toksiko ekstasi11(1)

32
MAKALAH TOKSIKOLOGI INTOKSIKASI Methylen dioxi methyl amphetamine (MDMA) Di susun oleh : 1. Luqman Hakim (201310410311102) 2.Melvy Rosalina Ritansa (201310410311290) Jurusan Farmasi Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Malang

Upload: luqmanppt

Post on 11-Nov-2015

48 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

MAKALAH TOKSIKOLOGI INTOKSIKASI Methylen dioxi methyl amphetamine (MDMA)

Di susun oleh :

1. Luqman Hakim (201310410311102) 2.Melvy Rosalina Ritansa (201310410311290)

Jurusan FarmasiFakultas Ilmu KesehatanUniversitas Muhammadiyah Malang2015

BAB I PENDAHULUAN Narkoba pertama kali dibuat oleh orang asing dan disebar luaskan didunia, Penyalahgunaan zat atau obat dari hari ke hari semakin meningkat, bahkan penyalahguna tidak terbatas pada orang dewasa tetapi telah menyeret anak-anak. Salah satu dampak penggunaan NAPZA adalah timbulnya efek ketergantungan yang umumnya dapat berdampak bagi kesehatan seseorang bahkan dalam kehidupan sosial. Pil ekstasi banyak dikonsumsi anak-anak maupun orang dewasa, kebanyakan anak muda menggunnakan pil ekstasi karena kurangnya perhatian orangtua, selain itu proses pembelian dan penggunaannya lebih mudah dan praktis. Perilaku menyimpang tumbuh dikalangan masyarakat akibat kurang seimbangnya masalah ekonomi terutama remaja indonesia yang sering menggunakan obat minuman keras dan obat terlarang. Psikotropika termasuk golongan obat keras tertentu, dalam undang-undang RI No.5 tahun 1997 mengenai definisi obat psikotropika adalah zat atau obat alamiah atau sintesis bukan narkotika yang bersifat psikoaktif, dapat menyebabkan perubahan aktivitas mental dan menimbulkan ketergantungan psikis dan fisik bila tanpa pengawasan. Sedangkan menurut medis, psikotropika adalah obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, berkhasiat psikoaktif pada pasien sistem saraf pusat dan mempengaruhi fungssi psikis, kelakuan atau tingkah laku (kejiwaan/mental). Menurut UU No. 5 tahun 1997 terbagi menjadi 4 golongan, yaitu : Golongan I adalah psikotropika dengan daya adiktif yang sangat kuat, dilarang digunakan untuk terapi dan hanya untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan, sepertiMDMA/ekstasi, LSD dan STP. Golongan II adalah psikotropika dengan daya adiktif kuat, akan tetapi berguna untuk pengobatandan penelitian, contohnya amfetamin, metilfenidat atau ritalin. Golongan III adalah psikotropika dengan daya adiksi sedang dan berguna untuk pengobatan dan penelitian (lumibal, buprenorsina, pentobarbital, Flunitrazepam dan sebagainya). Golongan IV yaitu jenis psikotropika yang memiliki daya adiktif ringan serta berguna untuk pengobatan, seperti nitrazepam (BK, mogadon, dumolid), diazepam dan lain sebagainya.

KasusPenyidik polri memastikan Tn.A (22th) tewas akibat overdosis narkoba ketika berada di Diskotik stadium, tamansari jakarta barat. Berdasarkan hasil otopsi Tn.A positif mengkonsumsi MDMA.Setelah mengkonsumsi MDMA berlebih Tn.A mengalami gejala demam, nyeri dada, muntah dan kejang. Tn A sempat dilarikan ke rumah sakit namun meninggal saat diperjalanan.

BAB II PEMBAHASAN 2.1 Definisi dan Etiologi peyakitPsikotropika termasuk golongan obat keras tertentu, dalam undang-undang RI No.5 tahun 1997 mengenai definisi obat psikotropika adalah zat atau obat alamiah atau sintesis bukan narkotika yang bersifat psikoaktif, dapat menyebabkan perubahan aktivitas mental dan menimbulkan ketergantungan psikis dan fisik bila tanpa pengawasan. Sedangkan menurut medis, psikotropika adalah obat baik alamiah maupun sintetis bukan narkotika, berkhasiat psikoaktif pada pasien sistem saraf pusat dan mempengaruhi fungssi psikis, kelakuan atau tingkah laku (kejiwaan/mental). Pada kasus tersebut Tn.A menggunakan Methylen dioxi methyl amphetamine yang termasuk kedalam golongan I psikotropika. Obat golongan I yaitu obat yang tidak atau belum punya khasiat pengobatan yang jelas atau apabila disalah gunakan akan sangat merugikan perorangan atau tata kehidupan masyarakat. Sehingga diperlukan pengawasan yang sangat ketat pada peredarannya. Golongan ini digunakan untuk tujuan ilmu pengetahuan dan tidak digunakan untuk terapi, serta mempunyai potensi amat kuat untuk mengakibatkan ketergantungan. Methylen dioxi methyl amphetamine (MDMA) disintesis dan dipatenkan pada tahun 1914 oleh perusahaan obat merck dari jerman dan diteliti tahun 1950 oleh CIA. Obat digunakan luas untuk terapi psikologik pada tahun 1970 dan populer diguunakan untuk tujuan non medis (disalah gunakan). Ekstasi ditemukan kembali dan populer pada tahun 1980 di Inggris. Dengan berkembangnya seni musik keras (dance rock music), obat ini menjadi sangat populer sehingga disebut E yang mencerminkan transformasi kebudayaan, tingkah laku dan selera anak muda. Sepanjang tahun 1990-an konsumsi ekstasi meningkat dengan pesat ke seluruh penjuru dunia dan erat hubungannya dengan pesta, bar/diskotik dan musik keras. Ekstasi sering dikonsumsi dengan menelan tablet, bentuk permen dan dihirup. Provalensi pada konvensi obat psikotropika pada tahun 1971, ekstasi termasuk dalam golongan obat yang berbahaya. Ekstasi termasuk berpotensi besar terhadap ketagihan (adiksi) dan dalam bidang kesehatan masyarakat termasuk golongan yang kecil pengaruh terapinya tetapi berbahaya efek sampingnya. Karena hal itu maka kontrol terhadap distribusi dan penggunaannya diawasi ketat dan dilarang digunakan secara umum serta hanya terbatas dipakai untuk tujuan penelitian medis saja.Definisi ekstasi Ekstasi dapat didefinisikan sebagai suatu zat bersifat stimulan yang merupakan analogis dari amfetamin (Goldman, 1994). Ekstasi juga didefinisikan sebagai sesuatu yang melebihi kontrol tubuh dan emosi seseorang. Jika ditinjau dari definisi secara kimia, ekstasi merupakan suatu sintetik yang analogis dengan amfetamin C11H15NO2 yang digunakan untuk meningkatkan mood seseorang dan agen hallusinasi ( Merriam-Webster Dictionary).Overdosis (OD) atau kelebihan dosis terjadi apabila tubuh mengabsorbsi obat lebih dari ambang batas kemampuannya (lethal doses). Biasanya, hal ini terjadi akibat adanya proses toleransi tubuh terhadap obat yang terjadi terus menerus, baik yang digunakan oleh para pemula maupun para pemakai yang kronis.

