tinjauan yuridis pemberian grasi antasari azhar …
TRANSCRIPT
TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN GRASI ANTASARI AZHAR
(KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 1/G/ 2017) PERSPEKTIF
HUKUM ISLAM DAN HUKUM POSITIF
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum untuk
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Oleh:
SYUKRIAN RAHMATUL ULA
NIM. 11160454000029
PROGRAM STUDI HUKUM PIDANA ISLAM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
2021 M/ 1442 H
i
ii
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Syukrian Rahmatul Ula
NIM : 11160454000029
Tempat, Tanggal Lahir : Bukittinggi, 15 November 1996
Program Studi : Hukum Pidana Islam
Fakultas : Syariah dan Hukum
Dengan ini Saya menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli Saya diajukan untuk memenuhi salah
satu persyaratan memperoleh gelar Sarjana yang Sarjana Hukum di
Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang Saya gunakan dalam penulisan ini telah Saya cantumkan
sesuai dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan karya asli Saya atau
merupakan hasil jiplakan dari karya orang lain, maka Saya bersedia menerima
sanksi yang berlaku di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah
Jakarta.
Jakarta, 18 Juni 2021
Syukrian Rahmatul Ula
NIM : 11160454000029
iii
ABSTRAK
SYUKRIAN RAHMATUL ULA, NIM: 11160454000029, TINJAUAN
YURIDIS PEMBERIAN GRASI ANTASARI AZHAR (KEPUTUSAN
PRESIDEN NOMOR 1/G/ 2017) PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN
HUKUM POSITIF Program Studi Hukum Pidana Islam, Fakultas Syariah dan
Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442 H/2021.
Skripsi ini bertujuan untuk mengetahui grasi Antasari Azhar oleh Presiden
dalam hukum Islam dan Hukum Positif yakni untuk mengetahui bagaimana
pandangan hukum Islam dan hukum positif tentang grasi dan keabsahan grasi
yang berikan Presiden kepada Antasari Azhar.
Metodologi penelitian hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah
normatif yuridis yaitu mendekati permasalahan dengan norma atau kaidah hukum
yang berlaku menurut hukum dengan menggunakan teknik studi pustaka (library
research). Penulis menggunakan dua jenis sumber data, data primer berupa Al-
Qur’an, buku hukum, dan Keputusan Presiden No 1/G tahun 2017 dan data
sekunder kamus hukum, jurnal hukum dan berupa sumber lainnya yang berkaitan
secara langsung dengan objek yang diteliti.
Hasil Penelitian ini menunjukan, grasi dalam pandangan hukum Islam
disebut al-syafa’at, grasi dalam hukum positif merupakan pengampunan berupa
perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana
kepada terpidana yang diberikan Presiden. Bahwa Pemberian grasi kepada
Antasari Azhar yang tidak sesuai dengan pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5
Tahun 2010 yang telah melebihi 1 kali permohonan grasi, yang pertama ditolak
dan yang kedua diterima grasinya oleh Presiden Jokowi. Pandangan hukum Islam
lebih mementingkan kemaslahatan umat dibanding kepentingan individu
terhukum dan pandangan hukum positif grasi tersebut cacat yuridis karena
bertentangan dengan pasal 2 ayat 3 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010.
Kata kunci : Grasi, Hukum Pidana Islam, dan Hukum Positif.
Pembimbing : - Dr. Burhanuddin, S.H., M.Hum.
- Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H, M.Ag.
Daftar Pustaka : 1970 s.d 2020
ii
بسم الله الرحمن الرحيم
KATA PENGANTAR
Puji syukur Penulis haturkan hanya kepada Allah SWT yang telah
memberikan rahmat, taufiq serta ni’mat-Nya, sehingga penulis alhamdulillah
dapat menyelesaikan skripsi ini dengan lancar guna memenuhi salah satu syarat
untuk memperoleh gelar sarjana hukum pada program studi Hukum Pidana Islam
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Shalawat serta
salam semoga selalu tercurahkan kepada suri tauladan kita Nabi Muhammad
SAW, keluarga, dan para sahabatnya, sebagai pelindung orang-orang tertindas dan
pejuang keadilan bagi seluruh manusia serta yang mengamalkan sunnahnya dan
menjadi pengikut setia hingga akhir zaman. Penyelesaian skripsi ini tidak terlepas
dari bantuan, bimbingan serta dukungan dari berbagai pihak baik secara langsung
maupun tidak langsung, sehingga hal-hal tersebut dapat penulis atasi dengan
sebaik-baiknya. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis dengan tulus
menyampaikan ucapan terima kasih kepada yang terhormat:
1. Bapak Dr. H. Ahmad Tholabi Kharlie, S.Ag., S.H., M.H., M.A, Dekan
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Bapak Qosim Arsadani, M.A, Ketua Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Bapak Mohammad Mujibur Rohman, M.A, Sekretaris Prodi Hukum
Pidana Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah banyak
membantu penulis untuk melengkapi berbagai macam keperluan berkas-
berkas persyaratan untuk menggapai studi Hukum Pidana Islam.
4. Bapak Dr. Burhanuddin, S.H., M.Hum., Pembimbing 1 yang selalu
bijaksana memberikan bimbingan, memberikan nasihat serta meluangkan
waktunya selama penelitian dan penlisan skripsi ini.
5. Bapak Dr. KH. Mujar Ibnu Syarif, S.H, M.Ag, Pembimbing II yang
dengan sabar meluangkan waktu dan bimbingan, arahan sehingga dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
iii
6. Bapak dan Ibu Dosen Prodi Hukum Pidana Islam Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu
serta membekali penulis dengan berbagai pengetahuan selama mengikuti
perkuliahan sampai akhir penulisan skripsi ini. Serta Pimpinan dan
Pengurus Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum Perpustakaan UIN
Syarif Hidayattullah Jakarta yang telah memberikan fasilitas dan
meminjamkan buku-buku yang diperlukan oleh penulis.
7. Seluruh keluarga penulis tercinta, terutama kedua orang tuaku Ayahanda
Sukiman dan Ibunda Jawanis, S.Ag., M.Pd., yang selalu mendoakan dan
memberikan dukungan yang sangat baik, sehingga penulis dapat
menyelesaikan studi pada Prodi Hukum Pidana Islam UIN Syarif
Hidayatullah tepat pada waktunya.
8. Teman-teman yang sering menyemangati dan memotivasi untuk
menyelesaikan skripsi ini, serta teman-teman LKBHMI Cabang Ciputat.
9. Teman seperjuangan Prodi Hukum pidana Islam angkatan 2016.
10. Teman-teman KKN Respektor kelompok 184.
11. Dini Mardina yang tak bosan memberikan semangat dan motivasi dalam
proses penyelesaian skripsi ini.
Penulis hanya dapat berdoa semoga mereka yang telah maupun yang
belum disebutkan yang belum sempat disebutkan nama-namanya
mendapat pahala yang berlipat ganda dari Allah SWT. Hanya kepada
Allah penulis serahkan segalanya, mudah-mudahan hadirnya skripsi ini
dapat bermanfaat bagi penulis dan pembaca.
Jakarta, 18 Juni 2021
Syukrian Rahmatul Ula
NIM : 1110454000029
iv
DAFTAR ISI
LEMBAR PENGESAHAN ............................................................................................. i
LEMBAR PERNYATAAN ............................................................................................ ii
ABSTRAK ....................................................................................................................... iii
KATA PENGANTAR ..................................................................................................... iv
DAFTAR ISI ................................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ...................................................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah ................................................ 4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .............................................................................. 5
D. Review Studi Terdahulu ......................................................................................... 6
E. Metode Penelitian .................................................................................................. 7
F. Sistematika Penulisan ............................................................................................ 8
BAB II TINJAUAN UMUM GRASI PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
A. Definisi Grasi ....................................................................................................... 11
B. Sejarah Grasi ......................................................................................................... 13
C. Dasar Hukum Grasi ............................................................................................... 14
D. Prosedur Pemberian Grasi ..................................................................................... 17
E. Kewenangan Presiden dalam Memberikan Grasi ................................................... 20
BAB III TINJAUAN UMUM GRASI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Grasi Perspektif Hukum Islam ............................................................................... 31
B. Dasar Hukum Grasi Perspektif Hukum Islam ........................................................ 33
C. Alasan Memberikan Grasi ..................................................................................... 36
D. Pemberian Pengampunan Dalam Islam .................................................................. 37
BABIV TINJAUAN YURIDIS PEMBERIAN GRASI KEPADA
ANTASARI AZHAR (KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 1/G/
2017)
A. Tuntutan Jaksa....................................................................................................... 41
B. Pidana Pembunuhan Berencana ............................................................................. 48
C. Keabsahan Grasi Antasari Azhar Keputusan Presiden No. 1/G Tahun 2017 ........... 53
v
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan .......................................................................................................... 63
B. Saran ................................................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................................................... 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945
menyatakan Indonesia sebagai negara hukum, memberikan pengakuan,
jaminan, perlindungan dan kepastian hukum yang adil terhadap setiap warga
negara atas hukum dan keadilan negara hukum adalah negara yang berdiri di
atas hukum yang menjamin keadilan kepada seluruh warganya. Aristoteles
menekankan bahwa yang memerintah dalam negara bukanlah manusia, tetapi
pikiran yang adil, sedangkan penguasa hanya memegang hukum dan
keseimbangan belaka1.
Hak untuk mendapatkan keadilan adalah hak setiap warga negara tanpa
kecuali terutama warga negara yang sedang memperjuangkan keadilan dan
siapapun tidak boleh menghalangi warga negara atau pencari keadilan untuk
mendapatkan keadilan. Hal ini, selaras dengan pernyataan yang menyatakan
bahwa Indonesia sebagai negara hukum terutama dalam arti materil melihat
bahwa hukum itu bukan hanya yang secara formal ditetapkan oleh lembaga
legislatif tetapi yang nilai keadilannya dijadikan hal penting2.
Kejahatan merupakan fenomena yang kompleks, salah satunya
pembunuhan merupakan salah satu kejahatan yang sering terjadi di dalam
masyarakat, penyebab terjadi dan faktornya beragam. Pembunuhan juga
merupakan perbuatan yang dilarang oleh perundang-undangan Indonesia,
yakni tertuang di dalam pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Dalam ini disebutkan: “Barang siapa dengan sengaja dan dengan rencana
terlebih dahulu merampas nyawa orang lain, diancam karena pembunuhan
1 Krisna Harahap, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi.
PT. Grafitri Budi Utami, (Bandung; 2004), h.11
2 Moh. Mahfud MD, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Pustaka
LP3ES, (Jakarta; 2006), h. 187-188.
2
berencana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama
waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun”.
Dalam hukum Islam dikenal dengan istilah Jarimah dan Jinayah. Menurut
pakar hukum pidana Islam bahwasanya Jarimah dan Jinayah adalah segala
perbuatan yang dilarang oleh syara’ baik berupa melakukan ataupun tidak3.
Grasi merupakan hak konstitusional Presiden sebagai kepala negara dalam
memberikan grasi yaitu pengampunan berupa perubahan, peringanan,
pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang
diberikan oleh Presiden4. Sebelum memberikan grasi kepada terpidana
Antasari Azhar dengan status terpidana dengan Nomor Putusan
1532/PID.B/2009/PN.JKT.SEL/ tanggal 11 Februari 2010 jo. Putusan
Pengadilan Tinggi Jakarta Nomor 71/PID/2010/PT.DKI/ tanggal 17 Juni 2010
jo. Putusan Kasasi Mahkamah Agung Nomor 1429/k/Pid/2010 tanggal 21
September 2010 jo. Putusan Peninjauan Kembali Mahkamah Agung Nomor
117 PK/PID/2011 tanggal 13 Februari 2012 kemudian Presiden menolak grasi
Antasari Azhar dengan Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 27/G
Tahun 2015 tanggal 27 juli 2015 telah dijatuhi pidana penjara selama 18
tahun di kurangi dengan waktu selama berada dalam tahanan, sementara sebab
di persalahkan melakukan tindak pidana “turut serta menganjurkan
pembunuhan berencana” berupa pengurangan jumlah pidana selama 6 tahun
sehingga hukuman yang di jatuhkan terpidana dari pidana penjara 18 tahun
menjadi pidana penjara 12 tahun. Kemudian Antarasari Azhar diberikan grasi
oleh Presiden Jokowi pada tahun 2017 dengan Keputusan Presiden Nomor
1/G tahun 2017 yang dikurangi pidana 6 tahun sehingga hukuman pidana
penjara dijatuhkan selama 18 tahun menjadi pidana penjara 12 tahun .
Bahwa pada pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 tahun 2010 tentang
grasi permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat
diajukan 1 (satu) kali. Sehingga secara tegas dan pasti dalam asas ( lex stricta,
lex scripta, lex certa ) grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali saja.
3 M. Nurul Irfan, Hukum Pidana Islam, (Jakarta: Amzah,2016), h. 12.
4 Lihat pasal 1 ayat 1 Undang-Undang No.22 Tahun 2002
3
Terdapat indikasi penyalahgunaan kewenangan oleh Presiden Joko
Widodo ketika mengabulkan grasi kedua Antasari azhar karena hanya 1 (satu)
kali saja dapat mengajukan grasi. Bahwa terdapat larangan untuk mengajukan
permohonan grasi lebih dari 1 (satu) kali dengan alasan untuk memberikan
kepastian hukum dan menghindari pengaturan diskriminatif5.
Kewenangan Presiden ketika mengabulkan grasi Antasari Azhar
bertentangan dengan aturan hukum positif tentang cara pemberian grasi
sebagaimana di atur dalam UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi. Sehingga
melahirkan cacat yuridis dalam keputusan Presiden No. 1/G/2017.
Dalam hukum pidana Islam pembahasan grasi dikenal dengan istilah
Syafa’at atau al-afwu (pengampunan). Rasulullah membatalkan putusan
hukuman mati terhadap orang kafir yang yang harus dibunuh karena masuk
catatan hitam, akan tetapi mereka mau bertaubat salah satunya Abdullah bin
Sa’ad bin Abi Sarah, maka Rasulullah memberikan maaf pada waktu peristiwa
Fath al-Makkah6.
Adapun kata al-‘afwu dan al-syafa‘at dalam dunia peradilan Islam
mempunyai arti khusus. Kata al-‘afwu menurut Abu al-Husain Ahmad bin
Faris bin Zakariyya al-Razy adalah setiap pembuat dosa (pelaku kejahatan)
yang seharusnya menjalani hukuman menjadi terhapuskan sebab telah
mendapatkan pengampunan7.
Sebagaimana yang disebut dalam Al-Qur’an surat Al-Baqarah ayat 178 :
اص في القتلى الحر بالحر والعبد بالعبد والنثى ياأيها الذين آمنوا كتب عليكم القص
لك تخف ن بالنثى فمن عفي له من أخيه شيء فات باع بالمعروف وأداء إليه بإحسان ذ م ي
فمن اعتدى بع ب كم ورحمة لك فله عذاب أليم د ر
(١٧٨)البقرة . ذ
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu
qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka
dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita.
5 Lihat penjelasan Pasal 2 ayat (3) UU No. 5 Tahun 2010 tentang Grasi
6 Munawar Chalil, Kelengkapan tarikh Nabi Muhammad SAW, (Jakarta : Bulan Bintang,
1997), jus 2. h. 81
7 Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyya al-Razy, Majm’ al- Lughah, (Beirut:
Daar al-Fikr, 1414 H/1994 M), h. 472
4
Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya,
hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan
hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af
dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan
dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas
sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih. (Q.S Al Baqarah: 178).
Dalam praktek grasi terhadap hukum Islam, ulama fiqih saling berbeda
pendapat satu sama lain, ada yang mengatakan bahwa pengampunan (al-Afwu
al-Syafa’at) diperbolehkan, selama perkara tersebut belum diajukan ke
pengadilan untuk disidangkan. Meskipun jarimah tersebut yang berkaitan
dengan hudud, dan jarimah yang diancam hudud8.
Dalam perkara ta’zir para ulama sepakat bahwa penguasa memiliki hak
pengampunan yang sempurna pada semua tindak pidana ta’zir. Karena itu,
penguasa boleh mengampuni suatu tindak pidana ta’zir dan hukumannya, baik
sebagian maupun keseluruhannya. Meskipun demikian, para fuqaha ada yang
berbeda pendapat tentang boleh tidaknya penguasa memberikan pengampunan
terhadap semua tindak pidana ta’zir atau terbatas pada sebagian saja9.
Berdasarkan dari persoalan yang telah di jelaskan, maka penulis sangat
terpacu untuk mengkaji dan mendalami tentang grasi yang diajukan lebih dari
1 (satu) kali oleh Antasari Azhar dalam turut serta tindak pidana pembunuhan
berencana dalam bentuk Skripsi yang berjudul: “TINJAUAN YURIDIS
PEMBERIAN GRASI ANTASARI AZHAR (KEPUTUSAN PRESIDEN
NOMOR 1/G/ 2017) PERSPEKTIF HUKUM ISLAM DAN HUKUM
POSITIF.
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah di paparkan di atas, maka
penulis mengidentifikasi beberapa masalah, diantaranya sebagai berikut:
8 Muhammad Abu Zahrah, al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam,(Beirut: Daar al-
Fikr al- Arabi, 1998), h. 73
9 Abdul Qadir, Audah, al-Tasyri al- Jina al- Islamy Muqaranan bil Qanun al-Wad’iy,
Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam III, (Bogor; P.T. Kharisma Ilmu,
t.th), h. 171
5
a. Kejahatan merupakan tindakan yang sangat sering terjadi dalam
kalangan masyarakat.
b. Kejahatan pembunuhan berencana disebabkan bukan hanya satu
sebab, melainkan banyak faktor yang mendorong seseorang
melakukan tindak pidana pembunuhan berencana.
c. Membuktikan turut serta pembunuhan berencana.
d. Pemberian grasi Antasari Azhar lebih dari 1 (satu) kali oleh
Presiden Joko Widodo.
e. Keputusan presiden bertentangan dengan hukum positif dan cacat
yuridis.
