tinjauan umum tentang konstitusi dan kedaulatan di

27
1 Tinjauan Umum Tentang Konstitusi dan Kedaulatan di Indonesia Oleh: Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H. A. Pengertian Konstitusi Prof. Padmo Wahyono, SH. menyatakan bahwa konstitusi adalah seperangkat peraturan yang mengatur mengenai tata cara bernegara suatu bangsa. Dengan kata lain konstitusi itu memuat atau menggambarkan bagaimana keadaan organisasi suatu negara. 11 Pendapat lain menyatakan bahwa istilah konstitusi pada umumnya digunakan untuk menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan yaitu berupa kumpulan peraturan yang membentuk, mengatur atau memerintah negara, baik yang tertulis maupun tidak tertulis. 2 Dalam praktek kenegaraan istilah konstitusi (verfassung) sering diartikan sama dengan Undang-Undang Dasar (Grundgesetz). Hal ini terjadi karena pengaruh faham kodifikasi yang menghendaki semua peraturan hukum harus tertulis untuk mencapai kesederhanaan, kesatuan dan kepastian hukum. Pada dasarnya konstitusi mempunyai pengertian yang lebih luas dari Undang-Undang Dasar karena meliputi peraturan- peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Ketentuan-ketentuan dalam konstitusi bersifat mengikat dan mengatur mengenai cara-cara menyelenggarakan kegiatan kenegaraan dalam suatu masyarakat. Bahwa konstitusi mempunyai pengertian yang lebih luas dapat kita lihat dari pendapat Herman Heller yang dalam bukunya berjudul Verfassunglehre membagi konstitusi dalam tiga tingkat, yaitu: 1. Konstitusi sebagai pengertian sosial politik. Pada awalnya konstitusi baru mencerminkan keadaan sosial politik suatu bangsa dan belum merupakan pengertian hukum. Jadi masih merupakan pengertian sosiologis/politis yang merupakan keputusan dari masyarakat itu sendiri. Misalnya keputusan siapa yang menjadi kepala kelompok, dan siapa yang menjadi pembantu-pembantunya. 2. Konstitusi sebagai pengertian hukum (rechtsfervassung). Pada tingkat kedua, keputusan masyarakat yang semula merupakan suatu pengertian politik sebagai suatu kenyataan, kemudian menjadi suatu perumusan normatif yang harus berlaku dan mendapat sanksi apabila dilanggar, sehingga mengandung pengertian-pengertian hukum (Rechtsfervassung). Disini kita melihat suat abstraksi yaitu suatu cara dalam ilmu pengetahuan hukum untuk menarik unsur-unsur hukum dari kenyataan sosial yang kemudian dijadikan perumusan-perumusan hukum. 1 Prof.Padmo Wahyono, SH., Negara Republik Indonesia, cet.2, ( Jakarta : CV. Rajawali, 1986 ), hal. 67. 2 Drs.Rozikin Daman, Hukum Tata Negara, cet.1, ( Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1993 ), hal. 88.

Upload: others

Post on 15-Oct-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

1

Tinjauan Umum Tentang Konstitusi dan Kedaulatan di Indonesia

Oleh: Ari Wahyudi Hertanto, S.H., M.H.

A. Pengertian Konstitusi

Prof. Padmo Wahyono, SH. menyatakan bahwa konstitusi adalah seperangkatperaturan yang mengatur mengenai tata cara bernegara suatu bangsa. Dengan kata lainkonstitusi itu memuat atau menggambarkan bagaimana keadaan organisasi suatunegara.11 Pendapat lain menyatakan bahwa istilah konstitusi pada umumnya digunakanuntuk menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan yaitu berupa kumpulanperaturan yang membentuk, mengatur atau memerintah negara, baik yang tertulis maupuntidak tertulis.2

Dalam praktek kenegaraan istilah konstitusi (verfassung) sering diartikan samadengan Undang-Undang Dasar (Grundgesetz). Hal ini terjadi karena pengaruh fahamkodifikasi yang menghendaki semua peraturan hukum harus tertulis untuk mencapaikesederhanaan, kesatuan dan kepastian hukum. Pada dasarnya konstitusi mempunyaipengertian yang lebih luas dari Undang-Undang Dasar karena meliputi peraturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Ketentuan-ketentuan dalamkonstitusi bersifat mengikat dan mengatur mengenai cara-cara menyelenggarakankegiatan kenegaraan dalam suatu masyarakat. Bahwa konstitusi mempunyai pengertianyang lebih luas dapat kita lihat dari pendapat Herman Heller yang dalam bukunyaberjudul Verfassunglehre membagi konstitusi dalam tiga tingkat, yaitu:

1. Konstitusi sebagai pengertian sosial politik.

Pada awalnya konstitusi baru mencerminkan keadaan sosial politik suatu bangsadan belum merupakan pengertian hukum. Jadi masih merupakan pengertiansosiologis/politis yang merupakan keputusan dari masyarakat itu sendiri.Misalnya keputusan siapa yang menjadi kepala kelompok, dan siapa yangmenjadi pembantu-pembantunya.

2. Konstitusi sebagai pengertian hukum (rechtsfervassung).

Pada tingkat kedua, keputusan masyarakat yang semula merupakan suatupengertian politik sebagai suatu kenyataan, kemudian menjadi suatu perumusannormatif yang harus berlaku dan mendapat sanksi apabila dilanggar, sehinggamengandung pengertian-pengertian hukum (Rechtsfervassung). Disini kitamelihat suat abstraksi yaitu suatu cara dalam ilmu pengetahuan hukum untukmenarik unsur-unsur hukum dari kenyataan sosial yang kemudian dijadikanperumusan-perumusan hukum.

1 Prof.Padmo Wahyono, SH., Negara Republik Indonesia, cet.2, ( Jakarta : CV. Rajawali, 1986 ), hal.67.

2 Drs.Rozikin Daman, Hukum Tata Negara, cet.1, ( Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1993 ), hal. 88.

2

3. Konstitusi sebagai suatu peraturan hukum.

Dalam pengertian yang ketiga, konstitusi adalah suatu peraturan hukum yangtertulis. Dengan demikian Undang-Undang Dasar adalah bagian dari konstitusiyaitu peraturan hukum yang tertulis, dan bukan merupakan suatu penyamaandengan konstitusi seperti anggapan sebelumnya.3

Apabila teori Herman Heller menjadi ukuran untuk pengertian konstitusi, makaterlihat bahwa konstitusi mempunyai pengertian yang lebih luas dari Undang-UndangDasar, karena selain yang tertulis konstitusi juga mempunyai pengertian sosiologis,politis dan yuridis. Sedangkan Undang-Undang Dasar merupakan sebagian dari konstitusiyaitu konstitusi yang tertulis.

UUD 1945 juga merupakan konstitusi Negara Republik Indonesia. Sehubungandengan hal tersebut terdapat sesuatu hal yang dikemukakan oleh Carl Schmitt dalambukunya berjudul Verfassungslehre yang melakukan tinjauan politis terhadap konstitusi,yang pada intinya membagi isi konstitusi dalam empat segi/pengertian. Namun, dalambagian ini yang paling relevan untuk dikemukakan adalah berkenaan dengan aspekkeputusan politik tertinggi dari rakyat. Keputusan politik tertinggi dari rakyat ini tidakperlu dicari dasar/norma pembenarannya, disebut sebagai Normloze Macht yaitu suatukewenangan memutuskan tanpa didasarkan pada norma. Proklamasi kemerdekaan bangsaIndonesia tanggal 17 Agustus 1945 merupakan keputusan politik tertinggi rakyatIndonesia yang merubah nasib bangsa Indonesia dari bangsa terjajah menjadi bangsayang merdeka. Proklamasi dapat diartikan sebagai segi positif dari Konstitusi. Sedangkanpembentukan dan penetapan Undang-Undang Dasar 1945 setelah proklamasikemerdekaan hanya merupakan salah satu dari keputusan politik tinggi (bukan tertinggi)sehingga tidak termasuk dalam pengertian segi positif dari konstitusi.4

Subtansi yang juga merupakan kajian penelitian ini adalah tentang bentuk dankedaulatan, dimana mengenai gagasan tumbuhnya kedaulatan rakyat terjadi ketikaberkembang dialog di antara para tokoh pergerakan menjelang kemerdekaan, salah satupokok pikiran penting yang digagas pada waktu itu adalah soal kedaulatan rakyat.5 Pokokpikiran ini kemudian disepakati untuk dimuat dalam Undang-Undang Dasar denganpernyataan bahwa Negara Republik Indonesia adalah negara yang berkedaulatan rakyat.Bahkan gagasan ini diuraikan lebih lanjut dalam penjelasan Undang-Undang Dasarsebagai pokok pikiran ketiga dari Pembukaan UUD 1945.6 Meskipun redaksi pasal-pasal

3 Moh. Kusnardi,SH dan Bintan Saragih,SH., Ilmu Negara,cet.3, Jakarta : Gaya Media Pratama,1994 ), hal. 140 –141.4 Tim Pengajar Ilmu Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Teaching Material Ilmu Negara –2001, hal-112.

5 Perumusan kedaulatan rakyat ini dalam dokumen-dokumen yang bersifat resmi, pertama kali terdapatdalam Piagam Jakarta, 22 Juni 1945 yang menyatakan: “…Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatususunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat”, yang kemudian menjadi rumusanPembukaan UUD 1945 yang mempengaruhi perumusan batang tubuhnya.

6 “Pokok pikiran ketiga yang terkandung dalam “Pembukaan” ialah negara jang berkedaulatan rakjat,berdasar atas kerakjatan dan permusjawaratan perwakilan. Oleh karena itu, sistem Negara jang terbentukdalam Undang-Undang Dasar harus berdasar atas kedaulatan rakjat dan berdasar atas permusjawaratanperwakilan. Memang aliran ini sesuai dengan sifat masjarakat Indonesia.” Lihat Penjelasan UUD 1945.

3

Undang-Undang Dasar ini dirumuskan dalam waktu yang singkat,7 tetapi gagasankedaulatan rakyat itu sebagai cita kenegaraan mempunyai latar belakang sejarah yangpanjang. Diskusi dan perdebatan mengenai ini sudah berkembang dikalangan tokoh-tokoh pergerakan, jauh sebelum rancangan UUD 1945 itu sendiri disiapkan.8

Secara teoritis kita mengenal ada dua sifat konstitusi, yaitu konstitusi yangfleksibel (luwes) dan konstitusi yang rigid (kaku). Mengenai ukuran apakah suatukonstitusi bersifat luwes atau kaku adalah masalah apakah konstitusi tersebut mudah atautidak diubah dan apakah mudah atau tidak mengikuti perkembangan zaman.

1. Cara merubah konstitusi. Pada hakekatnya konstitusi merupakan hukum dasaryang tingkatannya merupakan hukum tertinggi bagi peraturan-peraturan hukumlainnya. Oleh karena itu untuk merubahnya memerlukan suatu prosedur yangharus diatur dengan teliti dan bahwa rakyat memang menganggap betul-betulperlu untuk mengadakan perubahan. Menurut Strong apabila suatu Undang-Undang Dasar memuat suatu prosedur perubahan yang sama dengan undang-undang biasa disebut bersifat fleksibel/luwes. Sedangkan Undang-Undang Dasaryang mengatur cara perubahan yang khusus berbeda dengan cara perubahanundang-undang, disebut bersifat rigid/kaku.9

2. Mudah atau tidak mengikuti perkembangan zaman. Apabila suatu Undang-Undang Dasar memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok-pokok saja,maka Undang-Undang Dasar tersebut akan mudah mengikuti perkembanganzaman. Hal ini karena untuk pengaturan lebih lanjut dari ketentuan-ketentuanpokok tersebut dapat diserahkan pada ketentuan yang lebih rendah yang lebihmudah proses pembuatan dan perubahannya. Dalam hal ini Undang-UndangDasar tersebut bersifat fleksibel. Selanjutnya, suatu Undang-Undang Dasaradakalanya selain memuat hal-hal yang pokok juga mengatur hal-hal yangdianggap penting. Ukuran penting itu sendiri sifatnya amat relatif dan temporerkarena sering berubah-ubah. Apa yang sekarang dianggap penting mungkin dalamwaktu singkat menjadi tidak penting, sehingga Undang-Undang Dasar terpaksaharus sering mengalami perubahan. Akibatnya kewibawaan dari Undang-UndangDasar menjadi merosot. Selain itu setiap perubahan yang dikehendaki oleh rakyattidak dapat segera terlaksana, karena harus diikuti dengan perubahan Undang-Undang Dasar yang memerlukan prosedur yang khusus. Dengan demikianUndang-Undang Dasar menjadi sulit mengikuti perkembangan masyarakat danbersifat rigid/kaku.