Ciri-ciri korban Overdosis MDMA Tidak ada respon Tidur mendengkur Bibir dan kuku membiru Tubuh dingin dan kulit lembab Kejang-kejangGejala klinis pada kegawatdaruratan yang muncul akibat Overdosis adalah sebagai berikut: Penurunan kesadaran Frekuensi pernafasan < 12 kali/menit Pupil miosis (sering kali pin point)

2.2 Mekanisme MDMA Tujuan penggunaan dan cara kerja ekstasi Ekstasi merupakan derivat amfetamin yang dikenal sebagai 3,4- methylenedioxymethamphetamine (MDA). Seperti amfetamin yang lain, ekstasi merangsang pelepasan katekolamin dari presinaps. Ekstasi bersifat selektif terhadap neuron serotonin yang menyebabkan pelepasan serotonin yang banyak dan menghambat reuptake serotonin pada presinaps dengan reversal dari fungsi serotonin transporter (SERT). Maka, lebih banyak serotonin yang berkumpul di ruang sinaps (Hahn, 2009). Peningkatan level serotonin menyebabkan peningkatan rasa senang seperti empati, euforia, disinhibisi, dan peningkatan perasaan ingin disentuh dan bersosial (Hahn, 2009). MDMA merupakan obat simpatomimetik, banyak agen simpatomimetik yang berbeda menghasilkan sifat fisiologis dan toksikologi mereka melalui beberapa mekanisme yang berbeda. Keracunan sekunder untuk agen-agen ini biasanya menyajikan dengan tanda-tanda simpatomimetik klasik dan gejala yang termasuk takikardia, hipertensi, diaphoresis, hipertermia, agitasi, dan combativeness.Agen simpatomimetik menghasilkan fisiologis dan beracun berefek dengan 5 mekanisme yang berbeda, sebagai berikut: Mekanisme pertama melibatkan stimulasi langsung dari alpha dan reseptor beta-adrenergik. Albuterol adalah sangat umum digunakan langsung bertindak beta2-agonist. Mekanisme kedua melibatkan pelepasan langsung dari norepinefrin dari sitoplasma presinaptik melalui proses yang melewati eksositosis. Amfetamin dan turunannya bekerja melalui mekanisme ini. Mekanisme ketiga melibatkan stimulasi langsung reseptor adrenergik dan rilis langsung dari norepinefrin presinaptik. Dopamin adalah contoh klasik dari agen campuran bertindak. Mekanisme keempat melibatkan pencegahan penyerapan presinaptik norepinefrin. Dengan mencegah penyerapan, konsentrasi norepinefrin terbit di sinaps, menyebabkan stimulasi berlebihan dari reseptor adrenergik. Kokain dan antidepresan trisiklik menghasilkan efek simpatomimetik mereka terutama dengan menghambat penyerapan norepinefrin presinaptik. Mekanisme akhir melibatkan pencegahan metabolisme norepinefrin. Sebagai norepinephrine terutama dimetabolisme oleh enzim monoamine oxidase, inhibitor monoamine oxidase (MAOIs) adalah kelas obat yang menghasilkan efek simpatomimetik mereka melalui mekanisme akhir ini.

