kedaulatan 2

22
1 BAB I. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Kedaulatan merupakan masalah yang sangat pokok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena adanya pengakuan kedaulatan oleh negaranegara lain, berarti eksistensi suatu negar Maka dengan adanya landasan kedaulatan tersebut, suatu negara dapat menjalankan berbagai macam hubungan dan jalinan kerjasama dengan negara-negara maupun lembaga-lembaga internasional untuk lebih meningkatkan kepentingan nasional dan kemajuan bangsanya. Kedau atau Souvereign memiliki sinonim kemerdekaan dan persamaan, yang berarti bahwa setiap neg bebas untuk mengelola urusan dalam dan luar negerinya masing-masing tanpa campur tangan p lain atau negara lain. Prinsip persamaan kedaulatan, penghormatan terhadap integritas wilayah dan kemerdekaan po negara-negara, serta tidak turut campur urusan dalam negeri negara-negara lain dengan jel tercantum di dalam Piagam PBB, Dengan kata lain kedaulatan merupakan salah satu “tiang” pen bagi PBB. Negara anggota PBB mendapat jaminan bahwa kedaulatan negaranya terlindungi, tet juga berkewajiban untuk patuh pada prinsip dan tujuan PBB. Kedaulatan sendiri mempunyai 2 pengertian yaitu Pengertian Negatif dan Positif, Pengertia Negatif adalah bahwa negara tidak tunduk pada ketentuan Hukum Internasional dan kekuasaan apapun dan darimanapun datangnya tanpa persetujuan negaranya. Sedangkan, Pengertian Posit bahwa kedaulatan memberikan pimpinan yang tertinggi atas rakyatnya dan memberi wewenang penuh untuk mengekploitasi sumber-sumber alam yang ada di negaranya Beberapa pemikiran mengenai kedaulatan dan pemegang kedaulatan suatu negara setelah revol Perancis dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam karyanya Du Contrat Social Ou Principes Du Droit Politique ( Mengenai Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hak Politik ) membagi tingkat kedaulatan menjadi dua yaitu de facto dan de jure. Potensi strategis dalam segala aspek kehidupan bernegara dan berbangsa antara negara yang berbatasan wilayahnya akan menjadi suatu permasalahan bila tidak ada upaya untuk menginventarisir, mengkaji, merumuskan inti permasalahan, dan menindaklanjuti dengan suat bentuk perjanjian bersama serta membuat/memyusun kebijakan untuk mengatur wilayah masing- masing negara. Kedaulatan territorial sangat penting bagi suatu negara, karena sebagaimana memiliki arti kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan jurisdiksi eksklusif di wil Didalam wilayah inilah negara memiliki wewenang untuk melaksanakan hukum nasionalnya. Hakim Huber dalam kasus yang terkenal The Island of Palmas mengungkapkan bahwa dalam kaitannya dengan wilayah ini, kedaulatan mempunyai dua ciri yang sangat penting : 1. Kedaulatan merupakan prasyarat hukum untuk adanya suatu negara

Upload: fauzi-rahman

Post on 21-Jul-2015

222 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

BAB I. Pendahuluan1.1 Latar Belakang Kedaulatan merupakan masalah yang sangat pokok dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Karena adanya pengakuan kedaulatan oleh negaranegara lain, berarti eksistensi suatu negara diakui. Maka dengan adanya landasan kedaulatan tersebut, suatu negara dapat menjalankan berbagai macam hubungan dan jalinan kerjasama dengan negara-negara maupun lembaga-lembaga internasional untuk lebih meningkatkan kepentingan nasional dan kemajuan bangsanya. Kedaulatan atau Souvereign memiliki sinonim kemerdekaan dan persamaan, yang berarti bahwa setiap negara bebas untuk mengelola urusan dalam dan luar negerinya masing-masing tanpa campur tangan pihak lain atau negara lain. Prinsip persamaan kedaulatan, penghormatan terhadap integritas wilayah dan kemerdekaan politik negara-negara, serta tidak turut campur urusan dalam negeri negara-negara lain dengan jelas tercantum di dalam Piagam PBB, Dengan kata lain kedaulatan merupakan salah satu tiang penegak bagi PBB. Negara anggota PBB mendapat jaminan bahwa kedaulatan negaranya terlindungi, tetapi juga berkewajiban untuk patuh pada prinsip dan tujuan PBB. Kedaulatan sendiri mempunyai 2 pengertian yaitu Pengertian Negatif dan Positif, Pengertian secara Negatif adalah bahwa negara tidak tunduk pada ketentuan Hukum Internasional dan kekuasaan apapun dan darimanapun datangnya tanpa persetujuan negaranya. Sedangkan, Pengertian Positif, bahwa kedaulatan memberikan pimpinan yang tertinggi atas rakyatnya dan memberi wewenang penuh untuk mengekploitasi sumber-sumber alam yang ada di negaranya Beberapa pemikiran mengenai kedaulatan dan pemegang kedaulatan suatu negara setelah revolusi Perancis dikemukakan oleh Jean-Jacques Rousseau dalam karyanya Du Contrat Social Ou Principes Du Droit Politique (Mengenai Kontrak Sosial atau Prinsip-prinsip Hak Politik) membagi tingkat kedaulatan menjadi dua yaitu de facto dan de jure. Potensi strategis dalam segala aspek kehidupan bernegara dan berbangsa antara negara yang berbatasan wilayahnya akan menjadi suatu permasalahan bila tidak ada upaya untuk menginventarisir, mengkaji, merumuskan inti permasalahan, dan menindaklanjuti dengan suatu bentuk perjanjian bersama serta membuat/memyusun kebijakan untuk mengatur wilayah masingmasing negara. Kedaulatan territorial sangat penting bagi suatu negara, karena sebagaimana memiliki arti yaitu kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan jurisdiksi eksklusif di wilayahnya. Didalam wilayah inilah negara memiliki wewenang untuk melaksanakan hukum nasionalnya. Hakim Huber dalam kasus yang terkenal The Island of Palmas mengungkapkan bahwa dalam kaitannya dengan wilayah ini, kedaulatan mempunyai dua ciri yang sangat penting : 1. Kedaulatan merupakan prasyarat hukum untuk adanya suatu negara

1

2. Kedaulatan menunjukan negara tersebut merdeka yang sekaligus juaga merupakan fungsi dari suatu negara. Sehingga apabila kita melihat pentingnya kedaulatan yang ada di suatu negara menjelaskan bahwa suatu negara tidak dapat melaksanakan yurisdiksi eksklusifnya keluar dari wilayahnya yang dapat mengganggu kedaulatan wilayah negara lain. Hal inilah yang membuat kami tertarik untuk mencari dan memahami teori-teori yang berkaitan dengan kedaulatan, terutama kedaulatan territorial perairan. Wilayah kedaulatan suatu negara mencakup pula ruang udara diatas wilayahnya, juga meliputi ruang angkasa. Hal ini menjadi penting sebab, sering terjadi pelanggaran-pelanggara terhadap kedua hal tersebut, seperti masuknya pesawat udara ke dalam suatu negara tanpa izin ke dalam wilayahnya, karena alasan itulah negara-negara menjadi semakin sadar akan peranan ruang udara dan ruang angkasa terhadap setiap pelanggaran terhadap kedua hal tersebut. Hal ini dapat berakibat fatal bagi negara tersebut.

1.2 Rumusan masalah Fokus makalah yang ingin dibahas oleh penulis dalam karya tulis ini adalah tentang sebab-sebab latar belakang dan berbagai hal yang berkaitan dengan sengketa kedaulatan wilayah suatu negara. Selanjutnya penulis merumuskan identifikasi masalah sebagai berikut: 1. Apakah faktor-faktor yang melatarbelakangi masalah kedaulatan wilayah suatu negara ? 2. Apa saja yang termasuk kedalam kedaulatan wilayah laut dan udara ? 3. Bagaimana penyelesaian atau solusi konflik yang disebabkan sengketa kedaulatan wilayah ?

