tjp pick a role

6
Nama : Widya Naseva Tuslian NPM : 1106073245 Upaya Untuk Memperbaiki Kinerja Hakim Role : Aktivis LBH APIK Dalam menangani suatu perkara, hakim sering dihadapkan dengan kasus kasus berbasis gender. Kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan,perceraian, kekerasan dalam relasi berpacaran(dating/relationship violence) dan sebagainya. Pada kasus kasus seperti demikian diperlukan kinerja hakim yang memiliki pendekatan kusus dalam menangani kasus kasus semacam ini. Karena kasus kasus berbasis gender biasanya memiliki kompleksitas yang tinggi yang memerlukan hakim yang benar benar paham mengenai pendekatan hukum berbasis gender. Di berbagai wilayah di Indonesia, penanganan kekerasan berbasis gender bahkan kerap ditangani oleh sistem keadilan lokal atau sistem keadilan non-negara (non-state justice system). Akan tetapi dalam prakteknya, mekanisme negara dan sistem keadilan non-negara biasanya saling mengisi dalam hal untuk mengupayakan keadilan bagi perempuan korban kekerasan. Mekanisme penyelesaian dengan system keadilan local sering dijadikan opsi karena permasalahan berbasis gender kerap dipandang sebagai sesuatu yang minor bagi kaum perempuan itu sendiri. Bahkan pun apabila dalam hal tersebut perempuan yang menjadi korbannya, pada masyarakat Indonesia memiliki kecenderungan yang tinggi untuk tidak mengungkapkan kasus demi

Upload: widya-naseva

Post on 15-Apr-2017

195 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Tjp pick a role

Nama : Widya Naseva Tuslian

NPM : 1106073245

Upaya Untuk Memperbaiki Kinerja Hakim

Role : Aktivis LBH APIK

Dalam menangani suatu perkara, hakim sering dihadapkan dengan kasus kasus berbasis

gender. Kekerasan dalam rumah tangga, perkosaan,perceraian, kekerasan dalam relasi

berpacaran(dating/relationship violence) dan sebagainya. Pada kasus kasus seperti demikian

diperlukan kinerja hakim yang memiliki pendekatan kusus dalam menangani kasus kasus

semacam ini. Karena kasus kasus berbasis gender biasanya memiliki kompleksitas yang tinggi

yang memerlukan hakim yang benar benar paham mengenai pendekatan hukum berbasis gender.

Di berbagai wilayah di Indonesia, penanganan kekerasan berbasis gender bahkan kerap ditangani

oleh sistem keadilan lokal atau sistem keadilan non-negara (non-state justice system). Akan

tetapi dalam prakteknya, mekanisme negara dan sistem keadilan non-negara biasanya saling

mengisi dalam hal untuk mengupayakan keadilan bagi perempuan korban kekerasan. Mekanisme

penyelesaian dengan system keadilan local sering dijadikan opsi karena permasalahan berbasis

gender kerap dipandang sebagai sesuatu yang minor bagi kaum perempuan itu sendiri. Bahkan

pun apabila dalam hal tersebut perempuan yang menjadi korbannya, pada masyarakat Indonesia

memiliki kecenderungan yang tinggi untuk tidak mengungkapkan kasus demi “nama baik

perempuan itu sendiri”. Namun dalam prakteknya bukanlah nama baik yang kunjung dapat

dijaga malah kecenderungan ini justru merugikan posisi perempuan dalam penyelesaiannya di

mekanisme non negara itu sendiri, dan hal ini menjadi penghalang untuk perempuan untuk

mengakses system keadilan yang lebih baik untuk dirinya. Pola kecenderungan untuk menjaga

suatu kasus kekerasan berbasis gender demi “nama baik perempuan itu sendiri” juga berimbas

pada kasus –kasus semacam ini (re:kasus –kasus kekerasan berbasis gender) tidak kunjung

terselesaikan di negeri ini, sehingga pola semacam ini membawa dampak bahwa seolah bukan

nya berupaya untuk menyembuhkan suatu luka, malahan menutup luka tanpa upaya

penyembuhan yang akhirnya sewaktu waktu luka tersebut dapat kambuh lebih parah daripada

keadaan yang seharusnya apabila ditangani.

Page 2: Tjp pick a role

Kasus-kasus kejahatan berbasis gender merupakan kejahatan atas upaya pembuktian

terhadap dominasi yang dilakukan terhadap perempuan. Kasus- kasus semacam ini juga timbul

akibat budaya patriarki yang sangat erat mempengaruhi kultur dari masyarakat Indonesia.

Kondisi tersebut tentunya memberikan dampak psikis tersendiri bagi perempuan baik yang

menjadi korban maupun pihak dalam kasus kekerasan berbasis gender. Hal ini memiliki akibat

didalam proses persidangan yang mana apabila hakim tidak memiliki pendekatan khusus

berbasis gender maka implikasi nya akan meluas hingga putusan putusan yang dihasilkan tidak

mencerminkan rasa keadilan. Disini hakim dalam prosesnya diharapkan tidak hanya memandang

dari sudut pandang perspektif yang ‘netral’ saja , tidak hanya memandang dari fakta-fakta yuridis

saja tapi juga sedikit banyak mempertimbangkan mengenai keadilan berperspektif gender supaya

harapan terhadap proses penyelesaian hukum yang berbuah keadilan masih mungkin terwujud.