2.3 Efek dan Manifestasi Klinik Efek penggunaan ekstasi Ekstasi dapat menimbulkan berbagai keburukan terhadap sistem tubuh. Antaranya ialah efek pada sistem kardiovaskuler. Dengan penggunaan yang sedang, tetap dapat menyebabkan perubahan di mana penggunaan ekstasi menyebabkan peningkatan sistol dan diastol tekanan darah yang dibuat penelitiannya antara pengguna ekstasi dengan sampel yang diberi placebo (Gamma et al, 2000). Ekstasi juga memberikan efek neurotoksik yang dilihat dari dua garis besar yaitu dari pertama, dilihat dari segi riset neurobiologi, kedua, efek pada psikologi terhadap pengguna itu sendiri (Curran, 2000). Pada gangguan yang berkaitan dengan psikologi, hal yang dapat terjadi adalah seperti depresi, ansietas dan psikosis. Selain itu, terdapat juga beberapa efek samping yang didapati dari penggunaan ekstasi yaitu penurunan selera makan, peningkatan keringat, sensitif terhadap suhu yang dingin, mulut menjadi kering, sering dahaga, palpitasi dan sulit untuk konsentrasi et al, 2006). (Curran, 2000).Sistem saraf pusat (Otak) dan neurotransmitter serotonin. Terdapat juga beberapa efek samping yang bersifat akut seperti hipertermia. Akibatnya, mereka akan coba kompensasi keadaan ini dengan meminum air yang banyak. Namun, hal ini lebih membahayakan karena akan menyebabkan intoksikasi air seterusnya memicu kepada hiponatremia yang berat, kejang dan dapat berakibat fatal. Komplikasi lain seperti sindrom serotonin yaitu perubahan status mental, hiperaktivitas autonomik, dan abnormalitas neuromuskular . Penghentian ekstasi secara tiba-tiba pula dapat menimbulkan withdrawal syndrome yang ditandai dengan depresi yang terjadi sehingga beberapa minggu. Selain itu, dilaporkan juga terjadinya aggresifitas pada mereka yang berpuasa dari mengambil ekstasi (Katzung, 2007).Definisi Sistem saraf pusat terbagi kepada dua yaitu otak dan medulla spinalis. Otak merupakan organ penting yang dilindung oleh tulang kranium (tulang tengkorak) yang keras dan dilindungi oleh tiga lapisan pembungkus otak yang dinamakan meninges yaitu lapisan terluar adalah dura mater, diikuti oleh araknoid mater dan lapisan paling dalam adalah pia mater. Serotonin merupakan salah satu neurotransmitter yang terdapat di otak. Serotonin juga dikenali sebagai 5-hydoxytryptamine (5-HT) (Goldman, 1994). Sintesa dan degradasi serotonin Serotonin disintesa dari beberapa proses enzimatik dengan proses pertama dimulai dengan enzim tryptophan hydroxylase. Bahan bakunya adalah asam amino triptofan. Maka, konsentrasi triptofan dalam tubuh merupakan substrat yang penting sebagai prekursor pembentukan serotonin. Serotonin dimetabolisme oleh monoamine oxidase menjadi 5-hydroxyindoleacetic acid (5-HIAA). Hanya 1-2% konsentrasi serotonin yang terdapat dalam otak dan selebihnya terdapat dalam platlet, sel mast, dan sel enterokromaffin di mukosa intestinal. Oleh karena serotonin tidak dapat menembusi sawar otak, maka otak harus mensintesa sendiri neurotransmitter ini (Goldman, 1994).Jalur serotonergik Neuron serotonin paling banyak terdapat di bagian median dan dorsal nukleus raphe, caudal locus cereleus, area postrema dan area interpedunkular. Dari bagian medial dan dorsal ini, jalur ini proyeksi ke talamus, hipotalamus, dan ganglia basalis. Neuron medial juga proyeksi ke amigdala, korteks piriform, dan korteks serebral (Goldman, 1994). Jalur desending serotonin ini menginnervasi ke medulla spinalis, dan memodulasi sensitivitas terhadap rasa sakit. Pada badan pineal, ia mengandung 50x ganda kandungan serotonin berbanding kadar serotonin di otak dan mengandung semua enzim yang dibutuhkan untuk sintesis serotonin (Goldman, 1994). Melatonin merupakan hormon yang disintesa dari serotonin. Oleh karena aktivitas serotonin meningkat saat terjaga, arousal, dan berkurang saat REM sleep, maka dikatakan serotonin dalam badan pineal berfungsi dalam kontrol circadian system (Goldman, 1994).Reseptor serotonin Terdapat beberapa subtipe untuk reseptor serotonin. Pertama adalah reseptor 5- HT1A yang banyak letaknya di post sinaps di hipokampus. Pada hewan coba, dibuktikan bahwa stimulasi pada reseptor ini akan menyebabkan respon adaptif dan protektif terhadap stimulus yang tidak disukai. Selain itu, dikatakan juga reseptor ini turut berperan dalam sikap seksual seseorang (sexual behavior) (Goldman, 1994). Subtipe yang lain adalah 5-HT1B Terdapat juga subtipe 5-HT yang lokasinya paling banyak di presinaps substansia nigra dan globus pallidus. Apabila distimulasi, ia akan menghambat pelepasan serotonin dan berfungsi dalam negative feedback (Goldman, 1994). 5-HT 1C yang merupakan satu-satunya reseptor serotonin yang terdapat di pleksus koroidius. Stimulasi pada reseptor ini berfungsi untuk regulasi sintesa dan komposisi cairan serebrospinal. Reseptor ini juga terdapat di beberapa regio lain di otak dan ia dikatakan berperan dalam penyebab ansietas dan kenaikan nafsu makan (Goldman, 1994).Reseptor 5-HT 1D pula merupakan autoreseptor yang menghambat pelepasan serotonin dan merupakan reseptor postsinaps di striatum (Goldman, 1994). Reseptor 5-HT2 pula terdapat di postsinaps di hipokampus, korteks frontal, dan medulla spinalis. Antagonis yang selektif untuk reseptor ini menyebabkan slow-wave sleep pada manusia manakala agonis untuk reseptor ini memberikan efek stereotyped behavior pada hewan coba (Goldman, 1994). reseptor ini mempunyai daya affinitas yang lemah terhadap serotonin dan agonisnya tetapi kuat pada zat antagonis serotonin. Reseptor ini dijumpai pada korteks entorhinal , area postrema dan sistem saraf perifer. Studi invitro dan in-vivo membuktikan aktivasi pada reseptor ini menyebabkan inhibisi terhadap pelepasan asetilkolin di dalam korteks tetapi meningkatkan pelepasan dopamin di striatal dan sistem mesolimbik (Goldman, 1994). Beberapa bagian dalam otak dan fungsinya yang termasuk dalam bagian otak depan adalah talamus dan hipotalamus. Fungsi utama talamus adalah untuk proyeksikan input sensorik ke korteks serebri untuk dikenal pasti lokasi dan intensitas nyeri, sebagai organ pertama yang mendeteksi impuls sensorik, berfungsi juga dalam kesadaran, dan dalam kontrol motorik (Sherwood, 2007). bagian hipotalamus, ia berfungsi untuk regulasi berbagai fungsi homeostatis seperti temperatur, dahaga, produksi urin, dan selera makan. Ia juga memainkan peranan yang besar dalam emosi dan sikap asas seseorang (basic behaviour patterns) (Sherwood, 2007). Amigdala merupakan bagian dari sistem limbik. Sistem ini berfungsi sebagai perasaan subjektif yang merangkumi emosi, mood seperti kemarahan, ketakutan dan kegembiraan. Contohnya, fungsi amigdala adalah untuk memproses input dan memberikan efek emosi berupa ketakutan (Sherwood, 2007). Korteks serebri mempunyai banyak area tertentu menjalankan fungsi yang berbeda tetapi saling bersangkutan antara satu sama lain. Secara umumnya, fungsi korteks serebri adalah persepi sensorik, mengawal pergerakan yang volunter, bahasa, dan fungsi kompleks lain seperti berfikir, memori, membuat keputusan, kreativitas dan kesadaran (Sherwood, 2007). Badan