toean keboen dan petani, 1985.pdf

235
K A R L ). PELZER TOEAN KEBOEN DAN PETANI Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria

Upload: phungquynh

Post on 13-Jan-2017

572 views

Category:

Documents


131 download

TRANSCRIPT

KARL). PELZERTOEAN KEBOEN

DAN PETANIPolitik Kolonial dan Perjuangan Agraria

TOEAN KEBOEN DAN PETANI

KARL J. PELZER

TOEAN KEBOEN DAN PETANIPolitik Kolonial dan Perjuangan Agraria

di Sumatra Timur 1863 — 1947

241/ 986

PENERBIT SINAR HARAPAN

| C.v>1 - r . : ' / --------------------------- ‘

iJ • -'w

TOEAN KEBOEN DAN PETANI Politik Kolonial dan Perjuangan Agraria di Sumatra Timur 1863 — 1947

Oleh: Karl J. Pelzer

85/SP/01

Alih bahasa : J. Rumbo Disain Sampul: Natasa T.Judul Asli : Planter and Peasant, colonial policy and the agrarian struggle in

East Sumatera 1863-1947Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volken- kunde

’S-Gravenhage — Martinus Nijhoff 1978

Hak Cipta dilindungi Undang-undang

Penerbit Sinar Harapan, Anggota IKAPI Jakarta, 1985 Cetakan Pertama

Dicetak oleh : CV. Muliasari

I s i

Pendahuluan.................................................................................. 9Daflar T ab e l.................................................................................... i fDaflar Peta .......................................... ........................................... 10Bab I Keadaan Sejarah Sumatra Timur .............................. 17

b II Keadaan Geografis Sumatra T im ur.............................. 31h III Nienhuys dan para Perintis Onderneming.................... 51h IV Pertumbuhan Sumatra Timur: Pengusaha Onderne-

^ mingdan Petani, Kependudukan dan Perhubungan..... 65\ 7 Pr>iitik Aeraria : Usul-usul Pembaharuan dan Dampak-

Bab nya Terhadap Masyarakat............................................ 90vt Masalah Mengubah Konsesi Pertanian menjadi Sewa

Bat> Jangka Panjang............................................................. 112vtt Keberangkatan Orang Kulit Putih dan Harta Peningga-

Bab vu ft 1-9lannya.......................................................................... ^

Catatan .... v'ori t Pplzer ......................................................Daflar Karya Karl J. P e lzer....... .................................................... ^Daflar Kepustakaan ................... ^Ilustrasi ..................................................................................... 218Petal — XIII .......................

Studi ini ditujukan untuk Elizabeth Clark-PelzerDr. Chris Pelzer-WhiteIngrid Pelzer-Burgdan cucuku Eli Pelzer Burg

Pendahuluan

Studi ini berawal pada musim gugur 1940, ketika di luar dugaan, saya terpaksa tinggal selama tujuh minggu padahal direncanakan ha- nya satu minggu di Medan, ibu kota daerah perkebunan yang besar dan makmur, yang membentang sepanjang Selat Malaka dari Teluk Aru di Aceh sampai Labuan Batu di Sungai Barumun Panai. Selama kehadiran saya yang terpaksa ini, barulah saya mengetahui tentang ketegangan yang sedang terjadi antara para pengusaha perkebunan, sultan-sultan Indonesia dan Pemerintah Hindia Belanda. Ketegangan tersebut menyangkut urusan tanah yang diduduki oleh usaha-usaha onderneming*) atas dasar peijanjian pinjam-sewa, sedangkan kawula para sultan kehilangan hak mereka atas tanah-tanah itu. Ketiga pihak ingin sekali menyelesaikan kekusutan masalah hak-hak pertanahan antara para penguasa perkebunan Barat dan para petani Indonesia ini, tetapi mereka tidak dapat menyepakati syarat-syarat yang diper- lukan untuk melindungi hari depan kedua belah pihak, tanpa me- nyinggung kepentingan keuangan para sultan.

Almarhum Dr. H. Loos, Kepala Jawatan Pertanian untuk Sumatra, dan almarhum W.E.K Baron van Lynden, penanggung jawab sebuah kantor khusus untuk menyelidiki segala persoalan agraria (Bureau van Conversie), adalah orang-orang pertama yang membimbing saya mempelajari masalah pertanahan di Sumatra Timur. Saya juga mem- punyai kesempatan mendengar pandangan-pandangan almarhum Sul­tan Langkat mengenai masalah ini pada suatu wawancara yang dise- lenggarakan oleh tuan rumah saya yang murah hati, yaitu almarhum Dr. Mohammad Amir, seorang dokter di Tanjung Pura, sebuah kota di Kesultanan Langkat

Karena penelitian saya sebelum perang hanya menyangkut kolo- nisasi pertanian yang disponsori oleh pemerintah di Asia Tenggara, maka saya tidak berusaha mengikutsertakan suatu laporan mengenai sengketa agraria ini dalam tulisan saya, Pioneer Settlement in the Asia­tic Tropics. Hanya saya singgung secara ringkas pada suatu catatan kaki. (Pelzer, 1945, him. 201). Dalam kedudukan saya sebagai ahli un­tuk Asia Tenggara di Kantor Hubungan Pertanian Luar Negeri Depar- temen Pertanian Amerika Serikat dari 1945 sampai 1947, saya mem- punyai peluang untuk lebih dekat mengikuti perkembangan sengketa agraria dalam tahun-tahun segera sesudah Perang Dunia Kedua, se- suatu yang tidak mungkin saya lakukan jika saya tidak mempunyai kedudukan tadi.

9

Bantuan keuangan yang sangat bermanfaat dari Ford Foundation seiring dengan dukungan luas Universitas Yale memberi saya kesem- patan untuk memulai kembali penelitian saya mengenai masalah ag- raria di tahun 1954. Selama tahun akademis 1954-1955, saya berkesem- patan menyelidiki sejarah Sumatra Timur sebelum kedatangan peng- usaha-pengusaha onderneming yang pertama. Dalam upaya ini, saya dibantu oleh Joachim Hurwitz, pada waktu itu mahasiswa pasca-sarja- na dalam Program Penelitian Asia Tenggara, kemudian menjadi Di- rektur Museum Antropologi di Rotterdam. Dalam bulan September 1955, saya kembali ke Sumatra Timur dan melakukan penelitian de­ngan bantuan Clark E. Cunningham, pada waktu itu mahasiswa di Universitas Yale, sekarang Guru Besar Antropologi di Universitas In- Tia^ f ’ , an Kampto Utomo, seorang sarjana sosiologi pedesaan dari Institut Pertanian Bogor, sekarang Guru Besar Sosiologi Pedesaan di perguruan tinggi yang sama, dan dikenal sekarang sebagai Prof. Sajo-S n ar^116 r Z ™ * ini men8ambil manfaat besar dari keija la-

a, " S M u K n oleh kedua pembantu yang tak menge- kiman npnohnn'T a berminggu-minggu tinggal di pemukiman-pemu- gaan para DenghimiVri r” ana mereka sering harus mengalami kecuri- Clark CunninphanT m S?, yang meragukan maksud-maksud kami. Toba sebaeai Dpnph6”111 USa*ianya pada Peranan orang Batak

Sah’ semen^ara Kampto Utomo me-

ham telah menguraikan bfberaVa dS ^ 3Sal J&Wa' Clark Cunning' fi The Post War Migration of ^ dalam monogra‘dahan orang Batak Toha to East Sum^tra (Perpin-

Southeast A l i f s T u d i e f c u l S p ^ ke Sumatra Timur)’ Yalealias Sajogyo, telah menggunakan h^hT ! fS’ n° ‘ 5‘ K ^ P *0 utom0’ tesis Ph. D. yang diserahkan l- , apa data Penelitiannya dalamIndonesia disponsori oleh Pro^W F* Werth^mPertanian Universitas

nelitian di tempat-tempat^np8113? dan Kampto Utomo melakukan pe- meneliti berkas-berkas hadan.h para pen§huni tidak sah, saya haan perkebunan, dan Persatno.ft?11 pemerintah, perusahan-perusa- tuk menemukan data-data l.- engusa^a Perkebunan Sumatra un- usahaan-perusahaan yang momv. n masa tempau. Di antara per- terutama harus menyebut VprDn3 j Saya da am penelitian ini, saya nembah Maatschappij, H a n d i v Deli Maa*schappijen (VDM), Se- year Company, Hollandsch Amsterdam (HVA), Good-(HAPM), dan sejumlah ondernpm^ Ptentagen Maatschappijnson and Crosfield. uerne«»ng yang ada hubungan dengan Har-

Saya merasakan bahwa Negeri, Kementerian Pertanian? pejabat Kementerian**) Dalam

Kementerian Agraria bersikap sangat10

membantu, dan saya berutang budi kepada mereka. Saya ingin me- nyatakan terima kasih secara khusus kepada Sumarman S.H., Sekre- taris Jenderal Kementerian Dalam Negeri, dan kepada Ir. Gunung Iskandar, Sekretaris Jenderal Kementerian Pertanian. Dengan mere­ka saya pertama kali berkenalan pada tahun 1940 waktu berkunjung ke Sumatra Timur. Surat-surat perkenalan dari kementerian-kemente- rian di Jakarta membuka kebanyakan pintu bagi saya di Medan tetapi tidak selalu memberi dukungan seperti yang diharapkan surat-surat tersebut

Dalam perjalanan menuju Indonesia, saya singgah beberapa hari di Negeri Belanda untuk membicarakan keadaan pertanahan itu de­ngan bekas pejabat-pejabat Hindia Belanda yang memiliki pengeta- huan tangan-pertama mengenai Sumatra Timur. Saya sangat berteri- ma kasih kepada Ir. R. van de Wal, yang dengan segala senang hati mengizinkan saya memikrofilmkan sejumlah dokumen masa sebelum perang yang belum pernah diterbitkan. Sekretaris Oostkust van Suma­tra Instituut, almarhum Ir. F.JJ. Dootjes, telah membantu saya dalam upaya saya mencari bahan-bahan bersejarah.

Secara khusus saya harus menyatakan terima kasih kepada Rid- der van Rappard, kepada almarhum Ir. R. van der Molen dan rekan- rekan serta para pembantu mereka di VDM, untuk bantuan-bantuan mereka yang sangat saya hargai. Bantuan yang sangat berharga saya peroleh pula di Kantor Tata Bumi, di bawah pimpinan Radjamin.

Saya kembali ke Indonesia bulan Januari 1967 dalam rangka pe- nelitian berkas-berkas bekas AVROS, sekarang bemama GAPPERSU, untuk catatan-catatan yang meliputi tahun-tahun 1954-1958 dalam rangka melengkapi data saya sampai kepada masa nasionalisasi on- derneming-onderneming Belanda pada tahun 1958.

Kepada semua mereka ini dan orang-orang lainnya yang telah memberikan saya dukungan dan keramahtamahan selama tinggal di Sumatra Timur, saya sangat berutang budi.

Saya juga berterima kasih kepada istri saya Elizabeth C. Pelzer, dan rekan saya, Adrienne V. Suddard, yang selama bertahun-tahun menjadi editor setia pada penerbitan-penerbitan yang dikeluarkan oleh Yale Southeast Asia Studies, lebih daripada yang dapat saya ungkapkan dengan kata-kata. Saya sungguh sangat menghargai; kare- na tanpa dorongan terus-menerus dari mereka buku ini mungkin be­lum akan selesai.

1 Juli 1977 Karl J. PelzerNew Haven, Connecticut Professor Emiritus

Yale University

11

*) Dalam seluruh buku ini untuk kata Inggris plantation digunakan dua kata terjemahan: 1. ondememing, jika yang dimaksud adalah perusahaan perkebunan dengan modal asing, lengkap dengan pe- rangkat administrasinya; untuk selanjutnya kata ’’onderneming” ini tidak usah dicetak miring. 2. perkebunan, dipakai dalam pe- ngertian umum atau dimiliki pribadi dan yang bentuknya tidak mempunyai ciri-ciri sebagaimana dimiliki onderneming asing. Pem- bedaan ini dimaksud untuk lebih memperjelas status dan penger- tian politik yang dimaksud dengan plantation — pent.

**) Ketika itu digunakan istilah Kementerian untuk sebutan Departe- men — pent

12

Daftar Tabel

1. Harga-harga tembakau menurut golongan tanah (1903-1930)... 422. Ekspor Kesultanan Deli, 1863-1867 .......................................... 573. Perluasan dan penciutan industri tembakau sebagaimana

terlihat dari jumlah onderneming yang menanam tembakau... 734. Pertumbuhan industri karet onderneming di Sumatra Timur .... 765. Daerah yang ditanami teh dan onderneming kelapa sawit di

Sumatra Timur dan Aceh ......................................................... 786. Komposisi penduduk berdasarkan suku di Sumatra Timur

(1930)....................................................................................... 867. Jumlah orang yang tinggal di onderneming dan persentase

seluruh penduduk sekitar 1930 ................................................. 878. Syarat-syarat utama untuk kontrak-kontrak contoh................. 1069. Tahun berakhirnya konsesi-konsesi tembakau di Langkat, Deli

dan Serdang............................................................................ 12010. Tahun berakhirnya konsesi-konsesi untuk onderneming tana-

man keras di Langkat, Deli dan Serdang.................................. 12111. Perkiraan pembayaran tanah sekarang dan pembagiannya

antara para sultan dan perbendaharaan negara...................... 12512. Kategori jumlah penuntut yang berhak atas tankh dan luas

tanah yang ditawarkan onderneming-onderneming besar....... 12713. Jumlah penuntut yang berhak dan jumlah keluarga tanpa hak

menuntut................................................................................ 12814. Persentase daerah di dalam onderneming, cadangan hutan,

dan "daerah bebas” ................................................................. 13415. Tanah Langkat, Deli, dan Serdang dengan golongan-golongan

penggunaan tanah yang besar.................................................. 13516. Pemasaran tembakau bungkus Deli oleh negara-negara konsu-

men yang besar....................................................................... 13717. Luas tanah yang ditanami, nilai panen, jumlah yang dibayar

untuk berbagai keperluan, dan angkatan kerja untuk industri tembakau ................................................................................ 138

18. Pembayaran-pembayaran oleh industri tembakau yang meng-untungkan masyarakat............................................................ 139

19. Jumlah keluarga yang bertempat tinggal di proyek kolonisasiSisirGunting.............................. ............................................. 146

20. Perubahan-perubahan semasa perang dalam industri-industrikaret, kelapa sawit, dan teh di Sumatra Timur.......................... 155

13

21. Penduduk Sumatra Timur menurut sensus 1930 dan dataJepang sampai 10 Maret 1943.................................................. 156

22. Penduduk Sumatra Timur dari golongan-golongan suku besar 15723. Penduduk onderneming dalam tahun 1942 dan 1945, dinyata-

kan dalam arti ’’konsumen penuh” ......................................... 157

14

Daftar Peta

I. Sumatra Timur dan Tapanuli: sungai-sungai, jalan-jalan, ja- lan-jalan kereta api, dan kota-kota.

II. Bukit Barisan Sumatra Utara dengan penduduk Batak yang padat dan daerah Semangko yang lengang.

III. Peta ringkas Daerah Batak dengan Danau Toba.IV. Diagram blok isometris dari palung Toba.V. Tiga bagian skematis di seberang bukit Batak, memperlihat-

kan urutan tahap pembentukan kawah Toba.VI. Tanah-tanah di Sumatra Timur laut

VII. Tata letak onderneming tembakau.Vila. Tata letak onderneming tembakau.

VIII. Onderneming Saentis dan PercutIX. Perluasan dan penciutan industri tembakau di Sumatra

Timur.X. Daerah onderneming di Sumatra Timur.

XI. Golongan-golongan suku di Indonesia.XII Pemukiman-pemukiman tanah rendah sepanjang sungai yang

dapat dilayari dan pemukiman-pemukiman dataran tinggi yang tidak berhubungan ke sungai-sungai.

XIII. Peta ringkas J.G. Frowein dari sistem irigasi yang diusulkan untuk perkebunan Lingga.

15

Bab I Keadaan Sejarah Sumatra Timur

Selama abad ke-17, ke-18, dan paruh pertama abad ke-19, Aceh dan Siak adalah dua kerajaan terpenting di Sumatra. Aceh di ujung utara dan Siak di bagian tengah pulau itu dipisahkan oleh sejumlah negara sungai kecil yang terletak di antara sungai Tamiang di utara dan sungai Barumun Panai di selatan. Negara-negara pantai timur ini yang terdiri dari Tamiang, Langkat, Deli, Serdang, Batu Bara, Asahan, Kualu, Panai, dan Bila yang diperebutkan oleh Aceh dan Siak. Ber- gantian mereka mengaku berdaulat atas daerah-daerah tersebut Pa- da awal abad ke-17 Aceh yang pegang kekuasaan, kemudian beralih kepada Siak pada akhir abad ke-18. Pada permulaan abad ke-19 nega- ra-negara antara Tamiang dan Barumun Panai mengakui Sultan Siak sebagai raja mereka. Tak satu pun dari negara-negara pantai timur pernah menarik perhatian yang serius negara-negara Eropa sebelum tahun 1820.

Inggrislah yang pertama kali menunjukkan perhatian yang sung- guh-sungguh terhadap Sumatra Timur. Bagian Sumatra yang sampai saat itu tak diacuhkan, mulai menjadi penting pada awal tahun 1800 sebagai pasar bagi barang-barang ekspor Penang maupun sumber ba- rang-barang impor, terutama lada. Dalam bulan Mei 1820, sekretaris gubernur Perusahaan Hindia Timur Inggris di Penang menulis surat kepada R. Ibbetson, salah seorang anggota stafnya, ’’Gubernur dalam Dewan memandang bahwa waktunya telah tiba kita berikhtiar mem- peroleh pengetahuan lebih luas dan mendalam tentang pelabuhan- pelabuhan dan rakyat di daerah-daerah berdekatan ini, dan bahkan untuk mengambil, beberapa keuntungan perniagaan yang tetap dari usaha ini dengan langkah-langkah yang bijaksana.” 11 Dalam surat itu juga diberikan instruksi terperinci untuk mensurvai pantai timur Ta­miang di utara sampai ke Jambi di selatan. 2) Tetapi karena Ibbetson jatuh sakit, ia tidak jadi melaksanakan tugas itu. Pada tahun 1822 pemerintah Penang mengirim kapal penjelajah Mautilus di bawah pimpinan Letnan Rose dan Letnan Morseby untuk mensurvai pantai itu dan soal-soal kenavigasian pantai tersebut serta mempersiapkan serangkaian petunjuk-petunjuk pelayaran. Kemudian pada tanggal 1 Januari 1823, John Anderson diperintahkan untuk melaksanakan tu­gas yang terpaksa ditinggalkan Ibbetson itu. Anderson meninggalkan Penang pada tanggal 9 Januari 1823 menuju Sumatra Timur dan kem- bali tanggal 9 April tepat tiga bulan kemudian.

17

Anderson cocok sekali untuk tugas itu. Penguasaan bahasa Me- layunya yang sangat lancar, suatu modal yang tak temilai harganya, telah sangat memudahkan hubungan-hubungan pribadinya dengan para pedagang Sumatra Timur yang secara teratur datang ke Penang. Hubungan-hubungan ini ternyata merupakan sumber-sumber infor- masi yang penting. Beberapa dari kenalannya juga ditemuinya selama misinya dan dalam berbagai segi turut memberikan sumbangan bagi keberhasilannya.

Dibekali surat-surat kantor gubemur untuk setiap penguasa, ia harus mengunjungi: Sultan Kejuruan Muda di Langkat, Sultan Pangli- ma di Deli, Sri Sultan Ahmut di Bulu Cina, Sultan Besar dari Ser­dang, Bendahara di Batu Bara, Yang di Pertuan Asahan, dan Sultan Siak. Anderson berlayar ke hulu-hulu sungai, daerah-daerah yang be- lum pemah ditempuh orang Barat Ia menghimpun informasi yang banyak sekali mengenai sebagian Sumatra yang sebelumnya benar- benar merupakan daerah tak dikenal. Perairan yang dangkal dan ku- rangnya keterampilan berlayar di pihak kapten kapal k icP ekspedisi Jessey memaksa Anderson membongkar sauh di lepas pantai dan menggunakan sebuah kapal kecil untuk pelayaran sungainya (hanya di Sungai Siak, kici itu dapat berlayar menuju hulu sampai di pela- buhan sungai itu sendiri). Di berbagai tempat arus sungai yang deras membuat pelayaran ke hulu dengan sampan kecil sangat berat dan lambat sehinggai Anderson lebih suka berjalan kaki melalui jalan kecil sepanjang tepi sungai dari satu kampung ke kampung lain.

Anderson seminggu sampai sepuluh hari menelusuri tiap sungai yang besar, mengadakan wawancara dengan penguasa-penguasa se- tempat dan juga, apabila mungkin, dengan kepala-kepala terkemuka dari distrik dan desa. Laporan Anderson, yang mencakup uraian ten- tang perjalanannya secara terperinci dari hari ke hari dan sejarah berikut gambaran tentang Pantai Sumatra Timur antara Tanjung In­tan dan Siak, adalah peristiwa penting dalam kepustakaan karena ia merupakan data pertama yang sistematis mengenai geografi, ekonomi, etnologi dan politik dari berbagai negara sepanjang pantai timur itu.

Kependudukan

Peta-peta bahasa suku Sumatra memperlihatkan suatu jalur lebar tentang penduduk yang berbahasa Melayu mulai dari Aceh sampai Asahan dengan memisahkan Batak Karo dan Batak Simalungun dari ‘ perairan Selat Malaka. Akan tetapi, pada waktu kunjungan Anderson, daerah pemukiman Batak Karo dan Batak Simalungun lebih mende- kat ke pantai, membuat jalur Melayu itu menjadi lebih sempit daripa-

*) Kapal bertiang dua dengan layar-layar besar — pent

18

da yang dilukiskan pada peta-peta bahasa yang modern. 3) Anderson mcnemukan bahwa hanya kampung-kampung pada bagian sungai-su­ngai yang lebih ke hilir itulah yang dihuni oleh masyarakat-ma- syarakat Islam yang berbahasa Melayu. Penduduk di situ keturunan para imigran Melayu dari Jambi, Palembang, dan Semenanjung Ma­laya, dan juga beberapa keturunan Minangkabau, Bugis dan Jawa yang telah menetap di sepanjang pantai. Tidak jauh dari garis-pantai, jalur berbahasa Melayu ini berbatasan dengan tempat-tempat pemu- kiman suku Batak; sehingga pada hakikatnya sebagian besar pendu­duk Sumatra Timur terdiri dari orang Batak. Mungkin sekali di masa lampau suku Batak Karo menghuni pantai Langkat, Deli, dan Ser- dang, sementara orang Batak Simalungun di pantai Batu Bara. Mere­ka seperti juga suku Batak Toba masih menduduki pantai antara su­ngai-sungai Asahan dan Barumun, tetapi berangsur-angsur terdesak atau telah berbaur dengan unsur pendatang Melayu. Anderson meli- hat berlangsungnya perkawinan campuran antara orang Melayu dan wanita Batak di Langkat dan Deli. Kepala-kepala suku Melayu Batu Bara mengawani putri-putri kepala-kepala suku Batak Simalungun untuk memperoleh hak-hak istimewa berdagang dan untuk menjamin keselamatan pribadi di daerah Batak. 4) Menurut tambo, pendiri ke- luarga penguasa Deli adalah seorang India Islam yang bekerja untuk Sultan Iskandar Muda dari Aceh. Orang India ini datang ke Deli ta­hun 1630, ketika daerah ini di bawah kekuasaan Aceh, dan ia menga- wini putri kepala suku Karo di Sunggal. Beberapa keturunannya ka- win dengan putri-putri keluarga-keluarga Karo terkemuka lainnya. Sultan yang terakhir sering menceritakan dengan bangga bahwa ia adalah separuh India dan separuh Batak Karo dan menghubungkan lengan dan tangannya yang berbulu kepada leluhumya dari India. Bekas keluarga-keluarga penguasa Asahan dan Langkat konon adalah keturunan Batak Toba atau Batak Karo, tetapi telah masuk Islam se- jak beberapa generasi. Kampung-kampung Islam dewasa ini yang ter- letak di hulu tepi-tepi sungai Deli atau Belawan di dalam jalur Me­layu, pada waktu kedatangan Anderson berada di luar jalur Melayu itu dan termasuk daerah Karo penyembah berhala, sebagaimana ter- bukti dengan adanya babi-babi di desa-desa itu. Orang-orang Batak yang beralih memeluk agama Islam segera mulai mengikuti adat ke- biasaan Melayu, menggunakan dua bahasa, mengambil nama-nama Islam, dan menganggap diri mereka sebagai orang-orang Melayu. 5) Namun mereka tidak pemah melupakan marga Bataknya.

Selama masa penelitiannya, Anderson menggunakan banyak se­kali waktunya untuk masalah jumlah penduduk, dan akhimya mem- perkirakan bahwa daerah-daerah antara Tanjung Intan dan Siak di­huni oleh kira-kira 350.000 jiwa. Perkiraan ini mungkin terlalu tinggi,

19

karena didasarkan atas pemyataan-pernyataan yang dibuat oleh para penguasa yang cenderung melebih-lebihkan dengan maksud menam- bah bobot pada diri mereka. Di semua kerajaan itu, dengan penge- cualian Siak, jumlah orang Batak jauh sekali melampaui orang Me­layu. Serdang, umpamanya, mempunyai kira-kira 3.000 penduduk Me­layu dan kira-kira 8.000 orang Batak

Pertanian

Anderson adalah seorang pengamat pertanian yang cermat, suatu sek- tor dari ekonomi Sumatra yang sangat menarik pehatiannya karena ia ingin sekali mencari informasi bertalian dengan ekspor pertanian. Di semua negeri yang dikunjunginya, penduduk bertempat tinggal di kampung-kampung yang terletak di tepi sungai-sungai yang dapat di- layari sampan-sampan kecil. Di kampung-kampung itu selalu ada rumpun pepohonan yang ditumbuhi buah-buahan, kelapa sawit, dan rumpun-rumpun bambu. Pohon buah-buahan itu terdiri dari nangka, sukun, durian, mangga, manggis, jambu biji, jambu bol, delima, ram- butan, asam jawa, pepaya, jambu monyet, jeruk dan pisang, dan po- hon-pohon palem seperti kelapa dan pinang. Selain mencatat berba­gai jenis sayuran kebun, Anderson mencatat bahwa hutan-hutan ba- nyak sekali ditumbuhi tumbuhan akar-akaran dan daun-daunan yang juga digunakan sebagai sayur-sayuran. Orang-orang kampung melaku- kan cocok tanam perladangan di hutan-hutan yang dibuka sementara, tidak jauh dari tepi-tepi sungai. Di tempat-tempat Anderson terpaksa berjalan kaki, karena perahu bergerak terlalu lambat, ia mengikuti jalan-]alan kecil yang membentang menyusuri sungai. Ia sering mene- mukan orang laki-laki sibuk menebangi kayu hutan untuk membuka ladang.

Pada waktu kunjungan Anderson itu, Langkat Deli dan Serdang sedang mengalami panen besar hasil lada tetapi karena ratoat Asa

S S X S h Enah r S " lada' tadalah tcrlalu dtai " " t ^ e n g a - Dun lada menroakan komnriif °u untuk Penanaman lada. Meski-mSra B a r a f ^ ^ Sumatra Splnf6 *01 yang Sudah lama di Aceh’ Su‘ mur adaLh tanLan vane tampaknya lada bagi Sumatra Ti-

D! Lan* at- ^bagaimana dice-oada oeralihan abad ke-18 ctat-nf ^ an da telah dimulai kira-kira

dukung keterangan ini, p en g ir im ^ -p S h n an T 1? nampaknya m* n‘ mur meningkat dari kurang 3.000 pikul Dad a t v, Sumatr a30.000 pikul tahun 1822, hal m a jf m e n S k t n ™ i m6njadl an lada yang sangat besar di daerah itu B a f a " penanam-perlihatkan pengiriman-pengiriman vane IpK v, k sen\'!a ge ala mer” ‘yciigmman yang lebih besar di masa berikut-

20

nya. Anderson meramalkan hasil lada akan menjadi dua kali lipat lagi, mengingat cepatnya pengelolaan kebun-kebun baru yang sedang dikembangkan.

Lama sebelum lada diperkenalkan, petani-petani ladang di Suma­tra Timur telah melakukan pembukaan dan membakar hutan-hutan lama atau belukar-belukar baru selama musim kering untuk dijadi- kan perladangan padi selama musim hujan berikutnya. Kemudian la- dang-ladang ini pada tahun kedua dan mungkin juga pada tahun keti- ga digunakan untuk menanam umbi-umbian, sayur-sayur, tebu dan pisang, sementara ladang baru selalu dibuka untuk menghasilkan pa­di. Ketika penanaman lada diperkenalkan, petani-petani ladang hutan itu memadukannya ke dalam sistem pertanian tradisional mereka. Se- telah selesai panen padi, mereka akan memancangkan tongkat-tong- kat ke dalam tanah pada jarak-jarak yang diukur dengan cermat seba­gai penyanggah batang-batang lada. Sementara batang-batang lada masih muda, penanaman padi yang kedua, atau lebih sering, sayur- sayur, jagung, atau tembakau dilakukan di tengah-tengah tanaman la­da itu.

Menurut Anderson, suku Batak Karo memainkan peranan sangat penting dalam pertumbuhan yang pesat dari industri lada. Beberapa para penanaman lada itu telah pindah dari dataran-dataran tinggi Karo dan turun ke dataran-dataran rendah Langkat dan Deli sebagai tanggapan atas janji-janji mendapatkan bantuan yang dibuat oleh ke- pala-kepala suku di dataran-dataran rendah bersangkutan. Orang K a y a Sunggal, umpamanya, menyediakan beras dan garam bagi orang Batak Karo yang datang dari dataran-dataran tinggi dan me- lengkapi mereka dengan alat-alat yang perlu, seperti cangkul besar, sekop, parang, dan keranjang. Apabila dalam tahun keempat pohon- pohon lada itu mulai berbuah, orang kaya itu membayar dengan harga rendah, yaitu tiga dollar Spanyol (peseta) sepikul untuk dua pertiga dari panen dan lima peseta sepikul untuk selebihnya. ^

Pengamatan Anderson mengenai penanaman tembakau di Deli sangat penting, karena tanaman inilah yang kemudian membuat Deli terkenal ke seluruh dunia. Inilah yang ia katakan:

Tembakau ditanam oleh orang-orang Melayu dan orang-orang Batak. Mereka menaburkan bibit-bibit di persemaian kecil, dan kemudian mencabut dan me- nanamnya kembali sesudah dua puluh hari dalam deretan kira-kira dua kubit 8) Dalam tempo empat bulan ia telah masak. Sesudah dua bulan pucuknya dipotong, yang memberikan kekuatan dan membuat daun-daunnya bertam- bah lebar. Apabila tanaman itu telah mempunyai tujuh helai daun, para pena- nam mulai memanen daun-daun tembakau itu. Tandanya, daun itu mulai layu terkulai, dan berwama kecoklat-coklatan. Dalam sekali panen para petani me-

*) Sebutan untuk orang-orang elit bukan bangsawan — pent

21

metik satu atau dua daun, sesuai dengan saat daun-daun itu mendekati keada­an masak. Daun-daun itu dibiarkan disinari matahari selama empat hari, dan kemudian dimasukkan ke dalam keranjang-keranjang kecil, tempat tembakau itu diekspor. Jika bibit-bibit perlu diawetkan, sudah tentu pucuk-pucuk ta­naman itu tidak disentuh-sentuh. (him. 280).fl>

Karena Anderson hanya menguraikan tentang tembakau, tanpa memerinci barang-barang ekspor dari beberapa pelabuhan Sumatra Timur, barangkali tidak keliru kita menaksir bahwa produksi dan ek­spor tembakau paling mendekati produksi dan ekspor lada.

Pengamatan-pengamatan Anderson pada tahun 1823 sangat ber- harga bagi kita, karena pengusaha-pengusaha onderneming Eropa yang memasuki Sumatra Timur 40 tahun kemudian sangat sibuk me- rancang perkebunan-perkebunan mereka dari hutan-hutan hujan tropik, sehingga mereka hanya sedikit mempunyai waktu atau perha­tian untuk menjelajahi negeri itu untuk penelitian-penelitian ilmiah, apalagi untuk menuliskannya di atas kertas. Tidak ada bukti tentang perubahan mendasar apa pun dalam pola pertanian antara waktu kunjungan Anderson dan masuknya perintis pengusaha-pengusaha onderneming.

Organisasi Politik

Anderson mendapat keterangan dari para pemuka Siak yang telah terlibat dalam perang di Asahan, Deli dan kerajaan-kerajaan lain yang ditaklukkan oleh Siak bahwa mereka belum memasuki daerah pedalaman kerajaan-kerajaan kecil ini sejauh yang sudah dilakukan Anderson, (him. 169). Para pemuka kerajaan-kerajaan Sumatra Timur yang ditemui Anderson di Siak telah datang ke sana untuk.

membantu mendirikan sebuah monumen di atas kuburan almarhum raja. Sang raja menuntut jasa-jasa feodal ini dari mereka sebagai jajahan Siak. Adalah merupakan kebiasaan bagi semua kerajaan sampai sejauh Langkat yang sungguh-sungguh atau hanya namanya saja menjadi jajahan Siak, un­tuk mengirim sekali dalam tiga tahun, sejumlah perahu dan tenaga manu- sia ke Siak, untuk memperbaiki kubu pertahanan, dan untuk melakukan kerja bakti yang mungkin diperlukan. Setelah empat atau lima bulan, jika keadaan tidak mendesak, mereka dalam keadaan menderita boleh pulang. Mereka tidak menerima suatu apa pun, malahan mereka terpaksa mencari sendiri makanan dan sebagainya. Para pemuka ini menyatakan keluh ke- sahnya itu kepada saya karena mereka terpisah berbulan-bulan lamanya dari keluarga dan rumah mereka (him. 178).

Mengenai Tamiang, Anderson melaporkan bahwa penguasanya sepenuhnya mengakui sultan Aceh, meskipun penguasa Siak telah menaklukkan Tamiang beberapa tahun sebelumnya dan masih me­nyatakan berdaulat atas negara itu (him. 236).

22

Langkat ditundukkan oleh Siak kira-kira lima tahun sebelum 1823 (him. 244); Siak juga menyatakan berdaulat atas Serdang (him 303) Kepala-kepala Batubara diangkat dan menerima surat keputusan pengangkatan mereka dari Siak (him. 310).

Dengan demikian penelitian-penelitian Anderson membuktikan bahwa pada waktu survainya, kerajaan-kerajaan Sumatra Timur mengakui kekuasaan Siak atas negeri-negeri mereka.

Rekomendasi Anderson

Anderson mengajurkan supaya Perusahaan Hindia Timur Inggris ( mendirikan serangkaian pos perdagangan kecil sepanjang pantai Su-l matra Timur; ia yakin pos-pos ini akan disambut baik oleh pengusa-

ha-pengusaha di sana:

Kantor-kantor dagang seperti itu, di bawah pimpinan orang-orang yang mam- pu dan berpengalaman, mengenal adat-istiadat dan bahasa penduduk setem- pat, secara kongkret akan cenderung menguntungkan kepentingan-kepenting- an perniagaan di daerah ini. Mereka akan mendorong minat pribumi-pribumi terhadap barang kerajinan, dan membangkitkan selera untuk membuat berba- gai jenis barang. Suatu sistem pemerintahan yang lebih baik akan diperkenal- kan di sana, perselisihan dan permusuhan yang banyak itu antara kerajaan- kerajaan kecil akan berkurang, kemantapan dan ketertiban akan terselengga- ra. Para pedagang dari Penang dan Singapura akan merasa bahwa perlin- dungan harta milik mereka lebih terjamin, tidak ayal lagi bahwa akan terjadi peningkatan yang lumayan dalam perniagaan kita (him. 221)

Rekomendasinya itu didorong oleh kekhawatiran bahwa Belanda akan menjalankan praktek-praktek perdagangan monopoli mereka di Sumatra Timur yang terletak tepat di seberang Penang, apabila mere­ka memperluas kekuasaan mereka ke bagian Sumatra ini. Seandainya Belanda merasa puas dengan ’’suatu bagian perdagangan yang pan- tas” dan mengizinkan para pedagang Sumatra membawa hasil-hasil mereka ke pasar yang terbaik, ia percaya Penang dijamin akan mem- peroleh bagian perdagangan yang luas (him. 222)

Peijaiyian London

Perjanjian Inggris-Belanda di London, ditandatangani tanggal 17 Ma- ret 1824 — belum satu tahun setelah Anderson kembali dari Sumatra— memudarkan semua harapan para pejabat dan para pedagang Pe­nang yang semula berhasrat mendirikan pusat-pusat pemasaran ba­rang di Langkat, Deli, Serdang atau negara-negara lainnya sepanjang pantai timur Sumatra. Tujuan peijanjian ini adalah untuk mengakhiri persaingan Inggris-Belanda di Asia Tenggara. Berdasarkan perianiian ini Inggris menyerahkan Bengkulu, begitu juga seluruh milik Perusa

23

haan Hindia Timur lainnya di Sumatra kepada Belanda dan mereka berjanji tidak akan mendirikan suatu pemukiman di pulau itu atau menandatangani suatu perjanjian dengan siapa pun di antara pe- nguasa-penguasa di pulau itu. Sebagai gantinya Belanda menyerah- kan Malaka beserta kantor-kantor dagang Belanda di India kepada Britania Raya dan berjanji tidak akan mendirikan perusahaan apa pun di Semenanjung Malaya dan tidak mengikat perjajian apa pun dengan penguasa mana pun di daerah itu. Hal ini menciptakan dua wilayah pengaruh yang dipisahkan oleh Selat Malaka.

Menyangkut pemiagaan, perjanjian itu menetapkan bahwa Belan­da akan menghentikan praktek monopoli perdagangan di Nusantara. Kedua pihak lebih lanjut akan saling memberikan pelayanan antar- bangsa yang paling menyenangkan di daerah Malaka (Straits Settle­ment), Kepulauan Hindia Timur, India dan Sri Langka.

Pasal-pasal teritorial terbukti lebih efektif daripada ketentuan- ketentuan perniagaan. Pemisahan yang jelas dalam dua wilayah ke- pentingan itu benar-benar melenyapkan salah satu penyebab utama ketegangan. Namun selama beberapa puluh tahun kalangan-kalangan pedagang Inggris di Penang dan Singapura menuduh Belanda telah gagal memenuhi secara ketat ketentuan-ketentuan perjanjian itu.10)

Kepada Belanda diberikan kebebasan di Sumatra, kecuali di A- ceh dan daerah-daerah taklukannya, sedangkan Belanda mengakui kemerdekaan Aceh.11’

Perluasan Kepentingan Belanda di Sumatra

Meskipun Perjanjian London memberi Belanda kebebasan untuk me- luaskan kekuasaannya di Sumatra sampai ke perbatasan Aceh dan daerah-daerah taklukannya, namun Belanda maju agak lamban dan berhati-hati. J. van den Bosch, gubernur jenderal dari tahun 1830 sampai 1833 dan menteri jajahan dari tahun 1834 sampai 1839, meren- canakan penyusunan politik ke bagian-bagian Sumatra yang belum berada di bawah kekuasaan Belanda; ia memperkirakan hal itu me- makan waktu 25 tahun.

Perang Jawa (1825-1830), yang terjadi karena pemberontakan Di- ponegoro, mencegah Belanda memperluas daerah di Sumatra segera sesudah tahun 1824, karena sejumlah besar pasukan dan dana diper- lukan di Jawa. Bagian pertama Sumatra, yang memerlukan perhatian militer, adalah daerah pedalaman Padang, di pantai barat Di sana kaum Padri, suatu mazhab Islam, melancarkan perang di Padang Da- rat dan telah mulai memasuki daerah Batak paling selatan, yaitu Mandailing dan Angkola, di mana banyak orang dipaksa masuk Islam. Bonjol, benteng pertahanan kaum Padri, direbut oleh Belanda dan lepas lagi, tetapi akhirnya diserbu lagi untuk kedua kalinya tahun

24

1837. Mandailing juga diduduki. Pemimpin Padri itu, Haji Mohamad Saleh, yang terkenal sebagai Tuanku Tambusi, melarikan diri ke Ang- kola setelah Bonjol jatuh. Di sana ia mencoba membangun benteng- benteng pertahanan yang baru. Hal ini memaksa Belanda mengirim pasukan militer untuk mengusirnya keluar dari lembah Angkola itu. Tuanku Tambusi bergerak melintasi pegunungan ke arah timur me­masuki lembah Barumun. Pasukan-pasukan Belanda itu menunduk- kan distrik Padang Lawas sampai sejauh Kotapinang di tepi sungai Barumun dan kemudian mereka membelok menyerang Dalu-dalu di tepi Sosa, anak sungai sebelah kiri sungai Rokan. Dalu-dalu ternyata dipertahankan dengan gigih dan mempunyai persediaan yang besar, sehingga mampu bertahan sampai selama 10 hari. Haji Mohamad Sa­leh tidak terdengar lagi sejak itu. Menjelang akhir 1838, Mandailing dan Angkola di Tapanuli Selatan dan lembah-lembah Sungai Rokan dan Sungai Barumun, yang merupakan sebagian dari Sumatra Timur, dengan demikian berada dalam kekuasaan Belanda, diawasi oleh pos- pos militer terdepan. Akan tetapi, pengganti van den Bosch, Menteri Jajahan J.C. Baud (1839—1848), memerintahkan penarikan mundur pa- sukan-pasukan militer yang ditempatkan di Sumatra Timur — sejum- lah 9 perwira dan 510 prajurit di lembah-lembah Barumun dan Rokan di Portibi, Kota Panai, atau Bila, Dalu-dalu, Indragiri, dan beberapa pos-pos terdepan.12) Hanya Angkola dan Mandailing tetap diperta­hankan.

Apakah alasan-alasan penarikan mundur dari Sumatra Timur itu? Schadee mengemukakan, bahwa penegakan hukum dan ketertib- an di Sumatra Barat dan penundaan aksi di sepanjang pantai Suma­tra Timur, akan menarik perdagangan dari pedalaman Sumatra da­lam jumlah yang semakin meningkat ke pantai barat Sumatra. Dan di barat Sumatra ini Belanda tidak akan takut kepada persaingan Ing- gris dari Penang, Malaka, dan Singapura. Sudah jelas, Belanda tidak menganggap penting untuk menyelenggarakan pemerintah dan kea- manan yang mantap sepanjang pantai Sumatra Timur yang memakan biaya besar, hanya untuk membagi keuntungan dengan pusat-pusat perdagangan Inggris.13’

Keputusan untuk menarik diri dari Sumatra Timur mungkin juga disebabkan bertambah banyaknya protes kalangan peda.gang Inggris terhadap politik perdagangan Belanda. Mereka anggap hal ini meru­pakan pelanggaran terhadap ketentuan-ketentuan perniagaan Perjan­jian London. John Anderson, misalnya dalam 1840 melakukan protes atas pelanggaran-pelanggaran Belanda terhadap semangat Perjanjian London dengan menerbitkan bukunya tentang Aceh. Dalam kata pen- dahuluannya ia menyatakan:

Tujuan utama karya ini adalah untuk menarik perhatian Pemerintah Sri Ratu

25

dan perhatian masyarakat Inggris, terhadap beberapa milik kita di suatu bagi­an Asia yang begitu jauh letaknya, dan terhadap negara-negara pribumi di daerah yang sama, hal mana sesungguhnya merupakan urusan nasional besar yang penting, dan mungkin menjadi keuntungan materi bagi kepentingan-ke- pentingan perniagaan Inggris, jika diambil langkah-Iangkah untuk menghenti- kan campur tangan pihak negara Eropa lainnya (Belanda), yang temyata ter- giur oleh perdagangan yang sangat menguntungkan di pulau-pulau bagian Ti­mur itu.14)

Inggris terutama berkeberatan terhadap diadakannya sistem ta- nam paksa atas hasil pertanian ekspor yang menempatkan hasil-hasil panen ini di bawah pengawasan pemerintah dan pemasarannya di tangan Perusahaan Perdagangan Belanda (NHM). Ini berarti mence- gah Inggris mendapatkan bagian dengan jalan apa pun dalam perda­gangan mereka. Lebih jauh mereka memprotes politik tarif Belanda, yang telah menaikkan bea masuk atas katun dan wol Inggris dari 35 persen menjadi 70 persen antara tahun 1824 dan 1834 dan mencsgah katun dan wol Inggris dari Penang atau Singapura ke wilayah Hindia Timur Belanda kecuali ketiga pelabuhan Jawa, yaitu Jakarta, Sema- rang dan Surabaya. Ini tentu saja berarti tekstil Inggris tidak boleh memasuki pelabuhan-pelabuhan Sumatra yang berada di bawah ke­kuasaan Belanda. Karena itu tidak mengherankan Inggris sangat ber- minat mencegah setiap perluasan kekuasaan Belanda atas Sumatra Timur, terutama Langkat, Deli, Serdang, dan Asahan, yang perda- gangannya besar artinya untuk Penang.

Penahanan diri (abstensi) adalah politik resmi Belanda di Suma­tra dalam tahun 1840-an itu. Menteri Baud dinasihati oleh bekas gu- bernur Sumatra Barat, De Stuers, yang mengemukakan bahwa pantai Sumatra Timur yang berawa-rawa dan berpenduduk jarang itu tidak menguntungkan dibanding dengan pengeluaran uang pemerintah. De Stuers jelas berkepentingan untuk meminta perhatian penuh dari pe­merintah terhadap Sumatra Barat. Semua ini mengakibatkan penarik- an mundur Belanda untuk sementara dari bagian Sumatra Timur se- belah selatan Asahan.

Dalam tahun 1850-an Aceh mulai lagi bergerak menuju Sumatra Timur. Penguasa Aceh Tuanku Ibrahim, juga terkenal sebagai Sultan A li A la ’ad-din Mansur Shah, memerintahkan putranya, Pangeran Hu- sin, untuk memulihkan kembali kekuasaan Aceh atas Langkat, Deli, dan Serdang. Karena kerajaan-kerajaan Sumatra Timur ini tidak mendapat bantuan militer apa pun dari raja yang berkuasa yaitu Sul­tan Ismail dari Siak, maka serangan Husin yang cepat itu berhasil dengan mudah. Para penguasa dari tiga negara itu menerima wewe- nang resmi kerajaan yang menetapkan mereka sebagai bawahan Tu­anku Ibrahim dari Aceh dan masing-masing diberi gelar pahlawan, wak.il, dan wazir.15)

26

Kegiatan-kegiatan James Brooke di Sarawak dan penegakan ke- kuasaan Inggris atas Labuan dalam tahun 1840-an diprotes oleh Be­landa, yang menganggap kedua tindakan ini sebagai pelanggaran ter- hadap perjanjian tahun 1824. Jawaban Inggris menyatakan bahwa perjanjian itu menjamin kepentingan-kepentingan di selatan Selat Malaka, sedangkan Labuan dan Sarawak terletak di garis lintang le­bih tinggi daripada Singapura. Lebih jauh Inggris meminta perhatian atas pelanggaran-pelanggaran Belanda yang terus-menerus terhadap pasal-pasal perniagaan dalam perjanjian yang sama seperti disebut- kan oleh Belanda itu.

Akibat kasus Borneo membangkitkan kembali keinginan Belanda untuk memperluas kekuasaan di Sumatra. Gubernur Jenderal Roc- hussen, dalam sebuah surat keputusan tertanggal 26 September 1845 mengungkapkan hasratnya supaya daerah kekuasaan Belanda diper- luas. Tetapi dalam bulan April 1853 Menteri Jajahan C.F. Pahud mengeluarkan petunjuk-petunjuk untuk menghentikan keterlibatan Belanda lebih jauh dalam urusan-urusan dalam negeri kerajaan-kera- jaan Nusantara. Kekuasaan Belanda supaya tidak diperluas sampai ke kerajaan-kerajaan di Sumatra, seperti Aceh dan Siak mengingat tafsiran Inggris terhadap pasal 3 Perjanjian London.16’

Kegiatan-kegiatan seorang petualang Inggris, Adam Wilson, ada- lah penyebab langsung bagi campur tangan Belanda di Siak. Wilson telah datang untuk membantu Sultan Ismail dari Siak menumpas pemberontakan di dalam negeri, tetapi ia meminta imbalan yang ter- lalu tinggi untuk bantuannya itu sehingga Sultan terpaksa menolak. Ketika Wilson kemudian menyerangnya, Ismail berbalik meminta bantuan kepada Belanda di Riau. Residen Belanda di Riau me- nyelesaikan perselisihan antara Sultan dan penantang-penantangnya dan memaksa Wilson meninggalkan pulau Bengkalis. Sultan Ismail, dengan Perjanjian 1 Februari 1858, menempatkan negara Siak Sri Indrapura (nama resmi Siak) bersama dengan semua daerah takluk- annya yang diperoleh semasa puncak kekuasaannya, di bawah ke­kuasaan Belanda. Perjanjian ini, yang terbukti menjadi sangat pen­ting bagi jalannya peristiwa-peritiwa selanjutnya di Sumatra Timur, mengabaikan kenyataan bahwa Ismail telah gagal mempertahankan kerajaan-kerajaan taklukannya di Langkat, Deli, dan Serdang pada tahun 1854 dan gagal mencegah kemenangan Aceh. Ismail juga meng­abaikan perlawanan Asahan terhadap tuntutan-tuntutan Siak. Seba- liknya ia mengharapkan bantuan Belanda.

Ismail mendapatkan seorang pembela yang kuat, yaitu Elisa Net- scher, yang diangkat menjadi Residen Riau pada tahun 1861. Net- scher melihat dengan jelas implikasi politik dari dukungannya kepa­da Sultan Ismail yang menuntut kembali daerah-daerah yang direbut

27

Sultan Ibrahim dari Aceh, karena hal itu akan memberikan Belanda dasar-dasar hukum untuk maju sampai ke perbatasan antara Aceh dan Tamiang.

Pada tanggal 27 Maret 1862 Gubernur Jenderal memerintahkan Netscher ’’supaya mencoba secara damai menarik kerajaan-kerajaan di pantai ini dari cengkeraman Aceh dan mengajak mereka kembali untuk mengakui kekuasaan Siak, dan dengan demikian mengukuhkan kekuasaan Belanda atas bagian Sumatra itu.”17)

Dalam bulan Mei 1862 Residen Netscher menugaskan Raja Bur- hanudin untuk melakukan survei ke negeri-negeri yang dinyatakan oleh Siak sebagai daerah-daerah taklukannya. Raja Burhanudin mela- porkan bahwa Asahan menyatakan berdaulat atas kerajaan-kerajaan kecil seperti Leidong, Kuala dan Batu Bara, dan menolak mengakui baik kekuasaan Siak maupun kekuasaan Hindia Belanda. Daerah an­tara Serdang dan Tamiang dikuasai Aceh. Pendeknya, tak satu negara pun yang bersedia mengakui kekuasaan Siak.18)

Pada tanggal 2 Agustus 1862, Netscher meninggalkan Bengkalis disertai oleh dua pejabat Belanda dan lima pejabat Siak untuk meng- adakan kunjungan ke Panai, Bila, Serdang, Deli dan Langkat. Para penguasa Panai dan Bila rela mengakui kekuasaan Belanda tetapi tidak bersedia mengakui kekuasaan Siak, karena Siak telah mem- biarkan mereka pada nasib mereka sendiri selama waktu yang lama. Setelah diadakan pembicaraan-pembicaraan lebih jauh pada akhir- nya mereka setuju mengakui kekuasaan Siak asalkan Hindia Belanda mau melindungi mereka terhadap penyalahgunaan kekuasaan oleh Siak.

Sultan Basyarudin dari Serdang juga bersedia menerima kekua­saan Belanda, tetapi Netscher terpaksa bersusah payah membujuknya supaya mengakui kekuasaan Siak, karena Serdang tidak mempunyai hubungan apa pun dengan Siak selama bertahun-tahun.

Perundingan-perundingan yang jauh lebih sukar adalah dengan Sultan Mahmud dari Deli. Ia tegas menolak kekuasaan Siak, tetapi akhirnya ia menerima suatu rumusan kompromi yang mempersatukan Deli dengan Siak atas kedudukan yang sama derajat, keduanya ber- ada di bawah perlindungan Hindia Belanda. Juru mesin kapal yang digunakan Netscher untuk perjalanannya, mencungkil dan mengha- pus kata-kata ’’Wakil Sultan Aceh” dari tera Sultan Mahmud.19)

Pangeran Langkat, yang telah mengambil prakarsa dalam bulan Pebruari 1862 dan telah meminta perlindungan Belanda, sudah siap mengakui kekuasaan Siak, tetapi mengingat tuntutan-tuntutan Deli, Netscher menghindarkan pertukaran pemyataan-pemyataan tertulis. Dalam semua kejadian lainnya Netscher mengukuhkan setiap pe-

28

nguasa yang sedang berkuasa, sebagai imbalan atas pengakuan mere­ka kepada kekuasaan Hindia Belanda.

Sultan Ahmad Shah, Yang Dipertuan Asahan, benar-benar ber- buat seperti diramalkan Raja Burhanudin. Ia menolak datang ke atas kapal Netscher untuk berunding. Netscher menolak usul balasannya untuk bertemu di pantai. Dan Netscher meminta penjelasan dalam tempo dua bulan mengapa perahu-perahu di sungai Asahan dan se- jumlah rumah di pinggir sungai itu mengibarkan bendera Inggris. Sa- tu bulan setelah kembali ke Bengkalis, Residen Netscher menerima dua pucuk surat. Satu dari Sultan Ahmad yang membantah setiap tanggung jawab atas berkibarnya bendera Inggris di sana dan surat yang lain dari dua orang Cina petani-petani candu dan penyelenggara monopoli perjudian dan pengutip-pengutip bea cukai di Asahan yang mengakui bahwa merekalah yang mengibarkan bendera Inggris itu.20'

Dalam bulan Pebruari 1863 Netscher mengetahui bahwa Aceh su- dah siap menyerang Deli dan bahwa Asahan siap mendukung Aceh dalam operasi-operasi militer itu. Netscher kembali ke Deli dengan dua kapal dan menggunakan kunjungan yang kedua ini untuk mem- peroleh tanda tangan Sultan Mahmud bagi suatu persetujuan yang melengkapi perjanjian tanggal 22 Agustus 1862. Pada saat Netscher tiba di Riau suatu armada kecil Aceh di bawah komando Raja Muda Cut Latif dari Meureudu muncul di muara sungai-sungai Langkah dan Deli. Akan tetapi dalam dua peristiwa itu para penguasa kedua dae­rah itu menolak menemui Cut Latif. Namun, Serdang dan Asahan menyambut pejabat Aceh itu. Unjuk perasaan dari kedua negara ini mendorong Netscher untuk menulis surat peringatan yang keras ke­pada kedua sultan itu. Sementara Sultan Serdang bahkan menolak menerima surat Netscher, Sultan Asahan mungkin atas nasihat Law­rence Nairne, seorang pedagang dari Penang, minta agar dimaklumi ’’bahwa negaranya tunduk kepada Aceh, dan karena itu dijamin oleh Inggris terhadap serangan Belanda berdasarkan Perjanjian 1824”.21)

Kantor-kantor dagang Penang telah mendirikan pusat-pusat per- niagaan yang penting, terutama di Langkat, Deli, Serdang dan Asah­an. Dapat dimengerti bahwa mereka tidak mau kehilangan itu semua. Karena itu, para pedagang itu sangat terganggu atas kegiatan-kegiatan Netscher sepanjang pantai timur Sumatra dan memulai serangkaian gerakan menentang kemajuan-kemajuan politik Belanda yang melang- gar Perjanjian London 1824. Mereka sudah mendarah-daging tidak percaya terhadap sistem perniagaan Belanda.2®

Meskipun Gubemur Cavenagh dari Penang mengirim sebuah ka­pal meriam ke pantai timur Sumatra tidak kurang dari empat kali dalam tahun 1863 dan 1864 dengan harapan bahwa ini akan memper- kuat kedudukan para penguasa yang menentang tuntutan-tuntutan Be-

29

landa, tetapi London menolak menjanjikan perlindungan Inggris ke- pada mereka. Dengan demikian gerakan-gerakan Cavenagh menjadi sia-sia. Dengan tekad yang pasti Netscher mengerahkan segala ke- mampaunnya untuk mengatasi semua perlawanan sepanjang pantai timur Sumatra. Batavia memberikan wewenang kepadanya pada tang- gal 27 Maret 1864 untuk mengirim para kontrolir"' ke Panai dan Bila, Batu-Bara dan Deli.231

Pada tanggal 25 Agustus 1865 Gubemur Jenderal memerintahkan satu ekspedisi militer yang terdiri dari tujuh kapal perang dan kira- kira 1.400 serdadu ke Sumatra Timur. Ini memberikan Residen Net­scher kesempatan untuk menempatkan Tamiang di bawah penguasa- an Langkat, dan dengan demikian secara tidak langsung mengumum- kan sungai Tamiang berada di bawah kekuasaan Siak sebagai perba- tasan antara Aceh dan Hindia Belanda. Lagi pula, penampilannya dengan satu kekuatan yang dahsyat seperti itu telah menyebabkan para penguasa Batu Bara dan Serdang segera tunduk. Di Asahan, Sultan Ahmad dan saudara-saudaranya laki-laki melarikan diri ke pe- dalaman, sehingga Netscher mengumumkan bahwa Ahmad telah ke- hilangan kekuasaan dan mengangkat ipamya, Naamal Ullah, sebagai Yang Dipertuan untuk sementara. Pada akhir ekspedisi 1865 itu, Net­scher telah dapat menyatakan bahwa pantai antara sungai-sungai Ta­miang dan Barumun berada di bawah kekuasaan Belanda.241

Menjelang akhir tahun 1860-an pedagang-pedagang Penang mulai memperoleh keuntungan dari pengembangan pertanian perkebunan dan tidak mengalami pembedaan apa pun dalam perniagaan dengan Belanda, sehingga keberatan-keberatan mereka terhadap hubungan- hubungan dengan kerajaan-kerajaan di pantai timur menjadi pudar.

Perjanjian tahun 1871 telah menyelesaikan masalah Aceh, Belan­da boleh bergerak bebas di Aceh. Sebagai imbalan, di Siak dan dae- rah-daerah taklukannya Inggris mendapatkan hak-hak perdagangan a- tas dasar persamaan dengan Belanda. Ini menentramkan keresahan masyarakat-masyarakat perdagangan Malaka untuk selamanya dan sa­ngat mempermudah hubungan-hubungan Inggris Belanda. Maka suatu tahapan telah dirintis bagi pelaksanaan ’’gerakan maju” Belanda di Sumatra Timur.

) Contmleur dalam bahasa Belanda adalah jabatan dalam sistem pemerintah- an Hindia Belanda — pent

*) Kapal bertiang dua dengan layar-layar besar — pent *) Orang kaya, sebutan untuk orang-orang elit bukan bangsawan — pent *) Kontrolir, ’controleur’ dalam bahasa Belanda adalah jabatan dalam sistem

pemerintahan Hindia Belanda — pent

30

Bab IIKeadaan Geografis Sumatra Timur

Letak dan Luas

Dibatasi oleh Aceh di barat laut, Tapanuli di barat daya, Bengkalis di tenggara dan Selat Malaka di timur laut, luas Sumatra Timur dewasa ini meliputi 31.715 kilometer persegi atau 6,7% dari seluruh daerah Sumatra. Tetapi dari tahun 1873 sampai 1941, selama saat terjadinya perubahan bentuk ekonomi secara drastis yang menjadi tujuan pene- litian ini, daerah Bengkalis dikelola sebagai bagian dari Sumatra Ti­mur, sehingga menjadikan ’’pantai timur” yang terkenal itu suatu dae­rah administratif seluas 94.583 kilometer persegi atau kira-kira 20% dari luas seluruh wilayah pulau itu.11 Sampai 1887 kota Bengkalis telah menjadi markas pemerintahan Belanda untuk seluruh pantai timur, dan sejak 1887 itu kedudukan pemerintah dipindahkan ke kota baru Medan di jantung daerah onderneming yang sedang mekar. (Pe­ta I).

Peta AlamSumatra Timur membentang mulai dari titik batas di puncak-puncak barisan bukit (yang dulu disebut) Wilhelmina Gebergte dan juga ba- risan Bukit Simanuk-manuk dan dari sana berangsur-angsur menu- run, menyentuh pantai timur Danau Toba, terus ke dataran-dataran rendah dan rawa-rawa pantai sepanjang Selat Malaka. Dua barisan bukit itu adalah bagian dari sistem Bukit Barisan yang membentang dari Banda Aceh di utara sampai Tanjung Cina di Selat Sunda di selatan, membagi Sumatra dalam keseluruhan panjangnya dengan 1.650 kilometer. Dilihat dari titik tengah yang terletak lebih dekat ke pantai barat daripada ke pantai timur pulau Sumatra, sistem Bukit Barisan itu-mengarah dari barat laut ke tenggara, begitu pun arah letak pulau itu secara keseluruhan. Kenyataan ini diabaikan dalam pemakaian istilah-istilah umum utara-selatan-barat-timur terhadap pulau itu.

a. Daerah TobaAntara Sungai Wampu dan Sungai Barumun, Bukit Barisan menanjak sampai apa yang disebut oleh van Bemmelen ’’tumor Batak” , suatu lipatan lapisan-lapisan bumi yang menyembul sepanjang 275 km dan lebar 150 km. Skemanya pada Peta II ditandai oleh keterangan ten-

31

tang rata-rata ketinggian 100 m dan 1.000 m puncak-puncak yang ter- tinggi lebih 2.000 m tingginya, terletak di sekitar bagian yang paling menyolok dari tumor itu, yakni Cekungan Toba yang besar dengan Danau Toba di tengahnya. Ukuran-ukuran sebenamya cekungan itu kira-kira 100 km kali 30 km pada suatu daerah seluas 2.270 km2. Danau Toba sendiri panjangnya 87 km, dengan jarak keliling 294 km dan luas 1.776 km2 termasuk Pulau Samosir. Karena Pulau Samosir ini meliputi luas 640 km2, maka luas air dari danau itu berjumlah kira- kira 1.130 km2.

Melingkari cekungan Toba itu adalah gunung-gunung seperti Si- buatan (2.457 m) di sebelah timur laut danau, Pangulubao (2.151 m) ke timur, Surungan (2.173 m) ke tenggara, dan Uludarat (2.157 m) ke ba- rat3) Semua gunung ini terdiri dari batu-batu pra-Tersier dan Tersier awal, yang menunjukkan bahwa kompleks dasarnya mencapai tinggi lebih dari 2.000 m pada puncak tumor Batak itu. Tebing-tebingnya yang curam setinggi 400 sampai 1.200 m menandai tepi cekungan itu. Airnya berada pada ketinggian kira-kira 906 m di atas permukaan laut dan mempunyai dalam maksimum 529 m dekat Haraneeaol di sebelah timur laut (Peta III).

Van Bemmelen membuat hipotesis bahwa ’’tumor Batak” itu me- lengkung ke atas selama masa-masa Miocene dan Plio-Pleistnr.rnp (Mio­cene = lapisan bumi menjelang akhir Tersier, Plio-Pleistocene = ma sa-masa akhir Tersier dan awal kuatenar) mpnaanow Wilhemina dan Simanuk-manuk ke tingginya yang sekarana penyembulan tumor yang disebabkai, Seh perkem S™? 8 1 1 ™yang mendadak, teqadilah retak-retak yang berasal dan bafflanvane paling tinggi tumor itu yang membentuk celah-celah erupsi. Bahan yang disemburkan mengambil bpntnJ pijar dan leburan magma dengan cammiran u camPuran 8astua dan hancur lumat dari dinding-dinding ial a,n batu‘batu lebih awan tebal berapi ini atau nuees ardentes m ^ i 311 keluar' Awan' tanah rendah di sekitarnya, mengikuti baei ?n . r melalui tanah- rendah ke danau-danau rembesan air seDerHrt-3!* 311 toP°Srafis yan§

, Asahan dan tersebar luas melaliii 1 Renun> Batang Toru,rendahKualuIVUdlu, riadiidii Udll IclbcOar 1U&S ITlGlallii 1 5 udlallg XOrU>dari ’’tumor Batak” di daerah Pematang ^ebelah timur laur

Sebagian bahan-bahan yang Z Z Z Z n T , an angin yang sangat hebat dan menumn,!l f bangkan oleh tiup- (tuf!) > aeolian sejauh Semenanjung MalavVn S6bagai tanah gembur kira 300 sampai 400 km debu vulkanik mem'itf' -Sf na Pada 3arak V * * kil Pleistocene sedalam kira-kira dua m e t^ n ^ 38'^ 35 batu keri- kapak-kapak tangan paleolitik oleh CoUhgs (i9^ ngan ditemukannya

*) tanah gembur (tuff), berasal dari semh da am lapisan keri-tuan vulkanik yang berpori-por, _ Waung berapi berupa batu-ba-

32

kil Pleistocene yang tertimbun debu gunung berapi di Tampan, Ma­laysia Barat, dimungkinkan memperkirakan teijadinya letusan Toba yang hebat itu tak lama sesudah Pleistocene. Van Bemmelen mem­perkirakan bahwa arus tanah gembur liparitik*^ dari Toba itu menca- kup suatu daerah seluas 20.000 sampai 30.000 km2 di sekitar cekungan Toba dan mempunyai tebal ratusan meter di bagian-bagian tengah. Bemmelen lebih lanjut memperkirakan bahwa arus tanah-gembur li- paritik itu bersama-sama dengan debu-debu aeolian berisi 2.000 km kubik.