7 Soekarno sendiri menyebut UUD 1945 sebagai revolutie grondwet atau Undang-Undang Dasar kilat.Lihat Pidato Soekarno dalam Yamin, Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid I, JajasanPrapantja, Jakarta, 1959, hal-410.

8 Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya diIndonesia, cet.1, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal. 27.

9 Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet.14, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,1992), hal. 114.

4

Dengan memperhatikan perubahan dalam sejarah ketatanegaraan dan latarbelakang dari semangat kedaulatan rakyat tersebut di atas, maka penulis dalam akanmengulas tentang perubahan yang terjadi terbatas hanya pada pasal 1 UUD 1945 seiringdengan terjadinya perubahan I, II, III dan IV. Alasan yang melatarbelakanginya adalahfaktor keterbatasan penggalian dan penelusuran nilai-nilai maupun fakta sejarah, apabilapenulisan dilakukan dengan metode historis komparatif atas seluruh perubahan I, II, IIIdan IV UUD 1945.

Sejak Proklamasi Negara Kesatuan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945,bahkan sebelumnya, yaitu pada saat penyusunan Rancangan Undang-Undang Dasar1945, usaha-usaha mengajukan wawasan Negara yang berdasar atas hukum telah dirintis.Usaha ke arah tersebut terlihat dalam berbagai sidiag baik oleh Badan Penyelidik UsahaPersiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI), maupun Panitia Persiapan KemerdekaanIndonesia (PPKI).10

Gagasan tentang wawasan Negara yang berdasar atas hukum tersebut akhirnyaditerima dan dirumuskan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945 dengan rumusanberikut: “…maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatuUndang-Undang Dasar Negara Indonesia…”11

Dengan rumusan tersebut, secara tegas ditetapkan bahwa kedaulatan yangmerupakan kekuasaan tertinggi dan bersifat omnipotent di Negara Republik Indonesiadituangkan dalam suatu Undang-Undang Dasar, atau pengertian awal naskah tersebutdengan “Hukum Dasar”.12

Berdasarkan rumusan itu penyelenggara negara diharapkan selalu berusaha untukmenciptakan kemakmuran serta kesejahteraan bagi rakyatnya, sesuai dengan prinsip-prinsip utama dari suatu negara yang berdasar atashukum (rechtsstaat).13

Penerimaan terhadap wawasan negara berdasar atas hukum secara tegasdinyatakan juga dalam Pembukaan UUD 1945, khususnya bagian yang menyatakanbahwa,”Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukum (Rechtsstaat), dan tidakberdasarkan kekuasaan belaka (Machtsstaat).”

Sebagai negara yang berdasar atas hukum, sebagaimana yang telah dirumuskandalam perubahan terhadap Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 1 ayat (3), NegaraRepublik Indonesia telah menempatkan diri dalam jajaran rechtsstaat yangmaterial/sosial atau negara yang berdasar atas hukum dalam arti sebagai negarakesejahteraan atau verzorggingsstaat. Hal ini terlihat dalam alinea ke empat PembukaanUUD 1945 yang merumuskan sebagai berikut:

10 Maria Farida Indrati Soeprapto, Kedudukan dan Materi-Muatan Peraturan Pemerintah PenggantiUndang-Undang, Peraturan Pemerintah, dan Keputusan Presiden Dalam Penyelenggaraan PemerintahanNegara di Republik Indonesia, Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, UniversitasIndonesia – 2002, hal-17.

11 Himpunan Risalah Sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia(BPUPKI) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) yang berhubungan dengan PenyusunanUndang-Undang Dasar 1945 (dikutip dari Naskah Persiapan Undang-Undang Dasar 1945, jilid I, JajasanPrapantja, Jakarta, 1959 oleh Muhammad Yamin), hal.417.

12 Op.cit, hal.17-18.

13 Loc.cit.

5

“...untuk membentuk suatu pemerintahan negara Indonesia yang melindungisegenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untukmemajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikutmelaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaianabadi, keadilan sosial...”

Dengan menilik pada materi muatan UUD 1945 dapat dikatakan bahwamanifestasi berbangsa dan bernegara Negara Kesatuan Republik Indonesia secarasepenuhnya direfleksikan dalam UUD 1945. UUD 1945 tersebut pasal-pasalnya,pembukaan maupun batang tubuhnya tidak dapat dipisahkan satu sama lain, karenasecara materi maupun substansi merupakan suatu kesatuan integral. Integral disini bukansemata-mata dipandang sebagai kerangka rumusan maupun rangkaiannya, melainkanjuga memperhatikan keterkaitannya yang sangat erat dengan masyarakat Indonesia.Sehingga setiap perubahan yang terjadi dalam UUD 1945 tidak dapat dikatakan sebagaisuatu hal yang minor, tetapi justru sebaliknya setiap perubahan sekecil apapun harusmemperhatikan tatanan holistik UUD 1945 itu sendiri.

Setiap rumusan pasal dalam UUD 1945 memiliki nilai dan makna yangmendalam, baik secara historis, filosofis, sosiologis dan lain sebagainya. Apabila arsitekperubah UUD 1945 tidak memahami betul tentang hal ini, terlebih apabila memaknaiperubahan tersebut untuk kepentingan kelompok, tekanan dari pihak asing, dan tidakdalam tatanan kebersamaan dan murni demi kepentingan masyarakat Indonesia, yangdidasarkan pada faktor keilmuan, kehati-hatian dan ketelitian, serta tanggung jawab yangtinggi, seyogyanya suatu perubahan barulah dapat diterapkan. Yang tidak dapatdikesampingkan begitu saja adalah semangat nasionalisme sebagaimana yangdirefleksikan oleh para founding fathers dalam persiapan kemerdekaan Indonesia, yangterbebas dari kepentingan individu, golongan, kekuasaan, kekuatan uang dan anasir-anasir lainnya.

1. Perubahan Konstitusi

Menurut Georg Jellinek perubahan konstitusi dapat dilaksanakan melalui duacara, yaitu pertama perubahan konstitusi yang berdasar pada ketentuan-ketentuanyang ada dalam konstitusi, disebut Verfassung Anderung. Mengenai tatacaraperubahan dapat melalui suatu lembaga yang khusus seperti lembaga Konstituanteatau melalui suatu prosedur khusus yang merupakan suatu kebiasaanketatanegaraan (convention). Adapun hal-hal yang dapat dirubah pada umumnyabersifat terbatas yaitu mengenai hal-hal yang dianggap penting, bukan mengenaihal yang fundamental. Selain berdasar pada ketentuan-ketentuan konstitusi,perubahan konstitusi dapat juga terjadi karena terjadinya perubahan dalammasyarakat yang disebut dengan istilah Verfassung Wandlung. Perubahan diluarkonstitusi (inkonstitusional) tersebut dapat disebabkan oleh adanya revolusi,putch, coup d’etat atau convention sehingga hal-hal yang dapat dirubah darikonstitusi menjadi tidak terbatas.14

2. Macam, Nilai dan Sifat konstitusi

14 Padmo Wahyono, SH., Kuliah-Kuliah Ilmu Negara, Op.cit., hal.140.

6

Dalam teori kenegaraan kita mengenal dua macam konstitusi yaitu konstitusi yangmurni dan konstitusi buatan. Konstitusi yang murni betul-betul merupakanpenjelmaan dari ide atau pandangan bernegara suatu bangsa. Konstitusi semacamini tidak memerlukan suatu norma tertentu sebagai dasar pembentukannya, karenaia mempunyai kekuasaan yang mandiri yang bersumber pada falsafah hidup yangterpancar dari ide atau pandangan bernegara suatu bangsa (Normloze Macht).Sedangkan konstitusi buatan atau Prefabicated Constitution merupakan konstitusiyang kekuasaannya bersumber pada konstitusi lain. Misalnya konstitusi darinegara-negara boneka yang konstitusinya hanya akan merupakan suatu MachtlozeNormlogiek.15

Secara teoritis kita mengenal ada dua sifat konstitusi, yaitu konstitusi yangfleksibel (luwes) dan konstitusi yang rigid (kaku). Mengenai ukuran apakah suatukonstitusi bersifat luwes atau kaku adalah masalah apakah konstitusi tersebutmudah atau tidak dirubah dan apakah mudah atau tidak mengikuti perkembanganzaman.

a. Cara merubah konstitusi. Pada hakekatnya konstitusi merupakan hukumdasar yang tingkatannya merupakan hukum tertinggi bagi peraturan-peraturan hukum lainnya. Oleh karena itu untuk merubahnya memerlukansuatu prosedur yang harus diatur dengan teliti dan bahwa rakyat memangmenganggap betul-betul perlu untuk mengadakan perubahan. MenurutStrong apabila suatu Undang-Undang Dasar memuat suatu prosedurperubahan yang sama dengan undang-undang biasa disebut bersifatfleksibel/luwes. Sedangkan Undang-Undang Dasar yang mengatur caraperubahan yang khusus berbeda dengan cara perubahan undang-undang,disebut bersifat rigid/kaku.16

b. Mudah atau tidak mengikuti perkembangan zaman. Apabila suatuUndang-Undang Dasar memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok-pokok saja, maka Undang-Undang Dasar tersebut akan mudah mengikutiperkembangan zaman. Hal ini karena untuk pengaturan lebih lanjut dariketentuan-ketentuan pokok tersebut dapat diserahkan pada ketentuan yanglebih rendah yang lebih mudah proses pembuatan dan perubahannya.Dalam hal ini Undang-Undang Dasar tersebut bersifat fleksibel.Selanjutnya, suatu Undang-Undang Dasar adakalanya selain memuat hal-hal yang pokok juga mengatur hal-hal yang dianggap penting. Ukuranpenting itu sendiri sifatnya amat relatif dan temporer karena seringberubah-ubah. Apa yang sekarang dianggap penting mungkin dalamwaktu singkat menjadi tidak penting, sehingga Undang-Undang Dasarterpaksa harus sering mengalami perubahan. Akibatnya kewibawaan dariUndang-Undang Dasar menjadi merosot. Selain itu setiap perubahan yangdikehendaki oleh rakyat tidak dapat segera terlaksana, karena harus diikutidengan perubahan Undang-Undang Dasar yang memerlukan prosedur

15 Prof. Padmo Wahyono, SH., Negara Republik Indonesia, Op.cit., hal.68.16 Prof. Miriam Budiardjo, Op.cit., hal. 114.

7

yang khusus. Dengan demikian Undang-Undang Dasar menjadi sulitmengikuti perkembangan masyarakat dan bersifat rigid/kaku.

Selain kedua ukuran di atas, suatu Undang-Undang Dasar diartikan fleksibel ataukaku juga ditentukan oleh adanya kekuatan yang nyata dalam masyarakat yangmerupakan suatu pengertian politis. Apabila kekuatan penguasa menghendakisuatu perubahan terhadap Undang-Undang Dasar, maka meskipun Undang-Undang Dasar tersebut bersifat rigid tetap akan diadakan perubahan. Sebaliknyameskipun suatu Undang-Undang Dasar bersifat fleksibel akan tetapi pihakpenguasa tidak menghendaki perubahan, maka tidak akan ada perubahan. Dengandemikian apabila kekuatan politis yang ada mampu bertahan lama sehinggaUndang-Undang Dasar tetap bertahan dan tidak pernah mengalami perubahan,maka Undang-Undang Dasar tersebut bersifat rigid/kaku. Akan tetapi apabiladalam kondisi kekuatan politis yang ada Undang-Undang Dasar seringmengadakan perubahan untuk mengikuti perkembangan dalam masyarakat, makaUndang-Undang Dasar tersebut bersifat fleksibel/luwes.

Suatu konstitusi untuk menjaga kewibawaannya harus memiliki nilai-nilai yangsecara material memang cocok dengan pandangan bernegara suatu bangsa,sehingga dapat terlaksana dan dipatuhi dengan baik oleh masyarakat. Akan tetapidalam praktek kenegaraan adakalanya suatu konstitusi tertulis/Undang-UndangDasar hanya dapat berlaku sebagian saja atau bahkan hanya berlaku untukkepentingan pihak penguasa.17 18

3. Isi/Segi Konstitusi Dalam Tinjauan Yuridis

17 Moh.Kusnardi, SH. dan Bintan Saragih, S.H., op.cit., hal. 156-157.

18 Sehubungan dengan hal tersebut seorang sarjana bernama Karl Loewenstein mengemukakan teorimengenai nilai konstitusi. Ia mengemukakan tiga jenis penilaian terhadap konstitusi, yaitu:

1. Nilai Normatif. Suatu konstitusi mempunyai nilai normatif, apabila ia berlaku secara resmi/legal,dan dalam kenyataannya juga berlaku secara efektif dalam masyarakat, artinya diterima, dipatuhidan berlaku dengan baik dalam masyarakat. Sebagai contoh adalah konstitusi negara AmerikaSerikat menetapkan suatu pemisahan kekuasaan secara tegas antara kekuasaan eksekutif, legislatifdan yudikatif. Suatu saat, pada masa pemerintahan Presiden Truman menghendaki agarmengadakan penyitaan terhadap suatu pabrik baja untuk mencegah pemogokaan buruh, juga untukmemenuhi kebutuhan baja dalam rangka pertahanan nasional. Ternyata Mahkamah Agungmenolak keinginan Presiden Truman tersebut karena tidak termasuk dalam kewenangankonstitusional presiden, dan merupakan wewenang Yudikatif.