1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu : 1. Memahami fenomena pelanggaran kedaulatan wilayah suatu negara . 2. Mengetahui solusi dari masalah terhadap pelanggaran kedaulatan wilayah.

1.4 Metode Penelitian Adapun metode yang dilakukan oleh penulis yaitu : a) Literature yaitu dengan cara mencari sumber-sumber yang dapat dijadikan landasan dari buku atau sumber lain yang merupakan hasil pemikiran para pakar hukum mengenai masalah yang akan dibahas.

2

b) Kajian teori yaitu dalam menjelaskan mengenai pembahasan yang terdapat dalam makalah ini kami menjelaskan dengan proses penggambaran mengenai suatu bahasan berdasarkan hasil analisis kami setelah kami memahami terlebih dahulu bahasan tersebut dari para ahli.

3

BAB II KAJIAN TEORI

1.1 Kedaulatan Menurut Mochtar Kusumaatmadja, kedaulatan adalah kekuasaan yang terbatas, yaitu ruang berlakunya kekuasaan suatu negara tertentu dibatasi oleh batas-batas wilayah negara tersebut. Kedaulatan sendiri berasal dari 2 kata yakni Souvereignty atau yang teratas, dalam bahasa inggris dan Superanus atau kekuasaan tertinggi, dalam bahasa Latin. Dengan kata lain kedaulatan berarti; Kedaulatan (soverignity) adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara atas wilayah dan penduduknya/warga negaranya. Kedaulatan adalah suatu konsep dimana negara memiliki kekuasaan tertinggi atas dasar, laut, udara (yurisdiksi territorial) dan warga negara (yurisdiksi personal). Tidak mencakup ruang angkasa karena ruang angkasa merupakan kepentingan bersama. Kedaulatan memiliki 2 pengertian, yaitu : Pengertian negatif, bahwa negara tidak tunduk pada ketentuan hukum internasional dan kekuasaan apapun dan dari manapun datangnya tanpa persetujuan negara Pengertian positif , bahwa kedaulatan memberikan pimpinan yang tertinggi atas rakyatnya dan memberi wewenang penuh untuk mengeploitasi sumber-sumber alam yang ada di negaranya.

Berarti kedaulatan adalah kekuasaan tertinggi yang dimiliki suatu negara atas wilayah dan penduduknya/warga dan merupakan hak eksklusif untuk menguasai suatu wilayah pemerintahan, masyarakat, atau atas diri sendiri . dalam hukum konstitusi dan internasional, konsep kedaulatan terkait dengan suatu pemerintahan yang memiliki kendali penuh urusan dalam negerinya sendiri dalam suatu wilayah atau batas teritorial atau geografisnya, dan dalam konteks tertentu terkait dengan berbagai organisasi atau lembaga yang memiliki yuridiksi hukum sendiri. Penentuan apakah suatu entitas merupakan suatu entitas yang berdaulat bukanlah sesuatu yang pasti, melainkan seringkali merupakan masalah sengketa diplomatik.

Wilayah (territory) suatu negara terbagi menjadi empat dimensi, yaitu: 1. Darat, 2. Laut, 3. Udara, 4. Ruang angkasa. Negara berdaulat, artinya negara mempunyai kekuasaan tertinggi, kedaulatan ini terbatas oleh: 1. Kekuasaan itu terbatas pada batas-batas wilayah yang memiliki kekuasaan, 4

2. Kekuasaan itu berakhir dimana kekuasaan suatu negara lain dimulai.

1.2 Kedaulatan TeritorialAdalah kedaulatan yang dimiliki oleh suatu negara dalam melaksanakan yuridiksi ekslusif di wilayahnya. 1.2.1 Cara Memperoleh Wilayah Ada tujuh cara yang diakui secara umum dan secara tradisional untuk mendapatkan kedaulatan teritorial ialah:

1. Pendudukan Pendudukan (occupation) ialah penegakan kedaulatan atas wilayah yang bukan di bawah wewenang negara lain. Entah yang baru ditemukan, atau (suatu hal yang tidak mungkin) ditinggalkan oleh negara yang sebelumnya menguasainya. Secara klasik, pokok persoalan suatu penduduk ialah "Terra Nullius" dan wilayah yang didiami oleh suku atau bangsa yang mempunyai suatu organisasi sosial dan politik tidak dapat bersifat "Terra Nullius". Mahkamah Internasional Permanen menetapkan bahwa agar berlaku suatu pendudukan di pihak negara yang menduduki diperlukan dua unsur: 1. 2. Suatu maksud atau keinginan untuk bertindak sebagai yang berkuasa; Pelaksanaan atau penunjukkan kedaulatan secara memadai, yaitu mencakup: a) Berlangsung secara damai; b) Nyata dan langsung; c) Berkesinambungan (terus menerus, tidak terputus-putus) Mahkamah Internasional menekankan pentingnya pelaksanaan sesungguhnya fungsi-fungsi negara, misalnya administrasi lokal, yurisdiksi lokal, dan tindakan-tindakan autoritas legislatif sebagai bukti penunjukkan kedaulatan secara berkesinambungan yang diperlukan untuk mengkonfirmasi hak. Teori Klaim Pendudukan 1. Teori Kontinuitas (continuity)

di mana suatu tindakan pendudukan di suatu wilayah memperpanjang kedaulatan negara yang menduduki itu sejauh diperlukan untuk keamanan atau pengembangan alam wilayah yang diklaim itu. 2. Teori Hubungan (contiguity),

di mana kedaulatan negara yang menduduki itu mencapai wilayah-wilayah yang berdekatan yang secara geografis berhubungan dengan wilayah yang diklaim itu.

5

2. Penaklukan (annexation) Aneksasi adalah suatu metode memperoleh kedaulatan teritorial yang digunakan dalam dua perangkat keadaan: Di mana wilayah yang dianeksasi itu telah ditaklukan oleh negara yang menganeksasi, harus ada maksud menganeksasi yang dinyatakan secara resmi, yang biasanya diungkapkan dalam suatu surat (nota) yang dikirimkan kepada semua negara lain yang berkepentingan. Di mana wilayah yang dianeksasi itu benar-benar berada dalam posisi lebih rendah daripada negara penganeksasi pada waktu pengumuman maksud negara penganeksasi.