Piroklastik yang beijumlah besar ini mungkin dihasilkan oleh satu (atau se- rangkaian pendek) semburan yang membuat perubahan besar, karena belum nampak stratifikasi jelas dalam aliran-aliran tanah gembur itu, yang bagian- bagiannya setebal ratusan meter. Ini nampak dalam endapan tebing-tebing terjal di sekeliling cekungan dan dalam ngarai-ngarai sungai muda. Hanya di bagian-bagian yang lebih tinggi dari daerah-daerah itu tampak beberapa la- pisan yang memperlihatkan tahap menurun dari ledakan-ledakan yang lebih lemah setelah tahap ledakan yang besar, dan atau beberapa unsur sekunder yang dibawa air.7)

Ledakan-ledakan itu menyemburkan kira-kira 2.000 km kubik pi­roklastik dari bagian lebih atas batolit granit yang berada di bawah- nya. Seperti telah dihiptesiskan oleh van Bemmelen, magma yang jumlahnya luar biasa ini menyebabkan runtuhnya atap kubah rongga besar magma itu, dengan demikian menciptakan cekungan Toba yang sangat besar itu. Begitulah cekungan itu terbentuk, yang merupakan sebuah Kesselbruch, 1150 m di atas permukaan laut, seperti diperlihat- kan oleh lapisan atas gundukan tanah gembur di lembah Asahan dan teras-teras pada ketinggian 1150 m di sekitar daerah timur cekungan Toba. Danau itu merembas melalui gundukan tanah gembur dari lem­bah Asahan sebelum ledakan, memotong sebuah ngarai sempit yang curam melalui tanah gembur itu, dan berangsur-angsur merendahkan tingkat danau itu pada ketinggian yang sekarang 905 meter. Pulau Samosir adalah sebagian dari atap rongga magma Toba yang runtuh itu.8) (Peta IV dan V).

b. Gunung-gunung Berapi Dataran Tinggi Karo sesudah ledakan Toba Sesudah ledakan gundukan tanah gembur liparitik dan diikuti run­tuhnya cekungan Toba, kegiatan vulkanik masih terus berlangsung, menciptakan serangkaian gunung-gunung berapi, terutama di Dataran Tinggi Karo di sebelah utara danau, khususnya kompleks dacito-ande- sitic yang penting di Sinabung (1.450 m) dan Pintau (2.212 m) Sibayak (2.094 m) semuanya lebih muda daripada gundukan tanah gembur li-

**) liparitik, cairan batu-batuan vulkanik membara yang menyerupai granit

33

paritik itu. Rangkaian peristiwa gunung berapi ini, yang te ijad i sesu­dah ledakan Toba, terbukti sangat penting bagi perkembangan indus- tri tembakau antara Sungai Wampu dan Sungai Ular, sebagaimana diperagakan oleh Druif dalam menjawab banyak teka-teki yang pu- luhan tahun telah membingungkan para pengusaha perkebunan itu.9)

c. Dataran-dataran Rendah dan PantaiSumatra Timur, terletak antara Selat Malaka dan pantai timur Danau Toba, terdiri dari tiga bagian: dataran-dataran rendah, pegunungan, dan dataran-dataran tinggi Karo dan Simalungun. Dataran-dataran rendah, dapat dipisahkan dari barisan pegunungan itu pada kira-kira 100 meter garis luar, adalah seluruhnya asli tanah baru. Sungai-su- ngai yang berangsur-angsur menderas dari dataran-dataran tinggi Ka- r° h” , ®ima un®un telah membawa dalam jumlah-jumlah sangat be­sar bahan gunung berapi yang mudah dihanyutkan, debu, dan tanah gembur ke dataran-dataran rendah, membentuk endapan dataran yang uas rata-rata 30 km lebamya. Proses ini terus berlangsung sam­pai an ini pada tingkat yang lebih cepat karena karena penebangan

. 1 sepanjang lereng-lereng dataran-dataran tinggi, dan sungai-su- m / er el°k-kelok melebar di dataran endapan itu sebelum mene- mukan jalannya ke Selat Malaka.npa i^p1 • an ara Tanjung Tamiang dekat Teluk Aru dan mulut su- riitnmK3^ 1 a^alah rendah dan agak monoton, disusuri rawa-rawa laman o 1 on'P°h°n bakau atau nipah yang menembus ke peda-ng ePanjang jalan-jalan sungai yang lebih rendah maupun de-hnn.nr.v»In^ fran P.en^e^ pantai-pantai berpasir dipagari dengan po- hutan Hi aS!iarina- Di belakang zona rawa itu terdapat zona ber- itu vana 1 tanah daratan. Hanya sedikit sekali dari pantai-pantai hava ? unJ:uk pendaratan disebabkan gelombang besar, berba-

™ sela,na musim “ S " Itaiur laut riihanHifrri.81111 3,1 daerah ini relatif pendek, tidak ada yang bisa tra i 1 a u*curan besamya dengan sungai-sungai di Suma-Dprahn to gall> tetapi sungai-sungai itu dapat dilayari perahu-neai T a n i* * an perahu motor. Terutama penting adalah sungai-su- rli haoion i • an ^ sa lan- Di Sumatra Timur semua sungainya

rf , , 1 *r kejangkitan endapan lumpur dengan cepat dan mesti isv eratur jika ingin pelayaran beijalan tanpa hambatan. Pe-niWan meros°t sejak dihentikannya pekerjaan penge-nva tprat U" 11942>.dan ^anya^ pelabuhan-pelabuhan kecil yang biasa- K’naio c Ur .1 u*Vun^ kapal-kapal pantai tidak dapat lagi disinggahi. lima r '|n®ai umpamanya tidak dapat lagi dilayari, dan kota Tan- p a ai ^ mudah didatangi kapal-kapal pantai kecil sebelum

ang Duma II, sekarang tidak dapat lagi dicapai. Begitu juga halnya

34

Bagan Siapiapi, pelabuhan ikan terkenal di muara sungai Rokan Ke- tika saya mengunjungi Bagan Siapiapi 1955, perahu kayu saya yang dangkal harus diseret melalui lumpur pada waktu pasang surut Ha- nya pada pasang naik saya dapat mencapai dermaga lama itu, meski- pun dalam perahu kayu, yang telah digunakan oleh kapal-kapal pan­tai sampai akhir 1942. Sebagaimana namanya ’’dermaga dalam rim- bunan bakau” memperlihatkan, kota ini terletak di zona bakau, yang dikembangkan dengan baik di kuala Rokan.

d. Zona Pegunungan

Melewati garis-luar 100 meter itu, orang memasuki zone pegunungan yang berombak-ombak, dibatasi oleh dataran setinggi 100 m dan 500 m di atas permukaan laut Sungai-sungainya memotong sangat dalam pada endapan-endapan vulkanik dan di beberapa tempat telah men­capai batu-batu lapisan bawah Tersier dan pra-Tersier. Tetapi paling banyak bentangan darat yang lebih tua terkubur oleh debu dan tanah gembur liparitik. Setelah letusan Toba yang dahsyat itu, sungai-sungai mengalir dengan deras melalui tanah gembur dan debu yang belum sempat memadat, membawa bahan ini dengan jumlah besar bukan hanya ke dataran rendah melainkan sampai ke laut dengan melebar- kan pantai atas kerugian laut. Masa erosi yang cepat dan endapan bahan-bahan vulkanik ini diikuti oleh kegiatan vulkanik tahap kedua yang berpusat di Dolok Pintau-Sibayak dan Dolok Sinabung. Gunung- gunung berapi ini mengeluarkan lahar yang sangat besar jumlahnya, atau aliran-aliran lumpur, yang berserak melalui endapan-endapan liparitik yang lebih tua dan mengisi lembah-lembah yang sebelumnya dibelah oleh sungai-sungai ke dalam formasi liparitik yang lebih tua. Endapan-endapan yang berasal dari Pintau-Sibayak dan Sinabung me- nyebar sangat terbatas ke daerah antara Sungai Wampu dan Sungai Ular. Di sini sungai-sungai yang lebih kecil, yang merupakan batas- batas formasi gunung berapi yang lebih muda, berkali-kali meng- ulangi gerak erosi dan menembus ke dalam dan bahkan melalui en­dapan-endapan tanah gembur liparitik dan menjadi beku. Sungai-su- ngai tersebut kemudian membawa bahan-bahan itu ke daratan baru dan/atau ke luar terus ke dalam perairan zona pantai yang dangkal di Selat Malaka. Sungai-sungai utama yang dimaksud di sini ialah Kwis, Percut, Deli, Babura, Belawan, Tuntungan, Mencirim, Bingei dan Be- gumit Beberapa dari sungai-sungai ini dapat dilayari oleh perahu- perahu kecil melalui tanah daratan tetapi menjadi tidak dapat dilalui di zona pegunungan karena aliran deras dan banyaknya arus cepat

e. Dataran-datamn Tinggi Karo, Simalungun, dan HabinsaranZona ketiga mencakup tanah-tanah tinggi di utara, timur, dan selatan

35

r

Danau Toba, yaitu dataran tinggi Karo dan pegunungan-pegunungan Simalungun dan Habinsaran. Sebelum ledakan Toba mungkin telah ada suatu saluran antara Gunung Tua dan Padang Sidempuan dalam lembah rembasan air bagian atas di Barumun yang menghubungkan Lautan India dengan Selat Malaka sehingga Sumatra dapatlah dibagi dalam dua bagian: Sumatra Utara yang sekarang terdiri dari Aceh, Sumatra Timur, dan Tapanuli Utara; serta Sumatra Tengah dan Selat- an. 3 Di selatan Padang Sidempuan, sistem Bukit Barisan jauh lebih sempit daripada di utara daerah tumor Toba. Seiring dengan itu ta­nah daratan dan zona-zona rawa yang mengandung air segar dan pan­tai yang mengandung air asin melebar secara menyolok mencapai lebar yang terluas pada garis khatulistiwa.

Zona pegunungan dari dataran tinggi Karo di utara sampai pegu­nungan-pegunungan Habinsaran di selatan terbentuk karena me- nyembulnya barisan bukit-bukit Wilhelmina dan Simanuk-manuk dan melendungnya tumor Toba. Sementara dataran tinggi Karo berakhir dengan agak tajam pada ketinggian 1400 m garis luar dengan anjlokan yang menyolok ke arah zona pegunungan, sebaliknya transisi antara bagian-bagian pegunungan dan tanah-tanah tinggi berlangsung jauh e ih melandai di daerah-daerah Simalungun dan Habinsaran ke se- a n. Sungai Wampu mengalir dari dataran tinggi Karo. A ir dari pe-

ungan-pegunungan Simalungun diserap oleh sungai-sungai yang memotong ngarai-ngarai menjadi endapan-endapan vulkanik meliputi ^ompieks dasar Tersier. Dalam proses ini terlibat sungai-sungai Pa- nakS' .a ’ Pare-pare, dan Silau, bersama-sama dengan anak-a- sar»SUH a* yang ^anyak itu. A ir dari pegunungan-pegunungan Habin- teDi 1Jif rap sungai-sungai Kuala dan Bila dan anak-anak sungai tak d' rl un- (Perbatasan Sumatra Timur sebelah selatan terle-

1 aerah antara aliran-aliran sungai Barumun dan Rokan).

^ Keadaan tanah

asumka11 mengerti pertumbuhan daerah onderneming yang meng- yang e r ^ h ^umatra Timur adalah geologi daerah itu sendiri dan Para ne3 f^a^an dengannya, yakni bentuk lahan dan tanahnya. menaruh8118^ ?nderneming> sesuai dengan kepentingannya, sangat lahan unt ^ V ? at*an kepada mutu tanah dalam mempertimbangkan hujan da ** emkan§kan; sedangkan segi-segi seperti iklim, musim- tumbuhan1 pembag an curah hujannya, tata pengairan dan tumbuh- Dotpnsi mes Pun penting, tidak begitu mutlak sebagai petunjuk

Pengaingem g3n pertanian- niing suDava^H u3hit telah mengajar pengusaha-pengusaha ondeme- tane trnniif 1 j menilai lahan perawan, terutama di garis-garis lin-

atas dasar tumbuh-tumbuhannya. Adalah sangat kebetulan

36

bahwa para pengusaha onderneming di Sumatra Timur menemukan tanah yang bermutu tinggi sekali. Dalam demam tanah yang hebat karena didorong sukses yang mengagumkan dari hasil-hasil pertama perkebunan itu, banyak pengusaha onderneming lain bernafsu mela- kukan penanaman di lahan baru dengan tanaman serupa yang ada di lahan tetangganya yang berhasil itu. Tetapi temyata yang ditemukan hanya lahan yang mutu tanahnya rendah. Didorong oleh kegagalan- kegagalan mereka, para pengusaha onderneming memanggil ahli-ahli geologi dan ahli-ahli tanah untuk meneliti perbedaan-perbedaan re­gional yang membingungkan mengenai mutu tanah-tanah yang telah menghidupkan hutan-hujan tropik yang kaya itu. Cukup lama peneli- tian itu memakan waktu untuk menentukan sebab yang tepat, tetapi seperti kita tahu sekarang, hutan-hutan seperti itu mampu tumbuh dengan subur di atas tanah-tanah yang pupuknya hanyut dibawa air dan dengan demikian merupakan lahan yang menjadi sangat miskin— sedemikian miskinnya sehingga tidak layak dibuka. Beberapa pe- nelitian awal yang lebih penting mengenai tanah-tanah tropik telah dibuat di Sumatra Timur.U)

Begitulah terjadi bahwa onderneming-ondememing pertama te­lah dibuka di atas lahan yang terletak antara Sungai Wampu dan Sungai Ular. Tetapi ketika para pengusaha onderneming itu mengga- rap ke luar dari lahan kedua sungai ini, mereka menemukan kekece- waan besar bahwa tembakau yang ditanam di luar bentangan Sungai Wampu dan Sungai Ular itu tidak begitu berharga. Akibatnya banyak onderneming harus ditutup, dijual, atau dialihkan ke tanaman-tanam- an lain dari tembakau. Dalam upaya mencari keterangan, para ahli akhirnya menyadari adanya saling hubungan antara geologi, endapan- endapan gunung berapi, tanah dan kesuburan. Pengetahuan kita ten­tang alam dan penyebaran berbagai bentuk semburan gunung berapi yang meliputi Sumatra Timur adalah luas dan sangat menyeluruh. Hal ini menunjukkan kepentingan praktis para pengusaha onderne­ming untuk membuat peta dari tanah-tanah di daerah itu. Sebenamya penelitian intensif selama kira-kira 50 tahun oleh para ahli geologi dan sarjana pertanian, telah membuat Sumatra Timur menjadi salah satu daerah Indonesia yang dari segi geologi paling dikenal. Sekarang sudah jelas, umpamanya, bahwa efek semburan dari ’’tumor Batak” adalah tanah gembur liparitik dan karenanya bersifat asam, berbeda sekali dalam komposisi kimia dari semburan dasitik dan andesitik, atau semburan yang ada pada dasar Sinabung, Pintau, Sibayak, dan meliputi lahan antara Sungai Wampu dan Sungai Ular.

Selama bertahun-tahun pengusaha-pengusaha onderneming mera- bedakan tanah di Sumatra Timur ke dalam tiga golongan: merah, hi- tam (termasuk kuning dan coklat), dan putih. Pembedaan lebih jauh

37

dari tiga golongan ini tidak dibuat, meskipun terdapat petunjuk-pe- tunjuk yang jelas mengenai perbedaan-perbedaan pada tembakau itu sendiri dan harga-harga yang rendah yang diperoleh untuk panen- panen yang ditanam di atas tanah-tanah yang sebenarnya nampak seakan-akan sama.

Druif adalah orang pertama yang membuat inventarisasi yang pa­ling terperinci dari tanah-tanah Sumatra Timur. Selama ia melakukan penelitian timbul pertanyaan apakah semua tanah merah adalah satu dan sama sifatnya, sebagaimana dianggap oleh masyarakat umum se­lama bertahun-tahun; ini juga berlaku bagi tanah-tanah hitam dan putih. Hasilnya ialah adanya penggolongan "yang jauh lebih terperin­ci. Kecuali unit-unit petrografik dari deposit-deposit vulkanik, yaitu endapan tanah gembur liparitik, bebatuan dasitik, dan bebatuan an- desitik, dan juga lahar atau endapan lumpur, maka tanah-tanah Su­matra Timur dibagi ke dalam dua golongan besar: tanah-tanah yang dibentuk oleh endapan tanah gembur yang dirusak cuaca di tempat aslinya, dan tanah yang berasal dari tanah gembur yang dibawa dan diendapkan kembali oleh sungai-sungai di daratan pantai Sumatra Timur.12)

Persamaan antara tanah lapisan atas yang berwama kemerah- merahan dan endapan tanah gembur liparitik yang dirusak oleh cua­ca dengan lapisan yang berasal dari bebatuan dasitik; dan perbedaan sedikit sekali yang nampak antara lempung-lempung bernasir bemar- na abu-abu keputih-putihan dengan nacir Pasir oerwardari endapan tanah gembur l i p S k aSu dari S ' " 8 ,terdirisekali lagi juga perbedaan: yang lebih keoil a . n. dasitik, atau bawah berwarna kuning yang berasal rlari k v, ra tanah lapisantit, membuat sangat sukar menem S a^ , „ A™. daS“ ik dan andesi'Penyelidikan Druif bukan hanya menplir i Perbedaan tanah.yang muda melainkan juga formasi-formaJU Snya deposit vulkanik Panenan yang.dftasflkan di atas tanah;!, u er ^ lebih tua. Tersier yang dirusak cuaca selalu m e r a n l ^ a s a l dari batu-batu

peta dan tempat.tempat ya " t ™ * adalah penting mem- paya dapat menuntun para k ,ni Seaku^ t mungkin su-yang sangat kecil antara beberapa tan K° nderneming itu. Perbedaan sier berlempung yang dirusak anah gembw dan nasir-oasir Ter- lumat sampai halus, warnanya pun h*n batu‘batu pasir yang mudah dang-kadang membuat pemh^ blasanya , iQf ka-pembagian antara T ersie^ daan di . l a p a n S n 3taU A.da tidak adanya ciri-ciri nptr, Kuatenar tidak pasti. Lagi P ’kan, Draif o e n S S S b ? T * tidak PastL Denf ?mus bahwa pemisahan f l nsip tektonik I yang dapat dia ^nyangkutpadaketidaksamaan^ Tersier dan *enefrima s5 bagf r J tdWiaannya) ya ^an Kuatenar harus 38 dalam berbagai hal dapat di-

lihat di lapangan. Semua deposit yang tak terganggu digolongkan ke­pada Kuatenar, sementara semua formasi yang sudah bertumpukan dipindahkannya ke Tersier.

Druif menggunakan metoda analisis mineralogi secara sistematis. Ini memungkinkan dia membedakan lima jenis pokok tanah pening- galan.13) (lihat Peta VI).

1. Jenis tanah di atas bahan induk Tersier, terdapat terutama di barat laut Sungai Wampu. Kesuburan tanah-tanah ini sangat rendah.

2. Jenis tanah yang berasal dari tanah gembur riolitik-liparitik terdapat di tenggara Sungai Blumei. Di medan yang bentuknya bukit- bukit bulat, tanah-tanah liparitik di situ sangat mudah ditembus air. Inilah sebabnya di dataran-dataran rendah, lapisan tanah menjadi tipis dan miskin humus meskipun di bawah hutan-hujan tropik zaman purba. Pada tanah-tanah yang letaknya lebih tinggi, oksidasi zat orga- nik diperlambat oleh suhu yang lebih rendah, sehingga tanah-tanah pegunungan lebih tebal daripada tanah-tanah dataran rendah dan mengandung lebih banyak gemuk Tanah-tanah liparitik ini asam dan cenderung sangat mudah kena erosi karena sifatnya seperti pasir.

3. Jenis tanah yang terdapat di atas tanah gembur dasitik-lipari-tik.

4. Jenis tanah yang teijadi di atas tanah gembur dasitik Ini mung- kin termasuk kepada salah satu tahap kegiatan gunung berapi, yang lebih tua atau lebih baru. Tanah-tanah yang berkembang di atas ta­nah gembur dari tahap yang lebih tua terletak antara Sungai Bingei dan Sungai Deli; tanah-tanah dari tahap yang lebih baru terdapat di tiga daerah mulai dari utara ke selatan. Meskipun tanah-tanah ini nampaknya sama, penelitian-penelitian mineralogi mengungkapkan perbedaan-perbedaan yang jelas.

5. Jenis tanah yang teijadi di atas aliran lahar yang terbaru, sifat­nya adalah andesitik. Para pengusaha onderneming Belanda mena- makan tanah ini zwarte stofgronden, atau tanah debu hitam. Jenis ini sedikit kepaduannya dan mudah diterbangkan oleh angin apabila di- biarkan di alam terbuka. Druif percaya bahwa tanah ini adalah begi- tu muda sehingga debu yang terdiri dari pasir halus dan lumpur, belum mempunyai cukup waktu untuk berubah menjadi lempung. Ta­nah-tanah ini mengandung banyak humus, hingga mencapai 13 sam­pai 17%. Yang disebut tanah pama ini, atau endapan sungai yang sesungguhnya, membentuk daerah-daerah yang terletak sepanjang su- ngai-sungai pada ketinggian yang dicapai oleh banjir atau pada teras- teras sungai yang teijadi pada waktu pengendapan-pengendapan ter- dahulu. Sebagaimana dengan bermacam-macam tanah gembur yang menjadi sasaran dibawa arus air, maka tanah pama yang dihasilkan

39

itu bisa bersifat liparitik, dasitik, andesitik, atau suatu campuran dari dua bahkan tiga jenis tanah gembur.14’

Sepanjang pantai kita hanya menemukan tanah-tanah yang ber- asal dari bahan induk yang dibawa arus air dan diendapkan dalam bentuk kerikil dan lumpur. Tetapi bahkan di pantai-pantai yang ren- dah, di belakang rawa-rawa bakau dan nipah, Druif dan rekan-rekan seke^anya mampu membedakan tanah-tanah sekunder atas dasar si- fat-sifat khas dan bahan induk. Hanya tanah-tanah yang terbentuk dari bahan endapan yang ada di lepas pantai, jadi dengan demikian mengandung lumpur yang dibawa oleh sungai-sungaiSSr h I ? tidak memungkinkan dilakukan pembedaan seperti tersebut di atas Karena para pengusaha onderneming tidak menanih mi!/* I , ,tanah-tanah yang paUng deka, ke p a l , k a S a T ya» “ S S S S an hanya lima atau enam kaki di atas pasang naiW tian Druif tidak mencakup tanah yang terbentuk HaH i 'Peneh' lebih baru. an lumpur yang

Analisis mineralogi mengungkapkan bahwa tanah a u tik mengandung mineral seperti gelas vulkanik, kuart gembur lipari- oligoklas, biotit, amfibole hijau, magnetik, ilemit « t albit’ sanidin> dan spinel. Tanah gembur dasitik mengandung mi V*’ aPatit, ortit sama kecuali untuk ortit tetapi dengan mineral j ral"mineral yang perti batu akik berwarna merah tua, amfibol hP tambahan se- perowskit, tambah sedikit andesin dan piroksin iTrWarna c°klat, dan andesitik-dasitik sekali lagi mengandung mineral1]aU' Tanah gembur tetapi dengan banyak amfibol coklat dan agak ii? u neral yan§ sama hijau, banyak andesin, dan sangat sedikit sanidin h anyak Piroksinmineral yang terdapat dalam semua tanah gemS,. albite- Mineral-perlihatkan banyak perbedaan dalam jumlahn VUlkanik ini mem-

Endapan-endapan dari daratan pantai ^ masin§-masing15) an yang nyata dengan tanah gembur yang tPri ^ P,erlihatkan persamapantai itu, di sana endapan-endapan itu W tak di selatan dar^ „mana diperkirakan. Terjadinya kSmpSsi ah ng bercamPur s e b a t f kan karena pengaruh suW i-sungai ataorma d Pur^bagm -

dan pegunungan menembus /aoi'san lQ cukun iauhngikis dan menghanyutkan form an t PlSan ^ J^n ik dan t ? T batu plutonik. fo-a s i- f0rmasi yang dan telahme-

Penelitian-penelitian Druif danat

kan dan diragi, adalah karena t e n S s tembakau van ^ iP " gembur yang berbeda dari apa van ^ ini ditanam kenR-'jelek yang menyolok adalah disebahv^ 3 dan bahwa h^h ***** mukaan bumi lapisan Tersier yang r ? 1 pen§aruh m u n ^ ^

yang tidak dinerW ? nculnya ke Per' ^ atlkan sebelumnya.

Suatu problema lama dapat dipecahkan oleh analisis mineralogi mi yakni perbedaan menyolok yang nampak secara umum pada ta- naman tembakau di ladang-ladang, di tempat-tempat yang berbeda dalam suatu ’’pembagian lokasi” di dalam mana onderneming temba­kau itu ditempatkan. Pembagian lokasi kebun-kebun tembakau ini di- lakukan dari timur ke barat, sebaliknya tanah-tanah onderneming membentang dari utara ke selatan, dibatasi di timur dan barat oleh sungai-sungai. Tanah itu menanjak antara sungai-sungai sampai se- tinggi beberapa meter di atas tanah yang langsung berdekatan dengan sungai. Analisis itu mengungkapkan bahwa bagian-bagian yang lebih tinggi dari wilayah itu, yang membentuk daerah tengah tanah sungai, adalah teras-teras tinggi yang lama. Sifat-sifat tanah ini yang sebenar- nya belum diketahui, karena garis-garis batas antara teras tinggi dan teras tingkat menengah dan rendah telah dimusnahkan oleh penggun- dulan.16)

Keadaan yang sangat rumit dari onderneming-onderneming se­perti Gunung Rinteh dan lain-lainnya yang sampai akhir tahun 1930 masih mempunyai hutan zaman purba yang sebagian besar terdiri dari hutan belukar yang sangat tua, sedangkan suatu persentase tinggi dari tanah itu digunakan hanya sekali dalam dua puluh atau tiga puluh tahun, dengan demikian untuk pertama kali menjadi jelas. Ter- nyata bahwa onderneming-onderneming seperti itu mempunyai bebe­rapa jenis tanah gembur, endapan-endapan lumpur, teras-teras sungai yang lebih tua dan lebih muda, dan bahkan endapan-endapan Ter­sier. Tidaklah mengherankan bahwa tembakau yang ditanam di per- kebunan-perkebunan seperti itu sangat beraneka ragam.

Tanah-tanah utama daerah tembakau sangat berbeda dalam nilai pH mereka. Tanah-tanah liparitik sangat asam, sebaliknya tanah-ta­nah dasitik dan andesistik hanya sedikit asam dan mempunyai pH 6 sampai 6,7. Mutu dan harga tembakau tergantung kepada tanah tem- pat ia ditanam. Tembakau yang ditanam baik di atas tanah zaman purba maupun di atas tanah baru liparitik mempunyai nilai yang lebih rendah daripada di atas tanah yang berasal dari tanah dasitik atau dasitik-andesitik Ini diperlihatkan dalam Tabel 1, yang membe- rikan harga-harga rata-rata yang diterima di pelelangan-pelelangan di Amsterdam selama masa dari tahun 1893 sampai 1930.

41

TABEL 1HARGA RATA-RATA TEMBAKAU UNTUK MASA DARI 1983 SAMPAI 1930, MENURUT JENIS T A N A H . ___________________________

Gulden per Dollar AS Jenis Tanah % ^ per pon

a. Tanah-tanah lamaDebu dan tanah gembur liparitik Tanah gembur dasitik Liparitik-dasitik Lahar dasitik-andesitik Lahar dasitik

b. Tanah-tanah baru Liparitik Dasitik-andesitik

0,90 0,451,34 0,671,51 0,751,70 0,901,99 0,99

1,16 0,581,81 0,90

Sumber: J. Barnard Gibbs, Tobacco Production and Consumption in the Netherlands Indies (Departemen Pertanian Amerika Serikat, Kantor Hubungan Pertanian Luar Negeri, Washington D.C., 1940, mimeo), him. 12 — 14.

Mohr meminta perhatian terhadap suatu gejala yang asing di suatu daerah luas antara Sungai Asahan di timur dan Sungai Rampah di ba­rat. Daerah itu mengandung apa yang dinamakan Druif ” endapan-en- dapan sungai dengan bahan liparitik ditambah bahan vulkanik lainnya” (kursif adalah tambahan), meskipun tidak ada nampak ’’bahan vulkanik lainnya” di selatan daerah ini. Untuk membenarkan peta Druif, Mohr beranggapan bahwa beberapa gunung berapi di selatan, terutama Bato- pu, Sirapagus, Simarsopah, Simbolon, dan Simarito, mungkin telah menghasilkan bahan dasar ketimbang bahan mengandung asam yang pada umumnya dianggap demikian untuk daerah itu.17)

Sepanjang menyangkut jenis tanah, perkebunan-perkebunan temba­kau dapat digolongkan ke dalam tiga kategori: perkebunan-perkebunan tanah tinggi (pengunungan) dengan jenis tanah berasal dari bahan-ba- han Tersier, liparitik, dasitik, dan andesitik; perkebunan-perkebunan daerah kaki pegunungan dengan jenis tanah yang berasal dari lahar vulkanik; dan perkebunan-perkebunan dataran rendah dengan jenis tanah yang berkembang di atas endapan-endapan sungai dan laut yang berasal dari lahar-lahar ke selatan.

Kembali kepada topografi Sumatra Timur, suatu segi geografi dari daerah yang secara langsung mengalami konflik agraria dalam tahun- tahun terakhir, Kantor Tata Bumi di Medan menentukan unit-unit to­pografi sebagai berikut:18)

42

an J 2 L 7 '" gai ^ W -Daerah-daerah pematang ^ ^ S lZ S ^ S X Z n ^ ^ Z

S l T S i S S d‘ “ “ -M a e r a h pan ta iyangduTpermukaan laut sampai 10 n ie te r^ a ta s d3' ketfnggian berk'sar dariDematane oantai . teS Permukaan laut. Pematang-m em buktikan suatu peralihan ear* "8 teJ'd.a*)at Jauh di Pe d a lam an, ini M alaka yang dangkal Karena Dernata3 * f F3h luar menuju ke Selat terletak tak berapa jauh ke P ™atang~pematan§ pantai yang tua- yang tidak lebih tinggi dari garis oanfa g,anS pantai yang sekarang>dapat menentukan peningkatan tin pJT 8 Pif ong akhi£ .maka tidak ini melainkan mesti m e ^ ^ ^ ^ Sur t o ^ T * al* ! ,>akhir daerah-daerah lepas p a n ^ y a n ^ g k a l ^ PemmbUnan 1UmpUr

pantai’ dengan tetinffffian dari 10 sampai 45 me- ' . p ai erletak langsung di selatan rawa-rawa pantai dan

mes lpun pa a mulanya berhutan lebat dan rembasan airnya buruk, secara intensif diperbaiki oleh para pengusaha onderneming, yang membuka hutan itu, membuat tanggul-tanggul sungai, dan menjelajahi daerah itu dengan terusan-terusan penyaluran air.

3. Tanah-tanah tinggi berbukit-bukit, dengan ketinggian 25 sampai 150 meter. Garis luar 25 meter yang secara umum menandai tujuan-tujuan pelayaran bagi kapal kecil pribumi, dewasa ini hampir seluruhnya di- tandai oleh jalan-jalan raya modern sejajar pantai dari Binjei di Lang­kat sampai Medan, Tanjung Morawa, Tebingtinggi, Kisaran, dan tempat- tempat lebih jauh ke selatan. Kejadian yang hampir kebetulan antara jalan raya dan garis luar 25 meter itu adalah suatu akibat yang wajar untuk menghubungkan kota-kota pada persimpangan-persimpangan su­ngai yang penting. Perkembangannya bermula pada perdagangan anta­ra penghasil-penghasil di pedalaman dan pemilik-pemilik sampan. Ta- nah-tanah tinggi itu dipotong sungai-sungai yang mengalir dengan ce- pat, berkelok-kelok dan dalam beberapa hal mengembangkan cukup kesempatan untuk tanah pama di daerah-daerah yang luas.

4. Tanah kaki pegunungan (pidamon), dengan ketinggian berkisar dari 150 sampai 500 meter. Di sini tanahnya agak pecah-pecah dan dasarsungai-sungainya sangat dalam.

5. Gunung-gunung dan tanah-tanah tinggi, dengan ketinggian 500 meter atau lebih. Ini mencakup dataran tinggi Karo dan tanah-tanah tinggi Simalungun.

6. Lereng-lereng yang menurun ke selatan menuju pantai-pantai Danau Toba mempunyai puncak ketinggian 1.500 sampai 2.000 meter dan ketinggi­an yang agak rendahan sampai 900 meter, yang merupakan permukaan danau. Lereng-lereng yang lebih tinggi sangat curam di beberapa tem-

43

r

pat, tetapi lereng-lereng yang lebih rendah berteras-teras dan ditanami secara intensif sebagaimana jalur-jalur tanah dataran yang sempit de- kat danau, terutama di sebelah utara. Sebagian, garis perbatasan antara Sumatra Timur dan Tapanuli mengikuti Danau Toba.

Di perkebunan-perkebunan tanah tinggi sungai-sungai sangat dalam, di daerah kaki pegunungan sungai-sungainya kurang dalam, sementara perkebunan-perkebunan tanah rendah mempunyai sungai-sungai dang- kal berkelok-kelok antara tanggul-tanggul alam rendah yang dengan mudah dilintasi sungai-sungai selama musim hujan. Dengan demikian

Perkebunan-perkebunan tanah rendah lahan di dekat tanggul-tang- p il itu sering kebanjiran, yang pada gilirannya mendorong kehancuran tanah di bawah air atau tanah yang digenangi air. Perkebunan-perke-

unan di daerah-daerah tinggi memerlukan tindakan-tindakan antiero- si yang cermat seperti pembuatan teras-teras penutup hutan lindung, etapi tidak ada kesulitan mengenai pengairan; perkebunan-perkebun­

an dataran rendah sebaliknya mempunyai hanya sedikit atau tidak ada sama sekali masalah erosi tetapi memerlukan penyalur-penyalur air J^ng mahal seperti memperkuat tanggul-tanggul alam dengan membuat

nggul-tanggul dan dam-dam, menggali terusan-terusan penyalur air, memasang pintu-pintu pencegah banjir otomatis untuk memungkinkan pem uangan air pada saat pasang surut dan mencegah penyusupan air

J?a» A Saa* pasanS naik; pemompaan air ke luar dari tanah-tanah yang lebih rendah dari permukaan lautsa r 3 r*nt*s Pengusaha onderneming di Sumatra Timur, setelah ma- an van! * 3311 dan kesalahan dengan biaya mahal, mempunyai kesadar- Denti er^adap keadaan-keadaan geologi dan topografi yang

SPh ® agl berhasilan setiap pengusahaan onderneming. daerah -I iana bab-bab yanS berikut akan memperlihatkan, sejarah nvata rl^V. 'ki P°k°k-pokok konflik agraria di sana sebagian besar ter- dan ta n fw 3 Perbedaan-perbedaan daerah dalam topografihmnn ^ anahnya. Perbedaan-perbedaan dalam suhu panas, curah

> an masalah pengairan tidaklah begitu menonjol.

Iklim

Thnur^ an*"ara ®ar*s khatulistiwa dan Garis Lintang Utara 4°, Sumatra diDenpme rnpunyai iklim pantai tropik yang dalam sifat iklim mikronya Batak” 3rU \ b topografi seperti daerah-daerah tanah tinggi ’’tumor eunnntran11 u^S’ c*ataran tinggi Karo, pegunungan Simalungun dan pe- mantar> w i a ,nsaran; Suhu-suhu udara menunjukkan kenaikan yang nai i 3 aillJ{et*ngSian mulai dari permukaan laut dekat pantai sam- ra Ppmof111 15a*aran tinggi Karo dan di pegunungan Simalungun anta-

, a.n.® * lantar dan Danau Toba. Di daerah-daerah pantai rata- u u kira-kira 25°C, dengan maksimum 32°C. Dataran-dataran ren-

44

dah pantai menikmati embusan angin darat dan laut dan secara relatif sejuk pada malam hari. Karena suhu menurun dengan 0,6°C per 100 m, maka suhu daerah-daerah pegunungan jelas lebih rendah daripada di dataran rendah. Di daerah-daerah yang lebih tinggi suhu menurun sam­pai rata-rata 12°C dan berkisar antara 5,5°C dan 18°C.

Daerah perkebunan Sumatra Timur mempunyai rangkaian ’’stasiun- stasiun bukit -nya sendiri di pantai-pantai Danau Toba pada ketinggian 900 meter, terutama di Prapat dan di Berastagi dan Kabanjahe di datar­an tinggi Karo. Perbedaan dalam ketinggian antara daerah-daerah pan­tai dan tanah rendah di utara, dan di daerah-daerah tanah tinggi ke selatan juga menghasilkan perubahan yang cukup besar dalam curah hujan, yang cenderung bertambah sesuai dengan perbedaan dalam tingginya. Dengan demikian Medan mempunyai rata-rata 142 hari hu­jan, dengan rata-rata kira-kira 2.000 mm per tahun, sementara Pematang Siantar, di pegunungan Simalungun, rata-rata 127 hari hujan tetapi hampir 3.000 mm hujan per tahun. Medan hanya mempunyai satu bulan dengan rata-rata kurang dari 100 mm hujan per bulan, sebaliknya Pe­matang Siantar tidak memperlihatkan satu bulan pun dengan curah hujan rata-rata kurang dari 100 mm. Curah hujan tahunan berangsur bertambah mula-mula sesuai dengan tingginya, meskipun dalam jarak terdekat dari pantai curah hujan lebih tinggi daripada kira-kira 5 km ke pedalaman. Curah hujan paling tinggi nampak di lereng-lereng pegu­nungan yang lebih rendah, sementara di dataran-dataran tinggi curah hujan itu berkurang. Bandar baru (864 meter) di lereng dataran tinggi mempunyai curah hujan 6.800 mm per tahun, sementara Berastagi, 10 km dari pinggiran luar dataran tinggi Karo, mempunyai curah hujan rata-rata hanya 1.900 mm.

Menurut klasifikasi iklim oleh Koppen, daerah-daerah Sumatra Ti­mur dengan ketinggian antara permukaan laut dan 1.000 meter mempu­nyai jenis iklim hutan tropik, atau Af, sebaliknya pegunungan dengan ketinggian di atas 1.000 meter mempunyai jenis iklim mesotermal yang lembab, atau Cf. Untuk suhu tahunan kurang dari 5°C, Koppen menggu- nakan huruf i. Huruf-huruf w atau s memperlihatkan musim kering, baik dalam ’’musim dingin’’ maupun dalam ’’musim panas” di kedua belahan bumi masing-masing. Dengan demikian, maka rumus iklim Koppen menjadi Afuri untuk daerah pantai Sumatra Timur sampai kedalaman kira-kira 60 km dengan Februari atau Maret sebagai bulan-bulan terke- ring. Dan Afsi untuk tanah-tanah rendah dengan Juni atau Juli sebagai bulan-bulan terkering. Daerah dengan ketinggian di atas 1.000 meter termasuk ke dalam golongan iklim Cfsi Koppen.

Koppen tidak memasukkan ke dalam penelitiannya perbandingan antara penguapan dan curah hujan, sebagaimana dilakukan oleh Mohr.19) Mohr dalam penelitian tanahnya menggunakan suatu klasifika-

» 45

si iklim yang menganggap bahwa jumlah air hujan akan melebihi peng- uapan jika curah hujan bulanan berada di atas 500 mm. Bulan-bulan seperti itu dianggap bulan ’’basah”. Bulan-bulan dengan curah hujan lebih dari 350 mm tetapi kurang dari 500 mm dianggap ’’lembab”, se­mentara Mohr menggolongkan bulan-bulan dengan curah hujan kurang dan 350 mm kering”. Menurut klasifikasi Mohr, Sumatra Timur mem- punyai iklim tanpa bulan-bulan ’’kering”, bahkan bulan-bulan "lembab” adalah kekecualian.

Cf Koppen adafa^^iPnf6013^8 agronomis> Perbedaan antara A f dan

buhan akan kurang ceoat m f i l t ( lUim; tumbuh-tum-tanah pegunungan dan karpnn u mengoksidasi di tanah-humus lebih banyak di tanah pembentukan tanahyang tinggi dan suhu-suhu yang . ombinasi curah hujanproblema pelepasan zat War sePanjang tahun menimbulkan rus-menerus. Satu Lb aJ a? “ .air dan Pengikisan yang te-bunan lumpur pada arnc-amo o • 1 Pengikisan ini adalah tim-muaranya, hal mana menguranai8^ ya° g lebih lambat dan di muara- selat. Beting-beting (sandbank e/:epatan air mengalir ke dalamarus-arus air yang lambat dan m . ®ntuk a§ak lebih cepat dalam suki sungai-sungai. Keadaan <?p ei^mbu kan kesukaran untuk mema- batkan banjir-banjir besar vanu H ,In ’ selanjutnya akan mengaki- pada tempat-tempat pemukiman * i menimbulkan kerusakan berat nyak lagi yang dapat disebutkan J 3 an" a an dan panen-panenan. Ba- banjir-banjir, dan kehancuran n„i?ngena masalah timbunan lumpur, bunan. curan Pohon-pohonan di perkebunan-perke-

Bahkan suatu masalah yane uk-i, . kok ketegangan antara para Dpnm uGSar’ dan meruPakan sebab po- petani Indonesia dalam tahun S ondememing Barat dan para gara-gara penghancuran pohon-rmv,3n’ adalah erosi yang sangat luas ngat besar. Dalam tahun 1950-an n„°n u^an aiam dalam jumlah sa- mempermasalahkan meningkatnva pe,ngusaha onderneming Barat karena penebangan hutan y S dan ke^sakan rembasan air erejig pegunungan. Penelitian van? r- e kan’ terutama di lereng-

sejarah mengungkapkan bahwa para n!m at terhadap catatan-catatan an kehancuran yang sama*1 1831?3 ondememing pasti te-

ni ndonesia, terhadap perlinrlnn ^dak lebih daripada paraS r L n T ± r tUk itu- Ha> t o s2 hng“ huf n dan mereka b e r L g - an khusus fltnmemaksa Pemerintah untot* '’elas se-)ak awal abad dan erosi yangdengan pengairan dan 5 te£S»46

Suatu cin iklim yang penting di Sumatra Timur adalah angin-angin sangat kencang yang bertiup dalam bulan-bulan Juli sampai Septem­ber sepanjang lereng-lereng dan sepanjang lembah-lembah sungai tu- run dari ’’tumor Batak” melalui zona kaki pegunungan terus ke tanah- tanah rendah. Angin-angin yang jatuh ini dinamakan Bohorok dan da­pat disamakan dengan angin-angin Fohn di Austria, Jerman bagian selatan, dan Swis. Nama Bohorok diambil dari lembah sungai Boho- rok, anak sungai Wampu, mengembus tajam sekali apabila turun dari pegunungan ke tanah-tanah rendah Langkat Angin-angin Bohorok di- takuti oleh para pengusaha onderneming karena akibat kegersangan- nya yang menghancurkan. Angin Bohorok ini menggantikan angin laut yang berembus ke pedalaman selama hari siang.

Gejala yang sama adalah ’’Angin Sumatra” yang ditakuti para pe- laut yang melayari Selat Malaka. Dalam bulan-bulan Juli, Agustus, dan September, adalah biasa selama saat-saat senja datang badai de ngan tiba-tiba dan sangat kuat, diikuti curahan hujan yang lebat A- ngin badai ini juga turun dari Bukit Barisan, melintasi dataran ren­dah terus ke Selat Malaka. Di senjakala, orang dapat melihat menjel- manya awan-awan kumulus di atas pegunungan dan mendengar suara guruh menggelegar di kejauhan. Awan-awan dengan tiba-tiba mulai bergerak dengan kecepatan yang tinggi ke arah Selat Malaka dan Semenanjung Malaya. Bersamaan dengan itu, langit terbuka menda- dak dan hujan tropik turun dengan lebat. Para pelaut yang melihat angin ini datang mendekat dari sebelah Sumatra menyebutnya ”A- ngin Sumatra”.

Tumbuh-tumbuhan

Data-data kita mengenai tumbuh-tumbuhan asli di Sumatra Timur a- mat sedikit dibanding dengan pengetahuan tentang tanahnya. Para perintis pengusaha onderneming tidak membuat pengamatan khusus, atau sama sekali tidak membuat pengamatan, tentang tumbuh-tum­buhan yang sedang mereka rusakkan dengan tidak semena-mena. Ti- daklah keliru mengatakan bahwa tumbuh-tumbuhan alam Sumatra Timur terdiri dari berbagai jenis hutan, meliputi hutan pasang surut sepanjang pantai melalui hutan rawa-rawa berair tawar, dan hutan- hujan tropik yang selalu hijau sampai hutan-hutan pegunungan dan hutan kald-pegunungan di daerah-daerah pegunungan. Seratus tahun yang lalu, l a ^ antlta hutan rawa di pantai dan * tupi oleh hutan-hujan tropik zaman purba dan hutan belukar, dan

47

akan terdiri dari hutan-hujan zaman purba, jika saja para perintis onderneming itu tidak hanya memusatkan usaha mereka pada hutan- hujan zaman purba tersebut sekian lamanya untuk mendapatkan ha- sil panenan tembakau yang baik.

Di tempat-tempat di mana perairan pantai terlindung, dangkal dan Deriumpur, maka lingkungan itu ideal untuk pengembangan hutan-

HPaSt n uSUnit yang terdiri dari berbagai jenis pohon bakau ber- an beberapa induk rumpun dan tiga keluarga yang tidak se-

„ sePertl J'enis-jenis Avicennia, Rhizophma, Bruguiem, dan Son-, P°hon-pohon bakau itu menggambarkan perubah-

lah nplnrf • alam lingkungan. Biasanya Avicennia alba Blume ada- tar a R h E Z u perairan yang menghadap laut terbuka, semen-suneai wf ^ r(mata Lam terdapat sepanjang saluran-saluranKurz Di no '*auh ke Pedalaman oleh Rhizophora conjugatafnit.j/'nriQ w „ raiuan paj!au di belakang daerah bakau terdapat Nipa ra Deneii^aVio” 1 ’ ®ej®nis Palem yang menjadi sangat penting bagi pa- kan dalam i P®rkebunan sebagai sumber bahan atop, yang diperlu-

U" ' “k dan bangsal-bangsal

ngan j^ s ^ F ^ ? r o^3 payau digantikan oleh hutan-rawa air tawar de- ma suriculata Honk a 2 Sln1?awan3 Burck, terentang atau Campnosper- jang hamparan oan’tein Pf SagU WebnxgUm sagus Rottb.). Sepan- hon-pohon bakau p 131 Pasir, seperti dekat Pantai Cermin, po- setifolia Linn dan menyerah pada pohon-pohon seperti Casuarina equi- dan tumbuh-tumh„;,hniS Jenis Bar>inOtonui, kemudian pada Pandanus

Pada lahan i y3ng menJalar lW™oea pes-capme Roth, mulanya terdanaf ! inggi di belakang hutan rawa air tawar pada yang lebih banyak daerah hutan-hujan tropik serba hijaupengusaha ondernem fniT 13118311 Penduduk Pribumi dan para an lainnya- ia telah rT danPada yang dialami zona tumbuh-tumbuh- keras seperti kelaD T.gantikan oleh hutan belukar, tanaman-tanaman buahan, ladang-ladan/^1’ kelapa S3wit’ dan sisal> perkebunan buah- digunakan untuk npm, ya" g bersifat sementara maupun tetap, yang alang-alang yang terd ^ h *3” tanaman tahunan, dan akhimya oleh rumput lainnya ln r* Imperata syndrica Beauv dan rumput-

hujan t r o p u T b o k ^ i J r 8?1 dari P °hon-P °h° n yang membentuk hutan-luarga DipterocarpJecJ J ^ 3! ? d3ri berbagai induk jenis dari ke' dan jenis Hopea Kelna™ ? umpamanya beberapa jenis Shmeahon lebah (Koampa^ie 6 diwakili oIeh GoaZan5> atau p°-oleh para pengusaha nnT 3 )’ yang tidak diizinkan ditebangnyak sekali sarant* loh ! j meming dengan pertimbangan bahwa ba-

6iial1 Sarang lebah dimanfaatkan oleh penduduk setempat

48

Selama tiga atau empat dasawarsa pertama industri tembakau itu berjalan, pembukaan lahan yang dicadangkan untuk penanaman tem­bakau bungkus dengan cepat diambil-alih oleh alang-alang dan rum- put-rumput tropik lainnya, sehingga padang-padang rumput bikinan manusia yang sangat luas menggantikan hutan-hujan itu, karena se- ringnya terjadi pembakaran-pembakaran rumput yang menghambat reboisasi alamiah.21) Selama para pengusaha onderneming itu per- caya bahwa lahan mereka dapat menghasilkan panen tembakau ha­nya satu kali saja, mereka tidak berbuat apa pun untuk mencegah penyebaran rumput-rumput itu. Akan tetapi, sekali mereka sadar bah­wa mereka telah terlalu jauh bersikap pesimis dan bahwa tembakau dapat ditanami berulang kali, asalkan tanah kosong di bawah hutan pertumbuhan kedua atau hutan belukar digarap selama tidak kurang dari tujuh atau delapan tahun, maka mereka mengambil tindakan untuk mencegah pembakaran rumput dan mencegah membunuh po- hon-pohon muda dengan jalan menanami suatu jalur pencegah keba- karan dengan kayu jati, atau Tectona grandis, sepanjang jalan-jalan umum.221 Mereka pun menggalakkan reboisasi alamiah dengan pohon- pohon yang suka pada matahari dan pohon-pohon kecil seperti jenis- jenis Marcaranga dan Trema, Melochia umbeUata Stapf, CaUicarpa to- mentosa. Murr. , dan Abroma augusta L. Beberapa pengusaha ondeme- ming juga membibitkan pohon-pohon plong yang cepat tumbuhnya seperti Albizzia falcata Backer, Cassia siamea Lam, atau pohon Johar, Pitheco- lobium saman Benth. atau pohon hujan, dan Leucena glauca Benth., atau pete cina. Beberapa perkebunan membibitkan pete cina ini di daerah-derah konsesi mereka sebagi pencegah kebakaran.23’ Tindakan- tindakan ini sangat berpengaruh untuk mengubah fisiogronomi perkebunan-perkebunan tembakau, karena hutan pertumbuhan ke­dua (beluar) mematikan rumput-rumput dan menyebar dengan man- tap serta menggantikan padang rumput yang luas itu.

Di kebanyakan daerah di Sumatra Timur, perkebunan-perkebunan tersebar ke pedalaman sampai ketinggian 300 meter. Perkecualian adalah Simalungun; di sana perkebunan-perkebunan teh mencapai ketinggian 1.000 meter atau lebih dan telah menggantikan hutan di gunung-gunung dan di kaki-kaki gunung, yang pada mulanya menutupi lahan di atas 600 sampai 700 meter. Bagian-bagian yang luas dari hutan gunung dan hutan kaki-gunung di hulu Langkat, Doli, dan Ser­dang ditetapkan sebagai cadangan-cadangan hutan dengan maksud untuk mencegah kehancuran oleh penggarapan yang silih berganti dan untuk melmdungi batas-batas air.

Daerah hutan gunung di Langkat dan Deli berakhir pada ketinggian 1.400 meter, sama tingginya dengan bagian utara dataran tinggi Karo. Dataran tinggi ini, yang dibatasi di utara oleh pegunungan Wilhelmi-

49

na, hutannya ditebang menjadi desa terbuka yang ditutupi sebagian oleh padang rumput, sebagian oleh ladang-ladang pertanian tetap. Di dasar-dasar lembah sungai-sungai yang telah dengan dalam sekali memotong ke dalam debu dan tanah gembur vulkanik, orang dapat menemukan hamparan persawahan. Sementara di bagian-bagian yang lebih tinggi dari dataran itu, biasanya tidak cocok untuk digarap men­jadi sawah karena lahan itu terlalu mudah tembus air. Di dataran tinggi Karo, hutan-hutan terbatas ke bagian-bagian lembah yang se- ring menyerupai jurang dan ke lereng gunung-gunung berapi, seperti Sinabung dan Pintau-Sibayak, yang menjulang tepat di atas permuka- an dataran tinggi itu sampai ke tinggian 2.000 meter atau lebih.

Dataran tinggi Karo terletak di luar daerah perkebunan Sumatra Timur. Para pengusaha onderneming pergi ke dataran tinggi itu ha­nya untuk istirahat dan hiburan yang ditawarkan oleh iklimnya yang sejuk. Banyak perusahaan menyediakan bungalo-bungalo untuk pega- wai-pegawainya di pusat bukit Berastagi.

Suku Batak Karo telah mempelajari cara-cara memanfaatkan lahan mereka untuk penanaman kentang dan berbagai jenis sayuran, kem- bang-kembang, dan jeruk. Sebagai tempat penjualan, Medan dan tem- pat-tempat perkebunan-perkebunan menjadi pasar yang baik sekali bagi mereka.

50

Bab IIINienhuys Dan Para Perintis

Onderneming

Di antara penumpang kapal Josephine ketika ia membongkar sauh di kuala sungai Deli pada tanggal 6 Juli 1863 terdapat Jacobus Nienhys dan wakil-wakil perusahaan dagang J.F. van Leeuwen Co., para pemi- lik kapal itu. Peranan perusahaan tembakau Belanda dari Surabaya itu berakhir kira-kira tiga minggu kemudian dengan kembalinya ka­pal Josephine ke Jawa, tetapi bagi Jacobus Nienhuys ini adalah suatu hari bersejarah, baik dalam hidupnya maupun dalam perkembangan Sumatra Timur. Di atas kapal itu terdapat juga pangeran Said Ab­dullah Ibnu Umar Bilsagih, pangeran pengangkatan sendiri, yang menceritakan bahwa tembakau bermutu tinggi dapat ditanam di Me­dan dengan jumlah besar. Cerita itu telah membawa pihak yang ber- minat ke sana.

Bagi Nienhuys tibanya Pangeran Said Abdullah di Surabaya bebe­rapa bulan sebelumnya betul-betul merupakan suatu hal yang sangat baik. Pada tanggal 27 September 1861 Nienhuys, seorang pengusaha onderneming Belanda yang masih muda, telah diberi kuasa oleh per­usahaan dagang Pieter van den Arend & Consortium, sebuah asosiasi yang dibentuk kurang dari seminggu sebelumnya oleh empat peda­gang Rotterdam yang berminat memperoleh perkebunan tembakau di Jawa. Perintah-perintah yang diberikan kepada Nienhuys adalah un­tuk memilih sebuah perkebunan kecil seluas 75 sampai 150 hektar dalam suatu daerah yang mempunyai jalan masuk dengan mudah ke pelabuhan dan masih mempunyai daerah sisa bagi kemungkinan per- luasan masa mendatang dan dengan penduduk yang mengerti pena- naman tembakau11. Perkebunan seperti itu ternyata sangat sukar di- temukan, dan Nienhuys dalam tahun 1862 hanya mampu membeli tembakau sekedar lebih banyak bagi para majikannya.

Pada tahun berikutnya, atas desakan Konsorsium itu, Nienhuys te­lah menyewa perkebunan ’’Tempeh” dekat Lumajang di keresidenan Besuki di Jawa Timur. Tetapi setelah beberapa minggu, ia mengang- kat seorang manajer untuk pprkebunan itu dan memutuskan untuk meneruskan kembali mencari lahan tembakau yang cocok2).Pada saat ini perusahaan dagang Surabaya, J.F. van Leeuwen & Co., sahabat- sahabat dagang dari P. van den Arend, mengundang Nienhuys mene- mui pangeran Said Abdullah dengan maksud untuk mendengarkan ceritanya yang menyala-nyala bahwa Deli adalah suatu daerah peng-

51

a nntpnsial Jacobus Nienhuys sangat terkesan se-S w a S n y a pedagans-pedagang Surabaya itu.

huys memutuskanunt han dalam perjalanan menuju Deli.Mereka melakukantiga ? f a Residen E N e tscher di

l ang S 3 d £ Netscher pem at mengadakan peijalanan-perjalanandalam bulan Agustus 1862 dan Maret 1863,

ih S igga membuat dia salah seorang dari pejabat-pejabat yang ]um i!hnv? sangat sedikit yang mempunyai pengetahuan sekedarnya ten t L g Sumatra Timur. Persinggahan yang kedua adalah di Singapura. Atas anjuran Residen Netscher rombongan itu membeli di Singapura harane dagangan seperti candu dan tekstil, selain itu mereka juga mpmbeli persediaan secukupnya dollar pilaar, mata uang yang digu-

kan di Sumatra Timur3'. Persinggahan terakhir ialah di Pulau Bengkalis Siak Di sana Nienhuys dan anggota-anggota rombongannya mengunju’ngi Asisten Residen Amoudt, seorang pejabat yang secara langsung bertanggung jawab atas pemerintah Deli, meskipun pada waktu itu kerajaan kecil Deli dinyatakan sebagai bagian dari Hindia Belanda hanya di atas kertas. Akan tetapi asisten Residen Am oudt tidak dapat menambah apa pun kepada apa yang telah diuraikan oleh

Netscher.Netscher.Melihat kampung Labuan untuk pertama kali adalah suatu kejutan.

Kampung itu terdiri dari dua jalan yang berliku-liku dengan rumah- rumah centang-perenang yang sangat sederhana, dibuat dari bambu dan bahan pohon nibung, atau bahan-bahan yang tersedia lainnya, semuanya sedemikian dekatnya satu sama lain sehingga satu rumah sering menyentuh yang lainnya. Di sana-sini ada rumah-rumah de­ngan dinding-dinding kayu, tetapi atap-atapnya tetap nipah. Keba- nyakan rumah-rumah itu berdiri di atas tiang-tiang kira-kira satu me­ter di atas tanah dan mempunyai serambi beratap sepanjang bagian depan menghadap jalan. Serambi ini berfungsi sebagai tempat mema- merkan barang dagangan untuk dijual atau sekedar untuk tempat du- duk. Tetapi keadaan tak terurus dari kebanyakan rumah itu, timbun- an-timbunan besar reruntuhan yang terdapat di mana-mana, keru- sakan jalan-jalan yang semakin memburuk dan selokan-selokan yang semakin tumpat, tidak ayal lagi menimbulkan kesan kebobrokan dan keadaan tak terawat pada kota tersebut4'.

Ketika mencari ’’istana” Sultan Deli) Nienhuys dan rombongan me- nemukan sebuah rumah papan yang lebih besar di ujung jalan yang sejajar dengan sungai. Atapnya, seperti semua rumah di kota itu ada- lah atap nipah tetapi mempunyai serambi di depan maupun d i’bela- kang- Serambi depan, berukuran kira-kira 27 x 9 meter, memberikan

52

suatu ruang yang luas untuk pertemuan-pertemuan besar dan Net- cher menulis bahwa ia pernah melihat ratusan orang berpakaian Aceh, bersenjatakan rencong dan pedang Aceh yang panjang, berge- rak beramai-ramai di serambi sultan itu.

Baik Residen Netscher maupun Nienhuys memperkirakan pendu- duk kampung itu sendiri jumlahnya kira-kira seribu jiwa, termasuk kira-kira 20 orang Cina dan seratus orang India (paling banyak berda- rah campuran), dan penduduk asli Deli di daerah kekuasaan Sultan itu, dua ribu jiwa. Penghasilan Sultan diperkirakan hanya kira-kira1.000 Straits dollar pertahun. Residen Netscher, yang paham dengan penelitian Anderson tahun 1823 tentang perkebunan lada di Deli, te­lah mencatat sebelumnya dalam tahun 1863 kemunduran yang nyata dari industri lada itu dan telah memperoleh keterangan bahwa pepe- rangan antardesa yang terus-menerus telah menghambat setiap upaya untuk mengganti tanaman-tanaman lada yang sudah tua dan yang se­karang dalam keadaan kelelahan secara alam. Residen Netscher ya- kin bahwa kebangkitan kembali industri lada akan menegakkan kem­bali hukum dan ketertiban di Sumatra Timur. Mengenai tembakau, Nienhuys dan rombongannya berpendapat bahwa angka produksi ta­hunan 30.000 pikul milik pangeran Abdullah adalah angka yang dile- bih-lebihkan. Abdullah sendiri mereka anggap sebagai orang yang meragukan dan pengaruhnya hanya kecil di Deli5).

Setelah tiga minggu teman-teman seperjalanannya kembali ke Ja­wa, Nienhuys tinggal di Labuan dan menyewa rumah beratap rumbia dari Sultan. Kegiatan pertama Nienhuys adalah memperoleh izin dari para majikannya untuk memindahkan kegiatan-kegiatannya dari Jawa ke Sumatra. Ia segera mengirim surat menguraikan pokok-pokok ren- cananya untuk menuntut izin mendapatkan hak tunggal membeli tem­bakau Deli yang dihasilkan oleh penduduk setempat Juga untuk me- nanami suatu daerah penanaman percobaan seluas 75 hektar, dan untuk memperoleh wewenang membeli 300 hektar lainnya. Tetapi pertukaran surat-menyur&t antara Sumatra dan Negeri Belanda me- makan waktu beberapa bulan dan Nienhuys masih menunggu jawab- an ketika ia terpaksa menyatakan lagi, dalam sebuah surat tertanggal Singapura, 3 November 1863, bahwa ketika ia sementara bepergian rumahnya di Labuan telah dirampok oleh Abdullah. Orang ini lang- sung melakukan perampokan setelah kalah menjudikan persediaan barang-barang dagangan Nienhuys yang bemilai kira-kira 1.000 Straits dollar6). Meskipun kehilangan itu merupakan pukulan, van den Arend dan kongsinya, dengan tekad yang mengagumkan, mufakat untuk me- nyetujui rencana Nienhuys. Mereka memberikan wewenang kepada Nienhuys untuk mengupah buruh-buruh Cina menanami tembakau di atas lahan 75 hektar itu dan memberikan uang muka kepada para

53

f

petani tembakau Batak Karo untuk merangsang peningkatan produksi mereka.

Pengiriman tembakau dalam jumlah kecil yang pertama oleh Nien­huys tiba di Rotterdam dalam bulan Maret 1864, dan van den Arend yang sangat terkesan dengan contoh yang dapat dihasilkan Deli ini, segera menulis kepada Nienhuys, menambah kredit baru sejumlah5.000 pound dan menyarankan agar seluruh tenaganya dicurahkan un­tuk pengembangan lebih lanjut proyek percontohan itu7). Tetapi ke- tegangan dalam hubungan antara Nienhuys dan kantomya di Negeri Belanda telah nampak dalam surat-surat timbal-balik yang berjalan dengan lambat. Nenhuys yang tidak mempedulikan sikap hati-hati van den Arend terhadap kekurangan sumber-sumber modal, terus mengi- rim laporan-laporan perdagangan garamnya dan rencana-rencananya untuk menanam kopi dan cokelat dalam usaha bersama dengan Sul­tan Deli. Dari Rotterdam datang surat-surat dalam mana van den A- rend terus mengingatkan bahwa keinginan Konsorsium itu hanyalah dalam perdagangan tembakau. Ketika panen tembakau tahun 1864 terbukti mengecewakan, Nienhuys dengan terang-terangan meminta sumbangan dana yang besar, atau suatu persetujuan untuk mengizin- kannya mengambil alih perkebunan Deli dari para majikannya di Rot­terdam. Konsorsium itu enggan menyediakan dana yang diminta dan pada waktu yang sama memberitahukan Nienhuys bahwa perusahaan dagang Prancis-Swiss Matthieu and Co. di Singapura telah diberikan wewenang untuk membayar 25 gulden per pikul untuk tembakau vane diserahkan di SingapuraB).

Kredit dari Matthieu and Co. itu sangat menggairahkan tetapi baei Nienhuys masalah yang lebih mendesak adalah buruh Penanaman tembakau, terutama tembakau pembungkus cerutu, membutuhkan ns ling banyak tenaga kerja dan, sebagaimana para pengusaha nnrJ™ ! mi„g lainnya di berbagai daerah tropik telah m em aS m ^a duk dari suatu daerah yang jarang penghuninya dan memounvai l » han yang sangat luas serta biasa berhuma atau pertanian \ pindah, tidak pernah mau bekerja secara teratur enam hari « "dari pagi sampai senja. Tidak ada orang Melayu dan iuga Karo yang bersedia bekerja untuk Nenhuys dengan cara 1 2 ?seperti itu. Jacobus Nienhuys telah mencoba membawa S u ? ^ rapa orang haji Jawa dari Penang untuk mengawasi L ™ tembakau suku Melayu dan Batak, tetapi hasil percohaan ? Penanam bal tembakau yang dikirim bulan Juli 1865, dan dari uU ya 50 sebagian yang dihasilkan di perkebunan Nienhuvs K ? hanya di Rotterdam dalam permulaan bulan Desember 1R !,man ltu tiba 048 gulden per setengah kg9’. Setelah itu Nienhim* • berharga % dan mengupah 120 buruh Cina y m J S S S i S a s ^ e S

54

tentang penanaman tembakau tetapi mereka adalah buruh yang mau bekeija. Pada akhir musim itu, ia dapat mengirim 189 bal tembakau sebagai hasil tahun 1865. Tembakau itu bermutu tinggi dan memperli- hatkan perawatan yang cermat dan penanganan yang ahli. Harga yang diterima pada pelelangan untuk pengiriman itu berkisar dari 0,42 sampai 2,51 gulden per setengah kg (rata-rata 1,485 kg), suatu harga yang menggairahkan tetapi masih terlalu sedikit untuk sekali penga- palan10).

Gagasan untuk mengontrak buruh-buruh Cina itu dan membayar mereka atas dasar jumlah dan mutu tembakau yang dihasilkan oleh setiap buruh, timbul untuk pertama kali dari Nienhuys pada tahun 1866. Sistem inilah, sebagaimana dimodifikasikan untuk memenuhi keadaan-keadaan yang berubah, berlaku sampai sekarang ini. Prin- sipnya adalah sederhana, buruh tani dalam industri tembakau itu menerima uang muka selama tahun yang sedang beijalan dan perhi- tungannya diselesaikan sesudah tembakau hasil tanamannya diserah- kan ke bangsal-bangsal pengeringan milik perusahaan tembakau itu.

Tetapi pemecahan problem buruh Nienhuys datang terlalu lambat Pada waktu itu operasi-operasinya telah membawa kerugian, baik di Jawa maupun Sumatra. Masih belum yakin bahwa penanaman temba­kau di Deli mempunyai hari depan, Nienhuys terus menyarankan pe- nanaman-penanaman modal dalam kopi, pala, dan kelapa, sampai menimbulkan kejengkelan van den Arend dan rekan-rekannya. Akhir- nya dalam sepucuk suratnya tertanggal 15 November 1866, Nienhuys meminta supaya ia dibebaskan dari kedudukannya, dan sepucuk su­rat tertanggal 20 Januari 1867 dari Rotterdam, memerintahkan Nien­huys supaya penyerahkan pengurusan perusahaan kepada W.P.H. de Munnick11'.

Jacobus Nienhuys tiba di Negeri Belanda dalam keadaan fisik yang agak menderita dalam bulan Agustus 1867.

Para perintis Deli yang lain

Sebagaimana kontrak tanah yang pertama dengan penguasa Deli, yang telah diberikan kepada Nienhuys secara pribadi, yakni sebuah kontrak 99 tahun dengan syarat-syarat yang paling ringan, administra- tur de Munnick merundingkan suatu kontrak baru untuk penyewaan2.000 bau tanah yang belum pernah dijamah untuk masa 99 tahun, tanpa uang sewa tetapi dengan syarat bahwa semua produk yang di­hasilkan di atas tanah itu tunduk kepada bea ekspor yang biasa. (Nienhuys telah berhasil membujuk Sultan untuk mengurangi bea ekspor yang semula dua Straits dollar menjadi setengah Straits dollar per pikul. Penandatanganan kontrak itu berlangsung pada tanggal 8 April 1867 dengan de Munnick mewakili Pieter van den Arend & Co.

55

dan van Cats Baron de Raet, yang telah diangkat pada bulan Juni 1864 sebagai kepala kantor distrik pertama di Labuan Deli, mewakili pemerintah kolonial Belanda.12’

Selama tahun 1865 dan 1866 - tanggal-tanggal yang tepat tidak ada - dua orang Swiss, Mots dan Breker, dan seorang pengusaha onderne­ming Jerman, B. von Mach, telah tiba di Deli, diikuti oleh lima pengu­saha onderneming lainnya beberapa saat kemudian. Semua perintis pengusaha onderneming ini menaruh perhatian kepada tembakau, pala, dan kelapa, tetapi mencoba juga dengan kopi dan bahkan memi- kirkan juga penanaman tebu dan nila. Perkebunan-perkebunan pala dan kelapa, yang dikerjakan oleh pengusaha-pengusaha onderneming Eropa, telah disewa dari rakyat setempat, yang beberapa tahun sebe- lumnya telah mulai menggarap tanaman komersial yang terdiri dari pohon-pohon pala dan kelapa itu.13’

Pentingnya produksi pertanian bagi perdagangan Deli segera tam- pak setelah kukuhnya kekuasaan Belanda. Hal ini diungkapkan da­lam data-data statistik yang diperoleh pejabat distrik pertama untuk Deli dari seorang Indonesia yang bertugas mengutip bea ekspor di Labuan. Van Cats Baron de Raet menerangkan bahwa angka itu jelas terlalu rendah, karena bandar itu untuk maksud-maksud tertentu ber- kepentingan merendahkan laporan angka ekspor (lihat halaman 56)

Laporan pejabat distrik pertama itu juga berkaitan dengan tiga orang pengusaha onderneming yang telah bermukim menjelang tahun 1867 di selatan Labuan, yang seorang menanam tembakau dan kelapa; seorang lagi telah menyewa sebidang kebun pala dengan 2.000 pohon yang sudah menghasilkan, dan telah menanam lagi 20.000 pohon kela­pa, dan sudah siap untuk menanam 10.000 pohon pala lagi yang pada saat laporan itu ditulis, berada dalam pembibitan; orang yang ketiga, juga telah menyewa sebidang kebun pala yang tak terurus dan sudah siap ditanami 20.000 pohon lagi.14’

Saling berdampingan dengan para pengusaha onderneming orang Eropa, barangkali diilhami oleh kegiatan mereka, kaum aristokrat se­tempat juga sibuk menanami lahan-lahan mereka dengan tanaman tanaman ekspor. Raja Jin Abidin telah memperkerjakan sejumlah bu- dak yang dibebaskan untuk menanam 3.000 pohon kelapa, menurut laporan van Cats Baron de Raet 1866, dan berencana untuk menam- bahnya dengan 10.000 pohon lagi. Pada waktu yang hampir bersama- an, Raja Musa menanam 3.500 pohon kelapa, 6.000 pokok kopi, 1.400 pohon pala.15’ Konsorsium pun tidak ketinggalan. Pengganti Nien- huys, de Munnick yang mengirim hanya 210 bal tembakau dalam ta­hun 1867 - sekali lagi suatu tahun yang mengecewakan bagi Konsor- sium itu - dalam tahun 1869 membuka sebuah onderneming baru di distrik Sunggal, tepat di sebelah barat onderneming pertama yang

56

dibuka oleh Nienhuys; dan dalam bulan November tahun itu 200 bu­ruh sedang sibuk bekeija membuka hutan dalam persiapan untuk penanaman tembakau. Dalam bulan Maret 1870 sejumlah 120.000 bibit pohon tembakau telah dipindahkan dari tempat-tempat pembibitan ke ladang-ladang; dalam bulan Juni kira-kira 2.000.000 pohon sudah berada di ladang-ladang; dua ratus pikul tembakau sudah dibuntel, dan sebelas bangsal pengeringan tembakau sudah penuh dengan tembakau.16' Konsorsium itu mempunyai 5.000 bau (3.500 hektar) lahan tembakau dalam tahun 1871, 30.000 pohon pala dan 16.000 pohon kelapa, meskipun ada keengganan menanam modal dalam bidang apa pun kecuali dalam bidang tembakau. Namun, sampai pada saat itu, belum ada seorang pun di Deli yang dapat membayangkan hari depan dalam jangka panjang industri tembakau di Sumatra Timur.17'

TABEL 2

EKSPOR KESULTANAN DELI, 1863 SAMPAI 1867

Komoditi (dalam pikul) 1863 1864 1865 1866 1867

Lada Hitam 17.600 38.860 19.200 5.000 3.400Tembakau 373 507 801 1.200 1.300Pala 620 9.100 4260 3.855 9.980Buah Pinang “ - 120 400 345

Sumber: J.A.M. van Cats Baron de Raet, ’’Vergelijking van den vroegeren toes- tand van Deli, Serdang en Langkat met den tegenwoordigen”, Tijdschrijt voor Indische Taal-, Land- en Volken kurtde, 23 (1876), him. 34.

