tinjauan yuridis pemberian kredit oleh bank untuk
TRANSCRIPT
Tinjauan Yuridis Pemberian Kredit Oleh Bank Untuk Transaksi Leveraged
Buyout Di Indonesia
Paula Aprijanto
Fakultas Hukum, Universitas Indonesia, Kampus Baru UI Depok, 16424, Indonesia
E-mail: [email protected]
Abstrak
Suatu akuisisi umumnya membutuhkan dana yang relatif besar. Skripsi ini membahas tentang pembatasan
pemberian kredit oleh bank untuk pembiayaan transaksi leveraged buyout. Terdapat dua permasalahan yang
dibahas dalam skripsi ini yakni (1) batasan-batasan dan larangan-larangan pemberian kredit oleh bank
berdasarkan ketentuan perundang-undangan terkait saat ini dan (2) implikasi hukum pembatasan pemberian
kredit perbankan untuk pembelian saham perusahaan tertutup dalam rangka transaksi leveraged buyout. Bentuk
penelitian ini adalah yuridis-normatif. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa praktik pembiayaan
transaksi leveraged buyout belum diatur secara jelas dalam ketentuan perbankan di Indonesia. Penulis
menyimpulkan bahwa pada dasarnya pemberian kredit untuk transaksi leveraged buyout dapat dilakukan oleh
bank di Indonesia selama tujuan dari pemberian kredit adalah untuk pengembangan usaha.
Juridical Review on Bank Loans for Leveraged Buyout Transaction in Indonesia
Abstract
An acquisition predominantly requires an extensive amount of funds. This paper discusses restrictions imposes
by Indonesia’s regulations on bank loans for leveraged buyout transactions in Indonesia. There are two
concerning issues: (1) restrictions and bans on bank loans based on current legislations and (2) juridical
implications on bank loans restriction for funding an acquisition of a private company in a leveraged buyout
scheme. This research uses juridical-normative approach. This result of this research reveals that there is no
distinctive law regulating bank loans for leveraged buyout transaction in Indonesia. It is concluded that
leveraged buyout transaction is allowed to be funded by bank loans in Indonesia only if the objective of the
acquisition is to expand the debtor’s current business.
Key words: leveraged buyout, credit, acquisition, takeover
Pendahuluan
Salah satu bentuk akuisisi adalah leveraged buyout (selanjutnya disebut LBO). LBO
merupakan suatu bentuk aksi korporasi yang sangat populer pada tahun 1980-an, dimana
antara tahun 1979-1989, terdapat lebih 2.000 transaksi LBO yang bernilai lebih dari US $250
miliar.1 Aktivitas LBO meningkat tajam selama periode ini dimulai dengan empat buah
1 Vincent Wahyudi, “Tinjauan Yuridis Leveraged Buyout Dalam Pasar Modal Indonesia: Perlindungan
Terhadap Pemegang Saham Minoritas dan Penerbitan Obligasinya,” (Skripsi Universitas Indonesia, Depok,
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
2
akuisisi dengan nilai agregat sebesar US$1,7 miliar pada tahun 1980 dan meraih puncak
keemasannya pada tahun 1988 dimana terjadi 410 buah LBO dengan total nilai agregat
sebesar US$188 miliar2. Tingginya tingkat pelaksanaan LBO kemudian diikuti dengan
munculnya gelombang kedua pada tahun 1990-an 2000-an sehingga total transaksi LBO yang
terjadi tidak kurang dari 5.000 transaksi3.
LBO memiliki pola akuisisi yang menyebabkan pihak pembeli perusahaan tidak
mengeluarkan uang sendiri untuk harga pembelian, kecuali relatif sejumlah kecil dana untuk
memperlancar proses awal LBO yang bersangkutan.4 Setelah perusahaan target berhasil
dibeli, pengembalian dana pinjaman kepada pihak ketiga akan ditanggung dan menjadi utang
perusahaan target. Dana tersebut akan dicicil oleh Perusahaan Target dengan menerbitkan
obligasi (bonds) dengan bunga tinggi, seringkali tanpa jaminan sehingga bersifat spekulatif.5
Obligasi tersebut disebut sebagai junk-bonds atau obligasi sampah. Dengan kata lain, aset
Perusahaan Target akan diagunkan untuk menutupi biaya transaksi LBO.
Sebagai ujung tombak lembaga keuangan, sektor perbankan selama ini dominan dalam
menyediakan dana untuk membiayai kegiatan-kegiatan di berbagai sektor ekonomi,
khususnya untuk transaksi LBO ini. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai produk jasa
lainnya, bank membantu para nasabah dalam hal melayani kebutuhan pembiayaan serta
melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi sektor perekonomian. Hal ini sejalan
dengan fungsi bank sebagai Financial Intermediary.6
Fungsi ini tampak dari kegiatan
penghimpunan dana dan penyaluran kredit yang dijalankan oleh bank.
Di negara berkembang seperti Indonesia ini, kegiatan bank terutama dalam pemberian kredit
merupakan salah satu kegiatan bank yang sangat penting dan utama. Pendapatan bank dari
kredit yang berupa bunga merupakan komponen pendapatan paling besar dibandingkan
2013), hlm. 39. Vide: Kenneth A. Carow dan Dianne M. Roden, “Determinants of the Stock Price Reaction to
Leveraged Buyouts,” Journal of Economics and Finance 21, no. 3 (1997), hlm. 49.
2 Securities Data Corporation, sebagaimana dikutip dalam Jonathan Olsen, “Note on Leveraged Buyout.”
Center for Private Equity and Entrepreneurship Tuck School of Business at Dartmouth,
http://pages.stern.nyu.edu/~igiddy/LBO_Note.pdf.
3 Vincent Wahyudi, loc. cit. Vide: Kevin Amess dan Mike Wright, “Leveraged Buyouts, Private Equity
and Jobs,” Small Business Economics 38:4 (2012), hlm. 419.
4 Munir Fuady, Hukum Tentang Akuisisi, Take Over dan LBO, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001),
hlm. 141.
5 Ibid., hlm. 31.
6 Ruddy Tri Santoso, Kredit Usaha Perbankan, ed. 1, cet. 1, (Yogyakarta: Andi, 1996), hlm. 4.
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
3
dengan pendapatan jasa-jasa di luar bunga kredit yang biasa disebut fee-based income.7
Sumber dana perbankan yang dipinjamkan kepada masyarakat dalam bentuk kredit tersebut
bukan dana milik bank sendiri karena modal perbankan juga terbatas tetapi merupakan dana-
dana masyarakat yang disimpan dalam bank tersebut.
Untuk mendapatkan fasilitas kredit dari bank bukanlah hal yang begitu saja terjadi.
Mengingat bahwa sumber dana perbankan berasal dari masyarakat, penyaluran kredit harus
dilakukan dengan prinsip kehatian-hatian melalui analisa yang akurat. Banyak hal-hal yang
harus dikaitkan mengenai perkreditan ini sehingga membuat masalah perkreditan menjadi
masalah yang kasuistis. Pasal 8 UU Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan yang
selanjutnya diubah dengan UU Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan (selanjutnya
disebut UU Perbankan) mengatur bahwa dalam memberikan kredit, Bank wajib mempunyai
keyakinan berdasarkan analisis yang mendalam atas itikad dan kemampuan serta
kesanggupan Nasabah Debitur untuk melunasi utangnya sesuai dengan yang diperjanjikan.
