tinjauan pustaka tenaga kerja indonesia (tki) · dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan...
TRANSCRIPT
TINJAUAN PUSTAKA
Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Menurut Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 Pasal 1 mengenai
penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, Tenaga Kerja Indonesia (TKI)
adalah setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di
luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima
upah. Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI bertujuan untuk: (1)
Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan
manusiawi; (2) Menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negeri, di
negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal; (3) Meningkatkan kesejahteraan
TKI dan keluarganya. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan
dan negara tujuan Tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 2.
Hampir 80 persen TKI yang dikirim adalah TKW yang tidak terdidik dan
bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Diketahui bahwa hampir 100 persen
TKI yang bekerja di Singapura, 93 persen di Arab Saudi, dan 94 persen di
Hongkong adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW). Profil TKI menyajikan adanya
data berdasarkan tingkat pendidikan yaitu dari 106.28 juta angkatan kerja
berdasarkan Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2006, sebanyak
53.13 persen (56.47 juta) hanya tamatan SD ke bawah, sebanyak 20.61 persen
(21.97 juta) lulusan SLTP, 20.64 persen (21.93 juta) lulusan SLTA, sedangkan
yang pernah belajar di perguruan tinggi hanya 5.62 persen (5.97 juta) dengan
kondisi 2.44 juta orang di antaranya mendapat pendidikan diploma dan sisanya
sarjana (S1) (Samhadi 2007). Hal tersebut tentunya juga berdampak pada
pekerjaan yang ditekuni TKI. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nusa
Tenggara Barat mengatakan sekitar 97 persen dari jumlah Tenaga Kerja
Indonesia (TKI) asal NTB yang bekerja di luar negeri merupakan tenaga tidak
trampil (BNP2TKI 2010).
Permasalahan-permasalahan selama masa penempatan yang banyak
dialamai TKI/TKW antara lain: 1) Dijebak menjadi pelacur di daerah transit, 2)
Diperjualbelikan antar agency di luar negeri, 3) Jenis pekerjaan tidak sesuai
dengan Perjanjian Kerja (PK), 4) Jam kerja melampaui batas, tanpa ada uang
lembur, 5) Tidak memegang dokumen apapun karena semua dokumen ditahan
majikan, 6) Dilarang berkomunikasi dengan orang lain termasuk dengan
keluarga, 7) Akomodasi dan makanan di rumah majikan tidak memadai, 8)
8
Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram
(daging babi), 9) Gaji dipotong oleh PPTKIS bekerjasama dengan agency yang
besarnya melampui ketentuan, 10) Gaji tidak dibayar, 11) Memperpanjang
kontrak kerja tidak ijin dari keluarga dan menggunakan kontrak kerja yang lama,
12) Punggutan yang tinggi oleh agency saat perpanjangan kontrak kerja, 13)
Disiksa, dianiaya, makan makanan basi dan bekas, diperkosa oleh majikan atau
oleh pegawai agency, 14) Dipenjara dengan berbagai rekayasa tuduhan, 15)
Bunuh diri atau membunuh atau melakukan tindakan pidana lainnya atau karena
putus asa akibat perlakuan buruk majikan/agency, 16) Disekap oleh majikan atau
agency, 17) Mengalami PHK sepihak dan dipulangkan majikan tanpa diberikan
hak-haknya, 18) Dipulangkan sepihak oleh agency setelah usai masa
pemotongan gaji oleh agency, sehingga tak pernah menerima gaji penuh, 19)
Penipuan dengan modus medikal yang direkayasa dan akhirnya dipulangkan
karena dianggap tidak fit, 20) Mengadu ke Polisi tetapi “dikembalikan” kepada
agency/tekong, yang kemudian oleh agency/tekong dipekerjakan secara illegal,
digaji murah atau tidak digaji, bahkan dilacurkan, 21) Dideportasi tetapi tidak
pernah sampai di rumah ditangkap oleh calo kemudian diberangkatkan kembali
ke luar negeri secara illegal, 22) Pihak aparat KBRI/Konjen RI yang tidak mau
membela dan menelantarkan, 23) Penyelesaian kasus tidak tuntas dan
dipulangkan karena lamanya proses penyelesaian kasus, 24) Dikenai punggutan
oleh aparat KBRI/Konjen RI di luar negeri dengan berbagai dalih, 25) Ketiadaan
dan lambannya informasi untuk keluarga jika mengalami sakit, di penjara atau
meninggal dunia, 26) Sebelum dipulangkan dipaksa menandatangi surat yang
kemudian diketahui isinya adalah pernyataan telah menerima gaji, padahal
gajinya belum dibayar/tidak diberikan dan surat pernyataan tersebut ditulis dalam
bahasa yang tidak dimengerti oleh TKI (BNP2TKI 2008). Permasalahan-permasalahan yang dialami TKI sering mendatangkan
gangguan psikis tersendiri. Untuk menangani gangguan psikis para TKI yang
pulang ke Tanah Air ini, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga
Kerja Indonesia (BNP2TKI) telah mendirikan Klinik Psikologi bagi TKI dengan
praktek kerja selama 24 jam di Gedung Pendataan Kepulangan (GPK) TKI,
Selapajang, Tangerang. Data menunjukkan bahwa selama kurun waktu Januari
sampai Oktober 2009, terdapat 554 TKI (14 laki-laki dan 540 perempuan) yang
menderita sakit baik fisik maupun psikologis. Diantara jumlah 554 TKI itu, 378
TKI sudah diterapi karena mengalami gangguan psikis (BNP2TKI 2010).
9
Tabel 2 Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan dan negara Tahun 2006
NEGARA PENEMPATAN
FORMAL TF NON FORMAL TNF JENIS KELAMIN T L P L P L P Malaysia 101600 60336 161936 5992 102171 108163 107592 162507 270099 Singapura 6 530 536 - 8539 8539 6 9069 9075 Brunai D 1530 427 1957 1 822 823 1531 1249 2780 Hong Kong - 152 152 13 13448 13461 13 13600 13613 Taiwan 2216 1540 3756 340 23994 24334 2556 25534 28090 Korea Selatan 2613 487 3100 - - - 2613 487 3100 Jepang - - - 13 8 21 13 8 21 Lain-lain 26 - 26 5 2 7 31 2 33 SUBTOTAL 107991 63472 171463 6364 148984 155348 114355 212456 326811
Saudi Arabia 3127 983 4110 18615 284702 303317 21742 285685 307427 UEA/Ad Dhabi 162 19 181 73 15240 15313 235 15259 15494 Kuwait 47 2 49 28 14648 14676 75 14650 14725 Bahrain 57 2 59 4 422 426 61 424 485 Qatar 1659 26 1685 142 3217 3359 1801 3243 5044 Oman 4 - 4 4 3519 3523 8 3519 3527 Yordania - - - 12 6456 6468 12 6456 6468 Lain-lain 3 14 17 - 2 2 3 16 19 SUBTOTAL 5059 1046 6105 18876 328206 347084 23937 329252 353189 TOTAL 11305 64518 177568 25242 477190 502432 138292 541708 680000 Sumber: Direktorat Jendral PPTKLN-Depnakertrans Keterangan: L : Laki-laki P : Perempuan TF : Total Formal TNF : Total Non Formal T : Total
10
Keluarga
Definisi Keluarga UU Nomor 10 Tahun 1992, mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil
dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami istri dan anaknya, atau
ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut Melson (1980), keluarga
adalah kelompok dari individu-individu yang mencari pemaksimalan sumberdaya
materi dan fisik agar mencapai tujuan personal dan kelompok. Saxton (1990)
mengartikan keluarga sebagai hubungan antara dua atau lebih orang melalui
kelahiran, adopsi, atau perkawinan dan hidup dalam satu rumahtangga.