Pendirian Deli MaatschappUAlasan utama kembalinya Nienhuys ke Negeri Belanda adalah untuk mencari dukungan keuangan bagi usahanya di Sumatra Timur. Segera setelah ia tiba di Amsterdam ia berhasil memperoleh dukungan yang diperlukan dari G.C. Clemen, seorang pedagang tembakau Amsterdam dan P.W. Janssen, seorang pedagang di kota yang sama. Janssen, Cle­men, dan Nienhuys menjadi kompanyon dengan saham-saham yang sama dalam suatu perusahaan bermodal $ 10.000. Pada akhir bulan Desember 1867 Nienhuys sudah kembali ke Sumatra Timur, di sana ia memperoleh konsesi 99 tahun atas sebidang tanah antara sungai-su­ngai Deli dan Percut Panennya yang pertama tahun 1868, biaya pro- duksinya 30.000 gulden dan menghasilkan 67.000 gulden pada pele- langan. Tahun berikutnya bahkan membawa keuntungan yang lebih besar, masing-masing beijumlah 36.400 gulden dan 87.200 gulden. 181 Pengalamannya terdahulu betul-betul bermanfaat sekali baginya. Ter-

kesan atas keberhasilan yang nyata oleh perkongsian Janssen-Cle- men-Nienhuys, Nederlansche Handel Maatschappij (NHM) Perusaha­an Dagang Belanda, bersedia mendirikan sebuah perseroan terbatas (N.V. = naamloze vennootschap) di Deli bersama-sama dengan trio itu, dalam mana NHM memegang 50% dari seluruh saham. Deli Maat­schappij (Maskapai Deli) adalah perusahaan pertama yang seperti itu didirikan di Sumatra Timur atau sebenarnya di seluruh Hindia Be­landa selama ini. Sampai tahun 1869 perusahaan-perusahaan dikem- bangkan oleh para pedagang dan para pemilik onderneming yang be­kerja sendiri atau secara kompanyon.

Surat-surat penting yang diperlukan Maskapai Deli ditandatangani tanggal 28 Oktober 1869 dan menerima persetujuan kerajaan tanggal 16 Desember 1869.19)

Janssen, Clemen, dan Nienhuys membawa asset yang berikut ke dalam Maskapai Deli yang baru didirikan itu:

(1) Perkebunan Carlsruhe, dengan gedung-gedung dan tempat pe- nyulingan minyak untuk menghasilkan minyak pala.

(2) Kontrak sewa atas kebun pala milik Raja Abidin, yang mempu­nyai 3.600 pohon yang menghasilkan dan memberikan keuntungan 2.500 Straits dollar atas sewa 600 Straits dollar per tahun.

(3) Perkebunan pala Vesuvius, dengan 9.000 pohon yang belum menghasilkan.

(4) Perkebunan pala Catsburg, dengan 4.000 pohon yang belum menghasilkan.

(5) Perkebunan kelapa Hospitality, dengan 20.000 pohon yang belum menghasilkan.

(6) Konsesi tanah bebas-sewa 99 tahun dari B. von Mach, sejak ta­hun 1867 menjadi kompanyon dagang Nienhuys, yang telah ditanami pohon pala dan kelapa.

(7) Konsesi tanah J. Nienhuys di Rengas Kupang, juga bebas sewa selama 99 tahun.20’

Maskapai Deli, berjalan sesuai dengan rencana-rencana yang di- buat Nienhuys, memusatkan kegiatannya pada produksi tembakau te­tapi juga meneruskan perhatiannya pada pala dan kelapa. Akan teta­pi, pasaran-pasaran yang merosot memaksa mereka meninggalkan pe- nanaman kelapa dalam tahun 1876. Pada tahun berikutnya ternyata industri pala Sumatra Timur juga mengikuti nasib yang sama, sehing­ga dalam tahun 1882 Maskapai itu juga menghapuskan seluruh pena- naman modalnya dalam pala. Sekalipun Maskapai Deli selamanya mengutamakan perhatiannya pada tembakau dan bahkan sepanjang sejarahnya ia merupakan penghasil tembakau gulung terkenal di Su­matra Timur, ia tetap juga menjalankan penganekaan tanaman, dan

memasuki bidang-bidang pertanian tropik lainnya sebaiknya kesem- patan terbuka dan menghapuskan jenis-jenis tanaman yang terbukti tidak menguntungkan. Antara tahun 1880 dan 1891 Maskapai itu mem­buat percobaan dengan kopi, antara 1879 dan 1884 dengan cokelat, antara 1879 dan 1886 dengan rami. 21) Dalam tahun 1901 Maskapai Deli mengalihkan perhatiannya kepada karet dan dalam tahun 1955 mempunyai kira-kira 20.000 hektar perkebunan karet dalam keadaan menghasilkan.

Perusahaan itu memperoleh nama baik yang sangat tinggi di ka- langan pengusaha onderneming dan sebenarnya menjadi kekuatan yang nyata di Sumatra Timur karena kekuasaan ondememing-onder- neming mereka tersebar ke seluruh Deli, Serdang dan Langkat. Pada waktu didirikan, perusahaan itu mengusahakan lahan seluas 7.000 hektar; dalam tahun 1941 diperluas sampai tidak kurang dari 180.000 hektar. Dalam banyak kejadian, asal-usul permohonan untuk konsesi- konsesi tanah dibuat oleh para pengusaha onderneming secara pero- rangan atau oleh perusahaan-perusahaan yang kemudian menjual ta- nah-tanah milik mereka kepada Maskapai Deli. Selama masa-masa depresi, perusahaan itu mengambil alih banyak perkebunan yang pa­ra pemiliknya mengalami kesulitan keuangan.

Untuk alasan-alasan yang tidak disebutkan, Nienhuys pulang kem­bali ke Negeri Belanda sebelum waktunya dalam tahun 1871, tetapi tetap berhubungan erat dengan Maskapai Deli sampai tahun 1927. Ia bekerja di kantor pusat dari tahun 1880 sampai 1927. Desas-desus mengatakan bahwa pulangnya Nienhuys secara tiba-tiba itu ada kait- annya dengan menghilangnya pangeran Said Abdullah Ibnu Bilsagih secara aneh. Penggantinya adalah J.T. Cremer, yang menjabat sebagai administratur di Sumatra Timur, atau manajer Maskapai Deli sejak tahun 1871 sampai 1873 dan sebagai Menteri Jajahan di Negeri Belan­da dari tahun 1888 sampai 1923. Cremer, yang membangun terus di atas landasan yang telah diletakkan oleh Nienhuys, mempunyai pengaruh besar terhadap perkembangan Sumatra Timur. Ia adalah seorang tokoh terkemuka di kalangan pengusaha onderneming. Cre- merlah, umpamanya yang memrakarsai Persatuan Pengusaha Perke­bunan Deli (Deli Planters Vereeniging), yang didirikan tanggal 23 April1879 untuk mewakili pengusaha-pengusaha tembakau Sumatra Timur dalam hubungan-hubungan mereka baik dengan penguasa-penguasa swatantra (yang disebut zeljbestuurders) maupun dengan pemerintah Hindia Belanda. Urusan utama Persatuan itu adalah masalah-masa- lah agraria, peraturan-peraturan perburuhan dan pengimporan buruh- pertama dari Malaya, kemudian dari Cina, dan akhirnya dari Jawa. Dalam semua urusan lainnya, setiap perusahaan yang diwakili dalam Persatuan itu bertindak secara bebas dan bersaing.

59

Maskapai SenembahDari banyak maskapai perkebunan yang beroperasi di Sumatra T i­mur, ada beberapa di antaranya yang layak mendapat catatan khusus karena sumbangan mereka yang unik kepada pengembangan bidang sosial yang telah memperbaiki hubungan antara para pengusaha on­derneming dan buruh-buruh mereka atau syarat-syarat di bawah mana buruh-buruh itu bekerja. Barangkali yang paling penting adalah Maska­pai Senembah, yang beroperasi di negara Serdang berbatasan de­ngan Deli. Pendahulu perusahaan ini adalah perusahaan perkongsian yang didirikan oleh C. Grob, seorang Swiss, dan H. Naeher, seorang dari Bavaria, yang datang ke Sumatra Timur tahun 1870 dan dipeker- jakan mula-mula oleh Albert Breker, seorang Swiss lainnya, pendiri onderneming Helvetia di utara Medan. Onderneming itu mengkhusus- kan diri dalam penanaman pala dan tembakau. Dalam tahun 1871 Grob dan Naeher memohon konsensi lahan yang pertama seluas 5.300 hektar di tepi-tepi sungai Blumei dekat Tanjung Morawa di kerajaan Serdang. Selama 18 tahun berikutnya maskapai itu meluaskan daerah konsensinya sehingga ia menguasai lembah Blumei di kedua sisi su­ngai mulai dari dekat pantai sampai ke pegunungan. Dekat kuala sungai Serdang, melalui mana seluruh air dari Blumei mencapai laut, terletak Rantau Panjang, sebuah pelabuhan kecil yang melayani kera­jaan kecil Serdang sebagaimana Labuan melayani Deli. Selama kira- kira 20 tahun onderneming-ondememing Grob dan Naeher mengirim produk-produk mereka dalam sampan-sampan menghilir dan memper­oleh semua persediaan-persediaan mereka melalui Rantau Panjang.

Koloni Swiss-Jerman di Tanjung Morawa dihuni oleh masyarakat swadaya yang pada hari-hari awalnya hanya sedikit mempunyai urus- an dengan Deli ketika belum ada hubungan melalui darat. Yakin a- kan pentingnya suatu staf yang berpendidikan baik, Grob dan Naeher mempekerjakan pegawai-pegawai yang telah menerima latihan aka- demis dan praktek yang baik dalam pertanian di Eropa. Ini memberi­kan pengusaha-pengusaha onderneming Tanjung Morawa suatu nama baik untuk kepemimpinannya yang ilmiah itu. Ada juga penekanan perhatian terhadap pengobatan, dengan hasil bahwa dokter-dokter dari rumah sakit Tanjung Morawa telah mendapat penghargaan untuk hasil-hasil penelitian mereka dalam ilmu pengobatan tropik.

Tanah onderneming-ondememing Grob dan Naeher di Serdang ter- bukti agak rendah mutunya dibanding dengan tanah-tanah Deli dan menghasilkan daun tembakau lebar, tebal, dan berwarna hitam. Akan tetapi, daun tebal ini bukanlah merupakan suatu kekurangan yang gawat selama industri cerutu mau membeli daun-daun tebal, karena daun-daun tebal ini membayar bea hanya $ 0.35 berbanding $ 0.75 per pon untuk daun-daun tipis. Tetapi kesukaan para konsumen yang se-

60

makin bertambah kepada tembakau pembungkus berwarna muda yang timbul bersamaan dengan penghapusan tarif bea rendah atas daun tembakau tebal di Amerika Serikat, telah mengurangi keuntung- an-keuntungan perusahaan Grob dan Naeher. Perkembangan ini di- tambah kesehatan Grob yang semakin memburuk mendorong para pengusaha itu untuk mencari seseorang yang ingin membeli tanah- tanah milik mereka. Atas anjuran para direktur Maskapai Deli, yang sejak tahun 1875 telah memasarkan tembakau hasil perkebunan Grob dan Naeher, perusahaan itu dialihkan menjadi perusahaan terbatas. Anggaran Dasar Maskapai Senembah memperoleh persetujuan kera- jaan pada 30 September 1889.

Dari tahun 1889 sampai 1927, Dr. C.W. Janssen, putra P.W. Janssen, rekan pendiri Maskapai Deli, memimpin Maskapai Senembah. Berkat bakat dan sifat amalnya yang nyata kepada sesama manusia, di ba- wah pimpinannya maskapai itu berulang kali membuat perbaikan- perbaikan di bidang kepegawaian dan kesejahteraan buruh. Dalam tahun 1896 perusahaan itu melakukan sistem pensiun untuk staf Ero- panya. C.W. Janssen mempunyai perhatian khusus dalam pendidikan anak-anak Jawa yang hidup di perkebunan-perkebunan Maskapai Se­nembah. Ia menolak program pendidikan dasar pemerintah yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Sebaliknya rencananya ditujukan untuk mempekerjakan guru-guru Jawa yang memberikan pelajaran dalam bahasa Jawa di waktu pagi dan menga- wasi pekerjaan praktek ringan di waktu sore. Setiap anak menerima sarapan pagi di sekolah dan setiap anak lelaki ditugaskan untuk sua­tu tanah kebun kecil untuk menanam dan memeliharanya. Kebanyak- an anak-anak lelaki dan perempuan yang lulus dari sekolah-sekolah ini dipekerjakan di perkebunan-perkebunan itu. C.W. Janssen juga berpendapat bahwa perusahaan itu harus membangun perumahan untuk buruh-buruh yang lebih tua asal Jawa dengan cara berangsur- angsur mengganti bedeng-bedeng tradisional buruh-buruh itu dengan rumah-rumah khusus untuk satu keluarga masing-masing dengan luas tanah berukuran 700 m persegi yang sebagian ditanami dengan pohon buah-buahan. Rumah-rumah itu dibangun secara kelompok sehingga menciptakan suatu suasana desa Jawa. Tidak lama kemudian para manajer melihat bahwa di kalangan buruh yang masing-masing ting- gal di rumah-rumah khusus untuk satu keluarga, pergantian tenaga kerja lebih rendah daripada di kalangan mereka yang tinggal di ba- rak-barak tradisional itu.

Maskapai Senembah meneruskan tradisi pemeliharaan kesehatan yang baik yang didirikan oleh pendahulu-pendahulunya dan bahkan meningkatkannya untuk mencegah wabah kolera, tipus, disentri dan malaria yang telah banyak memakan korban jiwa manusia di tengah-

61

tengah para buruh itu. Dr. W.Schuffner, yang bertugas di Tanjung Morawa untuk meneliti hubungan antara tingkat kematian yang tinggi dan lingkungan hidup setempat setelah bekerja keras selama bebera­pa tahun, secara meyakinkan berhasil mengurangi tingkat kematian dan memperoleh nama harum di kalangan kesehatan sebagai seorang perintis ahli dalam ilmu pengobatan tropik. Perhatiannya yang besar dalam upaya pencegahan itu juga nampak dalam anjurannya supaya buruh-buruh yang bekerja di lapangan dibekali dengan air teh untuk mencegah mereka meminum air kotor, penyebab utama disentri. De­ngan rasa sangat puas Janssen mencatat bahwa Maskapai Senembah telah berhasil dalam menurunkan tingkat kematian di tengah-tengah para buruhnya sampai ke tingkat yang bahkan berada di bawah kea- daan yang dianggap normal oleh Eropa.22’ Beberapa pembaruan yang dijalankan oleh Maskapai Senembah telah diikuti oleh perusahaan- perusahaan lainnya di Sumatra Timur.

Tahun-tahun Percobaan dan Kesalahan

Pengusaha-pengusaha onderneming di masa-masa permulaan berpe- gang kepada anggapan yang kuat bahwa tanah-tanah hutan di Suma­tra Timur, sekali dibuka, hanya baik untuk satu kali panen tembakau, setidak-tidaknya bagi tembakau gulung yang banyak disukai orang yang membuat Sumatra Timur dengan cepat menjadi terkenal. Sepan­jang pandangan seperti ini berlaku, para pengusaha onderneming me- rasa terpaksa membuat percobaan dengan panen-panen baru di atas bekas lahan-lahan tembakau itu dan terus mencari konsensi-konsensi tanah baru untuk mempertahankan masa depan mereka dalam indus­tri tembakau yang sangat menguntungkan itu. Pada saat perusahaan- perusahaan tembakau yang lebih tua itu bersaing keras dengan pen- datang-pendatang baru yang ingin sekali mendapatkan lahan, maka pemburuan konsesi-konsesi pertanian dengan cepat meluas sampai ke luar perbatasan Deli melalui Langkat sampai ke perbatasan Aceh di utara dan melalui Serdang sampai sejauh Asahan di selatan.

Pada akhir tahun 1880-an dan awal tahun 1890-an, dua kemajuan penting terjadi. Yang pertama, berkaitan dengan panen tembakau.

es pun sudah merupakan kebiasaan orang Batak untuk memetik anya dua daun matang dari satu batang tembakau pada satu waktu, eperti diuraikan oleh Anderson, para pengusaha onderneming Eropa

memetik semua daun sekaligus. Ini berarti bahwa daun-daun yang Clipetik itu berada pada berbagai tahap proses pematangan. Hanya sesudah para pengusaha onderneming Eropa itu mengalami kerugian dengan penggunaan metode ini, barulah mereka mengikuti prinsip panen secara berangsur, memetik daun-daun itu bertahap dari bawah ke atas dan akhimya mencabut dan membakar batang tanaman tem-

62

bakau yang sudah gundul itu. Daun-daun yang b^rumur dan berkedu- dukan sama pada sebatang tanaman (yakni daun-daun tanah, daun- daun kaki, daun-daun tengah dan daun-daun puncak) sekarang dipe- tik dalam satu waktu sendiri-sendiri dan disimpan bersama-sama da­lam proses pengeringan dan peragian. Panen secara bertahap ini le­bih banyak membutuhkan tenaga kerja tetapi meningkatkan mutu produk-akhir.

Penemuan baru kedua yang bahkan lebih penting dari yang perta- ma adalah membaliknya pikiran yang selama ini menguasai para pengusaha onderneming itu. Mereka sebelumnya selalu menduga bahwa tanah-tanah Sumatra Timur dapat menghasilkan hanya satu kali panen tembakau gulung yang baik. Tetapi percobaan-percobaan sekarang membuktikan bahwa lahan yang telah dibiarkan kosong se­lama waktu delapan sampai sepuluh tahun atau bahkan lebih lama, ternvata mampu menghasilkan mutu tembakau gulung pilihan ber- warna muda Penemuan ini memantapkan industri tembakau, meng- hilangkan semua keraguan terhadap hari depannya Sebagaimana percobaan-percobaan selanjutnya membuktikan tanah kosong yang ditumbuhi rumput dan alang-alang adalah pasti lebih rendah mutu- nya daripada tanah-kosong hutan, maka pemusnahan rumput-rumput dan reboisasi alamiah atau buatan yang cepat dengan pembibitan

i. Ih n r , vane ceoat tumbuh, menjadi praktek standar pada on- derneming-onderneming tembakau. Harga-harga lahan membubung

M aan gulden dikeluarkan untuk pembuatan tanggul-tanggulsunfai terusan-terusan penyalur air, dan sungai-sungai dialihkan Se- sungai, npnMlihan air sungai, alur-alur sungai diperpendekS n aSnl S e " S f U be.okan-belokaa Terasan-teru S n penyalur air telah dilenikapi dengan pmtu-pmtu banjir oto- lerusdii p --m -.nukinkan pembuangan air tawar pada pasang surut

kekh“ ‘“ «— <— " « " a it ^^ 7 a lamoau perusahaan-perusahaan enggan menanam modal da- di m ,garana yang bersifat permanen. Mereka mulai memba-

Sarmah-rumah yang lebih baik untuk staf dan secara besar-besar- ngUrnemperbaiki bangunan-bangunan untuk pengsortiran dan peragi- 311 dengan membuat gudang-gudang berkerangka besi dan atap-atap

° eelombang; mereka membangun jalan-jalan aspal tetap dan jem- hatfn-iembatan besi untuk mengganti jembatan-jembatan kayu se-D a w j ,.(1 s a n lu a i 25 tah u n y a n g p e r ta n ia , s e g a la sesu a tu

m0 « herkaitan dengan industri tembakau bersifat spekulatif dan se­mentara tetapi inHberubah sama sekali pada saat para pen^saha S S k a u tahu bahwa hari depannya sudah tenamin selama daerah lahannya cukup luas untuk memungkinkan masa pengosongan dela­

pan sampai sepuluh tahun.

63

Pada akhir masa kepeloporan itu, para pengusaha onderneming te­lah memecahkan masalah-masalah teknis utama, kecuali masalah ag- raria yang menyangkut pembagian tanah secara adil dengan pendu­duk setempat Masalah ini kemudian memuncak di tahun-tahun men- datang sejalan dengan pertambahan penduduk.

64

Bab IVPertumbuhan Sumatra Timur:

Pengusaha Onderneming Dan Petani, Kependudukan Dan PerhubunganSebagaimana telah disebut pada uraian terdahulu, para pengusaha onderneming yang pertama percaya bahwa tanah-tanah Sumatra Ti­mur hanya mampu menghasilkan panen tembakau satu saja. Pada akhir tahun 1884, onderneming-onderneming Rotterdam A dan B, um- pamanya, antara Binjai dan Medan (yang secara kebetulan, masih beroperasi selama kunjungan saya yang terakhir dalam tahun 1967) telah ditawarkan untuk dijual kepada beberapa perusahaan dengan harga yang sangat rendah 100.000 gulden, tetapi tak seorang pun yang mau membeli lahan yang sudah pemah digunakan untuk produksi tembakau dan yang pada waktu itu seluruhnya ditumbuhi alang-alang dan rumput-rumput lain.

Pada akhir tahun 1880-an dan awal tahun 1890-an, sebagaimana kita lihat, kekeliruan pendapat yang terdahulu ini terungkap. Percobaan- percobaan memperlihatkan bahwa tembakau gulung dengan mutu yang baik dapat dihasilkan di atas lahan kosong yang pemah ditum­buhi alang-alang dan rumput-rumput lainnya, meskipun warnanya aeak lebih muda daripada tembakau yang berasal tanah hutan. Tetapi panen yang lebih baik dari tembakau bermutu tinggi masih dapat di­hasilkan di atas lahan yang sudah dibiarkan kosong di bawah semak- semak - atau hutan belukar selama suatu masa tidak kurang dari tuiuh atau delapan tahun. Bahkan dalam keadaan-keadaan tertentu masa-masa kosong lebih lama sampai 12 tahun atau lebih, akan lebih disukai Tetapi dalam hal ini yang menjadi pertimbangan adalah ter- utama masalah luas tanah perkebunan bersangkuten

Akibat penemuan ini, masalah keperluan tanah tidak perlu lagi Akib p mneironni-niaskapai yang sejak semula terus mengaju- dirisaukan o leh ^askap^^^skap^y hutan ^ ^

kan permo k^mbali ke tanah-tanah konsesi mereka yang ter-rang mereka p sudah dibersihkan seluruhnya dari hutandahulu yang s_eJa _ sebelumnya mempakan modal yangZamaLkan bagi perusahaan tembakau dengan tiba-tiba menjadi mo- meragukan bag P perhatian mereka yang besar sekarang ter-dal yanS besa __nanaman modal yang besar untuk pembuatan jalan- cermm dalam cuaca ^nggui.tanggul, terusan-temsan salur- jalan yang bangunan permanen, dan perbaikan-perbaikan lain-nya3 S e k a S perlu menyusun pola pergiliran ladang secara sistema-

65

tis dan meneliti tanah-tanah perkebunan secara sangat terperinci a- gar dapat menemukan tanah-tanah mana yang dapat menghasilkan tembakau yang bermutu paling baik Para pengusaha onderneming muiai memberikan perhatian khusus kepada upaya menghilangkan rumput alang-alang. Pada permulaan tahun 1890-an padang-padang rumput buatan manusia menutupi hampir seluruh Deli dan sebagian besar Langkat dan Serdang.11 Cara tercepat untuk menghilangkan alang-alang adalah dengan mencegah berulangnya pembakaran rum- put-rumput selama musim kering. Ini memungkinkan semak-semak dan pohon-pohon muncul melalui rumput-rumput itu dan akhirnya menaungi mereka. Reboisasi lahan-lahan tembakau yang lama kemu­dian segera akan mengubah seluruh pola tanah pertanian Sumatra Timur yang terlibat dalam penanaman tembakau itu.

Dengan pengecualian onderneming-onderneming pantai, seperti Saentis dekat kampung Percut lama, kita menemukan tata-letak per­kebunan-perkebunan tembakau yang berikut Konsesi, atau konsesi- konsesi, di bawah kepengurusan administratur yang bersangkutan, terletak antara dua sungai besar dan biasanya membentuk satu unit yang panjang dan sempit. Sebuah jalan yang tahan terhadap segala cuaca membentang sepanjang perkebunan itu, mengarah utara- selatan, dan menghubungkannya dengan onderneming-onderneming yang berdekatan ke utara dan ke selatan, terutama jika onderneming onderneming ini milik satu perusahaan yang s a m A i . o I ? ling sedikit satu jembatan menyeberangi masins masin? P&"membentuk perbatasan timur dan barat Seluruh n! v I yanglagi oleh jalan-jalan kebun (pInntweg^n) dibagidan membentang di sudut kanan ke W a f m a ' S T ‘ini tidak terbuka secara tetap melainkan iintnt o u ■|a kebun tup pepohonan. Pada masing-masing jalan kebun t a,fian waktu tertu- di kedua belah sisinya. g J kebun terdaPat jalur lahan

Pengalam an mengajarkan kepada maskanai bahwa seorang administratur dengan bantuan emnat ofP31 tembakau asisten secara efektif dan efisien dapat mengums enam orang kira 400 petak tembakau. Ini berarti bahwa dalam ,P®nanaman kira- lapan tahun, administratur itu memerlukan 3.200 petak de'luasnya masing-masing satu bau, atau 0,7 hektar S t yangitu memungkinkan penanaman 16.000 batang tprrVhv Petak sePerti kepada pola pergiliran petak, setiap jalan kebun h Tergantung masa tiga atau empat tahun. Jalan-jalan ini m e m u n p ^ selama tiga atau empat petak yang telah ditanami tahun dpm t " mencaPai turut. Jika pimpinan perusahaan memutuskan untniT berturut- petak per jalan kebun, tentu saja jarak ja la n - ja la n k S S T ? Uga dek daripada dengan empat petak per jalan kebun pen'

66

Peta VII melukiskan rencana penanaman dengan sistem pembagian tiga dan empat petak. Dalam ”A ” setiap jalan kebun berfungsi untuk tiga tahun dan kemudian ditutup untuk masa lima tahun, sebaiknya di ”B” setiap jalan berfungsi untuk empat tahun dan ditutup empat tahun. Jika seandainya setiap bagian perkebunan ”A ” mempunyai ki­ra-kira 130 petak, perusahaan-perusahaan harus bekerja terus-mene- rus sepanjang tiga jalan kebun untuk masa tiga tahun; pada tahun keempat kegiatan-kegiatan dialihkan ke rangkaian tiga jalan kebun lainnya.

Sepanjang setiap jalan kebun terletak gudang-gudang pengeringan sementara, yang menerima tembakau dalam tiga musim berurutan dan kemudian gudang-gudang itu dibongkar. Beberapa dari kayu-kayu itu akan dipakai lagi dalam pembangunan serangkaian gudang beri- kutnya, tetapi atap-atap nipahnya dibakar.

Kecuali gudang-gudang kebun sementara, setiap onderneming mem­punyai gedung-gedung tetap untuk pengsortiran, peragian dan penge- pakan tembakau. Gedung-gedung tetap ini merupakan bagian dari suatu kompleks bangunan-bangunan permanen, dikenal sebagai em- plasemen, yang juga terdiri dari rumah-rumah para anggota staf, se- buah gedung kantor, sebuah toko - biasanya dikelola oleh seorang Cina - sebuah bengkel, dan bedeng-bedeng tempat tinggal bagi dua keluarga buruh. Semua perusahaan besar menyelenggarakan rumah sakit pusatnya sendiri, sedangkan pada tahun-tahun sebelumnya per­usahaan-perusahaan kecil berkelompok menghimpun dana dan me­nyelenggarakan rumah sakit bersama untuk melindungi modal yang telah mereka tanamkan dalam penerimaan dan pengangkutan ribuan buruh.

Tahun penanaman bagi suatu perkebunan dimulai dengan pembu- kaan hutan belukar dalam pembagian pertama yang dibatasi oleh jalan kebun tertentu. Pembukaan hutan belukar ini biasanya dilaku- kan atas dasar kerja borongan oleh suku Batak Karo, yang bekerja di bawah kepala desa atau penghulu mereka, yang berfungsi sebagai pemborong. Pohon-pohon ditebang; kayu-kayu yang berguna disela- matkan; yang lain-lain dibakar.

Riimusan kontrak-kontrak melarang penebangan pohon-pohon buah seperti durian (Durio zibethinus Linn.), aren atau palem-gula (Arenga scxcharifera Lab.), petai2) (Parkia spedosa Hassk.), kayu gelugur, atau pohon asam (Garcinia atroviridis Griff.), dan pohon lebah yang terke- nal, tualang, atau pokok raja (Koompassia parvifolia Prain.).3'

Setelah penebangan, persiapan lahan dimulai. Dahulu tugas ini di- kerjakan tangan dengan cangkul-cangkul yang besar dan memerlukan setidak-tidaknya tiga atau empat masa tanam. Sekarang karena upah- upah jauh lebih tinggi daripada dahulu, pekeijaan ini dilakukan de-

67

ngan traktor-penarik bajak dan sisir-tanah. Karena lukan lahan kering, adalah penting di tanah-tanah rendah bagi perke bunan menggali jaringan saluran-saluran dan Urusan-terusan pem- buangan air kebun untuk mengalirkan air yang tergenang ke sungai- sungai atau ke terusan-terusan utama. Kecuali itu, tanggul-tanggul a- rus dibangun untuk melindungi lahan tembakau terhadap banjir-ban- jir sungai. Peta V III memperlihatkan pemanfaatan pola saluran pengeringan alamiah oleh perkebunan dan cara mempercepat pemin- dahan air dengan memelihara terusan-terusan buatan tambahan. A- pabila dimungkinkan, maka pengeringan-pengeringan secara alam di- gunakan, atau diperbaiki jika dikehendaki. Di perkebunan-perkebun- an tanah tinggi, masalah terbesar adalah erosi ketimbang pengering­an. Tetapi sebelum sifat dari lahan-lahan tembakau dikenal secara pasti, erosi berjalan terus dan menyebabkan hanyutnya lapisan tanah bagian atas, yang berasal dari debu dan tanah gembur vulkanik yang belum sempurra memadat Jika pun dibuat teras-teras untuk melin­dungi beberapa perkebunan yang diharapkan dapat memberikan ha- sil baik, sangatlah diragukan apakah dapat menahan hanyutnya lapis­an tanah bagian atas itu. Di sini orang hanya dapat berkata bahwa lahan itu tidak cocok untuk apa pun kecuali jenis tanaman keras yang tentu tidak bisa untuk ditanam berjajar seperti tembakau yang me- merlukan penyiangan yang bersih. Para pengusaha onderneming itu merusak lahan-lahan ini dengan menanam tembakau dua atau tiga kali, kemudian meninggalkan tanah itu untuk selama-lamanya.

Sekarang kembali ke tahun masa tanam pada suatu onderneming tembakau. Sementara persiapan lahan masih berjalan, tempat-tempat pembibitan telah dipersiapkan dan bibit tembakau telah disemaikan dalam tanah selang-seling beberapa hari, supaya sesuai dengan waktu pada saat bibit-bibit yang sudah tumbuh itu dipindahkan dan ditanam kembali. Masa tanam bibit diulur sampai dua bulan. Pemindahan bi bit-bibit dari tempat-tempat persemaian ke kebun tanah rendah ber langsung setelah 40 sampai 50 hari, dan setelah 45 sampai 55 hari di perkebunan tanah tinggi yang suhunya di malam hari sangat rendah

Sementara bibit berada di tempat-tempat persemaian, dan kemudi an apabila sudah dipindahkan ke kebun, kewaspadaan terbesar harus dijalankan untuk melindungi tembakau terhadap penyakit pes turn buhan dan pes binatang, karena daun yang berbintik atau berluhana diapkir sebagai pembungkus cerutu. dng

Untuk menyingkirkan keraguan tentang tanggung jawab terha^ mutu daun tembakau, pada setiap buruh dipertanggungiawahkan bidang kebun untuk dikeijakan sendiri. Ia bertanggung jawah tuntuk 16.000 tanaman. Ia menyerahkan daun-daunnya ke bagian k sal pengeringan tembakau yang telah ditetapkan untuk dia D —

68

daun-daun itu dihitung, dinilai oleh asisten kebun yang memasukkan- nya ke dalam buku perkiraannya. Hanya setelah itu selesai, buruh itu benar-benar bebas dari tanggung jawabnya terhadap daun-daun tem­bakau itu. Setelah itu, daun-daun tersebut khusus menjadi urusan pihak onderneming.

Pada masa-masa permulaan, seperti telah disebutkan terdahulu, pa­ra pengusaha onderneming memetik semua daun sekaligus, tetapi ke­mudian mengubahnya dengan sistem memetik secara berangsur, dua atau tiga lembar pada satu waktu, mulai dengan apa yang dinamakan daun-daun tanah (empat sampai enam)4) dan, akhirnya, daun-daun puncak (tiga atau empat). Panen daun tembakau mulai kira-kira 44 sampai 50 hari setelah penanamannya di kebun-kebun tanah rendah; di perkebunan-perkebunan tanah tinggi tanaman-tanaman itu memer- lukan beberapa hari lebih lama. Meskipun metode panen yang meme­tik daun secara berangsur itu lebih mahal daripada memotong sekali­gus seluruh tanaman, namun metode ini memberikan keuntungan yang besar karena hasil panennya lebih tinggi. Keuntungan yang le­bih itu diperoleh dalam jumlah daun; kehilangan berat selama proses pengeringan lebih kecil; setiap daun dipanen hanya pada saatnya yang tepat; daun-daun mengering lebih cepat apabila ditangani sendi- li-sendiri, yang berarti bahwa lama pengeringan dapat dicapai ham­pir dua minggu lebih cepat daripada jika semua daun yang dipetik sekaligus digantungkan di gudang akhirnya, pembuntalan daun-daun itu berlangsung pada tingkat yang lebih cepat, karena daun-daun dari golongan yang sama tetap terkumpul jadi satu.

Segera sesudah daun-daun itu kering secukupnya lalu diangkut dari gudang-gudang kebun ke gudang-gudang peragian di amplasemen, di mana buntelan-buntelan tembakau itu ditempatkan dalam tumpukan- tumpukan yang besar. Suhu dalam tumpukan-tumpukan peragian ini diawasi dengan sangat hati-hati, dicatat dengan termometer yang dile- takkan dalam tabung-tabung bambu yang dapat mencapai sampai ke tengah-tengah tumpukan tembakau itu. Segera sesudah suhu dalam tumpukan itu mencapai suhu tertentu (daun-daun kaki dan daun ta­nah boleh dibiarkan sampai mencapai panas 60°C), tumpukan itu ha- rus diturunkan dan daun-daun tembakau ditempatkan lagi dalam sua­tu tumpukan yang baru. Tumpukan pertama dinamakan tumpukan ”A ”. Dua tumpukan ”A ” menjadi satu tumpukan ”B”, dua tumpukan ”B” menjadi satu tumpukan ”C”, dua tumpukan ”C” menghasilkan sa­tu tumpukan ”D”. Tumpukan terakhir ini adalah suatu tumpukan yang sangat tinggi; ia mungkin terdiri dari 20 sampai 30 ton metrik tem­bakau.

Tembakau yang sudah diragi dengan baik kemudian disortir dan diklasifikasi menurut mutunya dalam gedung-gedung khusus yang

69

baik sekali penerangannya. Pekerjaan ini memerlukan keterampilan yang tinggi karena orang yang mengklasifikasi itu harus mampu meng­enai 21 jenis mutu yang berbeda-beda, didasarkan atas keadaan war- na dan keadaan permukaan daun, kemudian dibuntal oleh buruh yang lain yang duduk berseberangan dengan yang mengklasifikasi ta- di. Ia kemudian memilih daun-daun itu menuntut panjangnya; sehing­ga pada akhir proses ini setiap buntalan berisikan daun-daun yang warna, bentuk keadaan permukaan dan panjangnya semua sama. Pe- kerjaan mengklasifikasi dan membuntal-buntal itu sekali lagi diperik- sa oleh ahli klasifikasi yang paling baik dan paling berpengalaman, yang pada gilirannya juga diawasi oleh asisten-penerima.

Orang tidak bisa lain kecuali mengagumi sistem yang rapi yang ber- laku dalam ruang-ruang peragian, klasifikasi dan penerimaan itu, di mana kira-kira 600 sampai 800 buruh sibuk mempersiapkan daun- daun tembakau itu untuk diekspor.

Sebelum Perang Dunia I tenaga kerja, baik di kebun dan dalam gudang-gudang peragian dan tempat sortir, hampir seluruhnya terdiri dari buruh Cina. Bahkan sampai akhir tahun 1940-an, ketika saya memperoleh kesempatan pertama mengunjungi onderneming temba­kau, banyak buruh dalam gudang-gudang sortir adalah pria-pria Cina. Tahun 1955 saya tidak melihat seorang pun buruh Cina, yang ada hanya buruh-buruh asal Jawa. Mengklasifikasi dan mensortir seka­rang hampir seluruhnya dilakukan oleh wanita. Katanya mereka tidak bekerja secepat buruh Cina, tetapi dapat lebih dipercaya segera sete­lah mereka mengenai semua 21 jenis untuk itu.

Sekali lagi kembali ke masalah lahan. Segera sesudah tanaman tembakau dipanen dan semua batang tanaman secara cermat dibakar untuk mencegah penularan penyakit yang mungkin telah berkembang dalam tumbuh-tumbuhan itu, lahan itu kemudian siap untuk diguna- kan oleh orang-orang kampung yang telah memperoleh hak-hak agra­ria. Sebelum Perang Dunia II, keturunan Melayu atau Batak garis lelaki dari seseorang yang mempunyai hak-hak agraria diberikan ja- luran yang telah menjadi hak mereka. Mereka diperingatkan bahwa mereka tidak diizinkan mencabut pohon-pohon kecil dan pohon-po­hon muda, kecuali jika pohon-pohon itu satu sama lainnya berdiri lebih dekat dari tiga meter, juga tidkk boleh mencampuri sistem sa- luran air yang ada, atau menanami lahan dengan apa pun selain padi ladang kering, kecuali sepanjang perbatasan jaluran mereka. Di se­panjang atau tanaman palawija lainnya. Satu daftar tumbuh-tumbuh­an ekonomi telah dihapuskan karena telah diketahui menjadi pe- nyebab utama hama tembakau.

Sementara jaluran sedang digunakan oleh para petani setempat, mulailah tumbuh-tumbuhan sekunder menutupi lahan. Di ladang padi

70

itu tetap tumbuh pohon-pohon kecil dan pohon-pohon muda, yang mengambil alih lahan itu segera sesudah padi itu dipanen dalam bulan November atau Desember. Lahan itu kemudian dibiarkan ko­song selama suatu masa tidak kurang dari tujuh tahun. Jenis-jenis tumbuhan yang berani matahari sangat cepat menghasilkan hutan be­lukar, yang terdiri semata-mata dari jenis Macaranga, jenis Trema, dan Stapf Melochia umbeUata, yang semuanya akan memberikan jalan ke­pada jenis-jenis lain jika seandainya hutan belukar itu dibiarkan tak dijamah selama masa 30 atau 40 tahun. Pohon-pohon ini berfungsi sebagai pohon naungan bagi tanaman jenis tumbuh lambat Pohon- pohon naungan ini kemudian mampu menindas jenis-jenis yang tum­buh sebelumnya. Akan tetapi, lama sebelum proses seperti itu dapat berlangsung, lahan itu sudah dibuka lagi untuk proses dua macam panen, panen tembakau oleh onderneming dan panen padi oleh pen­duduk tani setempat

Dalam pola ini, sebagaimana ia berkembang setelah kira-kira tahun 1890, pihak pengusaha ondememinglah yang seluruhnya menguasai lahan itu. Dialah yang menentukan cara penggunaan dan jumlah penggunaan, jenis panenan yang akan ditananam, dan caranya harus menanam. Meskipun seorang petani menghendakinya, ia tidak akan diizinkan untuk mengalihkan lahan tembakau menjadi persawahan air. Para petani harus mentaati pengusaha onderneming itu dan a- khirnya dalam beberapa tahun tertentu, si tani terpaksa menanam panen pangannya bermil-mil jauhnya dari kampungnya. Ini berarti penderitaan berjalan kaki hilir-mudik antara kampung dan jaluran setiap hari selama minggu-minggu yang sibuk ketika ladang itu me­merlukan perhatian karena penanaman, penyiangan, penjagaan, atau panen. Lahan satu-satunya yang sepenuhnya berada di bawah hak penguasaan si petani adalah lahannya sendiri di lingkungan kam­pungnya; tetapi di bawah hukum waris yang berlaku, tanah-tanah kampung itu selama puluhan tahun telah dibagi-bagi berulangkali se- hingga bidang-bidang tanah itu telah menjadi sangat kecil. Ini adalah petunjuk yang jelas tentang perkembangan tekanan penduduk yang semakin bertambah di lingkungan kampung-kampung itu.

Mengapa tidak pemah kita mendengar tentang tembakau Deli ta­naman petani sendiri? Tidak akan ada yang lebih wajar jika orang Batak Karo ingin terus menanam tembakau, jika sekiranya tidak ada larangan keras secara resmi terhadap penanaman tembakau oleh penduduk asli. Alasan larangan adalah bahaya penyebaran penyakit tembakau dari ladang-ladang petani yang tidak terawat ke perkebun­an onderneming-ondememing. Kecuali itu, masih ada masalah pencu- rian apabila industri petani diizinkan hidup berdampingan dengan industri perkebunan, walaupun akan sukar membuktikan pencurian

71

itu. Sebenamya, pencurian tembakau menjadi masalah pada akhirtahun 1880-an dan awal 1890-an, ketika Medan dan Binjai td ah fn epunyai beberapa pabrik cerutu yang meinbeh tembakaurena itu, Persatuan Pengusaha Perkebunan Deli dala™ tembakaumelarang anggota-anggotanya menjual atau menyerahkciapa pun untuk penggunaan setempat Pelanggaran t®1-113 ^ straitsan yang dikenakan kepada diri sendiri ini dibebani den .dollar. Kemudian di akhir tahun 1898, Persatuan itu melarang jugapenjualan tembakau ke tempat-tempat di Malaya dan ke arna. Semua tembakau harus dikirim ke Negeri Belanda un u •di sana. Ini berarti bahwa tidak ada pedagang Cina yang amenjual tembakau pembungkus atau mengekspornya, arenayang dijual tidak bisa lain berasal dari tembakau yang diperngan jalan tak sah. 5)

Hubungan simbiosa antipatik seperti ini sebagai akibat tanian onderneming yang sangat komersial dan san^a Pa hnmatetapi luas lahan, dan kebudayaan cocok tanam perla ang primitif untuk sekedar hidup sehari-hari hanya dapat ber era ia;n_ onderneming-onderneming tebakau. Semua panen perke una nya di Sumatra Timur adalah hasil tanaman keras, se in&§ semula dua sistem pertanian itu dicegah jangan sampai ja m- lin, tetapi diatur berjalan berdampingan. .

Ketika perkebunan didirikan untuk maksud menghasilkan kopi ’ ® ’ karet, kelapa sawit atau sisal, yang pertama-tama perlu 1 adalah melakukan sensus penduduk untuk menetapkan jum mah tangga yang masing-masing dapat meminta empat bau (kern empat hektar) dari ladang huma itu untuk mereka sendiri. ng berikutnya adalah membuat garis pemisah perbatasan-per kampung dan lahan pertanian yang harus dipisahkan dan tan derneming. Hanya sesudah itulah pembukaan dan Penana™a ^dimulai. Sebenamya banyak dari onderneming karet dan Ke P wit yang sekarang, merupakan peralihan dari masa Produksl .kau, karena ketika mereka memperoleh lahan-lahan itu, ,lum mengetahui bahwa hanya tanah-tanah antara Sungai Wamp^ Sungai Ular yang betul-betul cocok untuk penanaman tembaka bukan tanah-tanah liparitik ke selatan Sungai Ular atau ke uta ngai Wampu (lihat Peta VI, jenis Tanah). Onderneming sepert Perusahaan Karet Amerika Serikat (sekarang bernama umro;„ ;Kisaran dan banyak dari onderneming karet yang dikelola olenJ" 'son & Crosfleld pada mulanya merupakan onderneming em a .Para pengusaha mengeluarkan biaya pembukaan lahan, tetapi apa la sudah diketahui sifat sebenamya dari tanah-tanah liparitik itu, ma- ka hanya sedikit lagi yang dapat dilakukan perusahaan-perusanaan

72

itu. Yaitu, mengalihkannya dari tanaman tembakau ke jenis tanaman lain yang kurang membutuhkan pemeliharaan, tentu jika mereka ma­sih mempunyai modal. Atau menutup dan menjual konsesi itu kepada perusahaan lain dengan harga berapa pun yang masih mungkin mere­ka peroleh. Banyak perusahaan-perusahaan muda memperoleh keun- tungan dari nasib buruk para pengusaha pendahulu. Mereka meng- ambil alih lahan yang telah dibuka, berikut jalan-jalan dan hutan- hutan lama yang pernah dibuka dan ditumbuhi kembali paling-paling dengan hutan belukar yang jarang.

Cerita tentang perluasan dan penciutan penanaman tembakau erat hubungannya dengan perkembangan onderneming-ondememing yang sibuk dengan penanaman tanaman keras. Data statistik mengenai hal ini diberikan dalam Tabel 3. Akan tetapi, harus disebutkan bahwa tidak semua onderneming tembakau yang harus ditutup dapat dialih- kan ke jenis tanaman keras. Penggunaan tanah perkebunan dipenga-

TABEL 3

PE R LU A SA N D AN PENCIUTAN INDUSTRI TEMBAKAU DILIHAT DARI JUM LAH ONDERNEMING TEMBAKAU"’

Jumlah O n d e r n e - vTahun . Keteranganianun Tembakau ming

'"Nienhuys mengerjakan onderneming perintisan.Masa jaya tembakau. Setiap tahun terli- hat kehadiran penguasa-penguasa on­derneming baru.Perubahan dalam bea AS mendorong

„meledaknya gelembung krisis 1890.

Permulaan peralihan dari tembakau, mula-mula kopi, kemudian karet dan ke­lapa sawitMasa malaise 1930-1933; penutupan on- derneming-onderneming tanah tinggi di Langkat dan Deli.Nasionalisasi Maskapai Deli dan maska­pai Senembah tambah bekas maskapai

. Swis Tinta Raja.

*) Sumber: Sebagian, didasarkan atas tulisan E.C.J. Mohr, The Soils of Equato- rial Regions with Special Reference to the Netherlands East Indies, hlm.174.

1864 11872 221880 49 Masa <1888 148 Perluasan1896 120

1904 1141912 971920 821928 721931 67 Masa <1932 61 Penciutan1934 451940 451958 26

73

ruhi oleh sejumlah faktor tambahan seperti peraturan-peraturan pembatasan mtemasional, syarat-syarat hukum oleh pemerintah, atau

K6ngaiL u San dan penduduk setempat Bab-bab akhir sini ™emblcarakan kesulitan-kesulitan ini. Cukuplah disa dialihkan tyTp ^ ^ semua bekas onderneming tembakau bi- ondempmintt-nnH3 1 perkebunan tanaman keras, terutama tidak bagi1933 erneming yang ditutup sejak tahun 1930 sampai

m e m p ^ liS a n T k a fr g e S s nondernem raPa H6** <Pet° ' ? T ®kau. Antara tahun 1880 d a f ltm k f g'° ndernemmg a'permulaannya di Deli bawah d T L d ?? menyebar dari tempatjauh sungai Asahan Sejak hari itn t / I " 1? " mauPun ke tenggara se-terutama disebabkan faktor tanahfall? terus-menerus mundur,ubahan dalam pasaran t e m b S - 3dalah Perubaha"-Pei"terbesar adalah perubahan drastts da? f " Sejak tahun 1942 faktor v uuanan arastis dalam lmgkungan politik.

Pertumbuhan Industri Karet

Percobaan penanaman karet atau udilaksanakan awal 1885 di onrip ■ 6° yras^ ens^ Muell-Arg., telah dekat Medan, dan Rimbun di 5ne.ming tembakau seperti Mariendal, saat industri tembakau masih bagian tanah tinggi Deli, padamengambil alih lahan setelah S & mencari jenis tanaman untuk lesai memakai lahannya itu Wai8n8USaba onc*ememing tembakau se- di Sumatra Timur tidak ada nnrfU^Un be^tu, menjelang tahun 1900, hun 1902, Maskapai Deli memn ern?minS komersial karet. Pada ta- perkebunan Batang Seranean ?UrJyai kira-kira 5.000 pohon karet di sampai 19.999 pohon karet a anSkat. Perkebunan ini diperluas tahun 1905. Dalam tahun 1907 r +an * Pohon karet Hevea dalam tuk jenis Hevea. ’ a an^ Serangan dialihkan hanya un-

Di bagian selatan Sumatra ,Deli-Bila memulai perkebunan t u tahun 1890 Maskapai Swis hentikan produksi tembakau naH8”1 ^aU Pakantan, tetapi meng- cobaan ternyata terlalu menep & 3Wa* karena penanaman per- membuat percobaan dengan k °®wakan- Perusahaan itu kemudian berikutnya adalah dengan k a r ^ t t e t a p i ini pun gagal. Percobaan lam tahun 1899, tetapi sebeln /^ ra'kira 10.000 pohon ditanam da- konsesi itu berganti tangan rii.T i/?-81 pertama dapat menghasilkan, Sumatra Para Rubber Plantat' dan akbirnya menjadi milik PT lam tahun 1899 m elakukan 10nS ^ d- ^erusabaan Swis lainnya da- dan m ulai ekspansi vane qp«,!!fna^aman karet Percobaan di Asahanpara pengusaha onderneming J P ya dalam 4311110 1906- Di Serdang,

nS yang yang telah mencoba nasib mereka

74

tetapi gagal dengan kopi memulai penanaman karet percobaan kira- kira dalam tahun 1901.

Kita dapat mengatakan bahwa dalam masa kira-kira 1899 sampai1905 hanya terlihat proyek-proyek percobaan, sedang produksi karet komersial dalam jumlah besar baru mulai dengan sungguh-sungguh tahun 1906, setelah proyek-proyek percobaan itu temyata menunjuk- kan cocoknya tanah dan iklim Sumatra Timur untuk tanaman karet Karet adalah juru selamat bagi banyak onderneming tembakau dan kopi yang bangkrut di tanah-tanah liparitik Sumatra Timur.

Hanya sedikit yang diketahui tentang pertumbuhan karet rakyat di Sumatra Timur, tetapi pada tahun 1938 perkebunan karet rakyat diperkirakan mencapai luas 41.924 hektar, 40.340 hektar di antaranya dianggap sudah dapat disadap. Pada tahun 1940 daerah karet telah bertambah luas sampai sejumlah kira-kira 44.000 hektar, dibanding dengan 64.000 hektar di Tapanuli, 71.000 hetar di Jambi, dan 189.000 hektar di Palembang.6* Keadaan di atas menjadi jelas hanya ketika kami meneliti distribusi konsesi-konsesi pertanian. Penduduk asli Langkat, Deli dan Serdang ternyata jauh kurang giat dalam produksi karet rakyat daripada penduduk Asahan dan Labuan Batu. Di bagian selatan Sumatra Timur, tanah konsesi-konsesi pertanian sering tidak saling bersebelahan, sehingga penduduk Melayu dan Batak menda- patkan tanah huma di sela-sela konsesi tersebut yang dapat ditanami karet Pemerintah Hindia Belanda tidak menyumbang apa pun pada saat-saat permulaan industri karet ini, yang kemudian menjadi sangat penting bagi kesejahteraan penduduk Indonesia. Industri itu berkem- bang karena prakarsa petani Indonesia dan pedagang Cina. Singapura erat hubungannya dengan perkembangan karet rakyat ini. Pengaruh Singapura terhadap perkembangan karet rakyat mengingatkan orang kepada pengaruh Penang terhadap pertumbuhan industri lada sea- bad sebelumnya. Orang-orang Islam Sumatra Timur dan Sumatra Se­latan yang telah tinggal di Malaya beberapa lama, atau telah singgah di Singapura dalam peijalanan mereka ke Mekah, menjadi tertarik kepada karet di Semenanjung Malaya dan membawa bibit-bibit karet itu ketika mereka pulang kembali ke Sumatra. Pengusaha-pengusaha Cina di Singapura juga mengetahui kesempatan-kesempatan ekono- mis dari karet dan melalui pedagang-pedagang kecil Cina, mereka membagi-bagikan bibit-bibit karet kepada penduduk kampung sepan­jang pantai-pantai selatan Selat Malaka. Petani-petani huma di, Suma­tra itu mulai menanamkan bibit-bibit karet di ladang-ladang huma dan dengan demikian setelah enam sampai tujuh tahun mereka mem­punyai kebun-kebun karet ketimbang bidang-bidang kecil hutan belu- kar. Baru pada pertengahan tahun 1920-an pemerintah Hindia Belan­da dan para pengusaha onderneming benar-benar mulai menaruh

75

perhatian kepada karet rakyat. Perhatian resmi kepada karet rakyat selama tahun 1930-an mempunyai pengaruh merugikan bagi para pengusaha perkebunan rakyat, karena setelah berdirinya Badan Ren- cana Pembatasan Karet Internasional (International Rubber Restric­tion Scheme), para petani karet rakyat menerima pelayanan yang ku- ra.n® rnenguntungkan ketimbang apa yang diterima industri onderne- min& ’’Penilaian merugikan terhadap para penghasil pribumi Hin-

la elanda adalah persyaratan yang disetujui secara internasional, arena erang-terangan dinyatakan dalam rangka pembatasan itu,

bahwa suatu kuota pribumi Hindia Belanda berapa pun jumlahnyacti?611 6 if 1 aPasitas mereka... akan menjadi cukup besar untuk

tu jS 5 fncurkan setiap kesempatan atas rencana yang telah dise-

TABEL 4

INDUSTRI KARET ONDERNEMING DI SUMATRA TIMUR

Tahun

190219031904190519061907190819091910 1915 1920 1925 1930 1932 1935 1940

Daerah yang Ditanami

176423651

1,3372,0786,873

13,09021,92629,471

103,112150,156188,875273,094284,213

Daerah yang Berproduksi

36,453101,428146,773172,905178,438

van Surnat^Bag J915 diambil dari De Buitenbezittingen, Oostkustn f v S ’ . n f ' n i S , W hlf 15* 15T Dat* 1920 sampai 1932 diambil dari hie, jilid 25, (1934) him. 263™ SUmatra” T^ c h n jt voor Econom ist Goegrap-

76

Teh pertama ditanam di sebidang tanah percobaan di Onderneming Rimbun di Deli Hulu dalam tahun 1898, tetapi proyek tersebut nam- paknya tidak memberi harapan dan karena itu tidak diteruskan. Se­orang pengusaha onderneming Swis, A. Ris, layak menerima penghar- gaan karena ia telah membuktikan kemungkinan komersial penanam­an teh di Sumatra Timur. Antara tahun 1910 dan 1920, modal Jerman dan Inggris telah mengembangkan onderneming-onderneming teh di sekeliling Pematang Siantar. Kepentingan-kepentingan Inggris di- wakili oleh Rubber Plantation Inestment Trust” , yang telah mempero­leh daerah-daerah konsensi yang luas dari raja-raja Simalungun, teru- tama dari Raja Pematang Siantar dan Raja Tanah Jawa.10) Handels- Vereeniging Amsterdam mengikuti contoh para pengusaha onderne­ming teh Jerman dan Inggris dan memulai pengembangan beberapa perkebunan teh yang besar setelah tahun 1918. Pencaplokan keraja- an-kerajaan kecil Simalungun dalam tahun 1907 telah merintis jalan bagi perluasan pertanian onderneming ke tanah-tanah pegunungan Simalungun.

Kira-kira pada waktu yang sama ketika tanaman teh menjadi ta­naman penghasilan yang baru bagi onderneming, percobaan-percoba- an komersial yang pertama dibuat dengan kelapa sawit Para perintis onderneming kelapa sawit adalah pengusaha dari Jerman, K Schadt, yang menanam pohon-pohon kelapa sawit di atas konsesinya, Tanah Itam Ulu, dan pengusaha onderneming Belgia, Adrien Hallet, yang menanam kelapa sawit di Onderneming Pulau Raja di Asahan. Sebe­lum tahun 1911, pohon-pohon kelapa sawit ditanam semata-mata ha­nya sebagai pohon-pohon hiasan di perkebunan-perkebunan. Semua palem-palem hiasan ini, yang sangat cocok dengan iklim Sumatra Ti­mur, adalah keturunan dari empat jenis pohon palem yang telah dite- rima Kebun Raya Bogor dalam tahun 1848.U) Sangat mengherankan bahwa para pengusaha onderneming tembakau, yang sangat berputus- asa dalam tahun 1880-an dalam menemukan suatu jenis tanaman yang cocok untuk mengalihkan lahan-lahan tembakau yang mereka tinggal- kan, telah mengabaikan kesempatan yang diberikan oleh kelapa sawit ini. Namun sangat menarik untuk dicatat bahwa perkebunan-perke- bunan kelapa sawit dimulai hampir serentak di Afrika Barat dan Su­matra. Sebelum itu, minyak kelapa sawit dan biji-biji kelapa sawit yang sampai di Eropa semuanya berasal dari perkebunan-perkebun­an rakyat di Afrika Barat

Berlainan dengan teh, kelapa sawit di berbagai tempat ditanam di atas bekas perkebunan tembakau yang ternyata terletak di atas tanah- tanah liparitik. Salah satu dari perkebunan kepala sawit termuda di Sumatra Timur — terkenal bagi semua yang bepergian melalui jalan

Pertumbuhan Industri Teh, Kelapa Sawit, dan Serat

77

raya dari Medan ke Danau Toba lewat Tebingtinggi dan Pematang Siantar — adalah yang dialihkan dari tembakau ke kelapa sawit da­lam pertengahan tahun 1930-an.

Yang termuda dari hasil-hasil perkebunan besar di Sumatra Timur adalah sisal dan rami Manila, atau abacca. Penghasil terkemuka ada­lah HVA dengan beberapa onderneming besar di Simalungun, yang kesemuanya dikembangkan setelah tahun 1918. Peta X memperlihat- kan onderneming-onderneming itu antara Pematang Siantar dan Te­bingtinggi. Karena HVA kukuh menolak memberikan data apa pun mengenai daerah yang ditanami atau produksinya, maka statistik per­tanian sebelum perang tidaklah lengkap dan berisi data yang tidak memadai mengenai industri sisal dan abacca di Sumatra Timur. Kita hanya mempunyai data ekspor. Ekspor itu naik dari 718 ton dalam tahun 1920 menjadi 70.000 ton dalam tahun 1939. Apabila kita kuranei produksi onderneming-onderneming serat yang menyerahkan statis tiknya kepada pemerintah dari total jumlah ekspor, menjadi nyatalah bahwa HVA mensuplai tidak kurang dari 62.000 ton sisal dan aharm dalam tahun 1939. ooacca

TABEL 5

DAERAH ONDERNEMING TEH DAN KELAPA SAWIT DI SUMATRA TIMUR DAN ACEH (dalam hektar) MA1KA

Tahun Teh Kelapa Sawit

1915 3,2371920 10,0091925 12,8351930 21,2731935 --1938 21,5881945 —

3,2948,462

29,40261,22974,91992,30773,621*)

*) Hanya Sumatra Timur. ■Sumber: Angka-angka untuk kelapa sawit diambil dari bukii f r ”De Oliepalm” dalam GJJ. van Hall, dan C. van de KoDoel n„ V Heuren, Indische Archipel, him. 593. ’ Lanobouw in de

Masalah Keamanan Onderneming Tanaman Keras

Dalam bagian yang membicarakan simbiosa antipatik asaha onderneming tembakau dan petani, saya mengura'k 3 Pengu'na pengusaha onderneming tembakau telah melindung/Iv " l)agaima-persaingan dan pencurian. Dari ondememing-onderniL- n terhadap

ueming yang h

78

usaha dalam produksi tanaman keras, hanya para pengusaha onder­neming karetlah yang berada dalam keadaan sulit yang serupa seper­ti tembakau, karena penduduk kampung yang tinggal di ujung atau bahkan di dalam konsesi-konsesi juga menanam karet Sampai seka- rang, tak seorang pun yang telah mengembangkan suatu alat untuk membedakan karet rakyat dan karet hasil curian. Sebelum Perang Dunia II masalah pencurian getah dengan jalan penyadapan tak sah dapatlah dianggap sepi. Tetapi kemudian menjadi sangat gawat sejak tahun 1945, sebab pada saat harga-harga karet tinggi, pencurian terja- di dalam jumlah-jumlah yang besar.

Sebaliknya, onderneming kelapa sawit, teh dan sisal tidak pernah mempunyai masalah keamanan atau pencurian hasil-hasil perkebun- annya, karena persiapan produknya untuk dipasarkan terlalu sukar. Oleh karena kesukaran ini, sepanjang pengetahuan saya, perkebunan kelapa sawit, sisal, atau teh milik petani tidak pemah berkembang, yang sekali lagi berarti keamanan yang lebih besar bagi pengusaha onderneming.

Dampak Industri Perkebunan terhadap Kebudayaan Cocok-tanam Kaum Tani.

Kita tahu dari cerita kunjungan John Anderson ke Sumatra Timur dalam tahun 1823 bahwa pertanian berhuma adalah sistem pertanian yang berlaku di sana sebelum kehadiran para pengusaha onderne­ming Padi sawah ditanam hanya di beberapa daerah rawa yang tidak memerlukan perbaikan-perbaikan yang biasanya penting bagi suatu persawahan. Misalnya petak-petak seperti yang terdapat di lembah- lembah sungai dan di rawa-rawa air tawar, lebih merupakan sawah ’’alam” daripada sawah buatan manusia seperti terdapat di Jawa, di daerah Minangkabau, di Sumatra Tengah, atau daerah-daerah yang didiami oleh suku Batak Toba.

Sebagaimana telah kita lihat, dalam awal abad 19, suku Batak Karo telah mulai melakukan penanaman jenis tumbuhan tanaman keras, lada, ke dalam sistem perladangan huma mereka dan dengan demiki- an menciptakan setidak-tidaknya petak-petak kecil lahan panen yang terus berproduksi selama 15 sampai 20 tahun. Tetapi tidak satu pun keluarga Batak Karo mempunyai cukup tenaga untuk mampu menga- lihkan tahun demi tahun setiap ladang huma yang baru menjadi se­buah kebun lada. Apabila dua atau tiga lahan telah dialihkan menja­di kebun-kebun lada, keluarga itu akan cuup repot dengan pemeliha- raan dan panen-panen mereka, karena mereka masih harus membuka ladang huma baru setiap tahun untuk menanam padi ladang kering. Namun, semangat berusaha suku Batak Karo adalah jelas. Beberapa pemimpin mereka, dengan ketajaman berpikir yang patut dipuji, me-

79

nemukan jalan dan cara untuk menangani suatu industri baru. Yakni menyelaraskan dua pekerjaan sekaligus, produksi dan pemasaran dan menggunakan perahu-perahu mereka sendiri antara Sumatra Timur dan Padang.

Pohon-pohon pada menjadi terkenal di Sumatra Timur agak bela- kangan sedikit setelah lada. Para perintis onderneming yang menaruh perhatian terhadap pala ini, mengikuti contoh orang-orang Sumatra dan menanam pala dalam jumlah besar sampai perubahan-perubah- an bea impor membuat industri itu tidak menarik lagi dari segi keuangan. Pada waktu tanam-tanaman keras seperti karet, kelapa sa- wit, sisal, dan teh mulai ditanam di Sumatra Timur, tiga penguasa dari Langkat, Deli dan Serdang dan kepala-kepala daerah kecil di distrik-distrik Batak Karo dan Simalungun bagian pedalaman telah menyerahkan setiap jengkal tanam milik mereka kepada para pengu­saha onderneming, kecuali daerah-daerah pantai yang terlalu berawa- rawa yang tidak menggerakkan minat para pengusaha onderneming itu. Ini berarti bahwa orang-orang Karo dari daerah tembakau, umpa- manya, tidak dapat lagi mengambil manfaat dari kesempatan-kesem- patan baru, yakni untuk mempunyai ladang huma sebagai milik sen­diri. Jadi mereka hanya dapat menggunakan kebun-kebun tembakau yang selesai dipanen untuk waktu singkat enam bulan. Ada sedikit pohon karet yang ditanami di tanah-tanah milik mereka dalam kom- pleks tanah seratus, tetapi tak seorang pun yang tinggal dalam kosensi- konsesi dapat menanam karet secara sistematis di ladang-ladang hu­ma. Tetapi tidak demikian halnya dengan suku Batak Toba di Tapa- nuli Utara atau Asahan dan Labuan Batu, dan kabupaten di Sumatra Timur. Di Asahan dan Labuan Batu para pengusaha onderneming tidak mengambil semua tanah yang ada di situ. Maka penduduk asli masih mempunyai kesempatan untuk bersama para pengusaha onder­neming memiliki tanaman penghasil uang yang besar seperti karet Jika para pengusaha onderneming itu tidak memperoleh semua tanah yang mereka cari di Sumatra Timur pastilah Sumatra Timur sekarane tidak akan kalah dilampaui oleh Jambi, Palembang, dan daerah dap rah lain di Sumatra dalam produksi karet rakyat. Suatu suku banes yang rajin dan mau berusaha keras seperti orang-orang Batak Kam sudah pasti akan unggul dalam produksi karet rakyat, jika tidak earn gara ulah para penguasa mereka sendiri yang menghalanginya. Dater an tinggi Karo terlalu tinggi untuk karet, tetapi penduduknya menssni nakan kesempatan-kesempatan lain, apabila suatu sistem telah d S . mukan untuk memasarkan hasil-hasil panen mereka yang dapat Hi angkut dengan truk-truk lewat jalan raya Medan-Kabanjahe.

Petani penduduk asli yang memperoleh keuntungan dari pengem bangan onderneming hanyalah orang-orang desa yang tinggal di ping.

80

gir rawa-rawa pantai atau daerah-daerah pantai berpasir dari zaman lampau, tempat tumbuhnya palerri nipah. Ketika para pengusaha on­derneming memerlukan atap nipah yang tak henti-hentinya untuk gu­dang-gudang tembakau mereka, suatu industri baru berkembang yang membuat seluruh desa sibu. Daun nipah telah digunakan sejak lama sekali oleh rakyat pantai Sumatra sebagai bahan atap dan dinding. Karena rawa-rawa pantai memberikan cukup persediaan nipah yang tumbuh secara alamiah untuk kebutuhan tradisional yang terbatas, tentulah tidak mungkin bahwa nipah pernah ditanam dengan jumlah yang besar. Tetapi hal ini dengan tiba-tiba berubah ketika pada suatu waktu setelah tahun 1870, pengusaha onderneming menemukan bah­wa atap nopah lebih baik daripada jenis lainnya - terutama alang- alang untuk membangun bangsal-bangsal pengeringan, karena atap nipah memungkinkan peredaran udara yang sangat baik. Stasiun Per­cobaan Deli telah mengetahi bahwa dinding-dinding dan atap harus cukup tebal untuk menjaga batas suhu sehari-hari serendah mungkin dan mengurangi kadar kelembaban udara dingin di malam hari yang menyusup ke dalam gudang-gudang itu, tetapi pada waktu yang sama membiarkan peredaran udara yang cukup. Atap nipah memenuhi ke- butuhan-kebutuhan ini lebih baik daripada bahan-bahan lainnya.

Pada tahun 1877 sudah diketahui bahwa kemacetan dalam produksi atau bukanlah terletak pada tenaga kerja melainkan pada bahan mentah. Deli, terutama, tidak mempunyai rawa-rawa nipah alam yang cukup. Karena itu para pengusaha onderneming memanjarkan sejum- lah besar uang kepada Pangeran Langkat untuk menyelenggarakan produksi dan ekspor atap-atap nipah ke Deli. Dalam masa jaya indus­tri tembakau, atap-atap nipah dimuat penuh dalam perahu-perahu bahkan diimpor dari seberang Selat Malaka. Pada tahun 1887, kebu­tuhan tahunan atap-atap nipah yang dapat dipakai selama tiga tahun, diperkirakan berjumlah 25 juta. Untuk mencukupi permintaan tetap dan besar dari bahan bangunan ini, rakyat dekat pantai mulai menga- lihkan rawa-rawa bakau mereka menjadi tempat-tempat penanaman palem nipah. Lahan rawa-rawa ini benar-benar cocok untuk nipah, bibitnya ditanam paa kedalaman kira-kira 15 cm dan pada jarak-jarak antara satu sampai dua meter.

Nipah muda agak lembat besarnya; memerlukan lima tahun atau lebih sebelum panen pertama dapat dilakukan lima tahun atau lebih sebelum panen pertama dapat dilakukan. Palem nipah mempunyai daun-daun berbentuk bilah-bilah panjang tersusun pada kedua sisi pelebah daunnya. Apabila daun-daun itu sudah kira-kira 80 cm pan- jangnya, barulah dipotong; dikeringkan sedikit, dan dilipat pada dua pertiga dari panjangnya. Pada sepotong kayu atau bambu lipatan-li- patan daun nipah itu lalu dijepit, dengan demikian jadilah mereka

81

atap-atap yang ringan dan dapat dilalui udara secara bebas. Kecuali daun-daun nipah, pembuatan atap nipah memerlukan sejumlah besar belahan-belahan bambu atau kayu dan bahan penjahit Kayu itu ber­asal dari palem nibung (Oncospenma tigiUaria Ridl.) yang keras dan tahan lama. Bahan penjepit diperoleh dari bemban Dcmax arundas- trum Louw.). Batang-batang tumbuhan ini dipecah untuk membuat tali yang kuat. Permintaan untuk tali bemban sedemikian besarnya se­hingga para pembuat atap itu juga menanami ladang-ladangnya de­ngan Donax arundastrum. Saya tidak memahami tentang penanaman palem nibung secara sistematis, tetapi pemakaiannya tergambar da­lam kenyataan bahwa palem kenis ini di hutan-hutan pantai tidak banyak lagi seperti dulunya. Palem nibung adalah sebutan yang digu- nakan orang Sumatra, sementara orang-orang Jawa menyebutnya bambu.