Selanjutnya, Pasal 29 ayat (3) UU Perbankan mengatur bahwa dalam memberikan kredit,
bank wajib menempuh cara-cara yang tidak merugikan bank dan kepentingan nasabah yang
mempercayakan dananya kepada bank.
Pembiayaan LBO merupakan suatu pasar bagi sektor perbankan. Risiko pembiayaan LBO
memiliki risiko yang sama dengan risiko pembiayaan transaksi pembiayaan konvensional.8
Namun, mengingat bahwa transaksi LBO bersifat high-profile, tentunya bank harus
menganalisa aplikasi kredit secara kritis guna menjaga kredibilitas bank agar tetap dipercayai
oleh masyarakat. Kredit yang dikelola dengan prinsip kehati-hatian akan menempatkan pada
kualitas kredit yang memiliki performa baik sehingga memberikan pendapatan yang besar
bagi bank.
Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak awal permohonan kredit harus dilakukan analisa secara
mendalam. Analisa dilakukan dengan menilai berbagai aspek seperti aspek hukum, aspek
pemasaran, aspek teknis, aspek lingkungan dan aspek-aspek lainnya.9
Aspek hukum
merupakan salah satu aspek yang sangat penting dalam setiap transaksi apapun termasuk
7 Sutarno, Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, ed. Rev, cet. 4, (Bandung: Alfabeta, 2009), hlm.
2.
8
James B. Thomson, “Bank Lending to LBOs: Risks and Supervisory Response,” Economic
Commentary Federal Reserve Bank of Cleveland, Feb. 1989.
9 Sutarno, op. cit., hlm. 3.
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
4
pemberian kredit. Tidak ada transaksi bank yang tidak mengandung aspek hukum karena
transaksi yang dilakukan oleh bank adalah suatu perbuatan hukum.10
Salah satu aspek hukum yang perlu diperhatikan adalah adanya aturan-aturan pembatasan
pemberian kredit oleh bank. Salah satu pembatasan tersebut adalah pembatasan pemberian
kredit untuk pembelian saham serta pemilikan saham oleh bank berdasarkan Surat Edaran
Bank Indonesia Nomor 23/3/UKU dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
23/70/KEP/DIR tertanggal 28 Februari 1991 yang kemudian diubah dengan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia
Nomor 24/1/UKU tanggal 12 Agustus 1991 Tentang Pembatasan Pemberian Kredit Untuk
Pembelian dan Pemilikan Saham oleh Bank dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Nomor 26/68/KEP/DIR dan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia Nomor 26/1/UKU tanggal
07 September 1993 Tentang Saham Sebagai Agunan Tambahan Kredit. Peraturan tersebut
mengatur bahwa bank tidak diperkenankan untuk memberikan kredit guna membiayai
pembelian saham kepada perusahaan bukan sekuritas. Larangan tersebut dibuat dalam rangka
prinsip kehati-hatian bank mengingat bahwa transaksi jual-beli saham merupakan suatu
transaksi yang berisiko tinggi dan perlu dihindari. Larangan ini memperketat ruang gerak
perbankan Indonesia yang sebelumnya leluasa dengan diterbitkannya Paket Oktober 1989.
Namun, mengingat bahwa transaksi LBO merupakan transaksi yang lazim dilakukan di
negara-negara maju, maka perlu dikaji lebih lanjut apakah transaksi LBO dengan fasilitas
kredit perbankan dari bank dalam negeri dapat diterapkan di Indonesia demi menunjang
perekonomian Indonesia.
Tinjauan Teoritis
1. Bank dan Kredit Perbankan
Bank merupakan salah satu lembaga pembiayaan yang mempunyai peranan penting dalam
masyarakat. Oleh karena itu hampir setiap orang pasti mengetahui mengenai peranan bank.
Dalam pembicaraan sehari – hari, bank dikenal sebagai lembaga keuangan yang kegiatan
utamanya menerima simpanan giro, tabungan, dan deposito.
Lembaga perbankan merupakan inti dari sistem keuangan di setiap Negara. Bank adalah
lembaga keuangan yang menjadi tempat bagi orang perseorangan, badan-badan usaha swasta,
10
Ibid., hlm. 4.
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
5
badan-badan usaha milik negara, bahkan lembaga-lembaga pemerintahan untuk menyimpan
dana-dana yang dimilikinya. Melalui kegiatan perkreditan dan berbagai jasa yang diberikan,
bank melayani kebutuhan pembiayaan serta melancarkan mekanisme sistem pembayaran bagi
semua sektor perekonomian.
Berkaitan dengan pengertian bank, Pasal 1 angka 2 UU Perbankan merumuskan bahwa:
“Bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk
simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan/atau
bentuk – bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.”11
Fungsi perbankan dapat dilihat dari ketentuan Pasal 3 UU Perbankan yang menyatakan bahwa
“[f]ungsi utama perbankan Indonesia adalah sebagai penghimpun dana dan penyalur dana
masyarakat.” Dari ketentuan tersebut mencerminkan fungsi bank sebagai perantara antara
pihak-pihak yang kelebihan dana (surplus of funds) dan pihak-pihak yang kekurangan dan
memerlukan dana (lack of funds).
Dalam beberapa literatur terdapat berbagai macam pengertian mengenai kredit, antara lain:
1. H.M.A. Savelberg menyatakan kredit adalah: 12
a. Sebagai dasar dari setiap perikatan dimana seseorang berhak menuntut sesuatu dari
yang lain.
b. Sebagai jaminan, dimana seseorang menyerahkan sesuatu kepada orang lain dengan
tujuan untuk memperoleh kembali apa yang diserahkan itu.
2. Mr. J. A. Levy merumuskan arti kredit adalah menyerahkan secara sukarela sejumlah
uang untuk dipergunakan secara bebas oleh si penerima kredit. Si penerima kredit
berhak pempergunakan pinjaman itu untuk keuntungannya dengan kewajiban
mengembalikan jumlah pinjaman itu kemudian hari.13
3. Drs. Muchdarsyah Sinungan mengartikan kredit sebagai suatu pemberian prestasi oleh
suatu pihak kepada pihak lainnya dan prestasi itu akan dikembalikan lagi pada suatu
masa tertentu yang akan datang disertai dengan suatu kontra prestasi berupa bunga. 14
11
Indonesia (2), Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, L.N. Nomor 182 Tahun 1998, T.L.N. Nomor
3790, Pasal 1 Angka 2.
12
Mariam Darus Badrulzaman, Perjanjian Kredit Bank, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 21.
13
Ibid.
14
Ibid., hlm. 12.
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
6
4. Gatot Supramono mendefinisikan kredit sebagai perjanjian pinjam meminjam uang
antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai debitur. Dalam perjanjian ini,
bank sebagai kreditur percaya terhadap nasabahnya dalam jangka waktu yang
disepakatinya akan dikembalikan (dibayar lunas).15
Dengan demikian, kredit memiliki beberapa unsur sebagai berikut:16
1. Kepercayaan
Kredit memiliki keyakinan bahwa kepercayaan (prestasi) yang diberikan baik dalam
bentuk barang atau jasa akan benar-benar diterima kembali dalam jangka waktu
tertentu di masa yang akan datang. Dalam hal ini, terdapat keterlibatan dua pihak,
yaitu pemberi kredit (kreditur) dan penerima kredit (debitur). Selanjutnya, dari unsur
kepercayaan ini juga termuat adanya penyerahan barang, jasa atau uang dari pemberi
kredit kepada penerima kredit.