3. Akresi (accretion) Hak dengan akresi terjadi bila suatu negara bertambah wilayahnya, karena faktor-faktor perubahan alam (melalui sebab-sebab alamiah), yang mungkin oleh pelebaran aliran sungai atau faktor alam lain (misalnya endapan / sedimentasi, munculnya pulau setelah letusan gunung berapi), ke wilayah yang telah berada di bawah kedaulatan negara yang memperoleh itu. Perubahan aliran sungai di bagi 2 yaitu : Tiba-tiba; batas wilayah tetap pada river bed Perlahan ; Non Navigable dan Navigable

4. Sesi (cession) Peralihan wilayah dari satu negara ke negara lainnya, umumnya melalui Treaty/Agreement. Negara yang mengalihkan haruslah negara yang berdaulat atas wilayah tersebut ; nemo dat qoud non habet. Sesi (penyerahan) merupakan suatu metode yang penting untuk memperoleh kedaulatan teritorial. Metode ini bersandar pada prinsip bahwa hak mengalihkan teritorialnya adalah sifat fundamental dari kedaulatan suatu negara. 5. Preskripsi (prescription) Salah satu metode mendapatkan wilayah yang dulunya mungkin merupakan wilayah negara lain yang menjadi hilang karena alasan-alasan tertentu dengan berlalunya waktu atau dengan kata lain , Hak dengan preskripsi (yaitu preskripsi akuistif) adalah hasil pelaksanaan kedaulatan de facto secara damai untuk jangka waktu yang sangat lama atas wilayah yang tunduk pada kedaulatan negara yang satu lagi. Melalui : Immemorial Possesion dan Adverse Possesion. Immemorial Possesion Dimana kedaulatan negara yang mengklaim sebuah wilayah telah berjalan sekian lamanya sehingga negara yang dulu mungkin memiliki kedaulatan disana telah terlupakan. 6

Adverse Possesion; Dimana negara yang dulunya memiliki kedaulatan atas wilayah diketahui, namun negara lainnya telah menjalankan kedaulatannya dalam waktu yang lama sehingga menghilangkan kedaulatan pemilik lama

Sejumlah yuris (termasuk Rivier dan cle Martens) telah menyangkal bahwa preskripsi akuistif diakui oleh hukum internasional. Tidak ada keputusan suatu pengadilan internasional yang secara meyakinkan mendukung doktrin preskripsi akuisitif. 6. lntegrasi Integrasi adalah merupakan penggabungan sebuah kawasan atau wilayah ke dalam suatu negara yang mana biasanya negara yang akan diajak bergabung atau berintegrasi tersebut tempat atau letaknya berdekatan dengan wilayah yang akan berintegrasi tersebut. Hal ini di samping untuk memudahkan hubungan antara wilayah yang akan berintegrasi tersebut dengan negara yang akan diajak berintegrasi, suatu wilayah yang akan berintegrasi biasanya adalah merupakan sebuah wilayah yang pernah dijajah dan diterlantarkan begitu saja oleh penjajahnya. 7. Revolusi (independen) Sebuah negara independen adalah merupakan sebuah negara yang berdiri sendiri tanpa ada bantuan dari negara lain maupun campur tangan dari pihak lain. Negara yang independen biasanya mendapatkan kemerdekaan atau kebebasannya dari tangan penjajah dengan melalui revolusi atau perjuangan untuk menggulingkan kekuasaan pemerintah penjajahannya dan untuk mendirikan sebuah negara baru walaupun tidak diakui oleh negara penjajahnya. Negara independen adalah merupakan negara yang mendapatkan kemerdekaannya dengan melalui perjuangan baik fisik maupun diplomasi. Jadi negara independen tidak mendapatkan kemerdekaannya berdasarkan hadiah ataupun pencaplokan atau pendudukan.

1.2.2 Dimensi dalam Kedaulatan TeritorialKedaulatan teritorial mencakup 3 dimensi , yaitu :

Kedaulatan Atas Wilayah Darat

Kedaulatan Atas Wilayah Laut

a. Laut teritorial Adalah laut yang terletak di sisi luar garis pangkal (base line) yang tidak melebihi lebar 12 mil laut diukur dari garis pangkal. Negara memiliki kedaulatan penuh, tetapi negara lain masih dimungkinkan untuk menikmati hak lintas damai, yaitu hak untuk melewati laut itu. Konsikuensinya; setiap kapal asing yang akan lewat di laut territorial harus dapat izin dari negara yang bersangkutan.

7

Pasal 2 konvensi menentukan bahwa kedaulatan negara pantai meliputi laut teritorialnya, termasuk ruang udara diatasnya dan dasar laut serta tanah dibawahnya. Dalam hukum laut baru ini pun kedaulatan negara tetap dibatasi dengan hak lintas damai bagi kapal asing (Pasal 7 dst). Dalam hal ini adalah adanya kenyataan dimana telah dicapai kesepakatan mengenai batas terluar laut teritorial, yaitu 12 mil laut diukur dari garis pangkal (pasal 4). Dengan demikian, hal ini merupakan pemecahan terhadap suatu masalah yang belum terselesaikan pada konferensi laut. Yang pertama dan kedua , diadakan pada tahun 1958 dan 1960. Untuk beberapa negara lainnya hal ini diartikan sebagai kegagalan konvensi untuk mengesahkan tuntutan mereka yang lebih luas. Belanda termasuk kelompok pertama dan peraturan perundang-undangan yang memperluas laut teritorialnya hingga 12 mil telah disahkan dan mulai berlaku tahun 1958

b. Zona Tambahan Pada suatu jalur yang lebarnya tidak melebihi 24 mil dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut territorial, negara pantai dapat berusaha mencegah terjadinya pelanggaran terhadap peraturan perundang-undangan pada wilayahnya atau pada laut teritorialnya sekaligus dapat menerapkan hukumnya (pasal 33). Dengan demikian, lebar jalur tambahan ini juga telah diperluas apabila dibandingkan dengan jalur tambahan ini juga telah diperluas apabila dibandingkan dengan jalur tambahan menurut hukum laut klasik. Dalam pasal 33 yang dibandingkan dengan pasal 24 konvensi 1958), menentukan bahwa negara pantai dalam zona tersebut dapat melaksanakan pengawasan yang diperlukan guna mencegah pelanggaran peraturan perundang-undangannya menyangkut bea cukai, fiscal, imigrasi, dan saniter di dalam wilayahnya atau laut teritorialnya , dan menghukum setiap pelanggran demikian. Namun demikian , zona tambahan tidak boleh melebihi 24 mil laut dari garis pangkal darimana lebar laut territorial diukur

c. Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Zee diartikan sebagai suatu daerah diluar laut territorial yang lebarnya tidak boleh melebihi 200 mil diukur dari garis pangkal yang digunakan untuk mengukur lebar laut territorial Menurut pengertian pasal 56, negara pantai di zee dapat menikmati beberapa hal berikut. 1. Hak-hak berdaulat untuk melakukan eksploitasi , konservasi , dan pengelolaan segala sumber kekayaan alam di dasar laut dan tanah dibawahnya serta pada perairan di atasnya. Demikian pula terhadap semua kegiatan untuk tujuan eksploitasi secara ekonomis dari zona tersebut (seperti produksi energy dari air, arus, dan angin). 2. Yurisdiksi, sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi ini, atas pendirian dan penggunaan pulau-pulau buatan, riset ilmiah kelautan, serta perlindungan laut. 3. Hak-hak dan kewajiban lain sebagaimana yang ditetapkan dalam konvensi. Indonesia meratifikasi konvensi Hukum laut internasional (UU nomor 17 tahun 1985):

8

Sebagian merupakan terkodifikasi ketentuan-ketentuan hukum di laut lepas dan hak lintas damai laut internasional. Sebagian merupakan pengembangan hukum laut yang sudah ada , misalnya ketentuan mengenai lebar laut territorial menjadi maksimum 12 mil laut dengan kriteria landas kontinen.