Selama beberapa waktu penduduk juga dapat memperoleh uang dengan memotong kayu keperluan bahan bangunan yang banyak di- perlukan oleh onderneming tembakau, tetapi pada tahun 1890-an on- derneming-onderneming mulai menghasilkan bahan bangunan mere­ka sendiri dengan menanam pohon-pohon jati sepanjang dua sisi ja­lan, begitu juga ladang-ladang bambu yang luas. Daerah-daerah hutan jati ini memberikan bahan bangunan yang sangat baik, melengkapi kayu yang berasal dari hutan-hutan pantai.

Kecuali di tanah-tanah pantai yang mengandung air payau dan pengaliran airnya kurang baik, para pengusaha onderneming ber- saing dengan penduduk pribumi untuk mendapatkan lahan. Pendu­duk pribumi terpaksamenyesuaikan sisitem pertanian mereka sede­mikian rupa supaya tidak ada keberata-keberatan dari para peneusa ha onderneming yang sangat berkuasa itu. Tidak diragukan Iasi bah wa peraturan-peraturan pembatasan yang dipaksakan secara sepihak kepada petam pribumi di daerah-daerah tembakau itu telah meruK kan dan telah mempengaruhi sistem pertanian mereka dan secara berangsur-angsur juga inisiatif penduduk Para pengusaha ondeme mmg menyesalkan praktek memberikan ladang huma yang siap S a i kepada rakyat. Banyak juga menyesalkan campur tanean t e n , ™ rus pemerintah di Batavia yang menu™,

onderneming adalah pendatang baru yang mencoba m en gh E k ankesempatan-kesempatan ekonomis mereka Par* ! 8 ngKanming itu tidak pemah memaafkan o ra ^ ra n g M e l a r d ^ ^ ™ ^ keengganan mereka meneari natoh slbagSf "umh t a H ? ! atas ming, sehingga menyebabkan pihak ondernemina ham onderne- kan biaya besar untuk mengimpor tenaga b u r u h ^ mef geluar- jauh. Dalam banyak kesempatan saya mendengar k , , empat'temPat usaha onderneming tentang kemalasan luar biasa dari p eT u d u k a"u

82

di daerah penghasil tembakau di Sumatra Timur. Orang-orang Suma- i tra Timur, demikian menurut keluhan itu, lebih suka menangkap ikani dan berburu dan membiarkan pengusaha onderneming mempersiap-• kan ladang-ladang huma bagi mereka. Ladang huma ini kemudian

langsung diserahkan oleh orang-orang Sumatra Timur itu kepada bu­ruh Jawa, karena mereka sendiri terlalu malas bahkan untuk menan- capkan tonggak runcing ke dalam tanah yang sudah dipersiapkan de­ngan saksama bagi mereka. Sebaliknya sampai sekarang orang-orang Karo di dataran tinggi memiliki sifat-sifat tangguh seperti yang disak- sikan oleh Anderson dalam tahun 1823. Anderson berulangpulang me- nanggapi dalam catatan hariannya tentang kerajinan dan keuletan suku Batak Karo, yang dilukiskannya sebagai petani-petani teladan.

IPertumbuhan Penduduk

Ekspansi pertanian onderneming yang cepat di Sumatra Timur bo- leh dikatakan unik dalam sejarah ekonomi - mempunyai pengaruh menyolok terhadap pertumbuhan, penyebaran, dan komposisi pendu­duk. Dalam waktu sangat pendek penduduk asli jumlahnya dilampaui oleh buruh Cina dan Jawa. Kecuali itu, perkembangan Sumatra Ti­mur menarik sejumlah besar orang Sumatra dari Sika, Minangkabau, Mandailing, dan Angkola. Minangkabau dan tetangga-tetangganya Mandailing dan Angkola dari daerah Batak berada di bawah kekuasa­an Belanda sejak paruh pertama abad ke-19, beberapa dasawarsa se- belum Belanda masuk ke Sumatra Timur. Ini memberikan kepada para pengusaha onderneming persediaan sejumlah orang yang ber- pendidikan yang dapat dikeijakan sebagai juru tulis, mantri ukur, dan ahli mesin atau untuk kedudukan-kedudukan kecil lainnya. Keti- ga golongan itu adalah orang-orang Islam dan dengan demikian dapat diterima masyarakat Islam di daerah-daerah tanah rendah dekat pan­tai di Sumatra Timur. Sebaliknya, orang Batak Toba asal Tapanuli Utara beragama Protestan, mulai memasuki Sumatra Timur dalam jumlah yang bertambah besar setelah tahun 1900 tetapi menemukan diri mereka kurang diterima oleh orang-orang islam di Langkat Hilir, Deli Hilir dan Serdang Hilir ketimbang orang-orang islam Batak Man­dailing dan Angkola. Gereja Rhenish Mission Siciety telah bekerja intensif kira-kira sejak 1863 sampai 1940 di tengah-tengah orang Batak Toba itu.

Angka-angka penduduk untuk Sumatra Timur pada awalnya kurang lebih hanyalah merupakan taksiran saja, tetapi penghimpunan data berikutnya menjadi lebih dapat dipercaya, ketika perangkat pemerin- tahan Belanda meluas daerah demi daerah. Angka-angka sensus pa­ling akhir diperoleh dalam tahun 1930 dan 1961. Untuk memahami ketegangan-ketegangari yang telah timbul di Sumatra Timur dalam

83

tahun-tahun belakangan int. orang mesti memperhitungkan perban- dingan kckuatan golongan-golongan suku besar di sana. Dalam hu- bungan ini data sesnsus akan terus membenkan manfaat yang khusus.

Pada tahun 1830. kira-kira 60 tahun setelah dimulainya pertanian onderneming d i I<angkat. Deli dan Serdang. dan hampir 30 tahun se­telah pembukaan ondememing-ondememtng d i Asahan. tabuan Batu dan Simalungun. jumlah penduduk ash Sumatra Timur d i semua w i­layah admimstratir yang utama. kecuali dataran tinggi Karo, dilam- paui o leh pendatang-pendatang dari luar daerah. Perbedaan me- nyolok antara dataran tinggi Karo ini dan semua bagian Sumatra T i­mur lainnya. tentu saja. disebabkan penolakan terhadap masuknya modal onderneming ke dalam kerajaan-kerajaan kecil d i dataran ting­gi itu. Orang-orang Batak Karo d i dataran tinggi yang momanfaatkan pengamatan mereka mengcnai dampak kekuasaan Barat dan dampak okonomi onderneming selama i 35 tahun terhadap saudara-saudara mereka orang-orang Batak Karo d i langkat. Deli dan Serdang. tidak mau mcnycwakan tanah-tanah mereka kepada ondcrneming-ondeme- ming asing. Mereka lebih suka mcngikuti contoh orang-orang Karo dalam dasawarsa-dasawarsa pertama abad ke-19. Pada waktu itu ma- syarakt Kara sudah menyambut baik kesempatan-kesempatan ekono mi baru dengan menanam lada untuk diekspor ke Penang. Kini bukan lagi lada mclainkan sayur-sayuran dan bunga-bunga. yang menghi- dupkan suatu pasaran besar di daerah perkebunan Sumatra Tim ur dan Juga di seberang Selat Malaka d i Penang, Singapura dan kota- kota d i pedalaman Semcnanjung Malaya

Yang mendorong timbulnya ketegangan potitik d i Sumatra Timur dalam masa sebelum kcmerdckaan adalah suatu keputusan politik mengenai penduduk imigran yang diambil jauh sebelumnya dalam tahun 1973. Diputuskan bahwa semua orang yang bekeija d i ondeme- ming asal suku apa pun yang bukan warga asli raja-raja setempat berdasarkan kelahiran mereka d i Sumatra Timur, dikcluarkan dari yurisdiksi penguasa-pcnguasa lokal dan ditempatkan d i bawah yuris- diksi dan administrasi langsung pemerintahan Hindia Belanda. Ini berlaku atas buruh-buruh Cina, Jawa dan lain-lain dan juga orang- orang Eropa Dengan demikian ondememing-ondememmg. boleh di- katakan diakui merupakan daerah-daerah kantong dalam wilayah ke- sultanan-kesultanan. Tindakan politik ini berarti bahwa suatu pensen- tasc besar penduduk Sumatra Tim ur tidak ada hubungan dengan pe­merintahan kesultanan-kesulttnan. melainkan berada di bawah peng- awasan pcnguaha-pengusaha onderneming. yang dalam masa-masa permulaan s«kaligus menjaldi majikan, polisi dan hakim pada waktu yang sama.

Secara teori, para pengusaha onderneming atas permintaan yang

m

bersangkutan, wajib mengembalikan para buruh itu ke tempat-tempat asal mereka pada akhir masa kontrak. Tetapi ternyata setelah puluh- an tahun, ribuan orang Cina dan Jawa lebih suka tetap tinggal di Sumatra Timur setelah selesai masa kontrak mereka sebagai buruh- buruh di onderneming-ondememing. Mereka bermukim baik di kam- pung-kampung maupun di kota-kota yang sedang berkembang. Hanya bekas buruh-buruh yang bermukim di tengah-tengah masyarakat pen­duduk asli berada di bawah yurisdiksi penguasa-penguasa Sumatra Timur. Terus-menerus membanjirnya bekas buruh-buruh ini memasu- ki kampung-kampung menciptakan kepadatan penduduk yang luar biasa di kampung-kampung ini. Hanya jarang sekali bekas buruh-bu­ruh itu segera mampu memiliki tanah. Bagi orang-orang Cina dengan sendirinya tidak berlaku hukum yang melarang orang-orang Indone­sia menjual tanah pertanian kepada orang-orang bukan Indonesia. Paling-paling orang-orang Cina hanya dapat menyewa tanah, dan ini sering terjadi. Orang-orang Jawa dan imigran-imigran Indonesia lain- nya juga, meskipun berdasarkan hukum berhak memperoleh pemi- likan tanah, dalam banyak kejadian hanya menjadi penyewa tanah orang-orang Karo atau Melayu.

Seperti diperlihatkan oleh Tabel 6, menjelang tahun 1930 orang- orang Melayu yang merupakan unsur asli sesungguhnya dari pendu­duk Sumatra Timur, berjumlah hanya 15% dari seluruh penduduk. Kira-kira 88% dari penduduk ini terdiri dari orang-orang Indonesia lainnya, di antaranya terbanyak orang-orang Jawa sejumlah kira-kira 43%. Orang-orang Batak Karo, Simalungun dan Toba berjumlah ma- sing-masing 9, 6, 5%. Di antara orang-orang bukan Indonesia, Cina adalah paling banyak dan merupakan tidak kurang 10% dari seluruh penduduk Di kota Medan tidak kurang dari 35% penduduknya adalah Cina. Orang-orang Eropa kurang dari 1% di Sumatra Timur tetapi merupakan 5% dari penduduk Medan.

Tabel 7 memperlihatkan jumlah penduduk onderneming berdasar­kan distrik dan jenis kelamin. Semua distrik mempunyai lebih banyak pria daripada wanita di perkebunan-perkebunan. Simalungun mem­punyai jumlah mutlak terbanyak buruh perkebunan berikut sanak ke- luarga mereka (105.000); jumlah ini merupakan sedikit lebih banyak dari sepertiga seluruh penduduk. Di Langkat Hulu dan Padang-Bade- gei unsur perkebunan berjumlah kurang dari 45,8 dan 45,7% dari se­luruh penduduk (lihat halaman 87).

Sejalan dengan kebijakan baru pemerintah Indonesia, sensus 1961 tidak meminta keterangan tentang latar belakang suku orang-orang indonesia, sehingga kita tidak tahu perbandingan suku penduduk In­donesia di Sumatra Timur sekarang; tetapi jelas penduduk Batak To­ba telah banyak bertambah karena perpindahan besar-besaran orang-

85

Tabel 6

SUSUNAN ETNIK PENDUDUK SUMATRA TIMUR PER DISTRIK, 1930 (dalam ribuan)

* Termasuk Karo dan Simalungun Islam yang lebih suka diakui sebagai orang Melayu.** Termasuk Sunda, orang Betawi dan Jawa sebenamya.

*** Termasuk suku besar seperti Minangkabau yang berjumlah 50,000 di Sumatra Timur, orang Banjar dari Borneo ±31.000 Sucnber: Sensus 1930, Jilid IV

TABEL 7

JUMLAH PENDUDUK YANG TINGGAL DI ONDERNEMING DAN PEHSEN-TASE TERHADAP JUMMH PENDUDUK SELURUHNYA DI TAIIUN 1930

Distrik Pria Wanita TotalPersetase

Todal Penduduk Indonesia

Langkat Hilir 4,956 3,989 8,945 7.6Langkat Hulu 24,774 21,305 46,079 45.8Deli Hilir 26,197 24,050 50,247 31.2Deli Hulu 10,264 9,370 19,634 40.5Serdang 27,249 22,556 49,805 38.3Padang dan Bedagei 23,820 18,120 41,940 45.7Simalungun 57,604 47,681 105,285 37.2Batu Bara 14,536 10,389 24,925 41.8Asahan 25,002 18,103 43,105 34.5Labuan Batu 28,887 16,446 45,333 36.5

Sumber: Sensus 1930, Jilid IV, him. 6

orang Batak Toba dari pegunungan-pegunungan Tapanuli yang terlalu padat itu. Jumlah penduduk Deli Hulu dan Langkat Hulu telah berku- rang, sementara jumlah penduduk Deli Hilir dan Serdang Hilir ber- tambah, disebabkan ditutupnya banyak onderneming dan berpindah- nya secara besar-besaran buruh-buruh onderneming itu dan anak-cu- cu mereka.

Pembangunan Jaringan Komunikasi Modern

Pada mulanya, sungai-sungai, meskipun lamban dan sukar dipakai, me­rupakan sarana yang menyenangkan dalam membawa hasil-hasil panen ke pantai untuk diekspor. Tetapi kemudian karena begitu banyak su­ngai yang cepat mendangkal akibat endapan lumpur yang berasal dari pembukaan hutan dan erosi, kebutuhan jalan-jalan darat dengan segera menjadi sangat mendesak. Karena pemerintah dalam masa perintisan mulanya menolak membantu pembiayaan pembangunan, para pengu­saha onderneming memulai membangun jalan-jalan mereka sendiri. Jalan-jalan yang pertama dibangun oleh para pengusaha onderneming adalah di tanah-tanah mereka sendiri yang dapat menghubungi tempat- tempat di beberapa sungai yang dapat dicapai oleh sampan-sampan besar; kemudian jalan-jalan itu menghubungkan antaronderneming yang dimiliki oleh pengusaha yang sama. Hanya pada tahap inilah, peme­rintah mulai muncul dan membangun sistem jalan yang tahan segala

87

=S5£S3££SESTaniune Pura Binjau, Medan, Lubuk Pakam, Tebingtinggi d a n Kisaran l ! Z , i Rantauprapat di Labuan Batu. Jalan utama utara-selatan im dengan dua jalan ke pegunungan-pegunungan di pedalaman jalan Berastagi dan Kabanjahe di dataran tinggi Karo dan jalan melalui S malungun ke Danau Toba yang terus ke selatan ke Tapanuli dan Sib ea- adalah uratnadi utama jaringan jalan pemerintah. Namun, sampa akhir tahun 1928 beberapa onderneming besar masih berada tanpa pe- layanan jalan pemerintah. Begitulah halnya dengan onderneming Win- foot milik perusahaan Goodyear, masih tergantung kepada pengangkut- an sampan melalui pelabuhan Labuan Bilik, dekat kuala Sungai Baa, dan Negerilama, di tepi sungai yang sama karena, baik jalan raya mau- pun jalan kereta api, belum mencapai Rantauprapat.

Pembangunan jalan poros besar di Sumatra Timur mempunyai dam- pak yang luar biasa pada pola pemukiman kota. Sementara semua kam­pung-kampung besar— embrio kota-kota yang potensial — berada dekat ke pantai pada tepi-tepi sungai yang dapat dilayari, maka kota-kota pe­mukiman baru berkembang dengan cepat di mana saja jalan raya itu memotong dan menyeberangi sungai besar. Jalan raya pada umumnya berada pada ketinggian garis batas 25 meter dari permukaan laut, bah­kan lebih tinggi, dan semua sungai dapat dilayari. Setelah pembuatan jalan raya itu, sultan-sultan, para pedagang, pejabat-pejabat pemerin­tah Belanda, dan semua orang lainnya kecuali para nelayan mulai pin- dah ke pedalaman ke kota-kota baru itu dari Tanjungpura ke Binjai, dari Labuan Deli ke Medan, dari Rantau Panjang ke Lubuk Pakam, dari Sungai Pariuk ke Tebingtinggi, dari Kuala Tanjung ke Indrapura, dari Tanjung Tiram ke Lima Puluh, dan seterusnya.

Karena memakan waktu 50 tahun untuk menyelesaikan jaringan ja- lan-jalan yang kita kenal sekarang, perpindahan penduduk yang bermu­kim di pantai ke kota-kota pedalaman yang terletak pada jalan poros besar dan pada daerah-daerah sekitar jalan kereta api berlangsung se­cara berangsur-angsur.

Banyak pelabuhan sungai yang maju sangat terganggu oleh beting atau endapan-endapan lumpur, yang terjadi sesudah tahun 1942. Sebe- lum penyerbuan Jepang, Belanda telah menanggulanginya dengan pengerukan-pengerukan agar kuala sungai-sungai penting tetap terbu- ka. Karena semua kapal keruk ditenggalamkan selama Perang Dunia II atau selama masa revolusi dari tahun 1945 sampai 1949, timbunan lum­pur berlangsung terus, Sehingga, bahkan kapal kecil pun tidak mungkin mencapai pelabuhan-pelabuhan yang sebelumnya sampai akhir 1942 masih dapat dimasuki kapal-kapal pantai kecil. Tidak mengherankan

88

bahwa beberapa pelabuhan kecil itu mengingatkan orang kepada kota- kota hantu. Pos-pos bea cukai telah ditarik; dewasa ini, semua ekspor dan impor bergerak melalui tiga pelabuhan: Belawan, Teluk Nibung, dan Labuan Bilik.

Mengalirnya jumlah-jumlah besar modal asing yang tertarik pada sumber-sumber alam Sumatra Timur, yakni tanah yang subur dan mine­ral seperti minyak di Langkat, ditambah lagi penanaman kembali hasil keuntungan onderneming ke daerah itu, membuat daerah itu mengala- mi pembangunan ekonomi yang maju pesat dan memiliki prasarana ekonomi yang paling baik dibanding dengan daerah mana pun di selu­ruh Sumatra. Sumatra Timur, daerah dolar Indonesia, sesungguhnya telah menjadi satu-satunya daerah ekonomi yang paling penting di In­donesia dan terhitung penyumbang yang besar dalam pemasukan valu­ta asing bagi negeri ini. Batavia (sekarang: Jakarta) selama 80 sampai 90 tahun terakhir mengikuti perkembangan daerah ekonomi utama ini de­ngan mata yang tajam.

89

Bab VPolitik Agraria: Usul-usul Pembaharuan dan

Dampaknya Terhadap Masyarakat

Mengapakah sekelompok kecil kerajaan pantai Sumatra Timur yang oleh Kesultanan Siak dinyatakan sebagai daerah-daerah taklukannya, menarik para pengusaha onderneming dalam jumlah yang sedemiki- an cepat meningkat? Berhasilnya kegiatan-kegiatan perintisan Nien­huys, kemudahan yang membuat para pengusaha onderneming dapat memperoleh tanah, kesuburan tanah yang sangat baik, jarangnya pen­duduk, yang berarti bahwa sebagian besar tanah itu tidak diolah dan tidak ditanami, ini semua merupakan sebagian jawaban atas perta- nyaan tersebut Di sini dan dalam bab berikutnya kita akan meneliti faktor-faktor hukum, politik, dan ekonomi yang juga merupakan bagi­an dalam pembangunan pertanian perkebunan yang luar biasa itu di Sumatra Timur. Juga akan kita bahas sifat kontrak-kontrak yang mem­buat bagian-bagian tanah yang luas menjadi milik’ para pengusaha onderneming dan tindakan-tindakan yang diambil untuk melindungi hak-hak agraria penduduk pribumi.

Peraturan Pemerintah (Regeerings Reglement, RR) 1854, Traktat 1858 dengan Kesultanan Siak, dan perjanjian-perjanjian politik 1862 de­ngan daerah-daerah taklukan Siak dan perjanjian tahun-tahun beri­kutnya membuka jalan bagi para pengusaha onderneming itu. Para raja menerima kewajiban untuk mendorong pengembangan ondeme- ming-ondememing, dengan ketentuan bahwa Sultan Siak tidak diizin­kan menyewakan tanah pertanian kepada orang-orang bukan Indone­sia tanpa persetujuan lebih dahulu pejabat-pejabat pusat di Batavia sedangkan daerah-daerah taklukan Siak hanya memerlukan persetu­juan Residen Riau. Sampai tahun 1873, Siak dan daerah-daerah taklu kannya berada di bawah wewenang Residen Riau. Dalam tahun itu Siak dan daerah-daerah taklukannya berpisah menjadi Keresidenan Pantai Timur Sumatra dengan kota Bengkalis di Pulau Bengkalis se bagai tempat kedudukan residen. Akhirnya dalam tahun 1887 tiga tahun setelah Sultan Siak melepaskan segala tuntutan politiknva t hadap kerajaan-kerajaan kecil Sumatra Timur, kantor Residen Sum tra Timur dipindahkan dari Bengkalis ke Medan, ibu kota baru n r yang berkembang dengan pesat di persimpangan sungai Deli d Babura. an

K o n tr a k -k o n tr a k Tanah sebelum 1877

Selama 10 sampai 15 tahun pertama banyak sekali percobaan dan

90

improvisasi berlangsung di Sumatra Timur. Setiap orang harus bela- jar melalui percobaan dan kesalahan - para penguasa, para taklukan dan rakyat mereka, administratur-administratur Belanda dan para pengusaha onderneming itu. Pejabat-pejabat Belanda membutuhkan beberapa tahun untuk menentukan perbatasan kerajaan-kerajaan ke­cil itu dan untuk menyelesaikan tuntutan-tuntutan wilayah sengketa yang timbul pada saat tanah menjadi sumber penghasilan bagi para raja dan dengan demikian menjadi lebih tinggi nilainya daripada se- belumnya. Selanjutnya perundingan-perundingan tentang kontrak yang menuju pada pemberian konsesi-konsesi tanah menjadi suatu pengalaman baru bagi raja-raja itu.

Kerajaan Deli adalah wilayah yang paling mula bagi pengusaha- pengusaha onderneming yang pertama. Penasa kerajaan kecil inilah yang memberikan konsesi-konsesi pertanian yang pertama. Perlu di- ketahui bahwa pada waktu Nienhuys tiba di Labuan, Sultan Deli ha­nya mempunyai hubungan yang sangat terbatas dengan staf pegawaiHindia Belanda dan mengetahui lianya sedikit atau tidak sama sekalitentang politik agraria yang dijalankan oleh pemerintah pusat. Ia menganggap daerah kekuasaannya sebagai harta pribadinya, sedang-kan rakyatnya diizinkan membuka tanah clan menanaminya sebanvak yang mereka perlultan untuK menduisung Kemmman senmn-Karena penduduk sangat sedikit, sebagianbesar tanah itu masih ditu-tupi hutan dan dapat diperoleh oleh siapa pun, yang meminta, teruta- ma jika pemohon itu bersedia membayar dengan cara menanami se- bagian daerah kekuasaan sultan sebagai imbalan untuk izin yang di- perolehnya.

Oleh karena belum ada contoh, tidaklah mengherankan bahwa kon- trak-kontrak konsesi itu yang ditulis selama 12 tahun pertama sangat berbeda-beda. Beberapa konsesi berlaku untuk 99 tahun, yang lain- lain untuk 70 atau 75 tahun. Kontrak-kontrak pertama memberikan konsesi-konsesi bebas sewa; sebaliknya sultan menganggap bea ek­spor dan impor sebagai imbalan yang layak, atau ia mengutip pajak kepala tahunan per buruh yang dipekerjakan. Sebuah kontrak yang ditandatangani tahun 1870 menyatakan pungutan sewa bukan dikena- kan pada seluruh konsesi melainkan hanya pada tanah yang benar- benar ditanami.

Mengenai luasnya konsesi, tidak jelas pada kontrak-kontrak awal karena batas-batas tanah tidak disurvai sebelum penandatanganan kontrak-kontrak itu. Sesuai dengan hukum yang berlaku, sultan mem­berikan pengusaha onderneming hak untuk membuka dan menanami tanah kosong. Karena penghasilan sultan tergantung kepada luas ta­nah yang dikembangkan oleh pengusaha onderneming, maka kontrak- kontrak itu memerinci luas tanah yang harus dibuka dalam jangka

91

waktu lima tahun. Perincian ini bermaksud untuk mencegah pemba- talan konsesi kecuali untuk jumlah luas yang benar-benar ditanami. Kontrak Mabar-Deli Tua tertanggal 11 Juni 1870, ditandatangani oleh Sultan Deli dan Maskapai Deli, menyepakati pembukaan 2.000 bau dalam waktu lima tahun. Tidak dipenuhinya syarat ini akan membuat kontrak itu tidak berlaku lagi kecuali untuk tanah yang benar-benar dibuka. Sebaliknya, pemenuhan syarat tersebut memberikan kepada onderneming hak lima tahun lagi untuk membuka tanah tambahan dalam konsesi yang sama. Pada akhir jangka lima tahun kedua Mas­kapai Deli telah memperoleh hak selama 99 tahun atas semua tanah yang sudah dibuka dan ditanami. v

Kontrak konsesi Polonia, ditandatangani tanggal 4 Desember 1869 antara Sultan Deli dan Michaelsky, memberikan yang belakangan ini hak membuka tanah antara sungai-sungai Deli dan Babura (tanah yang sekarang menjadi kota Medan) untuk maksud-maksud pertanian. Seperti Mabar-Deli Tua, kontrak Polonia tegas-tegas mencegah speku- lasi dengan cara mengikat hak-hak yang diberikan dengan suatu ren- cana pembukaan tanah dan penanaman yang pasti. Jika kurang dari 400 bau yang dibuka menjelang tanggal 5 Desember 1874, maka kon­trak itu berlaku hanya atas tanah yang benar-benar dibuka dan di- kembangkan, kecuali Michaelsyky dapat menambah membuka satu setengah bau tanah hutan untuk setiap bau yang dibuka dan empat bau lainnya untuk setiap satu setengah bau yang benar-benar sudah ditanami. 2)

Penyertaan syarat untuk mencegah spekulasi tanah dengan tuntut- an tegas bahwa kontrak menjadi tidak berlaku lagi sesudah lima ta­hun, kecuali tanah seluas yang disepakati .telah dibuka dan ditanami, dan provisi untuk memberikan perangsang dengan janji suatu bonus dalam bentuk tanah tambahan kepada pengusaha onderneming agar bekerja sebaik-baiknya dalam masa-masa permulaan, sungguh mem- perlihatkan suatu pengertian yang luar biasa mengenai masalah-ma- salah pembangunan ekonomi dalam suatu daerah yang masih terbela- kang. Tidak jelas siapa yang bertanggung jawab untuk memasukkan syarat-syarat seperti itu ke dalam kontrak-kontrak itu. Mungkin ada­lah pejabat-pejabat pemerintah pusat, karena pengalaman sultan yang terbatas tidak mungkin gagasan ini berasal dari dia sendiri.

Sebagaimana dalam beberapa kontrak permulaan, tidak ada pem- berian provisi untuk sewa tanah konsesi Mabar-Delitua, tetapi ini sa­ma sekali bukanlah kekeliruan di pihak Sultan Deli. Dalam ketajam- an pikirannya, sultan mengaitkan penarikan modal asing dan pengha- silan yang lebih besar bagi dirinya dengan kenaikan hasil dalam ek­spor. Sultan mengutip bea dari semua impor dan ekspor - atau cukup menugaskan seorang Cina untuk mengumpulkannya. Selembar tanda

92

terima tanggal 13 Desember 1871 dalam arsip Maskapai Deli, umpa- manya, mengakui pembayaran angsuran sebesar 284,50 gulden dari 569 bal tembakau, ditandatangani oleh K I. Sieuw, pengutip bea impor dan ekspor. 3> Tetapi pengumpulan bea-bea ini diambil-alih oleh pe­merintah Hindia Belanda pada tanggal 1 Januari 1876, Sultan Deli sesudah itu menerima ganti rugi untuk penghasilannya yang hilang itu. Mengenai keragu-raguan Sultan akan sewa tanah dalam kontrak Mabar-Delitua, Maskapai Deli menawarkan ganti rugi yang berlaku surut dengan menyetujui pada tanggal 28 Februari 1894 membayar hasil tanah 12.000 gulden setiap tahun untuk konsesinya.

Mengenai hak-hak agraria penduduk setempat yang kampung-kam­pung dan ladang-ladangnya terletak dalam perbatasan-perbatasan suatu tanah konsesi, kontrak-kontrak awal paling-paling mengatur tan- pa ketentuan tegas bahwa tanah desa, ladang dan kebun buah-buah­an, terutama kebun-kebun pala dan lada, harus dihormati oleh para pengusaha onderneming. Tetapi sama sekali tidak disebutkan menge­nai luas tanah yang tidak boleh diganggu. Kontrak-kontrak Deli berisi ketentuan-ketentuan lebih maju dalam melindungi kawula Sultan; ini adalah hasil tekanan terhadap Sultan yang dilakukan oleh pejabat- pejabat Belanda. Ini tergambar dalam kontrak antara Sultan dan pengusaha perkebunan Jerman, Herman Kiing, yang ditandatangani 15 September 1870. Ketentuan baru ini adalah bahwa tiga bau tanah hutan harus dipisahkan atas nama kawula Sultan bagi setiap bau tanah yang ditanami petani setempat dengan tanaman keras (pohon yang hidup lama) seperti kelapa, pala dan lada. Lebih jauh, Kung tidak diizinkan menanami tanah yang sebelumnya sudah dibuka oleh pihak ketiga. 4)

Sultan Deli, dan setelah tahun 1870 juga sultan-sultan kerajaan- kerajaan tetangga — menyadari dengan jelas bahwa akan menjadi keuntungan pribadinya jika hutan zaman purba itu dibuka dan tanah- nya ditanami, meskipun penghasilan pribadinya hanya berdasarkan pendapatan pengumpulan bea ekspor saja. Rumusan kata yang tepat dari kontrak-kontrak itu adalah soal kedua asalkan pengolahan tanah berjalan dengan cepat. Hanya ketika para pengusaha onderneming mulai bersaing satu sama lain untuk mendapatkan konsesi maka be- nar-benar dijalankan pengutipan sewa tahunan satu gulden perbau.

Selama Sultan Deli memberikan konsesi-konsesi hanya di dalam batas-batas wilayahnya sendiri, segala sesuatunya tampaknya ber­jalan dengan lancar; tetapi ketika menjelang tahun 1871 ia mulai me- nyewakan tanah yang terletak di distrik-distrik Batak Karo, di luar wilayahnya sendiri, kepala-kepala suku Batak Karo, yang dianggapnya sebagai bawahannya, menentang dengan perasaan benci dan marah. Daripada mengumumkan perang kepada Sultan, kepala-kepala suku

93

in i menyerang sumber keti-bangsal-bangsal pengeringan tembakau perKeou ka sedang penuh berisi tembakau.

Pejabat-pejabat Belanda terpaksa membawa pasukan m iliter ^an Kepulauan Riau dan dari Jawa, y a n g bertempur m hingga November 1872 pe-memberontak itu menyerah. Untuk mplancarkan pe-nyebab pemberontakan itu, pejabat-pejabat B gj^pkan bah-nyelidikan secara sistematis yang dengan cepat me ^ f v d p pem. wa kepala-kepala suku Batak Karo itu tidak k^ e ra ten terhadarM?em bukaan onderneming-ondememing melamkan hany karena iadap penggunaan hak yang melanggar hukum oleh wilavah-wi-telah memberikan konsesi-konsesi yang termasuk a herKuat de- layah mereka. Mereka sadar sepenuhnya bahwa eng semuamikian, Sultan telah mengalihkan kepada dirinya s kera-keuntungan keuangan.6* Setelah hasil penelitian itu tereingkap, ^ jaan Deli sebenarnya terdiri dari bagian-bagian y ^ g w iiavah Datu rah kekuasaan Sultan, (2) wilayah Kejuruan P®rcu ’ j Hamoaran Hamparan Perak, dibagi ke dalam (a) daerah Melayu ar „ DUluh Perak asli dan (b) Urung Batak Karo (urung=persekutu;an), PDua Kuta, (4) wilayah Datuk Sunggal, atau Urung Ser a y > ^ wilayah Datuk Kampung Baru, atau Urung Sukapinng, ( ^Urung Senembah Deli, dan (7) wilayah Raja Danai. Dari g2, 3a dan 7 dihuni oleh orang-orang Melayu, sedang 3 , , > .adalah wilayah-wilayah suku Batak Karo. Berkat tempa makanya yang strategis di mulut sungai-sungai Deli dan e KaroSultan itu mampu memaksa datuk-datuk dari urung-urung , pa- mengakui kemaharajaannya.7) Tetapi ketika datuk-datu ( Pmengenai la) suku Batak Karo tidak diajak berunding oleh S .wuk-datuk konsesi-konsesi tanah di dalam wilayah-wilayah mereka, berianini menentang dan menuduh bahwa Sultan Deli deng sebe-konsesi-konsesi ini telah melanggar hukum adat yang su gebalik- lum Belanda dan pengusaha-pengusaha onderneming a • ^are_ nya, karena tahu sedang didukung oleh kekuatan e an , n saha na rakus akan pembayaran yang lebih banyak dan p la.kepaia onderneming, serta merasa jauh lebih unggul danp _ n serang-suku Batak Karo, maka Sultan mengabaikan adat ^ e g Qrang_ an-serangan mereka terhadap cndernemmg-on mpas’an hak-orang Batak Karo berharap akan dapat a-Dengusaha onder-hak mereka dan lagi untuk meyakinkan pe gu P ontrak tanah di neming bahwa mereka harus merundingkan masing, bukanwilayah Batak Karo dengan kepala-kepala suku masing masing, dengan Sultan.

94

Selama penyelidikan itu, Belanda juga mengetahui bahwa suku Batak Karo melihat diri mereka dihalang-halangi dalam menjalankan hak-hak tanah mereka dan khawatir akan mengalami kesulitan jika mereka ingin mengembangkan kebun-kebun lada baru atau kebun- kebun buah pala.

Mereka keberatan pengusaha-pengusaha onderneming membuka hutan sangat tepat di perbatasan desa-desa mereka. Juru bicara Batak Karo menyatakan bahwa rakyat mereka akan menyambut baik pem­bukaan onderneming dalam wilayah-wilayah mereka, asalkan (1) tetap cukup tanah dalam pemilikan mereka untuk perladangan huma, (2) pohon-pohon buah mereka dan harta benda lainnya tetap dihormati, dan (3) mereka tidak akan dicegah oleh orang-orang Eropa itu untuk menggarap kebun-kebun lada baru dan ladang-ladang padi sawah.

Residen Belanda menyelesaikan pertentangan langsung antara Sultan dan kepala-kepala suku Batak Karo itu dengi n menetapkan bahwa pembayaran untuk konsesi-konsesi di wilayah Karo mesti di- bagi tiga bagian yang sama, sepertiga untuk Sultan, sepertiga untuk datuk-datuk Batak Karo, dan sepertiga untuk kepala-kepala desa di dalam lingkungan konsesi itu.

Contoh Kontrak TanahMenjelang pertengahan tahun 1870, keinginan untuk mempunyai kon­trak yang seragam untuk konsesi-konsesi tanah menjadi sangat nyata. Keadaan ini mendesak supaya direncanakan suatu kontrak contoh untuk semua konsesi pertanian mendatang. Dalam mewujudkan mak- sud ini pemerintah Hindia Belanda merasa perlu mengeluarkan tidak kurang dari empat versi berturut-turut dalam tahun 1877, 1878, 1884, dan 1892.8) Seperti telah disebutkan sebelumnya, alasan langsung un­tuk merencanakan kontrak contoh tahun 1877 adalah untuk mengha- pus diskriminasi prosedur antara kesultanan Siak dan daerah-daerah taklukannya ke utara. Ini diwujudkan ketika, dengan keputusan No. 4 tanggal 27 Januari 1877, kontrak contoh pertama ini diberlakukan ke seluruh Keresidenan Pantai Timur Sumatra, mencakup daerah Siak dan daerah-daerah taklukannya. Tetapi pejabat-pejabat di Kementri- an Jajahan di Den Haag menegur bahwa kontrak contoh itu memberi­kan kepada penduduk setempat hanya tanah yang sedang digunakan, dan tidak memberikan cadangan untuk kelanjutan sistem pertanian huma. Kementerian di Den Haag menyarankan supaya ini diperbaiki dan juga supaya kontrak-kontrak terdahulu diperbarui jika mereka berbeda dari kontrak contoh mengenai hal-hal yang penting. In i menghasilkan pengumuman Kontrak Contoh tahun 1878 dengan Kepu­tusan No. 1 tanggal 19 Oktober 1878.

Konsep yang mendasari contoh kontrak ini, dan contoh aslinya

95

setahun sebelumnya, berbeda dariawal. Sementara dalam kontrak-kontrak awal, Sult<\ rnpmhuka sebi- kan wewenang kepada pengusaha onderneming u i_„ulinan maka dang lanoh to w * , dalam rangka memula. suatu nan'kontrak-kontrak contoh 1877 dan 1878 menetapkan bahwa Sulitand^. kepala-kepala wilayah memberikan seluas tertentu ta , ,kepada seorang pemegang konsesi. Rumusadat Indonesia, sementara yang kedua me™Pu^ “ ® ^ X l perta- konsep-konsep hukum Barat Pada tahap p ea . .nyaan apakah Sumatra Timur niempunya! ’’tanah tak t e ip a k a i.^ i mata orang-orang Melayu dan Batak tidak ada tana y' g n , uruantak terpakai, karena semua tanah berguna s®ba2a * hntan seDertidan juga dipakai untuk tempat penimbunan hasil-hasi _bahan bangunan, kayu api, damar, bahan pangan, a antah untuk pembuatan alat-alat, dan banyak lagi pro u -p Deria.nya. Dan di atas semua itu, semua tanah adalah po ensia rnen(ju-dangan huma. Pendeknya, semua tanah dalam cara apa pkung kehidupan seluruh penghuninya.

Memang harus diakui tanah telah digunakan dengan sa™b^ *a j maupun sebentar-sebentar secara luas sekali, sehingga se ,ada ruang bagi konsesi-konsesi, asal saja keperluan-keper ua p dukan dihormati. Karena itu pasal-pasal yang paling pen in& . kontrak contoh menyangkut hak-hak agraria rakyat ke^ajaan mprT1- kecil Sumatra Timur, supaya perjanjian-peijanjian sebe urn y benarkan dan memperluas penegasannya mengenai a - ,tersebut Yang menjadi masalah adalah mengizinkan para p onderneming mendapatkan cukup tanah untuk operasi p t mereka, sementara pada waktu yang sama mencegah can*P „ kan mereka ke dalam suatu sistem yang berprinsip bebas m _ungguh tanah yang masih melimpah banyak. Suatu Permul f a" „ J L ng digu. sungguh adalah tidak mengusik tanah yang benar'b® a n„ h hutan be- nakan oleh penduduk setempat Juga tidak mengusi huma bagilukar, karena ini adalah bagian dari perputaran tanah huma bagipetani huma. Ketentuan ini untuk pertama kali ia manatrak yang dikeluarkan di Kerajaan Langkat dalam te]jun sebagai tegas dinyatakan bahwa hutan belukar tidak bisa sendirinyatanah yang tak terpakai.9) Kampung-kampung pun , bahwatidak masuk dalam hitungan. Biasanya terdapa Hinerluas ii-pengusaha onderneming dapat meminta perbatasanny P > ka di dalam konsesi mereka terdapat kampung-kampungpemuki:m Ini adalah pengganti atas kampung-kampung para kawu sejak dulu mempunyai hak-hak agraria atas daerah e P mereka. (Penyesuaian-penyesuaian perbatasan seperti itu

96

jadi sulit menjelang 1877, sebab sudah bertambah banyak konsesi- konsesi yang letaknya sebelah-menyebelah sehingga tanah pengganti bagi pemegang konsesi sering terpaksa berada di tempat yang tidak bersebelahan).

Larangan memakai tanah kampung pemukiman dan tanah huma di sekelilingnya, berikut perincian pembayaran ganti rugi atas tiap- tiap pohon buah yang terkurung oleh konsesi, dicantumkan dalam kontrak model 1877 pasal 6. Pasal inilah oleh pejabat-pejabat Belanda di Den Haag dianggap tidak memadai dan diminta supaya diperbaiki.

Dalam kontrak model 1878, pasal 6 menetapkan bahwa harus di- pisahkan 4 bau tanah yang cocok untuk pertanian huma bagi tiap-tiap penduduk. Tetapi ’’penduduk” di sini dirumuskan sebagai pribadi yang memiliki rumah di dalam tanah konsesi; dengan lain kata tiap kepala keluarga mempunyai hak mendapatkan 4 bau atau 2,8 hektar.

Satu pertanyaan harus diajukan, apakah realistik untuk mengha- rapkan penduduk Sumatra Timur dapat terus bertani secara tradisio­nal dengan empat bau tanah? Dengan pasti hal ini harus disangkal. Sebenamya, pemerintah di Borneo pada saat yang sama memberikan 21 bau bagi tiap-tiap kepala keluarga. Orang harus memperhitungkan bahwa rata-rata satu sampai satu setengah bau dibuka tiap tahun. Tiap ladang huma dalam tahun pertama dapat digunakan untuk ta­naman padi, dan ditambah dua tahun lagi untuk tanaman panenan lainnya. Sesudah sepuluh tahun, para tani akan kembali ke ladang humanya yang paling akhir dibukanya 13 tahun sebelumnya. Sistem bertani serupa ini, karenanya memerlukan 13 kali jumlah luas tanah yang dibuka per tahun. Atau, 13 sampai 18 bau, tergantung kepada besamya keluarga dan subumya tanah. Jika ladang huma perlu di­biarkan kosong bahkan lebih dari 10 tahun, maka cadangan per ke­luarga mesti ditambah. Karena kita tidak dapat menganggap pejabat- pejabat Hindia tidak mengetahui sifat pelaksanaan cocok tanam tra­disional dari para petani huma — jadi berbeda dengan jatah di Bor­neo, maka kita hanya dapat menduga bahwa ada suatu keinginan un­tuk menggiring kaum tani Sumatra ke dalam bentuk pertanian yang lebih intensif.

Menerima prinsip tanah cadangan bagi petani adalah satu hal, tetapi pelaksanaannya rupanya adalah masalah lain. Enggan untuk mensurvai dan secara permanen memisahkan suatu bagian dari dae­rah konsesi mereka, para pengusaha onderneming mengatur bersama para petani untuk menyerahkan tanah tembakau yang habis dipanen kepada semua kepala keluarga untuk dimanfaatkan selama satu pa­nen musim hujan. Hal ini temyata lebih merupakan tindakan licik daripada bijaksaria. Sebab dengan demikian, para petani merasa ti­dak perlu lagi meminta tanah yang empat bau jika para pengusaha

97

perkebunan bersedia mengatur supaya tanah ladang huma dengan cara begitu bisa tersedia bagi mereka pada permulaan musim tanam padi. Maka terjadilah semacam hubungan simbiosa yang membuat pengusaha onderneming dapat mengelakkan penyerahan tanah yang sungguh-sungguh kepada petani; sebaliknya petani melepaskan tun- tutannya untuk mendapatkan tanah yang nyata dan langsung bisa di- manfaatkan. Petani tidak lagi harus membuka sendiri ladang huma- nya; pengusaha onderneming selalu siap untuk mempekerjakannya sebagai buruh sambilan selama musim tanah hutan sedang dibuka dalam persiapan guna penanaman tembakau berikutnya. Yang ter- penting, petani sesungguhnya berhak atas tanah yang jauh lebih luas dari empat bau yang ditawarkan oleh kontrak contoh — sebenamya sampai seluas delapan bau atau sama dengan tanah huma delapan tahun pada perkebunan dengan perputaran delapan tahun. Suatu keuntungan bagi pihak onderneming yang tidak segera diakui adalah bahwa jika cadangan yang empat bau itu telah disurvai pada saat penyerahan konsesi, maka tidak akan ada penggantian apa pun harus dikeluarkan untuk penduduk yang bertambah, pada hal di bawah sis­tem yang dalam kenyataan sudah berkembang, jumlah penuntut ber­tambah dengan mantap dengan bertambahnya jumlah kepala ke­luarga.

Kemunduran utama dalam sistem ini adalah bahwa dulu ladang huma yang lama dapat digunakan tidak kurang dari tiga tahun, se- dangkan sekarang jaluran tembakau yang sudah dipanen cuma dapat digunakan untuk satu kali panen padi atau jagung saja. Penanaman dua kali tidak diizinkan, lebih-lebih lagi tidak diizinkan untuk mena-

h kayU’ pisanS atau lada- Ini berarti Pembatasan yang serius terhadap sistem pertanian suku Batak Karo dan penduduk lainnya

konsesi-konsesi pertanian di Sumatra Timur. Dan rakyat di- nen^fS dalam segala kebebasannya untuk pengembangan panen-pa- nnh seperti karet atau panen-panen ekspor lainnya guna meme-

Permintaan pasaran yang baru atau rangsangan lainnya.nun^h3j?engUsaha onderneming juga menemukan kemunduran. Me- sia vanaK adat’ para pengusaha menganggap setiap orang Indone- Dara t i ,mukim di wilayah mereka sebagai kawula mereka, maka £ Kawula itu berhak menggunakan tanah sebanyak mereka perlu-

mendukung hidup mereka sendiri. Kelanjutan tuntutan- <?aha n tanah yang tak berkesudahan ini mencemaskan para peneu- v " ! onderneming. Mereka segera menentang pemberian pelayanan Para ^ pada para imi& an seperti yang dinikmati penduduk asli luarea Uof*83113 onderneming mendesak supaya hanya keturunan ke-dibuat sea S 3 yang tersangkut udalam konsesi Pada waktu kontrak

sajaiah yang mempunyai hak yang sah. Karena itu pula maka

98

setiap ondernem ing mulai menyimpan daflar orang-orang yang mem­punyai hak yang sah. M elihat pada apa yang sudah terjadi, para peng­usaha ondernem ing itu sering menyesali pendahulu-pendahulu m ere­ka yang tidak memenuhi keharusan yang ditetapkan oleh pem erintah mengenai tanah-tanah cadangan, yang seharusnya telah memisahkan dengan je las hak-hak agraria kedua belah pihak.10' Dengan hilangnya kesempatan itu, akibatnya adalah perselisihan yang tak berkesudah- an, penyelidikan, kewajiban m em beri jatah tahunan ladang-ladang tembakau yang sudah dipanen, persaingan antara buruh dan tani un­tuk kesempatan menanam padi pada jaluran selama musim hujan, perlunya mem elihara catatan yang akurat tentang jum lah penduduk untuk menghindarkan tuntutan-tuntutan fiktif, dan pengawasan yang cerm at terhadap kegiatan kaum tani di jaluran untuk mencegah pe- nimbunan saluran-saluran air yang telah digali pihak ondernem ing dengan biaya yang besar.

Bahkan kontrak contoh tahun 1878 tidak menciptakan syarat-sya- rat yang dapat diterim a suku Batak Karo, yang kembali melampias- kan kemarahannya dengan membakari gudang-gudang tembakau. R e­siden Kroesen, yang sadar akan keberatan-keberatan utama suku Ba­tak Karo, menyarankan berbagai perbaikan. Kebanyakan dari per- baikan ini dimasukkan dalam kontrak contoh baru yang dikeluarkan dengan Keputusan Pem erintah No. 1/C tertanggal 19 Septem ber 1884. Suatu tanggapan yang je las terhadap keluhan-keluhan suku Batak Karo adalah ketentuan yang memberikan penduduk setempat hak mengum- pulkan hasil-hasil hutan dalam bagian-bagian konsesi yang belum dibu­ka dan menebang kayu untuk bahan bakar dan papan guna pe- makaian pribadi — bukan untuk dijual. Pohon-pohon buah-buahan, dan pohon-pohon lain tempat lebah-lebah lia r biasanya membuat sa- rangnya, harus d ibe li — atau dibiarkan jika para pemiliknya tidak re la menjualnya. Kontrak baru itu juga lebih maju dengan memperte- gas kewajiban-kewajiban para pengusaha ondernem ing mengenai ta­nah. Pasal 6 merumuskan kembali istilah ’’penghuni-penghuni” men­jad i ’’semua kepala keluarga yang mempunyai tempat tinggal dalam lingkungan konsesi pada waktu konsesi itu diberikan atau yang pin- dah ke sana kemudian, dan yang menurut adat pribumi mesti diang­gap sebagai penuntut-penuntut hak yang sah.” 11' Pasal itu leb ih jauh menetapkan bahwa cadangan empat bau harus dipisahkan untuk se­tiap penuntut hak yang sah hanya atas permohonan. Dengan kata lain, dengan pengakuan terhadap kebiasaan yang telah berlaku untuk me- m injamkan kepada para petani setempat ladang-ladang tembakau yang telah dipanen, para pem ilik konsesi yang terus menanam temba­kau tidak lagi otomatis berkewajiban mencadangkan empat bau bagi setiap kepala keluarga.

99

Suatu pembaruan dalam kontrak contoh tahun 1884 adalah me- ngenai cadangan tanah kampung yang harus mempunyai lebar maksi- mum 200 meter dan minimum seluas tiga kali kampung yang ada (pasal 10). Terhadap pasal 10 ini terdapat sikap menerima secara umum, sebaliknya pasal 11 menimbulkan sikap menentang dari pihak pengusaha onderneming, karena pasal 11 memperpanjang dan sebe- narnya mensahkan sistem jaluran. Prosedur yang ditetapkan pasal 11 ini memberikan kepada para petani jaluran untuk satu tahun, khusus- nya membenarkan penanaman padi dan jagung, yaitu, padi ladang kering dari Juli sampai Desember dan jagung dari Januari sampai Juni. Para pengusaha onderneming dengan keras menentang penggu- naan jaluran untuk lebih dari satu panenan (setengah tahun), dengan alasan bahwa produksi dua panen akan membuka tanah itu terlalu lama terhadap bahaya erosi dan memperlambat reboisasi tanah itu. Pasal 11 juga menimbulkan keberatan-keberatan terhadap ketentuan bahwa para penuntut mempunyai hak atas jaluran di samping hak atas cadangan empat bau untuk ladang huma dan cadangan kampung. Akan tetapi, pelaksanaan pasal 11 ini tampaknya tidak sampai ter] adi. Saya tidak tahu, setdak-tidaknya, tentang adanya contoh-contoh dalam mana para penuntut menerima empat bau mereka dan masih meneri­ma tanah-tanah tembakau yang sudah dipanen. Ketika itu sudah ada tanda-tanda akan kekurangan jaluran, dan kontrak contoh itu meng- hadapi kenyataan ini dengan meminta supaya pada onderneming-on- derneming tembakau di mana jumlah penuntut yang berhak melebihi jaluran yang ada, maka rdbean (tanah hutan) harus dibenkan kepada penduduk desa yang bersangkutan.

Para pengusaha onderneming mengusulkan sejumlah perubahan dalam kontrak contoh tahun 1884, tetapi keberatan-keberatan mereka yang paling banyak berpusat pada Pasal 11- Satu perubahan yang diusulkan menyangkut pasal ini adalah membatasi hak-hak jaluran bagi penduduk yang tinggal di kampung-kampung yang dekat dengan tanah konsesi — suatu upaya para pengusaha perkebunan untuk tan- pa sembunyi-sembunyi mempertahankan beberapa kebebasan dalam sistem semula. Banyak keuntungan timbul dari kebebasan-kebebasan semacam itu, seperti memberikan jaluran kepada buruh-buruh Cina, yang biasanya masih belum kawin dan karena itu setuju menjual padi atau jagung mereka kepada onderneming.

Pejabat-pejabat distrik menyadari segi yang menggelisahkan para pengusaha onderneming ini; dan mereka menyatakan bahwa kebiasa- an mereka membagikan jaluran kepada kepala suku Batak sebagai imbalan untuk itikad baik dan kerja sama, atau kepada buruh-buruh Batak yang diimpor sebagai suatu perangsang untuk bekerja di onder­neming, telah banyak menyebabkan kekurangan jaluran itu. Selain

100

itu, dengan ditanamnya tembakau sampai ke perbatasan-perbatasan kampung, maka penduduk desa tidak i lagi mempunyai tanah-tanah hutan untuk membuka ladang-ladang huma, meskipun mereka meng- hendaki demikian. Karena itu, para pengusaha onderneming tidak mempunyai hak untuk mengucilkan setiap penuntut hak atas jatah jaluran dengan alasan apa pun. Ini terutama benar, kata para pejabat itu selanjutnya, mengingat kenyataan bahwa para pengusaha onder­neming itu belum mensurvai dan memisahkan empat bau tanah hutan yang menjadi hak rakyat Lebih buruk lagi, karena para pengusaha onderneming secara berangsur-angsur menanami seluruh daerah kon­sesi mereka, maka mereka tidak dapat lagi menyediakan empat bau itu meskipun untuk memenuhi permintaan yang sah sekalipun. Situa- si ini terjadi pada akhir tahun 1880-an di onderneming-onderneming di tanah rendah. Para pejabat distrik telah menyarankan waktu itu supaya pengusaha tembakau yang besar-besar sebagai altematif rae- ngembangkan tanah padi sawah dan memberikan ini pada buruh- buruh Batak Karo dari dataran tinggi dan buruh-buruh dari Banten, Jawa dan Borneo Selatan, yang menurut para pengusaha onderne­ming bersedia membuka hutan dan mendirikan bangsal-bangsal tem­bakau asalkan diberikan sebidang tanah untuk ditanami padi. ’’Jika perusahaan-perusahaan besar itu mau menginvestasi satu bagian ke­cil... dari keuntungan-keuntungan saham mereka seperti di zaman VOC dulu — untuk penggarapan sawah... bagi penebang-penebang kayu dan orang-orang yang membangun bangsal-bangsal mereka, ma­ka semua derita akan hilang,” demikianlah pendapat seorang pejabat distrik.12).

Setelah beberapa upaya membujuk Batavia untuk mengganti kon­trak contoh tahun 1884 gagal, terutama pasal 11, para pengusaha on­derneming memohon kepada Menteri Jajahan supaya memerintahkan suatu perubahan. Mereka paling mula mengemukakan bahwa adanya kebiasaan penjatahan jaluran kepada penduduk setempat, hanyalah akibat kebiasaan tidak terencana karena pemah diberikan bidang- bidang tanah seperti itu pada buruh Cina dan buruh lainnya; tetapi ini bukanlah alasan yang kuat untuk membuat sistem jaluran seba­gai kewajiban yang sah. Permohonan mereka itu juga mengemukakan tafsiran-tafsiran yang tidak mereka kehendaki dari kontrak itu. Umpa- manya, pasal 11 dimaksudkan sebagai tindakan sementara untuk keuntungan suku Batak Karo, yang lambat laun diharapkan beralih kepada penanaman ladang-ladang padi tetap, atau sawah. Tetapi se- benarnya sistem jaluran sudah berlaku di daerah-daerah yang didia- mi orang-orang Melayu dekat pantai. Para pengusaha onderneming itu barangkali dengan jengkel menambahkan bahwa jaluran itu sebe- narnya dikeijakan secara buruk dan bahwa alang-alang merajalela,

101

sesuatu yang mempunyai akibat membahayakan bagi industri tem­bakau.

Residen Michielsen dengan pintar membantah keterangan mere­ka dalam memorandumnya tanggal 2 Januari 1892.13) Dengan mengu- raikan sejarah sistem jaluran, residen itu mengakui bahwa di tanah- tanah rendah pemberian jaluran adalah suatu tindakan sukarela di pihak para pengusaha onderneming, karena konsesi-konsesi di sana, baik menjelang tahun 1877 maupun pada saat penyesuaian kepada kontrak contoh pertama, tidak mempunyai suatu ketentuan untuk ta­nah-tanah cadangan. Tetapi di tanah-tanah tinggi para pengusaha on­derneming sudah selalu mempunyai kewajiban sah untuk mengizin- kan mereka yang berhak menggunakan tanah tembakau yang sudah dipanen — sebagai pengganti syarat mutlak dalam kontrak-kontrak belakangan yang mencakup tanah-tanah tinggi, yaitu bahwa 4 bau ha­rus dipisahkan untuk setiap keluarga. Dalam bantahan selanjutnya Michielsen menyatakan bahwa dalam nafsu mendapatkan tanah, para pengusaha onderneming umumnya mengambil lebih banyak dari apa yang menjadi haknya, mematok batas-batas konsesi oleh mereka sen­diri tanpa berunding dengan penguasa-penguasa setempat; dan de­ngan merapatkan sebelah-menyebelah daerah-daerah konsesi maka tidak ada lagi tanah tersisa untuk penduduk — yang sementara itu bertambah terus, baik karena pertumbuhan wajar maupun karena imigrasi orang banyak, yang tertarik oleh kesempatan-kesempatan e- konomis di Sumatra Timur. Akibat dari semua itu, tentu adalah suatu kewajiban moral untuk memikul tanggung jawab terhadap rakyat Pa­ra pengusaha onderneming harus dipersalahkan yang menganggap penduduk setempat tidak berguna atau merupakan suatu gangguan dan menghina orang-orang Melayu dengan mengatakan terlalu ”ma- las” untuk bekerja di perkebunan. Padahal ini adalah hak rakyat un­tuk hidup. Menanggapi tuntutan para pengusaha onderneming supaya penduduk Sumatra Timur diarahkan dari sistem perladangan huma ke pertanian tetap, Residen itu bertanya, ’’Mengapa penduduk pribu- mi mesti beralih kepada bentuk pertanian intensif, sedangkan pengu­saha-pengusaha onderneming itu sendiri terus melakukan penanaman bergiliran (roofbouw)? Penduduk pribumilah yang mempunyai hak pa­ling kuat atas tanah itu.”14) Mengenai tuduhan bahwa penggarap-peng- garap jaluran tidak berbuat apa pun untuk mencegah ilalang, Mic­hielsen pun menolaknya. Katakanlah, demikian Michielsen bahwa ha- sil-hasil tembakau lebih tinggi di atas tanah hutan belukar, tetapi ’tembakau ilalang” juga sebenarnya baik mutunya; bagaimanapun ju­

ga para pengusaha onderneming itulah sesungguhnya yang harus di­persalahkan atas cepatnya menjalar alang-alang yang mengganggu itu. Sebenarnya alang-alang ini untuk pertama kali menjadi masalah di

102

ladang-ladang tembakau, karena tanah tembakau ditinggalkan olehpara pemula pengusaha onderneming setelah dipanen satu ka li saja.Setelah dipertimbangkan segala segi, kesim pulannya je las bagi R esi­den Michielsen, pasal 11 adalah penting.

T etap i protes-protes dan petisi-petisi yang gigih dari para pengu­saha onderneming akhirnya menghasilkan beberapa perubahan pada kontrak contoh, dan suatu versi baru mulai berlaku tanggal 3 Novem­ber 1892. Masalah ’’tanah tak terpakai” dikeluarkan sesuai dengan pernyataan bahwa ’’sultan dan kepala-kepala wilayah pengikutnya yang berangkutan... memberikan... sebagai imbalan pengelolaan per­kebunan oleh perusahaan onderneming.” Dalam banyak hal pengusa- ha-pengusaha onderneming itu memenangkan alasannya atas kerugi- an kaum tani. Padahal kontrak contoh 1884 telah memberikan kaum tani hak menggunakan jaluran untuk satu tahun penuh dan mengizin- kannya untuk penanaman selama dua panenan. Versi yang baru memberikan kaum tani hak panenan padi satu kali atau satu panenan jagung saja. Petani bebas menanam padi dan jagung, tetapi tidak ber- gilir dalam dua musim panen.

Mengenai tanah huma (wisselgronden), kontrak contoh 1892 me- nyatakan bahwa tanah dalam lingkungan konsesi yang telah diguna- kan oleh penduduk pribumi sebagai ladang huma mesti tetap dibiar- kan pada pemakainya — jika diminta. Andai kata penduduk desa di luar konsesi mempunyai ladang huma di dalam lingkungan konsesi, pemilik konsesi berkewajiban jika diminta, menyediakan tanah bagi semua kepala keluarga. Mengenai berapa jumlah hektar yang sebe- narnya harus dicadangkan untuk keperluan itu, akan ditetapkan da­lam kontrak-kontrak setempat oleh residen. Suatu wilayah standar tidak ditetapkan karena kontrak contoh itu berlaku bukan hanya ter­hadap Siak dan bekas daerah-daerah taklukanya di Sumatra Timur, melainkan juga bagi semua pulau selain dari Jawa dan Madura. Me- nurut Bool, Labberton, dan penulis-penulis lain, Residen Sumatra Ti­mur menetapkan jumlah empat hektar, bukan empat bau atau kira- kira 2,8 hektar. Menurut hemat saya ini rupanya merupakan petunjuk tentang pelaksanaan yang terlambat bahwa empat bau sama sekali tidak cukup, tetapi saya segera harus menambahkan bahwa empat hektar pun belum cukup. Juga mesti kita ingat bahwa penambahan seperti itu hanya berlaku pada konsesi-konsesi baru yang berlaku sesudah tahun 1892 dan tidak berlaku surut, sehingga praktis pada pelaksanaannya semua penduduk asli dari Langkat, Deli, dan Ser­dang yang tinggal dalam konsesi-konsesi itu — dan ini mencakup hampir seluruhnya dari mereka — mempunyai hak hanya atas empat bau.

Perubahan baru bahwa meskipun penduduk desa bertempat ting-

103

gal di luar konsesi tetap harus diberikan tanah, rupanya dibuat kare­na Residen Sumatra Timur menyadari bahwa penguasa-penguasa ren­dah, dan bahkan bebeapa bawahannya sendiri, memperlihatkan ke- cenderungan untuk lebih melayani kepentingan para pengusaha on­derneming. Cara yang mereka lakukan adalah menarik garis-garis perbatasan konsesi sedemikian rupa sehingga kampung-kampung dan ladang-ladang huma akan jatuh di luar konsesi. Dengan ketentuan- ketentuan kontrak contoh 1884, hal ini akan membuat para petani tidak mempunyai hak apa pun untuk menuntut tanah, meskipun ini berarti mereka dibiarkan tanpa sumber hidup. Perlakuan seperti ini maksudnya tidak akan mungkin lagi terjadi di bawah syarat-syarat kontrak contoh 1892. Tetapi ada petunjuk-petunjuk yang kuat bahwa para petani sulit menuntut hak-hak mereka. Di dalam praktek, demi­kian dinyatakan oleh Lekkerkerker, hanya kepala-kepala keluarga yang benar-benar tinggal dan bertani dalam suatu konsesi, dan yang menuntut dengan tegas, menerima cadangan itu.15) Karena kontrak contoh 1892 menyatakan bahwa orang Indonesia berhak menutut ta­nah huma hanya jika ia benar-benar bertani, maka semua orang lain- nya yang karena satu dan lain alasan (meskipun alasan yang sifatnya sementara) tidak mempunyai tanah huma pada saat yang menentu- kan, maka mereka tidak dapat meminta tanah. Ketentuan ini berlaku meskipun hukum adat mengizinkan setiap orang desa memakai tanah walaupun tanah itu ditinggalkan sementara karena mencari nafkah sebagai pedagang atau nelayan. Ini nampaknya merupakan pelang- garan terhadap hak-hak agraria pribumi dan tentu saja menimbulkan akibat-akibat yang gawat bagi keturunan mendatang. Marilah kita mi- salkan seorang nelayan atau pedagang tinggal di sebuah desa dalam lingkungan tanah konsesi yang digunakan untuk menghasilkan panen tanaman keras, bukan tembakau. Karena suatu onderneming yang berusaha dalam tanaman keras tidak mempunyai jaluran, maka men­jadi pentinglah mensurvai tanah-tanah huma cadangan bagi semua penuntut-penuntut yang sah. Dalam keadaan seperti itu, pedagang atau nelayan itu tidak dapat menuntut empat hektar menurut kontrak contoh 1892, jadi dia dan semua keturunannya dibedakan secara tidak adil. Jika salah seorang dari anak-anaknya ingin menjadi petani, ma­ka ia harus pindah dan mencari tempat pertanian lain atau bekerja sebagai penyewa tanah, jika ia tidak mempunyai uang untuk membeli tanah orang lain di desanya sendiri.

Perubahan lain yang sangat penting dibuat antara tahun 1884 dan 1892. Kontrak contoh sebelumnya memberikan hak-hak agraria kepa­da kawula dari penguasa yang memberikan konsesi itu, yakni kawula yang setelah penandatanganan kontrak bermukim di suatu desa da­lam lingkungan konsesi. Ini tidak mungkin lagi di bawah kontak con-

104

toh tahun 1892, sebab kontrak tahun 1892 mengharuskan mengadakan penghitungan jumlah keluarga dengan hak-hak agraria setiap lima tahun sekali.

Pasal 4 kontrak contoh terakhir melarang menyewakan tanah hu­ma yang telah disurvai dan dipisahkan untuk penuntut-penuntut ta­nah yang sah, kepada orang-orang bukan Indonesia, seperti tukang- tukang sayur dan makanan Cina, kecuali kalau izin sudah diperoleh dari pejabat distrik. Pengusaha-pengusaha onderneming dengan alas- an bahwa pasal ini belum cukup, menyodorkan lagi suatu pasal untuk melarang pemindahan hak atas tanah huma kepada orang-orang Indo­nesia lainnya, yaitu imigran-imigran dari daerah-daerah Indonesia lainnya. Para pengusaha onderneming berpendapat bahwa tanah da­lam lingkungan suatu konsesi yang tidak lagi diperlukan oleh orang yang pertama mendudukinya harus dikembalikan kepada ondeme- ming.1® Ketentuan seperti itu tidak pernah diperoleh.

Mengenai sejumlah soal pokok lainnya, kontrak contoh 1882 ku­rang menguntungkan ketimbang kontrak contoh 1884, sepanjang yang menyangkut kaum tani Indonesia. Jaluran tidak lagi harus ditempat- kan dekat kampung-kampung dari penuntut-penuntut yang sah, meski- pun dinyatakan bahwa pengusaha onderneming harus memperhati- kan bahwa jarak terlalu jauh antara kampung dan jaluran akan me- nyebabkan kesulitan. Para pengusaha onderneming diharuskan mem­berikan hanya separoh tanah tembakau yang sudah dipanen kepada penduduk desa itu, suatu perubahan yang dibuat dengan dalih meng- urangi bahaya tersebamya alang-alang dengan cepat

Tabel 8 memungkinkan kita membanding-banding berbagai kon­trak contoh satu sama lain dan mengikuti dari mula sampai akhir perkembangan serangkaian peraturan yang dimaksudkan untuk me- lindungi kepentingan-kepentingan kaum tani Sumatra Timur, yang se­cara tiba-tiba dikelilingi onderneming-onderneming raksasa yang mempekerjakan puluhan ribu buruh impor, mula-mula dibawa dari Cina kemudian dari Jawa. (Lihat halaman-halaman 106-107)

Sehubungan dengan penduduk yang terus bertambah, masalah siapa penuntut yang sah, baik atas jaluran maupun atas tanah huma, menjadi bertambah penting dan menyebabkan meningkatnya jumlah perselisihan. Kontrak contoh 1878 telah menentukan istilah ’’pendu­duk” mencakup orang-orang yang mempunyai tempat tinggalnya sen­diri di atas tanah konsesi yang telah diberikan kepada seorang pengu­saha onderneming. Pihak pengusaha onderneming mendesak supaya ketentuan ini tidak memasukkan kepala keluarga yang tidak memiliki rumah sendiri dan hanya menumpang bersama orang lain. Akan teta­pi, rumah suku Batak Karo tradisional sangat besar, biasanya dihuni oleh beberapa keluarga. Sadar akan hukum adat, pejabat-pejabat dis-

\105

TABEL8

SYARAT-SYARAT UTAMA KONTRAK-KONTRAK CONTOH

Hal 1877 1878 1884 1892

Lama Konsesi 75 tahun Maksimum 75 tahun Maksimum 75 tahun Maksimum 75 tahun

Membuat tanda-tanda Perbatasan

— — — Dalam 1 tahun

Sengketa yang harus di- selesaikan oleh

Penguasa dan kepa- la-kepala wilayah ba- wahan dalam mu- syarawah dengan pe- jabat distrik jika di- kehendaki demikian

Penguasa dan kepa- la-kepala wilayah ba- wahan dalam mu- syawarah dengan pe- jabat distrik atau residen

(Hak-hak agraria penduduk asli:) Pe- merintahan pribumi dalam musyawarah dengan pejabat dis­trik atau residen

(Hak-hak agraria penduduk a s li: ) residen

Tanah pertanian yang tersedia untuk pendu­duk tani

Tanah yang sedang digunakan

Tanah yang sedang digunakan tambah cadangan yang akan berjumlah sampai 4 bau, jika dikehen- daki demikian

Tanah huma, jika di- kehendaki, berjum­lah 4 bau. Tanah kampung: minimum 3 kali luas kampung se­karang dan yang me- nurut kebiasaan pri­bumi diakui sebagai penuntut-penuntut hak tanah yang sah

Tanah huma yang se­dang digunakan t am- bah cadangan, yang akan berjumlah 4 hektar. Tanah kam­pung: Minimum 3 kali l u a s k a m p u n g sekarang

Penggantian untuk po- hon-pohon buah

Harus diganti secara baik

Sama Sama Sama, tambah perse- tujuan dari Pejabat Distrik jika pohon- pohon buah terdapat di atas tanah yang be- nar-benar diduduki oleh petani.