2. Waktu
Dalam unsur waktu ini, terkandung pengertian nilai uang, bahwa uang yang ada saat
ini lebih tinggi dari yang akan diterima di masa yang akan datang.
3. Risiko
Semakin lama kredit diberikan, semakin besar tingkat risikonya. Hal ini karena adanya
unsur ketidakpastian di masa mendatang. Oleh karena itu kemungkinan kegagalan
harus selalu diperhitungkan. Unsur risiko inilah yang mendasari jaminan dalam
pemberian kredit.
4. Prestasi
Objek kredit dapat berbentuk barang dan jasa. Namun karena kehidupan modern tidak
terlepas dari adanya uang, maka transaksi-transaksi kredit yang menyangkut uang-lah
yang sering dijumpai dalam praktik perkreditan.
5. Bunga
Adanya unsur bunga atau margin sebagai kompensasi bagi kreditur yang merupakan
perhitungan atas beberapa komponen seperti biaya modal (cost of fund), biaya umum
(overhead cost), biaya atau premi risiko dan lain-lain.
6. Pertukaran nilai17
15
Gatot Supramono, Perbankan dan Masalah Kredit, (Jakarta: Djambatan, 1995), hlm. 28.
16
Thomas Suyatno dkk, Dasar-dasar Perkreditan, ed. 3, (Jakarta: Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
1993), pada Bab II (Pengertian dan Unsur-unsur Kredit, Butir B).
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
7
Kredit tanpa perhitungan dalam bentuk pertukaran nilai ekonomi tidak dapat disebut
sebagai suatu transaksi, sebab bila tidak ada unsur pertukaran nilai berarti tidak
terdapat suatu keseimbangan nilai, yang berarti pula ada salah satu pihak yang harus
berkorban.
Salah satu kegiatan usaha yang pokok bagi bank konvensional adalah berupa pemberian
kredit dan dikenal dengan sebutan kredit perbankan.18
Dalam UU Perbankan Pasal 1 angka
11, pengertian kredit disebutkan:
“Kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan
pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi hutangnya setelah
jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.”19
Dari rumusan di atas dapat diketahui bahwa kredit itu merupakan pinjam-meminjam uang
dalam kegiatan perbankan di Indonesia antara bank sebagai kreditur dengan nasabah sebagai
debitur. Suatu pinjam-meminjam uang akan digolongkan sebagai kredit perbankan sepanjang
memenuhi unsur-unsur berikut:20
1. Adanya penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan penyediaan
uang
Bank adalah pihak penyedia dana dengan menyetujui pemberian sejumlah dana
dengan menyetujui pemberian kredit sejumlah dana yang kemudian disebut sebagai
jumlah kredit atau plafon kredit. Sedangkan tagihan yang dapat dipersamakan dengan
penyediaan uang dalam praktik perbankan misalnya berupa pemberian garansi bank
dan penyediaan fasilitas dana untuk penerbitan Letter of Credit (L/C).
2. Adanya persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam antara bank dengan pihak
lain
Persetujuan atau kesepakatan pinjam-meminjam dibuat oleh pihak bank dan nasabah
dalam bentuk perjanjian kredit. Perjanjian kredit sebagai salah satu jenis perjanjian
tunduk pada ketentuan hukum positif di Indonesia.
17
H.M. Hazniel Harun, Hukum Perjanjian Kredit Bank, cet. 2, (Jakarta: Yayasan Tritura ”66, 1991), hlm.
4.
18
M. Bahsan, Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2007), hlm. 73.
19
Indonesia (2), op. cit., Pasal 1 Angka 11.
20
M. Bahsan, op. cit., hlm. 76.
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
8
3. Adanya kewajiban melunasi utang
Pinjam-meminjam uang memberikan suatu kewajiban bagi pihak-pihak yang
melakukannya. Bank wajib memberikan dana kepada nasabah debitur. Sedangkan
nasabah debitur wajib melunasi utang sesuai dengan yang telah diperjanjikan. Dengan
demikian, kredit perbankan bukanlah suatu bantuan yang diberikan secara cuma-cuma.
Kredit perbankan adalah suatu utang yang harus dilunasi oleh nasabah.
4. Adanya jangka waktu tertentu
Pemberian kredit terkait dengan suatu jangka waktu tertentu. Jangka waktu yang
ditetapkan merupakan batas waktu kewajiban bank untuk menyediakan dana pinjaman
dan menunjukkan kesempatan dilunasinya kredit. Jangka waktu kredit ditetapkan
berdasarkan kebijakan yang berlaku pada masing-masing bank dan
mempertimbangkan tujuan penggunaan kredit serta kemampuan membayar dari calon
nasabah setelah dinilai kelayakannya.
5. Adanya pemberian bunga kredit
Terhadap suatu kredit sebagai salah satu bentuk pinjaman uang ditetapkan adanya
pemberian bunga. Bank menetapkan suku bunga atas pinjaman uang yang
diberikannya. Bunga ini merupakan balas jasa atas penggunaan uang oleh nasabah
debitur. Bunga inilah yang menjadi salah satu sumber pendapatan utama bank.
Kredit perbankan disalurkan bank kepada masyarakat sesuai dengan fungsi utamanya sebagai
financial intermediary yakni menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat. Dalam
pelaksanaan pemberian kredit perbankan tersebut biasanya dikaitkan dengan berbagai
persyaratan, antara lain mengenai jumlah maksimal kredit, jangka waktu kredit, tujuan
penggunaan kredit, suku bunga kredit dan jaminan kredit. Dalam menyalurkan dana
masyarakat ini, masing-masing bank memiliki kebijakan-kebijakannya sendiri. Kebijakan
tersebut umumnya memuat persyaratan-persayaratan yang harus dipenuhi untuk memperoleh
kredit dari bank yang bersangkutan. Adapun pedoman tersebut biasa disebut dengan Pedoman
Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank (PPKPB) sebagaimana yang diamanatkan oleh Surat
Keputusan Direktur Bank Indonesia No. 27/162/KEP/DIR tertanggal 31 Maret 1995 tentang
Pedoman Penyusunan Kebijaksanaan Perkreditan Bank (selanjutnya disebut PPKPB).
PPKPB tersebut mengatur mengenai bagaimana cara memberikan kredit (prosedur),
bagaimana cara mengawasi kredit, dan bagaimana menyelamatkan kredit yang bermasalah.