Keluarga dipandang sebagai: 1) Suatu sistem interaksi antar anggota
keluarga, 2) Suatu seri interaksi yang dilakukan dua pihak (dyadic), 3) Sejumlah
interaksi antara seluruh sub kelompok asosiasi lainnya, keluarga memiliki “daya
hidup” lebih lama, serta hubungan biologis dan intergenerasi yang berkaitan
dengan ikatan kekerabatan yang lebih luas (Klein & White 1996 dalam
Puspitawati 2006).
Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas
perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materiil yang
layak, bertaqwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras
dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan
lingkungan. Membangun keluarga sejahtera pada hakekatnya tidak saja
mengentaskan keluarga dari kemiskinan harta atau kebutuhan fisik semata,
namun juga kebutuhan lainnya yang mencakup sosial psikologis dan
pengembangan diri untuk jangka waktu lebih lama (Anonim 1996).
Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Para sosiolog ternama seperti William F. Ogburn dan Talcott Parsons
mengembangkan pendekatan struktural-fungsional dalam kehidupan keluarga
pada abad ke-20. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam
kehidupan sosial dan masing-masing akan memiliki fungsinya sendiri. Perbedaan
fungsi tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan, tetapi
untuk mencapai tujuan bersama. Struktur dan fungsi yang terbentuk tidak akan
pernah lepas dari pengaruh budaya, norma, dan nilai sosial yang melandasi
sistem masyarakat (Megawangi 1999).
11
Menurut Megawangi (1999), ada tiga elemen utama dalam struktur
internal keluarga, yaitu mengacu pada:
1. Status sosial; keluarga inti terdiri dari tiga unsur utama yaitu bapak/suami
(pencari nafkah), ibu/istri (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita,
anak sekolah, remaja, dewasa) serta hubungan timbal balik antar individu
dengan status sosial berbeda.
2. Konsep peran sosial; menggambarkan peran dari masing-masing individu
atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem sosial.
Diferensiasi peran ini diharapkan dapat menuju suatu sistem keseimbangan
(equilibrium tendency).
3. Norma sosial; peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya
seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Norma sosial berasal
dari masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan. Akan
tetapi setiap keluarga dapat mempunyai norma sosial yang spesifik untuk
keluarga tersebut, misalnya norma sosial dalam pembagian tugas rumah
tangga, yang merupakan bagian struktur keluarga untuk mengatur tingkah
laku setiap anggota keluarganya.
Levy (Megawangi 1999) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas
yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi
keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang
lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang peranannya tidak
dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena adanya kesempatan siapa yang
akan memerankan tugas apa. Apabila terjadi, maka keberadaan institusi
keluarga tidak akan berkesinambungan. Persyaratan struktural yang harus
dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi antara lain:
(1) Diferensiasi peran dari serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan
dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam
keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur, gender,
generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor.
(2) Alokasi solidaritas yang berkaitan dengan distribusi relasi antar anggota
keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau
kepuasan menggambarkan hubungan antar anggota, misalnya keterikatan
emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada
keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Misalnya hubungan
antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan suami
12
dan istri pada suatu budaya tertentu. Intensitas adalah kedalaman relasi
antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan.
(3) Alokasi ekonomi yang berkaitan dengan distribusi barang-barang dan jasa
untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Diferensiasi tugas juga ada dalam
hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan
jasa dalam keluarga.
(4) Alokasi politik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam keluarga
dan siapa yang bertanggungjawab atas tindakan anggota keluarga. Agar
keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu
diperlukan.
(5) Alokasi integrasi dan ekspresi yang berkaitan dengan distribusi teknik atau
cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku
yang memenuhi tuntunan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.
Peran dan Fungsi Keluarga serta Perubahannya Keluarga sebagai sebuah sistem mempunyai tugas dan fungsi dalam hal
menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola
kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Menurut seorang profesor ilmu jiwa
bernama Lidz, diferensiasi peran adalah sesuatu yang alamiah, yang sesuai
dengan determinasi biologis dan psikologis manusia (Megawangi 1999).
Peran didefinisikan sebagai persepsi tingkahlaku interpersonal yang
dihubungkan dengan pengakuan masyarakat akan diri seseorang (Kammeyer
1987). Peran juga dapat diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan seseorang
sesuai dengan kedudukannya.
Parson dan Bales (Megawangi 1999) menyatakan bahwa peran orangtua
dalam keluarga meliputi peran instrumental yang dilakukan oleh suami atau
bapak, dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur
istri atau ibu. Peran instrumental dikaitkan dengan peran mencari nafkah untuk
kelangsungan hidup seluruh keluarga. Peran ini lebih memfokuskan pada
bagaimana keluarga menghadapi situasi eksternal. Dalam keluarga inti, suami
sebagai pencari nafkah diharapkan memerankan peran ini agar tujuan keluarga
secara keseluruhan dapat tercapai. Peran emosional ekspresif adalah peran
pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang. Peran ini bertujuan untuk
mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis dalam keluarga, serta
meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi sosial antar
13
anggota keluarga atau antar individu di luar keluarga. Istri diharapkan berperan
membawa kedamaian agar integrasi dan keharmonisan dalam keluarga dapat
tercapai.
Pembagian peran ekspresif dan instrumental menurut Kammeyer (1987)
dikaitkan dengan stereotip feminin dan maskulin seseorang. Wanita selalu
distereotipkan sebagai orang yang penuh emosional, perhatian dan pengasuhan,
lebih simpati, sensitif, mudah terharu, dan peduli terhadap orang lain dan mampu
memberikan dorongan sehingga cocok untuk melakukan peran ekspresif. Shaver
and Freedman (1976), Lunneborg and Rosenwood (1972), dan Bardwick (1971)
dalam Saxton (1990) berpendapat sama bahwa orang yang berperan sebagai
caretaker adalah orang yang memiliki karakter feminin dan bertindak sebagai
tenderness, compassion, dan penuh pengertian. Karakteristik feminin selalu
ditemukan pada perempuan dan karakter ini lebih banyak ditemukan pada
perempuan daripada laki-laki.