2. Nilai Nominal. Suatu konstitusi mempunyai nilai nominal apabila secara hukum berlaku tetapidalam pelaksanaannya tidak seluruh ketentuan dalam konstitusi tersebut berlaku secara efektif.Misalnya suatu konstitusi memuat ketentuan yang memberi jaminan kebebasan berbicara bagiwarganya. Akan tetapi dalam prakteknya pelaksanaan hak warga tersebut tergantung padakeinginan dari pihak penguasa.

3. Nilai Semantic. Konstitusi mempunyai nilai semantic, apabila secara hukum memang berlaku,akan tetapi dalam kenyataannya hanya bertujuan untuk memberi bentuk (formalization ) ataumemberi tempat bagi pelaksanaan kekuasaan politik pihak penguasa. Misalnya dalam konstitusimemuat ketentuan mengenai asas demokrasi tetapi dalam kenyataannya penguasa melaksanakankekuasaan yang otoriter.

8

Menurut Hans Kelsen suatu ketentuan hukum yang berlaku dalam suatu negaraharus dapat dikembalikan pada ketentuan hukum yang lebih tinggi, demikianseterusnya sebagai suatu pertingkatan hukum hingga mencapai suatu hukum dasar(Grund Norm) yang menjadi sumber dan norma dasar bagi segala ketentuanhukum yang berlaku. Jadi dalam suatu negara norma dasar yang menjadi dasardari segala ketentuan hukum yang berlaku adalah Undang-Undang Dasar.19 Padaumumnya konstitusi memuat selain hal-hal yang fundamental, juga memuat hal-hal yang penting sehingga isi dari konstitusi satu negara akan berbeda dengannegara lainnya. Meskipun demikian isi tiap-tiap konstitusi tetap mempunyai sifatabsolut yaitu bahwa konstitusi menentukan segala bentuk yang ada dalam negara(forma formarum). Misalnya konstitusi menetapkan asas kedaulatan rakyat, makatidak ada sumber kekuasaan lain di negara tersebut selain kekuasaan rakyat ataulembaga perwakilan rakyat. Demikian pula sifat absolut konstitusi dari segiyuridis adalah bahwa ia merupakan Norma Normarum yaitu norma hukum yangtertinggi dan menjadi sumber hukum bagi seluruh ketentuan hukum yangberlaku.20 21

19 Padmo Wahyono, SH., Kuliah-Kuliah Ilmu Negara, Op.cit., hal.20 –21.

20 Tim Pengajar Ilmu Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Teaching Material Ilmu Negara –2001, hal.111.

21 Carl Schmitt dalam bukunya berjudul Verfassungslehre membagi isi konstitusi dalam empatsegi/pengertian, yaitu:

a. Konstitusi dalam arti absolut. Dalam segi ini konstitusi menetapkan hal-hal yang fundamental jugamenentukan segala bentuk kerja sama dalam negara (Forma Formarum). Apabila konstitusimenetapkan bentuk negara adalah negara kesatuan, maka hal ini bearti mengikat seluruh wargayang ada dalam wilayah negara tersebut. Demikian pula apabila konstitusi menetapkan bahwabentuk kerja sama dalam organisasi negara adalah demokratis, maka segala bentuk kerja samayang tidak demokratis tidak diperkenankan. Disini letak segi absolut dari konstitusi. Sedangkansegi absolut bila ditinjau dari sudut tata hukum nasional, menurut Hans Kelsen konstitusimerupakan norma hukum tertinggi yang menjadi sumber bagi seluruh ketentuan hukum yang adadalam negara (Norma Normarum).Selain itu dari segi politis konstitusi juga merupakan faktorintegrasi melalui ketentuan-ketentuan yang mengatur mengenai masalah kepala negara, lagukebangsaan, bendera, dan sebagainya. Menurut Rudolf Smend ada tiga faktor integrasi, yaitupertama yang menyangkut orang (persoonlijk) yaitu seorang raja/kepala negara. Kedua yangmenyangkut benda baik yang abstrak, misalnya lagu kebangsaan maupun yang nyata, misalnyabendera. Ketiga, faktor yang bersifat fungsional, misalnya melalui kegiatan pemilihan umumrakyat menjadi bersatu turut dalam kegiatan kenegaraan. (Padmo Wahyono, SH., Ibid, hal.25.).

b. Konstitusi dalam arti relatif. Selain memuat hal-hal yang fundamental konstitusi juga mengaturhal-hal yang penting sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Tetapi secarahistoris segi relatif ini berhubungan dengan kepentingan dari golongan borjuis liberal yangmenginginkan jaminan agar hak-haknya tidak dilanggar oleh pihak penguasa. Merekamenginginkan agar jaminan tersebut diletakan dalam suatu naskah yang tertulis/Undang-UndangDasar sehingga tidak mudah hilang. Jadi konstitusi mempunyai segi relatif karena adanya prosesrelativering, yaitu proses memasukan hal-hal yang tidak hanya dianggap fundamental tetapi jugahal-hal yang suatu saat dianggap penting oleh negara. Proses relativering ini berlangsung karenakonstitusi dianggap sebagai naskah penting yang sulit dirubah, sehingga menjamin kepastianhukum serta kelanggengan atas apa yang dimuat dalam konstitusi tersebut.

9

B. Konstitusi sebagai Tujuan Negara

Keberadaan sebuah negara sebagai suatu organisasi mestilah memiliki tujuan.Tujuan ini menjadi suatu kemestian karena akan menjadi arah dari suatu masyarakat yangorganized itu, untuk neunjukkan adanya ciri organized dari tujuan itu. Pertanyaanterbalik dapat kita utarakan demikian, dapatkah suatu organisasi yang disebut sebagainegara itu tidak memiliki tujuan? Layakkah suatu negara tidak memiliki tujuan? Jawabanlogisnya tentu saja suatu negara tidak layak ada jika tidak memiliki tujuan. Bahkanseharusnya keberadaan itu didahului oleh suatu tujuan. Artinya, tujuan harus lebih dahuludikontruksikan ada, baru kemudian mewujudkan organisasi negara merdeka sebagaisarana untuk mewujudkannya. Jadi adanya tujuan negara itu adalah keharusan bagi suatunegara.22

Soal tujuan negara ini termasuk bahasan yang mendasari perkembangan sejarahnegara pada umumnya. Perbedaan dalam hal tujuan ini menimbulkan perbedaan dalamperilaku, dan sikap politik suatu negara. Perbedaan ini dapat muncul karena adanyavariasi dalam memandang atau memaknai kehidupan. Perbedaan filosofi, sosiologis danhistoris dapat menyebabkan perbedaan dalam mengkontruksi dan menjalankan negara.Termasuk cara mengkonstruksikan sistim hukumnya (aspek yuridis). Jadi pembahasantujuan negara ini sedikit banyak akan menyentuh landasan filsafat suatu negara, yangberkaitan erat dengan kontur ideologi, filsafat atau pandangan hidup suatu negara. Kaitanini tidak seluruhnya didasarkan secara runtut pada hal tersebut, melainkan langsungdihubungkan dengan tipe-tipe negara yang berkembang karena tujuan yang klasifikasiatau penggolongan yang tidak berdasarkan batasan-batasan yang tegas. Bukanpenggolongan dalam arti "kelas".23 Dalam membahas tujuan negara ini kita harusmembedakannya dengan pembahasan masalah fungsi negara. Apabila kita hubungkandengan negara, suatu 'tujuan' menunjukkan apa yang secara ideal hendak dicapai olehnegara itu; sedangkan 'fungsi' adalah pelaksanaan tujuan atau cita-cita itu dalam

c. Konstitusi dalam arti positif. Merupakan keputusan politik tertinggi dari rakyat. Menurut CarlSchmitt merupakan suatu ajaran tentang keputusan yang disebut ajaran Dezisionismus. Keputusanpolitik tertinggi dari rakyat ini tidak perlu dicari dasar/norma pembenarannya, disebut sebagaiNormloze Macht yaitu suatu kewenangan memutuskan tanpa didasarkan pada norma. Misalnyakeputusan politik tertinggi dari rakyat Jerman yang membuat Undang-Undang Dasar Weimartahun 1919 dan mengubah struktur pemerintahan monarki dengan kekuasaan raja yang kuatmenjadi sistem pemerintahan yang parlementer. Contoh lainnya adalah proklamasi kemerdekaanbangsa Indonesia tanggal 17 Agustus 1945 merupakan keputusan politik tertinggi rakyat Indonesiayang merubah nasib bangsa Indonesia dari bangsa terjajah menjadi bangsa yang merdeka.Proklamasi dapat diartikan sebagai segi positif dari Konstitusi. Sedangkan pembentukan danpenetapan Undang-Undang Dasar 1945 setelah proklamasi kemerdekaan hanya merupakan salahsatu dari keputusan politik tinggi (bukan tertinggi) sehingga tidak termasuk dalam pengertian segipositif dari konstitusi.

d. Konstitusi dalam arti ideal. Secara historis merupakan hal yang diidamkan oleh golongan borjuisliberal yaitu agar hak-haknya tidak dilanggar. Akan tetapi dalam perkembangannya ajaran iniditerima oleh semua negara yaitu untuk menampung ide-ide masyarakat yang yang dianggap ideal(Moh. Kusnardi, SH. dan Harmaily Ibrahim, SH., Op.cit., hal. 30 – 32.).

22 Tim Pengajar Ilmu Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Op.cit, hal.56.23 Loc.cit

10

kenyataan konkrit. Jadi, secara umum boleh disifatkan bahwa fungsi itu adalahpelaksanaan lebih lanjut dari tujuan.24(Samidjo, 216).

George Wilhelm Friedrich Hegel (1770-1831) menyatakan bahwa tujuan negaraadalah negara itu sendiri. Negara itu adalah "person" yang mempunyai kemampuansendiri dalam melaksanakan "idee" umum. Negara dapat memelihara danmenyempurnakan dirinya sendiri. Maka kewajiban tertinggi manusia adalah menjadiwarga suatu negara dengan baik. Disini negara ditempatkan sebagai sesuatu yang agungdan tinggi, negara menjadi tujuan kehidupan manusia itu sendiri. Dengan kata lain negaraitu tidak punya tujuan, karena ia sendiri merupakan tujuan.

Namun demikian pendapat Hegel ini banyak ditanggapi lain. Negara tetap harusmemiliki tujuan, karena negara harus diposisikan sebagai alat atau wadah untuk mencapaitujuan-tujuan umat manusia. Oleh karena itu negara harus dapat mewujudkan tujuan-tujuan tertentu dari suatu komunitas manusia dalam geografis tertentu itu untuk menjagakelangsungan hidupnya. Sehingga dapat dipahami bahwa tujuan-tujuan negara itu dapatberbeda berdasarkan situasi, kondisi dan sejarah dari masing-masing negara yangterbentuk itu.

Namun secara umum tujuan negara itu dapat digolongkan kedalam tiga tujuanbesar, yang terdiri atas:25

1. Tujuan Negara yang dihubungkan dengan tujuan akhir hidup manusia.2. Tujuan Negara yang dihubungkan dengan pencapaian kekuasaan.3. Tujuan Negara yang dihubungkan dengan kemakmuran rakyat.

Dalam tulisan ini menurut penulis yang relevan untuk dikaji sehubungan dengantopik tersebut adalah tujuan negara sehubungan dengan perannya dalam memakmurkanwarga negaranya, kita harus meninjau hubungan antara pihak yang memerintah dan yangdiperintah. Dalam hal ini sudah jelas bahwa pemerintah harus mengusahakankemakmuran rakyat. Ada semboyan "Kepentingan Umum Mengatasi Segala-galanya."Siapakah yang menentukan kepentingan umum ini? Jawabnya adalah 'penguasa'.