Secara teoritis, PPKPB merupakan panduan bagi bank dalam menyusun Kebijaksanaan
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
9
Perkreditan Bank (selanjutnya disebut KPB), yaitu: (1) KPB harus mampu mengawasi
portofolio perkreditan secara keseluruhan dan menetapkan standar dalam proses pemberian
kredit secara individual; (2) KPB juga harus memiliki standar atau ukuran yang mengandung
pengawasan intern pada semua tahapan dalam proses pemberian kredit.21
Di samping itu,
panduan mengenai aspek dan standar minimal yang wajib dimuat dalam KPB dicantumkan
dalam suatu Pedoman Penyusunan Kebijakan Perkreditan Bank (PPKPB). Bank dapat
memperluas KPB tersebut sesuai dengan kebutuhannya masing-masing. Setiap tiga tahun,
bank harus mengadakan kajian berkala (periodical review) terhadap KPB dengan tetap
mengacu pada cakupan PPKPB ini untuk menjaga keefektivitasannya.
Suatu analisis kredit juga mencakup analisis mengenai aspek hukum terkait permohonan
kredit yang diajukan oleh calon debitur. Salah satu aspek hukum yang harus diperhatikan oleh
pejabat bank adalah adanya batasan dan larangan pemberian kredit oleh bank berdasarkan
ketentuan perundang-undangan yang ada. Aspek hukum yang terkait dengan penelitian ini
adalah Surat Keputusan Direksi BI Nomor 23/70/KEP/DIR dan Surat Edaran BI Nomor
23/3/UKU keduanya tertanggal 28 Februari 1991 (PAKTRI), kemudian disempurnakan
dengan Surat Edaran BI Nomor SE 24/1/UKU dan Surat Keputusan Direksi BI Nomor
24/32/KEP/DIR keduanya tertanggal 12 Agustus 1991 perihal Kredit Kepada Perusahaan
Sekuritas dan kredit dengan Agunan Saham. Pada pokoknya ketentuan ini merupakan
penyempurnaan dari ketentuan lama tentang kredit kepada Perusahaan Sekuritas dan kredit
dengan agunan saham dimana Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk (a)
pembelian saham dan/atau memiliki saham yang tidak dimaksudkan sebagai penyertaan dan
(b) modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham.
2. Akuisisi dan Leveraged Buyout
Akuisisi adalah suatu kata serapan dari bahasa Inggris, yaitu acquisition yang secara
etimologi berarti mengambil alih, menguasai, dan memperoleh. Akuisisi perusahaan dapat
dilakukan terhadap berbagai kegiatan usaha dengan berbagai bentuk usaha.22
Berbagai
pengertian atau definisi akuisisi dapat ditemui dalam berbagai literatur hukum perusahaan
21
Bank Indonesia (1), “Kamus Bank Sentral Republik Indonesia,”
http://www.bi.go.id/web/id/Kamus.htm?id=P&start=1&curpage=6&search=False&rule=last diakses pada
tanggal 27 September 2014 pukul 15:20.
22
Felix Oentoeng Soebagjo, Hukum Tentang Akuisisi Perusahaan, cet. 1, (Jakarta: Pusat Pengkajian
Hukum, 2006), hlm. 10.
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
10
memiliki kesamaan, yaitu pada hakekatnya, akuisisi adalah pengambilalihan kepentingan
pengendalian suatu perusahaan oleh perusahaan lain.23
Prof. Felix Oentoeng Soebagjo membedakan antara akuisisi, merger dan konsolidasi. Ia
berpendapat bahwa jika yang dilakukan adalah akuisisi perusahaan, maka pihak yang
melakukan akuisisi maupun pihak yang diakuisisi akan tetap eksis. Pihak yang melakukan
akuisisi akan menjadi pengendali dari pihak yang diakuisisi. Akibat dari akuisisi berbeda
dengan merger, karena apabila suatu merger dilakukan secara penuh dan tuntas, maka satu
diantara pihak-pihak yang melakukan merger akan menjadi surviving company, sedangkan
pihak yang lain menjadi disappearing company. Apabila para pihak memilih melakukan
peleburan perusahaan atau konsolidasi, maka yang akan menjadi surviving company adalah
suatu perusahaan baru yang didirikan oleh para pihak, sedangkan perusahaan-perusahaan
yang merupakan peserta peleburan dan pendiri dari perusahaan baru tersebut akan menjadi
disappearing company.24
Secara umum akuisisi telah diatur didalam UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan
Terbatas (selanjutnya disebut UUPT). Akuisisi dikenal dengan istilah pengambilalihan yang
didefinisikan sebagai “perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau
perseorangan untuk mengambilalih saham Perseroan yang mengakibatkan beralihnya
pengendalian atas Perseroan tersebut.”25
Hampir semua peraturan tersebut di atas menggunakan istilah "pengambilalihan," kecuali
dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1999 tentang Merger, Konsolidasi dan
Akuisisi Bank (PP 28/1999)26
dan Surat Keputusan Bank Indonesia Nomor 32/51/KEP/DIR
tanggal 14 Mei 1999 tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan Akuisisi
Bank Umum (SKBI 32/51/1999)27
yang menggunakan istilah "akuisisi." PP 28/1999 dan
SKBI 32/51/1999 mengatur mengenai akuisisi perbankan. Dalam Pasal 1 angka 4, akuisisi
23
Fuady, op. cit., hlm. 3.
24
Miranda Anwar, “Pencatatan Saham Lewat Belang (Backdoor Listing) Dengan Cara Melakukan
Akuisisi (Studi Kasus: Akuisisi PT Fatrapolindonusa Industri, Tbk., Oleh Titan International Corp.Sdn.Bhd.),”
(Skripsi Universitas Indonesia, Depok, 2008), hlm. 18. Vide: Soebagjo (1), op. cit., hlm. 89-90.
25
Indonesia (1), Undang-Undang Perseroan Terbatas, Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007, L.N.
Nomor 106 Tahun 2007, T.L.N. Nomor 4756, Pasal 1 Angka 11.
26
Indonesia (3), Peraturan Pemerintah tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank, Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999, L.N. Nomor 61 Tahun 1999, T.L.N. Nomor 3840, Pasal 1 angka 4.
27
Bank Indonesia (3), Surat Keputusan tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan
Akuisisi Bank Umum, Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/51/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999.
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
11
didefinisikan sebagai “pengambilalihan kepemilikan suatu Bank yang mengakibatkan
beralihnya pengendalian terhadap Bank.”28
Pengendalian sendiri adalah “kemampuan untuk
menentukan, baik secara langsung maupun tidak langsung dengan cara apapun, pengelolaan
dan atau kebijaksanaan Bank.”29
Jadi, pengambilalihan kepemilikan suatu usaha bank
dianggap sebagai akuisisi bila seluruh atau sebagian saham bank yang diakuisisi
mengakibatkan beralihnya pengendalian bank kepada pihak yang mengakuisisi.30
Salah satu jenis akuisisi adalah leveraged buyout. Pada dasarnya LBO adalah tindakan
akuisisi berupa pembelian seluruh atau sebagian besar saham dari suatu perusahaan oleh
investor dengan dana tambahan yang dipinjam dari pihak ketiga.31
Akusisi semacam ini
umumnya dibiayai dengan pinjaman sebesar 60% hingga 90% sehingga dinamakan leveraged
buyout.32
Philip Oliss yang merupakan partner pada Squire Sanders LLP, suatu firma hukum
di Amerika Serikat, mendefinisikan LBO sebagai “akuisisi suatu perusahaan dengan
menggunakan sejumlah pinjaman dimana aset perusahaan tersebut dijadikan jaminan.”33
Sedangkan Kartini Muljadi mengartikan LBO sebagai pembelian perseroan dalam arti akuisisi
saham oleh pihak pimpinan (management) atau oleh pihak investor luar dengan memakai
dana yang dipinjam dengan jaminan aktiva dari sasaran yang diambil alih (perusahaan target).
