keragaman

db Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

tengah

F hitung Pr > F

Model 1 0.01764 0.01764 0.21 0.6594

Galat 8 0.67376 0.08422

Total terkoreksi 9 0.69140

Lampiran 6 Konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi pada uji baris

terhadap kontrol

Waktu ulangan Pengelompokan

Berdasarkan

Duncan

Rataan Standar deviasi

Sebelum 5 A 6.2980 0.28665310

A

Setelah 5 A 6.3820 0.29371755

Lampiran 7 Analisis ragam konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi

pada uji baris terhadap dosis 25 mg/kg bb

Sumber

keragaman

db Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

tengah

F hitung Pr > F

Model 1 0.20449 0.204490 0.19 0.6773

Galat 8 8.77332 1.096665

Total terkoreksi 9 8.97781

Lampiran 8 Konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi pada uji baris

terhadap dosis 25 mg/kg bb

Waktu ulangan Pengelompokan

Berdasarkan

Duncan

Rataan Standar deviasi

Sebelum 5 A 6.580 0.99591666

A

Setelah 5 A 6.294 1.09612043

Lampiran 9 Analisis ragam konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi

pada uji baris terhadap dosis 50 mg/kg bb

Sumber

keragaman

db Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

tengah

F hitung Pr > F

Model 1 2.93633389 2.93633389 20.59 0.0027

Galat 7 0.99815500 0.14259357

Total terkoreksi 8 3.93448889

18

Lampiran 10 Konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi pada uji baris

terhadap dosis 50 mg/kg bb

Waktu ulangan Pengelompokan

Berdasarkan

Duncan

Rataan Standar deviasi

Sebelum 5 A 6.1420 0.34665545

Setelah 4 B 4.9925 0.41532116

Lampiran 11 Analisis ragam konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi

pada uji baris terhadap dosis 100 mg/kg bb

Sumber

keragaman

db Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

tengah

F hitung Pr > F

Model 1 11.597645 11.59764500 6.90 0.0341

Galat 7 11.772155 1.68173643

Total terkoreksi 8 23.369800

Lampiran 12 Konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi pada uji baris

terhadap dosis 100 mg/kg bb

Waktu ulangan Pengelompokan

Berdasarkan

Duncan

Rataan Standar deviasi

Sebelum 5 A 6.1720 0.90469332

Setelah 4 B 3.8875 1.68308001

Lampiran 13 Analisis ragam rerata konsumsi gabah sebelum dan setelah

aplikasi pada uji baris

Sumber

Keragaman

db Jumlah

Kuadrat

Kuadrat

tengah

F hitung Pr > F

Model 1 2.24896889 2.24896889 3.49 0.1038

Galat 7 4.50712000 0.64387429

Total terkoreksi 8 6.75608889

Lampiran 14 Rerata konsumsi gabah sebelum dan setelah aplikasi pada uji baris

Waktu ulangan Pengelompokan

Berdasarkan

Duncan

Rataan Standar deviasi

Sebelum 5 A

A

6.396 0.28058867

Setelah 4 A 5.390 1.18211675

19

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Cirebon pada tanggal 18 April 1992 sebagai anak

pertama dari pasangan Bapak Samsul Hady dan Ibu Yuyun Yuningsih. Tahun

2010 penulis lulus dari SMA Negeri 2 Bogor. Pada tahun yang sama penulis

diterima di Departemen Proteksi Tanaman, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian

Bogor melalui jalur Undangan Saringan Masuk IPB (USMI) dengan seleksi nilai

rapor.

Selama mengikuti perkuliahan, penulis mengikuti magang di laboratorium

Vertebrata Hama pada alih tahun 2011/2012 dan menjadi asisten praktikum untuk

mata kuliah Manajemen Vertebrata Hama pada tahun 2012. Pada tahun 2013

penulis menjadi Ketua Pekan Kreativitas Mahasiswa (PKM) di bidang penelitian

yang berjudul “Pemanfaatan Bagian Daun dan Biji Kacang Babi (Tephrosia sp.)

untuk mengendalikan Tikus Sawah (Rattus argentiventer) dan Tikus Rumah

(Rattus ratus diardii). Program tersebut diselenggarakan dan didanai oleh

Direktorat Perguruan Tinggi (DIKTI).

Penulis juga aktif dalam kegiatan organisasi dengan menjadi anggota divisi

Pengembangan Sumber Daya Manusia (PSDM) di Himpunan Mahasiswa Proteksi

Tanaman (HIMASITA) IPB pada tahun 2011/2012. Selama menjadi anggota

HIMASITA penulis aktif di berbagai kegiatan organisasi tersebut. Setelah non-

aktif dari HIMASITA penulis masih terlibat di beberapa kepanitiaan kampus

dengan menjadi bendahara Pekan Olahraga dan Seni Proteksi Tanaman

(PORSITA) dan anggota divisi Humas pada acara National Plant Protection

Event.