Hal 1877 1878 1884 1892

Pembangunan kam­pung-kampung baru

Dengan persetujuan Residen dalam per- musyawaratan de­ngan Pemerintahan Pribumi

Hak-hak atas hasil hutan Hasil-hasil boleh di ambil

Hasil-hasil boleh diambil

Hasil-hasil boleh di­ambil termasuk pa- pan dan kayu bakar

Sama, tetapi dengan izin resmi dari pemi- lik konsesi

Penggunaan jaluran — — 1 tahun untuk padi dan jagung

1 kali panen untuk pa­di atau jagung

Kuburan-kuburan Harus dihormati. Ta­nah harus diberikan jika perluasan diper- lukan

Sungai-sungai Daerah hutan 50 me­ter pada kedua sisi- nya mesti disela- matkan

Daerah hutan 50 me­ter pada kedua sisi- nya mesti diselamat- kan; juga suatu ling- karan 100 meter garis tengah sekeliling ma- ta-mata air

Penggalian pasir dan ta­nah liat

— — -- Diizinkan untuk penggunaan pribadi

Sewa 1 gulden per bau 1 gulden per bau 1 gulden per bau ?

Rencana Konsesi Batas-batas hanya di- nyatakan dengan tan- da-tanda patokan

Sama Setelah 12 tahun, se­buah peta dengar skala 1:10.000, dar survai

Setelah 3 tahun, se­buah peta dan survai

trik telah memperingatkan para pengusaha onderneming tentang taf siran mereka yang sempit itu. P e j a b a t -p e j a b a t mi berusaha s e b a i k baiknya untuk melindungi hak-hak agraria kepala kepala keluarg yang mendiami sebuah rumah besar dengan keluarga-kelu

^'"Kontrak-kontrak contoh 1884 dan 1892 tidak lagi membatasi go- longan penuntut yang sah atau rumus tentang penduduk, tetapi masukkan semua orang yang bertani pada waktu dikeluarkannya kon sesi itu, berikut keturunan mereka. Namun banyak kesulitan timbui dari kenyataan bahwa kontrak-kontrak contoh itu memperlakukan s ma seluruh Sumatra Timur seolah-olah pola agraria berlaku untuK seluruhnya, padahal ada perbedaan yang besar berdasarkan suku a tempat Hukum adat agraria orang Melayu dekat pantai b e r b e d a dari hukum adat agraria orang Batak Karo, Simalungun, atau Toba. Kara patan (pengadilan) Serdang telah mengusahakan kodifikasi hukum a- dat yang pertama — tanggal yang tepat hilang — mengenai masala siapa yang mempunyai hak-hak agraria. Karena kodifikasi ini mem perpanjang daftar jumlah orang yang dalam pertimbangan hakim-ha- kim Serdang mempunyai tuntutan yang sah, maka para pengusaha onderneming menolak menerima daftar yang lebih p&njang itu. Mes­kipun kodifikasi ini hanya berlaku bagi daerah-daerah pantai saja dan bukan bagi daerah-daerah yang diduduki orang-orang Batak Karo bukan Muslim atau Batak Simalungun.17)

Dalam tahun 1924 diumumkan kodifikasi yang diperbaiki dengan sebutan Peraturan Rakyat Penunggul. Peraturan ini diberlakukan ke­pada Langkat dan Deli maupun Serdang, dan memperinci lagi siapa yang harus dianggap sebagai anggota penduduk asli. Pengusaha-peng- usaha onderneming tidak mau menerima Peraturan Rakyat Penung­gul sdebagai hal yang mengikat tetapi menganggapnya, paling banter sebagai suatu pedoman.18'

Para raja karena ingin memperoleh lebih banyak kawula, selalu rela memberikan hak-hak kewarganegaraan kepada orang-orang Jawa atau imigran-imigran lainnya yang bermukim di wilayah negeri-negeri yang dapat dianggap sebagai daerah kekuasaan mereka. Hukum adat Batak, sebaliknya, tidak membenarkan imigran-imigran di wilayah Batak untuk menjadi warganegara dengan hak-hak yang sama seperti dinikmati penduduk setempat, kecuali melalui perkawinan campuran. Sebab dalam masyarakat Batak semua tanah adalah milik marga yang berkuasa.19) Anggota-anggota marga ini dan anggota-anggota mar­ga lain yang dipertalikan kepadanya lewat perkawinan mempunyai hak khusus atas tanah.

Dalam waktu yang berjalan, perbedaan-perbedaan berkembang dalam tingkat hak-hak agraria berkaitaen dengan pembagian jalu-

108

ran. Pem bedaan tim bul antara apa yang disebut golongan ”A ” dan golongan ”B” .

Orang-orang dalam golongan ”A ” menerima 6000 meter persegi ja ­luran. Mereka terdiri dari (1) kepala-kepala keluarga yang lahir di suatu kampung dalam lingkungan suatu konsesi, atau keturunan dari seseo- rang yang tinggal di lingkungan konsesi sebelum adanya onderneming,(2) kepala-kepala keluarga yang lahir di luar konsesi tetapi ayahnya atau kakeknya tinggal di lingkungan konsesi sebelum tanggal pendirian konsesi, (3) duda-duda yang ayahnya atau kakeknya telah tinggal di ling­kungan konsesi sebelum tanggal yang menentukan itu, dan (4) janda- janda dengan keturunan laki-laki yang ayahnya atau kakeknya telah tinggal di lingkungan konsesi itu. Akan terlihatlah bahwa golongan ”A ” terd iri dari orang-orang yang menurun dalam garis pria dari orang yang tinggal di lingkungan konsesi pada waktu konsesi diberikan.

Orang-orang dalam golongan ”B” menerima 4000 meter persegi ja ­luran. Mereka mencakup (1) kepala-kepala keluarga yang ayahnya lahir d i luar konsesi dan yang telah tinggal di lingkungan konsesi sesudah tanggal pemberian konsesi itu, (2) kepala-kepala keluarga yang walau- pun lahir di lingkungan konsesi tapi merupakan keturunan dari seseo- rang yang telah pindah ke konsesi setelah tanggal pemberian konsesi, dan (3) janda-janda dengan seorang anak laki-laki yang ayahnya tercatat dalam butir (1) atau (2). Selain golongan ”C” , terdiri dari orang-orang yang tidak mempunyai tuntutan yang sah tetapi menerima jaluran seba­gai imbalan jasa.

Pola pemukiman suku Batak Karo dalam apa yang dinamakan dusun di negara-negara Langakt, Deli, dan Serdang pada dasamya berubah kira-kira pada peralihan abad di bawah tekanan pejabat- pejabat pemerintahan distrik yang mula pertama bekerja di tengah- tengah suku Karo. Para pengusaha onderneming dan pejabat-pejabat distrik mencatat bahwa orang-orang Batak Karo dari dataran tinggi bermukim di dusun-dusun kecil yang terpencar sangat jauh. Dusun- dusun ini ditinggalkan bilamana jarak antara dusun dan ladang huma menyusahkan karena jaraknya terlalu jauh. Baik pengusaha-pengusa­ha onderneming maupun pejabat-pejabat distrik, lebih menghendaki tempat-tempat pemukiman yang lebih besar dengan jumlah yang ke­cil. Ini diwujudkan dengan merencanakan kampung-kampung Batak Karo yang lebih besar. Mula-mula pejabat-pejabat distrik mencoba menempatkan kampung-kampung baru ini dengan menarik garis ling- kar dalam radius 250 meter mengitari rumah kepala kampung, tetapi karena rumah kepala kampung hampir selalu terletak dekat tepi anak sungai atau sungai besar, kampung itu dengan demikian terbagi da­lam dua bagian oleh jalan air. Untuk menghindarinya, kemudian menjadi kebiasaan untuk menyediakan 20 hektar sebagai cadangan-

109

cadangan kampung. Tanah-tanah ini ditandai jelas dengan rambu- rambu dan garis perbatasan yang terdiri dari pohon-pohon jati dalam garis lurus sepanjang perbatasan, kecuali yang di muka air. Cadang- an-cadangan ini menjadi terkenal sebagai tanah seratus karena kontrak contoh menetapkan suatu cadangan dengan lebar 100 vadem (200 meter) sekitar tanah kampung. Dua pejabat distrik yang terutama ber- tanggung jawab untuk perencanakan kampung-kampung Batak Karo itu ialah CJ. Westenberg dan G.LJ.K Kok20’ Kok juga mendesak su- paya setiap keluarga yang tinggal di lingkungan tanah seratus harus menanam, antara lain 75 pohon kelapa dan 200 pohon pinang (Areca catechu, Linn) di atas tanah sekitar satu hektar. Pembangunan kam­pung-kampung Batak Karo yang tetap ini, yang dikelilingi pohon- pohon buah, menimbulkan akibat lanjutan yang gawat Para pengusa­ha onderneming tembakau menggunakan tanah perkebunan di tanah tinggi hanya untuk jangka pendek Tanah itu ditinggalkan apabila la- pisan atasnya yang terbaik telah terkikis dan apabila permintaan pa- sar untuk tembakau gulung berkurang, disebabkan kesukaran konsu- men pada rokok sigaret bertambah — atas kerugian konsumsi lisong. Tetapi suku Batak K aro tetap berhuma dan ketimbang menempati kembali kampung-kampung besar yang baru itu setiap beberapa ta­hun yang tak biasa bagi mereka sebelumnya, mereka lebih suka be­kerja dalam radius yang terjangkau dari kampung-kampung tetap me­reka. Ini menyebabkan pengikisan dan kelelahan tanah di atas lahan yang sebenamya akan lebih jarang digunakan, jika saja pola lama tentang penggunaan lahan yang berlaku.

Ada perbedaan dasar antara pemukiman-pemukiman tanah rendah berbentuk garis lurus yang membentang sepanjang sungai-sungai yang dapat dilayari sampan (Peta XII), dan pemukiman-pemukiman suku Batak Karo di dataran tinggi, baik yang berbentuk bundar mau- pun empat persegi, dan terletak dekat anak sungai atau sungai besar pada suatu teras. Pemukiman tanah rendah boleh jadi dihuni oleh orang-orang yang menyebutkan diri orang Melayu, tetapi sesungguh- nya adalah orang-orang Batak Karo yang mengikuti contoh pemimpin- pemimpin mereka yang memeluk agama Islam. Kampung-kampung suku Batak Karo di dataran tinggi yang ditemukan oleh Kok berciri- kan rumah-rumah yang diatur di sekeliling suatu lapangan tengah, dan seluruh kompleks itu sering dikelilingi tembok yang membuat pertahanan menjadi agak lebih mudah.

Periode 1865 sampai 1895 adalah suatu masa perjuangan yang ham- pir terus-menerus antara para pengusaha onderneming dan pejabat- pejabat pemerintahan Belanda mengenai syarat-syarat bagaimana pa­ra penguasa dapat memberikan konsesi-konsesi perkebunan dan sam­pai tingkat mana hak-hak agraria penduduk setempat akan dilindungi.

110

Setiap pembatasan baru dilihat dengan kecurigaan dan diterima hanya dengan acuh tak acuh oleh para pengusaha onderneming. Keti­ka tahun 1878 pemerintah menghendaki supaya kontrak-kontrak lama diperbaharui agar seragam dengan kontrak contoh, para pengusaha onderneming dengan tegas menolaknya. Mereka mengemukakan ten­tang prinsip tidak dapat diganggugugatnya sesuatu kontrak, terlebih yang telah disetujui residen. Mereka bersitegang bahwa risiko-risiko besar yang diambil oleh para perintis onderneming dalam masa sebe­lum perlindungan pemerintah dapat diandalkan dan sumbangan-sum- bangan besar yang mereka berikan kepada pembangunan Sumatra Timur, memberikan hak kepada para pemegang konsesi awal itu untuk menerima keuntungan-keuntungan istimewa yang timbul dari kontrak-kontrak yang dibuat sebelum tahun 1877. Penolakan untuk menjalankan pembatasan-pembatasan baru yang berlaku surut inilah, menjadi penyebab perbedaan-perbedaan tajam dalam kedudukan e- konomi penduduk desa antara yang lama dan yang baru di daerah onderneming Sumatra Timur.

Ill

Bab VIMasalah Mengubah Konsesi Pertanian

Menjadi Sewa Jangka Panjang

Sebagaimana permintaan untuk produk pertanian tropik meningkat dalam paroh ke-2 abad ke-19 dan tiga dasawarsa pertama abad ke-20, begitu pun permintaan untuk konsesi meningkat di Sumatra Timur.1’ Mengalimya modal baru yang masuk dengan cepat mengubah watak hubungan-hubungan ekonomi simbiosis antipatik antara pengusaha on- dememing dan kaum tani menjadi apa yang dapat dinamakan ber- dampingan antipatik. antara persekutuan baru dari golongan-golongan yang berkepentingan. Para penguasa setempat, penduduk pribumi, Pejabat-pejabat Hindia Belanda, pengusaha-pengusaha onderneming, buruh-buruh imigran — semua terlibat dalam kemajuan pertanian perkebunan yang dahsyat itu di Sumatra Timur, baik untuk mengam- bil keuntungan maupun menderita akibat porak-porandanya hubungan- hubungan sosial dan ekonomi yang menyertai kemajuan itu.

Menjelang tahun 1900 perhatian mulai bertumpu kepada dua ma­salah yang berkaitan dengan situasi yang sedang berkembang, yaitu aspek hukum konsesi-konsesi yang diatur antara para pengusaha on- dememing dan para pangeran dari kerajaan-kerajaan yang diperin- tah secara tidak langsung di Sumatra Timur; dan sampai sejauh mana pemberian tanah-tanah konsesi yang luas oleh para pangeran ini me- rnndas hak-hak inheren penduduk pribumi. Masalah aspek hukum konsesi-konsesi Sumatra Timur merupakan urgensi bagi para pengu­saha onderneming yang mencoba membiayai usaha mereka melalui bank-bank atau untuk memperkukuh hak-hak mereka atau pewarisan mereka, lain-lain pemindahan-pemindahan pemilikan, dan memperta- hankan secara hukum perjanjian-perjanjian konsesi.2) Kenyataan bah­wa konsesi-konsesi telah dibuat oleh penguasa-penguasa Indonesia dengan persetujuan pejabat tertinggi Hindia Belanda yang bersang- kutan, yaitu Residen, temyata, tidak menciptakan hak badan hukum (jus in rem). Orang-orang yang mengemukakan bahwa pemegang kon­sesi itu memiliki hanya hak pnbadi, atau jus personalissima, menyata- kan bahwa:

(1) Kontrak-kontrak konsesi itu tidak ditentukan dalam syarat-sya- rat yang diperlukan untuk mengukuhkan hak badan hukum (jus in rem).

(2) Pihak-pihak yang membuat kontrak tidak diizinkan mengukuh­kan jus in rem tanpa pengaturan-pengaturan resmi.

112

(3) Pemindahan hak seluruhnya atau sebagian tidak mungkin tan- pa persetujuan resmi.

(4) Pembayaran hasil tanah tidak harus dianggap sebagai bagian integral konsesi itu, sedangkan canon (peraturan-peraturan) adalah bagian integral dari sewa jangka panjang. (Beberapa dari kontrak konsesi itu, sebenarnya, tidak menetapkan pembayaran hasil tanah).

(5) Pemerintah menganggap hak pemegang konsesi sebagai jus personalissima (hak pribadi), untuk alasan mana maka pajak tidak di- kenakan, sementara dalam kasus sewa jangka panjang pajak tanah dipungut

Orang-orang yang mempertahankan konsesi itu sebagai hak badan hukum (jus in rem) membalas bahwa:

(1) Waktu berlakunya konsesi dalam wilayah-wilayah yang dikua- sai tidak langsung, sebagaimana juga sewa yang diberikan dalam wi- layah-wilayah yang dikuasai langsung, adalah 75 tahun.

(2) Maksud hak konsesi dalam keduanya adalah sama: mengek- sploitasi ’’tanah tak terpakai”.

(3) Sejak awal 1870 pejabat-pejabat Belanda telah menyimpulkan bahwa hak pribadi atas sewa-menyewa terlalu meragukan untuk me- narik modal Eropa ke Hindia Belanda, terlebih lagi di negeri-negeri di mana pengusaha onderneming tanpa suatu jus in rem mungkin menjadi korban dari kesewenang-wenangan para penguasa tingkat rendah.

(4) Pemegang konsesi mempunyai jumlah hak yang hampir sama seperti pemegang hak-sewa jangka lama.

Tetapi di belakang pembahasan hukum ini, yang selalu menghin- dari penyelesaian yang memenangkan pengalihan semua konsesi menjadi sewa-menyewa jangka panjang yang banyak mempunyai keuntungan hukum bagi para pengusaha perkebunan, muncul proble- ma yang lebih ruwet Problema ini ditimbulkan oleh ketidakcocokan antara konsesi-konsesi dan sewa-menyewa jangka panjang dalam hu­bungan dengan hak-hak agraria pribumi. Ini terjadi pada masa ’’poli­tik etik” yang baru. Banyak dikemukakan kecaman dari mereka yang melihat konsesi-konsesi itu sebagai alat yang licik yang membuat on- derneming-onderneming mampu memperoleh tanah-tanah yang luas, selanjutnya mengaduk-aduk hak-hak agraria rakyat dianggap sebagai sumber ketidakadilan bagi para petani yang tak berdaya. Kecaman itu merasa mustahil mengharapkan seorang pengusaha atau perusa­haan onderneming bertindak berlawanan dengan kepentingan ekono- minya sendiri demi kepentingan penduduk Indonesia. Jika raja-raja itu tidak melindungi kawula mereka sendiri, bagaimana seorang pengusaha onderneming asing dapat diharapkan memperlihatkan perhatian yang sungguh-sungguh bagi kesejahteraan kawula raja-raja

113

itu apalagi jika untuk berbuat demikian biayanya mahal? Memang benar residen harus menyetujui pemberian konsesi dan harus me- mastikan bahwa pembatasan-pembatasan yang tercantum dalam kon­trak-kontrak contoh itu dikenakan kepada pengusaha onderneming demi kepentingan rakyat pribumi. Tetapi bahkan kontrak contoh yang terbaik pun masih tidak cukup, demikian para pengecam, karena ia mengandung terlalu banyak lubang yang memungkinkan pengusaha onderneming dapat mengambil keuntungan yang tidak adil dari pen­duduk jajahan yang secara politik dan ekonomi lemah itu. Memang lebih mudah selalu membuat hukum daripada menegakkan semangat hukum. Meskipun setiap kontrak contoh baru telah berupaya mele- barkan perlindungan bagi penduduk, secara fisik adalah tidak mung­kin bagi pejabat-pejabat pemerintah yang kelelahan itu untuk mence­gah berbagai wujud penindasan pihak aristokrasi pengusaha perke­bunan, terutama jika para pengusaha onderneming itu didukung raja- raja setempat dan pembaiitu-pembantu mereka, kepala-kepala wi­layah itu.

Akibatnya adalah membuat penduduk pribumi menjadi korban dari suatu kompleks persekutuan golongan-golongan berkepentingan, termasuk raja-raja mereka sendiri. Dan selama semua pe'mbayaran kepada raja-raja oleh pengusaha-pengusaha onderneming dapat di­anggap sebagai penghasilan pribadi, raja-raja itu mempunyai alasan kuat untuk memihak kepada para pengusaha onderneming dan me- menuhi setiap permintaan mereka untuk tanah. Tidak mengherankan bahwa beberapa raja boleh dikatakan memberikan konsesi-konsesi atas setiap jengkal wilayah mereka dan bahkan mengakui daerah- daerah yang sebenarnya di bawah pengawasan kepala-kepala wilayah pedalaman sebagai milik mereka. Raja-raja yang lebih kuat didorong untuk menyerobot wilayah-wilayah seperti itu oleh para pengusaha onderneming yang ingin sekali memperoleh tanah seluas mungkin. Juga pemerintah Hindia Belanda mendorong hal ini, karena komit- mennya untuk meningkatkan pertanian onderneming dan keuntungan yang didapat dari bantuan kerja sama raja-raja dalam soal-soal admi- nistrasi. Akan tetapi sifat pembangunan ekonomi Sumatra Timur yang belum pernah ada presedennya merupakan suatu faktor tersendiri. Kebanyakan dari konsesi itu jatuh di bawah pengawasan para pengu­saha onderneming, sebelum penduduk Sumatra Timur mempunyai waktu untuk menyesuaikan diri kepada keadaan ekonomi baru itu. Ketika terbangun dari dampak kekuasaan kolonial itu, para petani pribumi barulah sadar bahwa kebebasan mereka untuk menanam je­nis-jenis tanaman baru telah hilang.

Dalam upaya yang terlambat untuk memberikan rakyat pribumi seorang juru bicara, pejabat-pejabat Departemen Dalam Negeri (Bin-

114

nenlands Bestuur) menjalankan peran perantara antara para pengusa­ha onderneming dan penguasa-penguasa di satu pihak, dan penduduk desa di pihak lain. Meskipun banyak pejabat dengan sungguh-sungguh mendukung penduduk desa yang secara ekonomi dan politik lemah itu, tetapi tindakan-tindakan mereka umumnya menghindari setiap sengketa langsung dengan para pengusaha onderneming yang sering mampu memberikan tekanan terhadap pejabat-pejabat ini melalui teman-teman mereka yang kuat di Batavia dan Den Haag atau melalui tekanan sosial yang tak terelakkan karena adanya hubungan pribadi sehari-hari.

Suatu ledakan kritik yang memuncak adalah penerbitan sebuah pamflet De Millioenen uit DelP dalam tahun 1904 oleh J. Van den Brand, salah seorang kritikus paling terkenal terhadap aristokrasi pengusaha onderneming. Pamflet ini menyorot dengan tajam keadaan buruh di tanah jajahan itu. Ia mengejutkan masyarakat umum di Ne- geri Belanda dengan angka-angka mengenai nasib buruh yang sebe- narnya dan memberikan sumbangan yang besar kepada terciptanya Dinas Inspeksi Perburuhan untuk pulau-pulau luar Jawa, terutama untuk Sumatra Timur. Van den Brand juga mempersembahkan suatu pembeberan yang tajam tentang banyaknya perlakuan tidak adil yang sudah menjadi kebiasaan para penguasa, pengusaha-pengusaha on­derneming dan para pengusaha lainnya. Ada umpamanya tekanan ge- lap terhadap pejabat-pejabat pemerintah dengan jalan lelang. Peja- bat-pejabat pemerintah sering dipindah-pindahkan, pada waktu mana mereka akan melelang seluruh barang-barang rumah tangganya. Teta­pi lelang yang seakan-akan biasa ini, adalah kedok untuk menutupi suatu sistem penyogokan yang rapi. Makin tinggi pejabat itu dan ma- kin erat hubungannya dengan para pengusaha onderneming dan pengusaha lainnya, akan semakin baiklah hasil lelang barang-barang- nya, asalkan pejabat itu belum pernah mendapat cap pro pribumi dan antipengusaha onderneming atau antidagang. Pada satu lelang seperti itu, satu tempat botol tinta pemah terlelang 510 gulden; satu mistar meja tulis 120 gulden; satu kacip cerutu 350 gulden; satu bola peta bumi 650 gulden. Lelang itu diselenggarakan tanggal 7 Agustus 1902 oleh Residen Sumatra Timur yang akan pensiun dan menghasil­kan 43,250 gulden.3’ Para pembeli pada lelang-lelang seperti itu ada­lah penguasa-penguasa dan anggota-anggota aristokrasi, pengusaha- pengusaha onderneming, pemimpin-pemimpin masyarakat Cina, dan pedagang-pedagang Eropa semua orang yang merasakan terancam o- leh pandangan falsafat sosial, politik dan ekonomi dari beberapa pe­jabat pemerintah yang bertugas di Sumatra Timur.41

Kedudukan yang kuat dari para pengusaha onderneming lahir

*) Jutaan dari Deli — pent

115

dari beberapa sumber; dan sumber yang sering dilupakan adalah oto- ritas sang1 pionir yang mengakar. Nienhuys, kita ingat, sudah berada di sana untuk bertindak sebagai tuan rumah bagi pejabat-pejabat pe­merintah Hindia Belanda yang tiba di Sumatra Timur untuk pertama kali. Dari" selama beberapa puluh tahun setelah itu pemerintah itu mengirimkan para pengusaha onderneming bertindak bagi diri mere­ka sendiri sebagai pengacara, polisi, jaksa, hakim, dan diplomat Ba­nyak preseden dijelmakan selama puluhan tahun itu. Bahkan perse- tujuan peraturan mengenai hak-hak agraria setempat untuk praktis- nya diserahkan kepada para pemegang konsesi yang sama artinya melepaskan tanggung jawab pemerintah untuk daerah luas yang tak terbatas. Seperti ditegaskan oleh para pengeritik perjanjian-perjanji- an konsesi itu kemudian, kontrak-kontrak contoh itu tidak berdasar- kan hukum perdata Belanda dan juga tidak menurut hukum adat se­tempat

HJ. Bool,5’ juru bicara utama para pengusaha onderneming, da­lam membela prosedur mereka — berikut segala kesalahannya, meng- anggap semua itu sebagai sesuatu yang wajar dalam situasi yang membingungkan ketika penduduk masih jarang dan hari depan perta­nian onderneming di Sumatra Timur masih belum pasti. Tetapi yang

urang dapat dibela dari pandangan Bool adalah sikap masabodoh para raja terhadap kesejahteraan kawula mereka sendiri, dengan aki­bat bahwa kewajiban-kewajiban yang tak masuk akal beralih kepada Para Pengusaha onderneming. Bool berpendidiran bahwa pemerintah

mdia Belandalah, bukan pengusaha-pengusaha onderneming, yang arus memikul tugas melindungi penduduk sekarang dan di masa

mendatang terhadap kekuangan tanah. Sebenarnya sukar membenar- an sikap pemerintah yang terus mengizinkan dikeluarkannya hak- a onderneming setelah peralihan abad itu, sementara tanah sedang i nami jenis-jenis tanaman keras (karet, kopi, teh, kelapa sawit, dan

se agamya). Meskipun empat hektar dicadangkan untuk setiap ke- uarga, tetapi pemerintah tidak mengadakan persediaan untuk per-

i . i ” , a Penduduk. Bool menganggap pemerintah bersalah karena i a memisahkan cukup tanah untuk seluruh penduduk pribumi dan

1 membatas* Para pengusaha onderneming kepada tanah se­l f lr ^ etoc*e akan menghindarkan banyak perselisihan yang

er embang antara pengusaha ondereming dan kaum tani.kaBool tetap berpendapat tidak masuk akal dan tak dapat dipertahan-

n, Untuk memaksa seorang pemegang konsesi menempatkan sebagi- duk 0nses.lnya ke tangan penduduk atau untuk mengharuskan pendu- , roemmta tolong kepada pengusaha-pengusaha onderneming da-

usaha mereka untuk mendapatkan tanah, karena sebenarnya, tu- juan akhir dari para pengusaha onderneming adalah membuat keun-

116

tungan. Kebutuhan-kebutuhan tanah yang terus meningkat bagi pen­duduk, menjadi impian buruk bagi pemegang konsesi, yang belum tahu sejauh mana hak-haknya akan diperpanjang.®

Tetapi di mana pun kesalahan itu terletak, tidak dapat disangkal tentang adanya kompleks keruwetan dalam kekusutan masalah hak. Hanya sedikit orang yang menyadari dimensi yang ditimbulkan oleh pertumbuhan pertanian onderneming yang luar biasa itu dan mem- banjirnya manusia dari luar ke dalam bagian-bagian Sumatra yang justru beberapa tahun sebelumnya termasuk di antara bagian yang paling tidak menarik di pulau itu. (Bagian Sumatra ini pemah paling jarang penduduknya, dan sekarang mempunyai kepadatan penduduk yang paling tinggi.)

Bahwa setidak-tidaknya beberapa pejabat pemerintah di masa-ma- sa awal telah sadar akan kerugian dan penderitaan penduduk pribu­mi sebagai akibat pembangunan pertanian onderneming, jelas tercer- min dalam sepucuk surat yang ditulis dalam 1886 oleh Kroesen, seo­rang pejabat distrik7'

Pertanian onderneming dapat berkembang tanpa menimbulkan kejutan-ke- jutan dan bahwa penduduk pasrah pada suatu keadaan yang sama sekali baru yang sering menimbulkan kerugian atau setidak-tidaknya penderitaan, ada­lah karena kenyataan bahwa rakyat mempunyai keuntungan memperoleh ladang-ladang padi siap-pakai untuk ditanami.

Van Vollenhoven, pengecam besar terhadap kebijakan agraria Hindia Belanda, menyebutkan masa dari 1870 sampai 1920 sebagai ’’setengah abad ketidakadilan” dan menyatakan bahwa meskipun se­telah setengah abad terdapat hubungan dekat antara kaum tani Indo­nesia dan pengusaha-pengusaha onderneming Barat, tetapi kaum tani Indonesia itu hanya pasrah saja.8> Pekabar-pekabar injil yang bekerja di Tapanuli Utara memberi kesaksian bahwa suku Batak Toba tidak henti-hentinya menyatakan akan terjadi bencana jika tanah mereka, seperti tanah Simalungun, sampai jatuh ke tangan onderneming-on­derneming besar lewat konsesi-konsesi atau sewa-menyewa j angka panjang. Di lembah Silindung dan di bagian-bagian lain Tapanuli U- tara terjadi kegelisahan yang luar biasa, segera sesudah berakhir Pe­rang Dunia I karena mengalirnya sejumlah besar spekulan tanah, yang meminta ratusan ribu hektar tanah untuk teh dan tanaman-ta- naman perkebunan lainnya. Untuk mengimbangi onderneming de­ngan puluhan ribu buruh Jawa beragama Islam yang didatangkan da­ri Jawa, pekabar-pekabar injil dengan gigih membantu orang-orang Kristen Batak untuk merancang resolusi-resolusi dan petisi-petisi me­nentang pemberian konsesi-konsesi maupun sewa-menyewa j angka panjang. Suku Batak Toba, yang lebih bijak setelah menyaksikan pengalaman tetangganya Simalungun, mempertanyakan hak eksklusif

117

pemerintah untuk atas dasar Undang-undang Agraria — memberikan ’’tanah tak terpakai” kepada onderneming. Mereka mengemukakan tuntutan atas dasar adat yang sudah ada terlebih dahulu. Adat meng- anggap semua tanah di Tapanuli sebagai hak milik marga. Marga- marga ini mempunyai juru bicara dan dari dialah izin harus dipero- leh oleh setiap orang yang ingin mengembangkan suatu perkebunan.91 Perlawanan suku Batak Toba bersama-sama pekabar-pekabar injil itu sangat mengena, sehingga tidak ada satu onderneming pun yang be­nar-benar dikembangkan di daerah Toba dan Pakpak, meskipun telah dibuat peta-peta perbatasan untuk tanah-tanah sewa jangka panjang. Karena beberapa alasan, yaitu penentangan penduduk setempat, ke­kurangan modal, jatuhnya harga-harga atau permintaan, atau yang lain-lain — sewa-menyewa jangka-panjang ini tidak pernah betul-be- tul dimulai.10)

Kecaman-kecaman terhadap konsesi-konsesi pertanian oleh ber- bagai kalangan akhimya mendorong pemerintah untuk bertindak. Pa­da saat itu sudah terdapat persetujuan umum mengenai pentingnya memberikan kepada para pengusaha onderneming jus in rem atas ta­nah, dan jalan terbaik untuk melakukannya ialah dengan sekaligus memisahkan tegas-tegas hak-hak agraria penduduk Indonesia dari hak-hak agraria onderneming, dengan cara membatalkan seluruh hak konsesi pertanian dan menggantinya dengan hak sewa jangka panjang ( erfpacht).

Tindakan pertama yang diambil adalah mengeluarkan Keputusan Kerajaan tanggal 6 Mei 1915. Di situ dinyatakan bahwa Hukum Perda- ta Hindia Belanda untuk selanjutnya harus berlaku, dalam arti bahwa para pengusaha onderneming di kemudian hari akan memperoleh hak-hak yang nyata (jus in rem) atas tanah; dan perjanjian-perjanjian di masa mendatang akan didaftarkan dengan cermat Ini disusul da­lam tahun 1919 oleh undang-undang khusus yang memberlakukan hak sewa jangka panjang di daerah-daerah yang dikuasai secara tidak langsung di luar Jawa dan Madura.111 Sebagai akibat dari undang- undang ini, konsesi-konsesi pertanian tidak dapat lagi dikeluarkan di Sumatra Timur, kecuali untuk Langkat, Deli, dan Serdang — keraja- an-kerajaan yang penguasa-penguasanya telah menandatangani apa yang dinamakan ’’Kontrak-kontrak jangka panjang.” Kontrak-kontrak ini harus diperbaiki sebelum peraturan sewa jangka panjang dapat diterapkan di tiga kerajaan tersebut di atas.

Tetapi apa yang terjadi dengan ratusan konsesi yang diberikan antara tahun 1864 dan 1919? Selama masa ini jutaan dolar telah dita­nam. Di bawah syarat-syarat apakah pengusaha-pengusaha ondeme- ming itu harus bekerja apabila konsesi-konsesi mereka berakhir? Be­berapa tahun berlalu tanpa banyak keresahan yang nyata, tetapi pada

118

akhir 1920-an pengusaha-pengusaha onderneming itu mulai menekan pemerintah supaya memberikan kejelasan, karena mereka tidak da­pat membuat rencana-rencana mengenai pemeliharaan, perbaikan, atau masalah-masalah lain tanpa mengetahui apa yang dihadapi on­derneming mereka di masa depan.

Dalam bulan Januari 1927 Gubemur Jenderal memerintahkan Di- rektur Departemen Dalam Negeri untuk memeriksa masalah pemba- ruan sewa-menyewa jangka panjang di Jawa dan untuk mempelajari apakah-apakah hak-hak agraria pengusaha-pengusaha onderneming di pulau itu harus diperbarui atau diperbaiki. Mengingat bahwa se- wa-menyewa jangka panjang tidak ada yang akan berakhir sampai 1945, direktur itu menyarankan supaya pemeriksaan masalah khusus ini ditangguhkan dan selanjutnya segera mempelajari masalah pem- baruan konsesi-konsesi pertanian di Sumatra Timur. Mengingat habis- nya masa kontrak konsesi-konsesi tertua di sana — konsesi pertama harus berakhir 1931, lima yang lain antara 1936 dan 1938 — maka tidak banyak lagi waktu yang tinggal. (Tahun-tahun berakhirnya kon­sesi-konsesi sesudah 1938 diberikan dalam Tabel 9 dan 10). Departe­men Dalam Negeri kemudian menerima perintah untuk mempersiap- kan suatu rencana pendahuluan untuk menemukan cara memperla- kukan konsesi-konsesi onderneming pertanian yang akan berakhir itu dan menentukan perubahan-perubahan apa yang akan diperlukan dalam persetujuan-persetujuan politik (Kontrak-kontrak jangka pan­jang) itu dengan penguasa-penguasa Langkat, Deli dan Serdang dalam rangka memberlakukan peraturan sewa jangka-panjang di kerajaan- kerajaan ini.

Memorandum Du Marchie SarvaasInspektur Urusan Agraria, Du Marchie Sarvaas, menyerahkan sebuah memorandum panjang pada tanggal 31 Maret 1929 yang kemudian di- sampaikan bulan Juli tahun itu oleh Gubernur Sumatra Timur kepa­da Persatuan Pengusaha Onderneming Deli dan kepada Persatuan Pengusaha Onderneming Karet Sumatra Timur dengan suatu permin­taan supaya mereka mempelajari memorandum itu dan memberikan tanggapan mereka.121 Permintaan ini menandai pembukaan perun- dingan-perundingan resmi antara pemerintah dan para pengusaha on­derneming mengenai pengalihan konsesi-konsesi onderneming per­tanian menjadi sewa-menyewa jangka panjang.

Dari dua akibat yang ditimbulkan memorandum Du Marchie Sar­vaas terhadap situasi, salah satu adalah untuk menetapkan perlunya membatasi perundingan-perundingan awal hanya pada masalah ta­nah-tanah tembakau. Sebab masalah tanah tembakau pada dasarnya berbeda dari masalah tanah-tanah yang diberikan untuk onderneming

119

TABEL 9

T A H U N BER A K H IRN YA KONSESI-KONSESI TEMBAKAU DI LANGKAT, DELI, DAN SERDANG

TahunLuas Daerah yang Masa

Konsesinya BerakhirPersentase dari Seluruh

Daerah

1938 5.699 2,21942 204 0,11944 3.169 1,21945 1.190 0,51946 2.120 0,81947 4.478 1,81948 7.409 2,91949 3.146 1,21950 12.354 4,91951 8.821 3,51952 616 0,21953 4.169 1,61954 10.473 4,11955 11.435 4,51956 27.355 10,81957 22.187 8,71958 1.419 0,61960 38.923 15,31961 39.786 15,61962 1.417 0,61963 10.007 3,91964 3.677 1,41965 12.402 4,91972 600 0,21973 1.069 0,41974 3.302 1,31977 7.041 2,81982 7.656 3,01984 1.014 0,41985 983 0,4

Jumlah 254.321 _______________ 99,8Sumber: van Beukering. Nota, 1 Juni 1939, Lampiran 1

tanaman keras. Dan mengenai yang terakhir inilah telah tumbuh ke- kusutan hak-hak agraria yang lebih gawat Yang lain adalah untuk menjabarkan seberapa jauh dua pihak itu — pemerintah dan pihak onderneming — masih harus saling menjajaki sebelum perundingan

120

TABEL 10 (sumber seperti TABEL 9)

TAHUN BERAKHIRNYA KONSESI ONDERNEMING TANAMAN KERAS DI LANGKAT, DELI, DAN SERDANG

Tahun Luas Daerah yang Masa Konsesinya Berakhir

Persentase dari Seluruh Daerah

1938 2.368 0,91946 2.200 0,81948 1.451 0,51949 4.530 1,71951 514 0,21956 7.323 2,71957 4.400 1,71958 3.596 1,41959 307 0,11960 7.250 2,71961 58.505 22,11962 7.653 2,91963 10.768 4,11964 5.682 2,11965 4.905 1,91966 2.774 1,01967 263 0,11968 276 0,11970 14.534 5,51971 8.465 3,21972 5.232 2,01973 11.517 4,31974 6.872 2,61975 2.446 0,91976 3.204 1,21979 4.187 1,61980 1.244 0,51981 10.076 3,81982 9.159 3,51983 2.723 1,01984 6.185 2,51985 28.366 10,71986 9.979 3,81987 2.575 1,0

121

yang berarti dapat dimulai. Du Marchie Sarvaas yang memusatkan perhatiannya pada cara bagaimana menambah bagian pribumi atas tanah dan penghasilan, mengusulkan pengurangan daerah konsesi tembakau secara menyeluruh dengan sedikitnya 12,5% dan menaik- kan tarif-tarif sewa. Secara terperinci, rencananya menghendaki su­paya disediakan sekitar 25.000 bau, baik dengan jalan memperpendek penggiliran dengan satu tahun maupun dengan memperpanjang masa jaluran dari setengah tahun menjadi dua tahun. untuk menjamin pembagian jaluran dengan adil, Du Marchie Sarvaas me- nambahkan usulnya supaya pejabat-pejabat distrik dibuat bertang- gung jawab penuh untuk ini. Mengenai sewa-menyewa, memorandum- nya tegas mengusulkan supaya sewa-menyewa jangka panjang sesu­dah ini harus dibatasi sampai 50 tahun dengan sewa tahunan 15 gul­den per bau dan supaya hadiah tanah (sejenis pembayaran ”uang kun- ci” dibayar pada permulaan suatu perjanjian sewa jangka panjang) ditetapkan 200 gulden per bau.

Memorandum itu menimbulkan amarah luar biasa dari para pemi- lik onderneming. Mereka bahkan menolak mempertimbangkan per­ubahan dalam kebiasaan penggiliran yang diusulkan atau dalam sis­tem jaluran. Suatu usul tandingan dibuat mengenai pengalihan itu sendiri, yaitu supaya lama sewa-menyewa berlaku untuk 75 tahun de­ngan sewa tiga gulden per hektar, dimulai setelah berakhirnya masa konsesi asli. Untuk pembayaran hadiah tanah (uang kunci) diusulkan10 gulden per hektar dikurangi 1,50 gulden per hektar untuk setiap 10 tahun dari sisa masa konsesi asli pada waktu pengalihan. Para pengu­saha onderneming juga menuntut suatu syarat tambahan supaya pe­merintah memberikan pemberitahuan 15 tahun sebelumnya dalam hal tidak diperpanjangnya suatu kontrak sewa dan kewajiban pembe- lian oleh pemerintah atas semua tanaman yang masih tumbuh, meng- ganti biaya perbaikan-perbaikan tetap seperti gedung-gedung, jalan- jalan raya dan terusan-terusan air.

Dari tahun 1930 sampai 1933 masalah sewa ini menggeser semua masalah lain dalam debat soal pengalihan yang tak putus-putusnya itu. Akhirnya pemerintah terpaksa membuat gerakan pertama menu­ju suatu kompromi dengan menerima hektar ketimbang bau sebagai dasar untuk sewa 15 gulden yang diusulkan itu. Selama tahun-tahun yang sama, suatu upaya percobaan telah dilakukan untuk menemukan berapa tepatnya jumlah petani — dalam peristiwa pengalihan itu — yang layak meminta ganti rugi.

Memorandum Bastiaan

Suatu usaha baru untuk menemukan dasar bagi perundingan meja bundar antara wakil-wakil pemerintah dan pengusaha onderneming

122

diadakan dengan mengedarkan di antara kementerian-kementerian bersangkutan sebuah memorandum kepada Gubemur Sumatra Ti­mur tertanggal 5 Agustus 1933 yang dibuat oleh Inspektur Urusan Agraria, Bastiaan. Meskipun bahan pertimbangan yang kedua ini jauh lebih mendasar daripada yang pertama, Gubernur Sumatra Timur rupanya dipengaruhi oleh konsultasinya yang tak resmi engan p pengusaha onderneming menyatakan bahwa memoran um 1 cocok sebagai dasar pembicaraan resmi. Dan sejauh kita ketahu , gu­bernur itu tak pemah secara resmi mengajukan memorandum terse- but kepada para direktur o r g a n is a s i-o r g a m s a s i onderneming.

Dengan pertimbangan yang masih terpusat pada masa a nyewa di masa mendatang dan pembenan ana nrob-penuntut pribumi, Bastiaan terus bergumul m en a^m f va d2 !n akan lema ini. Mengenai sewa-menyewa ia mengusu p setiao hektarskala bergerak (sliding scale) 1,50 di 10% dimulai padatambah 25% dari keuntungan tahunan lebih di atas m Qimu y

saat berakhirnya masa konsesi asli.petani. Bastiaan dengan tegas menen^ t^ ang dikembangkan 30 ha onderneming terus menggunakan sisteim y s sudah ke-sampai 40 tahun sebelumnya dan menurut p ^ ^tinggalan 30 sampai 40 tahun. Untukdan hak-hak agraria petani dan per®i pengembalian palingmengusulkan p e n g a k h i r a n sistem jalura sebagai ganti untuksedikit 25% daerah konsesi kepada para pjaluran mereka yang hilang itu. r hpmur Su-

Dalam tangkisan khusus terhJdbaPh^ e^e°wrtahunan langsung lima matra Timur tetap berpendapat bah -k.usik poia penggunaangulden per hektar sudah cukup,ian n sik.usik adat yang sudahtanah yang berlaku sekarang berart Desakan ngotot supayamemadukan sistem jaluran itu k e j ^ peljanjian-perjanjianJ^engakui hak-hak agraria yang b adalah tidak realistikkonsesi iama, menurut hemat belah pihakyang

Tak sadar terhadap pokok dasar pem menyetujui Gubernurberdebat, Batavia membagi dukunganny ^ menyetujui Inspek-mengenai masalah sewa di masa . untuk dibebaskan dan ma-tur Bastiaan mengenai masalah \u®s . lu_an xetapi mereka sendiri, salah yang berkaitan erat yaitu sis e j ^ satu hal, yakni perlu Bastiaan dan Gubemur, sama-sama sei j masalah.masaiah agra-adanya satu kantor khusus untuk m Batavia, dalam bulan*a di Sumatra Timur. Be§itulah, konsep pengalihan menja-Oktober 1935, delapan tahun Pen,jh set a gebuah kant0r sementara, dl suatu kemungkinan yang daPa M’edan untuk penelitian danB»-o Pengalihan, secara resmi dibuka ai

lO Q

persiapan rencana-rencana keija menuju penyusunan kem bali hak- hak agraria daerah tembakau itu. Pejabat-pejabat Biro Pengalihan yang baru didirikan itu dengan tekun muiakukan penyelidikan-pe- nyelidikan selama bertahun-tahun dan menulis banyak laporan me­ngenai penem uan-penem uan mereka, yang dengan cara dem ikian membangun suatu dasar statistik yang sangat berharga untuk perun- dingan-perundingan kemudian.

Politik Pengalihan

Masalah pengalihan itu sendiri bagaimanapun, seperti banyak orang sudah tahu, tidak memberi kemungkinan akan pemecahan yang tertib secara ilmiah. Tidak jauh dari bawah permukaan bergejolak aliran- aliran simpang-siur dari suatu kekusutan politik yang mungkin telah memberikan suatu hikmah sementara. Para pengusaha onderneming itu telah menyatakan posisi mereka dengan sangat jelas: keuntungan- keuntungan dari segi hukum yang menyangkut sewa jangka-panjang, tidak akan dilepaskan dengan mengorbankan keuntungan-keuntungan ekonomi yang inheren terdapat dalam perjanjian-perjanjian konsesi awal. Dan setiap rencana pengalihan harus menawarkan suatu alter- natif yang dapat diterima mengenai kelanjutan konsesi-konsesi sam­pai habis masa berlakunya. Kesulitannya adalah bahwa setiap ren­cana pengalihan harus dapat diterima juga oleh tiga golongan lainnya yang berbeda, yaitu pemerintah, penduduk pribumi, dan raja-raja Su­matra Timur itu.

Harga untuk perdamaian dalam negeri berarti harus menjamin a- danya persetujuan sepenuhnya dari para raja. Sedangkan minat para raja dalam masalah pengalihan ini, terpusat khusus hanya pada ke- pentingan diri sendiri, yakni jumlah pembayaran hadiah tanah (’’uang kunci”) yang jumlah totalnya rupanya akan dibayarkan pada waktu sewa jangka panjang itu ditandatangani. Dalam hal ini para penguasa itu menghadapi penolakan yang keras dari para pengusaha onderne­ming. Pihak onderneming tetap berpendapat bahwa pada dasarnya hxuiiah tanah harus dibayar hanya satu kali saja dan, karena telah membayarnya ketika mendapatkan konsesi, mereka tidak harus mem- bayamya lagi untuk kedua kalinya. Para sultan sendiri tetap bersite- gang bahwa pembayaran ’’uang kunci” ini merupakan suatu conditio sine qua non untuk mendapatkan tanda tangan mereka bagi kontrak sewa-menyewa baru itu. Pembahasan-pembahasan yang berlarut-larut mengenai masalah ini melahirkan suatu persetujuan bahwa 10 gulden per hektar harus dibayar untuk konsesi-konsesi yang berakhir sebe­lum 1 Januari 1950, sembilan gulden untuk konsesi-konsesi yang bera­khir antara 1 Januari 1950 dan 31 Desember 1959, dan delapan gulden untuk konsesi-konsesi yang berakhir setelah 1 Januari 1960. Begitulah

124

Penguasa-penguasa Sumatra Timur ditenteramkan, karena peijanjian- P erjan jian po litik telah menetapkan untuk memberikan 75% dari uang itu kepada pribadi penguasa itu sendiri dan 25% kepada per- bendaharaan negerinya. Diperkirakan seluruh ”uang kunci” itu akan berjum lah kira-kira 2,4 juta gulden, dari jumlah mana penguasa-peng- uasa itu dan kepala-kepala wilayah bawahannya akan menerima ham- P ir 1,8 juta gulden. In i merupakan petunjuk mengapa penguasa-peng- uasa itu tidak pem ah terlalu bergairah untuk mengurangi daerah Perkebunan secara besar-besaran (lihat Tabel 11).

T A B E L 11

P E R K IR A A N P E M B A Y A R A N H ADIAH TANAH D A N PE M B A G IA N N Y A A N ­T A R A P A R A S U L T A N D A N B E N D A H A R A N E G A R A (dalam gulden)

Kesultanan Para Sultan Bendahara Jumlah

Deli 807.677 269.226 1.076.903Serdang 271.614 90.538 362.152Langkat 717.163 239.054 956.217

Jumlah 1.796.454 598.818 2.395.272

Sumber: van Beukering, Verslag, 3 Maret 1939

Pem erin tah H ind ia Belanda pun sangat berkepentingan dalam pengalihan itu. Masalah yang paling jelas adalah preseden yang telah d icip takan untuk perundingan-perundingan mendatang mengenai pembaruan sewa-menyewa jangka panjang yang dikeluarkan setelah taehun 1870. Masalah-masalah penting lainnya adalah: pelaksanaan peraturan sewa-menyewa jangka panjang (eifpachts-<yrdonnantie) yang menghendaki adanya perlindungan hak-hak agraria bagi seluruh war- ga pribumi; biaya-biaya pendaftaran resmi; dan terutama jumlah pa- jak perkebunan yang nyata atas tanah yang sekarang untuk pertama kali dikenakan.

Satu-satunya pihak yang tidak diwakili secara langsung dalam perundingan-perundingan itu adalah penduduk asli. Anggota-anggota Indonesia dalam Volksraad telah meminta supaya diikutsertakan ang­gota-anggota Indonesia dari badan perwakilan ini dalam perunding­an-perundingan, tetapi sepanjang pengetahuan saya, seorang pun ti­dak pernah ikut serta. Tidak ada jura bicara bagi kaum tani setempat Ada anggapan bahwa pejabat-pejabat yang mewakili pemerintah Hin­dia Belanda dan mereka yang mewakili sultan-sultan dari kerajaan- kerajaan otonom akan mengingat kepentingan-kepentingan sosial dan ekonomi pihak penduduk. Di sini harus dicatat bahwa hak-hak rakyat pribumi mendapat dukungan yang paling kuat dari pemerintah H india Belanda ketimbang dari penguasa-penguasa setempat

125

Memorandum Bouwes Bavinck, Residen Sumatra Timur

Dua tahun setelah berdirinya Biro Pengalihan di Medan, suatu upaya baru untuk menemukan dasar bagi perundingan-perundingan dibuat oleh Residen Bouwes Bavinck. Memorandumnya tertanggal 9 Oktober 1937,14) terkenal karena tinjauan latar belakang sejarahnya yang cer- mat, Residen J. Bouwes Bavinck dengan jelas mengungkap kembali bahwa kontrak-kontrak konsesi itu telah menugaskan kepada para pengusaha onderneming untuk melindungi rakyat yang tinggal di ling­kungan konsesi mereka, terutama menyisakan lahan huma. Kerelaan kaum tani untuk menerima alternatif yang menyenangkan, yakni menggunakan lahan tembakau yang habis dipanen, tidak boleh mele- paskan pemilik-pemilik onderneming itu dari kewajiban mereka. Se­benarnya, menurut beberapa kontrak, kaum tani mempunyai hak atas jaluran dan juga atas tanah huma. Supaya para pembacanya dapat mengikuti rangkaian masalah selengkapnya, Bavinck selanjutnya menguraikan bahwa krisis tanah yang memuncak beijalan seiring de­ngan pertambahan penduduk yang terus-menerus dan rangsangan eko­nomi yang timbul karena terbukanya pasaran yang meluas untuk hasil-hasil pertanian rakyat seperti buah-buahan dan sayur-mayur. I- tulah yang menjadi faktor pendorong bagi kaum tani untuk meminta empat bau atau empat hektar tanah yang dijanjikan bagi setiap ke­luarga dalam persetujuan-persetujuan kontrak Sangatlah disesalkan, demikian Bavinck menanggapi, bahwa para pengusaha onderneming bukan hanya tidak menaruh perhatian dalam memperbaiki ’’kekeli- ruan” mereka selama 40 atau 50 tahun sebelumnya, melainkan juga kelihatannya malah marah kepada tuntutan-tuntutan yang terlambat ini. Pengusaha-pengusaha onderneming itu, tidak menyetujui setiap perubahan dalam penggunaan tanah yang akan mengalihkan lahan- lahan tembakau terbaik menjadi lahan hasil pertanian bagi pasaran setempat

Bagaimanapun belum ada orang yang dapat menjawab pertanyaan mengenai siapa sebenarnya yang masuk ke dalam kategori penduduk yang mempunyai hak-hak sah yang sejati. Hanya konsesi-konsesi yang dikeluarkan setelah 1892 telah tunduk kepada peraturan yang mene- tapkan suatu sensus penduduk 1 setiap lima tahun. Ondememing-on- derneming lainnya yang tidak menyimpan catatan-catatan tentang ah- li-ahli waris yang sah, dan tidak mempunyai daftar kelahiran dan kematian, sangat mengacaukan tugas yang sudah sulit untuk mencoba menentukan sejarah silsilah keluarga. Para peneliti dari Biro Penga­lihan telah mengikuti suatu sistem untuk membagi para penuntut yang sah menurut pola keturunan ke dalam tiga golongan ”A ”, ”B”, dan ”C” (seperti diuraikan dalam Bab V). Dengan menggunakan sis­tem golongan ini residen mengusulkan supaya kepala-kepala keluarga

126

dalam golongan ”A ” menerima 2,84 hektar, mereka dalam golongan ”B” dan ”C” menerima 1,42 hektar. Tabel 12 memberikan suatu perin- cian tentang golongan-golongan ini dalam konsesi ondememing-on- derneming tembakau, dan Tabel 13 meringkaskan data mengenai jum­lah keluarga dengan atau tanpa suatu tuntutan yang sah atas ganti rugi tanah. Angka-angka dalam Tabel 12 adalah demikian rendahnya sehingga orang tidak bisa lain kecuali merasa bahwa tentulah telah teijadi banyak keluarga yang berhak tetapi belum pernah didaftarkan dan tidak memiliki keterangan yang diperlukan mengenai silsilah ke­luarga mereka sendiri.

TABEL 12

JU M LAH P E N U N T U T Y A N G SAH ATAS TANAH BERD ASAR K AN GO­LONGAN DAN JUMLAH TANAH YANG DITAWARKAN OLEH ONDERNE­M ING TEM BAKAU BESAR*)

Perusahaan Golongan”A ”

(Jolongan ”B” & ”C”

GolonganA +B +C

Jumlah hektar yang ditawarkan

Deli 3.620 4.931 8.551 29.000Deli-Batavia 1.418 796 2.214 4.041Senembah 1.919 1.710 3.629 8.334Arendsburg 879 406 1.285 1.971Tjinta Raja 108 11 119 1.816

Jumlah 7.944 7.854 15.798 45.162*) Angka-angka ini diberikan oleh van Beukering dalam Nota, 1939.

Tabel 13, berdasarkan suatu laporan yang ditulis kira-kira satu tahun kemudian, memberikan angka yang agak lebih tinggi dari keluarga- keluarga yang memenuhi syarat, tetapi juga memperlihatkan bahwa bagi setiap keluarga desa dengan hak yang sah, terdapat kira-kira 5,2 keluarga-keluarga desa tanpa hak-hak seperti itu. Mestilah diingat bahwa angka-angka ini tidak termasuk ribuan keluarga asal Jawa yang dipekerjakan di onderneming-onderneming yang tidak pernah menjadi kawula sultan-sultan Langkat, Deli, atau Serdang dan tidak dimasukkan dalam penyelidikan mana pun tentang ekonomi desa dalam lingkungan daerah-daerah tembakau.

Karena beberapa tanah yang ditawarkan para pengusaha onderne­ming dapat dijadikan persawahan, maka diusulkan supaya satu bau tanah yang mungkin dijadikan sawah dianggap sama dengan empat bau tanah yang tidak dapat dijadikan sawah. Atas dasar perhitungan ini, pejabat-pejabat pemerintah menerangkan bahwa golongan ”A ” harus diberikan 0,71 hektar dan golongan-golongan ”B” dan ”C” , 0,35 hektar dari tanah yang mungkin dijadikan sawah itu. Siapa pun yang

127

JUMLAH PENUNTUT YAN G SAH DAN JUMLAH KELUARGA TANPA HAK M ENUNTUT*)

TABEL 13

Daerah Jumlah Penuntut Jumlah Keluarga tanpa Hak

Deli Hilir 1.727 20.163Deli Hulu 5.685 2.394Serdang Hilir 441 13.429Serdang Hulu 2.434 3.976Langkat Hilir 1.215 13.602Langkat Hulu 4.926 11.472Padang dan Bedagei — 19.353

Jumlah 16.428 84.389

*’ Angka-angka ini diberikan oleh van lijnden dalam Monthly Report for May 1940.

mengenai keadaan pertanian di Pulau Jawa akan segera menyadari bahwa tanah-tanah pertanian seluas itu sangat kecil dan bahwa di Jawa pun suatu keluarga yang memiliki tanah kurang dari satu hektar sangat sukar memenuhi kebutuhannya sehari-hari. Sawah 0,71 hektar yang sedikit lebih luas itu pasti tidak memberikan lebih daripada nafkah hidup yang sangat sederhana. Dengan pembagian seperti ini, pemerintah menciptakan suatu keadaan ekonomi desa di daerah-dae- rah tembakau Sumatra Timur menjadi sepenuhnya sama dengan kea­daan ekonomi di Jawa yang kepadatan penduduk itu. Kekurangan yang paling parah dari usul ini adalah bahwa ia tidak membuat per- sediaan untuk pertambahan penduduk masa mendatang, sedangkan di bawah sistem jaluran yang ada sekarang, semua anak lelaki yang sudah menikah dari kepala keluarga yang sudah mempunyai hak, dii­zinkan menuntut jatah bagi diri mereka sendiri atas tanah tembakau yang habis dipanen. Ini tentu saja berarti bukannya satu orang pe- nuntut melainkan mungkin tiga atau empat orang yang masing-masing dapat mengharapkan luas tanah yang sama. Dalam satu atau dua ke­turunan, penduduk setempat akan berada dalam kesulitan-kesulitan yang parah jika sistem jaluran itu dihapuskan.

Usul dan kontra-usul diajukan terus. Residen memperkirakan bah­wa 31.710 hektar akan dapat memenuhi kebutuhan 15.798 keluarga yang mempunyai hak-hak yang sah, jika setidak-tidaknya sebagian ke­cil diberikan sawah ketimbang tanah yang tidak dapat dijadikan sa­wah. Karena pada tahun 1939 para pengusaha onderneming tembakau telah memperlihatkan suatu kesediaan melepaskan kira-kira 46.000 hektar dari daerah konsesi mereka, maka pejabat-pejabat pemerintah merasa yakin bahwa sistem jaluran dapat segera dihapuskan. Dengan

128

demikian satu syarat penting dari peraturan sewa jangka panjang itu terpenuhi. Akan tetapi, penyelidikan lebih jauh atas tanah yang dita­warkan itu mengungkapkan bahwa beberapa di antaranya terletak sangat jauh dari kampung yang mana pun sehingga pemukiman-pe- mukiman baru akan harus didirikan. Selanjutnya ada tanah yang ter- lalu curam sehingga tidak aman untuk cocok-tanam kaum tani, dan beberapa yang lain — setidak-tidaknya pada waktu itu — tetap tidak cocok bagi pertanian oleh karena kadar zat garam yang tinggi dari tanah itu. Sangat jelas, para pengusaha onderneming telah menawar- kan melepaskan tanahnya yang sama sekali tidak menguntungkan ba­gi diri mereka sendiri, maupun bagi kaum tani. Di atas kertas, tawar- an itu nampaknya mengesankan, tetapi hanya ahli hukum yang mera- sa puas, bukan ahli-ahli pertanian.

Dengan sikap pantang mundur terhadap gerakan-gerakan licik para pengusaha onderneming, Residen Bavinck terus mendesak supaya mengakhiri sistem jaluran yang seperti dikemukakan dalam memo- randumnya, telah merusak hidup rakyat

Ditinjau dari segi pendidikan dan vitalitas rakyat, orang tidak bisa lain kecuali berpendapat bahwa sistem menyerahkan jaluran kepada pendu­duk yang tanahnya adalah bekas ladang-ladang tembakau yang baik, dan yang sangat banyak dipupuki... tidak mendukung pengembangan kerajinan dan daya kemauan yang diperlukan oleh seluruh rakyat Sistem semacam ini yang membuat wanita paling banyak bekerja dan orang dapat mempe­roleh hasil-hasil maksimum dengan upaya yang minimum, tidak akan dapat membuahkan hasil-hasil yang baik dalam jangka panjang. Ini sudah jelas. Selama sistem jaluran berjalan puluhan tahun, para penguasa yang cuma tahu sedikit lebih banyak dari lingkungannya sendiri, telah melihat bagai- mana rakyat yang bekerja keras betul-betul dapat menghasilkan sesuatu yang berharga. Mereka mengakui bahwa sistem pertanian jaluran tidak membuat kawulanya menjadi kuat dan penuh semangat kerja — kawula yang mestinya mampu menanggulangi kesulitan ekonomi dan berbagai ke- sulitan lainnya. Ditinjau dari segi pendidikan, adalah sungguh-sungguh per- lu bahwa rakyat harus belajar bagaimana bekerja keras dan menghargai hasil-hasil produk-produk pertanian yang sekarang mereka peroleh hampir tanpa suatu upaya. Adalah jelas bahwa rakyat enggan meninggalkan sistem ini, karena mereka menganggap itulah jalur satu-satunya yang merupakan rahmat bagi mereka. Mereka menentang rencana penghapusan sistem ja­luran itu, dan bahkan telah berbuat sedemikian jauh dengan pemyataan bahwa mereka lebih suka tanpa tanah ketimbang harus bekerja di masa depan dan bahwa mereka lebih suka tetap tergantung kepada para pengu­saha onderneming Barat ketimbang menjadi kaum tani merdeka. Hal-hal ini dan pemyataan-pemyataan serupa, membuktikan bahwa rencana peng­alihan mungkin datang tepat pada waktunya untuk menyelamatkan rakyat dari kehancuran moral.15’

Khotbah patemalisme ini memberikan orang suatu kesan yang pas-

129

ti bahwa mayoritas kaum tani Sumatra Timur menghendaki kelanjut- an sistem jaluran yang menyenangkan itu. Tetapi pada saat ini para pengusaha onderneming itu, untuk kepentingan sendiri malah siap meninggalkan sistem itu. Penolakan mereka sebelumnya, yang dinya- takan dengan gigih dalam tahun 1930, disebabkan ketakutan bahwa penyelesaian tuntutan-tuntutan tanah itu akan berakibat harus mele- paskan tanah yang bermutu tinggi di daerah-daerah yang terletak an­tara rawa-rawa panta4i dan tanah-tanah tinggi yang terkikis itu. Sete­lah menyadari bahwa cuma tanah-tanah pinggiran yang secara ekono- mis tak berguna yang akan terlibat — dan bahwa hak-hak mereka atas tanah-tanah yang bermutu baik sejak saat itu dan untuk seterusnya tidak dapat diganggu-gugat lagi — para pengusaha onderneming itu dengan cepat berusaha untuk menghapuskan sistem itu. Setelah meli- hat adasnya basa-basi dalam khotbah paternalisme Bavinck, para pengusaha perkebunan siap menyetujui kemungkinan menggunakan memorandumnya sebagai dasar perundingan.

Persetujuan sementara di Sumatra Timur tidak menghalangi tang- gapan yang sangat kritis terhadap memorandum Bavinck di Batavia.

fefcmbar yang mau dijalankan pemerintah menimbulkan pertentangan intern pada tingkat pengambilan kebijaksanaan. Kei- nginan di satu pihak untuk membantu ’’rakyat yang lemah dan sangat merosot akhlaknya” untuk menjadi lebih kuat dan lebih percaya akan diri sendiri dan untuk membebaskan mereka dari cekikan ekonomi para pengusaha onderneming, dan di lain pihak keinginan melindungi kepentingan-kepentingan ekonomi para pengusaha onderneming dan meluaskan kesejahteraan ekonomi negara sebagai keseluruhan, di dalam praktek bertentangan satu sama lain. Para pengusaha on­derneming tidak segan menggunakan kedudukan mereka yang istime- wa, umpamanya untuk meyakinkan pejabat-pejabat Departemen Da­lam Negeri setempat bahwa orang-orang Batak Karo dan Melayu yang ’’malas” itu akan menelantarkan tanah-tanah yang sangat produktif, atau menyebabkan ketidaksuburan yang parah, dan lebih buruk lagi, memnyerahkan tanah-tanah yang indah ini kepada petani-petani sayur-sayuran dan peternak-petemak babi Cina dan kepada petani- petani bagi hasil asal Jawa. Keputusan resmi residen mengenai orang-orang Melayu yang tinggal di daerah pantai adalah bahwa me­reka bukan benar-benar petani melainkan nelayan, pedagang-peda- gang, dan kusir-kusir sado. ’’Rakyat mesti belajar sekali lagi bekerja dan mengolah tanah secara intensif. Mereka mesti dibawa ke luar dari kebutuhan yang nyata dalam mana mereka sekarang berada se­bagai akibat sistem jaluran yang merusak. Mereka mesti menjadi pe- tani-petani yang sungguh-sungguh jika mereka ingin mempertahankan hasil-hasil pertanian yang sekarang mereka nikmati berkat jaluran.”

130

Memorandum Direktur Departemen Dalam Negeri

Lebih satu tahun berlalu antara saat penolakan memorandum Bou- wes Bavinck dan penyerahan memorandum yang baru tanggal 28 De- sember 1938 oelh Direktur Departemen Dalam Negeri.16’ Mungkin se­kali terjadinya kelambatan itu karena diadakan analisis yang luas tentang usul-usul Bavinck oleh Departemen Perekonomian, karena nampak Direktur Departemen Dalam Negeri menunjukkan suatu pe- mahaman yang lengkap atas maksud dan tujuan memorandum terda- hulu dan juga atas kenyataan-kenyataan yang dihadapi para pengusa­ha onderneming tembakau. Meskipun bersedia menyetujui Bavinck dalam masalah-masalah seperti jumlah sewa dan lamanya sewa-me- nyewa jangka panjang, direktur itu mengecam pendekatan me- nyeluruh itu sebagai suatu produk kepentingan diri sendiri dari para pengusaha onderneming yang tidak mempunyai rasa keadilan. De­ngan mengemukakan kekurangan-kekurangan tertentu, direktur itu meminta diadakan suatu penyelidikan yang cermat mengenai cocok tidaknya tanah yang ditawarkan oleh pengusaha-pengusaha onderne­ming untuk pertanian, dan sungguh-sungguh dibenarkan dalam data statistik pihak onderneming sebagai lahan yang cukup memenuhi se­mua tuntutan yang sah.

Direktur itu juga tidak menyetujui begitu saja data statistik pihak onderneming mengenai luas daerah seluruhnya yang disediakan un­tuk dilepaskan. Para pengusaha onderneming menguasai seluas255.000 hektar lahan tembakau dan merencanakan untuk mencadang- kan 209.000 hektar sesuai dengan memorandum Bavinck. Tetapi da­lam masa tenang menjelang zaman malaise, para pengusaha onderne­ming seperti diperlihatkan oleh catatan — memakai rata-rata 17.750 hektar per tahun (kurang dibanding dengan 15.000 hektar pada masa pasca malaise). Dengan penggiliran delapan tahun, luasnya bertam- bah sampai maksimum hanya 120.000 hektar tanah siap-pakai yang diperlukan industri tembakau. Apalagi jika dapat mengurangi penggi­liran dari delapan menjadi tujuh tahun dengan menghilangkan sistem jaluran, maka keperluan tanah bagi perkebunan tembakau menjadi lebih kecil, meskipun ditambah untuk jalan-jalan, emplasemen-em- plasemen, fasilitas-fasilitas lainnya yang bukan pertanian; semua itu tidak akan sampai mendekati 209.000 hektar yang disebutkan dalam usul-usul Bavinck.