Kaplan dan Strömberg mengatakan bahwa dalam suatu LBO, suatu perusahaan diakuisisi oleh
suatu firma investasi dengan menggunakan porsi ekuitas rendah dan porsi pembiayaan hutang
yang relatif tinggi.34
Menurut Kevin Amess dan Mike Wright, pendanaan LBO tidak
selamanya bersumber dari private equity firm tetapi juga berasal dari sektor perbankan.
Hutang tersebut hampir selalu termasuk porsi hutang dengan jaminan dan hutang senior
(senior debt) dan diatur oleh bank. 35
Pada tahun 1980-an dan 1990-an, bank juga merupakan
28
Indonesia (3), op. cit., Pasal 1 angka 4.
29
Indonesia (3), op. cit., Pasal 1 angka 5.
30
Rachmadi Usman, Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 2001), hlm. 87.
31
Anne-Laure Le Nadant dan Frédéric Perdreau, "Financial Profile of Leveraged Buyout Targets: Some
French Evidence," Review of Accounting and Finance 5, no. 4 (2006), hlm. 370.
32
Steven N. Kaplan dan Per Strömberg, “Leveraged Buyouts and Private Equity,” of Economic
Perspectives 23, no. 1 (2009), hlm. 124.
33
Vincent Wahyudi, loc. cit. Vide: Philip Oliss, et. al., Chapter 11 Bankruptcy and Restructuring
Strategies: Leading Lawyers on Navigating Recent Trends, Cases and Strategies Affecting Clients, (Eagan:
Thomson Reuters, 2012), hlm. 54.
34
Kaplan dan Strömberg, op. cit,, hlm. 121.
35
Ibid., hlm. 124.
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
12
investor utama dalam transaksi LBO.36
Terdapat beberapa alasan kenapa LBO menggunakan
pinjaman dari bank:37
a. Kepemilikan bank yang terkonsentrasi memudahkan negosiasi38
Kemudahan negosiasi ini sebaliknya juga mengurangi kemungkinan kerugian pada
bank, terlebih lagi memudahkan bank untuk memberikan pinjaman dengan kovenan
yang lebih ketat.39
Kovenan ini tidak hanya membatasi moral hazard secara langsung
tetapi juga memberikan bank hak pengendalian untuk mengurangi risiko kredit.40
b. Bank memiliki berinsentif melakukan pengawasan
Pengawasan akan mengurangi moral hazard karena pengawasan memberikan
kemampuan bagi kreditur untuk mendeteksi adanya perilaku merugikan dari debitur
dengan adanya hak kontrol dari kovenan, untuk memberikan hukuman bagi debitur
berupa likuidasi hutang atau perubahan jangka waktu pinjaman. Park41
dan Diamond42
berargumen bahwa status pinjaman dengan jaminan (secured loans) yang dimiliki
bank dalam suatu transaksi yang dibiayai dengan hutang (Highly Leveraged
Transaction/HLT) memberikan kelebihan karena bank berinsentif melakukan
pengawasan ketika terjadi perubahan aktivitas debitur.
c. Ketika LBO didanai dengan pinjaman jangka pendek dari bank, efek insentif dari
utang akan lebih tinggi43
36
Steven N. Kaplan dan Jeremy Stein, “The Evolution of Buyout Pricing and Financial Structure in the
1980s,” Quarterly Journal of Economics 108, no. 2 (1993), hlm. 313.
37
Kaplan dan Strömberg, op. cit., hlm. 141. Vide: Cam Demiroglu dan Christopher James, “Lender
Control and the Role of Private Equity Group Reputation in Buyout Financing,” Warrington College of Business
Administration University of Florida Working Paper (2007), hlm. 1.
38
Mitchell Berlin dan Loretta J. Mester, “Debt Covenants and Renegotiation,” Journal of Financial
Intermediation, 2, no. 2 (1992), hlm. 133.
39
Stuart C. Gilson, Kose John dan Larry H. P. Lang, “Troubled Debt Restructurings: An Empirical
Analysis of Private Reorganization of Firms in Default,” Journal of Financial Economics 27, no. 2 (1990), hlm.
353.
40
Greg Nini, David C. Smith dan Amir Sufi, “Creditor Rights and Firm Investment Policy,“ University of
Chicago Working Paper (2007), hlm. 1.
41
Cheol Park, “Monitoring and Structure of Debt Contracts, Monitoring and Structure of Debt
Contracts,” Journal of Finance 55, no. 5 (2000), hlm. 2195.
42
Douglas W. Diamond, “Seniority and Maturity of Bank Loan Contracts,” Journal of Financial
Economics 33, no. 3 (1993), hlm. 368.
43
Kaplan dan Strömberg, op. cit,, hlm. 131. Vide: Michael C. Jensen, “The Agency Costs of Free Cash
Flow: Corporate Finance and Takeovers,” American Economic Review 76, no. 2 (1986), hlm. 329.
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
13
Secara khusus, hutang yang memiliki jangka jatuh tempo yang lebih singkat
memerlukan jasa pembayaran utang sehingga akan meningkatkan insentif bagi para
manajer untuk bekerja lebih keras mendapatkan keuntungan pada masa awal LBO.
d. Pada kasus-kasus management buyout (MBO), absennya pihak ketiga yang
mengawasi buyout membuat peran pengawas oleh bank sebagai kreditur sangat
menguntungkan44
Perbedaan lain antara LBO yang didanai oleh private equity firm dengan yang berasal
dari pihak perbankan antara lain tampak dari pada akibat yang terkait dengan ketersediaan
lapangan pekerjaan. Pada LBO yang didanai oleh private equity firm kemungkinan terjadinya
pengurangan jumlah pekerja di perusahaan tersebut akan lebih besar jika LBO didanai oleh
pihak bank.45
Metode Penelitian
Bentuk penelitian yang digunakan dalam skripsi ini yakni studi kepustakaan atau yuridis-
normatif. Penelitian yuridis-normatif menekankan pada penggunaan norma hukum tertulis.
Norma hukum tertulis yang digunakan dalam skripsi ini merupakan peraturan perundang-
undangan yang berlaku di Indonesia, khususnya di bidang perbankan. Sedangkan, tipe
penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian eksplanatoris, dimana tujuannya
yakni untuk menjelaskan secara lebih mendalam mengenai pemberian fasilitas kredit
perbankan khususnya untuk transaksi LBO.
Dilihat dari sifatnya, penelitian dalam skripsi ini menggunakan metode deskriptif analisis
yang bersifat kualitatif, yaitu memberikan data yang seteliti mungkin tentang manusia,
keadaan, atau gejala-gejala lainnya yang didasari atas data empiris yang didapat dari data
primer dan data sekunder.46
Pembahasan
44
James F. Cotter and Sarah W. Peck, “The Structure of Debt and Active Equity Investors: The Case of
Buyout Specialists,” Journal of Financial Economics 59, no. 1 (2001), hlm. 101.