2. Pembatasan Masalah
Untuk mempermudah pembahasan dalam penulisan skripsi ini, agar
tidak melebar jauh, maka penulis membatasi masalah tersebut pada grasi
yang diberikan Presiden kepada terpidana turut serta tindak pidana
pembunuhan berencana dalam perspektif hukum Islam dan hukum positif.
Maksud hukum Islam adalah mengacu pada dalil-dalil Al-Quran dan
Hadis serta kaidah-kaidah hukum yang berkaitan pada pemberian grasi
oleh Presiden terhadap pelaku kejahatan.
Sedangkan yang dimaskud hukum positif dalam batasan ini yakni
mengacu pada Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang No. 5 Tahun
2010, dan keputusan Presiden Nomor 1/G Tahun 2017 serta teori-teori
tentang grasi dimana menjadi bahasan dalam skripsi ini.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan pembatasan masalah diatas, maka untuk mempermudah
dalam memahami pembahasan skripsi ini, maka penulis memberikan
rumusan masalah sebagai berikut :
a. Bagaimana pandangan hukum Islam dan hukum positif tentang grasi?
b. Bagaimana keabsahan grasi Antasari Azhar berdasarkan Keputusan
Presiden Nomor 1/G/2017 yang telah melakukan lebih dari 1 (satu)
kali permohonan grasi ?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
a. Tujuan penelitian secara pragmatis
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk memenuhi salah satu
persyaratan kelulusan dan mendapatkan gelar Sarjana Hukum di
Fakultas Syariah dan Hukum Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
b. Tujuan penelitian secara keilmuan
Dalam skripsi ini ada beberapa tujuan yang bersifat keilmuan yang
hendak dicapai oleh penulis adalah sebagai berikut:
1) Untuk mengetahui pandangan hukum Islam dan Hukum positif
pemberian tentang grasi.
2) Untuk mengetahui keabsahan Presiden dalam memberikan grasi
kepada Antasari Azhar Keputusan Presiden Nomor 1/G/2017 yang
telah melakukan lebih dari 1 (satu) kali permohonan grasi.
2. Manfaat Penelitian
Adapun beberapa manfaat yang diharapkan penulis dapat berpengaruh
secara obyektif bagi yang membacanya, anatara lain adala sebagai berikut:
a. Secara teoritis, penelitian diharapkan memberikan wawasan dan
pengetahuan yang lebih luas dalam memahami tentang grasi
khususnya dalam pandangan hukum Islam dan Hukum Positif.
b. Secara praktik, penelitian ini diharapkan menjadi bahan sosialisasi
dan diskusi tentang pemberian grasi yang bertentangan dengan pasal 2
ayat (3) UU No. 5 Tahun 2010, agar masyarakat serta akademisi
maupun praktisi terpicu untuk mengetahui dan mengkaji lebih dalam.
D. Review Studi Pendahulu
Dalam penulisan skripsi ini, penulis mencoba melakukan review kembali
studi terdahulu guna memperdalam kajian yang pembahasannya hampir
7
memiliki kesamaan dengan pembahasan yang penulis angkat. Dalam hal ini
penulis meneukan dan me-review beberapa skripsi, diantaranya sebagai
berikut :
Karya ilmiah mahasiswa (skripsi) yang ditulis pada tahun 2003 oleh
zubaedah, di fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
yang berjudul “ Grasi dan Amnesti Dalam Kaitannya Dengan Pengahapusan
Hukuman Tindak Pidana(Komparasi Hukum Islam dan Hukum Pidana
Indonesia). Skripsi ini hanya membahas tentang perbandiangan hukum Islam
dan hukum pidana Indonesia dalam menghapus hukuman dalam tindak
pidana.
Skripsi yang ditulis pada tahun 2014 oleh Fuji Abdul Rohman, di Fakultas
Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul
Kewenangan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Dalam Memberikan
Grasi Kepada Terpidana Narkotika (Analisis Kasus Pemberian Grasi Kepada
Terpidana Narkotika, Schapelle Leigh Corby Tahun 2012). Skripsi ini
membahas mengenai grasi secara normatif berdasarkan peraturan perundang-
undangan tentang grasi dengan mengaitkan dengan kasus hukum.
Skripsi yang ditulis pada tahun 2015 oleh Wilda Azizah , di Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang berjudul Pemberian
Grasi Terhadap Terpidana Mati Narkoba Keputusan Presiden Nomor
7/G/2012 (Kajian Hukum Pidana Islam). Skripsi ini membahas mengenai grasi
secara normatif berdasarkan hukum pidana Islam dengan mengaitkan kasus
hukum terpidana mati narkoba.
Skripsi yang ditulis pada tahun 2015 oleh Andi Nurhaerurruijal Amin,
Universitas Hasanudin Makasar yang berjudul Eksistensi Sebagai Bentuk
Upaya Hukum Terhadap Proses Pelaksanaan Pemidanaan. Skripsi ini
membahas Upaya hukum biasa, luar biasa dan upaya hukum diluar hukum
pidana yaitu Grasi.
Dari pemaparan di atas dapat dibedakan dengan peneliian penulis yang
mengkaji tentang tinjauan padangan hukum Islam dan hukum positif tentang
grasi (studi kasus pemberian grasi terpidana turut serta dalam pembunuhan
8
berencana Keppres Nomor 1/G/2017) yang bertentangan dengan pasal 2 ayat
(3) UU No. 5 Tahun 2010.
E. Metode Penelitian
Dalam suatu karya ilmiah, metode merupakan strategi yang utama dan
mempunyai peran yang sangat penting, karena dalam penggunaan metode
adalah upaya untuk memahami dan menjawab persoalan yang diteliti10
. Maka
dalam skripsi ini, penulis menggunakan metode sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan yakni melalui pendekatan kualitatif
dalam penulisan skripsi ini adalah metode penelitian hukum normatif11
,
yaitu penelitian yang memuat deskripsi tentang masalah yang diteliti
berdasarkan bahan-bahan hukum tertulis. Penelitian ini bersifat
kepustakaan yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara mengkaji buku,
jurnal, literature, dan bahan pustaka yang ada relevansinya dengan judul
skripsi.
2. Teknik Penelitian
Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode
penelitian kepustakaan dan studi terhadap putusan kasus dengan cara
mengidentifikasi dan melakukan analisis terhadap dokumen-dokumen
yang berkaitan12
.
3. Teknik Pengumpulan Data
Adapun teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan
teknik studi pustka (library research)13
, baik berupa buku, peraturan
perundang-undangan, majalah surat kabar, mengakses internet dan sumber
10 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: PT Grafindo Prasada, 1997),
h. 27-28
11 Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet I, h. 10
12
Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet I, h. 17
13 Fahmi Muhammad Ahmadi, Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum, (Lembaga
Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010), Cet I, h. 10
9
lainnya yang berkaitan secara langsung dengan objek yang diteliti. Data-
data yang telah terkumpul diperiksa kembali mengenai kelengkapan
jawaban yang diterima kejelasannya.
4. Sumber data
Dalam penulisan ini, penulis menggunakan dua jenis sumber data, data
primer dan data sekunder, yaitu:
a. Data primer, yaitu data yang didapat dari bahan-bahan yang diperlukan
dalam hal ini adalah Al-Qur’an, Hadis, kaidah-kaidah fiqih, pendapat
Ulama, Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2010 tentang Grasi jo. Undang-Undang Nomor 22 tahun 2002, Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan buku buku yang
berkaitan serta masalah-masalah kejahatan Pembunuhan Berencana
yang ada relevansinya dengan skripsi ini.
b. Data Sekunder, merupakan bahan-bahan yang memberikan penjelasan
dalam mengkaji data primer, yaitu data-data yang diperoleh dari buku-
buku yang masih memiliki keterkaitan dengan pokok masalah yang
akan diteliti.
5. Analisa data
Dalam menganalisa data, penulis menggunakan metode analisa
normatif-yuridis. Maksudnya adalah penelitian ini mengacu pada norma-
norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan
putusan pengadilan14
.
6. Teknik Penulisan
Adapun mengenai teknik penulisan skripsi ini, penulis mengacu
kepada buku “Pedoman Penulis Skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2017”.
F. Sistematika Penulisan
14 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 24
10
Dalam mempermudah pembahasan untuk memahami skripsi dan tersusun
dengan sistematis, maka penulis membagi isi dari pada skripsi menjadi lima
BAB yang masing-masing BAB terdiri dari sub BAB. Adapun sistematika
penulisannya adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Penulis pada bab ini menguraikan latar belakang masalah,
identifikasi masalah, pembatasan masalah dan perumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, review studi
terdahulu, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG GRASI
Menguraikan tinjauan umum tentang grasi yang meliputi
defenisi, sejarah penerapan grasi di Indonesia, dasar hukum
grasi, syarat dan pemberian grasi, prosedur pemberian
grasi, pemberian grasi terhadap terpidana pembunuhan
berencana, penyertaan dan kewenangan Presiden dalam
memberikan grasi.
BAB III TINJAUAN UMUM GRASI PERSPEKTIF HUKUM
ISLAM
Menguraikan tentang Grasi dalam Islam dan alasan faktor
memberikan grasi dalam Islam.
BAB IV TINJAUAN YURIDIS KEPUTUSAN PRESIDEN
TENTANG PEMBERIAN GRASI TERHADAP
ANTASARI AZHAR yang mencakup grasi menurut
perspektif Islam dan Hukum Positif dan keabsahan
Keputusan Presiden Nomor 1/G/2017.
BAB V PENUTUP
Pada bagian meliputi kesimpulan serta saran-saran yang
sesuai dengan pokok permasalahan yang penulis kaji
sehingga tercapai tujuan dilakukannya
11
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG GRASI
A. Defenisi Grasi
Secara etimologi Grasi berasal dalam kata Bahasa Belanda (gratie),
diartikan dengan pengurangan hukuman yang diberikan kepala negara
kepada seorang terhukum.1 Grasi berarti anugerah, dan dalam terminologi
hukum, grasi diartikan sebagai bentuk pengampunan kepada para terhukum
yang diberikan oleh kepala negara.2 Adapun pengertian grasi dalam kamus
hukum merupakan wewenang dari kepala negara untuk memberi
pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk
menghapuskan seluruhnya, sebagian, atau merubah sifat atau bentuk hukuman
itu.3
Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 memberikan defenisi grasi yaitu
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan
pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh presiden.4Pengertian
grasi dalam arti sempit merupakan tindakan pengampunan berupa perubahan,
peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelaksanaan pidana atau
hukuman yang telah diputuskan oleh hakim.
Menurut Jimly Asshiddiqe, grasi merupakan kewenangan presiden yang
bersifat judisial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan
pengadilan yaitu untuk mengurangi hukuman, memberikan pengampunan
ataupun menghapuskan hukuman yang terkait dengan kewenangan peradilan.5
1 Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta, 2006), h. 149
2 Peter Salim dan Yenni Salim, Kamus Besar Indonesia Kontemporer Edisi 1 (Jakarta:
Modern English Press.1991), h.154.
3 JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Bumi
Aksara. 1995), h. 58
4 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi, Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2002 Nomor 108.
5 Jimly Ashiddieqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi R.I., 2006), h. 175-176.
12
Menurut Rudy T Erwin, JCT Simorangkir, dan JT Prasetyo, dalam kamus
hukum bahwa grasi adalah wewenang dari kepala negara untuk memberikan
pengampunan terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk
menghapuskan seluruhnya, sebagian atau merubah bentuk dan sifat hukuman
itu.6 Beberapa istilah yang merujuk pada pengertian grasi tersebut, diantaranya
negara Filipina dan Amerika Serikat adanya istilah pardon yang berarti
pengampunan dan istilah executive clemency atau clemency yang artinya
pengampunan secara luas. Sedangkan di negara yang bentuk sistem monarki,
seperti Spanyol dipergunakan istilah pardon (indulto) dan derecho de gracia
(right of grace), di Inggris digunakan istilah pardon dan royal prerogative
mercy atau clemency atau graces begitu pula berlaku di Kanada, Perancis, dan
Iran.
Penerapan pardon dan clemency mempunyai arti yang berbeda masing-
masing negara. Secara umum dibeberapa negara hanya digunakan istilah
pardon saja, seperti Afrika Selatan, Rusia, chile, Swiss. Istilah-istilah yang
berkaitan dengan terminologi pardon (pengampunan) adalah
pergantian/perubahan atau peringanan jenis hukuman yang disebut dengan
istilah commutation, remission yang artinya pengurangan atau penghapusan
hukuman atau denda, repreve yang artinya penundaan sementara atas
hukuman.7
Di Indonesia, istilah yang terkait dengan grasi adalah amnesti, abolisi dan
rehabilitasi, serta remisi. Istilah amnesti, berasal dari bahasa Yunani amnestia
yang artinya melupakan. Pengertian amnesti, ialah hak yang diberikan
presiden untuk menghapuskan hak penuntutan dari penuntut umum dan
penghentiannya sekaligus penghapusan hak (menyuruh) melaksanakan pidana
dari penuntut umum terhadap pelaku-pelaku dari suatu tindak pidana tertentu
6 JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Bumi
Aksara. 1995), h. 58
7 Amnesty and pardon- Terminology and Etymology’ lihat
http:/law.jrank.org/pages/505/Amnesty-Pardon-Terminology-Etymology.html, diakses pada
pukul 07.58 wib, tanggal 24 September 2020.
13
demi kepentingan negara. Amnesti ini biasanya diberikan pada hari peringatan
Proklamasi Kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945.
Istilah abolisi berasal dari kata abolition yang berarti tindakan untuk
mengakhiri sesuatu atau untuk menghentikan sesuatu. Pengertian abolisi,
merupakan hak yang di berikan presiden untuk menghapuskan hak penuntutan
dari penuntut umum dan penggantiannya apabila sudah dimulai, terhadap
pelaku- pelaku tindak pidana tertentu8. Istilah rehabilitasi berasal dari kata
rehabilitation yang artinya pengembalian hak. Pengertian rehabilitasi
merupakan suatu tindakan presiden dalam rangka mengembalikan hak
seseorang yang telah hilang karena suatu keputusan hakim yang ternyata
dalam waktu berikutnya terbukti bahwa kesalahan yang telah dilakukan
tersangka tidak bisa dibandingkan dengan perkiraan awal atau bahkan ia
ternyata tidak bersalah sama sekali. Fokus rehabilitasi ini pada nilai
kehormatan yang diperoleh kembali dan hal ini tidak tergantung kepada
Undang-Undang tetapi pada pandangan masyarakat sekitarnya.
Sedangkan istilah remisi berasal dari kata remission yang artinya
pengurangan, peringanan, pengampunan. Jadi pengertian remisi adalah
pengurangan masa pidana yang diberikan kepada narapidana dan anak pidana
yang telah berkelakuan baik selama menjalani pidana9.
B. Sejarah Grasi
Pemberian Grasi telah dikenal dan diberlakukan sejak lama yaitu di abad
ke-18 di zaman kerajaan absolut di Eropa. Pada mulanya Grasi merupakan
hadiah atau anugerah pada raja (Vorstelike gunst) yang memberikan
pengampunan kepada orang yang dijatuhi hukuman. Tindakan pengampunan
ini didasarkan kepada kemurahan hati raja yang berkuasa. Pemimpin dianggap
sebagai sumber dari kekuasaan termasuk sumber keadilan dan hak mengadili
sepenuhnya dikendalikan oleh raja, di Eropa abad pertengahan kekuasaan
8 Ishaq dan Efendi , Pengantar Hukum Indonesia (Cet. IV; Depok : Rajawali Pers , 2017),
h. 237. 9 Menurut Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 174 Tahun 1999 Tentang Remisi,
pasal 1 ayat (1)
14
untuk memberikan pengampunan dilaksanakan oleh berbagai institusi,
termasuk Gereja Katolik Roma dan otoritas lokal tertentu, tetapi pada abad ke-
16 biasanya kekuasaan ini terkonsentrasi di tangan raja. Dalam pasca
reformasi Inggris, hak prerogatif kerajaan sebagai kemurahan hati raja/ratu
digunakan untuk tiga tujuan utama:
1. Sebagai pendahuluan pada pembelaan diri yang belum diakui,
kegilaan, dan minoritas.
2. Mengembangkan cara-cara baru menangani para pelaku yang belum
diakui oleh Undang-undang.
3. Untuk menghilangkan atas diskualifikasi tuduhan kriminal.10
Selama abad kedelapan belas kekuasaan penguasa untuk memberikan
pengampunan, menjadi perdebatan anatara para sarjana. Dukungan datang dari
sarjana penganut aliran hukum (natuurrechtelike school) sementara kritikan
datang dari filsuf dan pakar ilmu kejahatan.11
Dalam kasus-kasus
pengampunan individu mendapat kritikan tajam, terutama oleh Cesare
Beccaria dalam esai terkenalnya On Crimes and Punishments. Hak penguasa
untuk mencampuri pelaksanaan Undang-undang dianggap sebagai macam bagi
konsep pemisahan kekuasaan dalam pengurangan otonomi baik legislatif dan
yudikatif, meskipun Montesquieu, sebagai penggagas konsep pemisahan
kekuasaan, tidak menentang kekuasaan untuk memberikan grasi atau
memberikan pengampunan.