d. Laut Lepas Laut lepas terbuka bagi semua negara, baik negara yang berpantai maupun yang tidak berpantai. Kebebasan dilaut lepas ini antara lain (a) kebebasan berlayar ; (b) kebebasan untuk terbang diatasnya ; (c) kebebasan meletakan kabel dan pipa di bawah laut ; (d) Kebebasan membuat pulau-pulau buatan dan instalasi-instalasi lainnya. ; (e) Kebebasan menangkap ikan dan (f) kebebasan melakukan riset ilmiah. Kebebasan-kebebasan ini harus dilaksanakan oleh negara-negara dengan

mempertmbangkan kepentingan-kepentingan negara lain, serta hak-hak yang tercantum dalam konvensi mengenai eksploitasi kawasan dasar laut dalam (pasal 87) . Laut lepas harus digunakan hanya untuk maksud-maksud damai dan tidak ada satu negara pun dapat menyatakan kedaulatannya terhadap bagian dari laut lepas ini ( pasal 88 dan 89) Secara material konvensi hukum laut tahun 1982 dengan konvensi sebelumnya ada beberapa perbedaan: Tentang landas kontinen Dimana pada konvensi hukum laut di Jenewa tahun 1958 dalam penentuan landas kontinen adalah kedalaman air 200 meter atau kemampuan dalam melakukan eksplorasi , sedang dalam konvensi hukum laut tahun 1982 dengan menggunakan kriteria sebagai berikut : 1. Jarak sampai 200 mil laut , jika tepian laut kontinen tidak tercapai jarak 200 mil laut. 2. Kelanjutan alamiah wilayah daratan di bawah laut hingga tepian luar kontinen yang lebarnya tidak boleh melebihi 350 mil laut, diukur dari garis dasar laut territorial jika diluar 200 mil laut masih terdapat daerah dasar laut yang merupakan kelanjutan alamiah dari wilayah daratan. Dan jika memenuhi kriteria kedalaman sendimentasi yang ditetapkan dalam konvensi. 3. Tidak boleh melebihi 100 mil laut dari garis kedalaman (isobat) 2500 meter. Dalam konvensi Jenewa tahun 1958 wilayah laut lepas dimulai dari batas terluar laut territorial , sedangkan dalam konvensi tahun 1982 bahwa laut lepas tidak mencakup zee, laut territorial perairan pedalaman dan perairan kepualauan . dalam konvensi tahun 1958 masalah ekses negara tanpa pantai diatur dalam salah satu passal sdangkan dalam konvensi tahun 1982 diatur lebih terinci dalam satu bab tersendiri. 9

Mengenai hak-hak dan kewajiban-kewajiban serta kebebasan kebebasan yang melekat di laut lepas. Demikian pula masalah konservasi dan pengelolaan sumber kekayaan hayati di laut lepas. Dengan adanya konvensi hukum laut III tahun 1982 selain mempunyai dampak positif terutama bagi negara-negara yang memperoleh kepentingan dari konvensi tersebut, juga mempunyai dampak negative bagi negara yang berunding dengan konvensi tersebut untuk negara-negara yang tidak berpantai. Mengingat konvensi ini bersifat internasioanal, keberadaan maupun berlakunya telah menjadi kesepakatan oleh negara-negara yang hadir pada konvensi itu , maka segala konsekuensi yang timbul dengan segala dampaknya menjadi tanggung jawab bersama.

A. Kedaulatan Negara atas Ruang Udara

Wilayah kedaulatan negara mencakup pula ruang udara diatas wilayahnya. Sebelum abad ke-19, perhatian negara terhadap wilayah praktis belum ada sama sekali. Namun, setelah berhasil ditemukannya pesawat terbang oleh Wright, ruang udara mulai diperhitungkan dalam masyarakat internasional. Pada masa permulaan perkembangannya, wilayah udara belum begitu penting. Pada masa sekarang pun, konsep kedaulatan negara di ruang udara belum begitu penting. Pesawatpesawat terbang yang cukup banyak pada waktu itu, yaitu balon-balon udara, bebas diterbangkan dari satu negara dan mendarat di negara lain atau kemana saja pesawat tadi kebetulan terbawa oleh angin. Misalnya, seorang penerbang bangsa Perancis, yaitu Bleroit yang telah melakukan penerbangan yang menggemparkan pada tahun 1909, Bleroit dari Perancis menyebrang melalui selat Calais untuk kemudian mendarat di Inggris tanpa adanya keberatan apapun dari pihak Inggris. Kedaulatan suatu negara merupakan kekuasaan yang tertinggi dalam batas batas wilayah negara itu sendiri, baik wilayah darat, laut maupun udara. Dalam sejarah pernah ada perdebatan yang cukup seru apakah suatu negara memiliki keadulatan diwilayah udara atau tidak? Perdebatan tersebut telah terjawab dengan berbagai teori dan bahkan sudah diatur dalam hokum positif internasional, bahwa setiap negara memiliki kedaulatan penuh dan ekslusif pada ruang udara diatasnya. Namun demikian kedaulatan tersebut dibatasi oleh hak hak negara lain untuk melintas diwilayah ruang udara sebagaimana telah diatur dalam Konvensi Chicago 1944 dan perjanjian perjanjian lain. Di Konverensi Chicago tahun 1944, beberapa negara mengusulkan memasukkan lima kebebasan udara (Five Freedoms of The Air) di dalam konvensi. Namun, usul ini ditolak oleh beberapa negara. Oleh sebab itu, ada dua perjanjian yang ditandatangani di Chocago pada 7 Desember 1944, yaitu International Air Services Transit Agreement dan International Air Transport Agreement. Kelima kebebasan udara tersebut diatur dalam perjanian yang kedua, kelima kebebasan tersebut adalah sebagai berikut : Fly across foreign territory without landing atau terbang melintasi wilayah negara asing tanpa mendarat Land for non-traffic purpose atau mendarat untuk tujuan komersial Disembark in a foreign country traffic orginating in the state of origin of the aircraft atau menurunkan penumpang di wilayah negara asing yang berasal dari negara asal pesawat udara 10

Pick-up in a foreign country traffic destined for the state of origin of the aircraft atau mengangkut penumpang pada lalu-lintas negara asing yang bertujuan ke negara asal pesawat udara

Carry traffic between two foreign countries atau mengangkut angkutan udara dua negara asing Perjanjian yang pertama, yaitu International Air Services Transit Agreement hanya

memasukkan kebebasan pada pin a dan b saja. Pada kenyataannya, praktek negara-negara menunjukkan bahwa hanya sedikit negara yang mau menerapkan kebebasan ini. Negara-negara lebih suka untuk mengadakan perjanjian bilateral atau perjanjian khusus dengan negara-negara lain.

Menurut konvensi Chicago 1944 tentang pengaturan mengenai wilayah udara, pasal 1-nya menyatakan bahwa setiap negara memiliki kedaulatan yang komplit dan eksklusif (complete and exclusive) terhadap ruang udara yang ada di atasnya. Mengenai kepemilikan ruang udara ini, sekitar tahun 1913 muncul dua teori, yaitu The Air Freedom Theory dan The Air Sovereignty Theory. Teori pertama menyatakan, bahwa udara karena sifat yang dimilikinya, ia menjadi bebas (by its nature is free). Teori yang pertama ini dapat dikelompokan menjadi : Kebebasan ruang udara tanpa batas Kedaulatan ruang udara yang dilekati beberapa hak khusus negara kolong, dan Kebebasan ruang udara, tetapi diadakan semacam wilayah terretorial di daerah dimana hak -hak tertentu negara kolong dapat dilaksanakan.

Sedangkan teori kedua merupakan kebalikan dari teori pertama, yang menyatakan, bahwa udara itu tidak bebas, sehingga negara berdaulat terhadap ruang udara di atas wilayah negaranya. Teori ini dapat dikelompokan menjadi : Negara kolong berdaulat penuh hanya terhadap satu ketinggian tertentu di ruang udara. Negara kolong berdaulat penuh, tetapi dibatasi oleh hak lintas damai bagi navigasi pesawat -pesawat udara asing, dan Negara kolong berdaulat penuh tanpa batas.

Dalam teori kedua ini tampak sudah ada pembatasan negara atas wilayah udara, yaitu adanya hak lintas damai (innocent passage) bagi pesawat udara asing. Dengan demikian apabila ada pesawat udara asing yang terbang di ruang udara suatu negara, maka memiliki akibat yang berbeda, sesuai dengan teori mana yang dianutnya, apakah teori udara bebas atau teori udara tidak bebas.