Menurut BKKBN (1996), delapan fungsi keluarga dalam Peraturan
Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan
keluarga sejahtera adalah sebagai berikut:
(1) Fungsi Keagamaan, dalam keluarga dan anggotanya didorong dan
dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai persemaian nilai-nilai
agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan-insan agamis
yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
(2) Fungsi Sosial Budaya, memberikan kesempatan kepada keluarga dan
seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang
beraneka ragam dalam satu kesatuan.
(3) Fungsi Cinta Kasih, dalam keluarga akan memberikan landasan yang kokoh
terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orangtua dengan
anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga
sebagai wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh kasih lahir dan
batin.
(4) Fungsi Melindungi, keluarga adalah wahana utama yang memberikan rasa
aman dan nyaman serta kehangatan bagi seluruh anggota, anak, istri
maupun suami
(5) Fungsi Reproduksi, merupakan mekanisme melanjutkan keturunan yang
direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia
yang penuh iman dan taqwa.
14
(6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, memberikan peran kepada keluarga
untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam
kehidupannya di masa yang akan datang.
(7) Fungsi Ekonomi, mengembangkan kemampuan ekonomi keluarga agar
semua anggota mampu mengembangkan kemampuan ekonominya untuk
mandiri sehingga dapat mendukung ketahanan keluarga.
(8) Fungsi Pembinaan Lingkungan, memberikan kepada setiap keluarga
kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai
daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.
Keluarga inti, sebagai kelompok primer yang terikat oleh hubungan intim
mempunyai fungsi-fungsi utama yang meliputi (Munandar 1985):
(1) Pemberian afeksi, dukungan dan persahabatan
(2) Memproduksi dan membesarkan anak
(3) Meneruskan norma-norma kebudayaan, agama dan moral pada yang muda
(4) Mengembangkan kepribadian
(5) Membagi dan melaksanakan tugas-tugas di dalam keluarga maupun
diluarnya
Menurut Guhardja dkk (1992), keluarga bertanggung jawab dalam
menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan anggota-anggotanya. Dengan
demikian pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan,
tumbuh dan berkembang perlu tersedia, yaitu:
(1) Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk
perkembangan fisik dan sosial. (2) Kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk
pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual. Menurut Maryam (2007) ada persamaan beberapa fungsi yang
dikemukakan oleh Rice dan Tucker dengan PP No. 21 Tahun 1994 yaitu: (1)
Sebagai mekanisme procreation yaitu mengadakan keturunan yang selanjutnya
menurunkan eksistensi masyarakat sebagai satu kesatuan, (2) Memiliki
kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi anggota keluarganya mulai
sandang, pangan, perlindungan, pendidikan, kesehatan, serta kebutuhan
emosional lainya, dan (3) Memberikan peran sosial dan keagamaan dalam
kehidupan bermasyarakat dan keikutsertaannya dalam mengabdikan norma-
norma sosial dan keagamaan melalui interaksi anak-anak dan orangtua dalam
15
keluarga dan interaksi keluarga dengan masyarakat serta interaksi dengan Yang
Maha Pencipta.
Perbedaan dari fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas terletak peran
orangtua (ayah dan ibu) untuk menjalankan fungsi keluarga. Parson dan Bales
membagi dengan jelas fungsi keluarga menjadi dua yaitu fungsi instrumental dan
fungsi ekspresif. Fungsi instrumental yang diperankan oleh ayah dan fungsi
ekspresif yang diperankan oleh ibu. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun
1994 tidak membagi dengan jelas masing-masing fungsi keluarga kedalam peran
ayah dan ibu, sehingga untuk menjalankan semua fungsi tersebut dilakukan
bersama-sama. Berikut ini disajikan Tabel 3 yang menjelaskan fungsi keluarga
dari berbagai sumber (Sunarti 2003).
16
Tabel 3 Fungsi keluarga dari berbagai sumber
BKKBN (1992) United Nation (1993) Mattesich & Hill dalam Zeitlin et al. (1995)
Rice & Tucker (1986) Roberta Berns (1997)
1. Keagamaan 2. Sosial budaya 3. Cinta kasih 4. Melindungi 5. Reproduksi 6. Sosial dan
pendidikan 7. Ekonomi 8. Pembinaan
lingkungan
1. Pengukuhan ikatan suami istri
2. Proteksi dan hubungan sosial
3. Sosialisasi dan pendidikan anak
4. Pemberian hak asasi manusia dan status
5. Perawatan dasar anak (dan lanjut usia)
6. Rekreasi dan perawatan emosi
7. Pertukaran barang dan jasa
1. Pemeliharaan fisik 2. Sosialisasi dan
pendidikan 3. Akuisisi anggota
keluarga baru melalui proteksi atau adopsi
4. Kontrol perilaku sosial dan seksual
5. Pemeliharaan moral keluarga dan motivasi untuk berperan di dalam dan di luar keluarga
6. Akuisisi anggota keluarga dewasa melalui pembentukan pasangan seksual
7. Melepaskan anggota keluarga dewasa
1. Fungsi ekspresif: memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak
2. Fungsi instrumental: manajemen sumberdaya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui: a) proteksi dan sosialisasi anak, serta b) dukungan dan pengembangan anggota keluarga
1. Reproduksi 2. Sosialisasi atau
pendidikan 3. Penetapan peran
sosial 4. Dukungan ekonomi 5. Dukungan emosi
(Sumber: Sunarti 2001)
17
Menurut Megawangi (1993) beberapa kendala yang dihadapi keluarga
Indonesia di dalam menjalankan fungsinya antara lain:
(1) Menurunnya kualitas dan kuantitas waktu bersama untuk Family
Togetherness. Piotrowski (1978) dalam Megawangi (1993) meneliti pengaruh
keadaan lingkungan kerja terhadap kehidupan keluarga pada keluarga sosial
ekonomi rendah. Ada tiga bentuk pola yang ditemui; pertama adalah yang
disebut positive carry-over dimana suasana pekerjaan cukup menyenangkan
dan tidak terlalu melelahkan, sehingga suami atau istri yang pulang ke rumah
akan mempunyai suasana emosi yang menyenangkan didalam membina
hubungan dengan masing-masing anggota keluarga. Bentuk keluarga kedua
yang lebih banyak ditemui pada keluara working class adalah yang disebut
negatif cary over dimana suasana pekerjaan tidak menyenangkan dan
perasaan tidak berdaya untuk mengatasi keadaan sehingga waktu pulang ke
rumah dalam keadaan frustasi dan marah, yang membawa akibat negatif
pada hubungan antara suami-istri dan anak-anaknya. Kemudian bentuk yang
paling sering dijumpai adalah energy deficit. Pada bentuk ini pekerjaan
dianggap sangat membosankan dan melelahkan, sehingga sewaktu pulang
ke rumah keadaan fisik sangat capai dan tidak ada energi yang tertinggal lagi
untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota keluarga lain.