C. Dasar Hukum Grasi
Aturan mengenai grasi sebelumnya diatur dalam Undang-undang Nomor 3
Tahun 1950 Tentang Permohonan Grasi lahir pada 5 Juli 195012
. Undang-
undang ini berlaku sampai 52 Tahun, diganti kemudian dengan Undang-
10
Amnesty and pardon “Terminology and Etymologi”. http://law.jrank.org/pages/505/ Amnesty-Pardon-Terminology-etymologi.html/http://en.wikipedia.org/wiki/pardons(diakses
pukul 21.00 Wib 10 Oktober 2020.
11
Muhammad Ridhwan Indra dan Satya Arinanto, Kekuasaan Presiden dalam UUD 1945
(Jakarta: CV Trisula, 1998), h. 20.
12
Kobar Hari, Hukum dan Ketahanan Nasional, (Jakarta: Sinar harapan, 1992), h. 99.
15
undang Nomor 22 Tahun 2002 tanggal 22 oktober 2002, karena Undang-
undang Nomor 3 Tahun 1950 dalam pasal-pasalnya tidak banyak membahas
tentang ketentuan formil, namun lebih banyak mengatur ketentuan sifatnya
materil. Tidak ada ketentuan umum yang dapat menjelaskan defenisi dari hal-
hal yang diatur didalamnya. Undang-undang ini dibentuk pada masa Repbulik
Indonesia Serikat sehingga tidak sesuai lagi dengan sistem ketenagakerjaan
Indonesia yang berlaku pada saat itu dan substansinya sudah tidak sesuai
denga perkembangan dan kebutuhan hukum masyarakat.
Kemudian Undang-undang Nomor 3 Tahun 1950 diganti dengan Undang-
undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi didalamnya diatur mengenai
ketentuan umum, ruang lingkup permohonan dan pemberian grasi, tata cara
pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi.
Grasi diatur juga dalam UUD 1945 pasal 14 ayat (1) yang menyatakan
bahwa presiden diberikan hak untuk memberikan grasi dan rehabilitasi
berdasarkan pertimbangan Mahkamah Agung. Hak tersebut merupakan hak
istimewa bagi kepala Negara karena hal tersebut harus ditangani oleh
kehakiman. Ketentuan grasi juga terdapat dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Pidana (KUHP) pasal 33 a bahwa: jika orang yang ditahan sementara
di jatuhi pidana penjara atau orang lain dengan persetujuannya mengajukan
permohonan ampun, waktu mulai permohonan diajukan hingga ada putusan
presiden, tidak dihitung sebagai waktu menjalani pidana, kecuali jika presiden
mengingat keadaan perkaranya, menentukan bahwa waktu itu seluruhnya atau
sebagian dihitung sebagai waktu menjalani pidana.
Selain KUHP, grasi diatur juga dalam Kitab Undang-Undang Acara
Hukum Pidana (KUHAP) pasal 196 ayat (3) bahwa : segera setelah putusan,
hakim ketua sidang wajib memberitahu terdakwa haknya, yaitu : menerima
dan menolak putusan, mempelajari putusan, mengajukan banding dan
permohonan grasi, dan lain-lain.
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 perubahan Undang-Undang
Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, kesempatan mendapatkan pengampunan
dari Presiden atau grasi dibatasi, batsannya adalah lama hukuman dan
16
hukuman mati. Menurut Undang-Undang grasi menyebutkan bahwa terpidana
yang dapat dimohonkan grasi adalah:
a. Pidana mati.
b. Penjara seumur hidup.
c. Penjara paling rendah 2 tahun.13
Sebagaimana kita ketahui bahwa upaya hukum grasi sebagai salah satu
dari upaya hukum atas putusan hakim dalam perkara pidana, mempunyai sifat
yang berbeda dibandingkan dengan upaya hukum banding dan kasasi. Karena
didalam upaya hukum banding dan kasasi pihak pemohon pada dasarnya tidak
mengakui dirinya bersalah dan meminta kepada pengadilan yang lebih tinggi
(Pengadilan Tinggi dan Mahkamah Agung) untuk memeriksa dan mengadili
sendiri atas perkara yang dimohonkan tersebut.14
Mengingat dalam upaya
hukum grasi, pemohon grasi pada prinsipnya telah mengakui dirinya bersalah
dan menerima putusan hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim, dan atas
kesalahannya tersebut pemohon mengajukan pemohonan grasi kepada
Presiden dan meminta agar hukuman yang telah dijatuhkan atas dirinya dapat
dikurangi atau dihapuskan.15
Tujuan dari adanya grasi adalah untuk memperbaiki putusan hakim agar
lebih sesuai dengan rasa keadilan sebagai dasar segala hukum16
, untuk
menjamin kemaslahatan dan rasa keadilan serta ketentraman individu di
masyarakat, untuk membina keselarasan social atara pihak yang bersangkutan
dengan peristiwa kejahatan, untuk mencari peluang atau memberi pelajaran
13
Pasal 2 ayat (2) UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
14
Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia, h.90
15 Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia, h.91
16 Wirjono Prodjodikiro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, h.105
17
kepada penjahat untuk kembali kejalan yang benar dan menghindari
kemudharatan akibat terlalu beratrnya hukuman yang dijatuhkan.17
D. Prosedur Pemberian Grasi
Terpidana dapat mengajukan permohonan grasi terhadap putusan
pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap kepada Presiden
sesuai pasal 2 ayat (1) satu. Dengan demikian Presiden mempunyai hak
memberikan grasi berupa:
a. Perubahan, dari jenis pidana yang telah diajtuhkan oleh hakim bagi
seorang narapidana. Contoh perubahan hukuman mati menjadi pidana
penjara seumur hidup.
b. Peringanan, pengurangan pidana penjara sebagai pengganti denda atau
karena telah menyerahkan suatu benda yang telah dinyatakan sebagai
disita untuk kepentingan negara seperti yang telah diputuskan hakim
atau pengurangan besarnya hukuman denda.
c. Pengahpusan, meniadakan pelaksanaan pidana baik hukuman penjara
atau denda yang telah dijatuhkan oleh hakim kepada seseorang
pengampunan menghapuskan akibat-akibat pemidanaan, bukan karena
pemidanaannya sendiri.
Presiden berhak untuk memberikan grasi dari hukuman yang dijatuhkan
oleh pengadilan. Hal ini dilakukan oleh Presiden setelah meminta
pertimbangan dari Mahkamah Agung, bahkan hukuman mati dijatuhkan
kepada narapidana, maka hukuman tersebut tidak dapat dijalankan sebelum
Presiden diberi kesempatan untuk memberikan grasi.18
Dalam konsideran huruf b, dan huruf c Undang-Undang Nomor 5 Tahun
2010 tentang Grasi menyebutkan bahwa grasi dapat diberikan oleh Presiden
untuk mendapatkan pengapunan dan/atau untuk menegaskan keadilan hakiki
dan penegakan hak asasi manusia terhadap putusan pengadilan yang telah
memperoleh kekuatan hukum tetap, bahwa grasi yang berikan kepada
17 Muhammad Ash-Shan’ani, Subulussalam, (Beirut, Lubna: Daar al Fikr) Juz 4, h.21 18 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Acara Pidana di Indonesia, (Bandung: Sumur Bandung,
1983), h. 153
18
terpidana harus mencerminkan keadilan, perlindungan hak asasi manusia dan
kepastian hukum berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.
Permohonan grasi harus memenuhi syarat sebelum diajukan ke Presiden
sebagai berikut:
1) Diajukan atas suatu putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum
tetap, terpidana dapat mengajukan permohonan grasi kepada
Presiden.19
2) Pihak yang dapat mengajukan grasi adalah terpidana, kuasa hukum
atau keluarga terpidana. Untuk terpidana mati keluaraga dapat
mengajukan permohonan grasi tanpa persetujuan terpidana.20
3) Putusan pemidanaan yang dapat dimohonkan grasi adalah pidana mati,
penjara seumur hidup dan penjara paling rendah 2 (dua) tahun. 21
4) Grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali.22
5) Permohonan grasi diajukan paling lama dalam jangka waktu 1 (satu)
tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
Pemberian grasi dapat diberikan dengan alasan bahwa keputusan hukum
yang sudah benar menurut hukum positif yang berlaku, tapi dirasakan terlalu
berat dan tidak sesuai dengan keadaan masyarakat pada waktu putusan hakim
dijalankan, yang mana keadaan ini dapat merubah pada saat putusan hakim
dijatuhkan.23
Ada beberapa alasan sebagai pertimbangan pemberian grasi bagi
terhukum, yaitu:24
1) Permohonan grasi berdasarkan alasan kepentingan keluarga, bahwa
terhukum merupakan tulang punggung di dalam keluarganya.
19 Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002.
20 Pasal 6 ayat (3) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002.
21 Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002.
22 Pasal 2 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010.
23
Wirjono Prodjodikoro, Azas-Azas Hukum Tata Negara di Indonesia, (Jakarta: Dian
Rakyat.1980), h. 104
24 E. Utrecht, Rangkaian Sari Hukum Kuliah Hukum Pidana II, (Surabaya: Pustaka Tinta
Mas,1987), Cet. Ke-3, h. 251
19
2) Permohonan grasi berdasarkan alasan bahwa terhukum pernah
sangat berjasa bagi masyarakat.
3) Permohonan grasi berdasarkan alasan bahwa terhukum menderita
penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
4) Permohonan grasi berdasarkan alasan bahwa terhukum berkelakuan
baik selama di penjara.
Dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 2002 dan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2010 tentang grasi diatur tentang prosedur dan mekanisme
pengajuan grasi. Beberapa proses permohonan grasi sebagai berikut:
1) Hak untuk mengajukan grasi diberitahukan oleh hakim atau ketua
sidang yang memutus perkara pada tingkat pertama kepada
terpidana, apabila pada waktu putusan pengadilan dijatuhkan
terpidana tidak hadir, hak terpidana untuk mengajukan grasi
diberitahukan secara tertulis oleh panitera dari pengadilan yang
memutus perkara pada tingkat pertama.25
2) Permohonan grasi diajukan kepada Presiden oleh terpidana, kuasa
hukumnya, atau keluarga terpidana. Permohonan grasi tersebut
dapat diajukan sejak putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap.26
3) Permohonan grasi dapat diajukan paling lama dalam jangka waktu 1
(satu) tahun sejak putusan memperoleh kekuatan hukum tetap.
4) Permohonan grasi melalui Kepala Lembaga Pemasyarakatan
diajukan kepada Presiden secara tertulis oleh terpidana, kuasa
hukumnya atau keluarganya. Selanjutnya Salinan permohonan grasi
disampaikan kepada pengadilan tingkat pertama untuk diteruskan
kepada Mahkamah Agung, paling lambat 7 (tujuh) hari sejak
diterimanya permohonan grasi dan salinannya.
25 Pasal 5 Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002.
26 Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010.
20
5) Pengadilan tingkat pertama mengirimkan salinan permohonan dan
berkas terpidana kepada Mahkamah Agung mengirimkan
pertimbangan tertulis kepada Presiden dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari terhitung sejak tanggal diterimannya
salinan permohonan dan berkas perkara.
6) Presiden memberikan keputusan atas permohonan grasi setelah
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung. Keputusan
Presiden dapat berupa pemberian atau penolakan grasi, dengan
jangka awktu paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak
diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.
7) Keputusan Presiden tersebut disampaikan kepada terpidana dalam
jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak
ditetapkannya keputusan Presiden. Salinan keputusan disampaikan
kepada Mahkamah Agung, pengadilan yang memutus perkara pada
tingkat pertama, kejaksaan negeri menuntut perkara terpidana, dan
lembaga pemasyarakatan tempat terpidana menjalani pidana.
E. Kewenangan Presiden dalam Memberikan Grasi
1. Kepala Negara
Kepala Negara yaitu Jabatan secara individual atau kolektif yang
mempunyai peran sebagai wakil tertinggi dari sebuah negara seperti:
sistem republic, monarki, federasi, persekutuan atau bentuk-bentuk
lainnya. Kepala negara harus mempunyai tanggung jawab dan hak politis
sesuai yang ditetapkan dalam konstitusi negara. Maka pada dasarnya
kepala negara dapat dibedakan dengan melalui konstitusi negara
tersebut.27
Sedangkan Negara Indonesia dipimpin oleh Presiden sebagai
lembaga pemerintahan yang mempunyai kekuasaan dan memegang
kekuasaan. Kemudian dalam UUD 1945 pasal 4 ayat 1 yang berbunyi :
27 https://id.wikipedia.org/wiki/Kepala_negara
21
“Presiden Republik Indonesia memgang kekuasaan pemerintahan
menurut UUD”
Kekuasaan Presiden sebagai pemegang kekuasaan yang mana
pemerintah yang dilaksanakan Presiden dibagi menjadi dua yaitu:
pemerintahan yang bersifat umum dan pemerintahan yang bersifat khusus.
Pemerintahan yang bersifat umum adalah kekuasaan yang
menyelenggarakan administrasi negara. Sedangkan pemerintahan yang
bersifat khusus adalah Presiden memiliki hak prerogative dalam
pemerintahan dalam tugas dan wewenang yang secara konstitusional.28
Kemudian Presiden mempunyai kekuasaan dalam bidang perundang-
undangan yaitu pembentukan Undang-Undang, pembentukan PERPU (
Peraturan Pengganti Undang-Undang), pembentukan PP (peraturan
pemerintah), dan pembentukan peraturan Presiden yaitu keputusan
presiden.
Kemudian kekuasaan Presiden yang tertulis dalam pasal 14 ayat 1
UUD 1945 yaitu:“Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan
memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung” dan pasal 14 ayat 2
yaitu: “Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan
pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat”.
Dalam Islam pengampunan oleh pemimpin atau khalifah atau imam
dalam sejarah Islam secara keseluruhan kewenangan untuk memutuskan
suatu sengketa peradilan baik masalah pidana hingga perdata sepenuhnya
kewenangan khalifah atau imam itu sendiri, hingga sampai khalifah atau
imam mengangkat seorang hakim pada setiap peradilan yang ada dalam
wilayah kekuasaan khalifah tersebut. Sehingga khalifah atau imam yang
memutuskan seseorang berbuat yang didatangkan kepadanya bersalah atau
tidaknya.
28 Masriyani, , “Kewenangan Presiden Dalam Bidang Kehakiman Setelah Amandemen
UUD 1945”. Jurnal Legalitas, Volume VI Nomor 1 Juni 2014, h. 124.
22
Ada kaidah fiqih menyebutkan yaitu “kebijakan seorang pemimpin
terhadap rakyatnya tergantung kepada kemaslahatan umat.”29
Kekuasaan Presiden dapat dibedakan menjadi dua macam, yaitu :
kekuasaan yang diperoleh secara atributif dan kekuasaan yang diperoleh
secara derivatif. Perolehan kekuasaan secara atributif menyebabkan
terjadinya pembentukan kekuasaan, karena berasal dari keadaan yang
belum ada menjadi ada. Kekuasaan yang timbul karena pembentukan
secara atributif bersifat asli (oorspronkelijk) dan pembentukan kekuasaan
secara atributif menyebabkan adanya kekuasaan baru. Sedangkan
kekuasaan secara derivatif disebut pelimpahan kuasa, karena dari
kekuasaan yang telah ada dialihkan kepada pihak lain dan sifatnya
derivatif (afgeleid).
Kekuasaan yang afgeleid adalah kekuasaan yang diturunkan atau
diderivasikan kepada pihak lain. Kekuasaan yang diperoleh secara atributif
melalui UUD 1945 juga dimiliki oleh Presiden selaku kepala
pemerintahan (eksekutif) dan selaku Kepala Negara. Kekuasan Presiden
yang diperoleh melalui pelimpahan kekuasaan secara teoritis hanya dapat
dilaksanakan oleh Presiden dalam fungsi selaku kepala eksekutif.
Ditinjau dari sumber formalnya, kekuasaan Presiden dapat dibedakan
menjadi tiga macam, yaitu: kekuasaan yang berdasarkan UUD 1945,
kekuasaan yang berdasarkan ketetapan MPR dan kekuasaan yang
berdasarkan undang-undang. Menurut Suwoto Mulyosudarmo untuk
menentukan kekuasaan yang diperoleh secara atributif yang dilaksanakan
dalam tugasnya selaku kepala eksekutif, adalah: Sifat kekuasaan yang asli,
29
A. Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih; Kaidah-Kaidah Hukum Islam dama Menyelesaikan
Masalah Praktis, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), h. 147.
23
Sumber formal yang utama, untuk jenis kekuasaan ini adalah UUD 1945
dan Undang-undang.30
Menurut Bagir Manan, jenis-jenis kekuasaan yang dilekatkan kepada
Presiden oleh UUD 1945 maupun ketentuan di luar UUD, dapat dirinci
sebagai berikut:31
1. Kekuasaan penyelenggaraan pemerintahan;
2. Kekuasaan di bidang Perundang-undangan, meliputi; Kekuasaan
membentuk undang-undang, Kekuasaan membentuk Peraturan
Pemerintah, Kewenangan menetapkan Keputusan Presiden dan,
Kewenangan menetapkan Perpuu;
3. Kekuasaan di bidang yustisial;
4. Kekuasaan Presiden dalam hubungan luar negeri, meliputi; Kekuasaan
mengadakan perjanjian dengan negara lain, Kekuasaan menyatakan
perang dengan negara lain, Kekuasaan mengadakan perdamaian dengan
negara lain.
Kekuasaan Presiden yang berkaitan dengan tugas selaku kepala
pemerintahan adalah:
a. Kekuasaan membuat undang-undang yang meliputi kekuasaan
mempersiapkan dan mengusulkan pembentukan undan-undang dan
menetapkan undang-undang.
b. Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti
undang-undang.
c. Kekuasaan menetapkan peraturan pemerintah.
d. Kekuasaan mengangkat dan memberhentikan menteri-menteri.