Sebelum masuk kedalam pembahasan lebih lanjut perlu dikemukakan beberapaistilah penting berkenaan dengan hal di atas, seperti:26

1. Saluspublica Suprema LexArtinya, Kepentingan Umum mengatasi segala undang-undang. Undang-undangyang tidak sesuai dengan Kepentingan Umum harus dapat dicabut. Kepentinganumum menjadi hukum tertinggi. Jadi arti seluruhnya adalah bahwa KepentinganUmum itu dapat melanggar hukum apa saja.27

24 Samidjo, SH. Ilmu Negara. cet. 1. Bandung : CV Amico, 1992, hal.216.

25 Tim Pengajar Ilmu Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Op.cit, hal.57.26 Ibid, hal.61.

27 Berkenaan dengan tipe-tipe negara yang berupaya mengkonsentrasikan tujuannya untuk kemakmuranrakyat itu, dapat digolongkan secara tidak tegas dalam beberapa tipe, antara lain:1. Tipe Negara Kekuasaan Absolut atau Polizei Staat.2. Tipe Negara Liberal.3. Tipe Negara Hukum Formal.

11

4. Tipe Negara Hukum Material

Untuk selanjutnya kita akan membahas Tipe-tipe Negara Hukum ini satu persatu.

1. Polizei Staat.Tipe negara ini adalah suatu tipe negara absolut yang mendudukkan (pemerintah) negara itu sebagaipelaksana kemakmuran rakyat, dan menafikan peran rakyat untuk menjalankan kemakmuran. Padamasa ini Negara dianggap sama dengan elit penguasa, sebagaimana tercermin dalam ungkapan "L'etate' est moi", yang artinya, Negara adalah saya (raja)! Disini berlaku 'Pricep Legibus Solute Est' yangmendudukan penguasa sebagai penentu segala-galanya untuk rakyat, tetapi tidak memberikan peranpenting bagi rakyat. "Kepentingan Umum" hanya boleh ditafsirkan secara sepihak oleh raja-penguasa.Sehingga 'kepentingan umum menurut raja' adalah undang-undang tertinggi yang tidak bisa dilanggar.Istilah polizei disini memang sama dengan policie, tetapi tidak hanya diartikan sebagai tugasmengamankan negara saja, melainkan termasuk juga tugas memakmurkan negara, seperti membangunjalan, membuat jembatan, mendirikan sekolah dan lain-lain.Aliran ekonomi yang mempengaruhi perkembangan polizei staat ini adalah Merkantilisme atauKameralistik. Aliran ini mengupayakan kekayaan (terutama emas) yang sebanyak mungkin untuknegara. Secara singkat disebutkan bahwa Merkantilisme menghendaki adanya neraca perdaganganyang aktif. Aliran ini mempengaruhi cara berfikir penguasa waktu itu, sehingga kemakmuran perludimasukkan kedalam tujuan negara dan inilah yang dinamakan sebagai Polizei Staat. Esensinya adalahbahwa Kemakmuran itu adalah hak seluruh rakyat, tetapi yang melaksanakan bukan rakyat. Cara-caramemakmurkan dilaksanakan secara absolut oleh pemerintah negara (Negara dalam status positif),sehingga tipe ini cenderung disebut Monarki Absolut.

2. Tipe Negara Liberal.Tipe negara hukum liberal ini dilahirkan sebagai reaksi atau antithese dari kondisi yang dialami dalamsuatu negara kekuasaan absolut (polizie staat). Dalam polizie staat peran penguasa (raja yangdikelilingi para bangsawan) sangat besar. Status yang mendudukkan pemerintah negara (bacapenguasa) secara dominan menyelenggarakan kebutuhan-kebutuhan rakyat (memakmurkan) adalahstatus positif. Sementara itu golongan pengusaha kaya mendesak raja dan golongan bengsawan untuktidak ikut campur terlalu banyak dalam urusan bisnis mereka dalam ikut berupaya memakmurkanrakyat. Desakan yang menginginkan status negatif bagi negara itu diprakarsai oleh orang-orang yangberpikiran bebas atau beraliran Liberalisme. (Libere = Bebas).Dalam pikiran para tokoh liberalisme itu ada dualisme yang ditawarkan. Pertama, penguasa hanyamenjalankan tata tertib saja; pertahanan keamanan dan menjadi fasilisator. Kedua, rakyat diberikesempatan yang luas untuk menyelenggarakan sendiri kebutuhan-kebutuhannya untuk kemakmuranbersama.Jellinek menjelaskan hal ini dalam suatu "Status Theorie", yang mempersoalkan hubungan warganegara dengan Negara, sebagai berikut:

Pertama, dipandang dari sisi rakyat :a. Status Aktif : rakyat ikut serta aktif dalam pemerintahan.b. Status Pasif : rakyat tunduk pasif pada pemerintah negara.

Kedua, dipandang dari sisi negara :a. Status Negatif : Negara tidak ikut campur dalam urusan rakyat.b. Status Positif : Negara menyelenggarakan kebutuhan untuk kemakmuran rakyat.

Teori Status ini penting untuk menganalisa berbagai perkembangan dalam teori dan praktekkenegaraan sepanjang zaman. Seberapa jauh derajat hubungan penguasa (pemerintah negara) danrakyat dalam menjalankan kehidupan sosial-ekonomi-hukum sepanjang sejarah akan mempengaruhiefektif dan efisiennya pencapaian kemakmuran dan perlindungan hak asasi warga negara.

3. Tipe Negara Hukum Formil.

12

2. Princep Legibus Solutus est

Tipe negara hukum (rechtstaat) dalam bentuknya yang awal adalah Negara Hukum Liberal. Korelasiantara pandangan liberalisme dengan kepentingan akan hukum formil adalah sangat kuat. NegaraHukum telah menjadi istilah tehnis kenegaraan yang tidak dapat diabaikan begitu saja. Dalam hal iniRechtstaat juga merupakan reaksi atau antithese dari Polizei Staat. Pangangan liberal yang inginmendudukkan negara hanya sebagai pemegang tata-tertib saja tentu menimbulkan konsekuensi bahwanegara membutuhkan biaya (anggaran) untuk menjalankan tugas-tugasnya. Pendapatan negara yangterbesar dapat diraih adalah dengan menarik pajak dari rakyat.Penarikan pajak ini tentu saja memerlukan persetujuan dari rakyat dan tentu pula menyinggungpersoalan hak yang paling dasar dari rakyat, yaitu hak asasinya untuk memiliki pendapatan sendiri atasapa yang diusahakan. Untuk resminya (legalitasnya) pemerintah negara kemudian mengadakanperaturan-peraturan tentang pajak, peraturan-peraturan itu tertulis, dan lama-kelamaan menimbulkanundang-undang atau hukum tertulis secara formil. Dalam kasus ini lahirlah apa yang disebut NegaraHukum Formil karena dalam segala tindakan-tindakannya penguasa itu memerlukan bentuk hukumtertentu (formil), dan formalitas ini adalah bentuk undang-undang (wet).Didalam tipe Negara Hukum Formil ini diperlukan syarat-syarat tertentu. Unsur-unsur itu adalah:

a. Pengakuan terhadap Hak Asasi Manusia (grondrechten). Hak-hak dasar ini harus dijamin (denganundang-undang dan adanya Pemisahan Kekuasaan) dan dipertahankan jangan sampai dilanggar.

b. Pemisahan Kekuasaan dalam Negara (sheding van machten). Pemisahan kekuasaan ini adalah ciriesensial dari negara hukum. Tidak semua negara yang ada hukumnya dapat dikatakan sebagainegara hukum. Negara hukum adalah suatu konsep politis-yuridis tersendiri, sedang negaraberhukum adalah kenyataan empiris-sosiologis yang nyata. Jadi, suatu negara yang memilikihukum (berhukum) belumlah tentu sesuai dengan konsep "Negara Hukum".

c. Pemerintahan harus berdasarkan Undang-undang (Wetmatigheid van bestuur). Setiap tindakanatau perbuatan 'memerintah' dari pemerintah negara haruslah memiliki dasar hukum dalam bentukundang-undang atau hukum tertulis.

d. Adanya Pengadilan Administrasi (Administrative Rechtspraak). Tujuan diperlukannya pengadilanadministrasi ini adalah mengadili sengketa antara pemerintah (penguasa) dengan warga negara(yang dikuasai). Pengadilan Khusus ini dibentuk untuk kasus-kasus yang tidak dapat diadili olehpengadilan biasa, sebab belum termasuk perkara pidana maupun perdata. Biasanya yang menjadiobyek sengketa adalah adanya Surat Keputusan yang dikeluarkan secara sewenang-wenang olehpejabat negara atau instansi pemerintah.

Empat hal inilah yang menjadi ciri pokok dari negara hukum formil. Ciri pokok negara hukum formilini banyak dipegang teguh oleh sebagian besar dari negara-negara Eropa Kontinental, seperti Jerman,Perancis dan Belanda. Karena Indonesia adalah negara bekas jajahan Belanda, maka secara strukturkita mengikuti aliran Kontinental.

4 Negara Hukum Materiil (Negara Kesejahteraan/Kemakmuran)

Negara Hukum Materiil ini lebih dikenal sebagai Negara Kesejahteraan (Welfare State/Social ServiceState/Wolfahrt State). Pada tipe Negara Hukum Materiil ini tidak lagi terlalu mementingkan bentuknya(formnya), tetapi yang dipentingkan adalah isinya (materi), yaitu Kemakmuran Rakyat. Isi ini menjaditujuan utama, yaitu suatu kondisi welfare dari seluruh rakyat. Tidak setiap tindakan pemerintah harusdidahului dengan adanya undang-undang (Undang-undang formil). Pemerintah/penguasa dapatbertindak tanpa peraturan/undang-undang, misalnya dalam hal memungut sumbangan untuk bencanaalam, esensinya pemerintah boleh bertindak sepanjang untuk kepentingan kemakmuran rakyat yangnyata, walaupun tidak ada undang-undangnya. Tindakan ini dalam ilmu hukum administrasi negarabisa masuk dalam kewenangan diskresioner dari pejabat negara. Tidak lagi berdasarkan undang-undang semata (gebonden bestuur), jadi boleh bebas mengeluarkan policy/kebijakan asalkan sesuaidengan tujuan kemakmuran rakyat (vrij bestuur).

13

Artinya, Raja membuat undang-undang untuk negara. Hanya raja yang dapatmengurus kepentingan negara dan rakyat warga negara. Jadi jelas terlihat bahwapenguasa atau raja itu yang menentukan segala-galanya untuk rakyat tetapi tidakatau bukan dilaksanakan oleh rakyat.

Pada dasarnya secara makro teori mengenai tujuan negara itu dibagi menjadi duabagian besar. Pertama, tujuan negara yang berdimensi sekuler dan duniawi semata.Kedua, tujuan negara yang berdimensi religius dan spiritual semata. Negara sekulerbiasanya cenderung memperhatikan perkembangan kemakmuran rakyat semata tanpamemperhatikan secara serius dimensi keagamaan (spiritual). Sedangkan Negara religius(non-sekuler) cenderung mengabaikan perkembangan ekonomi rakyatnya, karenaterlampau menekankan hal yang spiritual daripada material. Namun demikianperkembangan zaman manunjukkan adanya konvergensi, semacam pendekatan antarakeduanya. Bagaimanapun juga aspek bathiniah atau kondisi spiritual suatu masyarakattidaklah bisa diabaikan dalam dunia serasional apapun. Suatu kenyataan bahwa manusiaadalah mahluk jasmani dan ruhani sekaligus. Ketika aspek yang satu diabaikan maka iaakan menjadi labil. Kebahagiaan yang diperoleh akan menjadi semu dan timpang. Olehsebab itu Negara sebagai organ sosial yang etis, harus memberikan kontribusi bagimanusia untuk mengarahkan hidupnya ke arah kehidupan yang lebih baik.

Demikian secara ringkas masalah tujuan negara yang akhirnya dihubungkan puladengan tipe-tipe negara modern pada saat ini. Sementara itu berkaitan erat denganperubahan terhadap UUD 1945 dimaksud sampai seberapa jauh telah memenuhisubstansi prinsip maupun antara praktek dan teori telah dapat berjalan serta salingberkesesuaian. Melalui teori-teori tersebut di atas setidaknya dapat lebih mempermudahidentifikasi tentang bagaimana memaknai semangat nasionalisme yang terumuskan dalamperubahan-perubahan UUD 1945.