pineal merupakan organ yang mensintesa hormon melatonin yang berfungsi dalam mengatur circadian rhythms. Bagian otak yang mengawal proses ini dinamakan nukleus suprakiasmatik yang terletak di atas optik kiasma tempat persilangan nervus III dari kedua mata menuju ke bagian otak yang berlawanan (Sherwood, 2007). Bagaimana melatonin berfungsi dalam proses ini dimulai dengan penangkapan sinyal cahaya oleh fotoreseptor spesifik di retina dan ditransmisikan ke daerah nukleus suprakiasmatik. Fotoreseptor yang dimaksudkan berbeda dengan fotoreseptor yang berfungsi untuk penglihatan yaitu reseptor batang dan rod. Terdapat protein spesifik pada reseptor ini yang dinamakan melanopsin, berfungsi untuk menghantar sinyal kepada badan pineal mengenai ada tidaknya cahaya di lingkungan melalui traktus retino-hipotalamik ke nukleus spinotalamik. Dari sini, nukleus ini akan meneruskan sinyal ke badan pineal (Sherwood, 2007). Melatonin merupakan hormon yang berfungsi dalam keadaan gelap di mana sintesanya meningkat 10x ganda. Hormon ini merangsang tidur secara semula jadi tanpa efek samping (Sherwood, 2007). Bagian otak yang lain adalah lokus sereleus. Bagian ini merupakan bagian utama yang mensuplai noradrenalin ke sistem saraf pusat. Peransangan oleh hormon ini melalui reseptor alfa dan beta akan merangsang terjadinya arousal (Berridge, 2.3. Ekstasi dan otak 2008).Ekstasi dan neurotoksisitas Ekstasi merupakan monoaminergik agonis yang dapat menghambat reuptake dan merangsang pelepasan serotonin, dan juga menyebabkan penurunan dopamin. Namun, akibat penyalahgunaan, ekstasi menyebabkan penurunan kadar serotonin di mana penelitian yang dilakukan terhadap hewan mendapati bahwa ekstasi menyebabkan penurunan serotonin otak, penurunan 5-hidroxyindolacetic acid (5- HIAA) dan inhibisi enzim tryptophan hydroxylase, serta penurunan 5-HT reuptake sites. Pada manusia, hasil yang didapati adalah terjadinya kerusakan pada akson terminal. Namun, bagaimana proses ini terjadi masih tidak diketahui (Curran, 2000). Penelitian dijalankan di John Hopkins University untuk mengkaji neuron spesifik yang rusak akibat penggunaan ekstasi. Hasil yang didapati membuktikan bahwa kerusakan serotonin sangat signifikan pada pengguna ekstasi dibanding dengan kelompok kontrol ( Kevin, 2008). Sebuah penelitian telah dilakukan untuk menilai efek toksisitas ini. Penelitian dilakukan pada mereka yang pernah menggunakan ekstasi dan hasil yang didapati adalah berkurangnya uptake site 5-HT pada terminal neuron. Positron emission tomographic (PET) yang merupakan salah satu alat untuk menilai fungsi otak menunjukkan bahwa konsekuensi toksisitas ekstasi pada manusia hakikatnya lebih parah dari hasil yang didapati dari eksperimental terhadap hewan coba ( Kelly, 2000). Penyalahgunaan ekstasi menyebabkan kerusakan pada akson terminal pada neuron serotonin tetapi badan sel pada neuron ini masih utuh (Yuan et al, 2002). Ekstasi dan penurunan fungsi kognitif Definisi fungsi kognitif adalah proses mental yang mengandung persepsi, memori, mengingat sesuatu dan berfikir ( The Free Dictionary). Efek ekstasi terhadap penurunan fungsi kognitif dapat terjadi secara direk dan indirek. Terjadinya secara direk adalah akibat dari sifat neurotoksin ekstasi yang mengakibatkan kerusakan pada akson terminal neuron serotonin. Terjadinya secara indirek adalah ekstasi menyebabkan penurunan sirkulasi serebral. Ini karena innervasi dari otak depan adalah dari neuron serotonin yang berasal dari mesensefalon (Kelly, 2000). Efek vasokonstriktor dari ekstasi menyebabkan peningkatan reffluks serotonin. Namun, fenomena ini dapat menyebabkan multi-infak dementia yang menyebabkan penurunan fungsi kognitif (Ferrington et al, 2005). Ekstasi juga menyebabkan penurunan memori di mana ia menyebabkan defek pada hipokampus, bagian otak yang berfungsi untuk konsolidasi memori jangka pendek kepada memori jangka panjang. Kerusakan pada bagian ini juga menyebabkan berkurangnya kemampuan daya ingat jangka pendek (mengulang sesuatu peristiwa setelah beberapa menit) dan daya ingat segera ( segera mengulang hal yang dikatakan oleh pemeriksa) (Kevin , 2008). Ekstasi dan gangguan psikologi Salah satu fungsi dari serotonin adalah untuk memberikan mood yang menyenangkan. Maka, penggunaan ekstasi dapat meningkatkan konsentrasi serotonin di sinaps. Namun, akibat penggunaan yang lama atau penggunaan akut dengan dosis yang tinggi, menyebabkan kerusakan pada akson terminal neuron serotonin menyebabkan penurunan level serotonin di sinaps. Hal inilah yang memicu terjadinya masalah psikologi seperti ansietas, depresi ringan dan paranoia. Masalah depresi pada pengguna ekstasi dibuktikan dengan pemberian obat antidepresan yang bekerja meningkatkan level serotonin ternyata memberikan efek yang baik (Curran, 2000). Ekstasi dan gangguan tidur Salah satu fungsi dari serotonin adalah mengontrol jam biologi badan (circadian rhytms) seperti rangsangan untuk tidur. Oleh karena itu, berkurangnya serotonin menyebabkan defek pada pola tidur seseorang (Curran, 2000). Hormon yang merangsang tidur adalah melatonin dalam proses circadian rhythm. Bahan baku untuk sintesa melatonin ini adalah serotonin. Maka, apabila serotonin berkurang, penghasilan melatonin turut berkurang lalu menyebabkan gangguan tidur (Sherwood, 2007).Ekstasi dan hipertermia Hiperaktivitas autonomik merupakan gejala utama toksisitas ekstasi dan hal ini berkait langsung dengan dosis yang digunakan. Mekanisme terjadinya hipertermia ini dimulai apabila amfetamin merangsang pelepasan katekolamin dan serotonin (Hahn, 2009)Pelepasan katekolamin akan mengaktifkan jaras simpatik. Hal ini menyebabkan vasokonstriksi pada kutan (cutaneous) menyebabkan kurangnya panas yang dibebaskan dari tubuh lalu terjadilah hipertermia. Hal ini dibuktikan apabila dengan pemberian obat yang mengembalikan pembuluh darah kutan ke diameter asal menurunkan risiko kematian pada kejadian hipertermia akibat ekstasi (Pedersen & Blessing, 2001). Potensiasi kematian sel neuron di korteks meningkat dalam keadaan hipertermik. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi hipertermik turut memicu kepada terjadinya efek neurotoksisitas pada pengguna ekstasi (Copeland et al, 2001). Laboratorium analisis narkoba dibedakan menjadi laboratorium produksi dan laboratorium analisis masing-masing merupakan laborarotium ilegal dan legal. Laboratorium tidak resmi disebut juga laboratorium clandestein, merupakan laboratorium produksi narkoba. Laboratorium resmi biasanya menganalisis barang bukti berupa tanaman dan barang bukti biologik. Barang bukti tanaman biasanya berbentuk mentah raw materials seperti batang, daun, bunga, biji juga serbuk tanaman ataupun bahan olahan bentuk powder, bubuk atau blok. Adapun barang biologik berupa darah, urine dan juga rambut. Rambut akan menimbulkan residu obat selama beberapa bulan, biasanya setelah menggunakan obat selama tiga bulan. Dalam urin terdeteksi setelah menggunakan obat beberapa hari atau minggu, dan dalam darah biasanya terdeteksi setelah penggunaan beberapa jam saja.