Ketentuan pasal 1 ayat 1 dari International Air Tansport Agreement tersebut dikenal juga sebagai The Five Freedom Agreement. Selain itu dalam Pasal 5 dan 6 Konvensi Chicago 1944 diatur tentang Non Scheduled Flight dan Scheduled Flight. Dengan demikian akan timbul beberapa masalah antara

11

teori -teori yang ada dengan ketentuan ketentuan mengenai penerbangan peswat udara, khususnya pesawat udara asing.

Pasal 5 Konvensi Chicago 1944, antara lain menyatakan: Semua pesawat terbang (all aircraft) negara peserta yang bukan penerbangan berjadwal (non scheduled flight) mempunyai hak untuk melewati wilayah udara negara peserta lainnya (in transit non stop across) dan untuk turun bukan dengan maksud mengadakan angkutan (non traffic) dengan suatu notifikasi.

Selanjutnya Pasal 5 ayat 2 mengatakan, bahwa : Apabila pesawat terbang tersebut membawa penumpang, barang pos atau muatan yang dipungut bayaran selain dari penerbangan berjadwal mempunyai hak untuk menaikan dan menurunkan penumpang dan sebagainya, akan tetapi harus mentaati peraturan -peraturan, syarat -syarat atau pembatasan -pembatasan yang ditentukan oleh negara setempat.

Pasal 6 Konvensi Chicago 1944 pada prinsipnya adalah bahwa pesawat asing yang melakukan penerbangan haruslah meminta ijin terlebih dahulu kepada negara kolong atau negara dimana tempat ia terbang. 3 Hal ini dapat dipahami,bahwa apabila ada penerbangan yang berjadwal tentu memungkinkan terjadinya persaingan dengan penerbangan nasional. Untuk mencegah hal yang demikian diperlukan adanya persetjuan lebih dulu.selain itu, penerbangan berjadwal juga diatur dalam International Air Service Transit Agreement dan International Air Transport Agreement tanggal 7 Desember 1944. Pada prinsipnya dalam International Air Services Transit Agreement 1944 ini diatur bahwa masing masing negara peserta memberikan kepada negara peserta lian berupa kebebasan udara yang berhubungan dengan penerbangan berjadwal, yaitu sebagai berikut:

hak istimewa (privilege) untuk terbang lewat dinegara peserta yang satu ke negara peserta yang lain. Hak istimewa untuk mendarat tapi bukan untuk mengadakan lalulintas (non traffic purposes), artinya tidak boleh mengambil atau menurunkan penumpang, benda pos atau barang, melainkan hanya keperluan teknis.

Hak -hak tersebut tidak berlaku untuk tujuan militer kecuali dalam keadaan perang. Dengan demikian Two Freedom Agreement tersebut merupakan Transit Right, yaitu : hak untuk terbang melalui wilayah negara pemberi (non stop over), dan hak untuk mengadakan pendaratan (one more stops) diwilayah negara lain, tapi bukan untuk maksud traffic.

12

BAB III PEMBAHASAN

3.1 Island of Palmas Case (1928)

Pulau Miangas ini adalah salah satu pulau terluar Indonesia yang memiliki luas 3, 15 km2 dan masuk dalam desa Miangas, Kecamatan Nanusa Kabupaten Talaud Propinsi Sulawesi Utara. Palmas atau yang biasa dikenal sebagai Pulau Miangas, adalah sebuah pulau yang bernilai ekonomis dan berlokasi strategis. Pulau ini memiliki panjang 2 mil, dengan lebar mil, dan berpopulasi sekita 750 jiwa pada saat keputusan arbitrase mengenai sengketa perebutan pulau ini diturunkan. Pulau ini terletak diantara Mindanao, Filipina dan yang paling utara yaitu pulau Nanusa. Pada tahun 1898, Spanyol menyerahkan Filipina ke Amerika Serikat dalam sebuah Perjanjian Paris (1898) dan Palmas ikut diserahkan ke Amerika Serikat. Pertikaian perebutan status kepemilikan pulau ini muncul pada tahun 1906 antara Amerika Serikat dan Belanda. Amerika Serikat beranggapan bahwa pulau tersebut merupakan bagian dari Kepulauan Filipina (the Phillippine Archipelago) yang diserahkan oleh Spanyol kepadanya berdasarkan perjanjian Paris tersebut seusai pengakhiran perang kedua negara. Sedangkan pihak Belanda mengklaim kepemilikan atas pulau tersebut berdasarkan pendudukan atau pelaksanaan otoritas (pemerintahan) yang terus menerus, berlangsung lama dan selama itu tidak ada gangguan atau klaim dari pihak lain. Demi menyelesaikan kasus ini, kedua pihak setuju untuk tunduk kepada keputusan arbitrase yang mengikat pada 23 Januari 1928. Arbitrator dalam kasus ini adalah Max Huber, seseorang yang berwarga Negara Swiss. Persoalan yang ingin diselesaikan oleh arbitrator adalah untuk menyelesaikan apakah Pulau Miangas secara keseluruhan merupakan bagian dari wilayah Amerika Serikat atau Belanda. Masalah hukum yang hadir adalah apakah wilayah tersebut dimiliki oleh si Penemu pertama walaupun mereka tidak menjalankan wewenangnya atas wilayah tersebut atau dimiliki oleh Negara yang secara nyata menjalankan kedaulatan atas Negara tersebut.

Proses ArbitraseAmerika dalam argumennya menyatakan Pulau Palmas adalah miliknya berdasarkan perjanjian yang sah dari penemu pertamanya yakni Spanyol. Amerika Serikat menyatakan bahwa Spanyol memiliki wewenang yang sah atas Palmas karena Palmas ditemukan oleh Spanyol ketika pulau tersebut dalam keadaan terra nullius yaitu wilayah yang tidak dikuasai oleh pihak manapun. Spanyol menyatakan memiliki wewenangnya atas pulau tersebut dikarenakan pulau tersebut adalah bagian dari Filipina dan telah diserahkan kepada Amerika Serikat dalam Perjanjian Paris (1898) setelah Spanyol kalah dalam Perang antara Spanyol dan Amerika. Arbitrator mencatat bahwa tidak ada hukum internasional yang baru yang menyatakan tidak berlakunya penyerahan legal suatu wilayah dengan cara penyerahan. 13

Bagaimanapun juga, arbitrator mencatat bahwa Spanyol tidak dapat memberikan apa yang tidak ia miliki dan Perjanjian Paris kepada Amerika Serikat jika Spanyol tidak memiliki wewenang yang sah atasnya. Arbitrator menyimpulkan bahwa Spanyol sebagai pihak penemu memiliki kedaulatan sah atas pulau Palmas bahkan dengan cara yang sederhana seperti sekedar menancapkan benderanya di pantai. Akan tetapi klaim yang diberikan Spanyol atas Palmas memang merupakan klaim yang lemah karena ia tidak pernah mengelola pulau tersebut, hanya menemukannya saja. Argument kedua dari Amerika Serikat adalah ia menyatakan bahwa dirinya memiliki wewenang atas Palmas karena letak Palmas lebih dekat dengan Filipina (yang saat itu dimiliki oleh Amerika Serikat) daripada dengan Indonesia (yang saat itu dijajah Belanda). Max Huber menyatakan bahwa tidak ada satupun hukum positif Internasional pada saat itu yang mendukung pendekatan terra firma yang didkemukakan Amerika Serikat, dimana status kepemilikan suatu pulau/wilayah diberikan kepada daerah yang terdekat dengan pulau/wilayah tersebut. Di lain pihak, Belanda dalam pendiriannya menyatakan memiliki kedaulatan atas Palmas Karena ia telah menjalankan kewenangannya di pulau tersebut semenjak tahun 1677. Belanda berhasil membuktikan bahwa Dutch East India Company telah melakukan negosiasi dengan Pemimpin Lokal pulau tersebut sejak abad ke-17 atas kedaulatannya termasuk dalam bentuk mengembangkan agama Protestan dan melarang kebangsaan lain di pulau tersebut. Arbitrator mencatat bahwa Amerika gagal membuktikan kedaulatan Spanyol atas pulau tersebut kecuali dokumen yang secara spesifik menyebutkan bahwa Spanyol adalah pihak penemu tersebut.