C. Perkembangan Teori Kedaulatan

Teori ini lahir secara kontroversial dalam panggung politik sejarah kekuasaannegara. Bagaimana mungkin “rakyat” dapat berkuasa atas dirinya sendiri dan dapatmemerintah dirinya sendiri? Dalam zaman yang hanya dilingkupi oleh kekuasaan parapenguasa yang menyebut dirinya sebagai raja, maka pemikiran untuk menempatkanrakyat sebagai penguasa tertinggi atau pemegang kedaulatan adalah suatu pikiran yanggila dan mustahil. Namun demikian gagasan kedaulatan rakyat ini kemudian terusberkembang dalam diskusi teori kenegaraan dan juga praktek trial and error baik diPerancis, Amerika, hingga akhirnya diikuti oleh hampir seluruh negara di dunia. Arusderas demokrasi telah merombak struktur monarki, minimal menjadi monarkhiparlementer atau menjadi hancur sama sekali digantikan dengan sistem RepublikDemokrasi.

Timbulnya teori kedaulatan rakyat ini jelas sebagai reaksi atas teori kedaulatanraja yang kebanyakan menghasilkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Bapak teorikedaulatan rakyat ini adalah Jean Jacques Rousseau yang menggemakan kekuasaanrakyat lewat bukunya “Du Contract Social”. Dalam teori fiksinya mengenai “perjanjianmasyarakat” (Kontrak sosial), ia menyatakan bahwa dalam suatu negara, natural libertytelah berubah menjadi civil liberty dimana rakyat memiliki hak-haknya. Kekuasaan

14

rakyat sebagai yang tertinggi dalam hal ini melalui perwakilan yang berdasarkan suaraterbanyak (general will volonte generale). Volonte generale harus berdasarkankepentingan dari golongan yang terbanyak. Jadi apabila hanya kepentingan satu golonganyang diutamakan, walaupun mendapat suara terbanyak (general), maka bukan menjadiapa yang disebut kepentingan umum.28 Ajaran Rousseau ini terlalu murni, sedangkan apayang dikatakan oleh Rousseau sebagai keputusan dari suara terbanyak (mayoritas) yangmembawakan kepentingan umum, tidak pasti selalu benar. Apa yang didukung oleh suaraterbanyak itu tidak lagi mempersoalkan tentang kebenaran yang hendak dikejarmelainkan mempersoalkan tentang menang atau kalah. Disinilah letak penyelewengandari sistem mayoritas yang tidak mengejar kebenaran lagi, melainkan mengejarkemenangan.29

Selanjutnya berkembang teori kedaulatan negara ini juga sebagai reaksi dari teorikedaulatan rakyat. Namun demikian teori ini sebenarnya melanggengkan danmelangsungkan teori kedaulatan raja dalam suasana kedaulatan rakyat. Ajaran ini timbuldi Jerman untuk mempertahankan kedudukan raja yang pada waktu itu mendapatdukungan dari tiga lapisan masyarakat yang besar sekali pengaruhnya, yaitu: (1)golongan bangsawan atau junkertum; (2) golongan angkatan perang atau militer; (3)golongan birokrasi. Golongan cendekiawan pendukung raja yang tergabung dalammazhab Deutch Publizisten Schule (DPS) membentuk ajaran kedaulatan rakyat yangsudah mulai populer.30 Dalam teori kedaulatan raja ini pengertian “negara” yang abstrakitu dikonkritkan dalam tubuh raja. Ajaran ini disebut Verkulprings theorie yang artinyanegara menjelma dalam tubuh raja. Disini negara berdaulat karena rakyat, selanjutnyakedaulatan itu dimiliki oleh negara yang dimanifestasikan pada diri raja. Sehingga padahakekatnya ajaran ini sama dengan ajaran teori kedaulatan raja, hanya saja ajaran inidibuat sedemikian rupa sehingga dapat diterima oleh rakyat karena berpangkal darikedaulatan rakyat dan memberi kedok bagi kedaulatan raja yang sudah usang.

Teori kedaulatan hukum ini timbul sebagai penyangkalan terhadap teorikedaulatan negara. Teori ini dikemukakan oleh Krabbe yang menunjukan bahwakekuasaan yang tertinggi tidak terletak pada raja, tidak juga pada “negara”, tetapi beradapada hukum yang bersumber pada kesadaran hukum dari setiap orang. Ajaran Krabbe inimuncul sebagai reaksi terhadap teori kedaulatan negara. Dalam ajaran kedaulatan negara,hukum didudukan lebih rendah dari negara, artinya bahwa “negara” tidak tunduk padahukum, karena hukum diartikan sebagai perintah-perintah dari negara itu sendiri (bentukimperatif dari suatu norma). Karena hal ini timpang, maka Krabbe berfaham padakedaulatan Hukum, sebab berkaitan dengan hak asasi dari rakyat sudah semestinyanegara tidak boleh melanggarnya. Kalaupun hendak mengadakan perubahan harusdengan persetujuan rakyat. Oleh sebab itu hak-hak asasi yang bersumberkan kepada‘kesadaran hukum rakyat’ menunjukan lebih tingginya kedudukan hukum daripada“negara”. Jadi hukumlah yang berdaulat.31

Perasaan akan hukum/keadilan ini terjelma dalam naluri hukum (Rechts Instink),atau dalam bentuknya yang lebih sempurna, yaitu ‘kesadaran hukum’ (Rechtsbewustzijn), di dalam negara membentuk sesuatu yang abstrak, yang disebut “Legislative

28 Padmo Wahjono, SH., Kuliah-Kuliah Ilmu Negara, op.cit, hal.163.29 Moh.Kusnardi,SH. dan Bintan Saragih,SH., op.cit., hal.125.30 Padmo Wahjono,SH., op.cit., hal. 163.31 Ibid, hal. 164.

15

Power”. Dengan demikian Parlemen (Lembaga Perwakilan Rakyat) hanyalah suatulembaga atau alat untuk menjelmakan kesadaran akan hukum (dan keadilan) dari rakyat.Di Amerika Serikat hal ini kita kenal dalam slogan “Government of Law, and not ofmen” (Pemerintahan dengan hukum, bukan oleh orang seorang ).32

D. Dua Cara Pandang Tentang Kedaulatan

Ada dua ajaran atau faham yang memberikan pengertian tentang kedaulatan ini.Pertama Monisme, yang menyatakan bahwa kedaulatan adalah tunggal, tidak dapatdibagi-bagi, dan pemegang kedaulatan adalah pemegang wewenang tertinggi dalamnegara (baik yang berwujud persoon atau lembaga). Jadi wewenang tertinggi yangmenentukan wewenang-wewenang yang ada dalam negara tersebut (Kompetenz-Kompetenz). Kedua, Pluralisme, ajaran yang menyatakan bahwa negara bukanlah satu-satunya organisasi yang memiliki kedaulatan (Harold J Laski). Banyak organisasi-organisasi lain yang ‘berdaulat‘ terhadap orang-orang dalam masyrakat. Sehingga, tugasnegara hanyalah mengkoordinir (koordineren) organisasi yang berdaulat di bidangnyamasing-masing. Keadaan ini oleh Baker disebutkan sebagai “Polyarchisme”. Dilingkungan ajaran Katholik dikenal dengan nama “subsidiaristeit beginsel” (prinsipsubsidiaritas). Ajaran Pluralisme ini lahir karena ajaran Monisme terlalu menekankan soalkekuatan atau menekankan (force) hukum dalam melihat masyarakat negara, dan kurangmenekankan soal kehendak (will) dari rakyat seperti yang diajarkan Rousseau.33

Apa yang dinarasikan di atas mengenai lima teori kedaulatan adalah berpegangpada faham ketunggalan kedaulatan ( Monisme ) dengan pendekatan absolut. Sedangkandalam teori-teori dengan pendekatan relatif lebih bermuara pada faham majemuk(Pluralisme).

Hal yang juga berkembang dalam khasanah teori kedaulatan ini adalah dimanaglobalisasi dan interdepedensi yang semakin kuat di antara negara-negara di dunai saatini akibat kemajuan teknologi informasi dan instrumen ekonomi yang terus berkembang.Sehingga kedaulatan menjadi semakin relatif dalam kaitannya dengan masalah hubunganinternasional. Kedaulatan kedalam yang berlaku kuat selama ini telah direlatifisir olehadanya konsep otonomi daerah dan federalisme. Sedangakan kedaulatan keluar dari suatunegara pada saat ini direlatifisir oleh hukum-hukum internasional dan konsep Hak AsasiManusia (HAM) yang universal. Kedaulatan suatu negara menjadi relatif diantarakekuatan entitas-entitas lain yang dapat pula menjadi “state actors” sebagaimanamultinational corporation dan organisasi internasional pada saat ini.

Hal lain yang berkenaan dengan ajaran teori kedaulatan adalah sebagai berikut:34

1. Ajaran mengenai dasar kedaulatan ini biasanya dihubungkan dengan prinsip-prinsip bernegara. Ajaran ini mempunyai pengaruh pula pada persoalan sendipemerintahan, seperti soal desentralisasi. Hubungan teori kedaulatan hukumdengan struktur organisasi negara adalah pada peraturan dasar hukum umum yangdituangkan dalam format Undang-Undang Dasar atau Konstitusi.

32 Tim Pengajar Ilmu Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Teaching Material Ilmu Negara –2001, hal.98.33 Op.cit, hal.165.34 Op.cit, hal.99.

16

2. Ajaran kedaulatan ini juga dijadikan dasar dalam mempertahankan bentuk negara.Misalnya, ajaran atau faham kedaulatan rakyat yang dikenal dalam ideademokrasi itu menjadi karakter dalam bentuk yang dilawankan dengan bentukmonarki (kedaulatan raja) atau diktatur. Jadi seringkali demokrasi tidak diartikanhanya sebatas idea atau konsep melainkan juga menjadi suatu bentuk negara,yaitu bentuk negara demokrasi.

3. Sumber-sumber kewibawaan penguasa negara seringkali disandarkan pada ajarankedaulatan pula. Kewibawaan kharismatik bisa muncul dari titisan kedaulatanTuhan dan bereaksi pada teori kedaulatan Raja. Namun kewibawaan rasionalmuncul dari jabatan kekuasaan negara yang diperoleh dari proses pemilihan yangdemokratis dan didukung oleh rakyat banyak.

E. Sejarah Singkat Tumbuhnya Gagasan Kedaulatan Rakyat

Oleh para tokoh pergerakan saat itu, gagasan ini kemudian disebarluaskan kemasyarakat. Mohammad Hatta bahkan memimpin beberapa rekannya menerbitkantabloid khusus sepuluh harian bernama Daoelat Ra’jat sejak tahun 1931. Dalam edisipertama majalah ini, Hatta mengajukan pikiran bahwa Indonesia Merdeka yang hendakdibangun haruslah mendasarkan diri atas kedaulatan rakyat. Namun, gagasan kedaulatanrakyat yang berkembang di Eropa Barat ketika itu, yang didasarkan pada pahamindividualisme dan liberalisme yang telah tumbuh dalam alam pikiran abad ke-18 dan 19yang sudah dianggap ketinggalan. Jika kedaulatan rakyat sering disebut dengan istilahdemokrasi, maka gagasan kedaulatan rakyat yang hendak dikembangkan oleh Hattaadalah demokrasi politik dan sekaligus ekonomi. Bahkan, menurut istilah Soekarno,demokrasi Indonesia adalah demokrasi sosial yang merupakan gabungan antarademokrasi politik dan demokrasi ekonomi. Gagasan Soekarno ini dikemukakan dalamtulisannya yang berjudul “Demokrasi Politik dan Demokrasi Ekonomi” yang dimuatsecara berturut-turut dalam majalah Fikiran Ra’jat (FR) No.18 dan 19 tahun 1932.35

Terhadap pendapat yang dikeluarkan baik oleh Soekarno maupun Hattamenimbulkan banyak komentar yang melahirkan perdebatan-perdebatan hangat seputarpemahaman kedaulatan rakyat dimaksud yang terjadi pada era sebelum kemerdekaan.Secara umum semua kelompok dalam pergerakan sepakat bahwa sifat kerakyatan yangdimaksud dalam demokrasi harus sesuai dengan budaya Indonesia sendiri, yang tentusaja, berbeda dengan Barat yang berlatar belakang filsafat dan budaya individualisme,tidak serta-merta menjadikan mereka terposisikan dalam Marxisme yang merupakanantitesis atas individualisme-liberalisme-kapitalisme itu. Baik Soekarno, Hatta maupunhampir semua tokoh lain menghendaki keaslian.36

Yang diidealkan oleh para pemimpin pergerakan ketika itu, justru adalah pahamkolektivisme. Gagasan kolektif ini dipandang sebagai suatu kombinasi kreatif dariberbagai paham yang mereka kritik, baik gagasan individualisme, liberalisme,

35 Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya diIndonesia, cet.1, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal.28-29.