patofisiologi diketahui menyebabkan mual dan muntah telah diketahui. Koordinator utama adalah pusat muntah, kumpulan saraf saraf yang berlokasi di medulla oblongata. Saraf saraf ini menerima input dari :

Chemoreceptor Trigger Zone (CTZ) di area postrema Sistem vestibular (yang berhubungan dengan mabuk darat dan mual karena penyakit telinga tengah) Nervus vagus (yang membawa sinyal dari traktus gastrointestinal) Sistem spinoreticular (yang mencetuskan mual yang berhubungan dengan cedera fisik) Nukleus traktus solitarius (yang melengkapi refleks dari gag refleks)

Sensor utama stimulus somatik berlokasi di usus dan CTZ. Stimulus emetik dari usus berasal dari dua tipe serat saraf aferen vagus. Pusat muntah, disisi lateral dari retikular di medula oblongata, memperantarai refleks muntah. Bagian ini sangat dekat dengan nukleus tractus solitarius dan area postrema. Chemoreseptor Trigger Zone (CTZ) berlokasi di area postrema. Rangsangan perifer dan sentral dapat merangsang kedua pusat muntah dan CTZ. Afferent dari faring, GI tract, mediastinum, ginjal, peritoneum dan genital dapat merangsang pusat muntah. Sentral dirangsang dari korteks serebral, cortical atas dan pusat batang otak, nucleus tractus solitarius, CTZ, dan sistem vestibular di telinga dan pusat penglihatan dapat juga merangsang pusat muntah. Karena area postrema tidak efektif terhadap sawar darah otak, obat atau zat-zat kimia di darah atau di cairan otak dapat langsung merangsang CTZKortikal atas dan sistem limbik dapat menimbulkan mual muntah yang berhubungan dengan rasa, penglihatan, aroma, memori dan perasaaan takut yang tidak nyaman. Nukleus traktus solitaries dapat juga menimbulkan mual muntah dengan perangsangan simpatis dan parasimpatis melalui perangsangan jantung, saluran billiaris, saluran cerna dan saluran kemih.35 Sistem vestibular dapat dirangsang melalui pergerakan tiba-tiba yang menyebabkan gangguan pada vestibular telinga tengahReseptor sepeti 5-HT3, dopamin tipe 2 (D2), opioid dan neurokinin-1 (NK-1) dapat dijumpai di CTZ. Nukleus tractus solitarius mempunyai konsentrasi yang tinggi pada enkepalin, histaminergik, dan reseptor muskarinik kolinergik. Reseptor-reseptor ini mengirim pesan ke pusat muntah ketika di rangsang. Sebenarnya reseptor NK-1 juga dapat ditemukan di pusat muntah. Pusat muntah mengkoordinasi impuls ke vagus, frenik, dan saraf spinal, pernafasan dan otot- otot perut untuk melakukan refleks muntah.