(2) Wanita yang bekerja di luar rumah. Hasil penelitian McGurk (1993) dalam
Megawangi (1993) dilaporkan bahwa ada pengaruh negatif antara lamanya
anak diasuh oleh bukan ibunya dan pembentukan bonding, bahkan akan
memberi resiko kepada anak untuk mempunyai sikap agresif dan
pembangkang. Tetapi McGurk (1993) berpendapat bahwa keadaan ini akan
sangat tergantung pada kualitas, konsistensi, dan reability dari pola
pengasuhannya. Wanita kelas sosial menengah ke atas mungkin dapat
memilih alternatif pengasuhan yang baik sehingga kemungkinan untuk dapat
menghindari pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan menjadi lebih besar
tetapi tidaklah demikian pada pekerja kelas bawah.
(3) Menurunnya otoritas orangtua. Sehubungan dengan menurunnya kuantitas
dan kualitas interaksi antara orangtua dan anak, dan berkurangnya bonding
antara orangtua dan anak, peran orangtua sebagai figur yang perlu dicontoh
menjadi berkurang. Pada zaman yang kompleks ini anak dihadapkan pada
bermacam-macam nilai dari lingkungannya seperti peer group, media cetak
atau elektronik, sekolah dll. Pada pihak orangtua sering terjadi sikap yang
18
ambivalen yaitu mereka merasa tidak mampu menjalankan fungsinya
sebagai orangtua di dalam mendidik anak-anaknya. Hal ini disebabkan
perubahan sosial yang cepat dan menuntut penyesuaian sikap orangtua
terhadap anak-anaknya. Akibatnya banyak orangtua yang berpaling pada
para ahli pendidik atau menyerahkan sepenuhnya kepada institusi sekolah,
termasuk juga dalam pembentukan moral anak. Karena institusi sekolah tidak
dapat secara efektif memberikan dukungan moril kepada siswa sepenuhnya
dan membentuk moral para siswa, anak-anak remaja sering mengalami
adolence crisis, sehingga banyak yang berpaling kepada peergroupnya
daripada orangtuanya. Salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak kota
lebih agresif adalah hubungan yang tidak baik antara orangtua dan anak
kerena kurangnya waktu kebersamaan. Hasil penelitian Ancok (1993) dalam
Megawangi (1993) pada remaja Indonesia menunjukkan bahwa remaja kota
cenderung mempunyai hubungan yang kurang baik dengan ayahnya
dibandingkan dengan remaja desa.
Yusuf (2000) dalam Jatiningsih (2004) menyebutkan bahwa keluarga
yang fungsional merupakan keluarga yang telah mampu melaksanakan fungsi-
fungsinya yang ditandai oleh karakteristik: (1) Saling memperhatikan dan
mencintai, (2) Bersikap terbuka dan jujur, (3) Orangtua mau mendengarkan
anak, menerima perasaan dan menghargai pendapatnya, (4) Ada sharing
masalah atau pendapat diantara anggota keluarga, (5) Mampu berjuang
mengatasi masalah hidupnya, (6) Saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi,
(7) Orangtua melindungi (mengayomi) anak, (8) Komunikasi antar anggota
keluarga berlangsung baik, (9) Keluarga memenuhi kehidupan psikososial anak
dan mewariskan nilai-nilai sosial budaya, dan (10) Mampu beradaptasi dengan
perubahan yang terjadi.
Rogers (1960) dalam Simamora (2005) menjelaskan perubahan fungsi
keluarga yang terjadi dewasa ini. Ada tujuh perubahan yang dimaksud:
(1) Pergeseran fungsi keluarga: Fungsi produksi, melindungi, mendidik, dan
fungsi keagamaan perlahan-lahan digantikan dengan institusi atau organisasi
di luar keluarga. Studi di Michigan, Amerika Serikat, ditemukan bahwa
keluarga berkumpul secara lengkap hanya sekitar sejam sehari dan
kebanyakan waktu tersebut dihabiskan untuk makan. Keluarga petani
kebanyakan berkumpul kurang dari waktu tersebut.
19
(2) Perubahan otoritas dalam rumah tangga: Otoritas ayah sebagai pengambil
keputusan yang dominan menurun mengiringi peningkatan persentase
jumlah wanita bekerja.
(3) Perubahan dalam pencarian pasangan: Dewasa ini romantisme menjadi inti
pencarian pasangan. Jaman dulu pencarian pasangan dapat dikatakan tidak
memiliki romantisme, pria dan wanita dijodohkan pihak keluarga dan diijinkan
bertemu sekali saja sebelum perkawinan.
(4) Perubahan sikap terhadap perceraian: Dulu perceraian dianggap kotor dan
dosa, namun perkembangan dewasa ini lebih kooperatif sehingga pasangan-
pasangan yang tidak cocok dapat dengan mudah mengajukan perceraian.
Akibatnya angka perceraian meningkat drastis. Tidak dapat dipungkiri pula
remarriage atau pernikahan kembali juga meningkat.
(5) Perlakuan terhadap kaum tua: Kaum tua atau yang sudah jompo kurang
dihoramati lagi. Kecenderungan keluarga saat ini memilih jauh dari tempat
tinggal orangtua atau mertuanya.
(6) Perubahan jumlah dan ukuran keluarga: Rata-rata ukuran keluarga sejak
Tahun 1800 menurun akibat peningkatan metode pengaturan kelahiran,
pendidikan seks dan persiapan pernikahan, dan perubahan nilai-nilai
keluarga mengenai jumlah anak yang diinginkan.
(7) Perubahan tujuan keluarga: Dulu tujuan keluarga lebih penting daripada
keinginan pribadi, sebagai praktek pengabdian terhadap keluarga dan
orangtua. Dewasa ini individualisme justru diprioritaskan ketimbang
familisme.
Menurut teori tantangan dan tanggapan Arnold Toynbee (Narwanto
2007), ketiadaan istri dalam keluarga menjadi tantangan budaya tersendiri bagi
keluarga Tenaga Kerja Wanita. Secara tradisional, pola keluarga patriarki
menempatkan istri sebagai pihak yang mengurusi pekerjaan domestik, terutama
mengasuh anak. Ketika istri menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW), keluarga yang
ditinggalkan melakukan proses dialektik alamiah untuk menjawab tantangan
budaya tersebut. Ketidakseimbangan dalam ekosistem keluarga itu
menghasilkan pergeseran peran gender sebagai tanggapan menuju
keseimbangan baru.
Penelitian oleh tim Pusat Studi Gender dan Keluarga STAIN Salatiga di
Gamol, Kecandran, Salatiga, Jawa Tengah, yang juga dipresentasikan di The
International Seminar of Gender Mainstreaming on Higher Education di UKSW
20
Salatiga pada Desember 2006, menunjukkan adanya kesadaran kolektif
menghadapi ketidakseimbangan tersebut. Artinya, ruang kosong yang ditinggal
istri menjadi tanggung jawab bersama antara suami, orangtua, atau kerabat yang
lain. Kesadaran kolektif tersebut menghasilkan tiga pola pergeseran peran:
(1) Suami mengambil alih peran yang ditinggal istri. Mereka mengurusi berbagai
pekerjaan domestik, termasuk mengasuh anak.