45
Kevin Amess dan Mike Wright, “Leveraged Buyouts, Private Equity and Jobs,” Small Business
Economics 38:4 (2012), hlm. 419-420.
46
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, cet. 3, (Jakarta: UI Press, 1986), hlm. 10.
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
14
Pada tanggal 23 Oktober 2001, PT. Bumi Resources, Tbk. menandatangani Sale and
Purchase Agreement dengan BHP Australia untuk mengambilalih 80% saham milik BHP
Minerals Exploration, Inc. di PT. Arutmin Indonesia. Total nilai transaksi tersebut adalah
sebesar US$ 148,5 juta yang dialokasikan untuk pembelian saham senilai US$140 juta dan
pengalihan hutang BHP Development Finance Pty., Ltd. di PT. Arutmin Indonesia sebesar
US$ 8,5 juta. Sumber pembiayaan transaksi akusisi sebesar US$ 148,5 juta diperoleh dari
Bank dan Lembaga Keuangan PT. Rifan Financindo Asset Management (RFAM). Untuk
membiayai transaksi tersebut, PT. Bumi Resources, Tbk. meminjam dana dari Bank Mandiri
berdasarkan perjanjian kredit bridging nomor KP-COD-008/PK-KI-VA-2001 tanggal 19
Oktober 2001 (selanjutnya disebut Perjanjian Kredit). Pinjaman tersebut diperoleh dengan
jaminan berupa seluruh aktiva, persediaan piutang, seluruh saham yang dimiliki PT. Bumi
Resources, Tbk., dan seluruh saham Long Haul Holding, Ltd.
Terdapat dua pendapat mengenai boleh tidak-nya transaksi demikian dilakukan di Indonesia.
Pendapat pertama diungkapkan oleh Bapak Dwiyapoetra Soeyasa Besar, Deputi Direktur
Makroprudensial Bank Indonesia. Beliau mengatakan bahwa dalam praktiknya, LBO
digunakan untuk mendapatkan suatu profit yang kemudian membuat LBO menjadi buruk.
Beliau mengatakan bahwa dalam suatu LBO sangat mungkin terjadi penurunan usaha dari
Perusahaan Target. Hal ini dikarenakan arus kas dari Perusahaan Target dibebani dengan
utang dari pihak pengakuisisi. Perusahaan Target LBO sendiri seringkali merupakan
perusahaan yang sedang berada dalam kondisi kesulitan keuangan. Di satu pihak, Perusahaan
Target berpotensi untuk berkembang tetapi di sisi lain, ia tidak memiliki dana untuk itu. Di
sinilah pihak pengakuisisi selaku investor masuk. Alih-alih untuk mengembangkan usaha,
yang terjadi justru membuat kondisi perusahaan menjadi lebih buruk. Dari segi pembiayaan,
apabila terjadi suatu keadaan overleveraged, secara makro, sangat rentan terhadap kenaikan
suku bunga dan terjadinya krisis. Pendapat kedua diungkapkan oleh Ibu Sri Rahayu,
Managing Partner dari Rahayu & Partners. Beliau mengatakan bahwa pembiayaan akuisisi
dengan menggunakan kredit dari bank merupakan suatu hal yang umum terjadi dalam praktik.
Namun, umumnya pihak pengakuisisi melakukan peminjaman dana dari bank luar negeri.
Beliau mengatakan pilihan meminjam dari bank ataupun lembaga pembiayaan seperti Private
Equity Firm lebih menarik daripada harus meminjam dari bank dalam negeri karena kurs
bunga yang dikenakan lebih rendah, selain itu restriksi pinjaman juga minimal dibandingkan
dengan pengaturan pemberian kredit di Indonesia yang terikat pada berbagai macam
peraturan sehingga cenderung sangat ketat. Beliau mengatakan bahwa Surat Keputusan
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
15
Direksi Bank Indonesia Nomor 24/32/KEP/DIR tidak melarang kegiatan pemberian kredit
untuk transaksi akuisisi. Pada dasarnya peraturan tersebut diterbitkan untuk melarang bank
berpartisipasi dalam pemberian kredit untuk pelaku pasar modal yang sering melakukan
tindakan short-selling.47
Tindakan short-selling berdampak buruk terhadap keadaan pasar
modal dan menyebabkan tidak stabilnya perekonomian. Oleh karena itu, berdasarkan
peraturan tersebut, bank dilarang untuk memberikan kredit kepada orang-perorangan atau
perusahaan non-sekuritas. Hal ini untuk mengurangi risiko kegagalan perbankan akibat suatu
tindakan spekulatif. Selain itu, agar bank dapat menentukan apakah akuisisi yang dibiayai
merupakan suatu kegiatan dalam rangka ekspansi usaha, bank harus melakukan analisa
terhadap permohonan kredit dari pihak pengakuisisi. Bank harus memperhatikan Anggaran
Dasar dari perusahaan yang bersangkutan untuk membuktikan apakah memang benar
mengajukan kredit untuk pengembangan usaha.
Pembiayaan transaksi LBO PT. Bumi Resources, Tbk. dan PT. Arutmin oleh Bank Mandiri
dapat dianalogikan sebagai pemberian kredit untuk orang asing. Berdasarkan PBI Nomor
7/14/PBI/2005 Tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing
Oleh Bank, bank dilarang memberikan kredit dalam rupiah dan atau valuta asing kepada
pihak asing. Dikarenakan adanya perkembangan dan integrasi pasar keuangan secara global,
peningkatan transaksi rupiah antara bank dengan WNA dan badan usaha asing dalam
perkembangannya telah menimbulkan ketidakstabilan kondisi moneter di dalam negeri,
khususnya dalam bentuk tekanan terhadap nilai tukar rupiah.48
Pengaturan terhadap transaksi
rupiah dan pemberian kredit dalam valuta asing antara bank dengan pihak-pihak tersebut
merupakan langkah kehati-hatian dalam rangka melindungi integritas dan stabilitas sistem
keuangan Indonesia, sekaligus mengoptimalkan pemanfaatan sumber dana dalam negeri, baik
dalam rupiah maupun valuta asing, serta bagi kegiatan-kegiatan yang dapat menunjang
perekonomian domestik untuk berkembang. Oleh sebab itu, larangan pemberian kredit bagi
pihak asing tersebut tidak berlaku apabila kredit “diberikan untuk pembiayaan proyek di
47
Yang dimaksud dengan short-selling adalah suatu cara yang digunakan dalam penjualan saham di mana
investor atau trader meminjam dana (on margin) untuk menjual saham (yang belum dimiliki) dengan harga
tinggi dengan harapan akan membeli kembali dan mengembalikan pinjaman saham ke pialangnya pada saat
saham turun (Diana Kusumasari, “Pengaturan Mengenai Short Selling,”
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4663/pengaturan-mengenai-short-selling diakses pada tanggal 29
November 2014 pukul 20.42).
48
Bank Indonesia (2), Bank Indonesia (2), Peraturan Bank Indonesia Tentang Pembatasan Transaksi
Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank, PBI Nomor 7/14/PBI/2005, L.N. Nomor 50 DPD Tahun
2005, Penjelasan.