30
Suwoto Mulyosudarmo, Peralihan Kekuasaan, Kajian Teoritis dan Yuridis Terhadap
Pidato Nawaksara, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997, h. 5
31 Bagir Manan, Lembaga Kepresidenan, dalam Sumali, Reduksi Kekuasaan Eksekutif di
Bidang Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu), h. 41
24
Pembuat UUD 1945 mengatur secara rinci macam substansi yang
harus ditetapkan dengan bentuk UU. Substansi yang harus ditetapkan
dengan UU, menurut pembuat UUD 1945 adalah:
a. Menyatakan keadaan perang, membuat perdamaian dan perjanjian
dengan negara lain.
b. Menetapkan syarat-syarat dan akibat negara dalam keadaan bahaya
dalam bentuk UU.
c. Menetapkan dan menyusun Anggaran Pendapatan Negara dan Belanja
Negara yang dimintakan persetujuan kepada DPR.
d. Menetapkan segala macam pajak untuk keperluan negara dengan
undang-undang.
Kekuasaan atributif Kepala Negara digunakan untuk kepanjangan
kekuasaan Presiden yang diperoleh secara atributif. Kekuasaan yang
bersifat atributif Kepala Negara itu adalah:
a. Presiden memegang kekuasaan tertinggi atas Angkatan Darat,
Angkatan Laut dan Angkatan Udara.
b. Presiden menyatakan keadaan bahaya. Untuk menyatakan negara
dalam keadaan bahaya, Presiden tidak perlu minta persetujuan terlebih
dahulu dari DPR. Namun syarat dan akibat keadaan bahaya harus
diatur dengan undang-undang. Ini berarti memerlukan persetujuan
DPR.
c. Presiden mengangkat duta dan konsul, serta menerima duta dari negara
lain.
d. Presiden memberi grasi, amnesti, abolisi dan rehabilitasi.
2. Dasar Hukum Kewenangan Presiden dalam Grasi
Kewenangan pemberian grasi tersebut ditinjau dari 3 hal, yaitu:
a. Kewenangan Konstitusional Presiden
25
Bahwa pasal 1 ayat (1) UUD 1945 berbunyi, Negara Indonesia
adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik, dan kedudukan
Presiden adalah sebagai kepala pemerintahan dan sekaligus sebagai
kepala negara.
Dalam kewenangan Presiden secara Konstitusional sebagai kepada
negara dan kepala pemerintahan diatur dalam UUD 1945. Sebagai
kepala negara yang bertindak untuk dan atas nama negara yang
ditentukan dalam Pasal 10, pasal 11, pasal 12, pasal 13, pasal 14, dan
pasal 15 UUD 1945, dan sebagai kepada pemerintahan ada dalam
ketentuan pasal 4 ayat (1) UUD 1945. Dua kewenagan tersebut ada
pada satu tangan dan tunggal Presiden Republik Indonesia.
b. Kewenangan Pemberian Grasi Berdasarkan Undang-Undang;
c. Kewengan Mengabulkan atau Menolak Permohonan Grasi
Kewenangan Presiden dalam memberikan grasi merupakan hak kepala
negara dan hak prerogatif Presiden untuk memberikan pengampunan
kepada terpidana yang dijatuhi hukuman dengan pertimbangan Mahkamah
Agung. Pemberian grasi merupakan campur tangan Presiden dalam bidang
yudisial, melainkan hak kepala Negara dalam memberikan pengampunan
yaitu grasi, yang dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau
menghapuskan pidana yang dijatuhkan, tetapi tidak menghilangkan
kesalahan terpidana.32
Pemberian grasi bukan merupakan persoalan teknis
yuridis peradilan dan tidak terkait dengan penilaian terhadap putusan
hakim. Pemberian grasi melainkan sebagai hak prerogative Presiden untuk
memberikan ampunan yang direalisasikan dalam bentuk Keputusan
Presiden.33
dalam rangka pengaturan terkait pemberian grasi oleh Presiden
terdapat pada pasal 14 ayat 1 UUD 1945, dan UU Nomor 22 Tahun 2002
jo UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang perubahan atas UU Nomor 22 tahun
32 Niklas Bantika / D101 09 124, Pemberian Grasi Oleh Presiden Republic Indonesia
Berdasarkan UUD 1945 h. 2
33
Pemberian Grasi Oleh Presiden bagi Terpidana Antasari Azhar, Mimbar Yustitia Vol.
1 No. 1 Juni 2017
26
2002 Tentang Grasi, bahwa mengatur mengenai prinsip umum grasi serta
tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi. Salah satunya
mengatur pembatasan permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu)
kali. Grasi diberikan dengan syarat formil sebagaimana diatur dalam pasal
2 UU No.5 Tahun 2010 tentang Grasi bahwa ditujukan kepada terpidana
yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap yang kenakan sanksi
pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling
rendah 2 (dua) tahun. Selain itu permohonan grasi diajukan oleh kuasa
hukum, terpidana, atau keluarga terpidana kepada Presiden. Permohonan
grasi dapat diajukan Cuma 1 (satu) kali saja sesuai pasal 2 ayat 3.
Sebelum berkas permohonan grasi sampai kepada Presiden, dalam
jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari permohonan grasi setelah
diterima pengadilan yang memutuskan perkara pada tingkat pertama.34
Kemudian dikirimkan kepada Mahkamah Agung agar dilakukan
pertimbangan hakim Mahkamah Agung. Setelah mendapat pertimbangan
Mahkamah Agung, Presiden dapat memberikan keputusan bahwa
permohonan grasi dapat menolak atau memberikan grasi tersebut. Jangka
waktu pemberian atau penolakan ditentukan paling lambat 3 (tiga) bulan
terhitung sejak diterimanya pertimbangan Mahkamah Agung.35
Kemudian Presiden berhak untuk mengabulkan atau menolak
permohonan grasi yang di sebut hak prerogratif Presiden yang diberikan
oleh konstitusi kepada Presiden.36
Pengaturan terkait pemberian grasi oleh
Presiden terdapat pada pasal 14 ayat 1 UUD 1945, dan UU Nomor 22
Tahun 2002 jo UU Nomor 5 Tahun 2010 tentang perubahan atas UU
Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi, bahwa mengatur mengenai prinsip
umum grasi serta tata cara pengajuan dan penyelesaian permohonan grasi.
Salah satunya mengatur pembatasan permohonan grasi hanya dapat
34 Pasal 9 UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi
35
Pasal 11 UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi
36 Niklas Bantika / D101 09 124, Pemberian Grasi Oleh Presiden Republic Indonesia
Berdasarkan UUD 1945 h. 9
27
diajukan 1 (satu) kali. Grasi diberikan dengan syarat formil sebagaimana
diatur dalam pasal 2 UU No.5 Tahun 2010 tentang Grasi bahwa ditujukan
kepada terpidana yang memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap yang
kenakan sanksi pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana
penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Selain itu permohonan grasi diajukan
oleh kuasa hukum, terpidana, atau keluarga terpidana kepada Presiden.
Permohonan grasi dapat diajukan Cuma 1 (satu) kali saja sesuai pasal 2
ayat 3.
Ketentuan Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa
‚Presiden berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang
diajukan terpidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat
pertimbangan dari Mahkamah Agung. Hak Presiden untuk mengabulkan
atau menolak permohonan grasi disebut dengan hak prerogatif Presiden,
yang mana hak Prerogatif tersebut merupakan hak khusus yang diberikan
oleh konstitusi kepada Presiden. Kemudian Presiden berhak untuk
mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang di sebut hak
prerogratif Presiden yang diberikan oleh konstitusi kepada Presiden.37
Ketentuan peraturan perundang-undangan mengenai grasi tidak
menyebutkan secara eksplisit alasan-alasan yang digunakan agar
seseorang dapat diberikan grasi. Dalam konsiderans huruf b dan huruf c
Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan atas Undang-
Undang Nomor 22 Tahun 2002 Tentang Grasi menyebutkan bahwa grasi
dapat diberikan oleh Presiden untuk mendapatkan pengampunan dan/atau
untuk menegakkan keadilan hakiki dan penegakan hak asasi manusia
terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum
tetap, bahwa grasi yang diberikan kepada terpidana harus mencerminkan
keadilan, perlindungan hak asasi manusia, dan kepastian hukum
berdasarkan Pancasila dan UUD 1945.15 Menurut Utrecht ada 4 (empat)
alasan pemberian grasi yaitu sebagai berikut:
37 Niklas Bantika / D101 09 124, Pemberian Grasi Oleh Presiden Republic Indonesia
Berdasarkan UUD 1945 h. 9
28
1. Kepentingan keluarga dari terpidana.
2. Terpidana pernah berjasa bagi masyarakat.
3. Terpidana menderita penyakit yang tidak dapat disembuhkan;
4. Terpidana berkelakuan baik selama berada di Lembaga
pemasyarakatan
Utrecht mendasari alasan-alasan pemberian grasi berdasar faktor
internal yang terdapat dalam diri pribadi terpidana. Menurut J.E. Sahetapy,
alasan yang memungkinkan Presiden untuk memberikan grasi adalah
sebagai berikut :
a. Bila seorang terhukum tiba-tiba menderita penyakit parah yang tidak
dapat disembuhkan.
b. Hakim adalah seorang manusia yang mungkin saja khilaf atau ada
perkembangan yang belum dipertimbangkan oleh hakim pada waktu
mengadili si terdakwa.
c. Perubahan ketatanegaraan atau perubahan kemasyarakatan sedemikian
rupa misalnya ketika Soeharto dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan
Reformasi, maka kebutuhan grasi tiba-tiba terasa mendesak, terlepas
dari kasus Abolisi dan Amnesti.
d. Bila terdapat ketidakadilan yang begitu mencolok misalnya sehabis
revolusi atau peperangan.
Menurut Pompe terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat dipakai
sebagai alasan untuk memberikan grasi yaitu:
a. Ada kekurangan di dalam perundang-undangan, yang di dalam suatu
peradilan telah menyebabkan hakim terpaksa menjatuhkan suatu
pidana tertentu, yang apabila kepada hakim itu telah diberikan
kebebasan yang lebih besar akan menyebabkan seseorang harus
dibebaskan atau tidak akan diadili oleh pengadilan atau harus dijatuhi
pidana yang lebih ringan.
29
b. Adanya keadaan-keadaan yang telah tidak ikut diperhitungkan oleh
hakim pada waktu menjatuhkan pidana, yang sebenarnya perlu
diperhitungkan untuk meringankan atau untuk meniadakan pidana
yang telah ia jatuhkan. Tentang hal ini Pompe telah meyebutkan
beberapa contoh, yaitu misalnya keadaan terpidana yang sedang sakit
atau keadaan terpidana yang tidak mampu untuk membayar pidana
yang telah dijatuhkan oleh hakim.
c. Terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan oleh
Pompe telah dikatakan bahwa pasal 15 dari keputusan mengenai grasi
yang berlaku di negeri Belanda itu telah selalu menunjuk kepada hal
tersebut.
d. Pemberian grasi setelah terpidana selesai menjalankan suatu masa
percobaan, yang menyebabkan terpidana memang dapat dipandang
sebagai pantas untuk mendapatkan pengampunan
Masih menurut pompe, mengenai pemberian grasi yang dikaitkan
dengan hari besar yang bersejarah. grasi seperti ini dapat membuat
terpidana selalu ingat kepada hari bersejarah yang bersangkutan dan dapat
membantu pemerintah dalam mencapai tujuannya apabila grasi seperti itu
diberikan kepada orang orang terpidana yang telah melakukan tindak
pidana-tindak pidana yang bersifat politis.
3. Keputusan Presiden
Keputusan Presiden atau biasa disingkat Keppres adalah norma hukum
yang bersifat konkret, individual, dan sekali selesai. Secara umum,
keputusan Presiden bersifat mengatur. Isi Keppres berlaku untuk orang
atau pihak tertentu yang disebut dalam Keppres tersebut kecuali Keppres
memiliki muatan seperti Peraturan Presiden, maka keberlakuannya juga
sama seperti Peraturan Presiden.38
Keputusan Presiden sebagaimana
38 https://id.wikipedia.org/wiki/Keputusan_Presiden_(Indonesia) diakses pada 12 Januari
2021
30
maksud dalam pasal 97 UU Nomor 12 Tahun 2011 yang sifatnya
mengatur, harus dimaknai sebagai peraturan, sepanjang tidak bertentangan
dengan Undang-Undang ini.39
39 Pasal 100 UU Nomor 12 Tahun 2011
31
BAB III
TINJAUAN UMUM GRASI PERSPEKTIF HUKUM ISLAM
A. Grasi Perspektif Hukum Islam
Dalam hukum pidana Islam istilah-istilah pengampunan tidak banyak di
rumuskan oleh ulama fiqh, meskipun demikian tetap ada penjelasan mengenai
pengampunan tersebut, dengan maksud untuk mengetahui batasan dan jenis
pengampunan yang dapat diberikan atas jarimah atau tindak pidana yang
dilakukan.
Kata grasi sebagaimana yang termaktub dalam konstitusi dan Undang-
undang, bahwa grasi merupakan suatu pengampunan yang diberikan oleh
seorang penguasa yang dalam hal ini seorang Presiden. Maka, dalam Islam
suatu bentuk pengampunan, dengan istilah al-afwu dan al-syafa’ah ( الشفاعة),
baik pengampunan diberikan oleh pihak korban atau yang diberikan oleh
penguasa kepada pelaku dari tindak kejahatan.
Grasi dikenal dalam sistem hukum dunia, bahwa grasi diberikan oleh
Presiden dalam kedudukan sebagai Kepala Negara meskipun ada nasihat atau
pertimbangan dari Mahkamah Agung, grasi pada dasarnya adalah bukan suatu
tindakan hukum, melainkan suatu tindakan non hukum berdasarkan hak
prerogatif Kepala Negara. Artinya grasi bersifat pengampunan dengan
mengurangi pidana atau meringankan pidana atau penghapusan pelaksanaan
pidana yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung. Kemudian grasi secara
etimologi berasal dari bahasa Belanda berarti anugerah atau rahmat dan dalam
terminologi hukum yaitu keringanan hukuman yang diberikan oleh Kepala
Negara kepada terhukum setelah mendapatkan keputusan Hakim.
Dalam hukum Islam terdapat fikih dusturiyah dan didalamnya membahas
tentang seorang khalifah yang memiliki untuk mengampuni seseorang atau
meringankan hukuman bagi seseorang yang telah melakukan suatu tindak
32
pidana.1 Dalam istilah pengampunan tidak banyak dirumuskan oleh ulama
Fikih, meskipun tetap ada penjelasan mengenai pengampunan tersebut,
dengan maksud untuk mengetahui batasan dan jenis pengampunan yang dapat
diberikan atas jarimah atau tindak pidana yang dilakukan. Maka arti kata grasi
sebagaimana yang tertulis dalam konstitusi dan Undang-Undang, bahwa grasi
merupakan suatu pengampunan yang diberikan seorang penguasa yang dalam
hal ini seorang Presiden.2
Dalam Islam dasar adanya pengampunan menurut Ahmad Fathi Bahansi Allah
berfirman dalam QS ali-Imran/3:155:
غفور حليم عنهم إن ٱلل (١٥٥: )ال عمران . ولقد عفا ٱلل
Artinya: Sesungguhnya Allah telah memberi maaf kepada mereka.
Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyantun. (QS Ali-
Imran:155) Senada dengan ayat yang diatas Allah berfirman dalam Q.S al-Baqarah 237:
بما تعملون بصير (٢٣٧ : . )البقرةوأن تعفوا أقرب للتقوى ول تنسوا ٱلفضل بينكم إن ٱلل
Artinya: dan pemaafan kamu itu lebih dekat kepada takwa. Dan janganlah
kamu melupakan keutamaan di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha
Melihat segala apa yang kamu kerjakan. (Q.S al-Baqarah: 237)
Kata al-‘afwu ( العفو ) merupakan bentuk isim yang mendapat imbuhan
kata al ( ال ) di depannya, atau disamakan dengan kata ‘afwun ( عفو) dalam
bentuk masdarnya, yang secara bahasa mengandung arti hilang, terhapus, dan
pemaafan.3 Sementara kata al-‘afwu ( العفو ) menurut istilah yang
didefinisikan oleh ulama usul, Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyya
al-Razy, adalah setiap pembuat dosa (pelaku kejahatan) yang seharusnya
1 Mujar Ibnu Syarif , Fikh Siyasah Doktrin dan Pemikiran Politik Hukum Islam, (Jakarta:
Erlangga, 2009), h. 69.
2 Mujar Ibnu Syarif, Fikih Siyasah Doktrin Dan Pemikiran Politik Hukum Islam,
(Jakarta:Erlangga, 2009), h. 69
3 Abdul Aziz Dahlan (et,al.), Ensiklopedi Hukum Islam, h. 30
33
menjalani hukuman menjadi terhapuskan sebab telah mendapatkan
pengampunan.4
Selanjutnya, kata al-syafa’ah ( الشفاعة ) dalam kamus bahasa arab lawan
kata dari al-witru ( الوتر ) atau ganjil yang mengandung arti genap, sepasang,
sejodoh, perantaraan, pertolongan dan bantuan.5 Sebagaimana pertolongan
dari seseorang dalam menyampaikan kebaikan atau menolak kejahatan.
Adapun kata al-syafa’ah ( الشفاعة ) sendiri berasal dari kata syafa’a ( شفع )
yang juga berarti menghimpun, mengumpulkan atau sesuatu dengan
sejenisnya.