Disinilah diperlukan integeritas hakim sebagai suatu profesi yang memiliki standar yang tinggi

dan merupakan suatu profesi yang luhur . Integeritas bagi seorang hakim diperlukan

Laporan tahunan Komnas Perempuan dan berbagai organisasi perempuan termasuk

Lembaga Bantuan Hukum senantiasa menyajikan tingginya angka kekerasan berbasis gender

yang terjadi di Indonesia (Komnas Perempuan 2010). Adapun jumlah kasus Kekerasan Dalam

Rumah Tangga merupakan jenis kasus kekerasan berbasis gender yang paling banyak dilaporkan

ke Kepolisian .1Peningkatan jumlah kasus KDRT yang dilaporkan ke Kepolisian belum

berbanding lurus dengan penghukuman yang layak bagi para pelaku KDRT, Sebagai contoh

dalam suatu kasus kekerasan fisik yang dilakukan oleh seorang suami terhadap istri di

Pekanbaru, si pelaku hanya dituntut hukuman penjara selama satu tahun dimana Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Pekanbaru hanya menjatuhkan putusan sebesar 10 bulan bagi pelaku. Kendati

Pengadilan Tinggi menambah hukuman pelaku menjadi satu tahun enam bulan penjara, namun

Mahkamah Agung berpendapat lain dan mengembalikan jumlah hukuman sesuai dengan putusan

Pengadilan Negeri Pekanbaru yakni hukuman penjara 10 bulan. Dalam putusannya, Mahkamah

Agung berpendapat bahwa ‘pertimbangan Pengadilan Tinggi Riau tidak sesuai dengan fakta

yang terungkap di persidangan, karena hanya berdasarkan keterangan satu saksi saja’2. Selain itu, 1 (LBH APIK Jakarta 2009; Mitra Perempuan 2009).2 Komnas Perempuan.”Akses Perempuan terhadap Keadilan: Mekanisme Hukum dan Keadilan, Peranan

Pendamping, dan Rasa Keadilan Korban”.http://www.komnasperempuan.or.id/keadilanperempuan/index.php?option=com_content&view=article&id=82:akses-perempuan-terhadap-keadilan-mekanisme-hukum-dan-keadilan-peranan-pendamping-dan-rasa-keadilan-korban&catid=41:tulisan-lain,hlm.1, diunduh jumat 18 april 2014 pukul.16.01WIB

Page 3: Tjp pick a role

Mahkamah Agung memasukan keterangan terdakwa yang menyatakan bahwa pemicu dari

kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri dalam kasus ini adalah karena sang istri sering

keluar malam tanpa tujuan dan tanpa ijin terdakwa yang membuat terdakwa menjadi tertekan.

Disnilah hakim yang menurut undang undang no 3 tahun 2009 dituntut memiliki sikap

yang antaralain berperilaku adil, jujur, berperilaku arif dan bijaksana seharusnya dapat

menjunjung tinggi perilaku yang seharusnya menjadikan sikap-sikap yang sedemikian tersebut

sebagai pedomannya dalam hal mempertimbangkan dan memutuskan kasus-kasus berbasis

gender tersebut. Hakim yang dianggap tahu mengenai hukum seharusnya dapat

mempertimbangkan dari segala aspek dalam hal kasus yang ditanganinya. Terlebih lagi menurut

penjelasan l 5 ayat (3) Undang-Undang No.39 Tahun 1999, Perempuan dan anak anak dalam hal

ini merupakan kelompok rentan didalam masyarakat , sehingga seharusnya hakim memahami

mengenai kasus-kasus yang berbasis gender dalam hal ini. Karena bukanlah hanya penerapan

undang undang dalam kasus hukum yang ditanganinya namun juga perspektif individu dari

hakim itu sendiri pun akan mempengaruhi pemikiran hakim terhadap suatu kasus.

Maka dari itu penulis berfikir untuk pentingnya pendidikan hukum berbasis HAM dan

Gender bagi para calon hakim yang ada di Indonesia. Bahkan, pendidikan hukum berbasis

gender penting untuk diwajibkan didalam kurikulum Fakultas Hukum di Universitas- Universitas

di Indonesia agar setidaknya bakal calon-calon hakim dan yuris di Indonesia memahami

mengenai konsep hukum dan keadilan berbasis gender agar para calon hakim memiliki sudut

pandang yang lebih luas mengenai konsep konsep keadilan dan hak asasi manusia itu sendiri

juga mengenai konsep keadilan berbasis gender yang belum mendapatkan perhatian khusus

hingga saat ini. Masyarakat membutuhkan pejabat publik yang lebih memahami dan mematuhi

hak asasi manusia serta keadilan berbasis gender, dan yang mengambil pendekatan berprinsip

dalam pengambilan keputusan3. Pendidikan hukum berbasis gender juga selayaknya mutlak perlu

untuk hakim- hakim disektor peradilan agama karena Hakim pengadilan agama adalah penafsir

hukum primer bagi masalah hukum keluarga Islam, dan mereka berpengaruh besar dalam

menentukan isu-isu yang berkaitan dengan hak-hak perempuan dan kesetaraan gender di

Indonesia4.

Pada akhirnya apabila pendidikan dan pelatihan hakim berbasis gender ini dapat di

laksanakakan perlahan namun pasti reformasi sector peradilan di Indonesia dapat kunjung 3 Indolegalreformind. “Sektor Keadilan”.hlm.14 Ibid.,hlm.2

Page 4: Tjp pick a role

dilaksanakan. Hal ini tentunya akan sangat berpengaruh terhadap pola dan kinerja hakim

kedepannya. Agar nantinya ekspektasi masyarakat untuk mendapatkan keadilan dari proses

peradilan negara (State Justice system) dapat terwujud dikemudian hari.