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
16
sektor riil49
untuk usaha produktif yang berada di wilayah Indonesia.”50
Di Indonesia, pihak
asing dapat mengajukan kredit pembiayaan untuk membangun usaha di Indonesia. Bank tidak
melarang tindakan tersebut karena, sebagai negara berkembang, Indonesia membutuhkan
investasi yang cukup besar dari pihak asing. Namun, di sisi lain, umumnya pihak asing lebih
memilih untuk mengajukan kredit dibandingnkan mengeluarkan uang tunai untuk memitigasi
risiko investasi yang cukup besar. Situasi di atas dapat dianalogikan dengan pemberian kredit
untuk transaksi LBO. Dapat disimpulkan dari kedua pendapat di atas bahwa LBO sebenarnya
dapat dilakukan di Indonesia. Hal ini digunakan untuk meningkatkan investasi dan
pengembangan usaha di Indonesia.
Kesimpulan
Dari pembahasan yang telah diuraikan di atas, maka kesimpulan yang dapat ditarik adalah:
1. Saat ini terdapat beberapa pengaturan kredit perbankan khususnya larangan dan
pembatasan pemberian kredit perbankan di Indonesia, antara lain:
i. Bank dibatasi dalam memberikan kredit untuk pembelian atau pengadaan tanah kepada
developer atau pengembang berdasarkan Surat Keputusan Direksi BI Nomor
30/46/KEP/DIR dan Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 30/2/UK Tahun 1997
Tentang Pembatasan Pemberian Kredit Untuk Pembiayaan Pengadaan dan atau
Pengolahan Tanah.
ii. Bank dibatasi dalam memberikan kredit kepada perusahaan sekuritas berdasarkan Surat
Edaran BI Nomor SE 24/1/UKU dan Surat Keputusan Direksi BI Nomor
24/32/KEP/DIR perihal Kredit Kepada Perusahaan Sekuritas dan kredit dengan Agunan
Saham
iii. Bank tidak diperbolehkan melanggar Batas Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) PBI
Nomor 8/13/PBI/2006 Tentang Batas Maksimum Pemberian Kredit.
iv. Bank harus mematuhi PPKB sesuai dengan Surat Keputusan Direksi BI Nomor
27/162/KEP/DIR dan Surat Edaran BI Nomor 27/7/UPPB dalam Pedoman Penyusunan
Kebijaksanaan Pemberian Kredit (PPKPB), termasuk juga:
1. Memberikan kredit tanpa perjanjian secara tertulis
49
Yang dimaksud dengan sektor riil adalah sektor produksi dan perdagangan barang dan jasa, namun
tidak termasuk sektor jasa keuangan seperti kegiatan jual beli Surat Berharga (lih. Bank Indonesia (2), op.cit.,
Penjelasan Pasal 6 ayat (1)).
50
Bank Indonesia (2), op. cit., Pasal 9 ayat (1).
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
17
2. Memberikan kredit kepada usaha yang sejak semula telah diperhitungkan bahwa
usaha tersebut kurang sehat dan akan membawa kerugian
3. Memberikan kredit tanpa informasi keuangan nasabah debitur yang cukup
v. Bank tidak diperkenankan memberikan kredit untuk Setoran Margin Deposit Transaksi
Derivatif berdasarkan Surat Keputusan Direksi BI Nomor 28/119/KEP/DIR dan PBI
Nomor 7/31/PBI/2005 Tentang Transaksi Derivatif.
vi. Sesuai dengan Surat Keputusan Direksi BI Nomor 23/70/KEP/DIR dan Surat Edaran BI
Nomor 23/3/UKU, kemudian disempurnakan dengan Surat Edaran BI Nomor SE
24/1/UKU dan Surat Keputusan Direksi BI Nomor 24/32/KEP/DIR perihal Kredit
Kepada Perusahaan Sekuritas dan kredit dengan Agunan Saham, Bank tidak
diperkenankan memberikan kredit untuk:
1. Pembelian saham dan atau memiliki saham yang tidak dimaksudkan sebagai
penyertaan
2. Modal kerja dalam rangka kegiatan jual beli saham
vii. Bank tidak diperkenankan untuk memberikan kredit kepada perorangan atau perusahaan
yang tidak berdomisili di Indonesia berdasarkan PBI Nomor 7/4/PBI/2005 Tentang
Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta Asing yang sebagian telah
diubah dengan PBI Nomor 16/9/PBI/2014.
viii. Bank dilarang untuk menerima pelunasan kredit dari Surat Berharga Komersial
(Commercial Paper) sesuai dengan Surat Keputusan Direksi BI Nomor 28/52/KEP/DIR
dan Surat Edaran BI Nomor 49/52/UPG tentang Persyaratan Perdagangan dan
Penerbitan Surat Berharga Komersial (Commercial Paper).
ix. Bank dilarang memberikan kredit lebih dari Rp 50 juta kepada satu debitur tanpa
mencantumkan NPWP sesuai dengan Surat Keputusan Direksi BI Nomor
28/83/KEP/DIR dan Surat Edaran BI Nomor 27/3/UKU Tentang Penetapan Surat
Keputusan Direksi BI Nomor 27/121/KEP/DIR Tentang Penyampaian NPWP dan
Laporan Keuangan dalam Permohonan Kredit.
x. Bank dilarang memberikan kredit tanpa jaminan berdasarkan Surat Keputusan Direksi
BI Nomor 23/69/KEP/DIR Tentang Jaminan Pemberian Kredit.
2. Implikasi hukum pembatasan pemberian kredit perbankan untuk pembelian saham
perusahaan tertutup dalam rangka transaksi LBO dianalisa berdasarkan Surat Keputusan
Direksi Bank Indonesia Nomor 24/32/KEP/DIR dan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia
Nomor 24/1/UKU tanggal 12 Agustus 1991 Tentang Pembatasan Pemberian Kredit Untuk
Pembelian dan Pemilikan Saham oleh Bank dan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
18
Nomor 26/68/KEP/DIR dan Surat Edaran Direksi Bank Indonesia Nomor 26/1/UKU
tanggal 07 September 1993 Tentang Saham Sebagai Agunan Tambahan Kredit.
Berdasarkan pembahasan di atas, LBO dapat dilakukan di Indonesia dengan syarat
dilakukan dalam rangka pengembangan usaha atau ekpansi sebagaimana yang tertulis
dalam Pasal 4 ayat (1) Surat Keputusan Direksi BI 26/28/KEP/DIR. Oleh karena itu, dalam
kasus pemberian kredit oleh Bank Mandiri kepada PT. Bumi Resources, Tbk. dalam
rangka mengakuisisi PT. Arutmin, tidak bisa dikatakan melanggar atau pun tidak
melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (1) Surat Keputusan Direksi BI 26/28/KEP/DIR.
Akuisisi yang dilakukan PT. Bumi Resources, Tbk saat itu ditujukan untuk
mengembangkan usahanya. PT. Arutmin memiliki sejumlah tambang di pulau Kalimantan
yang bernilai tinggi serta mengandung batu bara dalam jumlah yang besar. Oleh sebab itu,
dalam konteks pembiayaan untuk akuisisi untuk ekspansi usaha, Bank sebenarnya
diperbolehkan untuk memberikan kredit.