Sehingga dari pengertian diatas dalam penelusuran kepustakaan hukum
Islam kata al-‘afwu ( العفو ) dan kata al-syafa’at ( الشفاعة) mempunyai kesamaan
makna dengan grasi sebagaimana yang didefinisikan Fakhruddin al-Razi
dengan makna, suatu permohonan dari seseorang kepada orang lain agar
keinginannya dipenuhi.6 Dengan kata lain, al-‘afwu dan al-syafa’at, dalam
dunia peradilan Islam juga mempunyai arti khusus, seperti yang dijabarkan
oleh al-Syarif Ali bin Muhammad al-Jurjani, ahli ilmu kalam serta ahli
hukum mazhab Maliki sekaligus pengarang kitab al-Ta’rifat menurutnya al-
syafa’at yaitu suatu permohonan untuk dibebaskan atau dikurangi dari
menjalani hukuman terhadap suatu tindak pidana yang telah dilakukan.
B. Dasar Hukum Grasi
Pengampunan yang mempunyai padanan arti dengan istilah ‘afwu dan al-
syafaat berdasarkan pada:
1. Al-Quran
Allah berfirman dalam Q.S Al-Baqarah: 178
4 Abi al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyya al-Razy, Mujmal al-Lughat, (Beirut: Dar
al- Fikr, 1414 H/ 1994 M), h. 472.
5 Ahmad Warson Munawwir, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
(Surabaya:Pustaka Progressif, 1997), h. 729.
6 Abdul Aziz Dahlan (et,al.), Ensiklopedi Hukum Islam, h. 411
34
أيها ٱلذين ءامنوا كتب عليكم ٱلقصاص في ٱلقتلى ٱلحر بٱل حر وٱلعبد بٱلعبد وٱلنثى ي
لك ت ذ ن بٱلمعروف وأداء إليه بإحسن بٱلنثى فمن عفي لهۥ من أخيه شيء فٱت باع م خفي
لك فلهۥ عذاب أل فمن ٱعتدى بعد ذ ب كم ورحمة (١٧٨ . ) البقرة:يم ر
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash
berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang
merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka
barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah
(yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang
diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang
baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan
suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya
siksa yang sangat pedih. (Q.S Al-Baqarah: 178)
Dalam ayat ini Allah telah memberikan hak dan wewenang kepada ahli
waris korban, tetapi tidak boleh melampaui batas dalam melaksanakan qishas.
Wewenang di sini adalah justifikasi sebagai ahli waris korban untuk menuntut
qishas atau memberikan pengampunan terhadap pelaku pembunuhan tersebut,
dari sinilah timbul suatu prinsip hukum Islam bahwa dalam hal pembunuhan
di mana pelaku pembalas (penuntut) bukanlah negara melainkan ahli waris
dari yang terbunuh. Oleh karena itu, negara sendiri tidak berhak untuk
memberikan ampunan.7
Dalam surat lain Allah juga menganjurkan pada kita untuk lebih dapat
memaafkan dari pada membalas terhadap orang yang melakukan keburukan.
Allah berfirman dalam Q.S Al-A’raf ayat 199 :
هلين ( ١٩٩ . )الٲعراف:خذ ٱلعفو وأمر بٱلعرف وأعرض عن ٱلج
Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (Q.S Al-A’raf:
199)
Allah berfirman dalam Q.S An-Nisa ayat 85:
نه عة سي ئة يكن لهۥ كفل م نها ومن يشفع شف عة حسنة يكن لهۥ نصيب م
ن يشفع شف على كل م ا وكان ٱلل
قيتا ( ٨٥ ) النساء: .شيء م
7 Departemen Agama Republik Indonesia, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, Jakarta,
Syaamil Cipta Media, 1984, h.55
35
Artinya: Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia
akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa
memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari
padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S An-Nisa : 85)
Syafa’at dalam surah al-Nisa’ ayat 85 ini supaya orang yang telah
melakukan tindak pidana dapat kembali memperoleh hak-haknya sebagai
warga negara, karena syafa’at diberikan supaya kembali untuk berbuat
kebaikan. Dapatlah dijabarkan makna dari ayat tersebut; barangsiapa yang
memberikan dari saat ke saat, untuk siapa dan kapan saja syafa’at yang baik,
yakni menjadi perantara sehingga orang lain dapat melaksanakan tuntunan
agama, baik dengan mengajak maupun memberikan sesuatu yang
memungkinkan orang lain dapat mengerjakan kebajikan, niscaya ia akan
memperoleh bahagian pahala darinya yang disebabkan oleh upayanya menjadi
perantara. Dan barangsiapa yang memberi syafa’at, yakni menjadi perantara
untuk terjadinya suatu pekerjaan yang buruk bagi siapa dan kapanpun,
niscaya ia akan memikul bahagian dosa dari usahanya. Allah sejak dulu
hingga kini dan seterusnya Maha kuasa atas segala sesuatu.8
Dalam Tafsir al-Azhar menafsirkan ayat ini dengan menyatakan bahwa
siapa yang sudi menggenapkan yang ganjil, menyamai Rasulullah dalam
perjuangannya sebab beliau sendiri yang bermula-mula diperintahkan Tuhan,
maka orang yang menggenapkan panggilan itu dengan baik, niscaya dia akan
mendapati keuntungan atau nasib. Barang siapa yang menggenapkan itu tidak
baik, tidak jujur, setengah hati mundur ditengah jalan, niscaya dia akan
menanggung dan dia akan menderita sebab syafaat yang buruk itu.9
2. Al-Hadis
Ada sejumlah keterangan dalam beberapa hadis terkait pengampunan,
yaitu bahwa pengampunan juga dianjurkan dalam suatu perkara tindak pidana
8 Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta:
Lentera Hati, 2002), cet 1 Vol 2 h. 511
9 Hamka, Tafsir al-Azhar Cet IV Juz V, (Jakarta: PT, Pustaka Panjimas), 2004, h. 235.
36
selama itu memang masih bias dimungkinkan sebagaimana dalam hadis yang
diriwayatkan Aisyah r.a sebagai berikut Artinya: Hindarilah hudud sebisa
mungkin atas orang-orang muslim, jika kalian menemukan alibi, lepaskan.
Sesungguhnya seorang penguasa yang salah dalam memaafkan lebih baik
daripada salah menghukum.10
Sabda Nabi di atas merupakan suatu sandaran hukum bagi seseorang
yang mempunyai otoritas dalam memutuskan suatu perkara, baik oleh seorang
hakim maupun penguasa, bilamana menemukan keraguan dalam menilai
suatu jarimah yang dilakukan dan dituduhkan pada seseorang yang telah
melakukan tindak pidana yang akan diputuskannya. Sehingga seorang imam
atau qadli dituntut supaya lebih cermat dan penuh kehati-hatian dalam
memutuskan suatu perkara.
3. Pendapat Fuqaha
Pengampunan dalam jarimah hudud, fuqaha sepakat dalam hal
pemberian pengampunan diperbolehkan mesikupun jarimah tersebut yang
berkaitan dengan perkara hudud selama perkara tersebut belum dijukan ke
pengadilan untuk disidangkan. Maka dengan perkara jarimah yang diancam
dengan hukuman hudud yang lain juga diperkenankan pemberian
pengampunan.
Dalam jarimah hudud yang berkaitan jiwa jelas adanya pemaafan
sebagaimana dalam Alquran al-Baqarah ayat 178 bahwa pemberian maaf
lebih diutamakan dari melakukan pembalasan (qishas). Namun dengan
mekanisme dan tauran yang sesuai dengan apa yang diajarkan dalam al-Quran
dan Hadis, yang mana pengampunan hanya dapat dilakukan oleh korban atau
wali dari korban itu sendiri, bukan dari ulil amri atau lainnya. Fuqaha berbeda
pendapat tentang pengertian pemberian maaf secara cuma-cuma ataupun
meminta dengan ganti diyat sendiri.
10 Ali bin Umar al-Daruqutni, Sunan al-Daruqutni ‚fi Kitab al-Hudud wa al-Diyat wa
Ghayrihi, (Beirut: Dar Ibn Hazm, 2011), h. 665
37
Sebagaimana pendapat Imam Malik dan Imam Abu Hanifah,
menganggap pelepasan hak qishas dengan ganti diyat sebagai pengampunan
(al-afwu), melainkan rekonsiliasi (alshulh), karena menurut keduanya,
kewajiban qishas atas tindak pidana sengaja bersifat ‘aini (terbatas kepada diri
pelaku sendiri), juga karena diyat tidak wajib dibayarkan kecuali jika pelaku
rela membayarnya. Karena itu, apabila pengguguran qishas dengan ganti yang
murni timbul dari satu pihak yakni korban atauwalinya, tanpa membutuhkan
persetujuan dari pihak lainnya yakni pelaku.
Pengampunan dalam jarimah takzir Abdul Qadir Audah menerangkan,
telah disepakati oleh fuqaha bahwa penguasa memiliki hak pengampunan
yang telah disepakati oleh fuqaha bahwa penguasa memiliki hak
pengampunan yang sempurna pada semua tindak jarimah takzir. Karena itu,
penguasa boleh mengampuni suatu tindak pidana takzir dan hukumannya, baik
sebagian maupun keseluruhannya. Mesikupun demikian, fuqaha berbeda
pendapat tentang boleh tidaknya penguasa memberikan pengampunan
terhadap semua tindak pidana takzir atau terbatas pada sebagian saja.11
C. Alasan Memberikan Grasi
Utrecht mendasari alasan-alasan pemberian grasi berdasar faktor internal
yang terdapat dalam diri pribadi terpidana. Menurut J.E. Sahetapy, alasan
yang memungkinkan Presiden untuk memberikan grasi adalah sebagai berikut:
1. Bila seorang terhukum tiba-tiba menderita penyakit parah yang tidak
dapat disembuhkan.
2. Hakim adalah seorang manusia yang mungkin saja khilaf atau ada
perkembangan yang belum dipertimbangkan oleh hakim ada waktu
mengadili si terdakwa.
3. Perubahan ketatanegaraan atau perubahan kemasyarakatan sedemikian
rupa misalnya ketika Soeharto dijatuhkan oleh kekuatan-kekuatan
11 Abdul Qadir Audah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam terjemah Tim Tsalisah dari al-
Tasyri’ al-Jina’i al-Islamiy Muqaranan bil Qanunil Wad’iy, (Bogor: P.T. Kharisma Ilmu, tth),
Jilid III h. 171.
38
Reformasi, maka kebutuhan grasi tiba-tiba terasa mendesak, terlepas
dari kasus Abolisi dan Amnesti.
4. Bila terdapat ketidakadilan yang begitu mencolok misalnya sehabis
revolusi atau peperangan.
Menurut Pompe, terdapat keadaan-keadaan tertentu yang dapat dipakai
sebagai alasan untuk memberikan grasi yaitu:
1. Ada kekurangan di dalam perundang-undangan, yang di dalam suatu
peradilan telah menyebabkan hakim terpaksa menjatuhkan suatu
pidana tertentu, yang apabila kepada hakim itu telah diberikan
kebebasan yang lebih besar akan menyebabkan seseorang harus
dibebaskan atau tidak akan diadili oleh pengadilan atau harus dijatuhi
pidana yang lebih ringan.
2. Adanya keadaan-keadaan yang telah tidak ikut diperhitungkan oleh
hakim pada waktu menjatuhkan pidana, yang sebenarnya perlu
diperhitungkan untuk meringankan atau untuk meniadakan pidana
yang telah ia jatuhkan. Tentang hal ini Pompe telah meyebutkan
beberapa contoh, yaitu misalnya keadaan terpidana yang sedang sakit
atau keadaan terpidana yang tidak mampu untuk membayar pidana
yang telah dijatuhkan oleh hakim.
3. Terpidana baru saja dibebaskan dari lembaga pemasyarakatan oleh
Pompe telah dikatakan bahwa pasal 15 dari keputusan mengenai grasi
yang berlaku di negeri Belanda itu telah selalu menunjuk kepada hal
tersebut.
4. Pemberian grasi setelah terpidana selesai menjalankan suatu masa
percobaan, yang menyebabkan terpidana memang dapat dipandang
sebagai pantas untuk mendapatkan pengampunan.
D. Pemberian Pengampunan dalam Islam
Dalam hukum Islam pertimbangan Presiden dalam grasi bagi pelaku
tindak pidana pembunuhan berencana merupakan hal yang dibenarkan prinsip
39
keadilan merupakan hal yang harus ditegakkan, dan tentunya lebih ditekankan
kepada para pemimpin dan penguasa yang senantiasa melayani kepentingan
masyarakat.
Fuqaha dalam pemberian pengampunan sepakat diperbolehkan meskipun
jarimah tersebut yang berkaitan dengan perkara hudud selama perkara tersebut
belum diajukan ke pengadilan untuk disidangkan, yang mana dinisbatkan
dengan dasar hadis yang berkaitan dengan pencurain. Maka dengan perkara
jarimah yang diancam dengan hukuman hudud yang lain juga diperkenankan
pemberian pengampunan.12
Pemberian pengampunan mempunyai ketentuan kepada pelaku tindak
pidana yang telah dilakukan oleh sebagian besar para sahabat Nabi dan
Fuqaha. Mereka memberikan syafaat (pengampunan) kepada pelaku tindak
pidana tersebut, karena memberikan ‘amaliyah yang dianjurkan Allah SWT
sebagaimana firmannya dalam surat Al-A’raf ayat 199 :
مر بعرض عن ٱلجهلين خذ ٱلعفو وأ
(١٩٩: الاعراف ) ١٩٩ٱلعرف وأ
Artinya: Jadilah engkau pemaaf dan suruhlah orang mengerjakan yang
ma'ruf, serta berpalinglah dari pada orang-orang yang bodoh. (Q.S Al-A’raf
199).
Pengampunan dalam Jarimah hudud yang berkaitan jiwa qishas-diyat telah
jelas adanya pemaafan sebagaimana tuntutan yang diajarkan Allah dalam surat
Al-Baqarah ayat 17 dan sabda Nabi bahwa pemberian maaf lebih diutamakan
dari pada melakukan pembalasan. Namun dengan aturan dan mekanime yang
sesuai dalam Al-Quran dan Hadis, yang mana pengampunan hanya dapat
dilakukan oleh korban atau wali dari korban itu sendiri, bukan dari ulil amri
atau lainnya.13
Pengampunan dalam Islam sudah disepakati oleh para fukaha bahwa
penguasa memiliki hak pengampunan yang sempurna pada tindak pidana
12
Muhammad Abu Zahra, Al-Jamiah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam: al-Jarimah,(
Beirut: al-Dar al-Fikr al-Farabi, 1998), h. 73.
13 Muhammad Abu Zahra, Al-Jamiah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam: al-Jarimah,(
Beirut: al-Dar al-Fikr al-Farabi, 1998), h. 73-74.
40
ta’zir. Karena itu14
, penguasa boleh mengampuni suatu tindak pidana ta’zir
dan hukumannya, baik sebagiannya maupun keseluruhannya. Meskipun
demikian, para fukaha berbeda pendapat tentang bisa tidaknya penguasa
memberikan pengampunan terhadap semua tindak pidana ta’zir atau terbatas
pada sebagiannya saja. Sebagian ulama (kelompok pertama) berpendapat
bahwa penguasa tidak memiliki hak pengampunan pada tindak pidana kisas
dan hudud yang sempurna yang tidak boleh dijatuhi hukuman kisas dan
hudud, tetapi ia harus dijatuhi hukuman ta’zir yang sesuai dengan tindak
pidana yang telah dilakukannya.
Dalam hal ini, penguasa boleh mengampuni tindak pidana dan
hukumannya jika ia melihat ada kemaslahatan umum di dalamnya dan setelah
menghilangkan dorongan hawa nafsu15
. Sementara itu, sebagaian ulama yang
lain (kelompok kedua) berpendapat bahwa penguasa memiliki hak untuk
memberikan pengampunan atas seluruh tindak pidana yang diancam dengan
hukuman ta’zir dan juga hak mengampuni hukumannya jika di dalamnya
terdapat kemaslahatan umum. Dari kedua pendapat ulama tersebut, dapat kita
lihat bahwa kelompok pertama lebih dekat dengan logika hukum Islam yang
berkaitan dengan tindak pidana hudud dan qisas.
Kekuasaan korban dalam memberikan pengampunan terhadap tindak
pidana ta’zir hanya terbatas pada hal-hal yang berhubungan dengan haknya
(dirinya), seperti pemukulan dan pencacian. Kerana itu, pengampunan korban
tidak berpengaruh pada hak masyarakat, yaitu mendidik pelaku dan
memperbaikinya, sehingga jika korban mengampuni pelaku, pengampunannya
itu tertuju pada hak pribadi korban saja. Sebaliknya, pengampunan penguasa
atas tindak pidana atau hukuman tidak berpengaruh pada hak-hak korban.16
14 Abdul Qadir Al Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT Kharisma
Ilmu, 2008, Jilid 3, h. 171.
15
Abdul Qadir Al Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT Kharisma
Ilmu, 2008, Jilid 3, h. 171.
16 Abdul Qadir Al Audah, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam. Jakarta: PT Kharisma
Ilmu, 2008, Jilid III, h. 171.