Direktur itu tercengang oleh kenyataan bahwa di bawah rencana Bavinck itu industri tembakau akan mampu meneruskan pekerjaan- pekerjaannya tanpa suatu perubahan apa pun yang penting, sementa­ra petani-petani dengan hak-hak agraria akan terpaksa menggantung- kan hidupnya pada jatah-jatah lahan yang sempit berukuran 0,35 hek­tar sawah — dan bahkan kira-kira 85.000 keluarga tidak menerima

131

lahan-lahan sempit ini. Lebih jauh, dengan melepaskan tanah yang, pada umumnya tidak cocok untuk industri tembakau, pengusaha- pengusaha onderneming akan mengurangi daerah yang terkena sewa (jumlah luas kotor) tanpa mengurangi lahan yang cocok untuk produk- si tembakau (jumlah luas bersih). Tindakan-tindakan yang dalam pandangan para pengusaha onderneming dianggap drastis, seperti pengurangan tahun penggiliran, izin penggunaan jaluran satu tahun sebagai pengganti setengah tahun, atau pengurangan jumlah luas la­han tembakau semuanya telah digugurkan oleh Bouwes Bavinck seba­gai sesuatu yang tidak perlu. Sebaliknya direktur itu mengulangi me­nyatakan perlunya menghapuskan sistem jaluran dan dengan lang- sung membenarkan pendapat bahwa rakyat pribumi tidak pantas me­nerima tanah yang baik, mengusulkan supaya semua ladang dilepas- kan untuk pertanian penduduk baik yang dinyatakan cocok untuk per­tanian atau dibuat supaya cocok atas biaya para pengusaha onderne­ming, bukan bendahara negara atau rakyat

Pengkajian yang drastis ini tentu dirasakan sebagai suatu pukulan berat bagi para pengusaha onderneming, walaupun setiap orang yang, belum tunduk kepada indoktrinasi yang hebat yang diadakan selama dan di luar jam-jam kantor, tidak bisa tidak akan mengajukan bentuk pertanyaan-pertanyaan yang sama.

Ikut sertanya Ahli-ahli PertanianSelama hampir sepuluh tahun, masalah pengalihan itu merupakan bidang ahli-ahli hukum, yang menyelidiki perjanjian-perjanjian kon­sesi lama, kontrak-kontrak contoh, undang-undang agraria, dan hukum adat Tetapi mereka juga menerima pendapat pihak para pengusaha onderneming mengenai segi-segi teknis pertanian dalam masalah ini. Dalam tahun 1939 Departemen Perekonomian, dikepalai Dr. H. van Mook, memasuki arena. Ia memperluas cakrawala pembahasan, dan mengajukan beberapa pertanyaan yang sangat penting atas nama pen­duduk pribumi. Langkah pertama adalah menugaskan Ir. J.A. van Beukering untuk meneliti masalah reorganisasi dan pengalihan kon­trak. Van Beukering, yang penyelidikan-penyelidikannya sangat inten- sif mengenai pertanian huma telah membuat dia betul-betul meme- nuhi syarat untuk menilai problema-problema Sumatra Timur. Ia mu­lai dengan meninjau memorandum yang dibuat oleh rekan-rekannya ahli hukum dari Departemen Dalam Negeri171 dan kemudian berhasil mempersembahkan pandangan-pandangan dan usul-usulnya sendiri dalam Nota: nopens de Conversiem) tertanggal 1 Juni 1939.18)

Saya menganggap dokumen ini mempunyai arti sangat penting. Van Beukering menegaskan bahwa pendekatan para ahli hukum tidak cu-

*) Nota mengenai Pengalihan — pent

132

kup dan bahwa penelitian harus dimulai dari kebiasaan-kebiasaan budaya pertanian yang berlaku pada dua belah pihak, para pengusa­ha onderneming dan para petani, dan baru kemudian mempelajari perubahan-perubahan apa yang mungkin dapat dfibuat untuk me- nyelesaikan problemanya. Menyadari ketidakmungkinan melakukan pertanian huma di atas dua sampai empat bau lahan, atau bahkan di atas empat hektar, ia menekankan bahwa kaum tani Sumatra Timur akan harus beralih kepada pertanian ladang permanen yang intensif, baik di atas lahan sawah maupun ladang kering. Tetapi jika seorang petani huma bisa mempunyai tanah yang cukup jauh letaknya dari rumahnya, maka lain halnya dengan petatni ladang permanen. Yang terakhir tak akan sanggup merawat ladang yang terlalu jauh dari ru­mahnya. Ini berarti bahwa para pengusaha onderneming tidak dapat mengharapkan hanya melepaskan daerah-daerah pantai atau tanah tinggi kepada para penuntut, yang kebanyakan tinggal di kampung kampung besar di daerah yang terletak di antara tanah-tanah konsesi.

Van Beukering menolak mendekati permasalahannya dengan men- coba menemukan berapa luas tanah yang harus dilepaskan oleh para pengusaha onderneming untuk memenuhi syarat-syarat hukum yang sah, karena pendekatan seperti itu didasarkan atas kekurangan peng- ertiaen tentang pertanian sistem huma. Sebaliknya ia bertanya, bera­pa luas tanah dapat dilepas dengan aman oleh pemerintah kepada para pengusaha onderneming, setelah mempertimbangkan kepenting- an-kepentingan sosial dan ekonomi yang sah dari rakyat dan setelah memahami bahwa jumlah penduduk pasti bertambah selama tanah itu digunakan oleh para pengusaha onderneming, khususnya di ba­wah sistem sewa-menyewa jangka-panjang.

Tiga kerajaan, Langkat, Deli, dan Serdang — menjelang 1939 indus­tri tembakau dibatasi pada tiga daerah tersebut — mempunyai dae­rah seluas kira-kira 1.100.000 hektar. Dari jumlah ini, perkebunan- perkebunan menguasai 520.000 hektar, jadi tersisa seluas kira-kira580.000 hektar dalam wewenang pemerintah atau dalam tangan orang- orang Indonesia. Sebagian besar dari 580.000 hektar ini terdiri dari hutan atau tanah yang tidak cocok untuk pertanian tanpa penanaman modal yang tinggi, atau karena satu dan lain alasan tidak dapat digu­nakan untuk pertanian. Dari 520.000 hektar yang merupakan wewe­nang onderneming-onderneming, 255.000 hektar adalah milik perusa­haan tembakau dan 265.000 hektar milik perusahan tanaman keras.

Tabel 14 memberikan persentase dari daerah lahan dalam tiga ke­rajaan itu yang dikuasai onderneming atau dipisahkan sebagai ca­dangan hutan dan ’’daerah bebas”.

Masih perlu diungkapkan adalah beberapa data statistik sensus ta­hun 1930, yang memperlihatkan penyebaran perkebunan tidak merata

133

TABEL 14

PER SENTASE D AER AH T A N A H PERKEBUNAN, CADANGAN H UTAN , D A N ’’DAERAH BEBAS”*)

NegaraPersentase Segala Jenis Perkebunan

P e rsen tase Ca- dangan Hutan

Persentase ’’Dae­rah Bebas”

Deli 68 9 23Serdang 53 8 39Langkah 38 38 24

*) Van Lijnden, Monthly Report, April 1940.

meliputi seluruh tiga kerajaan itu. Dalam dfistrik-distrik Deli, Deli Hulu, Padang, dan Bedagei, kira-kira 74% dari tanah itu berada di bawah kekuasaan onderneming-onderneming; di Deli H ilir sebanyak 80%; di Serdang 50%; di Langkat Hulu kira-kira 25%; dan di Langkat H ilir hanya 1,75%. Van Beukering menyimpulkan bahwa industri tem­bakau tidak akan memerlukan lebih dari 120.000 hektar dari jumlah seluruh 255.000 hektar dan bahwa perkebunan-perkebunan tanaman keras tidak akan memerlukan lebih dari 150.000 hektar dan karena itu dapat mengeinbalikan kira-kira 100.000 hektar (lihat Tabel 15). Meski­pun Notanya tidak menjelaskannya secara terperinci, tetapi orang a- kan mendapat kesan bahwa ia tidak menyetujui ditambahnya secara besar-besaran luas tanah bagi tanaman keras oleh ondememing-on- derneming dengan pertimbangan sangat cepatnya pertambahan pen­duduk desa, sebab penduduk tidak ada sumber lain untuk penghasil­an kecuali jadi buruh berkala di perkebunan-perkebunan. Onderne- ming-onderneming tanaman keras sebaliknya, tergantung terutama pada burung-buruh yang didatangkan dari Jawa.

Telah diperkirakan bahwa penduduk Indonesia di Sumatra Timur bertambah dari 90.000 pada tahun 1880 menjadi hampir 1,5 juta tahun 1930. Sensus 1930 melaporkan jumlah penduduk Langkat, Deli dan Serdang (tidak termasuk orang-orang Barat) adalah kira-kira 784.000, dibagi antara 650.000 Indonesia, 119.000 Cina, dan 15.000 orang Asia lainya. Karena 217.000 orang tinggal di onderneming-onderneming dan 95.000 di pemukiman-pemukiman kota, kita dapat memperkirakan bahwa penduduk desa tidak tergantung semata-mata pada pertanian perkebunan untuk sumber penghidupan bagi 472.000 jiwa, atau men- dekati setengah juta. Pertambahan penduduk yang luar biasa ini me­nimbulkan pertanyaan apakah dapat dibenarkan untuk memberikan para pengusaha onderneming hak-hak istimewa untuk selama masa 75 tahun, kecuali jika sumber-sumber poenghasilan baru dapat dicip- takan bagi sebagian penduduk yang tidak lagi mendapat penghasilan pada lahan pertanian atau dibuka daerah-daerah baru di luar Lang-

134

TABEL 15

JENIS PENG G UNAAN TANAH DI LANGKAT, DELI, DAN SERDANG *)

Jenis Penggunaan Tanah Jumlah Hektar

Cadangan Hutan 283.300Konsesi-konsesi Tembakau 255.000Daerah Tembakau yang Tak

Diperlukan 135.000Konsesi-konsesi Tanaman

Keras 265.000Daerah yang Tak Digunakan 105.000Daerah yang Disediakan untuk

Penduduk Pribumi 314.300Daerah yang dapat Disediakan

untuk Penduduk 240.000

Jumlah 1.117.600

*) Van Beukering, Nota, 1 Juni 1939, juga diberikan oleh Haan, Reisrapport No.6, him. 2.

kat, Deli dan Serdang untuk menampung penduduk yang bertambah itu.

Van Beukering juga menganalisis industri tembakau, struktumya, produktivitasnya, dan sumbangan-sumbangannya kepada masyarakat secara keseluruhan. Satu penemuan penting adalah bahwa perminta- an untuk tembakau gulung Deli telah menurun terus-menerus sejak tahun 1930 karena Jerman dan Amerika Serikat, dua konsumen terke- muka, telah mengurangi pembelian mereka untuk produk ini (lihat Tabel 16). Dalam tahun 1930-an, Amerika Serikat membeli hanya kira- kira 3% dari jumlah panen itu, dibanding dengan rata-rata 13% dalam tahun-tahun dari 1919 sampai 1930. Satu faktor penyebab utama da­lam hal ini adalah adanya produksi tembakau tanaman lindung, teru­tama di Connecticut dan Massachustts.

Industri tembakau Sumatra Timur selamanya adalah padat modal, dan terlebih lagi merupakan industri pertanian padat karya, jika ti­dak dapat dikatakan yang terdapat. Untuk panen 1926 industri itu membayar dalam bentuk upah saja, 1.273 gulden per hektar tanah untuk yang ditanami; dalam panen taehun 1937 ini dikurangi menjadi 891 gulden per hektar, tahun 1939 menjadi 873 gulden. Industri itu mempekerjakan 4,8 buruh per hektar dalam tahun 1926 dan 5.7 buruh per hektar tahun 1937. Mungkin tidak semua buruh dipekerjakan se­panjang tahun. Wanita-wanita dan anak-anak, umpamanya, bekerja hanya selama waktu-waktu singkat dan tertentu saja untuk me- nyingkirkan ulat-ulat, dan wanita-wanita sekali lagi menggunakan se­bagian dari tahun itu sebagai pemilah daun-daun tembakau. Meski-

135

L

pun faktor-faktor yang terakhir tidak dihitung, kepadatkaryaan indus­tri tembakau tetap sangat tinggi (lihat Tabel 17).

Selain upah-upah yang dibayar industri kepada angkatan kerjanya yang tetap, juga dikeluarkan biaya besar bagi orang-orang dalam ko- muniti itu untuk jasa-jasa mereka di luar pekerjaan menanam dan memilah-pailih daun tembakau, seperti membuka hutan dan memba- ngun bangsal-bangsaltembakau. Selain pengeluaran-pengeluaran ini kita mesti menambahkan biaya sewa, pajak-pajak, ongkos-ongkos ang- kutan, dan semua pengeluaran lain yang dibuat oleh industri itu di Sumatra sampai produk itu masuk pasar.19) Besarnya pembayaran- pembayaran seperti itu (lihat perincian dalam Tabel 18) menjadi per­hatian bahkan juga pada orang-orang di Departemen Perekonom ian, yang urusannya secara resmi adalah kesejahteraan sektor tani dalam ekonomi Indonesia dan yang cenderung bersikap kritis terhadap pi­hak onderneming itu. Fakta yang tak dapat dihindari adalah bahwa industri tembakau memberikan lapangan kerja bagi kaum buruh da­lam jumlah yang sangat besar. Sebaliknya, van Beukering tidak per- caya bahwa untuk meneruskan sistem pertaniannya yang biasa de­ngan selanjutnya penggiliran tanaeh kosong selama 7 tahun, industri tembakau memerlukan lebih dari 120.000 hektar tanah, meskipun di­gunakan kira-kira 12.000 hektar untuk jalan-jalan, pem ukim an-pem u- kiman, dan maksud-maksud lain yang tidak menghasilkan. Lagi pula, mengingat penghasilan kotor untuk masyarakat pertanian ondeme- ming jauh melebihi penghasilan kotor pertanian rakyat, pemberian120.000 hektar untuk sewa-menyewa jangka-panjang industri temba­kau menurut pendapatnya dapat dipertahankan dalam arti sesio-eko- nomis.

Bagaimanapun Van Beukering sadar bahwa pada saat sewa-me­nyewa jangka 75 tahun akan berakhir, penduduk sudah akan bertam­bah sampai ke tingkat tertentu sehingga hanya rata-rata satu hektar tanah yang dapat ditanami akan tersedia bagi setiap keluarga, diban­ding dengan rata-rata tiga hektar per keluarga yang tersedia di keraj- an kerajaan Langkat, Deli, dan Serdang dalam 1939

Meskipun masalah pengalihan konsesi onderneming yang bergerak l bidang tanaman keras hanya sedikit mendapat perhatian dalam

memorandum terdahulu, van Beukering memeriksanya juga, walau- pun secara sepintas. Sekalipun problem itu kurang mendesak mengi- ngat paling banyak konsesi-konsesi seperti itu akan berakhir agak

kemudian daripada konsesi-konsesi tembakau, pemerintah mempunyai alasan untuk menaruh perhatian secara khusus. Dari ki­ra-kira 650.000 hektar dalam konsesi-konsesi milik ondememing-on- drneming tanaman keras di Sumatra Timur, hanya 342.000 hektar, atau kira-kira 52%, yang sesungguhnya ditanami dengan karet, kelapa

136

TABEL 16

PEMASARAN TEMBAKAU BUNGKUS DELI OLEH NEGERI-NEGERI PEMAKAI (dalam bal)

Tahun Jerman Belgia dan Luxemburg Denmark Amerika

SerikatNegeri

Belanda Lain-lain Jumlah

19Q2 107.961 6.705 9.154 12.577 27.500 19.295 183.1921933 92.641 5.769 10.077 10.987 24846 19.192 163.5121934 100.948 7.692 12564 11.423 23.577 18.398 174.6021935 71.682 6.898 8.872 12551 21.334 16.518 137.8551936 72.243 6.308 10.141 14.231 18.462 16.147 137.5321937 78.321 5.115 9.397 7.513 15.179 15.527 131.052

Sumber van Beukering, Nota, 1 Juni 1939. Tabel diberikan dalam naskah.

£

TABEL 17

LUAS TANAH YANG DITAN AMI, NILAI PANEN, JUMLAH YANG DIBAYAR UNTUK BERBAGAI KEPERLUAN, DAN ANGKATAN KERJA UNTUK INDUSTRI TEMBAKAU ______

TahunPanen

u m 1 a h Hektar yang

Ditanami

Nilai Panen (dalam 1.000

gulden)

Jumlah Pengeluaran (dalam 1000

gulden)

Persentase Pengeluaran

terhadap Nilai Panen

Jumlah Upah (dalam 1000 gulden)

Persentase Jumlah Upah

terhadap Nilai Panen

Upahtambah

Emolumen

Persentase Upah tambah

Emolumen t e r h a d a p

Nilai Panen

10

Jumlah Angka tan Kerja (31

Desember)

192619271928192919301931193219331934193519361937

19.00819.70620.58820.77520.00619.29416.96411.56911.43311.51812.415

72.60080.50071.600 51.20035.900 35.00026.90028.60025.500 30.60030.500 30.400

4440046.500 47.900 50.20042.500 32.400 23.100 16.30015.50015.50015.70019.700

61,257.866.998.0

118,492.685.957.0 60,850.7 51,564.8

24.30026.400 2800029.400 26.70021.400 13.90010.400 10.000 10.100 10.200 11.600

33,532,839.157.474.461.1 51,736.439.2 33,033.438.2

27.90030.500 31.40033.00030.000 22.80015.60011.600 11.100 11.100 11.20012.500

38.437.943.964.583.6 65,158.040.6 43,5 36,336.741.1

93.00096.00098.000

107.000104.00086.00063.00061.00064.00066.000 68.000 74.000

Sumben Van Beukering, Nota, 1 Juni 1939. Tabel diberikan dalam naskah.

TABEL 18

PEMBAYARAN OLEH INDUSTRI TEMBAKAU YANG BERSIFAT KEUNTUNGAN SOSIAL1926 1928 1930 1932 1934 1936 1938

Gaji Orang Eropa 4.750.000 4750.000 4.750.000 3.475.000 2.305.000 2.254.196 2.452.653Upah Orang Indonesia 24.285.274 28.052.945 26.657.155 13.850.951 10.026.537 10.189.693 11.510.755Persediaan 3.167.516 4.753.382 2.795.258 765.373 689.770 703.822 943.334Sewa, dan lain-lain 4895.585 543.725 555.620 488.580 456.792 456.792 469.780Pajak Hindia Belanda 6.050.021 a84ail2 2.753.435 1.672.453 505.529 690.943 1.676.874Pemeliharaan Kesehatan, Nilai Subsidi Beras, Perumahan

3.580.045 3.393.205 2.367.959 1.754.707 1.108,226 1.035.141 793.694

Pensiun 446.259 510.339 504.953 451.732 294.909 203.656 272.915Ongkos Imigrasi dan Repatriasi 1.562.054 1.940.250 1.119.674 620.802 96.355 126.428 157.625Sumbangan yang Sifatnya Bukan Kewa- jiban

39.000 62.000 41.000 60.623 54.449 20.920 10.170

Jumlah 44.369.754 47.854.018 42.544690 23.140.221 15.537.567 15.746.503 18.287.810Daerah Tembakau (dalam ha) 19.008 20.588 20.006 16.964 11.433 12.415 13.228

Penghasilan Sosial Per Hektar yang Dita­nami (dalam gulden)

2.324 2.324 2.120 1.364 1.359 1.268 1.383

Sumber Van Beukering, Nota, 1 Juni 1939. Tabel diberikan dalam naskah.

sawit, sisal, teh, kelapa atau tanaman-tanaman keras lainnya, yang berarti bahwa jika dilakukan pengalihan terhadap konsesi-konsesi ini, sejumlah tanah yang cukup luas mungkin menjadi tersedia bagi pemerintah untuk dibagikan kembali kepada penduduk setempat

Masalah Potensi PertanianPercobaan-percobaan untuk mengukur nilai pertanian yang sebenar­nya dari tanah yang ditawarkan oleh para pengysaha onderneming —- yaitu percobaan untuk menentukan kesuburan tanah, keperluaen-ke- perluan pengendalian air, kecocokan untuk berbagai jenis tanaman, dan penggunaan tanah secara optimum dalam kaitan dengan syarat- syarat pemasaran — sedang berjalan ketika dalam tahun 1940, saya mempunyai kesempatan mendampingi Baron van Lijnden, kepala Bi­ro Pengalihan, pada suatu rangkaian perjalanan inspeksi ke bidang- bidang tanah percobaan di daerah-daerah pantai dan pedalaman. Saya segera mengetahui bahwa Baron van Lijnden menganggap jatah yang diusulkan bagi penduduk terlalu kecil untuk kesinambungan pertanian sistem huma atau bahkan untuk suatu bentuk perhumaan yang disederhanakan dalam mana beberapa tanaman keras juga di- kembangkan. Van Lijnden juga berpendapat bahwa empat bau tanah tidak cukup sebagaei pengganti kepada rakyat yang melepas hak me­reka untuk menggunakan jaluran. Namun, mengingat situasi politik dan ekonomi, rupanya pemecahan satu-satunya yang dapat dilakukan adalah memaksa perubahan pola pertanian di kalangan kaum tani dari perladangan huma ke pertanian ladang permanen yang intensif. Di sini kemudian muncul penghalang yang nyata. Melaksanakan suatu program seperti itu dengan harapan akan berhasil, akan memerlukan jauh lebih banyak data dari apa yang mungkin telah dihimpun oleh van Lijnden dalam dua tahun sejak Biro Pengadilan diberikan wewe- nang untuk melakukan penelitian. Untuk tanah yang mungkin dijadi- kan persawahan suatu percobaan jangka pendek barangkali telah cu­kup, tetapi bagi tanah yang tidak cocok untuk persawahan, sepuluh tahun hanya akan merupakan waktu yang minimum untuk menghasil- kan data yang berarti.

Pada saat kunjungan saya, Van Lijnden sudah menyimpulkan bah­wa rencana membuat jatah dengan ukuran yang sama, tanpa memper- hitungkan mutu tanah atau lereng tanah, tidaklah tepat ditinjau dari segi pertanian dan harus ditinggalkan walaupun ada alasan-alasan hukum yang dikemukakan para ahli hukum.20' Dalam beberapa lapor- an bulanannya, Van Lijnden mendesak supaya dipertimbangkan unit- unit pertanian yang lebih luas, terutama di daerah-daerah tanah ting­gi. Ia berpendapat bahwa empat hektar adalah ukuran minimum pas- pasan di daerah-daerah tanah tinggi dan bahwa pertanian seperti itu

140

akan layak jika satu setengah hektar ditanami dengan tanaman keras seperti kopi dan selebihnya digunakan untuk pertaniaen huma de­ngan penggiliran sekali lima tahun, termasuk untuk ladang tahunan setengah hektar.

Konsensus yang tumbuh di kalangan pejabat pemerintah mengenai hal ini dan segi-segi yang berkaitaen dengan masalah pengalihan itu terlihat nyata dalam memorandum Direktur Perekonomian itu, tera- khir dari dokumen-dokumen sebelum perang yang dapat saya pelaja- ri.21) Ada pengulangan dalam masalah yang telah menyebabkan asul- usul Bouwes Bavinck tidak dapat diterima, yakni berkaitan dengan masa berlakunya 75 tahun bagi kontrak-kontrak baru. Sekali kontrak seperti itu disahkan, maka setiap kesalahan akan sulit sekali diper- baiki. Salah satu dari soal-soal paling penting dalam memorandum terakhir adalah bahwa tanah yang akan dialihkan haruslah dalam keadaan sedemikian rupa sehingga pengembangan pertanian perma- nen dapat diharapkan berhasil di tanah tersebut dalam masa singkat yang layak. Ini akanmungkin jika tanah itu dialihkan ke sawah irigasi— atau sawah tadash hujan — atau dapat ditanami dengan tanaman keras. Apa pun masalahnya, masih lebih banyak penelitian harus di- lakukan untuk menentukan luas yang cocok untuk pertanian-pertani- an mendatang. Selanjutnya kebijaksanaan yang hanya melihat dari segi hukum mengenai pembagian secara seragam empat bau per ke­luarga — masing-masing dua untuk ladang huma dan tanaman keras— supaya dihentikan selama-lamanya. Hanya dengan cara ini, direk­tur itu menekankan, suatu sistem pertanian yang langgeng dengan hasil-hasil memadai dapat dikembangkan, dan yang akan sepenuhnya mengganti kerugian rakyat karena kehilangan jaluran yang berhargaitu.

Patut dicatat di sini bahwa pekerjaan para ahli pertanian dalam tahun-tahun sebelum perang sebenamya akan sangat lebih mudah seandainya perusahaan-perusahaan tembakau itu menyediakan catat- an-catatan dan data mengenai tanah dan produktivitasnya. Perusaha­an-perusahaan itu mempunyai peta-peta tanah terperinci; catatan- catatan mereka memperlihatkan produktivitas setiap hektar tanah tembakau dan nilai tembakau rata-rata yang ditanam di atas tanah itu. Mereka juga tahu onderneming mana yang untungnya tipis dan yang mana yang bruntung besar. Peta-peta merka memperlihatkan tanah-tanah mana yang cenderung mempunyai persentase tinggi dari tanaman tembakau yang berpenyakit dan tanah-tanah mana yang be­bas dari penyakit bintik-bintik daun atau penyakit-penyakit yang lain. Akan tetapi, perusahaan itu menganggap semua data ini rahasia, ti­dak diberikan kepada orang-orang luar dan terutama kepada pejabat- pejabat pemerintah yang bekerja untuk kepentingan penduduk pribumi.

141

Ini semua menjadi lebih menyedihkan, mengingat luasnya dan mu­tu dari banyak penelitian sendiri-sendiri itu. Dalam tahun 1938, um- pamanya, Persatuan Pengusaha Onderneming Deli mempekerjakan seorang insinyur pengairan dan menugaskannya untuk melakukan pe­nelitian tentang kemungkinan pengairan dalam daerah onderneming tembakau. Dalam tempo kira-kira dua setengah tahun, Ir. J.G. Fro- wein menyiapkan sejumlah besar laporan mengenai kemungkinan pengairan dan biaya-biaya pengembangan proyek-proyek seperti itu. Salah satu dari laporannya yang banyak itu menguraikan tentang ta­nah onderneming tembakau di Bulu Cina milik Maskapai Deli, suatu konsesi yang diperoleh tanggal 24 Desember 1882 dengan luas 8.642 hektar.22' Maskapai Deli merencanakan melepaskan 3.000 hektar yang terletak paling dekat ke pantai. Beberapa ratus hektar dari tanah ini tidak pernah ditanami dengan tembakau, karena dianggap terlalu rendah letaknya dan terlalu banyak mengandung garam untuk temba­kau.231 Tetapi, tanah itu pasti dapat digunakan untuk padi dari jenis- jenis tertentu yang dapat menerima beberapa zat sodium klorida, se­perti tumbuh-tumbuhan lain yang ditanam kaum tani di tanah-tanah rendah pantai.

Meskipun tanah seperti itu dilihat dengan kecurigaan oleh pejabat- pejabat pemerintah, Frowein memerintahkan membuang rambu-ram- bu selang-seling jarak-jarak tertentu sepanjang kira-kira 42 kilometer. Rambu-rambu ini memudahkan survei dan penyelidikan terperinci mengenai tanah ini, tetapi lebih daripada itu juga memungkinkan untuk mencatat tinggi seluruh kompleks itu di atas permukaan laut Dengan data ini, Frowein menyiapkan suatu rencana pendahuluan untuk pembuatan terusan-terusan pembuangan air dan menata suatu sistem pengairan, yang aliran aimya akan diambil dari sungai-sungai Belawan dan Diski. Sistem ini tidak menimbulkan problem-problem teknis yang besar sebab dapat dibuat dengan biaya minimum. Dan begitu juga sistem pembuangan airnya. Pengendalian yang sempuma atas air akan memungkinkan rakyat mengairi dan mengeringkan ta­nah-tanah mereka sesuai dengan keperluan tanaman-tanaman mere­ka. Frowein juga menyatakan bahwa karena sungai Belawan memba­wa lumpur yang mengandung pupuk bermutu tinggi, maka tanam-ta- naman itu tidak hanya menerima untung dari air melainkan juga dari lumpur yang dibawa oleh air itu ke dalam ladang-ladang. Menurut perkiraannya, 3.000 hektar yang ditawarkan oleh Maskapai Deli dapat disiapkan untuk diusahakan secara tetap dengan penanaman modal kira-kira 270.000 gulden dan tambahan biaya per hektar bagi tanah sawah baru itu 90 gulden — biaya yang benar-benar sangat rendah, bahkan masih lebih rendah dari biaya yang dibayar pada waktu yang sama di Jawa untuk pemanfaatan tanah yang juga sifatnya sama.

142

Sebuah lagi dari laporan Frowein menguraikan tentang kemungkin- an mengairi kira-kira 4.000 hektar tanah milik konsesi Lingga, Rumah Kinangkong, Rimbun, dan Namu Tumbis. Konsesi-konsesi Rumah Ki- nangkong dan Rimbun terletak di Deli Hulu, Lingga dan Namu Tum­bis di Langkat Hulu. Tanah itu melereng dari ketinggian kira-kira 500 meter di selatan sampai kira-kira 140 meter di utara dan Frowein menguraikan suatu rencana untuk mengairi daerah itu dengan air dari sungai Bingei. Mengingat sifat lerengnya yang landai, maka di- perkirakan air dapat dibagikan dengan biaya 125 gulden per hektar pada tahun 1941, suatu biaya yang juga sangat ringan dibanding de­ngan di bagian-bagian lain di Hindia sebelum perang. (Lihat Peta X III)

Penelitian-penelitian Frowein memperlihatkan bahwa Langkat, De­li dan Serdang mempunyai daerah-daerah luas yang dapat dijadikan persawahan dengan biaya yang pantas. Beberapa bagian dari daerah- daerah ini trletak dekat pantai dan sebagian besar memerlukan pem- buangan air, pembuatan tanggul, dan perlindungan terhadap air laut Yang lain-lain terletak di pedalaman, di mana lereng-lereng alam me- mungkinkan pembagian air dalam proyek-proyek yang membentang dalaem kelompok-kelompok pematang kecil dan panjang dari keting­gian 500 meter menurun ke ketinggian sekitar 200 meter atau kurang. Sungai-sungai dari dataran tinggi Karo atau dari gunung-gunung yang lebih tinggi di Langkat Hulu dan Deli membawa banyak sekali air selama bulan-bulan ketika air diperlukan. Ini ditentukan oleh pengu- kuran-pengukuran setiap hari dan didukung oelh data curah hujan yang telah dihimpun selama bertahun-tahun.

Proyek-proyek Percontohan Pengolahan Sawah di Daerah Pantai Sisir Gunting

Karena persediaan kurang dan harga beras yang memuncak selama Perang Dunia I, orang-orang yang berwenang di Sumatra Timur mulai mencari jalan meluaskan produksi setempat Pencarian mereka untuk tanah yang cocok dipusatkan di daerah-daerah pantai, karena tanah lainnya kebanyakan sedang dikuasai onderneming, ketika itulah da­lam 1917 seorang Pejabat Kehutanan Deli meminta pehatian guber­nur Sumatra Timur untuk Pulau Sisir Guting yang terletak tidak jauh di sebelah barat laut kota pelabuhan Belawan. Dari seluruh tanah seluas ± 10.800 hektar, ± 5.300 hektar ditetapkan sebagai cadangan hutan dan hampir seluruhnya ditutupi pohon-pohon bakau dan nipah. Nipah telah ditanam atas dorongan Orang Kaya Hamparan Perak ke­tika permintaan untuk atap nipah sedang pada puncaknya. Gubernur menugaskan Pejabat Kehutanan itu memulai suatu perkampungan pertanian di suatu daerah yang luasnya kira-kira 3.000 hektar yang ia anggap cocok untuk penanaman padi sawah.

143

L

Semua penghuni perkampungan baru itu, kebanyakan orang-orang Banjar dari perkebunan-perkebunan tetangga di sebelah selatan, me- nerima dua hektar tanah, seperempat untuk pengembangan peka- rangan dan tiga perempat untuk penanaman padi dengan ketentuan lebih lanjut bahwa tanah itu dijadikan pertanian sesudah dua tahun.

Setiap keraguan mengenai kemungkinan dapat tidaknya proyek itu dikerjakan, menjadi hapus oleh panen padi pertama yang sangat me- muaskan dan menarik lebih banyak pemukim baru. Kebanyakan pe- mukim itu terus bekerja sebagai tukang untuk mendirikan bangsal- bangsal pengeringan tembakau bagi onderneming-ondememing dan karena itu tidak menaruh perhatian dalam produksi tanaman musim kering. Selama tiga tahun berikutnya Sisir Gunting tumbuh dengan subur. Pada permulaan 1920 sudah ada di sana kira-kira 500 keluarga dan rencana-rencana telah dibuat untuk memperluas perkampungan itu supaya dapat menampung 500 keluarga lagi. Biaya seluruhnya yang dikeluarkan pemerintah untuk proyek itu sampai tahun 1920 ha­nya kira-kira 8.000 gulden.

Tetapi impor beras mulai meningkat setelah tahun 1920 dan setelah kekurangan beras berakhir, perhatian terhadap Sisir Gunting memu- dar, baik di kalangan pejabat pemerintah maupun di kalangan pemu­kim Banjar. Hanya sedikit yang terjadi di pulau itu sampai tahun 1924 ketika Departemen Pekerjaan Umum melancarkan suatu program perluasan dan perbaikan sistem-sistem pengairan. Selama tahun 1924 dan 1925 sejumlah 25.000 gulden telah dikeluarkan untuk pembuatan tanggul-tanggul, terusan-terusan pengaliran air, dan pintu-pintu banjir otomatis untuk mencegah masuknya air garam pada waktu naik pa­sang dan menyalurkan kelebihan air segar pada waktu pasang surut Pejabat-pejabat pemerintah mengharapkan supaya para pemukim merawat dan memperbaiki pintu-pintu dan terusan-terusan, tetapi pa­da tahun 1926 temyata bahwa para pemukim tidak berbuat demikian dan karenanya perlu menugasi seorang mandor dari Departemen Pengairan dan enam buruh ke Sisir Gunting untuk memelihara peker- jaan-pekerjaan pengairan itu.

Keadaan di pulau itu tetap hampir sama selama tahun 1920-an. Pe- netap-penetap itu menyebar ke tiga kampung — Sisir Gunting, Paluh Kurau, dan Pematang Serai — di antaranya Paluh Karau hingga seka­rang adalah kampung yang terbesar (lihat Tabel 19).

Dua kampung, Sisir Gunting dan Paluh Kurau, hanya didiami oleh orang-orang Banjar; yang ketiga, Pematang Serai, hanya oleh bekas buruh-buruh Jawa yang memilih untuk tetap tinggal di Sumatra T i­mur setelah selesai kontrak-kontrak mereka. Dijalankannya pajak air dalam tahun 1928 dengan jelas melemahkan semangat beberapa penghuni. Antara 1929 dan 1936 pejabat-pejabat pemerintah cende-

144

rung bersikap tak acuh bercampur keputusasaan terhadap seluruh proyek tersebut Suasana itu berubah dengan nyata tahun 1937 sete­lah adanya suatu laporan kepada Asisten Residen Deli dan Serdang oleh Kepala Biro Pengalihan tentang perjalanannya ke pulau itu pa­da awal tahun itu. Laporannya itu,241 yang memancarkan keyakinan dan penuh harapan mengenai kemungkinan pertanian tanah-tanah pantai dan sepenuhnya didukung oleh penemuan-penemuannya di Si- sir Gunting, menyebutkan tentang pertambahan penduduk yang terus- menerus dengan mengalirkan pemukim-pemukim baru, dan mengung- kapkan bahwa kelemahan nyata satu-satunya pada proyek itu adalah kekurangan bimbingan teknik untuk para pemukim, terutama menge­nai irigasi dan sistem pembuangan air. Pemecahannya menurut pen- dapatnya adalah mengangkat seorang mantri (mandor) Indonesia yang berpengalaman dalam masalah-masalah ini supaya mampu melaksa- nakan program-program pemerintah yang diberikan oleh atasan-atas- annya. Menurut Kepala Biro Pengalihan itu, Sisir Gunting mempunyai masa depan yang baik untuk pengembangan selanjutnya menjadi sua­tu daerah tanah persawahan yang berkesinambungan yang memben­tang dari Langkat melalui Deli dan Serdang terns ke selatan, suatu daerah yang sangat baik untuk menjadi gudang beras Sumatra Timur.

Laporan itu membangunkan perhatian ke Sisir Gunting untuk se­mentara. Saya menemukan beberapa keterangan mengenai proyek itu dalam laporan-laporan Biro Pengalihan berikutnya, umpamanya, da­lam laporan van Lijnden bulan Mei 1940 dinyatakan bahwa dinas irigasi setempat sedang memperbaiki sistem pembuangan air, bahwa hasil rata-rata per hektar berjumlah sampai 22,50 kwintal padi atau 13,5 kwintal beras, dan dinas perluasan pertanian sedang menempat- kan seorang mantri Indonesia di Sisir Gunting untuk menyelenggara- kan gerakan pemberantasan hama tikus. Binatang-binatang pengerat ini sebelumnya telah menimbulkan kerugian besar dan gerakan pem­berantasan ini telah meningkatkan hasil padi hampir dua kali lipat

Tetapi keadaan makin memburuk menjelang bulan Oktober 1948 ketika Sisir Gunting menjadi sasaran dari suatu survai yang mende- tail. Kampung Sisir Gunting seluruhnya telah ditinggalkan, Paluh Ku- rau dan Pematang Serai hampir begitu juga; hanya 54 hektar sawah yang masih tetap ada dari 1.825 hektar dalam tahun 1941; pintu-pintu banjir dalam keadaan rusak; tanggul-tanggul dirusak kepiting-kepi- ting; air asin kembali menyusupi tanah pada saat pasang naik. Tidak perlu seorang peninjau yang je li untuk menarik kesan bahwa daerah- daerah luas yang dulu diubah menjadi sawah antara Perang Dunia I dan Perang Dunia II atau ditanami dengan kelapa pada waktu itu, sekarang sedang beralih kembali menjadi belukar pipah.

Bahkan jumlah penduduk terus menyusut menjelang kunjungan

145

saya ke pulau itu dalam bulan Januari 1956, meskipun saya tidak memperoleh data statistik. Diceritakan kepada saya bahwa malaria adalah penyebab utama hilangnya sejumlah besar jiwa manusia, teta­pi kebanyakan keluarga yang telah meninggalkan daerah itu akhirnya tinggal terpencar-pencar di onderneming-onderneming tembakau di selatan pulau. Di mana-mana terdapat tanda-tanda dari masyarakat yang pernah subur dan makmur, sekarang termakan oleh kerusakan yang semakin meningkat, tetapi tak berhasil say? mencari sesuatu petunjuk tentang usaha-usaha yang pernah diadakan untuk menghen- tikan proses itu.

Dalam keadaan bagaimanapun Sisir Gunting, percobaan di sana pasti telah memperlihatkan potensi dari tanah-tanah endapan yang muda di daerah pantai Sumatra Timur untuk penanaman padi sawah. Ditinjau dari segi negatifnya, proyek itu memperlihatkan keengganan penduduk pribumi terhadap pengembangan tanah pertanian sawah selama bagian mereka di tanah kampung di Hamparan Perak dan kampung-kampung lainnya sepanjang sungai Belawan tetap tersedia, disertai dengan hak untuk menggunakan tanah tembakau yang sudah dipanen. Penelitian itu lebih lanjut memperlihatkan kenyataan bah­wa semangat saling menolong, semangat gotong-royong, tidak dikem- bangkan sekuat sebagaimana diharapkan. Andai kata semangat go­tong-royong itu ada, perkampungan Sisir Gunting mungkin tidak me- rana pada saat pengawasan dan dorongan pemerintah dihentikan.

TABE L 19

J U M L A H K E L U A R G A Y A N G T IN G G A L DI PROYEK PER K AM PU N G AN SISIR G U N T IN G

KampungJumlah keluarga yang bermukim

1927 1928 1929 1940 1948

Sisir Gunting ± 420 597 560 ___

Paluh Kurau ± 1180 1194 1126 — 173Pem atang Serai ± 450 522 514 — 162

Jum lah 2050 2313 2200 3000 335Sumber: Angka-angka untuk tahun 1927, 1928 dan 1929 diberikan oleh Pejabat Distrik Labuan Deli dalam suatu laporan, Landbouw sawah kolonisatie Sisir Gunting Desember 1929. Angka-angka untuk tahun 1940 dan 1948 terdapat dalam suatu laporan Hafiz Haberhan, tertanggal 1 November 1948.

Percut

Onderneming tembakau Saentis, bekas Perusahaan Arendsburg.me- luas dengan baik sampai ke dalam daerah-daerah pantai berawa di kedua sisi Sungai Percut Untuk memperbaiki saluran-saluran air di sana perusahaan itu membuat sebuah terusan pembuangan air yang

146

besar tahun 1923 yang mengalirkan air Sungai Percut dalam suatu garis lurus ke Selat Malaka, dan juga dua terusan kecil ke timur dari terusan Percut utama. Terusan-terusan kecil ini mempunyai gerbang- gerbang banjir otomatis untuk mencegah masuknya air asin dan un­tuk mengeluarkan secara berangsur-angsur air garam yang masih ter- sisa dalam tanah. Meskipun bagian paling utara dari onderneming itu ternyata tidak cocok untuk tembakau, sudah dibangun tanggung-tang- gung dan terusan-terusan yang mahal, tetapi selebihnya dari tanah onderneming itu memperoleh keuntungan besar dari investasi modal yang telah dilakukan, sehingga setelah menilai kembali sumber-sum- ber tanahnya, perusahaan memutuskan melepaskan apa yang dinama- kan konsesi Sungai Merah yang berada di sebelah barat sungai, beri- kut tanah di bagian utara (355 hektar) dari konsesi Percut ke timur.

Kejuruan Percut di lingkungan bekas konsesi Sungai Merah mem- berikaen kemungkinan yang baik untuk pertanian padi kepada orang- orang" Jawa bekas buruh yang tinggal di Percut, dan dalam tempo singkat seratus keluarga memajukan permohonan. Setiap keluarga menerima 0,75 hektar, dengan pengetian bahwa semua keluarga itu akan bekerja bergotong-royong membangun saluran pembuangan air dan jalan-jalan kecil yang diperlukan, dan memelihara terusan-terus- an yang melintang di tanah yang telah dibuat oleh onderneming Sam- pali dan Saentis. Di tanah-tanah yang lebih tinggi (pematang, atau teras-teras pantai tua) petani-petani Jawa menanam kelapa, pisang, dan pohon-pohon buah lainnya; tanah yang letaknya rendah diguna­kan untuk penanaman padi sawah selama musim hujan dan untuk menanam kacang tanah, jagung, dan sayur-mayur selama musim ke- ring. Petani-petani Jawa menambah penghasilan mereka dengan be­kerja sebagai buruh berkala di perkebunan-perkebunan tembakau Sampali dan Saentis.

Dalam 1930-an sebuah terusan pengairan dibuat untuk mengambil air dari terusan Percut pada suatu tempat kira-kira 20 km dari Medan di kampung Percut sebelah timur dekat ke sungai Tuan (lihat Peta XIII). Terusan ini memotong dua terusan pembuangan air Saentis, dan tak lama sebelum pecah Perang Dunia II, mengairi suatu daerah seluas 160 hektar, Diketahui juga bahwa proyek irigasi ini dengan mudah dapat diperluas untuk mengairi 800 hektar lagi atau lebih. Saya berkesempatan untuk melihat proyek percontohan ini dalam 1940, ketika saya menemani Baron van Lijnden, yang telah menempat- kan sekitar 65 keluarga dalam proyek ini. Masing-masing keluarga memperoleh satu hektar tanah persawahan. Saya memperhatikan, ter­utama, bahwa padi telah ditanam dalam baris-baris yang lurus mengi- kuti cara Jawa, yang memungkinkan penggunaan alat penyiangan (landak) buatan Jepang.

147

Ketika mengunjungi kembali kompleks pengairan Percut dalam dua kali kesempatan padas tahun 1955, sekali lagi saya dikejutkan oleh ditelantarkannya sama sekali proyek sebelum perang yang memberi harapan itu. Terusan irigasi di situ masih berfungsi sampai di mana terusan itu menyeberangi terusan pembuangan air yang kedua dari Saentis. Tetapi di sini pipa beton yang membawa air irigasi me­nyeberangi saluran pembuangan, telah jatuh ke dalam saluran terse­but dan air irigasi yang sekarang mengalir lewat saluran pembuang­an dibawa ke luar ke laut Ini berarti bahwa proyek irigasi sebelum perang itu tidak menerima lagi setetes pun air dari terusan Percut Tanah itu telah dibiarkan tak berguna selama beberapa tahun dan telah kembali menjadi hutaen belukar. Ironisnya, buruh-buruh yang telah memelihara terusan itu masih dipekeijakan dan tetap memo- tong rumput sepanjang kedua tepi terusan yang kering dan tak diper- gunakan itu. Masalahnya tentu adalah bahwa buruh-buruh kekurang- an perlengkapan untuk mengangkat saluran pipa beton itu ke luar dari saluran pembuangan air itu, dasn hanya karena mengabaikan pemechan problem ini maka sedikitnya seribu hektar antara Sungai Percut dan Sungai Tuan yang sebenarnya dengan mudah dapat diiri- gasikan kembali, telah dibiarkan tak berguna selama bertahun-tahun.

Program Produksi Pangan Darurat

Sumatra Timur, meskipun terkenal ke seluruh dunia sebagai pengha- sil produk ekspor pertanian, tetap merupakan daerah difisit pangan terbesar di Hindia. Selama tahun 1930-an Sumatra Timur menghasil- kan rata-rata tahunan hanya 180.000 ton beras (atau sama dengan jum­lah bahan pangan seperti jagung, ubi jalar, dan singkong), padsahal penduduk membutuhkan pangan hampir dua kali jumlah itu. Produk­si pangan setempat, sebenarnya, bahkan tidak mencukupi keperluan penduduk desa pribumi sendiri. Banyak orang desa, terutama mereka yang tinggal di daerah-daerah tembakau di Langkat, Deli, dan Ser­dang, tidak mempunyai cukup tanah yang dapat ditanami untuk me­menuhi kebutuhan beras mereka sendiri. Orang-orang kota dan pen­duduk perkebunan yang banyak itu, bergantung seluruhnya pada ber­as impor.

Menyadari kerawanan daerah itu terhadap setiap gangguan bahan pangan yang harus didatangkan lewat laut, pemerintah Hindia Belan­da mengambil serangkaian tindakan darurat antara September 1939 dan Desember 1941 untuk menjamin persediaan pangan yang cukup bagi penduduk Sumatra Timur jika terjadi sengketa di Pasifik. Yang pertama dari tindakaen-tindakan ini yaitu, Peraturan Wajib Tanam25' menyerukan suatu intensifikasi produksi pangan oleh kaum tani dan memaksa para pengusaha onderneming untuk menurunkan tanda-tan-

148

da ’’Dilarang Masuk!” dan dengan cara-cara lain memberikan kemu- dahan supaya beberapa dari tanah-tanah mereka dapat digunakan untuk keperluan-keperluan nafkah hidup. Atas permintaan pejabat- pejabat pemerintah setempat, ondememing-onderneming diminta un­tuk melepakan tanah baik yang dikosongkan sementara maupun yang masih cadangan untuk perluasan tanah pertanian masa mendatang. Buruh-buruh onderneming dan bahkan kaum tani yang memerlukan tanah yang tinggal di luar onderneming didorong untuk menanam tanaman pangan seperti padi, jagung, dan singkong di atas tanah yang dilepaskan itu. Walaupun peraturan ini dimaksudkan sebagai suatu tindakan sementara, yang bisa dicabut segera setelah keadaan mengi- zinkan, namun menimbulkan suatu preseden yang penting dalaem ar- ti membuka daerah-daerah onderneming kepada para petani — yang kemudian ternyata tidak rela mengembalikan tanah itu, terutama atas setiap tanah hutan yang telah mereka buka sendiri.

Dengan perintah darurat yang lain para pengusaha onderneming lebih jauh diminta untuk menyimpan persediaan beras yang cukup guna memenuhi kebutuhan buruh dan tanggungan-tanggungan mere­ka untuk enam bulan, dengan perkiraan bahwa setelah enam bulan produksi pangan setempat akan mengisi kekurangan yang ada. Kare­na jagung paling cocok untuk suatu gerakan pangan darurat, maka onderneming-ondernemng diminta lagi untuk menyimpan bibit jagung untuk ditanam segera seandainya pecah perang yang melibatkan Hin­dia Belanda.

Dalam tahun 1939 industri tembakau itu melepaskan 13.500 hektar tanah kosong, yang 3.500 hektar antaranya telah menghasilkan panen tembakau tahun 1939 dan 10.000 hektar lainnya paling akhir pemah ditanami dalam tahun 1938. Segera seelah peristiwa Pearl Harbour industri onderneming tembakau melepaskan lagi 26.000 hektar, se­hingga menjelang 1942 sejumlah 40.000 hektar, atau kira-kira sepere- nam tanah milik ondememing-onderneming tembakau, sudah diguna­kan untuk produksi pangan..261

Ondememing-onderneming tanaman keras dalam tahun 1939 telah melepaskan 37.500 hektar, dari jumlah itu kira-kira 3.500 hektar dibu­ka dan ditanmi di bawah pengawasan dan atas biaya onderneming. Sisanya dibagi ke dalam bidang-bidang kecil untuk dibuka dan dita­nami secara perorangan oleh para petani yang tinggal di desa-desa berdekatan.

Status Upaya Pengalihan pada Saat Pecahnya Perang Dunia II

Proyek-proyek Sisir Gunting dan Sungai Percut adalah yang terbesar, tetapi van Lijnden sedang melakukan percobaan-percobaan kecil di daerah-daerah pantai dan pedalaman ketika Jepang menyerbu Suma­

149

tra Timur bulan Maret 1942. Sayang laporannya yang terakhir belum sempat disiapkan dan banyak data yang dihimpun oleh tiga ahli per­tanian pembantunya dan dia sendiri sudash terang hilang pada saat perang itu.27’

Mengenai perundingan-perundingan pada saat-saat menjelang pe­rang, perhatian dipusatkan kepada masalah berlakunya perbendaan antara penuntut-penuntut golongan ”A ” dan ”B”. Van Lijnden tiba pada kesimpulan bahwa baik dari segi sosio-ekonomis maupun perta­nian, perbedaan itu tidak memberikan sumbangan kepada pemecah- an problem tanah. Kategori ”B” , yang semata-mata menyumbat peng- hidupan sebagai seorang penanam, harus dihilangkan dan semua pe­nuntut harus diperlakukan sama. Usui radikal van Lijnden mendo- rong diadakannya serangkaian rapat dalam bulan Februari 1941 anta­ra pejabat-pejabat pemerintah dan, secara terpisah, antara para peng­usaha onderneming dan sultan-sultan. Pada rapat yang pertama (12 Februari) Persatuan Pengusaha Onderneming Deli sebagaimana telah diramalkan sangat keberatan terhadasp gagasan itu. Asisten Residen J. Gerritsen, yang juga adalah kepala Biro Pengalihan, kemudian (tanggal 17 Februari) menemui Sultan Langkat di istananya. Ia dita- nya oleh Sultan apa reaksi para pengusaha onderneming dan apakah pengusaha-pengusaha onderneming rela melepaskan jumlah yang le-

i besar dari tanah yang dinyatakan dalam perubahan seperti itu. engan berbasa-basi Gerritsen menyatakan jaminan kepada Sultan a wa soal itu telah menjadi perhatian Persatuan Pengusaha Onder-

> Pada raPat yan8 ketiga di Medan (26 Februari) Sultan i itanya apakah adat membenarkan suatu perbedaan antara ra-

Kya yang digolongkan dalam kategori-kategori ”A ” dan ”B”. Jawab- b „ j ’ yan® didukung oleh Tengku Mahkota T. Otteman, tidak ada per- rangan ^u sampai tahun 1932. Tetapi ketika teijadi pengu-yang m as s ^alam penanaman tembakau, karena zaman malaise neming6^ tkan kekuranSan jaluran, maka para pengusaha onder- anta. „ enanSgulanginya dengan memberlakukan sistem golongan antara para penuntut tanah itu.28’

Pen^USa la ondememing merasa tersinggung oleh gerak- a 'PeJabat pemerintah untuk mempersatukan para sultan

hamh f U J 1®311 mereka terhadap usul pemerintah, tetapi hambatan- i - a n f t e r h a d a p perjanjian pengalihan akan berarti keter-

a n-keterlambatan baru dan para pengusaha onderneming tidak erminat untuk cepat-cepat menandatangani perjanjian-perjanjian se­

wa jangka panjang karena ini harus diikuti dengan pembayaran-pem- bayaran uang kunci’ yang besar jumlahnya kepada sultan-sultan itu. Untuk alasan ini, sultan-sultan untuk kepentingan mereka sendiri ingin sekali mengakhiri perundingan-perundingan pengalihan, yang

150

sampai sekarang telah berlangsung selama 14 tahun. Tetapi pecahnya perang telah mengacaukan seluruh perundingan dan juga nyawa se­tiap orang yang bersangkutan yakni para pengusaha ondereming, para sultan, para pejabat pemerintah, dan para petani; dan pecahnya pe­rang itu juga menandai akhir suatu era dalam sejarah Sumatra Timur.

151

Bab VIIPerginya Orang Kulit Putih dan Harta Peninggalannya

Bala tentara Jepang menyerbu Sumatra Utara pada tanggal 12 Maret 1942, mendarat pada dua tempat di Sumatra Timur, Pantai Cermin dekat Medan dan Labuan Ruku dekat Tanjung Balai. Tempat penda- ratan mereka di luar Sumatra Timur ialah di Langsa, Aceh. Unit-unit pasukan Jepang pertama mencapai Medan pada hari berikutnya, dan kira-kira dua minggu kemudian, tanggal 29 Maret, panglima pasukan Belanda di Sumatra Utara menyerah di Kota Cane, di Lembah Alas, Aceh.

Orang-orang sipil Belanda dan bangsa asing lainnya yang berperang melawan Jepang ditahan, kecuali sedikit pengusaha onderneming di- pertahankan oleh penguasa militer sampai akhir tahun 1943 sebagai administratur masa perang. Pada bulan Mei 1943, Kolonel Namura, panglima militer Jepang di Sumatra Timur, menyeruk^n kepada seke- lompok kecil administratur onderneming terkemuka supaya memberi­kan laporan mengenai berbagai industri mereka, untuk digunakan o- leh Jepang dalam merencanakan manajemen perkebunan-perkebun­an itu selama masa pendudukan.1* Tanggung jawab untuk me- nyelenggarakan semua ondememing-asing musuh dilimpahkan kepa­da Noyen Revggo Kai, sebuah badan yang didirikan dalam pertengah- an tahun 1942 untuk maksud khusus ini oleh sekelompok perusahaan besar Jepang. Badan tersebut mempunyai kantor besar di Medan, de­ngan suatu staf kecil Jepang yang dibantu oleh penasihat-penasihat Barat. Para penghubung, diangkat dari antara bekas pengusaha-peng­usaha onderneming, bertugas sebagai penghubung dengan perkebun­an-perkebunan itu.

Menjelang akhir tahun 1942, Noyen Renggo Kai digantikan oleh se­buah badan organisasi administratif baru, Shcman Gomu Kumiai, de­ngan kator besarnya di Singapura, dan segera sesudah itu penghu- bung-penghubung Barat itu digantikan oleh suatu ”grup manajer” Je­pang, masing-masing bertanggung jawab untuk beberapa perkebunan.

Suatu penurunan yang drastis dalam produksi panen ekspor perda­gangan disusul oleh penghentian seluruhnya, karena pasaran berku- rang dan meningkatnya kegiatan kapal selam yang mengganggu pe- layaran. Ondememing-onderneming itu mungkin telah dibubarkan dan buruh-buruh mereka dibiarkan juga bubar tak berketentuan jika tidak ada saran-saran dan bujukan dari penasihat-penasihat Barat itu. Mengingat investasi besar yang diperuntukkan angkatan kerja, para

152

pengusaha onderneming Barat mendesak Jepang supaya tidak meng- ganggu hubungan antara manajemen perkebunan dengan kaum bu­ruh.2’ Dengan demikian, meskipun tanaman-tanaman baru mulai dita- nam seperti kacang, jarak, kapas dan rami, perkebunan-perkebunan itu tetap dipertahankan sebagai lokasi unit-unit kerja. Kelompok pe- nasihat Barat itu juga berhasil meyakinkan Jepang supaya menerus- kan pemeliharaan atas perkebunan-perkebunan tanaman keras, seba- gaimana dilakukan dengan tanaman karet, kelapa sawit, dan teh.

Menghadapi keadaan pangan setempat, penguasa militer Jepang mengikuti dan bahkan memperluas secara besar-besaran program produksi pangan darurat yang diselenggarakan setahun sebelumnya oleh Belanda. Dulu pejabat-pejabat Belanda memerintahkan onder­neming-ondememing tembakau supaya melepaskan hanya 40.000 hek­tar tanah, Jepang memerintahkan pelepasan 160.000 hektar.) Upaya- upaya yang sangat intensif dipusatkan pada perkebunan-perkebunan tembakau di Langkat, Deli, dan Serdang, karena daerah-daerah ini memiliki tanah-tanah terbaik di Sumatra Timur, dan karena pembu- kaan hutan belukarnya yang relatif masih muda hanya memerlukan sedikit tenaga kerja. Selain itu ketiga kesultanan ini mempunyai ke- padatan penduduk yang lebih tinggi, dan karenanya juga kekurangan pangan lebih besar dibanding daerah-daerah lain di Sumatra Timur.

Selama orang-orang Eropa, tetap tinggal di perkebunan-perkebunan itu meskipun mereka sedikit, selalu dapat ditemukan cara-cara untuk memelihara setidak-tidaknya beberapa bidang tanah yang paling ter- pilih. Tetapi setelah orang-orang Eropa yang terakhir ditawan pada akhir tahun 1943 tanah tembakau itu kembali digunakan untuk pena­naman sepanjang tahun, bukan hanya untuk padi, jagung dan tanam­an-tanaman pangan lain melainkan juga untuk serat, kacang-kacang- an, jarak dan tanaman-tanaman industri lainnya yang berguna bagi Jepang. Ini tentu saja menghancurkan sistem penggiliran penanaman yang sebelumnya telah dirawat dengan penuh ketelatenan, dan juga menyebabkan kerusakan-kerusakan tanah yang berat pada semua perkebunan terutama perkebunan-perkebunan di tanah rendah dekat pantai. Sejumlah besar perkebunan tembakau yang tadinya paling produktif, terutama yang dekat ke jalan-jalan raya utama atau kota- kota besar seperti Medan dan Binjai, diambil alih seluruhnya oleh buruh-buruh Jawa, orang-orang desa dan rakyat kota setempat, de­ngan persetujuan penguasa-penguasa Jepang. Dalam banyak hal bu­ruh-buruh asal Jawa dan petani-petani setempat, sekali lagi dengan persetujuan Jepang, menjadikan tanah itu persawahan dan dengan sengaja menghancurkan jaringan-jaringan saluran air yang luas dan mahal itu yang dibuat oleh para pengusaha onderneming sebelumnya.

Meskipun sebagian besar tanah penanaman tembakau akhirnya dia-

153

L

lihkan kepada penggunaan-penggunaan lain, Jepang tidak segera menghentikan produksi tembakau. Tanaman tembakau yang sedang tumbuh di ladang-ladang pada saat penyerbuan Jepang, dipanen dan diolah pada waktunya.3' Panen tembakau 1942 berjumlah 34.000 bal. Panen 1943 menghasilkan tidak kurang dari 40.000 bal. Dalam tahun1944 berkurang lagi, karena Jepang memberikan wewenang hanya ke­pada Maskapai Deli Tua untuk menanam tembakau dan itu pun ha­nya 100 hektar. Meskipun ketika itu semua pengusaha onderneming Eropa telah ditawan, kira-kira 1.000 bal tembakau dengan sempurna diragikan, dipilah-pilih dan dipak. Tetepi selama tahun-tahun 1045 dan 1946 iidak ada tembakau bungkus ditanam di perkebunan-perke­bunan Sumatra Timur.45

Tidak seperti perkebunan tembakau, yang sedikitnya 90% tanahnyab i a s a n y a dibiarkan ditumbuhi semak, perkebunan-perkebunan yang biasanya aiDiarKd tanaman keras tidak mempunyai tanahmengkhususkan din g tanaman produksi pangan, sehingga yang mudahJ^ahhkia P dari cadangan-cadangan yang tidak dita- hutan lebat terpaksa dlbuKa ° „ naman keras dari kebun-kebun vane nami atau menebang £a™ logis adaiah menebang pohon-pohonsedang menghasilkan. C J jika sudah waktunya lahan akan dita- tua atau yang tak ada h^ ^ g diikuti sampai kepada keberangkatan nami kembali; inilah pola ja n g Sementara perang berlangsungorang-orang Barat yang di beberapa tempat ke dalam ling-pembukaan lahan baru g berumur lima tahun atau lebihkungan pohon-pohon karet irauda y a j« . berproduksi. Tentu sajamuda dan karenanya baru J hon.pohon muda; dan kerugian eko- lebih mudah adalah me" cab“J L , hanya merugikan para pengusaha nomi yang besar itu paling-pperkebunan ’’imperialis” . dilengkapi oleh Jepang pada akhir

Data statistik terpennci V* ^ atkan luas tanah yang diambil dari perang dengan jelas memP®rL raS untuk tanaman produksi pangan. tanah onderneming ^anam, rusaytan dalam uidustT;\

vs.M x v pettebunaTv to re t kehilangan 12%, dan industri perkebunan kelapa sawit 167c. Data dalam Tabel 20 tidak memperlihatkan berapa luas pelepasan cadangan-cadangan hutan, tetapi jumlah keseluruhai} barangkali melebihi luas dari tanah perkebunan komersial yang 1- hancurkan.

Tanah yang dimaksudkan untuk produksi pangan dijadikan kebun- kebun masing-masing seluas 0,6 hektar guna diberikan kepada petani- petani yang tidak mempunyai tanah. Bidang-bidang tanah itu dida - tarkan dan perjanjian-perjanjian pinjam tanah ditandatangani. Per- janjian-peijanjian seperti itu berlaku untuk dua tahun dengan keten-

154

TABEL 20

PER UBAH AN SEMASA PERANG DALAM INDUSTRI KARET, KELAPA SA- WIT, DAN TEH DI SUMATRA TIMUR.

Industri

Daerah yang dita- nami mulai 1 Januari 1942. (dalam hektar)

Daerah yang dibuka selama pen- dudukanJe­pang (dalam hektar)

Persentase daerah yang ditanami/di- buka

Daerah yang dita- nami se­lama pen- dudukanJe­pang (dalam hektar)

Karet 258.959 31.932 12 1.802Kelapa Sawit 87.247 13.626 16 1.526Teh 21.464 7.075 33 n.a.

Sumber: Laporan Belanda November 1945 yang tidak diterbitkan, didasarkan atas keterangan yang diberikan oleh pejabat-pejabat Jepang setelah mereka menyerah.

tuan bahwa perpanjangannya dapat dibuat untuk dua tahun lagi. Ri- buan buruh yang tidak mempunyai tanah yang dahulu bergantung kepada rangsum-rangsum pangan yang merupakan bagian dari upah- upah mereka dengan tiba-tiba mampu menanam pangan mereka sen­diri. Banyak di antara mereka meninggalkan bangsal-bangsal perke­bunan, dan mendirikan rumah-rumah sederhana di bidang-bidang ta­nah yang baru mereka peroleh, dan mulai mengembangkan kebun- kebun pekarangan kecil dengan menanam pohon-pohon buah, pohon- pohon kecil dan tanaman pagar.

Barangkali keprihatinan mengenai dua hal, yaitu kekurangan pa­ngan di Sumatra Timur dan mengalimya rakyat ke kota-kota, mendo- rong Jepang untuk memerintahkan pendaftaran penduduk pada tang­gal 10 Maret 1943. Sensus sebelum perang yang terakhir dilakukan tahun 1930. Sensus semasa perang tidak mungkin mempunyai ketepat- an yang sama seperti sensus 1930, tetapi dalam keseluruhan ia lebih dapat dipercaya daripada perkiraan-perkiraan sesudah perang (lihat Tabel 21). Sensus ini mempunyai keistimewaan, terutama karena me­rupakan penghitungan penduduk terakhir yang memerinci orang In­donesia menurut golongan suku. Sensus tersebut menunjukkan per- bandingan jumlah antara orang-orang Jawa, Batak, dan Melayu di Su­matra Timur (lihat Tabel 22). Sementara penduduk sebagai keselu­ruhan telah bertambah dengan 24%. Orang Jawa telah bertambah de­ngan 32,6%. Orang Batak dengan 39,8%, dan orang Melayu dengan ha­nya 15,5% antara tahun 1930 dan 1943.

Satu-satunya data lain mengenai penduduk semasa perang adalah yang dihimpun oleh pejabat-pejabat penduduk Jepang mengenai bu-

155

TABEL 21PENDUDUK SUMATRA TIMUR M ENURUT SENSUS 1930 DAN DATA JEPANG SAMPAI 10 MARET 1943.

Penduduk da­lam 1930

Penduduk pa­da 10 Ma r e t

1943

K e p a d a t a n penduduk ra- ta-rata per kmJ

1943

LangkatDeli dan Serdang Simalungun dan Karo Asahan Kota Medan

254.000460.000370.000338.000 76.000

279.000545.000480.000448.000108.000

44.5 113,074.631.6

7.240,0

Jumlah 1.498.000 1.860.000 58,6

Sumber: Laporan Belanda NovemDer is«u ---------------- -atas keterangan pejabat-pejabat Jepang setelah mereka menyera

ruh-buruh dan keluarga-keluarga mereka yang t^ggal di perkebunan (lihat Tabel 23). Data ini menyangkut w ,dalam kebutuhan pangan, suatu perangkat administra i i dang-undang perburuhan Belanda yang mengharuskan par P ha onderneming menyediakan beras dan rangsum ainnva kaum buruh dan tanggungan mereka. Pada hari-hari se e u P rangsum beras bulanan resmi bagi seorang pna adala <nbagi seorang wanita 16 kg, dan bagi anak di bawah umur kg. Atas dasar rangsum ini, seorang pria dihitung sebagai sa u men penuh, seorang wanita dihitung sebagai 0,8, dan setiap ana bagai 0,5. Pada 1 Januari 1942, ada sejumlah 338.710 konsumen penu dionderneming-onderneming, tetapi pada pertengahan ta un . menurut laporan-laporan yang belum diteliti kebenaranr^a, :jum mereka telah menurun 15% dan berjumlah kira-kira 288.000. rena program pertanian darurat terpusat pada perkebunan tem a .maka jumlah konsumen penuh di perkebunan tembakau te a tambah 12% sementara jumlah mereka di perkebunan tanaman er telah berkurang 24%.

Perkebunan-perkebunan Sumatra Timur menderita pengurang penduduk secara menyeluruh sejumlah 15%, sebagian karena bun* buruh perkebunan itu terkena wajib milisi untuk proyek-proyek pe bangunan demi mendukung aksi perang Jepang. Kehilangan ]iwa antara orang-orang Jawa yang dipindahkan dari perkebunan sanga banyak karena kekurangan pangan dan kurangnya penjagaan kese a an. Buruh-buruh yang tinggal di perkebunan juga menderita kekurang an persediaan obat-obatan, tetapi masih lebih baik dalam hal pangan.

156

TABEL 22

P E N D U D U K SUM ATRA TIMUR DARI GOLONGAN-GOLONGAN SU K U BESAR

Golongan Suku 1930 1943 Persen

Jawa 641.000 850.000 32,6Batak 336.000 470.000 39,8Melayu 225.000 260.000 15,5Cina 158.000 280.000 77,2Lain-lain 138.000 — —

Jumlah 1.498.000 1.860.000 24,6

Sumber: Laporan Belanda November 1945 yang tidak diterbitkan, berdasarkan keterangan yang diberikan oleh pejabat-pejabat Jepang setelah mereka me- nyerah.

TABEL 23

P E N D U D U K PE R K E B U N A N TAH UN 1942 DAN 1945, D INYATAK AN D A ­LAM ’’K O NSUM EN P E N U H ”

Perkebunan’’Konsumen

Penuh”i945

Persentase Jumlah Penduduk Tahun 1945

Dibanding dengan Tahun 1942.

PerkebunanT a n a m a n 257.060 195.800 76KerasPerkebunantembakau 81.650 92.100 112

Jumlah 338.710 287.900 85Sumber: Laporan Belanda November 1945 yang tidak diterbitkan, berdasarkan kete­rangan yang diberikan oleh pejabat-pejabat Jepang setelah mereka menyerah.