Efek medis umum yang merugikanEfek akut dari MDMA memiliki onset awal 30 menit setelah asupan oral dan ditandai dengan kecemasan, takikardia, dan tekanan darah tinggi. Gejala termasuk diaforesis, bruxism, mengepalkan rahang, parestesia, mulut kering, peningkatan aktivitas psikomotor, dan penglihatan kabur. Dalam waktu 1 jam, efek simpatomimetik digantikan oleh perasaan relaksasi, euforia, dan peningkatan empati dan komunikasi. Sementara terang-terangan halusinasi pendengaran dan / atau visual yang jarang terjadi, pasien melaporkan peningkatan peningkatan taktil sensorik dan distorsi visual yang ringan, seperti lingkaran cahaya. Efek ini dataran tinggi sampai 90 menit dan kemudian berkurang lebih 3-4 jam.Banyak pengguna mencoba untuk memperpanjang efek ini dengan mengambil dosis tambahan dari obat. Namun, jika terlalu banyak MDMA tambahan yang dikonsumsi dalam satu sesi, individu melaporkan gejala yang tidak menyenangkan dari hyperarousal otonom terkait dengan perasaan gelisah, paranoia, dan kecemasan. Toleransi terhadap sifat psikoaktif dari MDMA berkembang pesat, dan pengguna tidak dapat mengembalikan efek euforia dengan dosis berulang. Sebaliknya, efek simpatomimetik mendominasi, menempatkan pasien pada risiko instabilitas kardiovaskular, aritmia, dan hipertermia.Selain itu, setelah efek akut dari MDMA, pengguna sering melaporkan periode 24- 48 jam ditandai dengan kelesuan, anoreksia, dan dysphoria. Periode ini dari kelesuan dikenal sebagai blues atau bahasa sehari-hari "bunuh diri Selasa" setelah digunakan akhir pekan ekstasi dan berbahaya karena obat lain sering co-tertelan untuk membantu meringankan "kecelakaan" setelah pemberian psikostimulan.Efek kardiovaskularHiperaktif otonom adalah fitur utama pada pasien dengan toksisitas MDMA dan tergantung dosis. Biasanya, MDMA hanya 1/10 efek stimulan SSP amfetamin. Mekanisme yang diusulkan adalah katekolamin dan 5-HT lonjakan amphetamine-diinduksi yang menyebabkan takikardia, hipertensi, dan hipertermia. Hipertermia sangat berbahaya karena banyak kasus melibatkan pasien menari untuk waktu yang lama dengan asupan cairan yang tidak memadai di ruang tari penuh sesak dengan suhu panas dan ventilasi yang buruk.Seperti amfetamin apapun, risiko disritmia jantung dan kolaps kardiovaskular selalu kemungkinan. Disritmia Fatal telah dilaporkan berikut penggunaan MDMA, mengakibatkan fibrilasi ventrikel dan detak jantung. Individu dengan penyakit jantung dan / atau paru yang mendasari dan kondisi yang sudah ada sebelumnya seperti sindrom Wolff-Parkinson-White sangat beresiko untuk gagal jantung dan aritmia yang fatal.Sindrom serotoninSindrom serotonin adalah suatu kondisi di mana 5-HT hasil hiperstimulasi reseptor sentral dalam temuan klasik hipertermia, perubahan status mental, ketidakstabilan otonom, dan otot diubah dan / atau kekakuan. MDMA menyebabkan pelepasan serotonin besar, dan berbagai laporan kasus menghubungkan toksisitas MDMA untuk sindrom serotonin. Mekanisme tidak jelas, tetapi efek langsung oleh MDMA di pusat termoregulasi dapat diperkuat oleh aktivitas berkelanjutan fisik, suhu tinggi, dan asupan cairan yang tidak memadai seperti yang diamati di rave party. Menari penuh semangat selama berjam-jam dalam kondisi ini dapat mempengaruhi pasien untuk hipertermia, dehidrasi, dan kerusakan otot yang menyebabkan rhabdomyolysis. Komplikasi lebih lanjut termasuk disseminated intravascular coagulation (DIC), hepatotoksisitas, dan gagal ginjal akut. Sebagian besar kasus keracunan telah istimewa dan tidak bergantung pada overdosis besar.HiponatremiaBerbagai kasus kejang dan kematian sekunder untuk hiponatremia telah dilaporkan. Terjadinya hiponatremia setelah digunakan MDMA adalah multifaktorial, yang berasal dari peningkatan asupan air, keringat berlebihan dengan tenaga fisik, dan pelepasan vasopressin yang mengarah ke sindrom pantas sekresi hormon antidiuretik (SIADH). Dalam kasus yang parah hiponatremia, pasien dapat mengembangkan edema serebral dengan kejang berikutnya dan, mungkin, koma. Pasien-pasien ini selalu menunjukkan osmolaritas urine tinggi dan ekskresi natrium terus meskipun osmolalitas serum rendah dan hiponatremia, yang konsisten dengan kriteria diagnosis SIADH. Dalam ED, selalu mempertimbangkan hiponatremia dengan edema serebral yang dihasilkan pada pasien dengan diketahui MDMA konsumsi yang menyajikan dengan perubahan status mental atau kejang.Efek neurologisMDMA, seperti amfetamin lain, dapat menyebabkan berbagai hasil neurologis fatal, termasuk perdarahan subarachnoid, infark serebral, perdarahan intrakranial atau. Mekanisme yang mendasari melibatkan lonjakan hipertensi jangka pendek dan gangguan berikutnya pembuluh darah otak, terutama pada pasien dengan malformasi arteriovenosa kongenital atau angioma serebral. Sementara kematian ini jarang terjadi, selalu mempertimbangkan amphetamine digunakan sebagai kemungkinan penyebab stroke.HepatotoksisitasBukti yang berkembang menunjukkan bahwa MDMA dapat membahayakan hati. Hepatotoksisitas berkisar dari luka hati tanpa gejala dengan konfirmasi ketinggian tes fungsi hati untuk gagal hati akut fulminan. Pola yang berbeda dari luka hati diakui, termasuk lesi jinak, virus hepatitis, nekrosis hati yang luas atau fokus, total kerugian dari parenkim hati dan fungsi disertai ensefalopati, edema serebral, dan kegagalan sistem multiorgan.Dalam pengaturan kelas III atau IV ensefalopati, tanpa transplantasi hati, angka kematian lebih dari 50%. Presentasi dari MDMA hepatotoksisitas bervariasi. Waktu menelan dan timbulnya gejala, serta dosis, tampaknya tidak berkorelasi dengan keparahan klinis, dan kekambuhan juga dapat terjadi karena penggunaan kronis. Penggunaan kronis MDMA menyebabkan perubahan fibrotik yang terkait dengan peningkatan kolagen I produksi oleh sel stellata.Histopatologi, hepatotoksisitas terkait dengan hipertermia menunjukkan gambaran nekrosis centrolobular dan steatosis microvesicular. Tanpa hipertermia ini, perubahan hepatotoksik mencatat konsisten dengan hepatitis kolestasis akut dengan eosinofil dan infiltrat makrofag. Alasan untuk pola yang berbeda dari cedera masih belum sepenuhnya dipahami, meskipun teori termasuk hipertermia, peningkatan penghabisan neurotransmitter, oksidasi amina biogenik, gangguan mitokondria, apoptosis, dan polimorfisme genetik. CYP2D6 mengkatalisis metabolisme MDMA dalam hati melalui O-demethylenation jalur. Jadi tanggapan atipikal yang MDMA mungkin berhubungan dengan polimorfisme genetik isoenzim ini. Subyek dikenal metabolisme lambat memiliki peningkatan kadar MDMA dan tingkat yang lebih rendah dari produk demethylenated setelah diberikan dua dosis 100 mg dengan masa jeda 24 jam dalam percobaan klinis. Secara klinis, sebuah metabolizer lambat mungkin berisiko lebih besar untuk mengembangkan toksisitas akut MDMA.Akhirnya, MDMA disintesis, dan sering sumber serta serta kemurnian obat ini tidak diketahui. Kita harus mempertimbangkan apakah toksisitas hati disebabkan oleh MDMA, senyawa psikoaktif lain yang terkandung dalam tablet ekstasi, kontaminan, atau coingestion obat lain. Namun demikian, MDMA dapat memberi efek berbahaya pada hati dan dapat menyebabkan kerusakan yang signifikan, terutama bila dikombinasikan dengan zat hepatotoksik lainnya.Efek neuropsikiatrik jangka panjangLiteratur terbaru menunjukkan kemungkinan komplikasi kejiwaan jangka panjang yang melibatkan penggunaan rutin MDMA. Efek jangka panjang mungkin terkait dengan penurunan serotonin reuptake transporter (SERT) fungsi dan angka. Pemulihan SERT mungkin waktu berminggu-minggu dan berbulan-bulan; akhirnya, penggunaan kronis dapat menyebabkan kerusakan permanen serotonergik akson dan terminal hemat sel tubuh. Pasien telah melaporkan gejala depresi, kecemasan, serangan panik, dan insomnia setelah mengakhiri penggunaan MDMA. Penelitian lebih lanjut melaporkan bahwa pasien yang menggunakan MDMA mengalami kesulitan berkonsentrasi dan gangguan memori jangka pendek. Meskipun banyak fokus di ED melibatkan mengelola efek toksik akut MDMA, mendidik pasien yang neurologis jangka panjang dan komplikasi kejiwaan mungkin terjadi.Manifestasi MDMA JENIS ZATINTOKSIKASIPUTUS ZAT