41
BAB IV
TINJAUAN YURIDIS PEMEBERIAN GRASI KEPADA ANTASARI
AZHAR (KEPUTUSAN PRESIDEN NOMOR 1/G/ 2017)
A. Tuntutan Jaksa
Bahwa perbuatan terdakwa Antasari Azhar, SH.MH. tersebut
sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 55 ayat (1) ke-1
KUHP Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-2 KUHP Jo. Pasal 340 KUHP. Membaca
tuntutan pidana Jaksa Penuntut Umum pada Kejaksaan Negeri Jakarta
Selatan tanggal 19 Januari 2010 sebagai berikut:
1. Menyatakan Terdakwa Antasari Azhar, SH.MH. terbukti secara sah
dan menyakinkan telah bersalah melakukan tindak pidana “Orang yang
Turut Melakukan Perbuatan Membujuk Orang Lain Melakukan
Pembunuhan Berencana” seabagimana diatur dan diancam pidana
dalam pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-2 Jo. Pasal 340
KUHP sebagaimana dalam surat dakwaan;
2. Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Antasari Azhar, SH.MH.
dengan Pidana Mati;
3. Menyatakan barang bukti berupa:
a. 3 (tiga) buah kartu Access Card Hotel Grand Mahakam, 1(satu)
buah kardus Handphone Nokia 6300 Nomor IMEI :
355714022899576.
b. 1 (satu) Amplop Cokelat dari Sigid Haryo Wibisono kepada
Antasari Azhar berisi satu bendel Hasil Pemeriksaan Asset Eks
Pemegang Saham dari BPK, satu bendel Hasil Pemeriksaan
Penyelesaian Kewajiban Pemegang Saham (PKPS) dari BPK dan
satu surat berjudul The Untouchable Salim Bersaudara
Dikembalikan kepada Chesna F. Anwar.
c. 1 (satu) Amplop Cokelat dari Mega Simarmata Watawati
inilah.com kepada Antasari Azhar private and confidential
diserahkan via Ibu Ida (Sekretaris) berisi Print Out Email dari
42
Microsoft Outlook Inbox dan Exhibit S-GSM off-air intercept 1
(satu) buah Map Warna Biru berisi copy Surat Nota Kesepahaman
antara PT. Graha Artha Citra Mandiri dan PT. Rajawali Nusantara
Indonesia Nomor : 78/Spj.PNRNI/X/2002 dan copy Surat
Keputusan Menteri Negara Badan Usaha Milik Negara Nomor
KEP-/MBU/2007 dan Copy Surat PT. Rajawali Nusantara
Indonesia Nomor S 20/RNI.00/VI/2004 tanggal 2 Juni 2005, Hal
Tanggapan Komisaris Atas Laporan Tahunan Tahun Buku 2004
dan Copy Surat Daftar Riwayat Hidup Nasrudin Zulkarnaen.
d. 1 (satu) buah Hardisk Merk Western Digital, Model WD 800ZD
Serial
NumberWMAM9X647149,MD5HASH6D42AE68F9DE4CB2C0
CC60f7B488ZC4.
e. Kapasitasnya 80 Gb. - DVDR : 8088E4123-03271E21 yang berisi
159 File Voice dan satu file print out com list, dari nomor
6281381202747 berikut print outnya DVDR 8088E4124-
03271E21 yang berisi 217 File Voice dan satu file print out com
list, dari nomor 6281311695795 berikut print outnya.
f. DVDR : 8088E4125-03271E22 yang berisi 2506 File Voice dan
satu file print out com list, dari nomor 628111978245 berikut print
outnya, DVDR : 8088E4125-03271E22 yang berisi 182 File Voice
dan satu file print out com list, dari nomor 628161113244 berikut
print outnya.
g. 1 Keping CD Serial No. ZA3131LL20352551H yang berisi 2
CDZR dan 4 data pelanggan.
h. Surat Perintah Penyelidikan No.13C/01/XI/2008 tanggal 10
Nopember 2008, surat Perintah Penyadapan No.1B/01/22/I/2009
tanggal 6 Januari 2009, surat Perintah Penyadapan
No.18/01/22/I/2008 tanggal 6 Februari 2009.
i. 3 (tiga) lembar Chart pecakapan Handphone tertanggal 8, 9 dan 12
Januari 2009. Permintaan CDR, SMS dan data pelanggan No. R-
43
0023/32/I/2009 tanggal 6 Januari 2009 periode untuk tanggal 3
Januari 2009.
j. Permintaan CDR, SMS No. R-0110/32/1/2009 tanggal 9 Januari
2009 periode untuk tanggal 1 Januari 2009 s/d 9 Januari 2009.
Permintaan data Pelanggan No. R-0024/32/I/2009 tanggal 6
Januari 2009 untuk No. HP 081381202747, 081311695795 dan
0811978245. Permintaan data Pelanggan No. R-0024/32/I/2009
tanggal 6 Januari 2009 untuk No. HP 0818883155.
k. Dikembalikan kepada saksi Budi Ibrahim 1 (Satu) buah flashdisk
merk MY FLASH warna hitam dan putih kapasitas 2GB. 1 (satu)
buah Flashdisk merk Kingston warna hijau dan putih kapasitas
2GB. 1 (Satu) buah flashdisk merk Nexus warna biru muda
kapasitas 1 GB, 1 (Satu) buah flashdisk merk Kingstone warna
hitam; Dikembalikan kepada saksi Setyo Wahyudi. 1 (Satu) buah
HP merk Nokia Type 6300 C berikut Simcard 0818777889 2 (dua)
unit HP Nokia type 6275i.
l. 1 (Satu) unit HP Black Berry warna hitam, 1 (Satu) buah HP Nokia
E.90 dengan ID Card 0811175211, 1 (Satu) unit HP merk Nokia
type 6235 berikut Simcard. 1 (Satu) buah HP Nokia E.90 dengan
nomor 0818736666, 1 (Satu) unit HP Fren ZTE type C330 Nomor
08889656751, 1 (Satu) unit HP merek Nokia type 6275i nomor
08889968899, 1 (Satu) HP Black Berry type 8310, 1 (Satu) unit
HP Nokia type 6800, 1 (Satu) HP CDMA merk Nokia Type 2228,
1 (Satu) buah Simcard Esia No. 021-97361984, 1 (Satu) buah
carger Nokia.
m. 1 (Satu) buah printer merk HP PhotoSmart C. 6180 All-in-One
dirampas untuk Negara, 1 (Satu) lembar amplop putih bertuliskan
no HP 08121050456, 0818883155, 081381202747,
081311695795, dan 0811978245, 1 (Satu) buah amplop besar
warna coklat kosong, 1 (Satu) lembar print out (area parkir
Bowlling Ancol) kendaraan B 8214-QD, 1 (Satu) lembar foto copy
44
email INA SUSANTI kepada BUDI IBRAHIM tanggal 20 Januari
2009 Jam : 12.39 PM serta balasan dari BUDI IBRAHIM kepada
INA SUSANTI tanggal 20 Januari 2009 jam 19:51 dengan subjek
batu sari. 1 (Satu) buah alat rekam dengan panjang, lebar, warna
hitam sesuai dengan foto.
n. 1 (Satu) buah alat rekam dengan panjang/lebar, warna merah merk
CREATIVE Type MUVO N.200 1 GB sesuai dengan foto;-
Dirampas untuk dimusnahkan. 1 (satu) buah mobil sedan BMW
warna Silver No. Pol. B-191-E. 1 (satu) tas warna coklat gelap
merk Bally. 1 (satu) buah Handphone Merk Blackberry. 1 (satu)
buah Handphone merk Nokia E.90, 1 (satu) buah Handphone merk
Nokia 623, 1 (satu) buah Handphone CDMA Fren. 1 (satu) buah
Handphone merk Nokia 5250.
o. 1 (satu) celana panjang jeans (milik korban Nasrudin Zulkarnaen
yang dipakai saat terjadi penembakan di Jl. Hartono Raya
Modernland Tangerang. 1 (satu) unit mobil Avanza No. Pol. B-
8870-NP warna silver tahun 2005 Noka
MHFFMRGK35KO39959 Nosin DA60752. 1 (satu) lembar STNK
an. BUSMANTO SATYO alamat Jl. Panglima Polim No.127-A3
Rt. 8/1 Jakarta Selatan.
p. 1 (satu) buah buku daftar Nomor Polisi yang keluar masuk
dilapangan parkir Modernland Tangerang. 1 (satu) buah Kompor
Gas merk RINAI, 1 (Satu) unit HP merk MITO warna hitam dan 2
Simcard, 1 (satu) dompet warna hitam berisi uang tunai Rp.
2.600.000, 1 (satu) unit HP merk Sony Ericson dan Simcard, 1
(satu) dompet berisi uang Rp. 300.000,
q. 1 (satu) sepeda motor Yamaha Scorpio No. Pol. B-6862-SNY
warna hitam tahun 2008 Noka : MH35BP0068K110463, 1 (satu)
lembar STNK No. Pol. B-6862-SNY atas nama Risty. Primasty
alamat Jl. Jambu Kalibata Indah U/26 Rt. 014/06 Jaksel, 1 (satu)
buah Helmet warna merah maron dengan pelindung mika warna
45
gelap dan ada stiker dibagian belakang tertulis WTM Helmet, 1
(satu) unit HP Nokia Type 2600 nomor 981213397901.
r. 1 (satu) unit Yamaha Jupiter MX No.Pol B 6081 BVG warna abu-
abu tahun 2009 Noka: MH31S70059K500121 Nosin: 1S7499348,
1 (satu) lembar STNK No. Pol B-6081-BVG an. Fransiskus T.
Kerans alamat Jl. Sanat Dalam Rt. 03/03 Tangki Jakarta Barat.
Uang tunai 74.000.000, 1 (satu) buah dompet berisi uang Rp.
1.278.000, 1 (satu) unit HP Fren warna silver dan 2 (dua) buah
kartu (Esia dan Simpati), 1 (satu) unit sepeda motor Yamaha Mio
berikut STNK No. Pol. B-6118 SSE, 2 (dua) butir anak peluru.
s. 1 (satu) pucuk senjata api jenis Revolver, merk S & W 6 (enam)
silinder berikut peluru sebanyak 27 (dua puluh tujuh) butir dan 2
(dua) selongsong peluru. 1 (satu) buah proyektil peluru; Sebuah
serpihan/pecahan anak peluru; Dipergunakan dalam perkara
Eduardus Noe Ndopo Mbete alias Edo.1
Putusan hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
Membaca Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.
1532/Pid.B/2009/PN. JKT. SEL tanggal 11 februari 2010 amar putusan
sebagai berikut:
1. Menyatakan terdakwa Antasari Azhar. Yang identitasnya disebutkan di
muka, terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana “Turut Serta Menganjurkan Pembunuhan Berencana”,
2. Memidana terdakwa tersebut, dengan pidana penjara selama: 18
(delapan belas) tahun.
3. Menetapkan bahwa masa penahanan yang telah dijalani terdakwa
dikurangkan seluruhanya dari pidana yang dijatuhkan.
4. menetapkan terdakwa tetap ada dalam tahanan.
5. Menetapkan barang bukti berupa:
1 Putusan Nomor.1429 K/Pid/2010
46
6. Menyatakan gugatan ganti rugi pemohon tidak dapat diterima;
B. Pembunuhan Berencana
Tindak pidana pembunuhan Tindak pidana menurut Wirjono Prodjodikoro
berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana.2
Kata bunuh berarti mematikan, menghilangkan nyawa, membunuh artinya
membuat seseorang mati, pembunuhan berarti perkara membunuh, perbuatan
atau hal membunuh. Perbuatan yang dikatakan pembunuhan adalah perbuatan
oleh seorang yang sengaja merampas nyawa orang lain.3 Pembunuhan adalah
suatu kejahatan terhadap nyawa seseorang, yaitu berupa penyerangan terhadap
nyawa orang lain. Kepentingan hukum yang dilindungi dan merupakan objek
kejahatan ini adalah nyawa manusia.
Untuk memahami arti pembunuhan ini dapat dilihat pada pasal 338 KUHP
yang berbunyi: “Barang siapa dengan sengaja merampas nyawa orang lain,
diancam karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun”.4
Dalam pasal diatas dapat dipahami bahwa :
a. Pembunuhan merupakan perbuatan yang mengakibatkan kematian
orang lain.
b. Pembunuhan itu disengaja, artinya diniatkan untuk melakukan
pembunuhan.
c. Pembunuhan itu dilakukan dengan segera sesudah timbul maksud
untuk membunuh.5
2 Wirjono Prodjodikoro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: PT Eresco,
1981), cet ke-3, h. 55. 3 Hilman hadikusuma, Bahasa Hukum Indonesia (Bandung: Alumni, 1992), h. 129.
4 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), cet ke-11, h. 134.
5 R. Soesilo, KUHP Serta Komentar-Komentar Lengkap Pasal Demi Pasal (Bandung:
PT. Karya Nusantara, 1989), h. 207.
47
Dalam kitab undang-undang hukum pidana (KUHP) diatur dalam buku II
pasal 338-350 tentang kejahatan terhadap nyawa orang. Pembunuhan adalah
termasuk tindak pidana material, artinya untuk kesempurnaan tindak pidana
ini tidak cukup dengan dilakukan perbuatan itu, akan tetapi menjadi syarat
juga adanya akibat dari perbuatan tersebut.
Pada dasarnya pembunuhan itu terbagi dua bagian, yaitu dilihat dari
kesalahan pelaku dan sasaran. Jika disandarkan pada kesalahan pelakunya,
maka diperinci atas dua golongan, yakni:
a. Kejahatan yang ditunjukan terhadap jiwa manusia yang dilakukan dengan
sengaja. Terdapat pada pasal 338-350 KUHP.
b. Kejahatan yang ditunjukan terhadap jiwa manusia yang terjadi karena
kealpaan, pasal 359 KUHP.6
Kejahatan terhadap nyawa manusia yang dilakukan dengan sengaja dan
yang dilakukan dengan kealpaan. Pembunuhan sengaja adalah perbuatan yang
mengakibatkan kematian orang lain, kematian itu dikehendaki oleh pelaku.
Dalam KUHP pembunuhan yang dilakukan dengan sengaja, dikelempokan
dalam beberapa jenis, yaitu:
a. Pembunuhan Biasa
Pembunuhan biasa ini terdapat dalam pasal 338 KUHP, yang berbunyi:
Barang siapa dengan sengaja menghilangkan nyawa orang lain dipidana
karena pembunuhan dengan pidana penjara paling lama lima belas
tahun.7
Istilah orang lain dalam pasal 338 itu maksudnya bukan dirinya
sendiri, jadi terhadap siapa pembunuhan itu dilakukan tidak menjadi soal,
meskipun pembunuhan itu dilakukan bapak, ibu, atau anak sendiri.
Dalam pembunuhan biasa, harus terpenuhi beberapa unsur:
1) Bahwa perbuatan itu harus disengaja dan kesengajaan itu harus timbul
seketika itu juga, ditujukan pada maksud supaya orang itu mati.
6 M. Amin Suma, dkk, Hukum Pidana Islam di Indonesia Peluang, Prospek, dan
Tantangan, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2001), h. 143.
7 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 134.
48
2) Melenyapkan nyawa orang.
3) Perbuatan itu harus menyebabkan matinya seseorang, seketika itu juga
atau beberapa saat setelah dilakukannya perbuatan itu.8
b. Pembunuhan Terkualifikasi
Jenis pembunuhan itu adalah pembunuhan yang dikuti, disertai, atau
didahului dengan perbuatan lain. Sebagaimana dirumuskan dalam pasal
339 yaitu: pembunuhan yang diikuti, disertai atau didahului oleh suatu
delik, yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan atau
mempermudah pelaksanaannya atau untuk mempersiapkan diri sendiri
maupun peserta lainnya dari pidana dalam hal tertangkap tangan,
ataupun untuk memastikan penguasaan barang yang diperolehnya secara
melawan hukum, diancam pidana dengan pidana penjara seumur hidup
atau selama waktu tertentu, paling lama dua puluh tahun.9
Apabila rumusan tersebut diperinci, maka terdiri dari beberapa unsur
yaitu:
1) Semua unsur dalam pasal 338
2) Yang diikuti, disertai atau didahului oleh tindak pidana
3) Pembunuhan yang dilakukan dengan maksud untuk mempersiapkan
tindak pidana lain dan untuk mempermudah pelaksaan tindak pidana
lain dalam hal tertangkap tangan ditunjukan untuk menghindarkan diri
sendiri maupun peserta lainnya dari pidana atau supaya apa yang
didapat dari perbuatan itu tetap ada ditangannya.
c. Pembunuhan Yang Direncanakan
Pembunuhan yang dengan sengaja dan direncanakan terlebih dahulu
dalam keadaan tenang untuk melenyapkan nyawa orang atau lebih dikenal
dengan pembunuhan berencana. Pembunuhan ini diatur dalam pasal 340
KUHP dengan ancaman hukuman yang paling berat , yaitu hukuman mati,
8 M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP (Bandung: Remaja
Karya, 1986), cet. ke-2, h. 121.
9 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 134.
49
atau pidana penjara seumur hidup. Terdapat beberapa unsur dalam
pembunuhan berencana, antara lain:
1) Adanya kesengajaan, yaitu kesengajaan yang disertai dengan suatu
perencanaan terlebih dahulu.
2) Yang bersalah dalam keadaan tenang memikirkan untuk melakukan
pembunuhan itu dan kemudian melakukan tujuanya dan tidak menjadi
soal berapa lama waktunya.
3) Timbulnya pikiran untuk membunuh dan saat melakukan pembunuhan
itu, ada waktu ketenangan pikiran.10
d. Pembunuhan Anak
Pasal ini adalah seorang ibu yang dengan sengaja membunuh anaknya
pada waktu dilahirkan atau tidak beberapa lama setelah melahirkan.
Pembunuhan ini dirumuskan dalam pasal 341 dan 342 KUHP.11
Untuk pembunuhan dalam pasal 341 diancam dengan hukuman selama
tujuh tahun penjara. Pasal 342 memuat perbuatan yang wujudnya sama
dengan dimuat dalam pasal 341 dengan perbedaan bahwa dalam pasal 342
perbuatannya dilakukan untuk menjalankan kehendak yang ditentukan
sebelum anak dilahirkan. Tindak pidana ini diancam dengan maksimum
hukuman Sembilan tahun penjara.
e. Pembunuhan Atas Permintaan Si Korban
Pembunuhan ini dirumuskan dalam pasal 344 yaitu : Barang siapa
yang merampas jiwa orang lain atas permintaan yang sangat tegas dan
sungguh-sungguh, diancam dengan pidana penajra paling lama dua belas
tahun.