Keputusan ArbitraseAkhirnya, menurut kajian Weter (1979), DR. Max Huber memperkenalkan konsep hukum intertemporal dalam menangani sengketa dimana kaidah-kaidah hukum internasional diterapkan berdasarkan periode dan kasus tertentu, yaitu klaim dari pihak lawan harus dinyatakan sesuai dengan hukum yang berlaku ketika wilayah tersebut di temukan. Dalam hal ini bukanlah menyangkut pilihan hukum melainkan karena tidak adanya penerapan secara historis. Arbitrator, Max Huber. Mendukung posisi Belanda dan menyatakan bahwa Pulau Palmas secara nyata adalah milik Belanda. Untuk alasan ini, arbitrator sesuai dengan Pasal 1 dari Sebuah Perjanjian Khusus pada tanggal 23 Januari 1928 memutuskan bahwa Pulau Palmas atau Miangas secara keseluruhan adalah bagian dari wilayah Negara Belanda.

Kasus Island of Palmas saat iniSengketa Indonesia dengan Filipina adalah perairan laut antara P. Miangas (Indonesia) dengan pantai Mindanao (Filipina) serta dasar laut antara P. Balut (Filipina) dengan pantai Laut Sulawesi yang jaraknya kurang dari 400 mil. Disamping itu letak P. Miangas (Indonesia) di dekat perairan Filipina, dimana kepemilikan P. Miangas oleh Indonesia berdasarkan Keputusan Peradilan Arbitrage di Den Haag tahun 1928. Setelah Indonesia merdeka, kehidupan di Kepulauan Nanusa ini tidak berubah. Di masa Soekarno menjadi Presiden, hampir tak ada pembangunan di daerah itu. Terutama untuk fasilitas umum, seperti sekolah. Sekolah di pulau-pulau ini paling banyak dijalankan Yayasan Pendidikan Kristen. daerah perbatasan tampaknya selalu berarti wilayah terisolasi, tertinggal. Ini 14

merupakan dampak kebijakan pembangunan nasional di masa lalu. Potensi sumber daya laut yang dapat menjadi sumber kemakmuran masyarakat kepulauan, tidak mendapat perhatian. Sebanyak 16 pulau di Talaud sendiri telah membentuk kabupaten. Dari jumlah itu, sembilan pulau belum didiami dan tujuh pulau lainnya sudah berpenghuni. Pembentukan kabupaten ini tidak lepas lantaran rendahnya tingkat pengembangan daerah perbatasan selama ini.

Analisis KasusSalah satu kriteria utama dari kedaulatan adalah dimilikinya suatu wilayah yang dapat diidentifikasikan dengan jelas. Wilayah yang dimiliki oleh negara sehingga secara ekslusif tata aturan dan tindakan kepemerintahan lainnya dapat dijalankan. Melihat dari kasus Island of Palmas, maka ada beberapa istilah-istilah berikut yang berhubungan dengan cara-cara tradisional mendapatkan wilayah Palmas melaui sengketa yang terjadi antara Amerika Serikat dan Belanda.

Occupation/Pendudukan Occupation adalah cara memperoleh suatu wilayah yang tidak pernah dikuasai oleh negara lain atau ditelantarkan oleh penguasa sebelumnya. Untuk itu ada beberapa persyaratan yang harus dipenuhi: Wilayah tersebut harus terra nullius, yaitu wilayah yang tidak dikuasai oleh pihak manapun. Pada masa kolonialisme, penguasa asli seringkali diabaikan sehingga penguasa di sini lebih diartikan sebagai bangsa Eropa saja Kekuasaan terhadap wilayah tersebut harus berada dalam posisi terbuka, terus menerus, efektif dan damai. Lihat kasus Island of Palmas Case (1928) 2 RIAA 829. Disebutkan pula bahwa kekuasaan terhadap wilayah tersebut haruslah aktual/nyata dan bukan hanya nominal/klaim saja. Negara yang menduduki wilayah tersebut harus menunjukkan adanya niatan untuk melakukan penguasaan atau animus occupandi (the intention and will to act as sovereign). Hal ini biasanya ditunjukkan dengan melakukan tindakan-tindakan administratif terhadap wilayah tersebut. Lihat the Legal Status of Eastern Greenland Case (1933) PCIJ Reports, Series A/B, No. 53 disebutkan bahwa: A claim to sovereignty based ...upon a continued display of authority, involves two elements each of which must be shown to exist; the intention and will to act as a sovereign; and some actual exercise or display of such authority. Dari sisi lain, bagi negara yang merelakan wilayahnya diambil oleh negara lain harus menunjukkan animus relinquendi (with intention to return).

Prescription/Preskripsi Metode ini adalah proses perolehan wilayah yang tadinya dikuasai oleh negara lain namun karena satu dan lain hal maka penguasaan tersebut menjadi tidak efektif atau daluwarsa. Ada dua cara untuk memperoleh wilayah melalui metode ini:

15

Immemorial Possession: dimana negara mendapatkan kedaulatannya atas suatu wilayah setelah menguasainya sampai sangat lama sehingga penguasa sebelumnya tidak bisa diketahui lagi. Adverse Possession: kondisi dimana penguasa sebelumnya diketahui namun, karena penguasa baru telah secara efektif melakukan pemerintahannya sehingga penguasa lama seperti telah kehilangan kekuasaan untuk menjalankan fungsinya di wilayah tersebut. Penguasa baru dalam hal ini harus mendapatkan semacam pembiaran atas tindakan dan kebijakan yang dilakukan dari penguasa sebelumnya. (acquiescence principle). Hal ini terjadi dalam kasus Palmas. Akan tetapi dalam praktek sangat susah membedakan antara occupation dan prescription sehingga biasanya hanya mengandalkan putusan yang dikeluarkan oleh badan arbitrasi atau badan pengadilan internasional lainnya.

Cession Metode ini adalah pengalihan kedaulatan suatu wilayah dari satu negara ke negara lainnya dengan melalui suatu perjanjian. Dalam perjanjian itu disebutkan secara tegas, adanya satu negara sebagai pihak yang melepaskan kedaulatan dan pihak negara lainnya menerima kedaulatan atas suatu wilayah tertentu. Jika akibat dari penyerahan kedaulatan tersebut berimbas kepada pihak ketiga, maka hak yang selama ini dinikmati oleh pihak ketiga harus dipertahankan sampai kemudian terjadi perjanjian baru antara pihak ketiga dan pihak penguasa baru tersebut. Contoh Cession yaitu penyerahan atas Palmas Island dari Spanyol ke Amerika Serikat melalui perjanjian Paris (1898).

Doktrin Intertemporal Law Dalam Island of Palmas Arbitration (1928) menyatakan bahwa klaim dari pihak lawan harus dinyatakan sesuai dengan hukum yang berlaku ketika wilayah tersebut di temukan.