36 Ibid, hal.30.

17

kapitalisme dan imperialisme di satu pihak maupun komunisme dan fasisme di pihaklain.3738

Terlepas dari semua perdebatan yang terjadi pada masa tersebut, baik mengenaikedaulatan maupun kolektivisme, memberikan indikasi bahwa proses penggodokanpemikiran yang nantinya mempengaruhi pokok pikiran yang dituangkan ke dalamundang-undang dasar, sebenarnya sudah berlangsung jauh sebelum Indonesia merdeka.Dari uraian ini, setidak-tidaknya dapat dikemukakan adanya dua antinomi pemikiranyang diperdebatkan menjelang Indonesia merdeka. Pertama adalah antinomi antaraindividualisme versus kolektivisme; kedua, antinomi antara gagasan asing dengankeaslian budaya lokal. Perumusan gagasan tidak dilakukan dengan cara menelan mentah-mentah pikiran yang diperoleh dari luar, tetapi tidak pula secara membabi-btameneruskan tradisi budaya lokal yang tidak sesuai lagi dengan tuntutan zaman.39

Memang harus diakui bahwa dalam penjelasan UUD 1945 dinyatakan dengantegas bahwa UUD 1945 mengutamakan prinsip kolektivisme atas individualisme. Secaratersurat, UUD 1945 lebih mengutamakan kepentingan umum, kepentingan negara di ataskepentingan individu ataupun golongan. Tetapi jika ditelaah lebih dalam, kecenderunganmengutamakan kolektivitas di atas individualitas ini sebenarnya hanya ditafsirkan olehpara perumus UUD 1945 secara situasional, dimana keinginan untuk menentang pahamindividualisme dan liberalisme begitu kuat pada masa itu. Artinya, situasi zaman ketikaitu memang mengharuskan perumusan dibuat dengan semangat demikian itu. Karenanya,secara hakiki, yang diidealkan bukan kolektivisme itu sendiri, tetapi prinsipkeseimbangan di antara individualisme versus kolektivisme itu. Semangat keseimbanganinilah yang tercermin dalam perdebatan-perdebatan yang dikemukakan sebelumnya.Dalam semangat keseimbangan inilah gagasan kedaulatan rakyat, baik dibidang politikmaupun dibidang ekonomi itu didiskusikan, diperdebatkan dan kemudian dirumuskanmenjadi muatan UUD 1945. Gagasan yang mencakup demokrasi politik dan ekonomiyang dikembangkan menjadi rumusan pokok pikiran UUD 1945, merupakan usahapenyeimbang yang dilakukan sejak lama terhadap paham individualisme versuskolektivisme itu di satu pihak, dan paham asing versus paham lokal (asli) di lain pihak.Kombinasi ini diusahakan sebegitu rupa, sehingga keseimbangan antara paham yangmenekankan individu dengan yang menekankan masyarakat, terwujud secara harmonis dibidang politik maupun ekonomi. Artinya, gagasan kedaulatan rakyat Indonesia itubersifat khas dengan mencakup gagasan demokrasi politik dan ekonomi sekaligus,dimana keduanya berada di antara kutub paham individualisme dan kolektivisme.40

Upaya penulis melalui uraian di atas adalah untuk memberikan deskripsi yangharapannya dapat memberikan suatu gambaran umum tentang kompleksitas yang ada

37 Ibid, hal.31.38 Dalam Daoelat Ra’jat maupun dalam Fikiran Ra’jat, dapat ditemukan banyak tulisan yang mengulasdan menkritik paham-paham seperti itu. Sebaliknya, paham kolektivisme justru dianggap sebagai sesuaidengan sifat-sifat bangsa Indonesia sendiri dan diidealkan sebagai antitesis terhadap paham individualisme-liberalisme. Namun, karena kolektivisme ini lebih merupakan antitesis atas individualisme-liberalismeketimbang sintesis individualisme vs. komunisme, maka gagasan ini dianggap cenderung mirip dengankomunisme, maka gagasan ini tidak sedikit mendapat kecaman. Paha mini dianggap cenderung miripdengan komunisme dan bertentangan dengan Islam yang notabene merupakan agama yang dianut olehsebagian terbesar penduduk Indonesia.39 Ibid, hal.34.40 Loc.cit

18

dalam kaitannya dengan pemahaman kedaulatan rakyat itu sendiri. Khasanahpemaahaman maupun perspektif seseorang dalam memotret kedaulatan rakyat sudahbarang tentu tidak dapat dikatakan satu sama lain serupa dan identik. Namun, denganmenggali secara umum latar belakang kedaulatan rakyat sebelum kemerdekaan Indonesiasetidaknya menunjukkan betapa alotnya perdebatan, yang menurut hemat penulis masihsarat dengan idealisme dan kepentingan bangsa. Hanya sekedar tambahan, selain nilaifilosofis, historis dan sosiologis yang dapat diserap tetapi perlu juga di contoh semangatnasionalisme yang tinggi yang relatif steril dari kekuasaan, kekuatan uang dan anasir-anasir lainnya.

F. Pembatasan Konsep Konstitusi dan Kedaulatan Rakyat

Prof. Padmo Wahyono, S.H. menyatakan bahwa konstitusi adalah seperangkatperaturan yang mengatur mengenai tata cara bernegara suatu bangsa. Dengan kata lainkonstitusi itu memuat atau menggambarkan bagaimana keadaan organisasi suatunegara.41 Pendapat lain menyatakan bahwa istilah konstitusi pada umumnya digunakanuntuk menggambarkan keseluruhan sistem ketatanegaraan yaitu berupa kumpulanperaturan yang membentuk, mengatur atau memerintah negara, baik yang tertulis maupuntidak tertulis.42 Dalam praktek kenegaraan istilah konstitusi (verfassung) sering diartikansama dengan Undang-Undang Dasar (Grundgesetz). Hal ini terjadi karena pengaruhfaham kodifikasi yang menghendaki semua peraturan hukum harus tertulis untukmencapai kesederhanaan, kesatuan dan kepastian hukum. Pada dasarnya konstitusimempunyai pengertian yang lebih luas dari Undang-Undang Dasar karena meliputiperaturan-peraturan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis.

Secara teoritis kita mengenal ada dua sifat konstitusi, yaitu konstitusi yangfleksibel (luwes) dan konstitusi yang rigid (kaku). Mengenai ukuran apakah suatukonstitusi bersifat luwes atau kaku adalah masalah apakah konstitusi tersebut mudah atautidak dirubah dan apakah mudah atau tidak mengikuti perkembangan zaman.

1. Cara merubah konstitusi. Pada hakekatnya konstitusi merupakan hukum dasaryang tingkatannya merupakan hukum tertinggi bagi peraturan-peraturan hukumlainnya. Oleh karena itu untuk merubahnya memerlukan suatu prosedur yangharus diatur dengan teliti dan bahwa rakyat memang menganggap betul-betulperlu untuk mengadakan perubahan. Menurut Strong apabila suatu Undang-Undang Dasar memuat suatu prosedur perubahan yang sama dengan undang-undang biasa disebut bersifat fleksibel/luwes. Sedangkan Undang-Undang Dasaryang mengatur cara perubahan yang khusus berbeda dengan cara perubahanundang-undang, disebut bersifat rigid/kaku. 43

2. Mudah atau tidak mengikuti perkembangan zaman. Apabila suatu Undang-Undang Dasar memuat ketentuan-ketentuan yang bersifat pokok-pokok saja,

41 Prof.Padmo Wahyono, SH., Negara Republik Indonesia, cet.2, ( Jakarta : CV. Rajawali, 1986 ), hal.67.

42 Drs.Rozikin Daman, Hukum Tata Negara, cet.1, ( Jakarta : PT.Raja Grafindo Persada, 1993 ), hal. 88.43 Prof. Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cet.14, (Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama,1992), hal. 114.

19

maka Undang-Undang Dasar tersebut akan mudah mengikuti perkembanganzaman. Hal ini karena untuk pengaturan lebih lanjut dari ketentuan-ketentuanpokok tersebut dapat diserahkan pada ketentuan yang lebih rendah yang lebihmudah proses pembuatan dan perubahannya. Dalam hal ini Undang-UndangDasar tersebut bersifat fleksibel. Selanjutnya, suatu Undang-Undang Dasaradakalanya selain memuat hal-hal yang pokok juga mengatur hal-hal yangdianggap penting. Ukuran penting itu sendiri sifatnya amat relatif dan temporerkarena sering berubah-ubah. Apa yang sekarang dianggap penting mungkin dalamwaktu singkat menjadi tidak penting, sehingga Undang-Undang Dasar terpaksaharus sering mengalami perubahan. Akibatnya kewibawaan dari Undang-UndangDasar menjadi merosot. Selain itu setiap perubahan yang dikehendaki oleh rakyattidak dapat segera terlaksana, karena harus diikuti dengan perubahan Undang-Undang Dasar yang memerlukan prosedur yang khusus. Dengan demikianUndang-Undang Dasar menjadi sulit mengikuti perkembangan masyarakat danbersifat rigid/kaku.

Selain kedua ukuran di atas, suatu Undang-Undang Dasar diartikan fleksibel ataukaku juga ditentukan oleh adanya kekuatan yang nyata dalam masyarakat yangmerupakan suatu pengertian politis. Apabila kekuatan penguasa menghendaki suatuperubahan terhadap Undang-Undang Dasar, maka meskipun Undang-Undang Dasartersebut bersifat rigid tetap akan diadakan perubahan. Sebaliknya meskipun suatuUndang-Undang Dasar bersifat fleksibel akan tetapi pihak penguasa tidak menghendakiperubahan, maka tidak akan ada perubahan. Dengan demikian apabila kekuatan politisyang ada mampu bertahan lama sehingga Undang-Undang Dasar tetap bertahan dan tidakpernah mengalami perubahan, maka Undang-Undang Dasar tersebut bersifat rigid/kaku.Akan tetapi apabila dalam kondisi kekuatan politis yang ada Undang-Undang Dasarsering mengadakan perubahan untuk mengikuti perkembangan dalam masyarakat, makaUndang-Undang Dasar tersebut bersifat fleksibel/luwes.

Konsepsi kedaulatan rakyat yang akan dibahas dalam tulisan ini dibatasi padakedaulatan internal dalam arti hubungan antara rakyat dengan penyelenggara negara.Dengan demikian, konsep kedaulatan rakyat yang bersifat eksteranal, dalam hubunganantara negara Republik Indonesia yang berdaulat dengan negara berdaulat lainnya tidakakan disinggung disini, karena merupakan objek ilmu Hukum Internasional.44

1. Konsep kedaulatan rakyat

Sebelum dibahas lebih jauh perlu kiranya kita mengkaji kembali teori kedaulatanrakyat. Teori Kedaulatan dalam khazanah ilmu negara merupakan teori yangsangat penting. Seluruh pembicaraan mengenai kekuasaan suatu institusi besaryang disebut sebagai negara mau tidak mau harus membicarakan hal ini dalamperkembangannya. Pertanyaan sentral dalam teori ini adalah siapakah atau apakahyang memiliki kekuasaan tertinggi dalam suatu negara, siapa atau apa pula

44 Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi dan Pelaksanaannya diIndonesia, cet.1, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1994), hal.5.

20

instrumen yang melaksanakan kedaulatan ini dalam kondisi faktualnya sehinggakeberadaan suatu negara dapat berjalan efektif.45

Teori kedaulatan rakyat ini lahir secara kontroversial dalam panggung politiksejarah kekuasaan negara. Bagaimana mungkin “rakyat” dapat berkuasa atasdirinya sendiri dan dapat memerintah dirinya sendiri? Dalam zaman yang hanyadilingkupi oleh kekuasaan para penguasa yang menyebut dirinya sebagai raja,maka pemikiran untuk menempatkan rakyat sebagai penguasa tertinggi ataupemegang kedaulatan adalah suatu pikiran yang gila dan mustahil. Namundemikian gagasan kedaulatan rakyat ini kemudian terus berkembang dalamdiskusi teori kenegaraan dan juga praktek trial and error baik di Perancis,Amerika, hingga akhirnya diikuti oleh hampir seluruh negara di dunia. Arus derasdemokrasi telah merombak struktur monarkhi, minimal menjadi monarkhiparlementer atau menjadi hancur sama sekali digantikan dengan sistem RepublikDemokrasi.