Dari bunyi pasal 344 tersebut diketahui bahwa pembunuhan ini
mempunyai unsur yaitu:
1) Atas permintaan yang tegas dari korban;
2) Sungguh-sungguh nyata;
10 M. Bassar Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Didalam KUHP, h. 123-124.
11 Andi Hamzah, KUHP dan KUHAP, h. 135.
50
f. Bunuh Diri Sendiri
Pada dasarnya tidak ada permasalahan dalam kejahatan bunuh diri
karena tidak ada pelaku secara langsung dalam melakukan kejahatan
tersebut. Hanya saja disini akan diancam hukuman bagi orang yang
sengaja menghasut atau menolong orang lain untuk bunuh diri, yaitu akan
dikenakan pasal 345 KUHP yang akan diancam hukuman penjara paling
lama empat tahun. Dengan syarat bunuh diri itu harus benar-benar terjadi
dilakukannya, artinya orangnya sampai mati karena bunuh diri tersebut.
g. Menggugurkan kandungan13
Pembunuhan kandungan atau pengguguran terdapat pada pasal 346-
349 KUHP, dilihat dari subjek hukumnya. Maka pembunuhan jenis ini
dapat dibedakan menjadi 3 yaitu:
1) Yang dilakukan sendiri pada pasal 346 diancam dengan penjara 4
tahun.
2) Yang dilakukan oleh orang lain atas persetujuannya ppada pasal 347
atau tidak atas persetujuannya pada pasal 348 KUHP.
3) Yang dilakukan oleh orang lain yang mempunyai kualitas tertentu
seperti dokter, bidan dan juru obat baik atas persetujuannnya ataupun
tidak.
Kejahatan yang dilakukan Pembunuh disebabkan kealpaan, diatur dalam
pasal 359 KUHP yang berbunyi sebagai berikut: “barang siapa karena
kesalahannya menyebabkan orang mati, dihukum dengan hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun.”
Kealpaan terjadi karena tidak berhati-hati dalam melakukan suatu
perbuatan, di samping menduga akibat perbuatan itu. Meskipun suatu
perbuatan dilakukan dengan hati-hati, masih mungkin terjadi kealpaan jika
13 M. Sudrajat Bassar, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP (Bandung: Remaja
Karya, 1986), cet. ke-2, h. 121.
51
pembuat itu telah mengetahui bahwa dari perbuatan itu mungkin akan timbul
suatu akibat yang dilarang undang-undang.14
Umumnya para pakar hukum sependapat bahwa kealpaan adalah bentuk
kesalahan yang lebih ringan dari pada kesengajaan. Untuk itu, sanksi atau
ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma pidana yang dilakukan
dengan kealpaan lebih ringan.
Pembunuhan berencana terdapat dalam Pasal 340 KUHP: “barang siapa
dengan sengaja dan dengan rencana terlebih dahulu menghilangkan nyawa
orang lain, diancam karena pembunuhan dengan rencana, dengan pidana
mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu, paling
lama dua puluh tahun.
Berdasarkan fakta, bukti dan keterangan para saksi yang terlihat dalam
persidangan, maka dapat dianalisis bahwa tindakan pembunuhan terhadap
Nasrudin Zulkarnaen Iskandar yaitu korban dapat dikategorikan sebagi tindak
pidana turut serta pembunuhan berencana (moord).
Adapun unsur pembunuhan berencana pasal 340 KUHP sebagai berikut:
1. Barang siapa
Unsur “barang siapa” yaitu sebagai subjek hukum atau seseorang
yang melakukan perbuatan pidana yang didakwakan kepadanya.
Subjek hukum tersebut mempertanggungjawabkan perbuatannya.
2. Dengan sengaja merampas nyawa orang lain
Dengan sengaja mempunyai arti adanya niat yang timbul dari
subjek hukum dalam keadaan sadar untuk melakukan perbuatan yang
sudah diketahui akibat perbuatan tersebut. Kemudian niat tersebut
dapat diketahui adanya persiapan perbuatan pelaku atau subjek hukum.
Kesengajaan artinya pelaku sadar perbuatannya yang dilakukan akan
mengakibatkan kematian orang lain.
3. Diancam karena pembunuhan dengan rencana
14 Leden Marpaung, Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana (Jakarta: Sinar Grafika, 2006),
cet. ke-3, h. 25.
52
Maksud dari direncanakan terlebih dahulu yaitu timbulnya maksud
untuk melakukan perbuatan dengan pelaksanaannya itu masih ada
waktu bagi pembuat untuk memikirkan dengan tenang, seperti cara
perbuatan itu dilakukan, dimana waktu dan tempat dilakukan. Hal
yang penting dalam waktu tenang bagi pelaku atau pembuat masih
dapat berfikir untuk membatalkan niatnya akan melakukan perbuatan
itu, tetapi waktu tersebut tidak digunakan.15
Bahwa Antasari Azhar melakukan turut serta pembunuhan berencana
sesuai putusan Mahkamah Agung No. 1429K/PID/2010. Adapun unsur turut
serta pembunuhan berencana pasal 55 ayat 1 ke-1 Jo. Pasal 55 ayat 1 ke-2 Jo.
Pasal 340 KUHP sebagai berikut:
1. Barang siapa;
2. Melakukan atau turut melakukan;
3. Menganjurkan;
4. Dengan sengaja;
5. Dengan direncanakan lebih dahulu;
6. Menghilangkan nyawa orang lain
Bahwa pembunuhan ini dilakukan karena faktor perlakuan Nasrudin
Zulkarnaen Iskandar yaitu korban yang selalu mengancam pelaku karena
hubungan perselingkuhan terhadap istri korban. Sehingga meminta bantuan
kepada Kombes Pol Wiliardi Wizard mengamankan korban.
Sehingga adapun peran dalam pembunuhan berencana tersebut Antasari
Azhar berperan sebagai otak kejahatan yang memberi janji kepada Kombes
Pol Wiliardi Wizard yang berperan sebagai pihak yang mencari orang yang
melakukan perbuatan tersebut atau eksekutor yaitu Heri Santosa bin Rajas
alias Bagol dan Daniel Daen Sabon alias Danil, Fransiskus Tadon kerans
alias Amsi, dan Sigit Haryo Wibisono berperan sebagai pihak yang
memberikan dana operasional untuk membunuh korban.
15 Kajian Yuridis Tindak Pidana Pembunuhan, Recidive Vol 3 No 2 Mei-Agustus 2014
53
Setelah menjalani proses persidangan, majelis hakim Pengadilan Negeri
(PN) Jakarta Selatan, pada tanggal 11 Februari 2010 ketua majelis hakim
Prasetyo Ibnu Asmara, S.H., M.H. menjatuhkan vonis pidana penjara 18
tahun kepada Antasari Azhar. Keputusan ini dikuatkan oleh Pengadilan
Tinggi (PT) Jakarta Nomor 71/PID/2010/PT.DKI/ tanggal 17 Juni 2010 dan
Mahkamah Agung (MA) Nomor 1429/k/Pid/2010 pada tanggal 21
September 2010 yang mana permohonan kasasi tersebut ditolak. Dalam
ketentuan pokok kekuasaan kehakiman dalam pasal 1 UU Nomor 14 Tahun
1970 bahwa “Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang
merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakan hukum dan
keadilan berdasarkan Pancasila, demi terselenggaranya negara hukum
Republik Indonesia.” Artinya seorang hakim dalam memutuskan perkara
harus dalam keadaan merdeka tanpa intervensi dari pihak manapun demi
terwujudnya keadilan bagi semua pihak.
Putusan hakim merupakan produk hukum hasil dari proses persidangan
dalam pengadilan. Untuk mencapai putusan yang adil, hakim dalam
memutuskan perkara harus berdasarkan tiga unsur yaitu keadilan, kepastian
hukum, dan kemanfaatan.16
Dalam putusan hakim sering terjadi
pertentangan antara tujuan 3 unsur tersebut, terkadang putusan sudah
memenuhi unsur kepastian hukum dinilai belum memenuhi unsur keadilan
atau unsur kemanfaatan dan sebaliknya.
C. Keabsahaan Grasi Antasari Azhar Keputusan Presiden Nomor 1/G
Tahun 2017
Pada hakikatnya grasi merupakan pemberian pengampunan oleh kepala
negara kepada pelaku tindak pidana dengan batasan sebagaimana yang
dijelaskan di dalam undang-undang grasi pasal 2 ayat (2) yakni, putusan
pemidanaan mati, penjara seumur hidup, dan penjara paling rendah 2 (dua)
16
Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum dalam Putusan Hakim,
(Jakarta:Sinar Grafika, 2012), h. 37
54
tahun.17
Kepala Negara atau Presiden dianggap berwewenang dalam hal
memberikan grasi, abolisi dan amnesti untuk kepentingan memulihkan
keadilan terhadap dampak penderitaan yang ditimbulkan oleh putusan
pengadilan terhadap perilaku tindak pidana yang telah terbukti secara hukum
dalam proses peradilan sebelumnya. Namun, dalam sistem presidensil tidak
membedakan antara kedua jenis jabatan tersebut, kewenangan tersebut
dianggap ada pada Presiden yang merupakan Kepala Negara dan sekaligus
Kepala Pemerintahan. Hanya saja untuk membatasi penggunaan kewenangan
ini, sebelum Presiden nenentukan akan memberikan grasi, amnesti dan abolisi
itu, Presiden terlebih dahulu diharuskan mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Agung dan Dewan Pertimbangan Rakyat
Kewenangan Presiden dalam memberikan grasi merupakan hak kepala
negara dan hak prerogatif Presiden untuk memberikan pengampunan kepada
terpidana yang dijatuhi hukuman dengan pertimbangan Mahkamah Agung.
Pemberian grasi merupakan campur tangan Presiden dalam bidang yudisial,
melainkan hak kepala Negara dalam memberikan pengampunan yaitu grasi,
yang dapat mengubah, meringankan, mengurangi, atau menghapuskan pidana
yang dijatuhkan, tetapi tidak menghilangkan kesalahan terpidana.18
Pemberian
grasi bukan merupakan persoalan teknis yuridis peradilan dan tidak terkait
dengan penilaian terhadap putusan hakim. Pemberian grasi melainkan sebagai
hak prerogative Presiden untuk memberikan ampunan yang direalisasikan
dalam bentuk Keputusan Presiden.19
Pengaturan terkait pemberian grasi oleh Presiden terdapat pada pasal 14
ayat 1 UUD 1945, dan UU Nomor 22 Tahun 2002 jo UU Nomor 5 Tahun
2010 tentang perubahan atas UU Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi, bahwa
17 Undang-undang No. 5 Tahun 2010 junto Undang-undang No. 22 Tahun 2002 tentang
grasi 18
Niklas Bantika / D101 09 124, Pemberian Grasi Oleh Presiden Republic Indonesia
Berdasarkan UUD 1945 h. 2
19
Pemberian Grasi Oleh Presiden bagi Terpidana Antasari Azhar, Mimbar Yustitia Vol.
1 No. 1 Juni 2017.
55
mengatur mengenai prinsip umum grasi serta tata cara pengajuan dan
penyelesaian permohonan grasi. Salah satunya mengatur pembatasan
permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Grasi diberikan dengan
syarat formil sebagaimana diatur dalam pasal 2 UU No.5 Tahun 2010 tentang
Grasi bahwa ditujukan kepada terpidana yang memperoleh kekuatan hukum
tetap terhadap yang kenakan sanksi pidana mati, pidana penjara seumur hidup,
atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun. Selain itu permohonan grasi
diajukan oleh kuasa hukum, terpidana, atau keluarga terpidana kepada
Presiden. Permohonan grasi dapat diajukan Cuma 1 (satu) kali saja sesuai
pasal 2 ayat 3.
Sebelum berkas permohonan grasi sampai kepada Presiden, dalam jangka
waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari permohonan grasi setelah diterima
pengadilan yang memutuskan perkara pada tingkat pertama.19
Kemudian
dikirimkan kepada Mahkamah Agung agar dilakukan pertimbangan hakim
Mahkamah Agung. Setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung,
Presiden dapat memberikan keputusan bahwa permohonan grasi dapat
menolak atau memberikan grasi tersebut. Jangka waktu pemberian atau
penolakan ditentukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya
pertimbangan Mahkamah Agung.20
Ketentuan Pasal 4 UU No. 2 Tahun 2002 menyebutkan bahwa ‚Presiden
berhak mengabulkan atau menolak permohonan grasi yang diajukan terpidana
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 setelah mendapat pertimbangan dari
Mahkamah Agung. Hak Presiden untuk mengabulkan atau menolak
permohonan grasi disebut dengan hak prerogatif Presiden, yang mana hak
Prerogatif tersebut merupakan hak khusus yang diberikan oleh konstitusi
kepada Presiden. Kemudian Presiden berhak untuk mengabulkan atau
19 Pasal 9 UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi 20 Pasal 11 UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi
56
menolak permohonan grasi yang di sebut hak prerogratif Presiden yang
diberikan oleh konstitusi kepada Presiden.21
Grasi dalam Islam disebut al-Syafa’at yaitu pengampunan. Defenisi
syafa’at diartikan sebagai permohonan dari seseorang terhadap orang lain agar
keinginannya dikabulkan. Dalam Al-Quran Surat An-Nisa ayat 85 bicara
tentang syafa’at yaitu:
عة سي ئة يكن لهۥ كف نها ومن يشفع شف عة حسنة يكن لهۥ نصيب م ن يشفع شف نها وكان م ل م
قيتا على كل شيء م ( ٨٥ :. ) النساءٱلل
Artinya: Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan
memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. Dan barangsiapa memberi syafa'at
yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (Q.S An-Nisa :85)
Syafa’at dalam surah al-Nisa’ ayat 85 ini supaya orang yang telah
melakukan tindak pidana dapat kembali memperoleh hak-haknya sebagai
warga negara, karena syafa’at diberikan supaya kembali untuk berbuat
kebaikan. Pengampunan dalam Islam terhadap pelaku tindak pidana
tergantung kepada kemaslahatan umat dan sanksi hukuman yang diterima
berupa Hudud, Qishas, Diyat, dan Takzir. Salah satunya jarimah takzir yaitu
hukuman yang disyariatkan atas tindakan kejahatan yang tidak ada ketentuan
hudud atau kifaratnya.22
Takzir berarti memberi pengajaran atau jera dan
hukuman diberikan oleh pemimpin sebagai pelajaran bagi pelaku.
Dalam jarimah takzir, pemimimpin mempunyai hak untuk mengampuni
tindakan kejahatan dan memberikan hukuman. Pengampunan dalam jarimah
takzir Abdul Qadir Audah menerangkan, telah disepakati oleh fuqaha bahwa
penguasa memiliki hak pengampunan yang telah disepakati oleh fuqaha
bahwa penguasa memiliki hak pengampunan yang sempurna pada semua
21
Niklas Bantika / D101 09 124, Pemberian Grasi Oleh Presiden Republic Indonesia
Berdasarkan UUD 1945 h. 9 22
Mawardi Noor, Garis-Garis Besar Syariat Islam, (Jakarta: Khairul Bayan Sumber
Pemikiran Islam, 2002), h. 30.
57
tindak jarimah takzir. Karena itu, penguasa boleh mengampuni suatu tindak
pidana takzir dan hukumannya, baik sebagian maupun keseluruhannya.
Karena tindak pidana langsung berhubungan dengan masyarakat,
pengampunan yang diberikan sangat membantu pelaku untuk meringankan
hukuman. Seorang hakim mempunyai kekuasaan pada tindak pidana takzir
dalam mempertimbangkan keadaan yang meringankan serta peringanan
hukuman.23
Sebagaimana yang telah dikemukakan oleh penulis di atas.
Pertimbangan pemberian grasi bagi pelaku tindak pidana pembunuhan
berencana menurut UndangUndang Nomor 5 Tahun 2010 tentang grasi,
mempertimbangkan beberapa hal sebagai berikut:
1. Faktor Keadilan.
2. Faktor Kemanusiaan
Jika di tinjau dalam hukum Islam pertimbangan Presiden dalam grasi bagi
pelaku tindak pidana pembunuhan berencana merupakan hal yang dibenarkan
prinsip keadilan merupakan hal yang harus ditegakkan, dan tentunya lebih
ditekankan kepada para pemimpin dan penguasa yang senantiasa melayani
kepentingan masyarakat. Dalam hal ini, ajaran Islam memerintahkan kepada
pemeluknya agar menegakkan dan menjalankan keadilan.24
Pada penjelasan bab sebelumnya, grasi merupakan pengampunan berupa
perubahan, peringanan, pengurangan, atau penghapusan pelakasanaan pidana
kepada terpidana yang diberikan oleh Presiden. Menurut Jimly Asshiddiqe,
grasi merupakan kewenangan presiden yang bersifat judisial dalam rangka
pemulihan keadilan yang terkait dengan putusan pengadilan yaitu untuk
mengurangi hukuman, memberikan pengampunan ataupun menghapuskan
hukuman yang terkait dengan kewenangan peradilan.25
Menurut Rudy T
Erwin, JCT Simorangkir, dan JT Prasetyo, dalam kamus hukum bahwa grasi
23
Muhammad Ahsin Sakho, Ensiklopedia Hukum Pidana Islam, h. 101
24 Husin Wattimena, Pemberian Dan Pencabutan Grasi Perspektif Hukum Islam. Hlm. 60 25 Jimly Ashiddieqe, Konstitusi dan Konstitusionalisme (Jakarta: Sekjen dan Kepaniteraan
Mahkamah Konstitusi R.I., 2006), h. 175-176
58
adalah wewenang dari kepala negara untuk memberikan pengampunan
terhadap hukuman yang telah dijatuhkan oleh hakim untuk menghapuskan
seluruhnya, sebagian atau merubah bentuk dan sifat hukuman itu.26
Grasi diberikan dengan syarat formil sebagaimana diatur dalam pasal 2
UU No.5 Tahun 2010 tentang Grasi bahwa ditujukan keapda terpidana yang
memperoleh kekuatan hukum tetap terhadap yang kenakan sanksi pidana mati,
pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun.