Melalui kasus Palmas tersebut, maka 3 aturan utama dalam menyelesaikan perkara sengketa wilayah dalam Hukum Internasional adalah: Klaim wilayah berdasarkan jarak dekat suatu wilayah dengan wilayah lain tidak memiliki legal standing di hukum Internasional. Klaim wilayah atas dasar penemuan (discovery) hanyalah suatu kedaulatan yang tidak lengkap. Klaim wilayah berdasarkan wewenang nyata yang dijalankan lebih kuat daripada hanya berdasarkan dasar penemuan.

SENGKETA INTERNASIONAL ANTARA THAILAND DAN KAMBOJA

16

Case of The Temple of Preah Vihear (15 June 1962)

Penyebab Terjadinya Sengketa.Sengketa Sengketa Kuil Preah Vihear sejak 1962 telah memicu konflik berdarah antara Thailand dan Kamboja. Konflik akibat sengketa kuil tersebut kembali pecah pada 22 April lalu. Pemerintah Kamboja dan Thailand mengklaim bahwa kuil tersebut milik kedua negara. Pada tahun 1962, Mahkamah Internasional di Den Haag memutuskan bahwa candi dari abad ke-11 itu milik Kamboja. Namun gerbang utama candi tersebut berada di wilayah Thailand. Hingga kini, masih tetap terjadi baku tembak di perbatasan dekat candi antara kedua belah pihak, sampa saat ini 18 Prajurit kedua belah pihak dinyatakan tewas dan memicu lebih dari 50 ribu warga dievakuasi ke pusat-pusat pengungsian. Thailand dan Kamboja juga saling tuding mengenai siapa yang pertama kali menarik pelatuk senjata. Menurut Pemerintah Thailand, insiden dimulai ketika pasukan Kamboja menembaki pihak Thailand. Sedangkan menurut Pemerintah Kamboja, Militer Thailand melanggar garis perbatasan dan menyerang pos militer kami di sepanjang perbatasan dari Ta Krabey hingga wilayah Chub Koki yang berada jauh di tengah wilayah Kamboja. Tujuannya untuk mengambil alih kedua candi yang diklaim milik Kamboja.

Proses Penyelesaian KasusPemerintah Kamboja memilih jalan meminta bantuan pengadilan tertinggi Perserikatan BangsaBangsa (PBB). Negara itu meminta pengadilan internasional memerintahkan Thailand menarik tentaranya dan menghentikan aktivitas militer mereka di sekitar kuil yang menjadi lokasi sengketa. Thailand dan Kamboja selanjutnya meminta kesediaan Indonesia berperan sebagai penengah konflik yang terjadi di antara keduanya. Permintaan ini disambut baik Pemerintah Indonesia dan diwujudkan dengan cara membentuk tim peninjau. Komposisi tim peninjau terdiri dari unsur sipil dan militer, yakni dari staf Kementerian Luar Negeri bekerja sama dengan staf dari Kementerian Pertahanan serta perwira militer TNI.

Indonesia sebagai ketua ASEAN sejak awal terjadinya bentrokan telah turut andil dalam upaya mendamaikan kedua negara. Peran serta Indonesia didukung penuh oleh Kamboja yang menyetujui rencana pengiriman tim peninjau dari Indonesia untuk mengawasi gencatan senjata. Namun pada akhirnya pihak Thailand menentang yang mengatakan bahwa permasalahan perbatasan seharusnya adalah masalah bilateral dan tidak melibatkan pihak ketiga.

Konflik Kamboja-Thailand ini juga menjadi pembahasan dalam pertemuan KTT ASEAN ke-18 di Jakarta. Pada tanggal 7-8 di Istana Bogor. Perundingan tersebut tidak menghasilkan kesepakatan apapun. Hal ini dikarenakan Thailand menolak tiga permintaan Kamboja terkait usaha demokrasi perbatasan.

Salah satu tuntutan Kamboja untuk Thailand adalah diadakannya kembali pertemuan pembahasan perbatasan atau pertemuan Joint Border Commission (JBC) di Indonesia. Indonesia dipilih sebagai tempat pertemuan JBC karena Indonesia sebagai ketua ASEAN telah diberi mandat oleh Dewan 17

Keamanan PBB untuk menengahi perselisihan kedua Negara. Pihak Thailand menolak hal ini. Mereka menginginkan JBC hanya dilakukan oleh kedua negara (Kamboja dan Thailand), tanpa peran Indonesia. Tuntutan lain yang ditolak Thailand adalah dikirimkannya tim teknis dari Kamboja ke 23 titik perbatasan yang dipersengketakan kedua negara, dan dilakukannya foto pemetaan wilayah untuk mengidentifikasi pilar perbatasan. Thailand menolak memenuhi tuntutan tersebut ialah karena mereka harus terlebih dahulu mengajukan hal itu kepada parlemen Thailand untuk diratifikasi. Thailand berprinsip, tuntutan baru dapat dipenuhi apabila ratifikasi telah dilakukan. Di sisi lain, Kamboja menilai permintaan izin kepada parlemen Thailand adalah prosedur yang terlalu lama dan bertele-tele. Menurut Kamboja, itulah sebabnya hingga kini perundingan perbatasan antarkedua negara tidak pernah rampung. Kamboja pun menuduh Thailand tidak serius menerapkan diplomasi damai dalam berunding Presiden Owada menyatakan kesetujuannya terhadap bagian bagian dari perintah operasi kecuali memperluas menunjukkan pembentukan beberapa PDZ (Provisional Demilitarized Zone). Masalah dengan PDZ, kepada Presiden Owada, "tidak masalah penegakan demiliterisasi zona oleh otoritas pihak ketiga, tetapi kelayakan pelaksanaan dari zona demiliterisasi oleh Para Pihak. Dia mencatat dengan penyesalan bahwa PDZ persegi empat melibatkan lebih dari wilayah salah satu pihak dibandingkan dengan lain dan mencatat bahwa garis demarkasi buatan untuk menunjuk mungkin PDZ akan jelas di peta tapi mungkin berubah menjadi sulit bagi Para Pihak untuk dilaksanakan. Hakim Xue dalam ringkasan, berpendapat bahwa PDZ seperti yang ditunjukkan dalam sub --- Pasal (B) (1) gagal untuk mempertahankan hubungan yang diperlukan antara hak yang membentuk subjek dari proses utama pada manfaat dan langkah-langkah diminta, dalam batas-batas yang wajar. Ia menyatakan setuju dengan Keputusan pengadilan untuk menunjukkan langkah-langkah sementara tetapi menyatakan "serius nya reservasi "untuk mendefinisikan PDZ sebagaimana tercantum dalam sub --- Pasal (B) (1), dan seperti halnya Presiden Owada, menemukan PDZ untuk menjangkau wilayah yang tak perlu dari Para Pihak. Hakim Xue menemukan ukuran ini menjadi berlebihan mengingat situasi saat ini antara para Pihak dan percaya untuk menempatkan mempertanyakan latihan yang tepat dari peradilan kebijaksanaan Pengadilan dalam menunjukkan tindakan sementara, keduanya di bawah hukum dan oleh yurisprudensi Pengadilan. Hakim Xue berpendapat bahwa Pengadilan tidak memberikan alasan yang cukup untuk adopsi dari PDZ sebagai salah satu langkah-langkah sementara dan terutama pada apa pertimbangan ukuran yang luar biasa seperti ini patut dipertimbangkan. Dia berpandangan bahwa itu sudah cukup untuk engadilan dengan hanya memerintahkan Para Pihak untuk menahan diri dari kegiatan militer di wilayah Kuil dan karena hal ini berkaitan dengan penafsiran putusan Mahkamah, pada tahap ini tidak ada kebutuhan nyata bagi Mahkamah untuk mengidentifikasi suatu daerah untuk demiliterisasi. Menurut Hakim Xue, Pengadilan bisa menunjukkan sama sementara tindakan seperti dalam kasus Burkani Faso / Mali dengan meminta para Pihak, dengan kerjasama Asosiasi Negara Asia Tenggara (ASEAN) untuk menentukan lebih dulu oleh mereka sendiri posisi yang bersenjata mereka pasukan harus ditarik. Kegagalan perjanjian tersebut, Pengadilan kemudian bisa, jika diperlukan menarik garis seperti melalui suatu Ordo. Hakim Al --- Khasawneh juga menyatakan ketidaksetujuannya ke sub --- (B) (1) Ordo. Dia mencatat bahwa kekuasaan Mahkamah untukmenunjukkan langkah-langkah lebar, dan memperingatkan bahwa karena ini harus dilakukan dengan hati-hati. Ia menemukan pembebanan demiliterisasi zona, 18