TANDA GEJALAGEJALA

AMFETAMIN(Ekstasi,Shabu)Over dosis : Kejang-kejang Hiperpireksia Dilatasi pupil Takhikardi Hipertensi Perilakumaladaptive Gangguan daya nilai Gangguan fungsiSocialKardiovaskuler : Palpitasi Angina, aritmia Hiper/hipotensi Keringat banyak Muka pucat/merahPernafasan : BronkodilatasiGastro Intetinal : Mual, diare Kramp abdominalGinjal : DiuresisEndokrin : Libido berubah ImpotensiFASE AWAL :DepresiAnsiestasAnergia,capek

2.4 Penatalaksanaan Penatalaksanaan terhadap akibat toksisitas dari amfetamine bertujuan untuk menstabilisasi fungsi vital, mencegah absorbsi obat yang lebih lanjut, mengeliminasi obat yang telah diabsorbsi, mengatasi gejala toksik spesifik yang ditimbulkan dan disposisi. Toksisitas amfetamine kurang berhubungan dengan kadar dalam serum, penatalaksanaan hanya berupa perawatan tidak spesifik gejala klinik yang ditimbulkan.1. Tindakan emergensi dan suportifMempertahankan fungsi pernafasan- Terapi agitasi: Midazolam 0,05-0,1 mg/Kg IV perlahan-lahan atau 0,1-0,2 mg/kg IM; Diazepam 0,1-0,2 mg/kg IV perlahan-lahan; Haloperidol 0,1-0,2/kg IM atau IV perlahan-lahan- Terapi kejang: Diazepam 0,1-0,2 mg/kg BB IV; Phenitoin 15-20 mg/kg BB infus dengan dosis 25-50 mg/menit; pancuronium dapat digunakan bila kejang tidak teratasi terutama dengan komplikasi asidosis dan atau rabdomiolisis- Terapi coma- Awasi suhu, tanda vital dan EKG minimal selama 6 jam

Terapi spesifik dan antidotum, pada amfetamine tidak ada antidotum khususAkan tetapi bisa diberikan sorbitol sebagai antidotum yang tidak spesifik.

Terapi tachiaritmia: propanolol atau esmolol

Terapi alternativ 10 g rasio arang / 1 g obat, Dosis minimal = 25 gUmumnya digunakan dengan sorbitol 25 g; beberapa regimen dosis 25 g PO q2hr atau 50 g q4hr tanpa sorbitol tidak diperkenankan memberikan sorbitol setelah dosis pertama karena risiko diare berat; menggunakan larutan. Dosis katarsis sekali sehari jika digunakan. Kocok keras sebelum digunakanBerikan dalam wadah tertutup dengan jerami; dapat menempatkan di atas es untuk meningkatkan rasa; campurkan 1: 3 soda untuk pediatri. Dosis beberapa digunakan dengan dapson, carbamazepine, digitoksin dan digoxin, fenobarbital, teofilin, meprobamate, kina.

Terapi hiperthermia: bila gejala ringan terapi dengan kompres dingin atau sponging bila suhu lebih dari 40oC atau peningkatan suhu berlangsung sangat cepat terapi lebih agresif dengan menggunakan selimut dingin atau ice baths. Bila hal ini gagal dapat digunakan Dantrolene. Trimethorfan 0,3-7 mg/menit IV melalui infus.

Terapi hipertensi: dengan bradikardi atau talhikardi bila ringan biasanya tidak memerlukan obat-obatan. Hipertensi berat (distolik > 120 mmHg) dapat diberikan terapi infus nitroprusid atau obat-obat lain seperti propanolol, diazoksid, khlorpromazine, nifedipin dan fentolamin. Gejala psikosa akut sebaiknya diatasi dengan supportive environment dan evaluasi cepat secara psikiatri. Gejala yang lebih berat dapat diberikan sedatif dengan khlorpromazin atau haloperidol.