Timbulnya teori kedaulatan rakyat ini jelas sebagai reaksi atas teori kedaulatanraja yang kebanyakan menghasilkan tirani dan kesengsaraan bagi rakyat. Bapakteori kedaulatan rakyat ini adalah Jean Jacques Rousseau yang menggemakankekuasaan rakyat lewat bukunya “Du Contract Social”. Dalam teori fiksinyamengenai “perjanjian masyarakat” (Kontrak sosial), ia menyatakan bahwa dalamsuatu negara, natural liberty telah berubah menjadi civil liberty dimana rakyatmemiliki hak-haknya. Kekuasaan rakyat sebagai yang tertinggi dalam hal inimelalui perwakilan yang berdasarkan suara terbanyak (general will volontegenerale). Volonte generale harus berdasarkan kepentingan dari golongan yangterbanyak. Jadi apabila hanya kepentingan satu golongan yang diutamakan,walaupun mendapat suara terbanyak (general), maka bukan menjadi apa yangdisebut kepentingan umum.46 Ajaran Rousseau ini terlalu murni, sedangkan apayang dikatakan oleh Rousseau sebagai keputusan dari suara terbanyak (mayoritas)yang membawakan kepentingan umum, tidak pasti selalu benar. Apa yangdidukung oleh suara terbanyak itu tidak lagi mempersoalkan tentang kebenaranyang hendak dikejar melainkan mempersoalkan tentang menang atau kalah.Disinilah letak penyelewengan dari sistem mayoritas yang tidak mengejarkebenaran lagi, melainkan mengejar kemenangan.47

Sejarah telah membuktikan tentang latar belakang lahirnya teori kedaulatan rakyatberikut perkembangan teori-teorinya yang terjadi. Semestinya pengundang-undang turut menyikapi fakta-fakta tersebut secara bijak agar tidak terjadipemanfaatan kepentingan kelompok tertentu dalam mencapai kekuasaan, maupunalasan lainnya. Uraian singkat di atas bertujuan untuk sekedar memberikan

45 Tim Pengajar Ilmu Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Teaching Material Ilmu Negara –2001, hal 97.46 Padmo Wahjono, SH., Kuliah-Kuliah Ilmu Negara, cet. 1, (Jakarta : Ind.-Hill-Co, 1966); hal.163.

47 Moh.Kusnadi dan Bintan R. Saragih, Ilmu Negara, cet.3,(Jakarta: Gaya Media Pratama, 1988),hal.125.

21

perspektif lain dan oleh karenanya terhadap perumusan perubahan UUD 1945dimaksud penulis menyikapinya sebagai suatu hal yang terlalu prematur dankurang diperhatikannya latar belakang historis atau bahkan oleh sementarakalangan dikatakan sebagai upaya pemenggalan sejarah terhadap perumusan pasalUUD 1945.

Para founding fathers sebelumnya telah mewaspadai bahwa tidak semuamasyarakat Indonesia memiliki pengetahuan, pemahaman, wawasan tentangkonsep kenegaraan. Oleh karenanya diberikan suatu koridor lainnya dalammengaplikasikan manifestasi kedaulatan rakyat tersebut dalam mekanismeperwakilan, dimana penulis akan membahasnya lebih lanjut dalam bagian 2 dibawah ini.

Perlu untuk diperhatikan kembali secara seksama apakah dengandimanifestasikannya kedaulatan rakyat pada individu-individu masyarakattersebut bertujuan untuk menciptakan suatu perjanjian masyarakat dalam bentukbaru ataukah berkaitan dalam penentuan besarnya kecilnya jumlah wakil rakyatdalam lembaga pemerintahan? Paradigma semacam ini sebenarnya dapatdiperdebatkan sehubungan dengan tingkat kesadaran hukum masyarakatIndonesia, yang apabila dilihat berdasarkan keseluruhan jumlah pendudukIndonesia yang ada, maka tingkat pemahaman hukum masih tidak merata, bahkandi bagian wilayah negara Republik Indonesia masih ada yang menganut alirananimisme dan dinamisme. Pertanyaan selanjutnya apakah pasal tersebut telahmencerminkan kondisi aktual masyarakat Indonesia yang sesungguhnya.

Kendala signifikan yang ada pada masyarakat Indonesia secara global berkenaandengan tingkat kesadaran hukum yang rendah. Kondisi semacam ini telahdiketahui secara umum oleh masyarakat luas, dimana hukum tidak dapat berjalansecara efektif karena faktor-faktor antara lain manipulasi bidang hukum baikdalam bentuk korupsi, kolusi maupun nepotisme, tetapi disamping itu jugadikarenakan tingkat pengetahuan dan pemahaman hukum masyarakat yang sangatrendah. Oleh karenanya pengundang-undang dapat mengadopsi sistem ataupunperundang-undangan yang telah baku pada suatu negara dan diterapkan dalamperaturan perundang-undangan di Indonesia, tetapi dengan turutmempertimbangkan faktor-faktor tersebut di atas yang termasuk dalam kategoripermasalahan sosiologis dan antropologis bangsa Indonesia.

2. Implementasi kedaulatan rakyat

Perlu untuk diperhatikan bahwa teori perwakilan erat kaitannya dengan masalahkedaulatan rakyat dan demokrasi. Dalam zaman modern kekuasaan rakyat tidaklagi dilaksanakan secara langsung, tetapi disalurkan melalui lembaga perwakilansebagai realisasi pelaksanaan sistem demokrasi tidak langsung.48 Secara umumkita mengenal lembaga perwakilan dengan sebutan Parlemen atau Dewan

48 Tim Pengajar Ilmu Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Teaching Material Ilmu Negara –2001, hal 139.

22

Perwakilan Rakyat. Apabila menilik terhadap teori tentang implementasikedaulatan rakyat berdasarkan Undang-Undang Dasar perlu diperhatikan lagi,apakah Undang-Undang Dasar merupakan perwujudan dari lembaga perwakilan.Oleh karenanya perlu untuk diperhatikan dalam menyikapi lembaga perwakilanini dengan mengetahui adanya penggolongan dalam masyarakat terdiri ataspenggolongan yang formal dan non formal. Termasuk dalam penggolonganformal adalah Partai Politik dan Golongan Fungsional. Banyak sarjana yangmemberikan rumusan tentang partai politik. Akan tetapi secara umum partaipolitik diartikan sebagai sekelompok anggota masyarakat yang terorganisir secarateratur berdasarkan ideologi dan program tertentu, dimana ada keinginan dari parapimpinannya untuk mendapatkan kekuasaan negara terutama kekuasaan eksekutifmelalui cara-cara konstitusional.Untuk itu diadakan seleksi kepemimpinan secarateratur dan berkala. 49

Beberapa sistem partai yang kita kenal, misalnya sistem satu partai yang menurutDuverger menyebabkan konsentrasi kekuasaan. Tidak mengherankan apabilasistem partai tunggal ini dianut oleh negara Komunis dan negara-negara autokrasi.Selain itu ada sistem dwi partai dan sistem multi partai. Sistem dwi partai apabiladalam suatu negara hanya terdapat dua partai politik yang dominan dalammengendalikan pemerintahan. Sistem ini terutama terdapat pada sistemparlementer, yang pemerintahannya sangat stabil karena mendapat dukunganmayoritas di parlemen, dan yang tidak memerintah menjadi partai oposisi.Sedangkan dalam sistem multi partai, banyak aspirasi masyarakat yang terwakilitetapi biasanya pemerintahannya labil karena sulit mendapat dukungan mayoritasdi parlemen. 50

Golongan fungsional adalah anggota masyarakat yang mempunyai keahlian,jabatan atau mempunyai fungsi tertentu dalam masyarakat. Umumnya merekatermasuk dalam kelompok yang tidak pandai berpolitik, misalnya seniman, ulama,buruh, dan sebagainya. Biasanya mereka menjadi anggota badan perwakilanmelalui cara pengangkatan. Karena mereka tidak pandai berpolitik, maka merekaakan sulit terpilih bila melalui cara pemilihan.51

Demikian halnya dengan masyarakat Indonesia yang belum memilikipengetahuan tentang kedaulatan tersebut turut terwakili didalamnya. Namunberbeda halnya dengan muatan perubahan pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang secarategas menyatakan tentang implementasi kedaulatan rakyat adalah dilaksanakanmenurut Undang-Undang Dasar. Sebagaimana telah terlebih dahulu diuraikandalam bagian definisi tentang arti Undang-Undang Dasar, tetapi hal yang palingmendasar adalah tentang sumirnya konsep perwakilan dalam amandemen UUD1945.

49 Moh.Kusnardi,S.H. dan Bintan Saragih,S.H., Ilmu Negara. Cet.3, (Jakarta: Gaya Media Pratama,1994), hal. 267.50 Ibid, hal. 269.51 Op.Cit, h.151.

23

Selayaknya orang awam, maka timbul pertanyaan-pertanyaan yang antara lainadalah bagaimana pelaksanaan konkrit konsep kedaulatan rakyat? Siapa (dalamarti luas) yang akan menjalankannya? Apakah Undang-Undang Dasar telahmewakili kepentingan seluruh masyarakat atau hanya untuk kepentingangolongan tertentu saja? Apabila terdapat penyimpangan dan tidak terpenuhinyaaspirasi masyarakat Indonesia dalam konteks sebagai pemegang kedaulatantertinggi dalam negara, maka siapa yang akan bertanggung jawab? Apakahsemangat kedaulatan rakyat sebagaimana yang dicita-citakan pada awal sebelumterbentuknya negara Republik Indonesia dalam tatanan kolektivitas danterjaganya kelestarian budaya masyarakat tetap terjaga dan terpelihara denganbaik? Sebenarnya masih banyak pertanyaan-pertanyaan lainnya yang timbul danmasyarakat perlu untuk memperoleh klarifikasi lebih lanjut.

Terhadap penjelasan di atas diasumsikan perumusan pasal tersebut denganbersandarkan pada pemikiran bahwa Indonesia adalah negara yang berdasar atas hukumdengan anggapan bahwa pola yang diambil tidak menyimpang dari pengertian negarahukum pada umumnya, dimana timbul pertanyaan apakah dalam konteks tersebut telahsepenuhnya disesuaikan dengan keadaan Indonesia. Tidak terlepas dari keadaan tersebutdi atas, maka hal yang penting untuk diperhatikan adalah tentang aspek seberapa jauhsuatu undang-undang dasar dapat sepenuhnya merepresentasikan danmengimplementasikan kedaulatan masyarakat Indonesia dengan berbagai permasalahanyang multidimensi secara murni dan konsekwen. Meskipun sampai saat ini belum terjadisuatu gejolak yang mempengaruhi stabilitas kenegaraan secara mencolok sehubungandengan perubahaan UUD 1945 ini, tetapi kondisi ini menurut hemat penulis merupakansalah satu hal yang perlu untuk diwaspadai.

Mengutip Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas HukumUniversitas Indonesia yang disampaikan oleh Prof. Padmo Wahjono, S.H., tentangIndonesia ialah negara yang berdasar atas hukum berkenaan dengan pembahasan ini,yaitu didalam teori kenegaraan, pada pengertian rechtstaat sering dikaitkan denganpengertian “demokratis”. Sehingga merupakan sesuatu yang ideal dalam bernegara, ialahpola “Negara Hukum yang Demokratis” (demokratise rechtstaat), rumusan mana pernahdipakai dalam konstitusi R.I.S. dan Undang-Undang Sementara tahun 1950, suaturumusan yang lazim didunia barat dalam suatu sistem parlementer. Inti perumusan iniialah bahwa hukum yang berlaku dalam suatu Negara Hukum, haruslah yang terumussecara demokratis, yaitu memang dikehendaki oleh rakyat.

Hal yang juga berkembang dalam khasanah teori kedaulatan ini adalah dimanaglobalisasi dan interdepedensi yang semakin kuat di antara negara-negara di dunai saatini akibat kemajuan teknologi informasi dan instrumen ekonomi yang terus berkembang.Sehingga kedaulatan menjadi semakin relatif dalam kaitannya dengan masalah hubunganinternasional. Kedaulatan kedalam yang berlaku kuat selama ini telah direlatifisir olehadanya konsep otonomi daerah dan federalisme. Sedangakan kedaulatan keluar dari suatunegara pada saat ini direlatifisir oleh hukum-hukum internasional dan konsep Hak AsasiManusia (HAM) yang universal. Kedaulatan suatu negara menjadi relatif diantarakekuatan entitas-entitas lain yang dapat pula menjadi “state actors” sebagaimanamultinational corporation dan organisasi internasional pada saat ini.

Hal lain yang berkenaan dengan ajaran teori kedaulatan adalah sebagai berikut:

24

1. Ajaran mengenai dasar kedaulatan ini biasanya dihubungkan dengan prinsip-prinsip bernegara. Ajaran ini mempunyai pengaruh pula pada persoalan sendipemerintahan, seperti soal desentralisasi. Hubungan teori kedaulatan hukumdengan struktur organisasi negara adalah pada peraturan dasar hukum umum yangdituangkan dalam format Undang-Undang Dasar atau Konstitusi.