Selama pendudukan, propagandis-propagandis Jepang tidak mele- watkan setiap kesempatan untuk merendahkan martabat orang-orang Barat; dan di Sumatra Timur para pengusaha onderneming dipilih sebagai sasaran istimewa mereka. Menurut laporan, hal ini merupa­kan taktik yang kena sekali dari para juru tulis Batak dan mandor- mandor Jawa, yang secara efektif menangani perkebunan-perkebunan itu mulai Oktober 1943 sampai pertengahan 1947. Dalam arena politik, Jepang menyesuaikan propaganda dengan penataan kembali peme- rintahan mereka. Ketika Sumatra, karena alasan-alasan strategi, dipi- sahkan dari seluruh bagian lain Indonesia dan bergabung dengan pantai Selat Malaka lainnya sebagai satu unit administratif di bawah

157

yurisdiksi pejabat-pejabat militer di Singapura, 6) Jepang menekan- kan hubungan-hubungan sejarah dan suku antara Sumatra dan Ma­laya. Dalam tahun 1944, ketika Jepang menciptakan pemerintahan mi­liter terpisah untuk Sumatra dengan kantor besar di Bukit Tinggi, Sumatra Barat, propagandis-propagandis itu beralih kepada gerkan menghasut kebanggaan setempat, membesar-besarkan keinginan Su­matra menjadi otonom dan mengecam Belanda yang telah membuat Sumatra melayani kepentingan-kepentingan Jawa. Dalam bulan Ja- nuari 1945, jabatan-jabatan penting terbuka bagi orang-orang Sumatra dan tiga bulan kemudian Jepang membetuk Dewan Pertimbangan Pu- sat Sumatra. v Tindakan-tindakan masa perang ini memberikan sum- bangan yang besar kepada peningkatan kesadaran politik bagi orang- orang Sumatra dan membuka kedudukan-kedudukan yang bertang- gung jawab kepada orang-orang Sumatra yang sebelumnya tidak per­nah diberikan kepada mereka.

Sumatra Timur dan Kemerdekaan Indonesia

Sumatra dalam Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia diwakili tiga pemimpin politik dari Sumatra Timur: Dr Mohd. Amir, pengacara Tengku Mohd. Hasan, dan Pengacara Abdul Abas. Pada tanggal 19 Agustus 1945, dua hari setelah Proklamasi Kemerdekaan, Panitia itu mengeluarkan sebuah keputusan yang menetapkan Sumatra sebagai satu dari delapan provinsi Indonesia. Presiden Sukarno, yang dipilih oleh Panitia itu sehari sebelumnya, mengangkat Tengku Hassan seba­gai gubemur pertama untuk Sumatra. Tiga wakil Sumatra itu meng- harapkan otonomi dalam urusan-urusan dalam dan luar negeri, tetapi bersedia menerima status propinsi di dalam Republik setelah diba- has dengan utusan-utusan yang lain. Selama berlangsungnya pemba- hasan-pembahasan ini Tengku Hassan mendesak supaya kabinet per­tama Republik itu benar-benar kabin^ Indonesia bukannya hanya tokoh-tokoh Jawa semata-mata. 81 Memang benarlah, kabinet pertama itu memasukkan dua tokoh Sumatra. Amir Syarifuddin sebagai Men- teri Penerangan dan Dr. Mohd. Amir sebagai Menteri Negara (tanpa portofolio).

Dalam perjalanan pulang mereka dari Jakarta, utusan-utusan Su­matra itu mengunjungi kota-kota besar di Sumatra Selatan dan Te- ngah untuk memberitahukan pemimpin-pemimpin politik setempat tentang Proklamasi Kemerdekaan dan pembentukan Republik Indo­nesia dan untuk mendesak supaya didirikan panitia-panitia untuk mendukung Republik itu. Suatu panitia untuk seluruh Sumatra (Kornz- te Nasumal Indonesia: Sumatra) dibentuk di Bukit Tinggi di bawah pimpinan Dr. Gindo Siregar.

Ketika mereka tiba di Medan Dr. Amir dan Tengku Hassan mem-

158

bentuk Komite Nasional Indonesia untuk Sumatra Timur. Meskipun ini ditentang, tanpa hasil, oleh para sultan dan pendukung-pendukung mereka yang mengkhawatirkan hari depan politik mereka sendiri, ter- bentuknya Komite itu mendapat dukungan yang sangat kuat dari go- longan-golongan pemuda.

Di Sumatra Timur, seperti di Jawa, golongan-golongan pemuda me- mainkan peranan yang sangat penting dalam menjamin perjuangan untuk mempertahankan Republik itu. Kepada orang-orang Jepang layak diberikan penghargaan karena telahd melatih dan mengajarkan kepada pemuda Indonesia nasionalisme militan yang tinggi ditambah dengan perasaan-perasaan anti-Barat yang sangat kuat Sumber in- doktrinasi yang penting adalah pusat-pusat latihan pemuda (Seinen Renei Sho), yang diciptakan oleh Jepang untuk memberikan latihan politik dan militer berbarengan dengan kursus bahasa Jepang dalam waktu singkat Di Sumatra Timur mereka menyelenggarakan dua pu- sat latihan seperti itu, satu di Medan dan yang lain di Nagahuta dekat Pematang Siantar, wilayah pegunungan Simalungun. B) Tamatan dari pusat-pusat latihan ini dapat memilih untuk memasuki Gyugun (orga- nisasi Angkatan Drat Jepang) maupun untuk memasuki pemerintahan sipil. Kebanyak dari tamatan Medan menjadi perwira-perwira Gyugun dan dengan demikian menerima latihan militer tambahan.

Peristiwa-peristiwa politik di Sumatra Timur selama masa segera sesudah perang banyak dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan sekelom- pok tamatan pusat latihan Medan yang tinggal dalam suatu asrama di Jalan Fuji No. 6 (sekarang Jalan Jakarta) di Medan pada waktu Je­pang menyerah. Sambil menyampaikan berita tentang telah terben- tuknya Republik Indonesia kelompok ini menyerukan kepada pemu- da-pemuda Sumatra Timur untuk bergabung ke dalam Pemuda Repub­lik Indonesia, dan berjuang demi tujuan negeri mereka. Kelompok inti dari PRI itu termasuk sejumlah bekas perwira Gyugun yang sangat bersemangat yang segera menjadi organisator-organisato dan perwira- perwira komandan dari Tentara Republik Indonesia - TRI. Kemudian nama itu diganti menjadi TNI (Tentara Nasional Indonesia) di Suma­tra Timur, sementara PRI berganti nama menjadi Pesindo (Pemuda Sosialis Indonesia).

Pertempuran-pertempuran pertama antara pemuda-pemuda Repub­lik dan penentang-penentang Republik dilaporkan disebabkan oleh serdadu-serdadu Ambon di Medan yang memaksa pemuda-pemuda jangan memakai pita lengah merah putih dan lencana. Pemuda-pemu­da itu, dilengkapi dengan senjata-senjata yang diperoleh dari Jepang, membalas menyerang. Lama berlangsung rasa permusuhan antara serdadu-serdadu Ambon, yang merupakan bagian terbesar dari Pasu- kan kolonial Belanda, berhadapan dengan kaun nasionalis Indonesia.

159

Pada Konperensi Quebec bulan Agustus 1943, Sekutu seperti juga Je­pang, hanya sedikit menaruh perhatian kepada perbatasan interna- sional antara Malaya dan Sumatra dalam pembagian tanggung jawab militer mereka untuk Asia Tenggara. Seperti ditetapkan oleh Gabung- an Kepala-kepala Staf Tentara Sekutu, maka Komando Asia Tenggara (SEAC = South East Asia Command) di bawah pimpinan Laksamana Mountbatten meliputi Sumatra bersama-sama dengan Malaya, Burma, Thailand, Indocina, dan Hong Kong. Selebihnya dari wilayah Hindia Timur Belanda dimasukkan ke dalam Komando Daerah Pasifik Barat Laut di bawah Jenderal Mac Arthur. Keputusan ini memaksa Belan­da, yang sudah dilumpuhkan oleh sangat kurangnya personalia, untuk membagi stafnya yang kecil itu antara Sri Langka dan Australia didua markas komando itu.

Masih ada kesulitan-kesulitan operasional lebih besar dihadapkan kepada Belanda sesudah perubahan tahun 1945, yakni membagi dae­rah-daerah komando militer. Dengan personalia terbanyak dipusat- kan di Australia, Belanda ternyata tak mampu mempersiapkan diri ketika pada tanggal 15 Agustus 1945 Gabungan Kepala-kepala Staf Sekutu memindahkan seluruh Hindia Timur Belanda ke dalam Ko­mando Asia Tenggara pimpinan Mountbatten. Terhadap perubahan mendadak tersebut, staf Mountbatten ternyata tidak dipersiapkan se­cara baik. Sebagaimana terbukti, SEAC tidak mampu menangani pen- dudukan seluruh Hindia Belanda dan harus meminta bantuan Aus­tralia. Ini berarti keruwetan-keruwetan lebih jauh bagi Belanda, yang sekarang harus membuat garis-garis perhubungan dengan komando militer Australia yang bertanggung jawab untuk pendudukan Borneo (sekarang: Kalimantan, ed.), Sulawesi, Maluku, dan kepulauan Sunda Kecil kecuali Bali dan Lombok. 10) Karena mempunyai pasukan-pasu­kan yang sangat terbatas, SEAC mengeluarkan perintah mempriori- taskan lebih dulu pendudukan Malaya, Singapura, dan Saigon ketim­bang setiap kota pelabuhan di Hindia Belanda. SEAC mendirikan komando pembantu terpisah untuk Pasukan Sekutu di Hindia Timur Belanda (AFNEI = Allied Forces in the Netherlands East Indies) di- kepalai oleh Letnan Jenderal Sir Philip Christison. Pasukanpasukan yang dikirim SEAC ke Indonesia terutama adalah orang-orang India Inggris, sehingga New Delhi juga menjadi terlibat dalam masalah- masalah Indonesia.

Pada akhir September 1945 barulah suatu rombongan pendahuluan perwira-perwira AFNEI Inggris tiba di Medan untuk mulai melaksa- nakan perintah Gabungan Kepala-kepala Staf kepada SEAC: membe- baskan dan memindahkan tawanan-tawanan sipil dan tawanan-tawan- an perang Sekutu; menerima penyerahan pasukan bersenjata Jepang

Tibanya Pasukan-pasukan Sekutu di Sumatra Timur

160

dan mengatur perlucutan senjata dan pengembalian mereka, dan a- khimya memelihara hukum dan ketertiban menunggu penyerahan u- rusan-urusan sipil kepada Belanda. Perintah itu telah ditulis tanpa mempedulikan perkembangan-perkembangan politik yang telah mela- hirkan Republik Indonesia. Tetapi kemudian, suatu hal yang sangat mengkhawatirkan seluruh pejabat Belanda adalah bahwa Kepala-ke- Pala Staf di London dan SEAC, menjelang akhir September, setelah memperhatikan keadaan yang sebenamya di Jawa dan Sumatra, me- mutuskan untuk mengurangi program Sekutu di pulau-pulau itu sam­pai minimum dan mempertimbangkan eksistensi Republik Indonesia. Inilah sebabnya mengapa Sir Philip Christison setibanya di Jakarta meminta bantuan pimpinan Republik dalam pelaksanaan tugasnya dan mengakui wewenang dan tanggung jawab pemimpin-pemimpin Republik untuk pemerintahan di luar pangkalan-pangkalan terdepan yang akan diduduki oleh AFNEI. Ini berarti pengakuan de facto atas berdirinya Republik Indonesia dan penyimpangan yang drastis dari

er]anjian Urusan-urusan Sipil 24 Agustus 1945 antara pemerintah Inggris dan Belanda. n)

Pada 10 Oktober 1945, unit-unit Divisi India ke-26 di bawah koman- do Mayor Jenderal R.C.O. Hedley mendarat di Belawan dan bergerak ke Medan. Pada waktu hampir bersamaan, unit-unit lainnya mendarat - 1 ^tem bang dan Padang. Tetapi dalam setiap peristiwa, komando AFNEI itu mempunyai pasukan-pasukan yang hanya cukup untuk me­melihara suatu pangkalan terdepan yang kecil. Ini secara praktis memberikan kesempatan kepada orang-orang Republik untuk meng- uasai Sumatra dengan waktu yang cukup untuk mengukuhkan peng- uasaan mereka atas pulau itu. Sebenamya, bahkan sejak semula pun Divisi India ke-26 itu tidak menduduki seluruh Medan melainkan membagi kota itu ke dalam sektor Sekutu dan sektor Republik Akan tetapi setelah berlangsung hubungan-hubungan yang pada umumnya ramah-tamah dalam suatu masa yang singkat antara orang-orang India Inggris dan pejabat-pejabat Republik, orang-orang Indonesia disana- smi mulai melancarkan serangan-serangan terhadap unit-unit Sekutu setelah menyadari bahwa pasukan-pasukan India Inggris itu hanya merupakan barisan terdepan dari unit-unit tentara Belanda. Untuk mencegah pertempuran-pertempuran lebih lanjut dan untuk memper- baiki keamanan penduduk sipil Medan, Jenderal Hedley menghapus- kan sektor Republik dan mendorong garis demarkasi ke pinggir kota. Ini dilakukan selama September dan Oktober 1946, sehingga pada 14 Oktober 1946, tanggal persetujuan gencatan-senjata, seluruh Medan dikuasai oleh AFNEI. Menurut statistik yang dihimpun oleh Doortjes selama masa 10 Oktober 1945 sampai 10 Oktober 1946, m Divisi India ke-26 itu menderita 276 korban (8 perwira dan 39 prajurit tewas, sele-

161

bihnya luka-luka) dan sejumlah 65.000 orang Jepang diungsikan dari Sumatra dan masih tinggal 4.000 orang untuk dipulangkan. Unit-unit Belanda yang pertama tiba di Medan pada 25 Oktober 1946, dan pada 18 November Jenderal Hedley menyerahkan komando Medan kepada Kolonel Scholten, panglima pasukan-pasukan militer Belanda di Su­matra. Tepat sebelum akhir bulan itu, Divisi India ke-26 meninggal- kan Medan. Selama gerakan baris-berbaris mereka yang terakhir me­lalui jalan-jalan di kota Medan, satu unit tampak membawa merah- putih bendera Republik. 13)

Kejadian-kejadian di Sumatra Timur di luar Medan

Orang-orang Indonesia di Sumatra, sama halnya seperti di Jawa, mengambil kesempatan dari kekacauan umum salama beberapa minggu pertama setelah Jepang menyerah. Kekacauan-kekacauan se­mentara disebabkan oleh pemindahan Hindia Belanda ke dalam SEAC pimpinan Laksamana Mountbatten, penundaan yang salama ke- datangan AFNEI, dan ketidakmampuan Belanda untuk mengumpul- kan dan mengangkut ke Hindia suatu pasukan militer yang cukup untuk mengatur alat-alat pemerintahan mereka sendiri dan juga mengorganisir suatu angkatan pertahanan. Dalam bulan September1945 pemuda-pemuda Sumatra Timur yang sebelumnya telah masuk organisasi-organisasi militer dan semimiliter yang dibiayai Jepang se­perti Heiho, Peta, Seinendan, Gakutotai, dan Barisan Pel&por bersatu di sekitar RRI, membentuk unit-unit militerdan memperoleh sejumlah besar senjata, mesiu, dan perlengkapan militer lainnya dari tentara Jepang. Pada mulanya senjata diperoleh atas kerja sama secara diam- diam dengan beberapa perwira Jepang tetapi setelah pertengahan Oktober 1945 senjata-senjata itu diperoleh melalu serangan-serangan bersenjata ke kamp-kamp dan pos-pos Jepang.

Sebulan kemudian Pesindo Sumatra Timur secara resmi bubar keti­ka pemimpin-pemimpin Republik mengumumkan penghapusan sis­tem satu partai. Maka bermunculanlah partai-partai baru, masing-ma­sing dengan organisasi-organisasi pemudanya sendiri, dan bekas ang- gota Pesindo itu ternyata dapat diterima dalam setiap organisasi pe- muda baru itu. Pilihan berkisar pada organisasi-organisasi seperti Napindo, berafiliasi dengan PNI (Partai Nasional Indonesia), Pesindo dari PSI (Partai Sosialis Indonesia), Barisan Merah dari PKI (Partai Komunis Indonesia), dan Gerakan Pemuda Ilam Indonesia (GPU), yang berafiliasi dengan Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Do- rongan resmi untuk diciptakannya suatu sistem banyak-partai, keane- karagaman yang besar dari organisasi-organisasi zaman perang, tidak adanya instansi militer yang kuat yang dapat dikendalikan dari pusat, kesemuanya cenderung untuk menghasilkan banyaknya organisasi-or-

162

ganisasi militer dan semimiliter yang tak dapat dikendalikan. Hal itu telah diamati oleh pemerintah Republik sekalipun terlambat selama peristiwa-peristiwa di Sumatra Timur dalam tahun 1946 dan 1947. Pe- mimpin-pemimpin militer mempunyai pandangan-pandangan mereka sendiri mengenai tindakan apa yang harus diambil, dan hanya sedikit menaruh perhatian kepada kebijakan yang ditetapkan pemerintah. Dalam awal tahun 1946, Sumatra Timur mempunyai tiga bentuk unit- unit pertempuran, Divisi Gajah II TRI (Tentara Republik Indonesia), yaitu angkatan darat, dengan markas besamya di Pematang Siantar; golongan-golongan pemuda militer seperti Hizbullah, dan SabiMlah (di- bentuk oleh GPU dari Masyumi), Pesindo (dari PSI), dan Napindo (dari PNI); dan unit-unit Laskar Rakyat yang pengorganisasiannya agak longgar dan yang beroperasi secara bebas di daerah-daerah asli dari anggota-anggota mereka. Di antara laskar-laskar rakyat itu terdapat laskar Harimau Liar daerah Karo, yang beranggotakan sejumlah pe- muda-pemuda Karo yang telah dilatih di Nagahuta.

Semua unit bersenjata ini menerima bantuan dalam berbagai ben­tuk dari pelarian-pelarian Jepang. Pelarian-pelarian Jepang itu, yang jumlahnya menurut taksiran van Mook 14) kira-kira dua ribu, terdiri mulai dari bekas perwira-perwira sampai anggota-anggota pasukan berpangkat rendah, tetapi sebagai pelarian-pelarian termasuk ke da­lam salah satu dari dua golongan, mereka yang telak kawin dengan wanita Indonesia dan yang takut penyelidikan Sekutu tentang kegiat- an-kegiatan mereka semasa perang. Bantuan mereka kepada unit-unit bersenjata Indonesia berbeda-beda sesuai dengan latar belakang pri- badi mereka masing-masing. Kira-kira 20 bekas perwira yang tinggal di Sumatra Timur melatih calon-calon perwira TRI di Brasgati; tekni- si Jepang menjadi terlibat dalam pembuatan granat-granat, ranjau- ranjau darat, dan mesiu lainnya dan mereparasi serta memelihara senjata-senjata dan perlengkapan; 15> dan Inoue, bekas kapten Kem- petai, menjadi terkenal sebagai otak dari Harimau Liar dan unit-unit Laskar-Rakyat lainnya yang beroperasi di Sumatra Timur.

Meskipun divisi-divisi TRI, golongan-golongan pemuda, dan unit-u­nit Laskar Rakyat itu mempunyai banyak persamaan, tetapi banyak juga perbedaan-perbedaan yang semakin menonjol. TRI itu, yang pa­da keseluruhannya mendukung Gubernur Hassan, pada mulanya ti­dak mempunyai perlengkapan yang memadai seperti unit-unit bersen­jata lainnya tetapi dengan cepat membuktikan diri menjadi paling baik disiplinnya dan paling bertanggung jawab. Ini terutama terbukti selama Revolusi Sosial, yang melanda Sumatra Timur dalam awal Maret 1946.

Tanda-tanda kekacauan telah mulai nampak beberapa bulan sebe- lumnya dengan dibentuknya Persatuan Peijuangan cabang Sumatra,

163

oleh unsur-unsur ekstremis kedua pihak kiri dan kanan. Persatuan Perjuangan adalah suatu organisasi di Jawa dipimpin oleh Tan Mala­ka, seorang nasionalis revolusioner yang telah lama berjuang. Se­perti rekan-rekan mereka di Jawa, pemimpin-pemimpin PP (Persatu­an Perjuangan) di Sumatra Timur mengambil pendirian revolusioner yang tak mengenai kompromi - menyerukan supaya dilaksanakan na- sionalisasi atas semua perkebunan dan harga benda asing lainnya, menentang setiap perundingan dengan Inggris atau Belanda, dan me- nuduh sultan-sultan Sumatra Timur mengadakan gerakan di bawah tanah untuk mengembalikan pemerintahan Hindia Belanda dan peng­usaha-pengusaha onderneming Barat Masalah pengusaha-pengusaha onderneming Barat ini menjadi masalah paling dahsyat ketika berita beredar bahwa sultan-sultan dan pangeran-pangeran sedang meng­adakan hubungan dengan Belanda dan siap bekerja sama dengan ha- rapan akan dikembalikan ke dalam kedudukan-kedudukan mereka sebelumnya. Pemimpin-pemimpin PP melancarkan Revolusi Sosial, melakukan suatu pembantaian umum atas kaum feodal Sumatra Ti­mur dan pejabat-pejabat Republik tertentu dan keluarga-keluarga mereka. Hanya sedikit sekali dari kaum feodal itu yang lepas dari maut, terkecuali yang tinggal di sektor Inggris di Medan pada waktu itu dan sejumlah kecil lainnya yang sedang ditawan TRI, termasuk Sultan Langkat, Sultan Asahan, Putra Mahkota Serdang, dan keluarga- keluarga langsung mereka. Sebagian terbesar dari unit-unit Laskar Rakyat, dan unit-unit yang tak teratur lainnya yang digerakan oleh PP menjelajahi tanpa terkendali seluruh Langkat, Asahan, Labuhan Ba­tu, dan bagian-bagian lainnya, membunuh dan merampas di mana- mana. TR I hanya mampu berbuat sedikit, dengan' mencoba menahan gerombolan-gerombolan yang tak mau patuh itu. 17)

Situasi Onderneming Selama Tahun 1946 dan 1947

Sepanjang tahun 1946 dan paruh pertama tahun 1947, manajer-mana- jer onderneming besar tidak mempunyai jalan masuk ke perkebunan mereka, tetapii bersama-sama dengan pejabat-pejabat sipil dan militer Belanda terkurung di Medan dalam kepungan yang ketat yang diper- tahankan oleh pasukan-pasukan Indonesia di sekeliling garis terdep­an itu. Keadaan di garis terdepan menjadi lebih buruk setelah pena- rikan pasukan-pasukan Inggris dalam bulan November 1946. Beru- lang-ulang pasukan-pasukan bersenjata Indonesia mengadakan tekan­an dan bahkan menghentikan penyediaan air serta mencegah pema- sukan bahan-bahan pangan dari pedalaman ke kota, yang dengan sen- dirinya menimbulkan kesukaran yang berat bagi penduduk sipil di Medan. Saling melemparkan tuduhan yang tajam terjadi terus-mene- rus antara pasukan-pasukan Belanda dan Indonesia, masing-masing

164

pihak menuduh yang lain melakukan pelanggaran-pelanggaran terha­dap persetujuan gencatan senjata tanggal 14 Oktober 1946, terhadap garis demarkasi Medan yang disetujui tanggal 7 Desember 1946 sela­ma kunjungan dua anggota kabinet Republik, Amir Sjarifuddin dan Dr. A.K. Gani ke Sumatra; 18) dan terhadap Perjanjian Linggajati. Kesulitan-kesulitan itu, sebagian, ditimbulkan oleh penolakan golong­an-golongan militer Sumatra Timur, terutama pasukan-pasukan ber- senjata yang berada di bawah pengaruh Persatuan Perjuangan, terha­dap Perjanjian Linggajati. Pengikut-pengikut PP menentang teruta­ma ketentuan yang meminta dikembalikannya onderneming-onderne­ming kepada para pemiliknya, dan sebaliknya mendesak supaya se­mua perkebunan dinsionalisasi.

Selama masa ini perkebunan-perkebunan itu memainkan peranan penting dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Perkebunan-per­kebunan itu dikuasai TR I dan golongan-golongan militer lainnya, yang menjual karet dan produk-produk perkebunan lainnya di Malaya, baik secara langsung atau dengan bantuan perantara-perantara Cina. Penjualan-penjualan ini melengkapi dana-dana yang sangat dibutuh- kan untuk pemerintahan Gubernur Hassan dan memungkinkan pang- lima-panglima militer untuk mengorganisasi, mempersenjatai dan me- melihara unit-unit bersenjata mereka. Pejabat-pejabat Belanda de­ngan keras menentang perdagangan ini, yang mereka anggap sebagai penyelundupan. Pada akhir bulan Januari 1947 mereka membentuk blokade laut untuk mencegah ekspor produk-produk perkebunan dari wilayah Republik. Angkatan Laut Belanda memperlakukan semua ko- moditi yang diperkirakan berasal dari perkebunan-perkebunan seba­gai barang gelap. Mereka beranggapan bahwa produk-produk itu te­lah dihasilkan sebelum penyerahan Belanda pada bulan Maret 1942. Pihak Republik sebaliknya menganggap blokade itu sebagai pelang- garan terhadap semangat Perjanjian Linggajati.

Perundingan-perundingan antara Belanda dan Indonesia mengenai pelaksanaan Perjanjian Linggarjati akhirnya berantakan dalam bulan Juli 1947. Dengan menyebutkan satu per satu keluhan-keluhan Belan­da dalam memorandumnya tanggal 20 Juli, Dr. van Mook meminta perhatian khusus terhadap situasi di Medan.

Isolasi kota-kota tertentu, seperti Medan, dari wilayah Republik yang menge- lilinginya, yang mengakibatkan golongan-golongan penduduk yang penting dan terutama Cina terancam oleh kelaparan, belum dicabut, meskipun ada- nya janji dan pernyataan dari pihak Republik bahwa peringah-perintah akan diberikan dalam seminggu dan sebenamya telah diberikan.19’.

Menurut pidato radio Perdana Menteri Amir Sjarifuddin pada 16 Juli 1947, pemerintah Republik telah memerintahkan pejabat-pejabat Sumatra Timur mengakhiri blokade ke Medan, tetapi pernyataan Dr.

165

van Mook menunjukkan bahwa perintah-perintah itu tidak dipeduli- kan. 201

Pada tanggal 21 Juli 1947, pasukan-pasukan Belanda di Sumatra dan Jawa memulai gerakan militer mereka secara besar-besaran ter­hadap Republik. Di Sumatra Timur pesawat-pesawat terbang Belanda menjatuhkan surat-surat selebaran dalam bahasa-bahasa Melayu, Ba­tak, dan Aceh yang'menyatakan bahwa Belanda datang bukan sebagai musuh melainkan untuk mengembalikan hukum dan ketertiban; pen­duduk sipil diharapkan supaya jangan melarikan diri tetapi tetap tinggal di dalam rumah. Pasukan-pasukan lapis baja yang bersenjata lengkap maju ke luar dari garis terdepan Medan dengan tujuan untuk mengembalikan daerah perkebunan Sumatra Timur yang sangat ber- harga itu ke bawah kekuasaan mereka dan dengan demikian membu­ka jalan bagi para pengusaha onderneming, yang tidak kurang dari 21 bulan setelah penyerahan Jepang masih tetap menunggu tanpa sabar suatu kesempatan untuk kembali ke onderneming-onderneming mereka.

Ketika pada tengah malam antara tanggal 4 dan 5 Agustus 1947 perintah gencatan senjata menghentikan tindakan militer itu, pasu­kan-pasukan lapis baja Belanda telah mencapai sungai Wampu di utara, sungai Asahan di selatan, dan pantai-pantai Danau Toba di barat Tetapi meskipun Belanda menguasai kota-kota penting dan da­pat menggunakan jalan-jalan utama di waktu siang hari, merek tidak dapt menyatakan menguasai bagian pedalaman. Dari pedalaman ini pasukan-pasukan pejuang Indonesia, dengan menghindarkan pertem- puran langsung dengan unit-unit Belanda yang terdiri dari pasukan- pasukan lapis baja dan senjata berat melancarkan perang gerilya.

m p ^ 3 Agustus 1947 Belanda secara singkat mengumumkan diri nereka sendiri sebagai tuan dari daerah perkebunan Sumatra Timur, ecuali untuk bagian-bagian yang secara relatif kecil di Langkat Uta- a an selatan sungai Asahan. Dengan demikian Belanda secara sepi- a menetapkan ’’Garis Demarkasi van Mook” di Jawa dan Sumatra.

o]phU Pihak Belanda, kedudukan-kedudukan yang dicapaij , Pasukan-pasukan mereka pada saat perintah gencatan senjata,

daaiah pada tanda batas ’’Garis Demarkasi Van Mook” tersebut yang memasukkan paling banyak daerah perkebunan ke dalam-

ya. Hanya bagian-bagian yang secara relatif kecil di Langkat Utara tp?1 86 31:311 sunSai Asahan yang tetap tinggal diluar garis itu. Akan

api' dalam kenyataannya garis Van Mook itu memasukkan juga dae- F3 3erah yang' masih dikuasai oleh pasukan-pasukan Indonesia. MesKipun ada Perintah gencatan senjata, operasi-operasi militer ber­jalan terus di dalam garis demarkasi, dengan dalih ’’operasi-operasi pembersihan” oleh Belanda.

166

Pejabat-pejabat m iliter mengizinkan pengusaha-pengusaha onder­neming kembali ke perkebunan-perkebunan mereka segera sesudah pasukan-pasukan pejuang Indonesia dikejar-kejar dan menghindar- kan diri. Akan tetapi, berbulan-bulan pengusaha-pengusaha onderne­ming itu terpaksa memelihara pasukan-pasukan pengawal khusus un­tuk mencegah aksi ’’serang dan lari” oleh gerilya-gerilya Indonesia. Menjelang akhir Desember 1947, kira-kira 40 dari sejumlah 43 onder­neming tembakau sebelumperang, 14 dari 26 onderneming kelapa sa- wit, 108 dari 177 onderneming karet, dan 13 dari 16 onderneming teh dilepaskan oleh pejabat-pejabat militer Belanda meskipun belum se­mua di antara mereka kembali beroperasi, baik karena kerusakan berat pada pabrik-pabrik maupun karena tidak adanya buruh.

Para pengusaha onderneming segera mengetahui bahwa Sumatra Timur telah mengalami perubahan-perubahan yang penting selama lima tahun penguasaan Jepang dan Republik Tata sosial yang lama telah dihancurkan; kekuatan para pengusaha onderneming telah sa­ngat melemah; dan buruh-buruh perkebunan serta juga penduduk di luar perkebunan-perkebunan telah diorganisasikan ke dalam serikat- serikat buruh, organisasi-organisasi tani, dan partai-partai politik, se­mua siap untuk menantang hak para pengusaha onderneming itu.

167

Bab VIIIEpilog

Dalam segala kemungkinan yang ada, tidaklah ada daerah tropik yang mengalami pertumbuhan pertanian perkebunan secepat atau menca- pai kemakmuran sesubur Sumatra Timur.

Adalah suatu kemujuran yang luar biasa bahwa Jacobus Nienhuys, yang dikirim dari Negeri Belanda untuk mengembangkan penanaman tembakau di Jawa, mendarat di pinggir Sungai Deli tanpa menyadari bahwa tanah yang diinjaknya sangat subur tiada duanya dan sangat cocok untuk penanam tembakau gulung. Begitu diketahui betapa be­sar nilainya tembakau gulung yang ditanam di tanah Deli dan wilayah Langkat yang bertetangga, berkerumunlah pengusaha-pengusaha on­derneming pencari untung itu ke Sumatra Timur. Penguasa-penguasa setempat, yang rakus akan kekayaan dan tanpa memRedulikan kese- jahteraan rakyat mereka, dengan sangat senang memberikan konsen- si-konsesi kepada semua pendatang — mula-mula untuk masa 90 ta­hun dan kemudian untuk 75 tahun. Dalam suatu ekspansi yang dras- tis, jumlah ondernemin tembakau bertambah dari 22 dalam tahun 1872 menjadi 49 dalam 1880, dan menjadi 148 dalam 1888 (Tabel 3).

Dari segi kekayaan dan kemegahan, pangeran-pangeran kecil Suma­tra Timur tidak pemah mengimbangi pangeran-pangeran Jawa, yang kraton-kratonnya cukup luas untuk tempat tinggal suatu staf yang be­sar dan sejumlah besar pejabat, termasuk ruangan-ruangan yang luas di mana tari-tarian lemah-gemulai dan orkes-orkes gamelan yang ang- gun dimainkan di kala senja. Ciri khas sultan Sumatra Timur adalah bahwa ia tinggal dalam sebuah rumah yang dalam tata bentuk mau­pun bahan bangunannya sangat serupa dengan rumah-rumah rakyat biasa, sebuah rumah yang rangka dan dindingnya berbahan kayu dan papan, beratapkan sirap-sirap nipah. Hanya sedikit lebih besar dari rumah rakyat Tetapi, dengan datangnya perusahaan-perusahaan on­derneming dengan tiba-tiba penguasa-penguasa Sumatra Timur mam- pu membangun tempat-tempat kediaman yang luas dan istana-istana yang besar. Saya teringat akan tempat-tempat tinggal sultan-sultan Langkat dan Asahan dan istana Sultan Deli. Perusahaan-perusahaan onderneming mempersembahkan kepada para penguasa itu hadiah- hadiah yang mahal, perabot rumah yang menarik, pot-pot bunga, ta- plak-taplak meja yang mahal, dan hiasan-hiasan lainnya untuk kamar- kamar penerimaan tamu. Selama kunjungan saya ke istananya, Sultan Deli menyebutkan pengusaha-pengusaha onderneming itu sebagai pe-

168

nyumbang-penyumbang dari sejumlah barang-barang yang sangat ma- hal yang terdapat di ruang besar. Sultan-sultan, putra-putra mereka, dan anggota-anggota lainnya dari keluarga-keluarga mereka telah di­berikan bantuan biaya peijalanan ke Eropa, terutama ke Negeri Be­landa di mana mereka dijamu sebagai tamu kerajaan.

Berangsur-angsur selama bertahun-tahun barulah kementerian da­lam negeri di Negeri Belanda dan juga pemerintahan kolonial di Ba­tavia menyadari bahwa konsesi-konsesi awal, yang dirundingkan anta­ra raja-raja kecil itu dengan pengusaha-pengusaha onderneming tan- pa peran-serta dari seorang wasit yang mewakili kepentingan-kepen- tingan ekonomi dan hukum pihak kawula, adalah sangat tidak adil terhadap rakyat kecil. Serangkaian kontrak contoh disusun, tetapi pa­ra pengusaha onderneming itu keberatan dengan keras terhadap ga- gasan untuk memperbaiki konsesi-konsesi awal. Mengingat kenyataan bahwa pemerintah menyusun kontrak-kontrak contoh dengan maksud untuk menenteramkan ketidakpuasan kaum tani yang semakin me- muncak, sebenamya adalah aneh bahwa pengusaha-pengusaha onder­neming justru memenangkan alasan-alasan mereka dan bahkan men­cegah perbaikan konsesi-konsesi awal itu.

Didorong oleh kekecewaan mereka, tidak jarang para petani itu membakari bangsal-bangsal pengeringan yang penuh dengan daun tembakau panenan. Sebenamya sumber utama dari ketidakpuasan mereka adalah jumlah lahan yang tidak cukup tersedia bagi pendu­duk desa itu.

Akan tetapi, petani-petani itu bukan satu-satunya unsur yang tidak Puas untuk mengambil tindakan keras. Suatu golongan lain dengan" keluhan-keluhan yang gawat adalah orang-orang suku Batak Karo di bawah kekuasaan Sultan Deli, yang keberatan terhadap kesewenang- wenangan Sultan yang menyewakan tanah di pedalaman, di daerah dusun Batak Karo, tanpa memberikan suku Batak Karo bagian mere­ka dari uang yang dibayar oleh onderneming yang bukan milik Sultan itu. Orang-orang Batak Karo yang tidak puas itu mengerahkan orang- orang di bawah komando mereka dan menyerang markas-markas on­derneming yang terletak dalam wilayah dusun Karo. Batavia mengi- rim pasukan-pasukan dari Jawa, menindas pemberontakan itu, dan kemudian menyelidiki sebab-sebab pemberontakan suku Batak Karo itu. Setelah penyelidikan itu menemukan tindakan yang tidak adil di pihak Sultan, Belanda mendesak supaya kepala-kepala suku Batak Karo menerima bagian mereka yang sesungguhnya dari pembayaran- pembayaran itu.

Untuk membuat mereka lebih kuat dalam perundingan-perunding- an dengan pemerintah pusat dan juga dengari penguasa-penguasa Su­

169

matra Timur, para pengusaha onderneming tembakau itu bersatu da­lam suatu perhimpunan.

Meskipun Persatuan Pengusaha Onderneming D eli tidak dapat sela- manya bergantung kepada dukungan pemrintah pusat atau pejabat- pejabat setempatnya namun persekongkolan dengan penguasa-pengu- asa Sumatra dan perjanjian antara sesama pengusaha onderneming mengenai taktik, menjamin bahwa mereka akan berhasil. Didukung oleh penguasa-penguasa kecil, pengusaha-pengusaha onderneming itu melarang penanaman tembakau oleh petani-petani setempat atau o- leh bekas buruh-buruh Cina, dengan maksud untuk mencegah pencu­rian tembakau perkebunan. Sesungguhnya adalah sukar untuk mem- buktikan pencurian itu jika para petani dibenarkan mempunyai la­dang-ladang tembakau mereka sendiri. Untuk memperkuat larangan penanaman tembakau oleh petani, para pengusaha onderneming se- tuju untuk tidak membeli tembakau yang bukan tembakau onderne­ming dan tidak menjual tembakau mereka sendiri di Sumatra Timur; sebaliknya, semua tembakau dikirim ke Negeri Belanda untuk dijual pada pelelangan.

Para pengusaha onderneming itu mengalami kesulitan berat dalam menghadapi larinya buruh-buruh yang didatangkan dari seberang lautan.

Pada awal 1908 Persatuan Pengusaha Onderneming Deli menyaran- kan dilakukan sidik jari dan sistem kartu pengenal yang luas, bukan hanya untuk buruh-buruh di onderneming melainkan juga untuk ka- wuia bebas dari penguasa-penguasa setempat dan untuk orang-orang Cina yang tidak lagi mempunyai ikatan dengan onderneming mana pun. Dalam hal ini, penguasa-penguasa setempat bergabung dengan pemerintah pusat dalam menentang pengusaha-pengusaha ondeme- ming, yang terpaksa mencabut usul itu.

Probkm kedua yang dihadapi oleh manajer-manajer onderneming a alah serangan-serangan terhadap anggota-anggota staf oleh buruh-

uruh onderneming. Hubungan setiap hari antara buruh-buruh dan asisten-asisten Eropa bukan tidak sering menimbulkan dendam yang mendalam di pihak buruh yang mengalami perlakuan kejam dari pa­ra asisten itu, baik dengan kata-kata yang kasar maupun pemukulan yang tak beradab. Kejadian itu mungkin bermula karena baik buruh awa atau buruh Cina tidak begitu mengerti bahasa Melayu sepotong-

iu f r r f ^ yan^ d gunakan oleh asisten-asisten, maupun karena buruh m 1 k a*asan mengapa ia dimarahi. Setiap pertengkaran

enambah ketegangan antara asisten dan buruh sampai sedemikian pa sehingga suatu insiden kecil saja akan membuat buruh itu sa­

ga marah dan dalam kemarahan seperti itu ia akan mencabut pi- aunya dan melukai dengan parah atau membunuh asisten itu. Dalam

170

upaya mengurangi kemungkinan serangan-serangan seperti itu terha­dap asisten-asisten, Persatuan Pengusaha Onderneming bukan hanya mengeluarkan buku kecil yang memberikan petunjuk-petunjuk kepa­da setiap asisten tentang ”apa yang harus dilakukan dan apa yang tidak” dalam menangani buruh melainkan juga melarang buruh mem- bawa pisau atau senjata lain selama jam-jam keija.

Ada perhatian besar terhadap Hindia di pihak masyarakat umum di Negeri Belanda, karena banyak orang yang mempunyai keluarga di jajahan itu, sementara yang lain mempunyai saham-saham dalam per- usahaan-perusahaan di sana. Karena itu tidak mengherankan bahwa pads tahun 1902 masyarakat Belanda sangat terkejut mendengar la­poran Pengacara J. van den Bra id dalam risalahnya tentang perlaku- an kejam terhadap buruh-buruh di banyak onderneming.1’ Pengarang itu adalah seorang pengacara yang berpraktek di Medan. Tudulian- tuduhan itu sangat serius dan pengarang itu adalah sedemikian ter- hormat sehingga tidak mungkin bagi pemerintah untuk mengabaikan- nya. Seorang pemeriksa, Hakim J.L.T. Rhemrev, dikirim ke Sumatra Timur untuk menyelidiki tuduhan-tuduhan Pengacara van den Brand. Laporan Themrev membenarkan tuduhan-tuduhan van den Brand. A- kan tetapi, sepanjang pengetahuan saya, laporan itu tidak pernah di- ungkapkan, juga tak pernah seorang ahli pun diberikan kesempatan untuk menelitinya lebih lanjut Pandangan saya untuk ini adalah bah­wa laporan itu mestinya bahkan akan lebih mengejutkan daripada risalah Brand. Risalah Brand dibahas di Parlemen. Menteri Jajahan, J.T. Kremer, yang pernah bekerja pada Maskapai Deli harus menja- wab pertanyaan-pertanyaan itu, untuk mana ia benar-benar memenuhi syarat, karena ia memegang jabatan penting di Medan sampai tahun 1883. Sebagaimana jawabannya memperlihatkan, ia berada da­lam situasi yang sangat sulit Kremer berpendirian bahwa jika ia sen­diri masih berkedudukan di Medan, tentulah van den Brand tidak mempunyai dasar untuk menuduh para pengusaha onderneming itu dengan cara yang dilakukannya pada tahun 1902. Keterangan Kremer yang agak pincang adalah bahwa, mestilah iklim tropik yang telah menyebabkan terjadinya kemerosotan moral setelah kepergiannya. Dalam hal ini orang dapat bertanya apakah iklim itu telah berubah setelah Kremer kembali ke Negeri Belanda.

Hasil yang segera dari tuduhan-tuduhan van den Brand dan peme- riksaan-pemeriksaan atas. mereka oleh Hakim J.LT. Rhemrev adalah didirikannya Jawatan Inspeksi Perburuan Propinsi Luar, yang dibe- bani tanggung jawab untuk memastikan bahwa pengusaha-pengusaha onderneming tidak menyalahgunakan wewenangnya terhadap buruh, melainkan akan memberikan kepada mereka semua kemudahan yang dibutuhkan berdasarkan hukum.

171

Jelaslah bahwa dalam kepentingan keuangan pengusaha-pengusaha onderneming, buruh yang didatangkan seyogianya tidak kembali ke negeri asalnya, tetapi memperbaharui kontraknya. Tetapi biasanya a- lasan untuk membaharui kontrak adalah habis ludasnya uang sim- panan tabungan buruh itu selama suatu pesta pasar malam yang dise- lenggarakan oleh onderneming pada setiap akhir tahun penanaman di mana segala hiburan termasuk perjudian diadakan.

Pemerintah Hindia Belanda berulang-ulang berusaha menghapus sistem buruh kontrak, tetapi ditentang dengan keras oleh pengusaha- pengusaha onderneming, terutama pengusaha-pengusaha onderne­ming tembakau. Akhimya, adalah Senat Amerika Serikat yang menga- lahkan pengusaha-pengusaha onderneming tembakau dalam hal ini. Pada tahun 1931 Senat AS membuat undang-undang tarif baru yang melarang pengimporan produk-produk yang dihasilkan oleh buruh- buruh hukuman. Undang-undang Blaine Amendment memperluas la- rangan itu dengan mencabut izin impor untuk komoditi yang dihasil­kan oleh buruh kontrak, jika mereka bersaing dengan produk-produk buruh dalam negeri setempat. Ini berakibat kepada tembakau gulung Sumatra tetapi, munafiknya undang-undang itu tidak berlaku bagi ko- moditi-komoditi seperti karet, kelapa sawit, sisal, atau teh, karena itu tidak bersaing dengan produk-produk Amerika. Berhadapan dengan penghambat yang tak diduga ini, Persatuan Pengusaha Onderneming Deli menghapuskan sistem buruh kontrak dan sanksi pidana di se­mua onderneming tembakau yang menjadi anggota.

Sejak pengusaha-pengusaha onderneming tembakau itu, yang dulu gigih mempertahankan sistem buruh kontrak tidak lagi menggunakan- nya, maka pemerintah secara berangsur-angsur sampailah kepada penghapusan sitem itu di semua onderneming lainnya. Undang-un­dang itu tidak menetapkan tanggal akhir bagi penyelesaian pengha­pusan itu; penyerbuan Jepang ke Hindialah melenyapkan kontrak- kontrak buruh yang terakhir.

Sama gigihnya seperti mereka mempertahankan sistem buruh kon­trak, pengusaha-pengusaha onderneming tembakau itu terus-menerus mempertahankan bahwa hanya buruh-buruh Cina yang dapat bekeija sebagai penanam-penanam tembakau. Tetapi tahun 1930, pemerintah pusat menantang aristokrasi pengusaha onderneming tembakau de­ngan mengutip bea imigran seratus gulden untuk setiap buruh Cina yang dibawa dari Cina Selatan. Karena bea imigran baru itu mem­buat buruh Cina terlalu mahal, pengusaha-pengusaha onderneming beralih ke buruh Jawa. Dengan demikian pemerintah mencapai mak- sudnya untuk menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi orang- orang Jawa yang tidak mempunyai tanah. Sekarang para pengusaha onderneming sadar bahwa mereka selama ini keliru menilai orang-

172

orang Jawa. Mereka terbukti merupakan penanam-penanam temba­kau yang terampil, sementara istri-istri dan putri-putri mereka, de­ngan latihan yang tepat, menjadi pengsortir dan penghimpun daun- daun tembakau yang cukup cekatan.

Dari semua daerah tropik yang telah menarik pengusaha-pengusaha onderneming Barat, Sumatra Timur adalah unik dalam pengaturan- pengaturan agraria antara penguasa-penguasa kecil dan pengusaha- pengusaha onderneming asing. Dalam ketiadaan jawatan kadaster atau pemeriksa-pemeriksa batas tanah milik, tidak ada usaha dilaku- kan selama puluhan tahun sebelumnya untuk memisahkan tanah-ta- nah milik kaum tani pribumi dan pemilik-pemilik onderneming Barat Lagi pula, pertumbuhan penduduk secara wajar tidak dimasukkan ke dalam pertimbangan; sehingga dalam 75 tahun tekanan penduduk te­lah menimbulkan suatu kelangkaan tanah.

Karena tembakau adalah tanaman panenan tahunan yang mesti dii- kuti oleh suatu masa pengosongan tanah yang panjang dankarena penduduk tani setempat melakukan pertanian huma, maka menjadi mungkinlah mengkombinasikan dalam satu sistem: penanaman tem­bakau berhuma dengan penanaman padi dan jagung kaum tani pribu­mi yang berhuma pula. Ini sekali lagi adalah suatu pola unik yang tidak terdapat di mana pun di daerah tropik. Pengusaha-pengusaha onderneming tembakau Sumatra Timur adalah satu-satunya pena- nam-penanam berhuma di dunia yang saling menggilir dengan kaum tani dalam penggunaanladang huma. Akan tetapi, kedudukan dari ke- duanya bukanlah sekutu yang sebenamya, melainkan hubungan kolo- nial dalam mana pengusaha onderneming menguasai operasi-opera- sinya. Seorang petani boleh menanami empat sampai lima hektar ta­nah, sementara ratusan petani-petani pribumi masing-masing hanya boleh menggunakan 0,7 hektar jaluran, yang sama sekali tidak cukup sekalipun sekedar untuk menyambung hidup. Dengan dikuasinya sis­tem pertanian oleh pengusaha-pengusaha onderneming tembakau dan dicegahnya petani-petani pribumi untuk meningkatkan kegiatan per­tanian mereka sendiri, tidaklah mengherankan bahwa hak-hak agra­ria yang saling berpaut antara para pengusaha onderneming kolonial dan petani-petani Indonesia sering menimbulkan percekcokan dan perselisihan-perselirihan yang pahit

Pada akhir dasawarsa kedua abad ini, pemerintah pusat RI menca­pai keputusan bahwa konsesi itu mempunyai banyak sekali kekurang- an jika dibanding dengan sewa-menyewa jangka panjang (eifpachten), sehingga sangat mendesak untuk menghapuskan konsesi-konsesi itu dan menggantinya dengan sewa-menyewa jangka panjang. Persoalan yang paling penting adalah pengurangan tanah yang dikuasai oleh

173

onderneming-ondememing dan membagikannya di antara para petani yang kekurangan tanah.

Pendudukan Jepang di Indonesia selama empat tahun yang secara relatif pendek, telah mempunyai pengaruh ekonomi, sosial, dan poli­tik secara mendalam pada bekas koloni itu. Di Sumatra Timur para pengusaha onderneming kehilangan sekutu-sekutu mereka yang sa­ngat berharga, yaitu para penguasa kecil dalam Revolusi Sosial di sana. Para petani dan buruh yang pada masa sebelum perang tidak bersuara kini telah diorganisasikan ke dalam serikat-serikat buruh dan berafiliasi dengan berbagai partai politik yang diwakili dalam parleman.

Masa perkembangan Sumatra Timur ini — dengan berbagai prob­lem yang muncul akibat kolonialisme, yaitu, perjuangan agraria anta­ra petani dan pengusaha onderneming setelah tahun 1949 — dapat diikuti dalam sebuah studi pada buku berikutnya.

174

Catatan

B A B I1. John Anderson, Mission to the East Coast fo Sumatra in 1832, him. 363.2. Ibbetson diminta untuk ’’mengunjungi setiap pelabuhan atau tempat mana

saja yang mengandung arti di pantai; mengumpulkan keterangan yang ter- baik di tempat itu mengenai hal-hal menguntungkan yang berkaitan dengan alam, perniagaan dan politik; tingkat dan sifat sumber-sumber, produksi- produksi, impor dan ekspomya; sifat penghasilan yang sebenamya, dan we­wenang pemerintahannya; jumlah, watak, dan pekerjaan-pekeijaan utama penduduknya; dan juga barang-barang dasar dari perniagaan luar negeri yang dibutuhkan di sana; sifat dan tingkat hubungannya dengan negeri-nege- ri di pedalaman... dan setiap keterangan yang dapat diperoleh mengenai watak, keinginan-keinginan, dan kesulitan-kesulitan penduduk di negeri-ne- geri pedalaman itu” (Anderson, Mission, him. 353-64).

3. Lihat Peta 9b oleh S J. Esser dalam Atlas van Tropisch Nederland (Batavia, 1938).

4. Anderson, Mission, him. 315-16.5. Suatu proses yang sama berlangsung di Pulau Mindanao, Filipina, di mana

Bukidnon, Manabo, dasn anggota-anggota suku-suku lain menjadi berdwi bahasa dasn beralih memeluk agama Kristen sebagai hasil hubungan de­ngan imigran-imigran Visayan Kristen. Orang-orang yang baru saja memeluk agama Kristen ini mulai berpakaian seperti orang-orang Visayan dan meng- hentikan setiap kebiasaari yang akan menyebabkan flicrcka ta/npi S6 Bg3 bukan orang-orang Visayan.

6. Anderson, him. 302.7. Anderson, him. 260-618. Satu kubit sama dengan 45,72 cm.9. Petunjuk-petunjuk halaman di sini dan di bawah adalah pada tulisan Ander­

son, Mission.10. D.G.E. Hall, A History of South-East Asia, him. 441-4211. Anthony Reid, The Contest for North Sumatra: Atjeh, The Netherlands and Bri­

tain, 1858-1898, him. 11-14.12. ”Het inbezitnemen en ontruimen van 6tablissemnten op de Oostkust van

Sumatra,” T'ijdsch.iijt van Nederlansch Indie (1853), bagian 2, him. 225.13. W.H.M. Schadee, Geshiedenis van Sumatra’s Oostkust, bag. 1, him. 59-60.14. John Anderson, Acheen and Its Ports on the North - and East - Coast of Sumatra,

him. V.15. Schadee, bag. 1, him. 89,91 dan 94; Reid, him. 16.16. Artikel 3 berbunyi: ’’Pihak-pihak yang mengadakan kontrak dengan ini me-

nyatakan bahwa setelah saat ini tidak boleh ada Perjajian dibuat baik de-. ngan Kekuatan Pribumi di Pantai-pantai Timur, yang mengandung suatu Artikel yang cenderung, baik dengan sengaja, maupun dengan menjalankan

175

bea-bea yang tak sama, mengeluarkan Perdagangan Pihak lainnya dari Pela- buhan-pelabuhan Kekuatan Pribumi seperti itu; dan bahwa jika dalam Per­janjian sekarang pada suatu Bab, Artikel mana pun dengan tujuan itu telah diterima, Artikel seperti itu harus dicabut pada saat berakhimya Perjanjian yang sekarang.”

17. Reid, him. 31; Schadee, bag. 1, him. 86.18. Schadee, bag. 1, him. 86-87.19. Schadee, him. 91-92.20. Schadee, him. 95-97.21. Reid, him. 38.22. Reid, him. 37.23. Schadee, him. 125.24. Reid, him. 47-48.

B A B II1. Indisch Verslag 1939: II, Statistisch jaaroverzicht van Nederiansch-Indie over het

jaar 1939, him. 2.2. R.W. van Bemmelen, The Geology of Indonesia, IA, 689.3. Ibid, 687.4. Ibid, 689.5. Ibid, 689.6. H.D. Collings, ’’Pleistocene Site in the Malay Peninsula,” Nature, 142 (1938),

575-76.7. van Bemmelen, IA, 691.8. Ibid, 691-93.9. Ibid, 694.

10. Ibid, 686-87.11. Ini ditinjau dalam tulisan J.H. Druif, De Bodem van Deli: H. Mineralogische

onderzoekingen van de bodem van Deli, him. 21-34.12. Ini dan dua sub-bab berikutnya didasarkan atas ringkasan berbahasa Inggris

dalam tulisan Druif, him. 189-190.13. E.CJ. Mohr, The Soils of Equatorial Regions with Special Reference to the Nether­

lands East Indies, him. 468-69.14. Ibid, him. 470.15. Druif, him. 190-91.16. Druif, him. 192.17. Mohr, him. 472.18. R. van de Waal, Richtlijnen voor een ontuAkkelingsplan voor de Oostkust van

Sumatra, him. 16-18.19. Mohr, him. 56-59.20. Daun-daun nipah dilipat pada sebuah bilah yang terbuat dari kayu nibung

(.Oncosperma filamentosum Bl.) dan kemudian dijepitkan dengan seutas tali yang diperoleh dengan memecahkan batang bamban herbakus (Dcmax arun- dastrum Lour, dan D. canniformis K. Schum). Industri atap Sumatra Timur memerlukan daun-daun nipah dan bamban dalam jumlah yang sangat besar sehingga kedua jenis pohon itu benar-benar ditanam oleh tukang-tukang atap.

21. B. Hagen, ’’Die Pflanzen - und Thierwelt von Deli auf der Ostkuste Suma­

176

tra’s,” Tijdschrift van het Kon. NederiandschAardrijkskunding Genootschap, Seri Kedua, 7, (1890), 38-39.

22. Terbanyak kebakaran sepanjang sebelah-menyebelah jalan-jalan umum di- sebabkan keteledoran orang-orang yang berlalu di situ.

23. S.CJ. Jochems, ”De begroeiing der tabakslanden in Deli en hare beteekenis voor de tabakscultuur,” Mededeelingen van het Deli Proefstation te Medan, Seri 2, No. 59 (n.d.) him. 26-27, 77-89.

B A B III1. A. Hoynk van Papendrecht, Gedenkschrift van de Tabak Maatschappij Aren-

dsburg ter gelegenheid van haar vyftigjarig bestaan 1877-1927, him. 20-21.2. Ibid. him. 22. P. van de Arend dan rekan-rekan kerjanya dikecewakan oleh

tembakau yang dihasilkan di Tempeh dan memutuskan tidak memperbarui penyewaan itu. Percobaan itu berakhir dengan kerugian 36.000 gulden.

3. W.H.M. Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust, I, 172-173.4. E. Netscher, ’’Togtjes in het gebeid van Riouw en onderhoorighenden,”

Tijdschrift. voor Indische Tool-, Land- en Volkenkunde, 14 (1864), 342-43.5. Schadee (Geschiedenis, 1, 93) melaporkan bahwa Said Abdullah dilahirkan di

Surabaya, tetapi setelah kehilangan kapalnya di pantai timur Sumatra karena karam, menetap di Deli mengawini seorang saudara perempuan

. sultan. Karena itu Abdullah dipertalikan oleh perkawinan kepada sultan, tetapi sama sekali dia bukan seorang pangeran.

6. A. Hoynk van Papendrecht, him. 26-27.7. Tidak diketahui apakah ini adalah tembakau Deli yang benar-benar pertama

kali tiba di Eropa atau apakah tembakau tanaman Deli telah pernah diteri- ma sebelumnya melalui suatu perusahaan perdagangan Inggris di Penang.

8. A. Hoynk van Papendrecht, him. 30.9. Schadee, 1, 174-75.

10. A Hoynk van Papendrecht, him. 33-34.11. Ibid. him. 32. Pemindahan itu berlangsung tanggal 1 April 1867, Schadee, 1,

176.12. Terjemahan dalam bahasa Belanda dari kontrak itu dalam tulisan A Hoynk

van Papendrecht, him. 36-37.13. Ibid. him. 28. Karena pala tidak disebutkan oleh Anderson sebagai suatu

komoditi ekspor dari Deli dan karena ia tidak memandang ini rempah-rem- pah yang pernah sangat penting, kita mesi menganggap bahwa industri ini dimulai sesudah tahun 1823. Industri pala, seperti industri lada, pr3aktis telah lenyap dari Deli. Sudah pasti dengan segera para pengusaha onderne­ming itu kehilangan perhatian dalam industri pala itu; saya tidak tahu apa­kah ada di antara mereka yang pernah aktif dalam produksi lada. Industri ini tetap dalam tangan penduduk setempat, tetapi karena pengusaha-pengu­saha onderneming segera menguasai seluruh tanah, maka industri lada itu sudah pasti akan hilang.

14. J.AM. van Cats Baron de Raet, ’’Vergelijking van den vroegeren toestand van Deli, Serdang en Langkat met den tegenwoordingen,” Tijdschrift voor Indische Taal-, Land- en Volkenkunde, 23 (1876), 31.

15. Ibid. him. 33.16. A Hoynk van Papendrecht, him. 39.

177

1

17. Consortium diganti menjadi Tobacco Company Arendsburg (N.V. Tabak Maat­schappij Arendsburg) dalam April 1877, dengan modal 750.000 gulden. Jika ditinjau kembali pada 15 tahun selama Consortium bekerja, dapat dilihat bahwa tahun-tahun pertama adalah tahun-tahun terjadinya kerugian-kerugi- an yang berat; selama waktu Nienhuys menjadi administratur, Consortium itu terus-menerus mengalami defisit. De Munnick sudah mampu me- nyeimbangkan pengeluaran dan pendapatan selama jangka waktu dari ta­hun 1867 sampai 1871. Kemudian tahun 1872 memperlihatkan suatu kerugian kira-kira 12.000 gulden, tetapi tahun-tahun berikutnya yakni tahun 1873,1874, dan 1875 - menghasilkan keuntungan-keuntungan yang besar berjumlah kira- kira 220.000 gulden. Tahun terakhir dari Consortium itu, 1876, sekali lagi mengalami kerugian kira-kira 4.450 gulden. (Lihat A. Hoynk van Papen- drecht, untuk data bersejarah yang lengkap mengenai kegiatan-kegiatan van den Arend dan Consortium.) Perusahaan baru itu sangat berhasil selama masa dari 1927: hanya dalam 10 tahun perusahaan itu membayar dividen berjumlah sampai 100% atau lebih dari nilai nominal saham-saham yang dipakai dan dalam 1906 dividen-dividen mencapai 170% dari nilai nominal. Perusahaan itu akhimya ditampung oleh Maskapai Deli dalam tahun 1952.

18. Schadee, 1, 180.19. Ibid. 181-82.20. Deli Maatschappij, Gedenkschrift bij gelegenheid van het vijftigjarig bestaan,

him. 11.21. Ibid. him 54-55.22. Senembah Maatschappij 1889-1914, him. 44.

BAB IV

1. B. Hagen, ’’Die Pflanzen-und Tierwelt auf der Ostkiister Sumatra’s,” Tijdschrijt van het Kcm. Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, seri kedua, 7 (1890), 38.

2. Buah-buah peti dimakan dalam jumlah-jumlah kecil karena rasanya yang pedas, sedikit menyerupai rasa bawang putih. Pete itu juga mempunyai pengaruh yang merangsang mengeluarkan air kencing lebih banyak.

3. Pohon tualang tumbuh menjulatlg sangat tinggi dan mempunyai batang-ba- tang yang besar. Kayu itu pecah dengan buruk, sama sekali tidak tahan lama, tetapi sangat keras dan berat Seperti sering terjadi di Asia Tenggara dengan kayu-kayu yang nilai penggunaannya sangat rendah, tualang itu dipercayai berhantu. Inilah mungkin sebabnya pohon-pohon itu dibiarkan tak ditebang; orang-orang Batak penebang kayu menolak menebangnya. Alasan lain dibe­rikan kadang-kadang adalah bahwa tualang adalah sejenis pohon tempat bersarang yang disenangi lebah-lebah liar. Karena orang-orang desa tidak ingin kehilangan sumber-sumber madu mereka, mereka mempertahankan supaya pohon-pohon itu jangan ditebang. Dari dua alasan itu, yang pertama tampak kepada saya adalah lebih masuk akal.

4. Disebutkan ’’daun-daun tanah” karena hujan memercikkan butir-butir tanah ke atas daun-daun yang lebih rendah ini.

5. R. Broersma, Oostkust van Sumatra, Bagian I (De ontluiking van Deli), him. 126- 27.

178

6. C.J.J. van Hall dan C. van de Koppel, esd., De Landbouw in de Indische Archi- pel, 3,466-67.

7. De Bevolkingsrubbereidtuur in Nederlandsch Indie, Bag. VI, him. 16.8. B.B.M.M. van Suchtelen, Nederlands nieuwe eereschuld aan India; Peter

Bauer, The Rubber Industry: A Study in Competition and Monopoly, him. 65-73, 209.

9. Bauer, him. 209.10. Dalam bulan September 1907 tujuh raja Simalungun menandatangam apa

yang dinamakan Korte Verklaring (Pemyataan Singkat) dalam mana mereka mengakui kedaulatan Belanda, berjanji tidak akan melakukan hubungan- hubungan politik dengan negeri-negeri asing, dan setuju untuk mengikuti undang-undang dan peraturan-peraturan yang dibuat oleh pemerintah Hin­dia Belanda.

11. A.A.L. Rutgers, Investigations on Oilpalms, him. 1.

BAB V1. K. van der Molen, Bevolkingsgrond en concessierecht ter Oostkust van Sumatra,

him. 9.2. Ibid. him. 12.3. Ibid. him. 11.4. Ibid. him. 13.5. W.H.M. Schadee, Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust, 1, 187-203; P.J. Veth,

”Het landschap Deli op Sumatra”, Tijdschrift van het Nederlandsch Aard- rijksundig Genootschap, 2 (1877), 162-65.

6. R. Broersma, Oostkust van Sumatra: I. De Ontluiking van Deli, him. 69.7. E.A. Halewijn, ’’Geographische en ethnographische gegevens betreffende

het Rijk van Deli”, Tijdschrift voor Indische Tool-, Land-, en Volkenkunde, 23 (1876), 147-52.

8. Untuk sejarah kontrak-kontrak contoh, lihat HJ. Bool, Landbouwconsessies in de Residentie Oostkust van Sumatra, him. 6-17; dan untuk teks dari empat kontrak contoh ini, ibid. him. 122-38.

9. Ibid. him. 37.10. Catatan-catatan perusahaan tentang keluarga-keluarga di daerah-daerah

konsesi akan memberikan suatu keterangan yang sangat berguna tentang pertumbuhan penduduk di Sumatra Timur, karena hal itu menyangkut ke- pentingan onderneming untuk menyimpan catatan-catatan dengan hati-hati. Sejauh yang saya tahu, tak seorang pun yang telah menggunakan data itu.

11. Dalam naskah aslinya bagian ini berbunyi: "alle hoofden van huisgezinnen, hetzij tijdens, hetzij na de uitgifte op de concessiegrxmdm gevestigd en die volgens de inheemse insteUingen te rekenen zijn tot de rechthebbenden op grond.”

12 Bool, him, 79.13. Bool, him. 117-19.14. Bool, him. 19.15. J.G.W. Lekkerkerker, Ccmsessies en erfpachten voor land bouwondememingen in' de Buitengewesten, him. 89.16. Lekkerkerker, him. 9017. Bool, him. 53-56; Lekkerkerker, him. 94.

179

18. J. de Ridder, De invloed van de westersche cultures op de autochtone bevolkingter Oostkust van Sumatra, him. 25.

19. Suku Batak Karo mempunyai lima margo. utama - Tarigan, Ginting, Karo- Karo, Perangin-angin, dan Sembiring - masing-masing dibagi lagi ke dalam sejumlah cabang marga. Suku Batak Simalungun mempunyai empat marga utama - Damanik, Sinaga, Saragih, dan Purba - masing-masing dibagi lagi ke dalam sejumlah cabang marga. Suku Batak Toba dibagi ke dalam sejumlah cabang marga yang lebih banyak daripada suku Karo maupun suku Simalu­ngun, bahkan sekalipun jika kita gabungakan cabang-cabang marga Karo dan Simalungun.

20. C.J. Westenberg mengawini seorang putri kepala suku Batak Karo di dataran tinggi itu, menjadi ahli yang mungkin terbaik mengenai adat Karo, dan ada­lah penolong dalam menciptakan kekuasaan Belanda atas dataran tinggi Karo kira-kira 50 tahun yang lalu. Tulisan-tulisannya adalah sumber yang paling berharga untuk data antropologi, sosiologi, dan ekonomi mengenai suku Batak Karo, keduanya di dataran tinggi Karo dan di negara-negara pantai Sumatra Timur.

BAB VI1. Kesempatan-kesempatan menanam modal dicari di mana-mana di daerah

tropik, tetapi Hindia Belanda mempunyai beberapa keuntungan ketimbang daerah-daerah lain. Umpamanya, keduanya US Rubber dan Goodyear ber­hasil memperoleh sejumlah besar tanah di Sumatra setelah berbagai upaya untuk memperoleh sejumlah tanah yang sama di Filipina gagal. Di Filipina undang-undang membatasi luas tanah, dengan demikian perusahaan dapat meminta hanya sampai 1,024 hektar saja; Hindia Belanda tidak mengenai pembatasan seperti itu.

2. J.G.W. Lekkerkerker, Concessies en erfpachten voor land bouwondememingen in de Buitengewesten, him. 66-70.

3. Sumatra Post, 5 April 1899 dan 7 Agustus 1902, sebagaimana dikutip oleh J. van den Brand, De MiUioenen uit Deli, him. 15-17.

4. Dalam hubungan ini, dapat terungkap perbandingan antara hubungan pemi- lik-pemilik perkebunan dan anggota-anggota dari jawatan Jajahan Inggris yang bekerja di seberang Selat Malaka di Semenanjung Malaya. Latar bela­kang sosial dari pejabat-pejabat Inggris dengan sekolah umum mereka dan latihan universitas Oxford-Cambridge membuat mereka mampu mengambil suatu pendirian yang lebih bebas, dan mampu menolak usaha-usaha para pemilik onderneming dan pedagang-pedagang untuk mempengaruhi kepu- tusan-keputusan mereka.

5. HJ. Bool, De Landbouwconsessies in de Residentie Oostkust van Sumatra, him. 58.

6. Ibid. him. 65.7. J. de Ridder, De invloed van de westersche cultures op de outochtone bevolking

ter Oostkust van Sumatra, him. 43.8. Comelis van Vollenhoven, De Indonesie en zijn grond, him. 83-90.9. Armin von Oefele, ”Het plantagevraagstuk in de Bataklanden,” Kokmiale Stu-

dien, 3 (1919) 312-€7.10. Penentangan yang serupa dari suku Batak Karo dataran tinggi menyebabkan

180

gubemur Sumatra Timur menutup tanah Karo bagi pertanian perkebunan Barat Orang menemukan dalih bahwa semua penentangan ini adalah kare­na digerakkan oleh pekabar-pekabar Injil dan pejabat-pejabat yang dipecat secara tidak hormat, tetapi jika rakyat telah diyakinkan bahwa mereka seca­ra keuangan akan beruntung atau sebaliknya atau bahwa hari depan ekono­mi mereka sendiri akan teijamin, maka sangatlah diragukan bahwa mereka akan mendukung upaya-upaya orang-orang yang menentang perkembangan onderneming itu.