(2) Suami mengambil sebagian peran yang ditinggal istri. Mereka biasanya
dibantu ibu atau anggota keluarga lain.
(3) Suami tidak mengambil peran. Pola yang dapat dikatakan sebagai kegagalan
keluarga dalam melakukan transformasi nilai ini membuat ibu atau mertua
TKW mengambil alih peran domestik keluarga.
Analisis Gender dan Peran Perempuan Konsep Gender Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi
dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil
konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman serta
dukungan masyarakat itu sendiri (UNFPA et al. 2005 dalam Puspitawati 2007).
Dalam pembahasan mengenai gender dikenal adanya dua aliran atau
teori, yaitu teori nurture dan teori nature, namun berdasarkan kedua teori
tersebut dikembangkan konsep teori yang merupakan kompromistis atau
keseimbangan yaitu teori equilibrium. Teori nurture mengungkapkan bahwa
perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya merupakan hasil konstruksi
sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas berbeda, sedangkan teori
nature berisi bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, sehingga
harus diterima. Perbedaan biologis ini memberikan indikasi dan implikasi bahwa
diantara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran
yang dapat dipertukarkan, tetapi ada pula yang tidak bisa karena memang
berbeda secara kodrat alamiahnya. Teori equilibrium merupakan pandangan
yang tidak mempertentangkan antara kaum lelaki dan perempuan, karena
keduanya bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dikehidupan
keluarga, masyarakat, bangsa dan negara (Puspitawati 2007).
Dalam memahami konsep gender ada dua hal yang harus dipahami, yaitu
(Puspitawati 2007):
21
(1) Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil akibat
sistem dan struktur sosial dimana baik perempuan maupun laki-laki menjadi
korban dari sistem tersebut. Bentuk ketidakadilan tersebut meliputi: (1)
Marjinalisasi (peminggiran/pemiskinan), (2) Subordinasi yaitu keyakinan
bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama
dibanding dengan jenis kelamin lainnya, (3) Pandangan stereotip yang sering
kali bersifat negatif secara umum dan dapat menyebabkan ketidakadilan
karena bersumber dari pandangan gender yang menyangkut pelabelan
terhadap salah satu jenis kelamin tertentu, (4) Kekerasan terhadap
perempuan sebagai akibat dari perbedaan peran yang terjadi dalam berbagai
bentuk, (5) Beban kerja yang merupakan bentuk diskriminasi dan
ketidakadilan gender karena beban kerja yang harus dijalankan oleh salah
satu jenis kelamin tertentu.
(2) Kesetaraan dan Keadilan gender yaitu suatu kondisi dimana porsi dan siklus
sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis,
adapun kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara
perempuan dan laki-laki.
Analisis Gender Ada beberapa model teknik analisis gender yang dikembangkan oleh
para ahli untuk menganalisis peran di dalam keluarga dan masyarakat, antara
lain:
(1) Teknis Analisis Model Harvard. Model ini terdiri atas sebuah matiks yang
mengumpulkan data pada tingkatan mikro (masyarakat dan rumah tangga),
meliputi pembagian tiga kegiatan (kegiatan produktif, reproduktif, dan sosial
masyarakat) berdasarkan jenis kelamin, rincian sumber-sumber apa yang
dikuasai oleh laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan kegiatannya, dan
faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian kerja berdasarkan gender.
(2) Teknik Analisis Model Moser. Model ini mencakup penyusunan pembagian
kerja berdasarkan gender dan mengembangkan kebutuhan gender dari sudut
perempuan. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan praktis gender
(kebutuhan yang harus dipenuhi) dan kebutuhan strategis gender (kebutuhan
yang disebabkan posisi subordinat mereka).
22
Dukungan Sosial Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan bantuan
atau pertolongan dari orang lain. Pertolongan dari orang lain ini biasanya disebut
sebagai dukungan sosial. Dukungan sosial bisa diperoleh dari keluarga besar,
masyarakat (tetangga), dan lembaga-lembaga masyarakat dimana orang itu
berada. Dukungan sosial sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan,
termasuk dalam menjalani kehidupan perkawinan dan dalam pengasuhan anak.
Di dalam ensiklopedi sosiologi dukungan sosial diartikan sebagai pemberian
dukungan emosional dan informasi atau dukungan materi oleh orang lain atau
lingkungan sosial kepada seseorang individu yang mengalami beberapa
kesulitan atau masalah. Cutrona (1996) mengatakan bahwa dukungan sosial
adalah pemenuhan kebutuhan dasar oleh orang lain secara terus menerus untuk
kesejahteraan. Kaplan et al. (1977) dalam Cutrona (1996), mengartikan
dukungan sosial sebagai pemenuhan kebutuhan dasar seseorang (approval,
esteem, succor, dll) oleh orang lain. Safarino (1996) dalam Tati (2004)
mengatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian,
penghargaan, atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai
individu perorangan atau kelompok. Kualitas dukungan sosial yang tinggi akan
mempengaruhi kesehatan fisik dan mental yang semakin tinggi pula.
Bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan menurut Kaplan (Cutrona 1996)
dan Safarino (Tati 2004) terdiri dari:
1) Dukungan Emosi (Emotional Support), seperti ekspresi cinta, empati dan
perhatian. Menurut Witty et al. (1992) dalam Conger et al. (1994), individu
dapat mencurahkan perasaan, kesedihan ataupun kekecewaannya pada
seseorang, yang membuat individu sebagai penerima dukungan sosial
merasa adanya keterikatan, kedekatan dengan pemberi dukungan, sehingga
menimbulkan rasa aman dan percaya.
2) Dukungan Instrumen (Instrument Support) atau Dukungan Nyata (Tangible
Assistance), seperti sumberdaya fisik (uang, tempat tinggal), termasuk juga
menyediakan waktu dan tenaga untuk mengasuh anak.
3) Dukungan Penghargaan (Esteem Support), seperti respek terhadap orang
lain, percaya kepada kemampuan orang, menghargai pikiran, perasaan, dan
tingkah laku orang lain.
4) Dukungan Informasi (Informational Support), seperti informasi tentang
kenyataan, nasihat, penilaian terhadap situasi. Dukungan informasi
23
memungkinkan individu sebagai penerima dukungan dapat memperoleh
pengetahuan dari orang lain. Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa
bimbingan, arahan, diskusi masalah maupun pengajaran suatu keterampilan
(Felton & Berry 1992 dalam Conger et al. 1994).
Pengasuhan Keluarga sebagai tempat pertama dan utama bagi anak untuk dididik dan
dibesarkan dalam pembentukan dan perkembangan pribadi dan perilaku. Faktor
yang mempengaruhi perilaku anak salah satunya adalah pengasuhan.
Pengasuhan merupakan interaksi antara ibu dan pengasuh dengan anak sesuai
keinginan pengasuh. Pengasuhan adalah segala interaksi antara orangtua
dengan anaknya dan praktek pengasuhan yang diberikan kepada anak. Interaksi
ini meliputi segala perilaku seperti minat, nilai, sikap dan kepercayaan yang
diajarkan kepada anak-anak melalui proses pendidikan dan pengasuhan
sepanjang hidup anak (Karyadi 1988).