Selain itu permohonan grasi diajukan oleh kuasa hukum, terpidana, atau
keluarga terpidana kepada Presiden. Permohonan grasi dapat diajukan Cuma 1
(satu) kali saja sesuai pasal 2 ayat 3.
Sebelum berkas permohonan grasi sampai kepada Presiden, dalam jangka
waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari permohonan grasi setelah diterima
pengadilan yang memutuskan perkara pada tingkat pertama.27
Kemudian
dikirimkan kepada Mahkamah Agung agar dilakukan pertimbangan hakim
Mahkamah Agung. Setelah mendapat pertimbangan Mahkamah Agung,
Presiden dapat memberikan keputusan bahwa permohonan grasi dapat
menolak atau memberikan grasi tersebut. Jangka waktu pemberian atau
penolakan ditentukan paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak diterimanya
pertimbangan Mahkamah Agung.28
Setelah permohonan kasasi ditolak sesuai putusan Mahkamah agung
Nomor 1429/k/Pid/2010. Antasari Azhar mengajukan peninjauan kembali
(PK) dan permohonan peninjauan kembali tersebut ditolak sesuai dengan
Putusan No. 117 PK/PID/2011 pada rapat permusyawaratan Mahkamah
Agung hari Senin, 13 Februari 2012 diketuai oleh hakim DR. harifin A.
Tumpa, SH.MH.
Kemudian Antasari Azhar mengajukan permohonan grasi pada tanggal 1
Mei 2015 kepada Presiden dan langsung ditolak permohonan grasi tersebut
26
JCT Simorangkir, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, Kamus Hukum, (Jakarta: Bumi
Aksara. 1995), h. 58
27 Pasal 9 UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi 28
Pasal 11 UU No. 22 Tahun 2002 Tentang Grasi
59
melalui Keputusan Presiden Nomor 27/G Tahun 2015 tanggal 27 Juli 2015.
Penolakan grasi tersebut karena pemohon grasi tidak memenuhi syarat formil
yang diatur dalam pasal 7 ayat 2 UU Nomor 5 tahun 2010 tentang grasi yang
berbunyi : Permohonan grasi sebagaimana dimaksud pada ayat 1 diajukan
paling lama dalam jangka waktu 1 (satu) tahun sejak putusan memperoleh
kekuatan hukum tetap. Sedangkan permohonan grasi tersebut diajukan setelah
empat tahun sejak putusasn berkekuatan hukum tetap.
Kemudian keluar putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 107/PUU-
XIII/2015 pada 15 Juni 2015 yang menyatakan tidak berlaku dan tidak
mempunyai kekuatan hukum mengikat pada pasal 7 ayat 2 UU Nomor 5
Tahun 2010 tentang grasi, sehingga pemohon dapat mengajukan permohonan
grasi dengan berbagai pertimbangan. Kemudian Antasari Azhar mengajukan
grasi kembali 8 Agustus 2016 dan permohonan grasi tersebut disetujui oleh
Presiden Jokowi Keputusan Presiden Nomor 1/G/2017 dengan pertimbangan
Mahkamah Agung yang menyetujui grasi tersebut.
Mahkamah Agung berpendapat bahwa terdapat cukup alasan untuk
mengabulkan permohonan terpidana dengan pertimbangan diantaranya bahwa
pemohon pernah mengajukan permohonan grasi kepada Presiden dan ditolak.
Menurut Wakil Presiden Jusuf Kalla, alasan pemberian grasi itu semata karena
pertimbangan kemanusiaan.30
Hasil keputusan Presiden bahwa hasil
pengurangan jumlah pidana selama 6 tahun sehingga hukuman pidana penjara
yang diajtuhkan kepada terpidana dari pidana penjara 18 tahun menjadi pidana
penjara selama 12 tahun.
Berdasarkan pasal 2 ayat 3 UU Nomor 5 Tahun 2010 perubahan atas UU
nomor 22 tahun 2002 tentang grasi yaitu permohonan grasi sebagaimana
dimaksud pada ayat 1 hanya dapat diajukan 1 (satu) kali sesuai dengan asas
(lex scripta, lex certa, lex stricta) grasi hanya dapat diajukan 1 kali saja.31
30
https://pinterpolitik.com/menakar-grasi-antasari diakses pukul 12.30 wib tanggal 20
November 2020.
31 Pemberian Grasi Oleh Presiden bagi Terpidana Antasari Azhar, Mimbar Yustitia Vol.
1 No. 1 Juni 2017 h.3.
60
Sedangkan Antasari Azhar sudah dua kali mengajukan permohonan grasi,
yang pertama ditolak dan yang kedua dikabulkan. Asas Lex Superior Derogat
Legi Inferiori bermakna Undang-Undang yang lebih tinggi meniadakan
keberlakuan Undang-Undang yang lebih rendah. Keputusan tersebut sangat
bertentangan dengan aturan positif pasal 2 ayat 3 UU Nomor 5 tahun 2010
perubahan UU Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi. Sehingga terdapat cacat
yuridis dan tidak memenuhi asas kepastian hukum dalam Keputusan Presiden
Nomor 1/G/2017.
Analisis Penulis
Bahwa analisis penulis grasi yang diberikan oleh Presiden Jokowi kepada
Antasari Azhar berdasarkan keputusan Presiden Nomor 1/G//2017 sangat
bertentangan dengan pasal 2 ayat 3 UU Nomor 5 tahun 2010 perubahan UU
Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi. Sehingga secara hukum cacat yuridis
dan tidak memenuhi asas kepastian hukum dalam Keputusan Presiden Nomor
1/G/2017. Karena grasi merupakan hak prerogatif Presiden sebagaimana
diatur dalam pasal 14 UUD 1945, yang berbunyi, Presiden memberi grasi,
rehabilitasi, amnesti, dan abolisi. Grasi bersifat pengampunan berupa
pengurangan pidana atau pengahapusan pelaksanaan pidana yang telah
diputuskan dan berkekuatan hukum tetap. Namun, meskipun grasi merupakan
hak prerogatif Presiden, ada mahkamah agung yang juga perlu memberikan
nasihat hukum kepada Presiden selaku kepala negara dalam rangka pemberian
atau penolakan grasi. Dalam jarimah takzir, pemimimpin mempunyai hak
untuk mengampuni tindakan kejahatan dan memberikan hukuman.
Dalam hukum Islam Pengampunan dalam jarimah takzir Abdul Qadir
Audah menerangkan, telah disepakati oleh fuqaha bahwa penguasa memiliki
hak pengampunan yang telah disepakati oleh fuqaha bahwa penguasa
memiliki hak pengampunan yang sempurna pada semua tindak jarimah takzir.
Karena itu, penguasa boleh mengampuni suatu tindak pidana takzir dan
hukumannya, baik sebagian maupun keseluruhannya. supaya orang yang telah
melakukan tindak pidana dapat kembali memperoleh hak-haknya sebagai
61
warga negara, karena syafa’at diberikan supaya kembali untuk berbuat
kebaikan. Pengampunan dalam Islam terhadap pelaku tindak pidana
tergantung kepada kemaslahatan umat dan sanksi hukuman yang diterima
berupa Hudud, Qishas, Diyat, dan Takzir. Salah satunya jarimah takzir yaitu
hukuman yang disyariatkan atas tindakan kejahatan yang tidak ada ketentuan
hudud atau kifaratnya. Takzir berarti memberi pengajaran atau jera dan
hukuman diberikan oleh pemimpin sebagai pelajaran bagi pelaku.
Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 sebagaimana yang telah
berubah menjadi Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang grasi, bahwa
grasi adalah pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
pengahapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan oleh
Presiden. Kemudian jenis yang berikan grasi kepada terpidana mati, tepidana
penjara seumur hidup, dan pidana penjara minimal 2 tahun. Sebagaimana yang
dikatakan Jimly Asshiddiqe, bahwa grasi merupakan kewenangan Presiden
yang bersifat judisial dalam rangka pemulihan keadilan yang terkait dengan
putusan pengadilan yaitu mengurangi hukuman, memberikan pengampunan,
ataupun mengahapuskan tuntutan yang terkait erat dengan kewenangan
peradilan.
Adapun keputusan Presiden Nomor 1/G//2017 yang mempunyai hak
prerogatif ketika mengabulkan permohonan grasi terhadap Antasari Azhar.
Keputusan tersebut sangat bertentangan dengan aturan positif pasal 2 ayat 3
UU Nomor 5 tahun 2010 perubahan UU Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi
yang secara formil tidak sah karena melebihi permohonan grasi, yang
permohonan grasi hanya dapat diajukan 1 (satu) kali. Sehingga terdapat cacat
yuridis dan tidak memenuhi asas kepastian hukum dalam Keputusan Presiden
Nomor 1/G/2017.
Asas Lex Superior Derogat Legi Inferiori bermakna Undang-Undang
yang lebih tinggi meniadakan keberlakuan Undang-Undang yang lebih
rendah. Keputusan Presiden No 1/G tahun 2017 sangat bertentangan dengan
aturan positif pasal 2 ayat 3 UU Nomor 5 tahun 2010 perubahan UU Nomor
62
22 tahun 2002 Tentang Grasi. Sehingga terdapat cacat yuridis dan tidak
memenuhi asas kepastian hukum dalam Keputusan Presiden Nomor 1/G/2017.
63
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian dalam skripsi ini, maka penulis dapat
menyimpulkan, bahwa:
1. Dalam hukum Islam grasi disebut al-syafa’at yang memberi pengampunan
berdasarkan Al-Quran Surat An-Nisa ayat 85. Pengampunan dalam Islam
terhadap pelaku tindak pidana tergantung kepada kemaslahatan umat dan
sanksi hukuman yang diterima berupa Hudud, Qishas, Diyat, dan Takzir.
Salah satunya jarimah takzir yaitu hukuman yang disyariatkan atas
tindakan kejahatan yang tidak ada ketentuan hudud atau kifaratnya. Takzir
berarti memberi pengajaran atau jera dan hukuman diberikan oleh
pemimpin sebagai pelajaran bagi pelaku. Dalam jarimah takzir, pemimpin
mempunyai hak untuk mengampuni tindakan kejahatan dan memberikan
hukuman. Grasi dalam hukum positif sudah diatur dalamUU nomor 22
Tahun 2002 yang diperbaharui UU nomor 5 Tahun 2010 yaitu
pengampunan berupa perubahan, peringanan, pengurangan, atau
penghapusan pelaksanaan pidana kepada terpidana yang diberikan
Presiden.
2. Keabsahan grasi yang diberikan oleh Presiden Jokowi kepada Antasari
Azhar berdasarkan keputusan Presiden Nomor 1/G//2017 sangat
bertentangan dengan pasal 2 ayat 3 UU Nomor 5 tahun 2010 perubahan
UU Nomor 22 tahun 2002 Tentang Grasi. Sehingga secara hukum cacat
yuridis dan tidak memenuhi asas kepastian hukum dalam Keputusan
Presiden Nomor 1/G/2017. Dalam hukum Islam boleh dalam memberikan
grasi karena penguasa memiliki hak pengampunan yang telah disepakati
oleh fuqaha bahwa penguasa memiliki hak pengampunan yang sempurna
pada semua tindak jarimah takzir. Karena itu, penguasa boleh
mengampuni suatu tindak pidana takzir dan hukumannya, baik sebagian
maupun keseluruhannya.
64
B. Saran
Sebagai tindak lanjut penulisan skripsi ini maka perlu kiranya disarankan
beberapa hal sebagai berikut:
1. Kepada Presiden RI disarankan dalam pemberian grasi sebaiknya lebih
mempertimbangkan aspek kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan
sehingga dapat dipertanggungjawabkan kepada masyarakat.
2. Kepada Penegak hukum khususnya Hakim pengadilan negeri dalam
menegakan hukum harus menjunjung tinggi nilai keadilan demi
terwujudnya ketertiban, kedamaian, dan keadilan bagi seluruh rakyat
indonesia.
65
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an Al-Karim
A Djazuli, Kaidah-Kaidah Fikih; Kaidah-Kaidah Hukum Islam dama
Menyelesaikan Masalah Praktis, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
2006.
Ahmadi, Fahmi Muhammad, dan Jaenal Aripin, Metode Penelitian Hukum,
(Lembaga Penelitian UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, 2010.
Ali bin Umar al-Daruqutni, Sunan al-Daruqutni ‚fi Kitab al-Hudud wa al-Diyat
wa Ghayrihi, Beirut: Dar Ibn Hazm, 2011.
Ashiddieqe, Jimly, Konstitusi dan Konstitusionalisme (Jakarta: Sekjen dan
Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi R.I., 2006.
Audah, Abdul Qadir al-Tasyri al- Jina al- Islamy Muqaranan bil Qanun al-
Wad’iy, Penerjemah Tim Tsalisah, Ensiklopedi Hukum Pidana Islam III,
(Bogor; P.T. Kharisma Ilmu, t.th.
Bassar, M. Sudrajat, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Dalam KUHP Bandung:
Remaja Karya. 1986.
Chalil, Munawar, Kelengkapan tarikh Nabi Muhammad SAW, Jakarta : Bulan
Bintang, 1997.
Chazawi, Adami. Pelajaran Hukum Pidana bag III. Jakarta: PT. Raja Grafindo
Persada. 2002.
Departemen Agama Republik Indonesia, Terjemah dan Tafsir Al-Qur’an, Jakarta:
Syaamil Cipta Media. 1984.
Departemen Hukum dan Perundang-undangan Republik Indonesia Harahap,
Krisna, Konstitusi Republik Indonesia Sejak Proklamasi Hingga Reformasi.
Bandung: PT. Grafitri Budi Utami, 2004.
E. Utrecht, Rangkaian Sari Hukum Kuliah Hukum Pidana II, Surabaya: Pustaka
Tinta Mas.1987.
Hadikusuma, Hilman, Bahasa Hukum Indonesia Bandung: Alumni, 1992.
Hamka, Tafsir al-Azhar Juz V, Jakarta: PT, Pustaka Panjimas, Cet. IV, 2004.
Hamzah, Andi, KUHP dan KUHAP, Jakarta: Rineka Cipta. 2004.
66
Indra, Muhammad Ridhwan dan Satya Arinanto, Kekuasaan Presiden dalam
UUD 1945 Jakarta: CV Trisula, 1998.
Irfan, M. Nurul, Hukum Pidana Islam, Jakarta:Amzah, 2016.
Ishaq dan Efendi , Pengantar Hukum Indonesia Cet. IV; Depok : Rajawali Pers.
2017.
Kobar, Hari, Hukum dan Ketahanan Nasional, Jakarta: Sinar harapan. 1992
Margono, Asas Keadilan, Kemanfaatan, dan Kepastian Hukum dalam Putusan
Hakim, Jakarta:Sinar Grafika, 2012.
Marpaung, Leden, Asas, Teori, Praktek Hukum Pidana, Jakarta: Sinar Grafika.
2006.
Masriyani, Volume VI Nomor 1, Kewenangan Presiden Dalam Bidang
Kehakiman Setelah Amandemen UUD 1945. Legalitas, Juni 2014.
MD, Moh. Mahfud, Membangun Politik Hukum, Menegakkan Konstitusi. Jakarta:
Pustaka LP3ES, 2006.
Mimbar Yustitia Vol. 1 No. 1, Pemberian Grasi Oleh Presiden bagi Terpidana
Antasari Azhar) Juni 2017.
Munawwir, Ahmad Warson, Kamus Al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap
Surabaya:Pustaka Progressif. 1997.
Noor Mawardi, Garis-Garis Besar Syariat Islam, Jakarta: Khairul Bayan Sumber
Pemikiran Islam. 2002.
Razy, al Abu al-Husain Ahmad bin Faris bin Zakariyya, Mujmal al-Lughat,
Beirut: Dar al- Fikr, 1414 H/ 1994 M.
Recidive Vol 3 No. Mei-Agustus 2014 Kajian Yuridis Tindak Pidana
Pembunuhan.
Salim, Peter dan Yenni Salim, Kamus Besar Indonesia Kontemporer Edisi 1
(Jakarta: Modern English Press.1991.
Shihab, Quraish, Tafsir al-Misbah: Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, Vol.
2, Jakarta: Lentera Hati, Cet. I, 2002.
Simorangki, JCT, Rudy T Erwin dan JT Prasetyo, Kamus Hukum, Jakarta: Bumi
Aksara. 1995.
67
Sudarsono, Kamus Hukum (Jakarta: Rineka Cipta), 2006.
Sunggono, Bambang, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: PT Grafindo Prasada,
1997.
Syarif, Ibnu Mujar, Fikih Siyasah Doktrin Dan Pemikiran Politik Hukum Islam,
Jakarta:Erlangga. 2009.
Wirjono Prodjodikiro, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia Bandung: PT
Eresco, 1981.
--------- Hukum Acara Pidana di Indonesia. Bandung: Sumur Bandung, 1983.
Zahrah, Muhammad Abu, al-Jarimah wa al-Uqubah fi al-Fiqh al-Islam, Beirut:
Daar al-Fikr al- Arabi, 1998.
Undang-Undang
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana.
Undang-Undang Dasar 1945.
UU Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi.
UU Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Grasi.
Web
https://pinterpolitik.com/menakar-grasi-antasari, diakses pada 20 November 2020
https://tirto.id/istana-beberkan-dokumen-grasi-antasari-azhar-dari-ma-cjax,
diakses pada tanggal 20 November 2020