definisi spasial yang tidak didefinisikan berdasarkan sebuah kriteria dilihat sebagai yang tidak perlu untuk melindungi hak-hak dalam masalah dan "tak terhingga" terbuka untuk tuduhankesewenangwenangan. Dalam pandangannya,lebih masuk akal pendekatan pasti untuk membatasi tindakan sementara dengan ketat pengamatan gencatan senjata di daerah Candi,bersama-sama dengan ukuran sebuah mengarahkan Thailand untuk tidak menghalangiakses ke tempat segala Candi dan mengukur mengarahkan kedua Pihak untuk memungkinkan pengamat, ditunjuk oleh ASEAN, untuk mengakses area Temple.

Keputusan Pengadilan Internasional.Dalam Rangka nya, Pengadilan pertama dengan suara bulat menolak permintaan Thailand untuk kasus diperkenalkan oleh Kamboja untuk dihapus dari Daftar Umum . Hal ini kemudian menunjukkan berbagai tindakan sementara, sebagai berikut: (a) bahwa kedua belah pihak harus segera menarik personel militer mereka saat ini hadir di zona demiliterisasi sementara (Provisional Demilitarized Zone), sebagaimana didefinisikan dalam Pasal 62, dan menahan diri dari kehadiran militer dalam zona tersebut dan dari kegiatan bersenjata diarahkan padadaerah itu. Keputusan ini dicapai oleh suara mayoritas yaitu 11 dari 5 suara. (b) bahwa setelah mencatat bahwa kawasan Candi telah menjadi ajang bersenjata bentrokan antara para Pihak dan bahwa bentrokan seperti itu mungkin terulang kembali, Mahkamah memutuskan bahwa untuk memastikan bahwa tidak ada kerusakan dapat diperbaiki disebabkan, ada adalah kebutuhan mendesak untuk kehadiran semua angkatan bersenjata untuk sementara dikecualikan dari PDZ sekitar daerah Candi. (c) bahwa Thailand tidak boleh menghalangi kebebasan akses Kamboja menuju Candi, atau mencegah kamboja menyediakan pasokan segar untuk non --- personil militer. Bahwa Kamboja dan Thailand harus terus menjalin kerjasama mereka dalam ASEAN dan,khususnya. memungkinkan pengamat yang ditunjuk oleh ASEAN untuk memiliki akses ke PDZ dan kedua Pihak harus menahan diri dari tindakan apapun yang mungkin memperburuk atau memperpanjang sengketa sebelum Pengadilan atau membuatnya akan menjadi semakin sulit untuk diselesaikan. Keputusan ini dicapai oleh mayoritas 15 dari 1 suara. (d) bahwa masing-masing Pihak harus memberitahukan Pengadilan untuk kepatuhan dengan atas tindakan sementara dan bahwa, sampai Mahkamah telah memberikan keputusannya pada permintaan untuk interpretasi itu akan tetap seised hal-hal yang membentuk subjek Ordo.

19

BAB III PENUTUP

Kesimpulan Kedaulatan wilayah atas laut merupakan hal yang penting bagi semua negara di dunia terutama yang memiliki laut , terutama untuk negara Indonesia, dimana Indonesia merupakan negara kepulauan yang sangat banyak berada di antara 2 samudera dan 2 benua yang besar sehingga rawan terjadi tindakan pelanggaran kedaulatan oleh negara tetangga. Sebagaimana ketentuan dalam kedaulatan wilayah laut yang sudah dijelaskan sebelumnya, perlulah kiranya kita menjaga kekayaan laut dengan kedaulatan yang dimiliki sehingga negara lain tidak dapat dengan mudah mengklaim wilayah perairan Indonesia yang terkenal kaya sebagai negara Zamrud khatulistiwa. Kedaulatan wilayah atas ruang udara dan ruang angkasa dirasa sangat penting bagi suatu negara. Hal ini dikarenakan, pelanggaran yang menyangkut kedaulatan wilayah atas ruang udara dan ruang angkasa akan berakibat fatal bagi negara itu sendiri, karena bisa saja ada negara yang diamdiam memata-matai atau bahkan menyerang salah satu daerah di dalam kedaulatan NKRI ini. Oleh sebab itu, setiap negara seharusnya memberi pengaturannya mengenai ruang udara dan ruang angkasa.

SaranMasalah klaim bagian wilayah oleh Negara lain hendaknya disikapi serius, mengingat kerentanan dan kompleksitas tantangan yang ada. Untuk mencegah terjadinya kehilangan wilayah Indonesia seperti Sipadan-Ligitan, dan demi memperkuat kedudukan dan kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia maka diperlukan : Memperkuat armada keamanan perairan di Indonesia untuk menjamin kedaulatan wilayah perairan di Indonesia tetap terjaga, karena sering kali terjadi pelanggaran kedaulatan oleh nelayan asing atau kapal-kapal negara tetangga yang memasuki daerah perairan Indonesia Koordinasi pengamanan di laut hendaknya ditingkatkan. Menyangkut pengelolaan dan pemanfaatan hasil laut dilakukan oleh pihak berwenang sesuai undang-undang, maupun kewenangan menjaga yurisdiksi dan kedaulatan di laut demi tegaknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Mendirikan pos-pos penjagaan di daerah yang rawan terjadinya penyerobotan oleh pihak asing Membangun fasilitas-fasilitas infrastrukur yang menunjang di sekitar daerah perbatasan demi menjaga kesejahteraan penduduk maupun pasukan penjaga di daerah perbatasan negara. Sebagai kawasan transit point yang diduga menjadi jalur kelompok teroris, satuan pengamanan di laut harus ditingkatkan dengan mengadakan tindakan polisional berupa 20

sweeping laut. Hal ini harus didukung oleh sarana yang canggih berupa satelit yang mampu memancarkan sonar ke radar yang mendeteksi kapal-kapal asing atau lokal yang secara khusus telah dipasang pin untuk pelayaran internasional. Hal demikian telah dilakukan dalam pemantauan satelit di Kepulauan Arafura. Apabila sistem penginderaan jarak jauh tersebut berfungsi maka alasan ketersediaan kapal patroli akan berkurang karena dengan mengetahui titik kapal yang melewati batas perairan tanpa ijin, dokumen tidak lengkap dan tidak memiliki pin register, akan dengan mudah dapat ditangkap berdasarkan hukum yang berlaku

21

DAFTAR PUSTAKA

www.Google.co.id www.Wikipedia.com http://diansicute.blogspot.com/2011/12/kedaulatan-teritorial.html http://internasional.kompas.com/read/2011/02/22/17270840/Penyelesaian.Konflik.Thailan d-Kamboja http://novyalrepula.blogspot.com/2011/07/sengketa-internasional-antara-thailand.htmlhttp://www.internationalarbitrationcaselaw.com/new-cases/thetempleofpreahvihearcambodiavthailand-decisionontherequestofprovisionalmeasuresbyanitaghazirahman

22