Menurut Sunarti (2004) pengasuhan dapat diartikan sebagai
implementasi serangkaian keputusan yang dilakukan orangtua atau orang
dewasa kepada anak, sehingga memungkinkan anak menjadi bertanggung
jawab, menjadi anggota masyarakat yang baik, memiliki karakter-karakter yang
baik. Rohner (1986) mengartikan pengasuhan sebagai salah satu bentuk pola
hubungan antara orangtua terutama ibu dengan anak, berupa kehadiran dan
perhatian ibu yang diekspresikan dalam bentuk perilaku, ucapan, ungkapan
emosi dan kasih sayang, arahan dan kegiatan perawatan ibu kepada anaknya.
Secara tradisional, beberapa faktor yang mempengaruhi kebiasaan
mengasuh dikelompokkan menjadi (Bigner 1979):
(1) Cultural influence. Beberapa studi melaporkan adanya perbedaan pada
kelompok sosial terhadap cara pengasuhannya. Ditemukan bahwa
pertumbuhan mental secara potensial mempengaruhi perbedaan gaya
bahasa (mengajar) yang digunakan oleh ibu.
(2) Personality patterns. Johnson & Medinnus (1974) dalam Bigner (1979)
melukiskan bahwa hubungan antara orangtua dan anak sebagai ikatan
emosional. Orangtua yang baik akan menghasilkan anak yang baik yang
tumbuh menjadi orang dewasa yang baik.
(3) Attitudes toward parenting. Menurut Diana Baumrind (1966) dalam Bigner
(1979), ada tiga tipe dasar pengasuhan, antara lain:
24
(a) Authoritarian attitudes, pola asuh ini merupakan bentuk interaksi antara
orangtua dan anak, dimana orangtua berusaha membentuk ,
mengendalikan dan mengevaluasi sikap juga tingkah laku anak sesuai
dengan patokan yang bersifat absolute dan baku yang diterapkan
orangtua dan ditunjukkan dengan peraturan ketat, tanpa memberi
kesempatan pada anak untuk mendapatkan penjelasan dan biasanya
disertai dengan hukuman fisik.
(b) Permissive attitudes, orangtua memberikan kebebasan kepada anak
dalam bertingkah laku. Orangtua tidak memberikan hukuman dan lebih
menerima serta menyetujui apa yang menjadi keinginan dan kemauan
anak sehingga anak dibiarkan mengatur dan menentukan sendiri apa
yang dianggapnya baik karena pengawasan dari orangtua longgar.
Aturan dan batasan yang pasti dalam hal ini tidak ada.
(c) Authoritative attitudes, orangtua memberikan peraturan dengan
menggunakan penjelasan dan penalaran pada anak untuk membantu
anak mengetahui mengapa peraturan dibuat dan mengapa anak
diharapkan untuk bertingkah laku tertentu. Dalam proses interaksi ini
terlihat adanya saling memberi dan menerima antara orangtua dan anak
sehingga anak memperoleh kesempatan untuk mengemukakan
pendapatnya pada orangtua.
(4) Role modeling. Sesuai dengan prinsip teori social learning, maka anak
sesungguhnya belajar dari mengamati tingkah laku, perbuatan, persepsi,
pemikiran, cara komunikasi dari orang dewasa yang ada di sekitarnya.
Melalui role modeling ini maka orangtua dapat mencontohkan perilaku yang
diharapkan tersebut (Hastuti 2007).
Ahli sosiologi mendeskripsikan peran istri-ibu dan suami-ayah
dihubungkan dengan peran jenis kelamin. Peran istri-ibu memiliki karakteristik
ekspresif dimana mampu mengekspresikan afeksi, kehangatan dan dukungan
emosianal kepada anggota keluarga yang lain. Disisi lain, peran suami-ayah
dikarakteristikkan oleh fungsi instrumental. Ayah dipandang sebagai pemberi
keputusan terakhir dan membuat hukuman, disiplin, dan pengontrol tingkah laku
anak. Robert Winch (Bigner 1979) mendiskusikan dua fungsi pengasuhan yang
mungkin dibagi antara ibu dan ayah. Fungsi nurturance diberikan kepada istri-ibu
(ekspresif) dimana istri-ibu melakukan pemeliharaan sehari-hari seperti memberi
makan, memandikan, dan memakaikan pakaian anak. Fungsi kedua yaitu control
25
yang dilakukan oleh suami-ayah (instrumental) dimana suami-ayah memiliki
ototitas dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan anak.
Dimensi Kehangatan (Warmth Dimension) Menururt Rohner (1986), pengasuhan dari dimensi kehangatan dapat
diekspresikan menjadi dua bentuk antara lain (Gambar 1):
1) Bentuk penerimaan orangtua (parental acceptance) yaitu berkaitan dengan
kehangatan, kasih sayang, cinta orangtua kepada anaknya, yang
diekspresikan melalui fisik dan verbal. Ekspresi fisik dari kehangatan dan
afeksi antara lain pelukan, kasih sayang, perhatian, ciuman, senyuman dan
lainnya yang mengindikasikan adanya dukungan. Ekspresi kehangatan dan
afeksi verbal antara lain pujian, mengatakan hal yang baik tentang anak,
mungkin menyanyikan lagu dan menceritakan cerita yang disukai anak.
2) Bentuk penolakan orangtua (parental rejaction) yaitu kebalikan dari dimensi
kehangatan, ada tiga bentuk antara lain: (1) hostility dan aggression, meliputi
perasaan marah, dendam, benci, iri atau dengki terhadap anak; (2)
indifference and neglect, diekspresikan ketika orangtua lalai untuk mengurus
fisik, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lain anak. Orangtua
mengabaikkan kebutuhan, perhatian, harapan dan ketertarikan anak; dan (3)
Undifferentiated rejection, adalah perasaan tidak dicintai dan diinginkan.
Dagun (1990) dalam Briawan dan Herawati (2005) menyatakan bahwa
partisipasi ayah dalam membina pertumbuhan fisik dan psikologis anak tidak
kalah pentingnya dengan peran ibu dalam mengasuh anak. Oleh karena itu
untuk mendapatkan anak yang tumbuh dan berkembang secara optimal perlu
pengasuhan yang lengkap dari kedua orangtuanya.
Pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua supaya berkualitas dan
berhasil maka perlu diperhatikan: (1) Hubungan kasih sayang, (2)
Kelekatan/keeratan hubungan, (3) Hubungan yang tidak terputus, (4) Interaksi
yang memberikan rangsangan, (5) Hubungan dengan satu orang, (6) Melakukan
pengasuhan di rumah sendiri (Rutter 1984 dalam Nurani 2004).