Saran
1. Belum adanya peraturan yang dengan jelas mengatur secara spesifik mengenai masalah
pemberian kredit untuk pembiayaan akuisisi menyebabkan para bankir memanfaatkan
celah kekosongan hukum tersebut untuk keuntungan mereka. Otoritas Jasa Keuangan
sebagai pengawas dan regulator di bidang perbankan saat ini diharapkan sebaiknya segera
membuat instrumen hukum untuk mengisi kekosongan tersebut sehingga sektor perbankan
yang secara khusus mengatur mengenai kredit untuk akuisisi ini agar perekonomian tetap
stabil dan aman dari kondisi overleveraged.
2. Pihak bank diharapkan mampu melakukan analisa kredit dengan optimal agar tidak terjadi
suatu penyalahgunaan kredit (side-streaming) oleh nasabahnya. Bank juga tidak boleh
bersikap acuh dan hanya fokus mengejar keuntungan semata tetapi tetap mengawasi
debitur agar tujuan pemberian kredit tercapai. Bank Mandiri, selaku kreditur, juga harus
memastikan kembali bahwa kredit yang ia berikan memang benar dipergunakan sesuai
dengan tujuan penggunaan kredit yang dicantumkan dalam perjanjian kredit nomor KP-
COD-008/PK-KI-VA-2001 tanggal 19 Oktober 2001 antara Bank Mandiri dan PT. Bumi
Resources, Tbk.
Daftar Referensi
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
19
Amess, Kevin dan Mike Wright, “Leveraged Buyouts, Private Equity and Jobs.” Small
Business Economics 38, no. 4 (2012): 419-430.
Anwar, Miranda. “Pencatatan Saham Lewat Belang (Backdoor Listing) Dengan Cara
Melakukan Akuisisi (Studi Kasus: Akuisisi PT Fatrapolindonusa Industri, Tbk., Oleh
Titan International Corp.Sdn.Bhd.).” (Skripsi Universitas Indonesia, Depok, 2008).
Badrulzaman, Mariam Darus. Perjanjian Kredit Bank. Bandung: Alumni, 1983.
Bahsan, M. Hukum Jaminan dan Jaminan Kredit Perbankan Indonesia. Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2007.
Bank Indonesia. “Kamus Bank Sentral Republik Indonesia.”
http://www.bi.go.id/web/id/Kamus.htm?id=P&start=1&curpage=6&search=False&rule
=last diakses pada tanggal 27 September 2014.
________. Peraturan Bank Indonesia Tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian
Kredit Valuta Asing oleh Bank, PBI Nomor 7/14/PBI/2005, L.N. Nomor 50 DPD Tahun
2005.
________. Surat Keputusan tentang Persyaratan dan Tata Cara Merger, Konsolidasi, dan
Akuisisi Bank Umum. Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 32/51/KEP/DIR
tanggal 14 Mei 1999.
Berlin, Mitchell dan Loretta J. Mester. “Debt Covenants and Renegotiation.” Journal of
Financial Intermediation 2, no. 2 (1992): 95:133.
Cotter, James F. dan Sarah W. Peck. “The Structure of Debt and Active Equity Investors: The
Case of Buyout Specialists,” Journal of Financial Economics 59, no. 1 (2001): 101-147.
Diamond, Douglas W. “Seniority and Maturity of Bank Loan Contracts.” Journal of
Financial Economics 33, no. 3 (1993): 341-368.
Fuady, Munir. Hukum Tentang Akuisisi, Take Over dan LBO. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 2001.
Gilson, Stuart C., Kose John dan Larry H. P. Lang. “Troubled Debt Restructurings: An
Empirical Analysis of Private Reorganization of Firms in Default.” Journal of Financial
Economics 27, no. 2 (1990): 315-353.
Harun, H.M. Hazniel. Hukum Perjanjian Kredit Bank, Cet. 2. Jakarta: Yayasan Tritura ”66,
1991.
Indonesia. Undang-Undang Perseroan Terbatas. Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007,
L.N. Nomor 106 Tahun 2007, T.L.N. Nomor 4756.
________. Undang-Undang Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992
Tentang Perbankan, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998, L.N. Nomor 182 Tahun
1998, T.L.N. Nomor 3790.
________. Peraturan Pemerintah tentang Merger, Konsolidasi dan Akuisisi Bank, Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1999, L.N. Nomor 61 Tahun 1999, T.L.N. Nomor 3840.
Kaplan, Steven N. dan Jeremy Stein. “The Evolution of Buyout Pricing and Financial
Structure in the 1980s.” Quarterly Journal of Economics 108, no. 2 (1993): 313-357.
Kaplan, Steven N. dan Per Strömberg. “Leveraged Buyouts and Private Equity.” Journal of
Economic Perspectives 23, no. 1 (2009): 121-146.
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014
20
Kusumasari, Diana. “Pengaturan Mengenai Short Selling.”
http://www.hukumonline.com/klinik/detail/cl4663/pengaturan-mengenai-short-selling.
Diakses pada tanggal 29 November 2014.
Mamudji, Sri, et al. Metode Penelitian dan Penulisan Hukum. Jakarta: Badan Penerbit
Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2005.
Nadant, Anne-Laure Le dan Frédéric Perdreau. "Financial Profile of Leveraged Buyout
Targets: Some French Evidence." Review of Accounting and Finance 5, no. 4 (2006):
370-392.
Nini, Greg, David C. Smith dan Amir Sufi. “Creditor Rights and Firm Investment Policy,“
University of Chicago Working Paper (2007).
Olsen, Jonathan. “Note on Leveraged Buyout.” Center for Private Equity and
Entrepreneurship Tuck School of Business at Dartmouth,
http://pages.stern.nyu.edu/~igiddy/LBO_Note.pdf. Diakses pada tanggal 09 September
2014.
Park, Cheol. “Monitoring and Structure of Debt Contracts, Monitoring and Structure of Debt
Contracts,” Journal of Finance 55, no. 5 (2000): 2157-2195.
Santoso, Ruddy Tri Santoso. Kredit Usaha Perbankan, Ed. 1, Cet. 1. Yogyakarta: Andi, 1996.
Soebagjo, Felix Oentoeng. Hukum Tentang Akuisisi Perusahaan, Cet. 1. Jakarta: Pusat
Pengkajian Hukum, 2006.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cet. 3. Jakarta: UI Press, 1986.
Supramono, Gatot. Perbankan dan Masalah Kredit. Jakarta: Djambatan, 1995.
Sutarno. Aspek-aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, Ed. Rev, Cet. 4. Bandung: Alfabeta,
2009.
Suyatno, Thomas dkk. Dasar-dasar Perkreditan, Ed. 3. Jakarta: Penerbit PT Gramedia
Pustaka Utama, 1993.
Thomson, James B., “Bank Lending to LBOs: Risks and Supervisory Response,” Economic
Commentary Federal Reserve Bank of Cleveland (1989): 1-4.
Usman, Rachmadi. Aspek-aspek Hukum Perbankan di Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2001.
Wahyudi, Vincent. “Tinjauan Yuridis Leveraged Buyout Dalam Pasar Modal Indonesia:
Perlindungan Terhadap Pemegang Saham Minoritas dan Penerbitan Obligasinya.”
(Skripsi Universitas Indonesia, Depok, 2013).
Tinjauan yuridis..., Paula Aprijanto, FH, 2014