.2. DetoksifikasiDetoksifikasi adalah proses menghilangkan racun (zat narkotika atau adiktif lain) dari tubuh dapat dilakukan secara medis dan nonmedis. Secara medis, terapi detoksifikasi dilakukan menggunakan berbagai macam cara. Cara pertama dengan melakukan pengurangan dosis secara bertahap dan mengurangi tingkat ketergantungan. Cara yang kedua dengan menggunakan antagonis morfin, yaitu suatu senyawa yang dapat mempercepat proses neuroregulasi (pengaturan kerja saraf). Cara yang ketiga dengan penghentian total. Tetapi, cara yang ketiga ini cukup berbahaya untuk dilakukan karena penghentian total pemakaian obat akan dapat menimbulkan gejala putus obat (sakaw) sehingga pada cara ini perlu diberi terapi untuk menghilangkan gejala-gejala yang timbul. Detoksifikasi bisa dilakukan dengan berobat jalan atau dirawat di rumah sakit. Biasanya proses detoksifikasi dilakukan terus menerus selama satu sampai tiga minggu, hingga hasil tes urin menjadi negatif dari zat adiktif. Detoksifikasi nonmedis yang sering dilakukan adalah dengan cara-cara yang kurang manusiawi, seperti disiram air dingin, dipasung dan lain sebagainya.

3. Rehabilitasi Setelah menjalani detoksifikasi hingga tuntas (tes urin sudah negatif), tubuh secara fisik memang tidak ketagihan lagi. Namun secara psikis, pada bekas pemakai narkoba biasanya sering timbul keinginan terhadap zat tersebut yang terus membuntuti alam pikiran dan perasaannya. Sehingga sangat rentan dan sangat besar kemungkinan kembali mencandu dan terjerumus lagi.Untuk itu setelah detoksifikasi perlu juga dilakukan proteksi lingkungan dan pergaulan yang bebas dari lingkungan pecandu, misalnya dengan memasukkan mantan pecandu ke pusat rehabilitasi.Rehabilitasi dilakukan agar pasien yang telah menempuh proses pengobatan, dapat kembali ke dalam kondisi seperti semula. Rehabilitasi atau pemulihan ini mencakup rehabilitasi secara fisik dan mental/psikis serta rehabilitasi secara sosial seperti memperbaiki hubungan dengan keluarga, teman-teman dan orang-orang lain di lingkungan sekitar

BAB IIIPENUTUPKesimpulan Narkoba atau NAPZA adalah bahan / zat yang dapat mempengaruhi kondisi kejiwaan / psikologi seseorang ( pikiran, perasaan dan perilaku ) serta dapat menimbulkan ketergantungan fisik dan psikologi. Yang termasuk dalam NAPZA adalah : Narkotika, Psikotropika dan Zat Adiktif lainnya. Overdosis (OD) atau kelebihan dosis terjadi apabila tubuh mengabsorbsi obat lebih dari ambang batas kemampuannya (lethal doses).Penyalahgunaan narkoba disebabkan oleh banyak faktor, baik faktor internal (keluarga, ekonomi, kepribadian) maupun eksternal (pergaulan, sosial/masyarakat). Sedangkan penyebab overdosis adalah pemakaian yang berlebihan setelah berhenti menggunakan narkoba, karena pemakaian napza dicampur dengan jenis napza yang lain, penggunaan NARKOBA golongan narkotik bersamaan dengan alkohol dan obat tidur/anti depresan, misalnya golongan barbiturat luminal, valium, xanax, mogadon/BK, dan lain-lain.Mekanisme dari MDMA sendiri merangsang pelepasan katekolamin dari presinaps. Ekstasi bersifat selektif terhadap neuron serotonin yang menyebabkan pelepasan serotonin yang banyak dan menghambat reuptake serotonin pada presinaps dengan reversal dari fungsi serotonin transporter (SERT). Maka, lebih banyak serotonin yang berkumpul di ruang sinaps (Hahn, 2009). Peningkatan level serotonin menyebabkan peningkatan rasa senang seperti empati, euforia, disinhibisi, dan peningkatan perasaan ingin disentuh dan bersosial (Hahn, 2009).Secara umum gejala-gejala pada pengguna NAPZA dapat diamati dengan terjadinya perubahan fisik, emosi dan perilaku. Namun ada pula tanda-tanda yang diperlihatkan sesuai dengan narkoba yang dikonsumsi oleh pengguna, sedangkan gejala overdosis dapat juga diketahui menurut narkoba yang digunakan.Pada dasarnya penatalaksanaan pada pengguna Napza adalah dengan detoksifikasi dan rehabilitasi, sedangkan pada overdosis, harus dibawa ke RS jika pertolongan pertama tidak berhasil dilakukan. Tidak ada terapi anti dotum yang khusus pada MDMA, bila bersamaan dengan tachiaritma makam diberi terapi tachiaritmia dan apabila bersama hipertensi diberi obat antihipertensi. PUSTAKAhttp://health.detik.com/read/2012/06/11/150157/1938121/763/reaksi-di-tubuh-saat-orang-konsumsi-ekstasihttps://www.google.co.id/search?q=mekanisme+mdma+menyebabkan+demam+dan+nyeri+dada&oq=mekanisme+mdma+menyebabkan+demam+dan+nyeri+dada+&aqs=chrome..69i57.26261j0j4&sourceid=chrome&es_sm=93&ie=UTF-8#q=mekanisme+ekstasi+yang+menyebabkan+demam+dan+nyeri+dadahttp://www.mediaindonesia.com/webtorial/ycab_old/?ar_id=NDk5http://groups.yahoo.com/group/cfbe/message/439http://nursenapza.blogspot.com/2009/11/over-dosis.htmlDarmono,(1950), Toksikologi narkoba dan alkohol. Universitas Indonesia Vijay chadha, Hand book of forensic medicine and toxicology medical jurispudence. Widjaya medika JakartaCopeland, J., W. Swift, R. Roffman, R. Stephen (2001), A random ized controlled trial of brief cognitive- behavioural interventions for cannabis use disorder. J. Subs abuse treatment 21 :55-64.Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 tahun 1997 tentang psikotropika