26
Gambar 1 Kerangka konseptual prinsip pengasuhan pada teori parental acceptance-rejection Sumber: Rohner (1986)
Parental Acceptance Parental Rejection
Fisik Verbal
Hostility/Aggression Indifference/Neglect Undifferentiated Rejection
Fisik Verbal
• Ciuman • Pelukan • Kasih
Sayang • Dll
• Pujian • Mengatakan hal
yang bagus tentang anak
• Dll
• Memukul • Menggigit • Menendang • Mencakar • Mencubit • Dll
• Mengutuk • Merendahkan • Mengatakan kata
yang kasar-kasar • Sindiran tajam • Meremehkan • Dll
• Tidak ada perhatian terhadap kebutuhan anak
• Tidak menyediakan kebutuhan fisik dan psikologi dalam pengasuhan
• Dll
• Anak merasa tidak dicintai, tidak dihargai atau tidak diperhatikan, dll
WARMTH DIMENTION OF PARENTING
27
Peranan Ibu dalam Pengasuhan Hubungan yang pertama dan terutama dalam kehidupan seseorang anak
adalah dengan ibunya dan dari hubungan ini anak akan membentuk pola
hubungan antara dirinya dengan orang lain sepanjang hidupnya. Hubungan yang
terjalin antara orangtua dengan anak bukan merupakan proses yang searah,
akan tetapi timbal balik karena perilaku anak dapat mempengaruhi perilaku
orangtua. Peranan orangtua khususnya ibu selaku pengasuh dan pendidik anak
dalam keluarga dapat mempengaruhi perkembangan anak secara positif maupun
negatif (Karyadi 1988). Penelitian yang dilakukan Jatiningsih (2004)
menunjukkan bahwa semakin banyak alokasi waktu yang dicurahkan ibu dalam
pengasuhan anak maka skor perkembangan sosial anak akan semakin baik.
Peranan Ayah dalam Pengasuhan Hadawi (2001) mengatakan bahwa tugas seorang ayah secara tradisional
adalah melindungi keluarga (protection) dan mencari nafkah (breadwinner)
namun kemudian diperluas dalam hal-hal yang menyangkut child management
dan pendidikan. Rudyanto (2007) mengatakan bahwa bila dibandingkan dengan
ibu, maka ayah pada permulaan kehidupan seseorang anak memang memiliki
kesempatan dan peranan yang lebih kecil dalam mengembangkan anak-
anaknya. Dengan meningkatnya usia anak, maka peranan ayah semakin banyak
dan kompleks. Ayah harus dapat mengerti keadaan anak, bertindak sebagai
teman atau rekan, membimbing perkembangan anak serta melakukan sesuatu
bersama anak. Peran ayah dalam pengasuhan mempunyai pengaruh nyata pada
tingkat perkembangan anak. Ayah berusaha mengembangkan kemampuan-
kemampuan, keahlian, mengarahkan minat dan mengembangkan kemampuan
intelektualnya. Pada umumnya peran ayah dalam pengasuhan adalah mengajak
anak bermain.
Tokoh Pengganti ibu Keterpisahan antara anak dan ibu yang relatif lama pada keluarga TKW
memerlukan pemikiran dan usaha yang tepat agar anak tidak terlalu menderita,
sehingga hal ini mungkin bisa menjadi dasar timbulnya kesulitan-kesulitan
tingkah laku dalam perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Tokoh
pengganti ibu bisa berperan dengan baik, asalkan memiliki sifat kasih sayang
terhadap anak. Kasih sayang dengan sikap affeksional sebagai seorang dewasa
28
yang ingin mengasuh, merawat dan mendidik anak sebaik-baiknya, sesuai
dengan dasar-dasar perkembangan tingkah laku dan perkembangan kepribadian
yang ideal dan normatif (Gunarsa 2003). Hal serupa juga diungkapkan oleh
Seaman (1972) dan Wortis (1971) dalam Rice (1983), setiap anak membutuhkan
kehangatan, perhatian penuh cinta dari orang dewasa yang akan memenuhi
kebutuhan perkembangan anak. Perhatian ini dapat diberikan oleh seorang
pengganti ibu yang cakap untuk periode waktu yang cocok dengan usia anak,
penyediaan perhatian harus konsisten dan cukup.
Pada keluarga dengan latar belakang pendidikan yang tinggi, lebih
cenderung memahami dan lebih mengetahui cara pengasuhan yang baik pada
anaknya. Hal ini berhubungan dengan akses untuk mendapatkan informasi yang
lebih memungkinkan pada keluarga berpendidikan dan berpendapatan tinggi.
Dengan adanya informasi baik itu dari buku-buku bacaan, media cetak, audio,
audio visual ataupun dari rekan kerja menjadikan mereka tahu dan memahami
bagaimana cara mengasuh anak yang baik. Hal sebaliknya terjadi pada keluarga
miskin dan berpendidikan rendah yang biasanya menanggung beban hidup yang
sangat berat sehingga seringkali emosi kurang terkendali. Pada keluarga miskin
disiplin diterapkan dengan ketat. Hurlock (1980) mengatakan bahwa pendidikan
orangtua mempengaruhi pengasuhan yang diterapkan pada anak. Dengan
pendidikan tinggi yang dicapai orangtua akan lebih membantu orangtua
memahami kebutuhan anak, sehingga seringkali secara langsung akan
berpengaruh juga terhadap pemilihan pengasuhan yang diterapkan pada anak.
Orangtua yang status sosial ekonomi lebih tinggi lebih menunjukkan kehangatan
dan afeksi terhadap anaknya daripada orangtua yang berada dalam status sosial
ekonomi lebih rendah yang cenderung menekankan kepatuhan (Berns 1997).
Kedua orangtua dan anak dipengaruhi oleh jumlah anak dalam keluarga.
Lebih banyak anak maka lebih banyak interaksi dalam keluarga tetapi interaksi
antara orangtua dan anak akan semakin sedikit. Anak dalam keluarga besar
mungkin memiliki banyak sumberdaya untuk draw upon for company, teman
bermain dan keamanan emosional. Mereka mungkin juga tertarik untuk
bertanggungjawab atau perhatian kepada saudara yang lebih muda. Orangtua
pada keluarga yang lebih besar, khususnya dengan tempat tinggal yang sempit
dan sumber ekonomi yang rendah, memperlakukan anak lebih autoritarian dan
lebih senang menggunakan physical punishment dan sedikit menjelaskan
peraturan daripada keluarga yang lebih kecil (Berns 1997).
29
Interaksi dalam Keluarga Untuk melihat hubungan yang terjadi dalam keluarga digunakan konsep
interaksionalisme melalui suatu konsep interaksi dan dampak yang
ditimbulkannya. Hubungan yang terjadi dalam keluarga menurut Suleeman
(1999), dapat dilihat dari: (1) Hubungan suami-istri, (2) Hubungan orangtua-anak,
(3) Hubungan antarsaudara (siblings). Hubungan ini dapat pula ditambahkan
dengan (4) Hubungan antargenerasi.
Interaksi keluarga (orangtua dan anak) adalah hubungan antara anak dan
orangtua yang dilandasi oleh perasaan, perkataan, dan perlakuan orangtua
terhadap anak-anaknya serta strategi pendidikan budi pekerti yang dilakukan
setiap hari di rumah, mulai bayi hingga dewasa. Interaksi orangtua dan anak
diwujudkan dalam bentuk komunikasi dan bonding (Puspitasari 2006).