2. Ajaran kedaulatan ini juga dijadikan dasar dalam mempertahankan bentuk negara.Misalnya, ajaran atau faham kedaulatan rakyat yang dikenal dalam ideademokrasi itu menjadi karakter dalam bentuk yang dilawankan dengan bentukmonarki (kedaulatan raja) atau diktatur. Jadi seringkali demokrasi tidak diartikanhanya sebatas idea atau konsep melainkan juga menjadi suatu bentuk negara,yaitu bentuk negara demokrasi.

3. Sumber-sumber kewibawaan penguasa negara seringkali disandarkan pada ajarankedaulatan pula. Kewibawaan kharismatik bisa muncul dari titisan kedaulatanTuhan dan bereaksi pada teori kedaulatan Raja. Namun kewibawaan rasionalmuncul dari jabatan kekuasaan negara yang diperoleh dari proses pemilihan yangdemokratis dan didukung oleh rakyat banyak.

Menurut pandangan Prof. Jimly Asshidiqie, S.H., dalam tulisannya KonsolidasiNaskah UUD 1945 Setelah Perubahan Keempat menyatakan bahwa perubahan Pasal 1ayat (2) berdasarkan perubahan ketiga dari rumusan aslinya yang aslinya berbunyi, yangsecara khusus mengatur tentang kedaulatan dan perwakilan, dimana isi daripada Pasal 1ayat (2) versi amandemen 3 adalah “kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilakukansepenuhnya oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat”. Dengan perubahan ini MajelisPermusyawaratan Rakyat tidak lagi memiliki kedudukan yang eklusif sebagai satu-satunya instansi pelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat. Majelis PermusyawaratanRakyat tidak lagi sepenuhnya melakukan kedaulatan rakyat. Karena disamping MajelisPermusyawaratan Rakyat ada pula lembaga-lembaga negara lain yang juga merupakanpelaku atau pelaksana kedaulatan rakyat, misalnya presiden yang dipilih secara langsungoleh rakyat adalah juga pelaksana kedaulatan rakyat.

Demikian pula dengan dalam hal-hal tertentu, seperti perubahan materi tertentudari Undang-Undang Dasar, sebelum dilakukan perubahan berdasarkan prosedur melaluikelembagaan Majelis Permusyawaratan Rakyat, dapat pula ditentukan diadakannyareferendum untuk memintakan terlebih dahulu persetujuan rakyat berkenaan denganrencana perubahan tersebut. Dengan adanya lembaga referendum ini, berarti MajelisPermusyawaratan Rakyat juga tidak dapat lagi disebut sebagai pelaksana kedaulatanrakyat dengan kewenangan yang bersifat mutlak. Ordening subject atau dimana locus ofsovereignty berada tidak disebutkan lagi secara tegas, karena sifatnya tidak lagi tunggal,dan lagi pula dapat dimengerti dengan membaca pasal-pasal lain berkenaan denganpelaksanaan kedaulatan rakyat itu. Bukankan memahami Undang-Undang Dasar tidakboleh hanya terpaku pada satu pasal saja? Dilain segi, yang juga penting ditegaskandalam pasal di atas adalah bahwa kedaulatan rakyat itu dilakukan menurut Undang-Undang Dasar atau berdasarkan ketentuan konstitusi. Dalam praktek kedaulatan rakyatbisa saja tidak dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Karena itu, disiniditegaskan dianutnya prinsip constitutional democracy (demokrasi konstitusional) yangpada pokoknya tidak lain dari prinsip Negara Demokrasi yang berdasar atas hukum

25

sebagai sisi lain dari mata uang yang sama dengan prinsip negara hukum yangdemokratis (demokratische rechtsstaat) yang sama-sama dianut dalam UUD 1945.52

Menurut hemat penulis sangat menarik uraian yang dipaparkan oleh Prof. Jimlytersebut di atas untuk dilihat dari perspektif yang berbeda. Sebagaimana jika ditinjausecara tradisional masalah bentuk negara menurut teori Aristoteles. Ia mengemukakanteori kuantitas yaitu bentuk negara berdasar pada jumlah orang yang memerintah danmerupakan bentuk yang ideal. Selain itu Aristoteles juga mengemukakan teori kualitasyang merupakan pemerosotan bentuk negara ditinjau dari sudut kualitas orang yangmemerintah. Artinya apakah ia memerintah untuk kepentingan umum atau untukkepentingan sendiri/kelompok. Menurut Aristoteles ada tiga bentuk negara berdasarjumlah orang yang yang memerintah, yaitu:

1. Monarkhi/Kerajaan, yaitu pemerintahannya dilaksanakan oleh satu orang untukkepentingan seluruh rakyat. Apabila orang yang memerintah kemudianmelaksanakan pemerintahan untuk kepentingannya sendiri maka bentuk monarkhiberubah atau merosot menjadi tirani/diktatur.

2. Aristokrasi, yaitu pemerintahan oleh sekelompok orang misalnya para ahli filsafatatau para cendekiawan yang merupakan orang yang baik-baik, dan melaksanakanpemerintahan untuk kepentingan rakyat. Apabila sekelompok orang yangmemerintah ini melaksanakan pemerintahan untuk kepentingan kelompoknyasendiri, maka bentuk aristokrasi akan merosot menjadi Oligarchie. Dalam hal inipemerintahan dilaksanakan untuk kepentingan orang-orang yang kaya, dan bentukpemerosotannya adalah Plutokrasi.

3. Politeia, yaitu pemerintahan oleh seluruh orang untuk kepentingan seluruh rakyat.Apabila pemerintahan dilaksanakan oleh orang-orang yang sama sekali tidak tahumasalah pemerintahan, maka bentuk politeia akan berubah/merosot menjadiDemokrasi53.

Penulis dalam hal ini menilik pada uraian butir ketiga, dimana dikatakan olehAristoteles bahwa Demokrasi adalah bentuk pemerosotan dari Politeia, hal ini terjadidikarenakan pada tatanan demokrasi tersebut dapat dibayangkan apabila satu individudengan individu yang lain saling beranggapan bahwa dirinyalah yang lebih memahamitentang apa itu demokrasi. Sehingga yang tercipta adalah kekacauan dan bukannyaketertiban. Hanya terminologi demokrasi lebih akrab untuk didengar oleh masyarakatawam sekalipun. Bahkan orang yang mengatakan paling demokrasi justru orang tersebutadalah orang yang paling tidak demokrasi, dan tidak jarang dari mereka-mereka tersebutberdalih dan menggunakan konstitusi sebagai dasar pembenarnya. Politeia dalamperwujudannya dapat tercipta pada masyarakat yang telah memiliki tingkat kesadaranhukum yang sangat tinggi dan sudah barang tentu didukung dengan pemerataanpendidikan dan tingkat keterpelajaran masyarakat yang relatif tinggi. Berbeda denganmasyarakat Indonesia yang tidak merata persebaran pendidikannya dan secara geografisdipisahkan oleh perairan laut, dan latar belakang suku bangsa perlu untuk diperhatikan

52 Prof., Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar 1945 SetelahPerubahan Keempat, (Pusat Studi Hukum Tata Negara, Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002),hal.2-3.53 Padmo Wahjono,SH., Kuliah-Kuliah Ilmu Negara, cet.1, (Jakarta: Ind-Hill-Co,1966), hal.130.

26

secara seksama dalam perubahan ini, serta tingkat kesadaran hukum masyarakatIndonesia saat ini dalam kondisi yang sangat memprihatinkan. Sementara itu konsepreferendum yang ditawarkan dinamikanya akan dirasakan optimal pada masyarakathukum, yang tingkat kesadaran hukumnya tinggi, sistem hukumnya berjalan dengan baikdan tercipta sinergi yang positif antara rakyat dengan pemerintah, layaknya di Swiss.

G. Kesimpulan

1. Pentingnya pemahaman seseorang akan wawasan kenegaraan dan latarbelakangsejarah undang-undang dasar, berikut segala perubahan yang telah terjadimerupakan salah satu hal yang signifikan diperlukan dalam rangka melakukanperubahan-perubahan undang-undang dasar di masa mendatang.

2. Pemahaman parsial seseorang akan UUD 1945 sesuatu hal pada umumnya akanmenimbulkan dampak terkungkungnya, tercerai berainya atau putusnya aspekhistoris dari UUD 1945 itu sendiri, terutama dalam hal mencoba memahami idedari para founding fathers, yang mencoba memberikan rumusan secara seksamadengan melihat pada aspek filosofis, historis dan sosiologis masyarakat Indonesiasecara hakiki.

3. Tingkat pemahaman masyarakat selain perlu diperhatikan juga membutuhkanadanya pengayoman secara bijak dari para arsitek dan pengundang-undang dalammerumuskan pasal-pasal dalam suatu peraturan perundang-undangan, karenaapabila dikaji secara mendalam setiap pasal, bahkan kata, dalam suatu pasalmemiliki keterkaitan substansiil dengan pasal lainnya, yang sudah barang tentumemiliki keterkaitan yang sangat erat dengan bangsa Indonesia, dan olehkarenanya tidak dapat dirumuskan secara sembarang atau berdasarkankepentingan individu, kelompok, golongan atau kekuasaan tertentu.

4. Perlu diperhatikan maksud dan dampak dari perumusan pasal-pasal dalamamandemen UUD 1945, dalam konteks sejarah, kekinian dan masa depan, gunamenjaga keutuhan dan kesinambungan negara Republik Indonesia, dalammenyikapi perubahan yang dilakukan sudah barang tentu bertujuan untukmembawa perbaikan, namun apabila tidak demikian halnya, maka generasimendatanglah yang akan menjadi kehilangan pedoman, mengingat saat ini dapatdirasakan telah sedikit demi sedikit rasa nasionalisme di generasi muda telahterkikis, dan ini sebenarnya perlu diperhatikan karena mereka kelak jugamerupakan aktor sejarah maju atau mundurnya bangsa Indonesia.

5. Penjelasan terhadap setiap pasal yang tidak diuraikan secara jelas akan memilikikemungkinan timbulnya multi-interpretasi atau mengakibatkan tidak jelasnyapemahaman atas suatu pasal tertentu, mengingat tidak semua masyarakatIndonesia mengetahui makna yang tersirat dalam setiap uraian pasal yang tersurat.

27

DAFTAR PUSTAKA

1. Asshiddiqie, Jimly, Dr., S.H., Gagasan Kedaulatan Rakyat dalam Konstitusi danPelaksanaannya di Indonesia, cet.1, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve,1994).

2. Asshiddiqie, Jimly, Prof., Dr., S.H., Konsolidasi Naskah Undang-Undang Dasar1945 Setelah Perubahan Keempat, (Pusat Studi Hukum Tata Negara,Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2002).

3. Budiardjo, Miriam, Prof., Dasar-Dasar Ilmu Politik. Cet.4, Jakarta : PT GramediaPustaka Utama, 1992.

4. Daman, Rozikin, Drs., Hukum Tata Negara. Cet.1, Jakarta : PT Raja GrafindoPersada

5. Himpunan Risalah Sidang-sidang Badan Penyelidik Usaha PersiapanKemerdekaan Indonesia (BPUPKI) dan Panitia Persiapan KemerdekaanIndonesia (PPKI) yang berhubungan dengan Penyusunan Undang-UndangDasar 1945.

6. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Kedua, Departemen Pendidikan danKebudayaan, Cet.3, Jakarta : PT Balai Pustaka : 1994.

7. Kusnardi, Moh., S.H., dan Bintan Saragih, S.H., Ilmu Negara. Cet.3, Jakarta :Gaya Media Pertama.

8. Maria Farida Indrati Soeprapto, Kedudukan dan Materi-Muatan PeraturanPemerintah Pengganti Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, danKeputusan Presiden Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan Negara diRepublik Indonesia, Ringkasan Disertasi, Program Pascasarjana, FakultasHukum, Universitas Indonesia – 2002.

9. Samidjo, SH. Ilmu Negara. cet. 1. Bandung : CV Amico, 1992.10. Suradji, H., S.H., Pularjono dan Tim Redaksi Tata Nusa., Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia UUD 1945 beserta Perubahan ke-I, II, III &IV dilengkapi dengan Dekrit 5 Juli 1959, Piagam Jakarta, UUDSementara, Konstitusi RIS cet.1, Jakarta : PT. Tata Nusa, 2002.

11. Tim Pengajar Ilmu Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, TeachingMaterial Ilmu Negara – 2001.

12. Wahjono, Padmo, SH. Kuliah-Kuliah Ilmu Negara. Cet. 1. Jakarta : Ind-Hill-Co,1996.

13. Wahyono, Padmo, Prof., S.H., Indonesia ialah Negara yang Berdasar atas Hukum,Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar pada Fakultas Hukum UniversitasIndonesia, 17 Nopember 1979.

14. Wahyono, Padmo, Prof., S.H., Negara Republik Indonesia. Cet.2. Jakarta : CV.Rajawali, 1986.