11. Undang-undang Sewa Jangka Panjang untuk wilayah-wilayah yang dikuasai secara tidak langsung di luar Pulau Jawa dan Madura (Erfpachts-ordonantie vocrr de zeljbesturende landschappen buiten Java en Madura), diterbitkan dalam Staatsblad 1919, No. 61, mulai berlaku tanggal l'Februari 1920 di wilayah- wilayah yang penguasa-penguasanya telah menandatangani apa yang dina- makan Pernyataan Singkat Undang-undang itu tidak dapat diberlakukan kepada wilayah-wilayah yang penguasa-penguasanya telah menandatangani apa yang disebut Kontrak-kontrak Jangka Panjang tanpa modifikasi dari kontrak-kontrak politik ini. Untuk alasan ini Undang-undang Sewa Jangka- Panjang tidak berlaku di Langkat, Deli, dan Serdang sampai tanggal 1 De- sember 1938 (Staatsblad 1938, No. 628 dan 676) setelah Kontrak-kontrak Jang- ka-Panjang diperbaiki pada tanggal 16 Juni 1938.

12. Inleidende nota van de Inspecteur van Agrarische Zaken in verband met de expi- ratie binnen korte tijd van de termijnen waarover ter Oostkust van Sumatra landbouwconcessies zijn uitgegeven (Nota Du Marchie Sarvaas), 31 Maret 1929 (tidak diterbitkan).

13. Nota van de Inspecteur van Agrarische Zaken — Nota Bastiaans. 5 Agustus 1933 (tidak diterbitkan).

14. Brief van de Resident belast met het bestuur over het Gouvemement Oostkust van Sumatra (MM (U G0M,Vrnev-r Generaal van Nederlandsch Indie, 9 Oktober 1937

( 154/C.BJGeheim) (tidak (litGrbltkflfl)'15. Ibid.16. Brief van de Directeur Binnenlands Bestuur aan de Gouvemeur Generod (flO. A.I.

9/1/13/Geheim) bertreffede conversie van landbouwconcessies in erfpacht ter Oos­tkust van Sumatra, 28 December 1938 (tidak diterbitkan).

17. J.A. van Beukering, Verslag nopens de conversie van landbouwconcessies in er- fpacht ter Oostkust van Sumatra, 6 Maret 1939 (tidak diterbitkan).

18. J.A. van Beukering, Nota: Nopens de conversie van landbouwconcessies in er- fpacht ter Oostkust van Sumatra, 1 Juni 1939 (tidak diterbitkan).

19. Ini mencakup pelayanan-pelayanan kesehatan, ongkos-ongkos perumahan, nilai beras dan bantuan-bantuan lain yang dibagikan kepada para buruh, ongkos pemondokan buruh-buruh dan keluarga-keluarga mereka, uang pen- siun, dan ongkos penerimaan buruh-buruh baru dan pengembalian mereka.

20. Para pengacara, yang benar-benar mengikuti kaidah hukum, tidak hanya menolak pada dasamya setiap penambahan luas dari jatah-jatah itu melain- kan juga menyatakan dengan tegas bahwa tetap menggunakan bau adalah bertentangan dengan hektar yang lebih luas sebagai unit daerah. Hukum yang memilih yang terbaik ini mengingatkan saya kepada suatu gerakan yang gagal dalam tahun 1945 oleh lobiis-lobiis di Washington untuk kepentingan- kepentingan gula Kuba supaya kuota gula Filipina diubah dari ton panjang

181

menjadi ton pendek. Hasilnya tentu akan mengurangi kuota sebenamya de­ngan 10%.

21. Brief van de Directeurvan Economische Zaken (no. 2337/4/Geheim), 3 September 1940 (tidak diterbitkan).

22. J.G. Frowein, Rapport nopens den waterstaatkundigen toestand en de hierop gebaseerde agrarisch economische mogelijkheden van de ter gelegenheid der aan- staande conversie op de Onderneming Boeloe Tjina aangeboden gronden (Medan, 15 Oktober 1940, mimeo).

23. Para pengusaha perkebunan telah mengetahui melalui pengalaman bahwa tanah di bawah dua meter dari permukaan laut mengandung kadar zat ga- ram yang terlalu tinggi dan karena itu tidak cocok untuk penanaman temba­kau. Zat garam dari tanah-tanah itu disebabkan masa pembentukannya yang secara relatif masih muda; tanah-tanah ini telah terbentuk pada endapan- endapan yang ditinggalkan air sesudah surut yang sangat muda, yang kena air garam setiap hari sehingga menyusup ke pedalaman melalui jaringan anak sungai, sungai kecil dan besar dan dengan jelas mempengaruhi air tanah. Kemungkinan yang terakhir ini akan menerangkan mengapa meski­pun tanah-tanah yang tidak lagi dicapai oleh air laut masih mengandung sejumlah kecil garam.

24 Kepala Biro Pengalihan menyerahkan sebuah laporan berjudul KoUmisatie Sisir Gunting (no 73/C.B./24 Maret 1937) kepada Asisten Residen Deli dan Serdang.

25- TeeUdwang-Ordonnantie, dalam Staatsblad 1939, No. 538 dan 539.26- FJJ. Dootjes, Kroniek 1939, him. 68.

tfdak data mengenai proyek-proyek percontohan sawah ini hilang dari arsip-arsip Jawatan Pertanian. Salinan-salinan dari laporan-laporan Lijnden mungkin telah tersimpan dalam arsip-arsip lainnya, tetapi saya ber- hasil menemukan hanya sedikit laporan-laporan bulanan untuk tahun 1940. lcryf0 Lan®kat’ Pada suatu rapat di istananya di Binjai pada tanggal 12 April 938, telah mengambil pendirian yang sama, mengumumkan bahwa pemba­

gian menjadi penuntut-penuntut ”A ” dan ”B” tidak dapat diterima dan lebih anjut mengemukakan bahwa jika sistem jaluran harus dihapuskan maka

juga akan ada larangan terhadap praktek memberikan jaluran kepada bu- ruh-buruh, mandor-mandor, juru-juru tulis, penjaga-penjaga, tukang-tukang

angsal tembakau, dan pegawai-pegawai perkebunan lainnya sebagai bagi- r,ari upah mereka. Sebuah laporan oleh J. Gerritsen tentang rapat tanggal

h dikeluarkan di Medan pada tanggal 19 Februari 1941 diawah judul ’’Kent verslag vandeopl7Februari 1941 gehouden besprekingen ten

PQleize van den Sultan van Langkat te Bindjei inzake de nieuwe inzichten betrqf- fcnde het grondenvraagstuk bij conversie". Rapat tanggal 26 Februari 1941 di

antor Kerapatan di Medan dilaporkan dalam tulisan J. Gerritsen, ’’Kent uersZag van de op 26 Februari 1941 gehouden besprekingen ten Kerapatan kantore • „ n *nzate de nieuwe inzichten betreffende het grondenvraagstuk bij conver­

se . (tidak diterbitkan)

B A B VII1. Di antara administratur-administratur itu, W.G.C. Walgrave, G.G. van Kooy,

J.C. Groenenberg, L.M. Reuvers, P.W. Janssen, dan F.R. Kramer.

182

2. ”The Dependence of the Economic Existence of Sumatra’s East Coast on the Main­tenance of Industrial Agriculture” (Medan, tanpa tanggal) adalah salah satu dari banyak laporan yang tidak diterbitkan yang ditulis untuk pedoman bagi Kolonel Namura.

3. Suatu kasus dilaporkan tentang salah seorang administratur diperingatkan dengan keras karena memerintahkan penghancuran kebun tembakau di la­dang dan mempertahankan perintahnya dengan alasan bahwa tanah itu sa­ngat diperlukan untuk penanaman panen-panen pangan.

4. R. Jongens, ”Overzicth van de tabakscultuur in Deli gedurende de bezettingsjaren 1942-1945,” Economisch Weekblad voor Indonesie, 14 (1948) 622-24

5. Dari sekian banyak onderneming, yang tertua terletak dekat pusat adminis- trasi atau sekeliling pabrik, sementara tanah-tanah hutan termuda terletak pada jarak yang sangat jauh. Peta-peta sesudah perang dari ondememing- ondememmg ini, memperlihatkan faktor usia dalam pemilihan tanah yang dibuka untuk produksi pangan darurat Suatu peta dari pembukaan hutan masa perang di Onderneming Wingfoot milik Perusahaan Karet Goodyear merupakan suatu pola pembagian yang agak baik dari bidang-bidang bem- kuran sama empat persegi panjang. Karea Wingfoot tidak mempunvai iS k tanah cadangan yang cukup maupun tanah-tanah hutan vaneka administratur itu telah memutuskan untuk menebang semua p e ik yang telah ditanami dengan sejen.s karet tertentu yang ditemukan mutSnya lebih rendah dan jenis-jenis lain yang ditanami di bidang-bidangya£?berte

6' ^ A . Zorab, De Japanse bezetting van Indonesie en hoar volkenrechtelyke zijde,

7. Willard H. Elsbree, Japan’s Role in Southeast Asian m1940 to 1945, him. 112-15. n Movements,

8. Mohd. Amir, "Nieuw Sumatra” De Opdracht, No. 34-38 .•oleh J.J. Dootjes, Kroniek 1941-1946, him. 80. UMb)’ sePertl dikutip

9. Pusat Iatihan di Nagahuta diselenggarakan oleh Kant^nwira Kempetai yang memperoleh pengaruh besar di ten«.h J18’ se° rang p®r‘ pemuda Simalungun dan Karo. Pusat Iatihan itu d i n S S ; a'an Latihan Pemuda Tani, atau (Pusat Latihan Pemuda Tan?) '

10. HJ. van Mook, Indonesie, Nederland en de wereld, him. 78-7911. Ibid. him. 88-89; Alastair M Taylor, Indonesia Independence and the United

Nations, him. 5-11.12. Dootjes, Kroniek 1941-1941, him. 62-63.13. Ibid. him. 63.14 Van Mook, Indonesie”, him. 139.15. Dootjes, Kroniek 1941-1946, him. 96.16. George McT. Kahin, Nationalism and Revolution in Indonesia, him. 172.17. Mereka yang beruntung ditawan oleh TRI di Simalungun — di Pematang

Siantar, Raya, dan Bah Birong Ulu — dibebaskan ketika pasukan-pasukan Belanda menduduki daerah itu dalam bulan Juli 1947. Dalam peti Bank Negara Indonesia di Pematang Siantar, intan berlian dan barang-barang berharga lainnya milik tawanan-tawanan itu ditemukan tetapi barang-ba- rang rampasan oleh gerombolan-gerombolan sesudah adanya perintah-per-

183

intah dari pimpinan PP itu tidak dapat ditemukan; Medan Bulletin, 2, No. 173,1 Agustus 1947.

18. Dootjes, him. 5919. Charles Wolf, The Indonesian Story, him. 182.20. Dootjes, Kroniek 1947, him. 31-32.

B A B VIII1. van den Brand, De Milioenen uit Deli, Amsterdam, 1902.

184

Daftar Karya Karl J. Pelzer

^ Arbeiterwanderungen in Sdost-Asien. Eine mrtschafts-und bevolkerungs-geogra- phische Untersuchung. Hamburg, 1935. (Disertasi).

Japanese Migration and Colonization’ and ’Bibliography on Migration and Set­tlement’ in Limits of Land Settlement. Prepared under the direction of I- saiah Bowman. Council on Foreign Relations, New York, 1937, him 155-194; 339-372.

Plantation Labor Migration in India' in Comptes Rendus duCongres International p de Geographic, Amsterdam, 1938. Jil HIA. Leiden, 1938 hlm^ 65-75.

°Pulation and Land Utilization. Jil. I karya Economic Survey of the Pacific Area.^ New York. 1941

, Colonization in Southeastern Asia. New York, 1945.nah Sabrang and Java’s Population Problem, Far Eastern Quarterly, Jil. 5, No.

the Truk Islands’, % " S vi 'l i ' ^’ jj® Philippine Abaca Industry’, Far 1950,251-66.'TT^^nesia _ A Changing Frontier’, W ° ^ ^ the world Today, Edited by

Resource Pattern of Southeast Asm’ « Swt Asia

S S E S «. 1—“ «■*Grtm,h Tw-G ectrvphyrf “ fftjjippmes. 1950. Part III-

n 1 Southeast Asia - General. 1949. Part ’Rb- Malaya. Human Relations Area 1 > 1952, 391-404.’Thpe^ !ement ^ Malaya,’ The Yale Re^ ' J L . Peasant or Plantation Grop?’ in

future of the Philippine Abaca nd ^ ow7res5) 7,1953,190-95.*Ri» feed ings of the Sevent Pactfte ^ cie7r nrrt(>nt in the Republic of the Philip-Rural problems and P lans for Rural Tropical and Sub-

Pines’ in Programmes and Plans J institute of Differing Civiliza­t i o n Countries. Bruxelles: International

Cn»v, tions’ 1953< 257-70. ntiniities’ in Africa Today, C. Grove Hai-mrnentary on Africa’s Economic Potentialities in w

’The .nes- Baltimore, 1955, 412-19. Pnvific Affairs, 30, No. 2,1957,151-59. ’La®.Agrarian Conflict in East Sumatra, in proceedings of the Ninth^ Utilization in the HumidYh „Paeific Science Congress, 1957. *>, xa ’ theast Asia and its Outlook’ in Pro-

e History of Plantation Agriculture1 1957_ 3) Bangkok, 1963,149-156.•j. ceedings of the Ninth Pacific Scierux since 1945> in proceedings cf

ass Migration and Resettlement in Southeast185

the Ninth Pasific Science Congress, 1957,3, Bangkok, 1963,189-194.’The Impact of Science in Southeast Asia’, Sixth National Conference of the

United States National Commission for UNESCO, Nov. 6-9, 1957, Science and Technology in Asia and their Social Impact, 1957, 15-31. United Asia, II, No. 3,1959, 241-45.

’Western Impact on East Sumatra and North Tapanuli: The Roles of the Planter and the Missionary1, Journal of Southeast Asian History, 2, No. 2,1961,66-71.

’Western Impact on East Sumatra and North Tapanuli: The Roles of the Planter and the Missionary1 Proceedings of the XXV International Orientalist Cong­ress, Moscow, 1960. Vol. 4, Moscow 1963, 296-301.

Contributed to Indonesia, Edited by Ruth T. McVey, New Haven, 1963.1. Physical and Human Resource Patterns, 1-23, 475-479.4 The Agricultural Foundation 118-154, 498-504The American Geographer’s Concern with Southeast Asia’, Paper read at the

Annual Meeting of the AAS, 1963.Notes from the Desk of the President of the Association for Asian Studies',

_ Newsletter of the ASS, XII, 2, Dec. 1966.Man s Role in the Changing of the Landscape of Southeast Asia’ in Journal of

Asian Studies.West Malaysia and Singapore: A Selected Bibliography. HRAF, New Haven. 1971.’In Defence of the Kainginero’ in Filipino Heritage, 1974Planter and Peasant; Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Sumatra,

1863-1947, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal, Landen Volkenkunde 84, The Hague, Martinus NijhofT, 1978.

’Swidden Cultivation in Southeast Asia: Historical, Ecological, and Economic Perspectives’, Peter Kunstadter et al. (eds.), Farmers in the Forest: Economic Development and Marginal Agriculture in Northern Thailand, University Press of Hawaii, Honolulu, 1978, 271-286.

Planter and Peasant

IN PRESS OR GOING THE PRESS:Pioneer Settlement in the Asiatic Trorpics.’The Politics of the Sumatran Pepper Trade: Competition between New England

Captain-Traders and the British and Dutch East India Companies’. Medan, Sumatra.

186

Daftar Kepustakaan

Advies van de Agrarische Commissie, ingesteld bij het Gouvemements Besluit van 16 Mei 1928 No. 17, Landsdrukkerij, Weltevreden, 1930.

Agrarische Regelingen voor de Zeljbesturende Landschappen in de Gewesten buiten Java en Madoera, Dept van Binnenlandsch Bestuur, Afdeeling Agrarische Inspectie, Weltevreden, 1919.

Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Ooskust van Sumatra,Verslag, 1 Januari 1939-31 December 1939 Verslag, 1 Januari 1938-31 December 1938 Verslag, 1 Juli 1936-31 December 1937 Jaarverslag, 1 Juli 1935-30 Juni 1936

Allen, G. C. and Audrey G. Donnithome, Western Enterprise in Indonesia and Ma­laya; a study in economic development, New York, 1957,

Anderson, John, An Exposition of the Political and Commercial Relations of the Government of Prince of Wales Island with the States on the East Coast of Sumatra, Prince of Wales Island, 1824.

Anderson, John, Mission to the East Coast of Sumatra, in MDCCXXIII, under the Direction of the Government of Prince of Wales Island: Including Historical and Descriptive Sketches of the Country, and Account of Commerce, Population, and the Manners and Customs of the Inhabitants, and a Visit to the Batta Cannibal States in the Interior. Blackwood, London, 1826.

Anderson, John, Acheen and the Ports of the North and East Coasts of Sumatra, with Incidental Notices of the Trade in the Eastern Seas and the Aggressions of the Dutch, London, 1840.

Angelino, A D .A de Kat, Staatkundig Beleid en Bestuurszorg in Nederlandsch-In- die, 3 Vols, ’s-Gravenhage, 1929-1930.

Angelino, A D .A de Kat (translated by Renier, GJ.), Colonial Policy,I, General Principles,II, The Dutch East Indies,

Institute of Pacific Relations, San Francisco, Calif, The Hague, 1931.Bastin, John, The Native Policies qf Sir Stamford Raffles in Java and Sumatra; an

Economic Interpretation, Oxford, 1957.Belawan - Oceaanhaven [door W. Cool], Dept der Burgerlijke Openbare Werken,

Afdeeling Havenwezen, Batavia, 1917,I, Tekst,H, Bijlagen

Bemmelen, R.W. van, The Geology cf Indonesia, The Hague, 1949,IA, General Geology,IB, PortfolioH, Economic Geology,

Bemmelen, Rein W. van, Mountain Building; A Study primarily based on Indonesia region of the world’s most active crustal reformations, The Hague, 1954

187

the Ninth Pasific Science Congress, 1957, 3, Bangkok, 1963, 189-194.’The Impact of Science in Southeast Asia’, Sixth National Conference of the

United States National Commission for UNESCO, Nov. 6-9, 1957, Science and Technology in Asia and their Social Impact, 1957,15-31. United Asia, II, No. 3, 1959, 241-45.

’Western Impact on East Sumatra and North Tapanuli: The Roles of the Planter and the Missionary’, Journal af Southeast Asian History, 2, No. 2,1961, 66-71.

’Western Impact on East Sumatra and North Tapanuli: The Roles of the Planter and the Missionary1 Proceedings af the XXV International Orientalist Cong­ress, Moscow, 1960. Vol. 4, Moscow 1963, 296-301.

Contributed to Indonesia, Edited by Ruth T. McVey, New Haven, 1963.1. Physical and Human Resource Patterns, 1-23,475479.4. The Agricultural Foundation 118-154,498-504.’The American Geographer’s Concern with Southeast Asia’, Paper read at the

Annual Meeting of the AAS, 1963.’Notes from the Desk of the President of the Association for Asian Studies’,

Newsletter of the ASS, XII, 2, Dec. 1966.’Man’s Role in the Changing of the Landscape of Southeast Asia’ in Journal of

Asian Studies.West Malaysia and Singapore: A Selected Bibliography. HRAF, New Haven. 1971.’In Defence of the Kainginero’ in Filipino Heritage, 1974.Planter and Peasant; Colonial Policy and the Agrarian Struggle in East Sumatra,

1863-1947, Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal Landen Volkenkunde 84, The Hague, Martinus NijhofT, 1978.

’Swidden Cultivation in Southeast Asia: Historical, Ecological, and Economic Perspectives’, Peter Kunstadter et al. (eds.), Farmers in the Forest: Economic Development and Marginal Agriculture in Northern Thailand University Press of Hawaii, Honolulu, 1978,271-286. ' v

Planter and Peasant

IN PRESS OR GOING THE PRESS:Pioneer Settlement in the Asiatic Tropics.’The Politics of the Sumatran Pepper Trade: Competition between New England

Captain-Traders and the British and Dutch East India Companies’. Medan, Sumatra.

186

Daftar Kepustakaan

Advies van de Agrarische Commissie, ingesteld bij het Gouvemements Besluit van 16 Mei 1928 No. 17, Landsdrukkerij, Weltevreden, 1930.

Agrarische Regelingen voor de Zeljbesturende Landschappen in de Gewesten buiten Java en Madoera,.Dept van Binnenlandsch Bestuur, Afdeeling Agrarische Inspectie, Weltevreden, 1919.

Algemeene Vereeniging van Rubberplanters ter Ooskust van Sumatra,Verslag, 1 Januari 1939-31 December 1939Verslag, 1 Januari 1938-31 December 1938Verslag, 1 Juli 1936-31 December 1937Jaarverslag, 1 Juli 1935-30 Juni 1936

Allen, G. C. and Audrey G. Donnithome, Western Enterprise in Indonesia and Ma­laya; a study in economic development, New York, 1957,

Anderson, John, An Exposition of the Political and Commercial Relations of the Government of Prince of Wales Island with the States on the East Coast of Sumatra, Prince of Wales Island, 1824.

Anderson, John, Mission to the East Coast of Sumatra, m MDCCXXIII, under the Direction of the Government of Prince cf Wales Island: Including Historical and Descriptive Sketches of the Country, and Account of Commerce, Population, and the Manners and Customs of the Inhabitants, and a Visit to the Batta Cannibal States in the Interior. Blackwood, London, 1826.

A n derson , John, Acheen andJ hf f °J ts. North and East Coasts of Sumatra, with Incidental Notices cf the Trade m the Eastern Seas and the Aggressions of the Dutch, London, 1840- ,

Angelino, A.D.A. de Kat, Bestuurszorg in Nederiandsch-ln-die, 3 Vols, ’s-Gravenhage, 1929-1M).

Angelino, A.D.A. de Kat (translated by GJ.), Colonial Policy,I, General Principles,H, The Dutch East Indies,

Institute of Pacific Relations, San fVancisco, -caur, ta*iBastin, John, The Native Policies cf Sir Stanford Raffles in Jwa and Sumatra- an

Economic Interpretation, Oxford, 1957. Sumatra, anBelawan - Oceaanhaven [door W. Cool], Dept der Burgerlijke Openbare Werken

Afdeeling Havenwezen, Batavia, 1917,I, TekstII, Bijlagen

Bemmelen, R.W. van, The Geology cf Indonesia, The Hague, 1949,IA, General Geology,IB, PortfolioII, Economic Geology,

Bemmelen, Rein W. van, Mountain Building; A Study primarily based on Indonesia region of the ivorid’s most active crustal reformations, The Hague, 1954.

187

Blink, H. Opkomst en Ontwikkeling van Sumatra als Economisch-Geograpbied, ’s-Gravenhage, 1926. Fconomiscb

Blink, H., ’Sumatra’s Oostkust in hare Opkomst en Ontwikkeling a gtudie’> Gewest. Eene Economisch-Geographische en -H istonsc Tijdschrift voor Economische Geographic, 1981. ndsch-l^'

Blumberger, J. Th. Petrus, De Nationalistische Beweging in NederiaHaarlem, 1931. ndsch-h^'

Blumberger, J. Th. Petrus, De Communistische Beweging in Nederia ^ aar- Tweede Herziene en Bijgewerkte Druk, H.D. Tjeenk Willink & 0 lem, 1935. , gecret3'

Boeke, J.H., The Structure of Netherlands Indian Economy, Internationariat, IPR, New York, 1942. , & jlet-

Boeke, J.H., The Evolution of the Netherlands Indies Economy, Netherlan herlands Indies Council, IPR, New York, 1946.

Boeke, J.H., The Interests of the Voiceless Far East, Leiden, 1948. tfo-Boeke, J.H., Agrarische Heroormingen in het Verre Oosten, Mededelingen nje.

ninklijke Nederlandse Akademie van Wetenschappen, Afd. Lett ^ a3t-Nieuwe Reeks Deel 14, No. 6, N.V. Noord-Hollandsche Uitgeve schappij Amsterdam, 1951.

Bois, Cora du, Social Forces in Southeast Asia, St Paul, Minn, 1949. q o S ^8*Bool, H J. De Umdbouwconcessies in de residentie oostkust van Sumatra,

van Sumatra-Instituut, [Utrecht, 1903],Brand, J. van den, De MiUioenen uit Deli, Amsterdam, 1902. vfoeve- ’S'Brandt, Willem (Willem Klooster), Demarcatielijn, Uitgeverij W. van »

Gravenhage, 1947. uneve.’5'Brandt, Willem (Willem Klooster), Het Geheim, N.V. Uitgeverij W. van W

Gravenhage, 1960. serje5Bresler, Jack B. (ed.), Human Ecology: Collected Readings, Addison-Wesley

in the life sciences, Reading, Mass, Addison-Wesley, 1966. gerieS’Broek, Jan O.M., Geography: Its Scope and Spirit, Social Science Seminar

Columbus, Ohio, Charles E. Merrill Books, Inc., 1965.Broersma, R„ ’De Ster van Siak’, Koloniale Studien, 1919,1. . g ata''>s’Broersma, R., Oostkust van Sumatra, Jilid Pertama. De Ontluikmg van Deli,

1919'Broersma, R., Oostkust van Sumatra, Jilid Kedua De Ontwikkeling van het

Deventer, 1922. ja0f'Broersma, R., ’De Indonesier met zijn Rubber1, KoUmiaal Tijdschrift, 1 e

gang, 1926. 00slBruin, A G. de, De Chineezen ter Oostkust van Sumatra, M e d e d e e lin g N °' ’

kust van Sumatra-Instituut, Leiden, 1918. .Bruyn, W. K H. Feuilletau de, Tien moeiliijke Jaren voor Landbouw en tefly

Nederlands-Indie, 1930-1940, Uitgegeven onder auspicien van de ging ”Oost en West”, W. van Hoeve, Deventer, 1942. ^

Buchanan, Keith, The Southeast Asian World; An Introductory Essay, Tap Publishing Company, New York, 1967.

Bezemer, T.J, Beknopte Encyclopaedia van Nederlandsch-Indie, s-Graven

188

ngen, 1939. , .. . Leipzig, 1891.Carthaus, Emil, Sum atra u nd der M alavscheArcm ^i, v Surveys in EconomicChisholm, Michael, Geography and Ec \£k A praeger, 1966.

Geography, New York, New Y°rfc uit & BeUetrie, Amsterdam,Clerkx, Lily, Mensen in Deli; Een MaatschappO

[1961]. . t ofation of the A.V.R.O.S.’, RainfallCommunications of the General At- iiaYUiJ ,apanuli General Series o.Records 1956 of Sumatra's East M M jeh a n a

66, Typ. Varekamp & Medan, 1958-Cool, W., lihat: Belawan - Oceaankaven. tn j am , The MacMillan Co,D«y, Clive, The Policy and Administration of

Oeii-Batauia Maatschappij, 18^ ^ t^ g e k g e n h e id van het 19^55W-VJ Deii-Maatschappy, Gedenkschnft by f 1919, Amsterdam, 1929, 55

aansluitende tnj het Gedenkboe v

pp. , Medan, Augustus 1931.W.V.j Deli Maatschappij, Hoe zij mtf ^ T e^ te n g : De GUIs, 1899- fe^Renter, C. Th. van, ’Een E e r e s c h u l d . C e ^ vanOnontogketoD‘Jk. L. J. Van, Landschapsbednjven hrifit, Wagenmgen, N.V. Ge .

Streken in Nederlandsch-Ind^> Wageningen, 1942. tot den

ct)els-Kroon, Adolph, B e s c k 7 i * » Ha,'" T® l„-

fandsche Bevolking va n Java M i 7er Verlagsanstalt^ gen, m , ’s-Gravenhage, 1904. inderMainzer

ys°ldt, Gerhard, Buchvom R°h* ^ Q Mainz, 1950, QntnnkkeUng der| Pru, und Druckerei Will und ^ ^ S T a ts ch a p p e lU k e

>Um' R- Het Arbeidsmuigstuk ** gtudie van Ko^maalBuitengewesten, Vereeniging reitevreden, . bestaan op 28 Au-

Ger( ^ raagstukken, Publicatie • ’ vijf-en-zeven yereeniging ”Rot-^ k b o e k 1863-1938, uitgegeven b « hetCr”diet- en Handels

gustus 1938, N.V. Internation direCtmr N.V. Deh-Maat-q . *-erdam”. u Herbert Cretner,

^ te c h r if t aangebodm ^ ^ i r d a m , ^ nish science P r e s s , Copenha-

others, — — de —Leiden, 1934. Aanteekenmgen fc Nederlandsch Aardry-am rg, J.C. G„ ’GeographischeAan^ ^ KonlnW# iv

Sumatra’s Oostkust, Ty<Jcfl ^ ^ landwrtschaftlKhenUr*dig Genootschap, I8®' ^tidcklunS^

tzer. W. K. G„ Grundlagen und Em 189

Erzeugung in Niederlandisch Indien, Berichte Uber Landwirtschaft, Neue Folge, 146, Sonderheft, Berlin 1939.

Haan, C. de, ’Verslag van eene Reis in de Battaklanden’, Verhandelingen v. h. Bataviaasch Genootschap, Vol. 38, Batavia, 1875, 57 pp.

Haar (Bzn.), B. ter, Beginselen en Stelsel van het Adatrecht, J.B. Wolters’ Uitgevers- Maatschappij N.V., Groningen, Batavia, 1939.

Haarsma, G.E., lihat: Tabakscultuur in Deli.Hall, CJJ. van en C. van de Koppel, De Landbouw in den Indischen Archipel, ’s-

Gravenhage,I: Algemeen Gedeelte, 1946.IIA: Voedmgsgewassen en Geneesmiddelen, 1948.I1B: Genotmiddelen en Specerijen, 1949.

Hall, Sir Daniel, The Improvement of Native Agriculture in relation to Population and Public Health, London, 1936.

Hamerster, M., Bijdrage tot de Kennis van de Afdeeling Asahan, Uitgave van het Oostkust van Sumatra-Instituut, Mededeeling No. 13 Amsterdam, 1926,204 PP-

Hart, G.H.C., Towards Economic Democracy in the Netherlands Indies, 8th Conferen­ce, IPR, 1942, Netherlands & Netherlands-Indies Council, IPR, Nether­lands Paper No. 3, New York, 1942.

Hasselt, A.L. van, Nota, Betreffende de Rijstcultuurin de Residentie Tapanoeli, Same- ngesteld uit Bijdragen van de in die Residentie Dienende Arribtemaren van het Binnenlandsch Bestuur, Batavia, 1893.

Heeren, HJ., Het Land aan de Overkant, J.A. Boom en Zoon, 1967, Meppel.Helbig, Karl, Beitrage zur Landeskunde von Sumatra, Beobachtungen ztvischen A-

sahan und Barumun, Tobasee und Malaka-stmsse, Reprint: ’Wissenschaftlic- he Veroffentlichungen des Deutschen Museums fiir Landerkunde zu Leipzig, 1940.

Helbig, Karl, Indonesien: Eine auslandskundUche Ubersicht der malaOschen Insel- welt, Stuttgart, 1949.

Helbig, Karl, ’Studien auf Sumatra und Nias’, Zeitschrift der Gesellschaft fiir Er- dkunde zu Berlin, Jahrgang 1934, Nr. 3/4, Hamburg.

Hell, Dr. W.F. van, Verslag over het Algemeen Proefstation der A.V.R.O.S. over de Jaren 1941-1947 en over het Jaar 1948, Mededelingen van het Algemeen Proefstation der AV.R.O.S., Algemene Serie No. 62, Medan, 1949.

Hemmers, J .H.L. 1. n ommensen, de apostel der Batakkers, Voorhoeve, Den Haag, 1935.Heyne, K., De Nuttige Planten van Indonesie, ’s-Gravenhage, 1950, (2 jilid).Hinloopen Labberton, K , van, De Indische Landbouwconcessie, Amsterdam, 1903.Hoedt, Theophile George Emil, Indische Bergcultuurondernemingen voomamelijk

in Zuid-Sumatra; Gegevens en Beschouwingen, Wageningen, 1930.Hoeven, Anny van der, Die Wirtschaftsgeographischen und Reehtlichen Grundlagen

des Ladangbaus im Malaiischen Archipel, unter Besonderer Berucksichtigung der Insel Sumatra, Hamburg, 1944.

Holt, Claire, Art in Indonesia - Continuities and Change, Cornell University Press, Ithaca, 1967.

Indisch Verslag 1937 & 1939, Statistisch jaaroverzicht van Nederlandsch-Indie over het jaar 1936 & 1938 (2 jilid), Departement van Economische Zaken, Centraal Kantoor voor de Statistiek, Batavia.

190

Indisch Verlag 1938, 1. Tekst van het Verslag van Bestuur en Staat van Neder- landsch-Indie over het Jaar 1937, ’s-Gravenhage, 1939.

Indonesia Panel Seminar, New York City, March 30-April 1, 1972, New York: The Asia Society, SEADAG Reports, 1972.

International Importance of the Dutch Tobacco Market, Compiled by the Economic and Financial Department of the Rotterdamsche Bank N.V., September, 1951.

Jansen, Gerard, Grantrechten in Deli, Oostkust van Sumatra-Instituut, [Amster­dam], 1925.

Jochems, S.C.J., De Begroeiing der Tabakslanden in Deli en hare Beteekenis voor de Tabakscultuur, Deli Proefstation te Medan - Sumatra, Tweede Serie 39, Medan, 1928.

Johann, A.E., Die umnderbare WeU, der Malaien, Giitersloh, Sigbert Mohn Verlag, 1962.

Jonge, Jhr, Mr. WJ. de, Voorzitter van de Federatie van Vereenigingen van Ne- derlandsch-Indische Bergcultuurondememingen te Amsterdam, geduren- de diens verblijf te Batavia van 24 Februari tot 5 Mei 1947, Correspondentie.

Joustra, M., Batakspiegel, Uitgaven van het Bataksch Instituut, No. 21, terbitan ke-2, Leiden 1926.

Kartodirdjo, Sartono, The peasants’ revolt ofBanten in 1888, Its conditions, course and sequel. A case study of social movements in Indonesia,, ’s-Gravenhage, Martinus Nijhoff 1966.

Kemp, P.H. van der, ’De Zendingen van Ibberson en Anderson naar Sumatra’s Oostkust in 1820 en 1823’, Bijdr. TL.V., 1897.

Kemp, P.H. van der, ’De Geschiedenis van het Londensch Tractaat van 17 Maart 1824’, Biodr. TL.V., 1904.

Kemp, P.H. van der, Sumatra in 1818, Naar Oorspronkelijke Stukken, ’s-Gravenha- ge, 1920.

Kennedy, Raymond, et ai., Bibliography of Indonesia Peoples and Cultures, Sout­heast Asia Strudies, revised edition, New Haven, 1955 (dua jilid).

Keuning, J. ’The Toba Batak, Formerly and Now’, Translated from: Indonesie (Sept, 1952). Cornell SEA Program, Modem Indonesia Project, Translation Series, Ithaca, 1958.

Kielstra, E.B., ’De Koffiecultuur ter Westkust van Sumatra’, Ind. Gids, Vol. X, 2, 1888.

Kirsch, A. Thomas, Feasting and Social Oscillation: Religion and Society in Upland Southeast Asia, Department of Asian Studies, Cornel Univ., Ithaca, New York, 1973.

Kleine, Hans de, Tole! Das grosse Wagnis, Weg einer jungen Kirche, Verlag der Rheinischen Missions-Gesellschaft, Wuppertal-Barmen, 1960.

Kolb, Albert, Ostasien: China, Japan, Korea, Geographic eines Kvlturerdteiles, Quel­le & Meyer, Heidelberg, 1963.

Kolonisatie Bulletin, Centrale Commissie voor Migratie en Kolonisatie van In- heemschen, Batavia.No. 2, Aug. 1938,No. 3, Nov. 1938,No. 4, Febr. 1939,No. 5, Maret 1939,

191

No. 6, July 1939,No. 7, Okt 1939,No. 8, Maret 1940,No. 9, August 1940,No. 10, Des. 1940.

Kools, J.F., De Ontwikkeling van de Exploitatie der Tropische Bossen speciaal in In­donesia, Wageningen, 1949.

Kreemer, J., ’De Rijstcultuur in het Gewest Atjeh en Onderhoorigheden’, Tijdschrift van het Koninklijk Nedeiiandsch Aardrijkskundig Genootschap, 2nd Ser, V. 35, (1918).

Kroesen, J.A., ’Nota Omtrent de Bataklanden (Speciaal Simeloengoen)’, Tijdschrift v. Ind. T.L.V., V. 41 (1899).

Kunstadter, Peter, (ed.), Southeast Asian Tribes, Minorities and Nations, Princeton University Press, Princeton, New Jersey, 1967, Vol. II.

Kunstadter, Peter, E.C. Champman and Sanga Sabhasri (eds), Farmers in the Fo­rest. Economic Development and Marginal Agriculture in Northern Thailand., Published for the East-West Center, by the University Press of Hawaii, Honolulu, 1978.

Lekkerkerker, J.G.W., Coneessies en Erfpachten ten behoeve van Landbouwondeme- mingen in de Buitengewesten van Ned.-Indie, Groningen, 1928.

Leur, J.C. van, Indonesian Trade and Society; Essays in Asian Social and Economic History, (Selected Studies on Indonesia by Dutch Scholars), Volume I, The Hague, 1955.

Ligthart, Th., P. Ho' vig, and D.A. Rinkes (eds.), De Indische Bodem, Serie No. 740, Uitgave Volkslectuur, Weltevreden, 1926.

Lorm, A.J. de, and G.L. Tichelman, Verdwijnend Cultuurbezit, Beeldende Kunst der Bataks, E.J. Brill, Leiden, 1941.

[Lulofs, C.] Verslag: Nopens de Overwogen Plannen en Maatregelen Betreffende de Kolonisatie van Javaansche Werklieden op de Cidtuurondememingen ter Oos­tkust van Sumatra, in Verband met de Voorgenomen Afschajfmg der Zooge- naamde Poenale Sanctie in de Koelie-Ordonnantie, Weltevreden, 1920.

Lulofs, Madelon, [M.H. Sze kely-Lulofs], Kuli, Roman aus Sumatra, Berlin, 1935.Marinus, J.H. and J.J. van der Laan, Veertig Jaren Ervaring in de Deli-Cultures,

Amsterdam, 1929.(The) Marketing of Rice: Report to the Government of the Federation of Malaya, (re­

port 278), Food and Agriculture Organization, Rome, 1954.Marpaung, B. K., Buku Pusaka Tarombo Batak, Pertjetakan Harfin, Djakarta, 1954.Marsden, William, The History of Sumatra, London, 1811.Meilink-Roelofsz, M.AP., Asian Trade and European Influence in the Indonesian

Archipelago between 1500 and about 1630, Martinus Nijhoff, The Hague, 1962.Michiels, A.V., Neerlands Souvereiniteit over de Schoonste en Rykste Gewesten van

Sumatra, GJA. Beijeringk, Amsterdam, 1846.Modderman, P.W.T. Volker and G. v. d. Veen, Gedenkboek, Vijfting Jang Bestaan vl

d Deli Planters Vereeniging, Batavia, 1929.Mohr, Dr. E. C. Julius, Over het oogsten van Deli-tabak op verschiUende tijden van den

dag, [Mededeelingen u it’s Lands Plantentuin LVI], Batavia G. Kolff & Co., 1902.

Mohr, E.C. Julius, The Soils of Equatorial Regions with Special Reference to the

192

Netherlands East Indies [D e bodem der tropen in het algemeen, en die van Nederlandasch-Indie in het bijzonder, Amsterdam 1933-1938, 2 Vols.], Tran­slated by Robert L. Pendleton, Ann Arbor, Michigan, 1944.

Molen, K. van der, Bevolkingsgrond en Concessierecht ter Oostkust van Sumatra, Scriptie ingediend bij de afdeling Geodesie der Technische Hogeschool te Delft, Febr, 1951, dengan dua tambahan yang sencait dengan tanah dan hal-hal yang bersangkutan.

Nahuijs [van Burgst, Mr. H.G. Baron], L t Kol., Brieven over Bencoolen, Padang, Het Rijk van MenangkaJbau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang, Tweede, ver- meerderde druk, B. Hollingerus Pijpers, Breda, 1827.

Nederlands-Indie " Contra Japan, Deel 111: Overzicht van de na het Uitbreken van de Ocrrlog met Japan in de Z.W. Pacific Gevoerde Strijd, [At head of tutle.] Minis- terie van Oorlog, Hoofdkwartier van de Chef van de Generate Sta , 13-gsgeschiedkundige Afdeling, Staatsdrukkerij- en Uitgeverijbedryf, s- ra-venhage, 1954. _ ,,

Ostasiatische Verein Hamburg - Bremen, Zum 60-Ja"hrigen Bestehen. uost va Sumatra-Instituut 1916-1941, Leiden, 1941.

Papendrecht, A. Hoynck van, Gedenkschrift van de Tabak MaatschappvArrmOstnirg, ter gelegenheid van het 50-jarig bestaan, 1877-1927, Rotterdam,

Pelzer, Karl J.: lihat daflar karya Karl J. Pelzer, him 150-152 diatas.Pfeiffer, Ida, Meine Zweite Weltreise, Vienna, 1856,4 Vols, Ter]ema an s.

da: Mijne tweede reis random de wereld, Amsterdam, I® " - qPiekaar, A.J., Atjeh en de oorlog met Japan, ’s-Gravenhage - Ban ung, .Post, Hans, Bandjir over Noord-Sumatra, Trilogte, Uitgeverij ax , e

I. Bandjir over Noord-Sumatra, 1948,II. Politianele Ac tie, 1948,III. Bedwongen Bandjir, 1949. .

Purcell, Victor, South and East Asia since 1800, Cambridge University Raffles, Th. Stamford, The History of Java, London, I817- TRapport van den Commissie van Onderzoek - Sumatra’s West

1928, Weltevreden. 9P/FS (Maler undRhodius, Hans, Scho 'nhevt und Reichtum des Lebens, WALTE

Musiker auf Bali, 1895-1942), L.J.C. Boucher, Den Haafe Ridder, J. de, De invloed van de Westersche Cultures op de Autoc

Oostkust van Sumatra, Wageningen, 1936. 1 0 1 1 . 1 0 9 1Rubber, de Rubbercultuur in het Algemeen en de Rubbermar

Aanvulling 1923-1925, Weltevreden, 1925.Sanders, DJ., Handleiding voor de Deli-Tabakscultuur, Ams er , •Sar Desai, D.R., Trade and Empire in Malaya and Singapore, ■' >

Ohio, Ohio University Center for International Studies Southeast Asia

Program, Series No. 16,1970. Momnrial T^rtnrpcSauer, Carl O., Agricultural Origins and Dispersals, Bowma

Series Two, American Geographical Society,:New YorK, ^ Sumatra_Schadee, W.H.M., Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust, [0

Instituut, Mededeeling No. 2], Amsterdam, m S -l91 w nfJava andScheiterma, A.M.P.A. T ^ Food Counci Neth

Madura, Report A.: International Research Series,& Neth.-Indies, IPR, Batavia, 1936.

193

No. 6, July 1939,No. 7, Okt 1939,No. 8, Maret 1940,No. 9, August 1940,No. 10, Des. 1940.

Kools, J.F., De Ontwikkeling van de Exploitatie der Tropische Bossen speciaal in In- donesie, Wageningen, 1949.

Kreemer, J., ’De Rijstcultuur in het Gewest Atjeh en Onderhoorigheden’, Tijdschrift van het Koninklijk Nederiandsch Aardrijkskundig Genootschap, 2nd Ser, V. 35, (1918).

Kroesen, J.A., ’Nota Omtrent de Bataklanden (Speciaa l Simeloengoen)’, Tijdschrift v. Ind. T.L.V., V. 41 (1899).

Kunstadter, Peter, (ed.), Southeast Asian Tribes, Minorities and Nations, Princeton University Press, Princeton, New Jersey, 1967, Vol. II.

Kunstadter, Peter, E.C. Champman and Sanga Sabhasri (eds), Farmers in the Fo­rest. Economic Development and Marginal Agriculture in Northern Thailand, Published for the East-West Center, by the University Press of Hawaii, Honolulu, 1978.

Lekkerkerker, J.G.W., Concessies en Erfpachten ten behoeve van Landbouwondeme- mingen in de Buitengewesten van Ned.-Indie, Groningen, 1928.

Leur, J.C. van, Indonesian Trade and Society; Essays in Asian Social and Economic History, (Selected Studies on Indonesia by Dutch Scholars), Volume I, The Hague, 1955.

Ligthart, Th., P. Ho vig, and D.A. Rinkes (eds.), De Indische Bodem, Serie No. 740, Uitgave Volkslectuur, Weltevreden, 1926.

Lorm, A.J. de, and G.L. Tichelman, Verdwijnend Cultuurbezit, Beeldende Kunst der Bataks, E.J. Brill, Leiden, 1941.

[Lulofs, C.] Verslag: Nopens de Overwogen Plannen en Maatregelen Betreffende de Kolonisatie van Javaansche Werklieden op de Cidtuurondememingen ter Oos­tkust van Sumatra, in Verband met de Voorgenomen Afschaffing der Zooge- naamde Poenale Sanctie in de Koelie-Ordonnantie, Weltevreden, 1920.

Lulofs, Madelon, [M.H. Sze'kely-Lulofs], Kuli, Roman aus Sumatra, Berlin, 1935.Marinus, J.H. and JJ. van der Laan, Veertig Jaren Emoting in de Deli-Cultures

Amsterdam, 1929.(The) Marketing of Rice: Report to the Government of the Federation of Malaya, (re­

port 278), Food and Agriculture Organization, Rome, 1954.Marpaung, B. K , Buku Pusaka Tarovibo Batak, Pertjetakan Harfin, Djakarta 1954Marsden, William, The History of Sumatra,M.SU tatR ^lQ fa,»A S ,,1 m n f t l i n t o ~ * . M ~ * .

Archipelago between 1500 and about 1630, Martinus Nijhoff, The Hague, 1962.Michiels, A.V., Neerlands Souvereiniteit over de Schoonste en Rijkste Gewesten van

Sumatra, GJA. Beijeringk, Amsterdam, 1846.Modderman, P.W.T. Volker and G. v. d. Veen, Gedenkboek, Vijfting Jarig Bestaan vl

d Deli Planters Vereeniging, Batavia, 1929.Mohr, Dr. E. C. Julius, Over het oogsten van Deli-tabak op verschiUende tijden van den

dag, [Mededeelingen u it’s Lands Plantentuin LVI], Batavia G. Kolff & Co., 1902.

Mohr, E.C. Julius, The Soils of Equatorial Regions with Special Reference to the

192

Netherlands East Indies [De bodem der tropen in het algemeen, en die van Nederlandasch-Indie in het bijzonder, Amsterdam 1933-1938, 2 Vols.], Tran­slated by Robert L. Pendleton, Ann Arbor, Michigan, 1944.

Molen, K van der, Bevolkingsgrond en Concessierecht ter Oostkust van Sumatra, Scriptie ingediend bij de afdeling Geodesie der Technische Hogeschool te Delft, Febr, 1951, dengan dua tambahan yang sencait dengan tanah dan hal-hal yang bersangkutan.

Nahuijs [van Burgst, Mr. H.G. Baron], Lt Kol., Brieven over Bencoolen, Padang, Het Rijk van Menangkabau, Rhiouw, Sincapoera en Poelo-Pinang, Tweede, ver- meerderde druk, B. Hollingerus Pijpers, Breda, 1827.

Nederlands-lndie" Contra Japan, Deel III: Overzicht van denahet Uitbreken van de Oorlog met Japan in de Z.W. Pacific Gevoerde Strijd, [At head of tutle:] Minis- terie van Oorlog, Hoofdkwartier van de Chef van de Generale Staf, Krij- gsgeschiedkundige Afdeling, Staatsdrukkerij- en Uitgeverijbedrijf, ’s-Gra- venhage, 1954.

Ostasiatische Verein Hamburg - Bremen, Zum 60-Ja"hrigen Bestehen. Oostkust van Sumatra-Instituut 1916-1941, Leiden, 1941.

Papendrecht, A. Hoynck van, Gedenkschrift van de Tabak Maatschappij Arendsburg, ter gelegenheid van het 50-jarig bestaan, 1877-1927, Rotterdam, 1927.

Pelzer, Karl J.: lihat daftar karya Karl J. Pelzer, him 150-152 diatas.Pfeiffer, Ida, Meine Zweite Weltreise, Vienna, 1856,4 Vols, Terjemahan bhs. Belan­

da: Mijne tweede reis rondom de wereld, Amsterdam, 1856.Piekaar, A.J., Atjeh en de oorlog met Japan, ’s-Gravenhage - Bandung, 1949.Post, Hans, Bandjir over Noord-Sumatra, Tnlogie, Uitgeverij ”Pax”, Medan,

I. Bandjir over Noord-Sumatra, 1948,II. Politionele Actie, 1948,III. Bedwongen Bandjir, 1949.

Purcell, Victor, South and East Asia since 1800, Cambridge University Press, 1965.Raffles, Th. Stamford, The History of Java, London, 1817.Rapport van den Commissie van Onderzoek - Sumatras Westkust, Landsdrukkerij,

1928, Weltevreden.Rhodius, Hans, Scho 'nheit und Reichtum des Lebens, WALTER SPIES (Maler und

Musiker auf Bali, 1895-1942), LJ.C. Boucher, Den Haag, 1964.Ridder, J. de, De invloed van de Westersche Cultures op de Autochtone Bevolking ter

Oostkust van Sumatra, Wageningen, 1936.Rubber, de Rubbercidtuur in het Algemeen en de Rubbermarkt van 1911-1921, 2de

Aanvulling 1923-1925, Weltevreden, 1925.Sanders, DJ., Handleiding voor de Deli-Tabakscultuur, Amsterdam, 1924.Sar Desai, D.R., Trade and Empire in Malaya and Singapore, 1869-1874, Athens,

Ohio, Ohio University Center for International Studies Southeast Asia Program, Series No. 16, 1970.

Sauer, Carl 0., Agricultural Origins and Dispersals, Bowman Memorial Lectures, Series Two, American Geographical Society, New York, 1952.

Schadee, W.H.M., Geschiedenis van Sumatra’s Oostkust, [Oostkust van Sumatra- Instituut, Mededeeling No. 2], Amsterdam, 1918-1919.

Schelterma, A.M.P.A., The Food Consumption of the Native Inhabitants of Java and Madura, Report A.: International Research Series, National Council, Neth. & Neth.-Indies, IPR, Batavia, 1936.

193

Schiller, A. Arthur, The Formation of Federal Indonesia, 1945-1949, The Hague, 1955.

Schreiber,-A., Die Battas in ikrem Verhaltniss zu den Malaien von Sumatra, Bar­men, 1874.

Soedjatmoko and Mohammad Ali, GJ. Resink and G. McT. Kahin (eds.), An Indro- duction to Indonesia Historiography, Cornell University Press, Ithaca, 1965.

Soest, G.H. van, Geschiedenis van het Kultuurstelsel, Rotterdam, 1869-1871, 3 jilid.Sonius, H.WJ., Enkele aantekeningen betreffende het toekomstige grondenrecht van

Indonesie", Visser & Co, Batavia, 1949.Sonius, H.WJ., I. Grondenrecht en Grondpolitiek in Nederlandsch-Indie, II. Het

Streven van Indonesie naar een national eenvormig grondenrecht, III. De Rechten op de Grond in Indonesie: Een overzicht naar de toestand bij de aanvang van het jaar 1954. Mimeog.

Soosai, J.W. and Kow Hun Woon (Complilers), A Bibliography of Contributions to Natural Rubber Research, 1927-1967, Rubber Research Institute of Malaya, Kuala Lumpur, 1968.

Spencer, J.E., Shifting Cultivation in Southeastern Asia, University of California Press, Berkeley and Los Angeles, 1966.

Spencer, J.E. and William L. Thomas, Asia, East by South: A Cultural Geography, John Wiley and Sons, Inc, New York, 1971.

Szekely-Lulofs, M.H., lihat: Lulofs, Madelon.(De) Tabakscultuur in Deli [by G.E. Haarsma], J.H. de Bussy, Amsterdam, 1889.(Het) Tabaksgebied ter Oostkust van Sumatra in Woord en Beeld, [Batavia-Leiden],

September 1925.Terra, GJ.A., De Tuinbouw in Indonesie, ’s-Gravenhage, 1949.Thee Kian Wie, Plantation Agriculture and Export Growth: an Economic History of

East Sumatra, 1863-1942, University Microfilms, Inc., Ann Arbor, Michigan.The Siauw Giap, ’Religion and Overseas Chinese Assimilation in Southeast Asi­

an Countries’, Revue du sud-est asiatique, 1965.Thiessen, Joh., Pakantan, een belangrijk gedeelte van Sumatra, Uitgave: Joh. Thies-

sen, Apeldoom, 1914.Thomas, Kenneth D., Smallholders Rubber in Indonesia, Djakarta, 1957,

chelman, G.L., ’Timoer-Bataksch dorpstaboe vo'o'r de ladang-beplanting’, Bij- dragen TL,.V., Vol. 97, ’s-Gravenhage, 1938.

deman, J., Sirrudoengoen, Leiden, 1922.Ucko, Peter J. and G.W. Dimbleby (eds.), The Domestication and Exploitation o/

Plants and Animals, Aldine Publishing Company, Chicago, 1969.Umbgrove, J.H.F.J Structural History of the East Indies, Cambridge (Eng), 1949.Utomo, Kampto, Masjarakat Transmigran Spontan Didaerah W. Sekampung (Lam-

pung), Doctorate thesis, U. of Indonesia at Bogor, Bogor, 1957.Vandenbosch, Amry, The Dutch East Indies; its Government, Problems, and Politics,

Berkeley, 1941.Vergouwen, J.C., The Socigl Organisation and Customary Law of the Toba-Batak of

Northern Sumatra, Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde (Trans. Series 7), The Hague, Martinus Nijhoff, 1964.

Verslag van den belastingdruk op de lrdandsche bevolking in de Buitengewesten, DeelIV, Samenvatting en Voorstellen, Weltevreden, 1930.

194

Veth, PJ., ’Het Landschap Deli op Sumatra’, Tijdschrift van het Koninklijk Neder- landsch Aardrijkskundig Genootschap, 1877.

Vlekke, Bernard H.M., The Story of the Dutch East Indies, Cambridge, Mass, 1946.Vlekke, Bernard H.M., Geschiedenis van den Insdischen Archipel van het begin der

beschaving tot het doorbreken der nationale revolutie, JJ. Romen & Zonen - Uitgevers, Roermond-Maaseik, 1947.

Vlekke, Bernard H.M.,i'Nusantara, A. History of Indonesia, wholly rev. ed., The Ha- gue-Bandung, 1959.

Voedselproblemen en Overheidspolitiek op Java en Madoera, Department van Econo­mische Zaken, Centraal Kantoor voor de Statistiek, Batavia, 1940.

Vollenhoven, C. van, De Indonesie'r en zijn Grand, Leiden, 1919.Vollenhoven, C. van,;De Ontdekking van het Adatrecht, E J. Brill, Leiden, 1928.Voorhove, P., Critical Survey of Studies on the Languages of Sumatra, Konninklijk

Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde, Bubliographical Series Vol. 1, ’s-Gravenhage, 1955.

Vries, E. de, Problemen van de Javaanse Landbouwer, Wageningen, 1947.Vuuren, L. van, Nederlandsch-Indie"alsprodux:ent van grxmdstoffen voor de wereldbe-

hoeften, Uitg. Mij. N.V. Kemink en Zoon, Utrecht, [1941].Wameck, Joh., Die Lebenskra'fte des Evangeliums. Missionserfahrungen innerhalb des

animistischen Heidentums, Martin Wameck Verlag, Berlin, 1911.Wameck, Joh., Sechzig Jahre Batakmission in Sumatra, Berlin, 1925,Wameck, Johannes, Sumatranische Plaudereien, Berlin, 1939,Weigand, Karl Leonhard, Der Tdbakbau in Niederla'ndsich-Indien, seine o'konomis-

che und kommerzielle Bedeutung mit besonderer Beru 'cksichtigung von Deli- Sumatra, Probleme der Weltwirtschaft, Schriften des Institus fur Wel- twirtschaft und Seeverkehr an der Universita' t Kiel, Jena, 1911.

Weischet, W. Die okologische Benachteiligung der Tropen, B.G. Teubner, Stuutgart 1977.

Wellan, J.W.J. Zuid-Sumatra, Economisch Overzicht, Wageningen, 1932.Werth, Emil, Grabstock, Hacke und Pflug, Ludwigsburg, 1954.Werthiem, W.F., Indonesian Society in Transition, A Study of Social Change, The

Hague-Bandung, 1956.Westenberg, CJ., ’Adatrechtspraak en Adatrechtspleging der Karo-Bataks’, Bij-

dragen Th.V., Vol. 69, ’s-Gravenhage 1914.Westerman, Willem, De Tabakscultuur op Sumatra’s Oostkust, J.H. de Bussy, Am­

sterdam, 1901.Witting, C., see: Wurtzburg, C.E.Wolf, Jacob (ed.), Der Tabak und die Tabakfabrikate, (Die Geschichte, den Anbau,

die Natur und Produktion, die Behandlung, die Chemie und Klassifizie- rung, den Handelsverkehr, die Weltstatistik, die steuertechnische, soziale und hygienische Bedeutung des Tabaks, sowie die Verarbeitung dessel- ben zu Zigarren, Zigaretten, Rauuch-, Kau- und Schnupftabak); mit hun- dert Textabbildungen und zahlreichen Tabellen, Verlag von Bernh. Friedr. Voigt, Leipzig, 1912.

Wurtzburg, C.E., Raffles of Eastern Isles, (ed, by C. Witting), London, 1954.Ypes, W .K H ,,Nota omtrent Singkal cn de Pak-pak landen’, Tijdschr. Ind. Th.V., Vol.

49, Batavia 1907.Ypes, W .KH., Bijdrage tot de Kennis van de Stamverwantschap, de Inheemsche

195

Rechtsgemeenschappen en het Grondenrecht der Toba- en Dairibataks, [Lei­den], 1932.

Zendingsconsuls in Nederlandsch-Indie, Kerk en Zending in de Bataklanden; Een uiteenzetting betreffende den toestand sinds den tienden Mei 1940, Uitgave van het Zendingsnoodbestuur, Batavia-C, 1941.

196

1. Istana Sultan Deli di Medan, Sumatra Timur (Perhimpunan Pengusaha Onderneming Deli)

2. Pembukaan hutan zaman purba di sebuah perkebunan Maskapei Deli di Deli, Sumatra Timur. (DPV)

* ■ - D . ^

, y ' - ? ; ; \ ' ./ v - !-

••* * ■ . i - v : ; ; <•'* / v» /. *

■ - -T , • *• v .. .•

' . v v vHutan^ g y r r m .n. daerah P "1* ! Serdang, Sumatra Timur. (DRV)

Buruh-1 1 hutan kmJMCto

0. Wanita-wanita Jawa menjarangkan tunas-tunas tembakau bibit Kerangka itu menyangga sebuah tutup pelindung. Pada bangsal-bangsal penjemuran tembakau, Deli, Sumatra Timur. (DPV)

7. Buruh kebun tembakau Cina tiba dari Swatow, Cina Selatan, di pelabuhan Belawan, Deli, Sumatra Timur. (DPV)

200

8. Pembibitan tembakau pada suatu perkebunan di Deli, Sumatra Timur. Di latar belakangnya hutan belukar. (DPV)

9. Suatu perkebunan tembakau di tanah tinggi pada lereng-lereng yang curam berteras dari jurang-jurang. Karena pengikisan yang cepat, perkebunan-perkebunan seperti itu banyak kehilangan kesuburannya yang tinggi dari tanah-tanah gunung berapi. (DPV)

10. Onderneming tembakau-gulung tanah tinggi di Deli Sumatra Timur. Meskipun bagian-bagian bukit dibuat berteras’-teras, ini tidak dapat mencegah cepatnya pengikisan. Di latar belakang adalah hutan belukar. (DPV)

11 Petak-petak campuran kopi dan karet Hevea brasiliensis pada sebuah onder- neming di Serdang, Sumatra Timur. (DPV kira-kira tahun 1905).

, . rrnHprneming Senembah. Sepan- * GMung-gedung perkebunan ° n kelapa. Serdans, Sumatra Tl-

^ n g tepi jalan ditanami dengan pui

mUr. (DPV)

13. Tukang kebun tembakau Cina sedang menanam bibit-bibit tembakau pada sebuah onderneming di Deli, Sumatra Timur. (DPV)

14. Tukang kebun tembakau Deli menggali jalur-jalur penyalur air antara baris- an-barisan tembakau gulung di sebuah onderneming di Deli, Sumatra Timur. (DPV)

15. Ladang tembakau gulung yang sedang masak Di jalan kecil itu, Ny. Loos, istri almarhum Dr. Loos, Inspektur Pertanian untuk Sumatra, Deli, Sumatra Timur. (Dr. Loos, Mei 1939)

16. Tembakau gulung yang sedang masak Dua batang dibiarkan berburiga dan menjadi b ib it (DPV)

17. Dua orang gadis Indonesia mengumpulkan ulat-ulat bulu dari tumbuh-tumbuhan tembakau, Deli, Sumatra Timur. (DPV)

18. Ladang tembakau gulung kira-kira setengah panen. Mulai dari dasar, dua daun terendah dipotong dan diangkut ke bangsal-bangsal pengeringan. Deli, Sumatra Timur. (DPV)

19. Pemeliharaan yang telaten dilakukan untuk mencegah kerusakan terhadap daun-daun tembakau gulung itu. Deli, Sumatra Timur. (DPV)

20. Ladang-ladang tembakau gulung rusak berat oleh angin bohorok yang berasal dari Dataran Tinggi Karo. Deli, Sumatra Timur. (DPV)

21. Jalan perkebunan Deli, kedua tepinya ditumbuhi pohon-pohon jati, atau Tec

tona grandis. (DPV)

22. Di bangsal pengeringan tembakau wanita-wanita Jawa meng- gantungkan daun-daun tembakau gulung pada tiang-tiang bambu. (DPV)

23. Bagian dalam dari bangsal pengeringan n, v Vmenggantungkan daun-daun tembakau m i ruh buruh Jawa yang tegak lurus. (DPV) ung antara tiang-tiang

* Un“ dla *rTp™ ge„^„ Sebangsai pilah-pilih. (DPV)

24 fiuruh-buruh Jawa dan Cina dalam suatu ruang pilah dari suatu onderne-~ ming tembakau gulung. Gedung tetap; sebelah selatan dari gedung itu ada Iah seluruhnya gelas; lantai semen. Deli, Sumatra Timur. (DPV)

Buruh Cina sedang memilah-milah daun-daun tembakau gulung menurut panjang. Onderneming tembakau di Deli, Sumatra Timur. (DPV)

27. Buruh Cina memilah-milah daun-daun tembakau gulung menurut lebar, wama, dankerusakan-kerusakan seperti kerusakan wama. atau berlubang-lubang karena dimakan ulat Cahaya matahari datang lewat kedua bahunya. Deli, Sumatra Timur. (DPV)

28. Ruang pilah tembakau gulung, penuh dengan wanita-wanita Jawa, anggota- anggota keluarga dari tukang-tukang kebun tembakau Jawa. Deli, Sumatra Timur. (DPV)

29. Berkas-berkas tembakau yang sudah dipilah-pilah ditempatkan dalam tum- pukan-tumpukan besar guna proses peragian. Tabung-tabung bambu pan­jang mencapai sampai ketengah tumpukan-tumpukan tembakau itu dan me­mungkinkan pengukuran suhu di bagian tumpukan-tumpukan itu. Sebelum suhu mencapai tingkat-tingkat yang berbahaya, tumpukan-tumpukan itu di- susun kembali. Deli, Sumatra Timur. (DPV)

30. Ruang peragian tembakau gulung pada suatu onderneming di Deli, Sumatra Timur. (DPV)

31. Berbal-bal tembakau gulung milik Maskapai Deli, siap dikirim ke luar nege­ri. Hanya dalam tahun 1939 tembakau itu selalu dikirim ke Amsterdam. Sejak tahun 1957, tembakau itu dikirim ke Bremen. (DPV)

32. Tanah tembakau yang sudah dipanen siap dlbagikan kepada petani-petani pribumi yang berhak menuntut jaluran. Biblt-bibit belukar tidak boleh dica- but Deli, Sumatra Timur. (D-V)

33. Jaluran dari seorang petani Batak yang memakai ladang tembakau yang su­dah dipanen dari sebuah onderneming selama paruh kedua tahun itu. Di sebelah kiri, alang-alang (Imperata) dan bibit-bibit hutan belukar spontan. Deli, Sumatra Timur. (DPV)

35. Tanah tembakau yang sudah dipanen seluruhnya sedang ditutupi oleh alang- alang dan hutan belukar. Deli, Sumatra Timur. (DPV)

PETA IIBukit Barisan Sumatra Utara dengan puncak Batak dan celah Semangko (Dari Van Bemmelen, 1939 a, gambar 1, him. 127).

Petunjuk:a. Lembah Butung Sumpurb. Lembah Batang Gadis — Batang Ankolac. Lembah Batang Torud. Kawah Tobae. Lembah Alasf. Lembah Sungai Blang Kejereng. Lembah Aceh

PETA III

S r o . 'h lm .^ )11181011’ The Geology ° f Indonesia, Jilid I A. Edisi II. The Hague

Petunjuk:

9 t e«-°S ^ uv*al dan alluvial pantai Medan2. Tuff rhyolitik dari erupsi Toba

4 ar'd®siti*c dan vulkanik dacitik dari zaman Pra-Toba dan Post TobaTersier)1 S8 lmen Pra'Toba dan batuan beku (Oligo-Miocene dan Pra-

5.a. Sesar sepanjang Zone Celah Semangko dari zaman Pra-TobaNF Vn®an yang diperkirakan pernah ada diantara sesar sepanjang sisi

ari lembah Renun dan sepanjang sisi NE dari lembah Batang Toru(garis terputus)

6. Sesar yang berhubungan dengan terban kawah Toba.

40PETA IV

t-4 Diagram Blok Isometris dari Palung Toba (Dari V A N BEMMELEN, 1970, him. 688).

So

P e r k e m b a n g a n - B a t a k

PETA VTiga bagian skematis lintas tonjolan Batak, yang menunjukkan urutan tahap-tahap pembentukan kawah Toba (Dari Van Bemmelen 1970, him. 695).

Petunjuk:

1. Lapisan-lapisan neogen laut pantai Medan2. Kompleks lapisan bawah tanah pra-tersier3. Produk-produk erupsi dan magma basis-intermedier4. Tu f rhyolit dan breksi dari Samosir dan Semenanjung Prapat-Porsea5. T u f asam Toba6. Batholit granit Toba

222

r>'vysi

Tanah, Sumatra Timur Laut uparitik

Bahan-bahan liparitik fluvial dan vulkanik lainnya

Uparitik fluvial

Lahar liparitik-dasitik

Dasitik muda (lahar-lahar)

Bahan dasitik fluvial

Tanah debu hitam pada lahar dasitik-andasitik

Tanah debu hitam fluvial

Tersier

Bahan tersier fluvial

Aluvium-aluvium sungai dan s tanah pantai (Magrove)

PETA V ITanah-tanah wilayah tembakau Sumatra Timur, menurut J.H. Druif.

A B

PETA VII . .Tataletak sebuah perkebunan tembakau Perkebunan ”A ” mempunyai tiga pembagian tembakau, sedangkan perkebunan ”B” mempunyai empat pemba- gian tembakau untuk satu jalan kebun.

L

224

225

PETA VIII

Kawasan Saentis dan Percut

226

P E T A IXEkspansi dan kontraksi Industri Tem ­bakau Sumatra Timur. oor,

PETA X

228

PETA XIIPemukiman-pemukiman dataran rendah sepanjang sungai-sungai yang dapat dan pemukiman- pemukiman dataran tinggi yang tidak berhubungan dengan sungai-sungai.

pETA XIIIjjfta sketsa J.G. Frowein mengenai sistem irigasi kawasan Lingga yang QiUsulkan.

Pada permulaan abad ke-20 Sumatra Timur atau daerah Deli terkenal dengan sebutan ’’daerah dolar” . Sebutan ini erat hubungannya dengan derasnya keuntungan yang mengalir dari hasil ond e rn e m in g yang melimpah ruah. Namun nasib buruh dan penduduknya tidak selalu sejalan dengan kekayaan para pengusaha (m dernem ing.

Para pengusaha ondernemirig itu sekaligus merangkap majikan, polisi dan hakim bagi buruh-buruh. Mereka tidak pemah puas dengan hanya mengeksploitasi hasil bumi, mereka juga mengaduk-aduk hukum adat setempat Demikianlah dolar yang bertaburan di daerah Deli hampir tidak menyentuh kehidupan rakyat jelata. Bahkan mereka menjadi budak di negerinya sendiri, dan menjadi penyewa di tanah waris nenek moyangnya.

Buku ini mengisahkan bagaimana rakus dan liciknya para pengusaha °™erneming bersekongkol dengan raja-raja setempat merebut lahan pertanian Sumatra Timur dari sejengkal menjadi sehasta, dan dari sehasta menjadi sedepa, sarripai akhimya penduduk kehilangan haknya sama sekali.

Suatu karya riset yang menggambarkan bagaimana usaha-usaha onderneming telah memporakperandakan pola pertanian tradisional, u m adat dan hak-hak waris tanah penduduk Sumatra Timur.

Iv

PENER&IT s in a r h a r a p a n

Jl.Ciewi Sartika 136D Jakarta 13630