Ilmu sosiologi menggunakan pendekatan bahwa antar manusia harus
didahului oleh kontak dan komunikasi. Hubungan manusia ini kemudian saling
mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya melalui pengertian yang
diungkapkan, informasi yang dibagi, semangat yang disumbangkan, yang semua
pesannya membentuk pengetahuan. Model interaksi dari proses komunikasi juga
menunjukkan perkembangan peran (role development), pengambilan peran (role-
taking) dan pengembangan diri sendiri (development of self) karena manusia
berkembang melalui interaksi sosialnya. Komunikasi manusia tersebut juga
terjadi dalam satu konteks budaya tertentu dan mempunyai batas-batas
(boundaries) tertentu (Ruben 1988 dan Liliweri 1997 dalam Puspitawati 2006).
Keluarga mempunyai interaksi kelompok yang memberikan ikatan
bonding (hubungan biologis dan hubungan intergenerasi serta ikatan
kekerabatan) yang jauh lebih lama dibandingkan dengan kelompok asosiasi
lainnya. Interaksi dalam keluarga ini lebih dipandang sebagai: (1) Suatu interaksi
umum antar anggota keluarga, (2) Suatu seri interaksi yang dilakukan oleh dua
pihak (dyadic), (3) Sejumlah interaksi antar sub kelompok keluarga: dyadic,
triadic, dan tetradic, dan (4) Sistem hubungan internal keluarga sebagai reaksi
terhadap kontrol sosial yang lebih luas (Klein dan White 1996 dalam Puspitawati
2006).
Kekompleksan dalam interaksi pasangan, dikonsepkan kedalam tiga
komponen dasar yaitu: (1) Kesesuaian dalam persepsi peran; (2) Timbal balik
peran; (3) Kesetaraan fungsi peran (Saxton 1990). Interaksi manusia pertama
kali terjadi dalam keluarga. Interaksi orangtua dan anak adalah suatu pola
30
perilaku yang mengikat orangtua dan anak secara timbal balik yang mencakup
berbagai upaya keluarga. Dalam keadaan yang normal, lingkungan pertama
yang berhubungan dengan anak adalah orangtua, saudara, dan kerabat dekat
yang tinggal serumah. Sikap orangtua mempengaruhi cara orangtua
memperlakukan anak dan perlakuan orangtua terhadap anak sebaliknya
mempengaruhi sikap dan perilaku anak terhadap orangtua. Pada dasarnya
hubungan orangtua-anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua
sangat menentukan hubungan keluarga. Sekali hubungan terbentuk, maka
cenderung bertahan. Orangtua yang mempunyai kemampuan yang baik tentu
akan mempunyai cara, sikap, dan waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan
anak. Tingkah laku orangtua dapat mempengaruhi dalam pembinaan anak-anak.
Hubungan yang baik antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping anggota
keluarga akan dapat terjalin dengan baik apabila komunikasi berjalan dengan
baik dalam lingkungan keluarga (Effendi et al. 1995 dalam Kunarti 2004).
Permasalahan keluarga yang semakin rentan akhir-akhir ini dikarenakan
semakin melemahnya kualitas komunikasi antara anggota keluarga sehingga
memudarnya fungsi keluarga dalam melindungi anggotanya dari pengaruh pihak
luar. Pengaruh luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan
teknologi komunikasi di era informasi globalisasi (Susanto-Sunario dalam
Puspitawati 2006).
Kepergian Tenaga Kerja Wanita (TKW) dapat mengakibatkan
terganggunya fungsi-fungsi dalam keluarga. Hal ini dapat menimbulkan dampak
sosial dan psikologis tertentu bagi anggota keluarga yaitu suami dan anak. Blood
dalam Luthfiyasari (2004) menyebutkan beberapa akibat yang mungkin terjadi
antara lain berkurangnya intensitas komunikasi, melemahnya ikatan
kekerabatan, goyahnya stabilitas keluarga serta melonggarnya keterikatan moral
terhadap budaya setempat.
Keintiman diantara hubungan anggota keluarga akan sangat
mempengaruhi kehangatan terhadap keluarga (Dagun 1990 dalam Mutyahara
2005). Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama untuk menciptakan
komunikasi antara orangtua dan anak, sebab dengan adanya waktu bersama,
barulah keintiman dan keakraban dapat diciptakan diantara anggota.
31
Interaksi Suami dan Istri Komunikasi yang baik antara suami dan istri merupakan elemen penting
dari kualitas perkawinan (Kammeyer 1987). Kammeyer (1987) mengidentifikasi
tiga jenis komunikasi yang penting dalam hubungan suami-istri yaitu: (1) Open
and Honest Communication, pasangan mengekspresikan perasaan secara tepat
dan tidak mencampuradukkan pesan. Komunikasi tipe ini memberikan kontribusi
terhadap hubungan kualitas perkawinan; (2) Supportiveness, memperlakukan
orang yang sedang berbicara dengan penuh perhatian dan respect. Komunikasi
yang baik tergantung pada jenis dukungan dan konfirmasi (merespon secara
positif), dan studi menunjukkan bahwa ketika pasangan yang menikah
memperhatikan kualitas komunikasi mereka, kepuasan dan kualitas pernikahan
mereka lebih besar (Montgomery 1981 dalam Kammeyer 1987); (3) Self-
Disclosure, self-disclosure sama dengan open and honesty, tetapi ada beberapa
elemen perasaan dan emosi yang lebih kuat. Berbicara dengan orang lain
tentang ketakutan, harapan, dan keinginan merupakan inti dari self-disclosure.
Penelitian Hendrick (1981) dalam Kammeyer (1987) menemukan secara umum
berhubungan positif antara self-disclosure dengan kepuasan perkawinan.
Interaksi Ibu dan Anak Pada keluarga yang suami-istri bekerja (dual erner), terutama istri, karena
istri juga berperan sebagai ibu maka perpisahan anak dan ibu akan berpengaruh
pada perkembangan anak. Penelitian Bowlby beberapa puluh tahun berselang
sampai pada kesimpulan bahwa bila dalam perkembangannya anak tidak
mendapatkan porsi kasih sayang yang cukup dari ibunya, anak akan menderita
apa yang disebut oleh Bowlby sebagai maternal deprivation yang menyebabkan
anak mengalami kesulitan emosional serta hambatan-hambatan dalam
pengembangan daya pikirnya. Bahkan perpisahan sementara atau kondisi yang
disebut partial seperetion sudah cukup mengganggu perkembangan anak. Tidak
dapat disangkal bahwa seseorang ibu yang bekerja untuk jangka waktu tertentu
akan menciptakan perpisahan dengan anaknya. Perpisahan sementara tersebut
dapat menyebabkan keterikatan secara emosional (attachment) antara anak
dengan ibunya menjadi terganggu, padahal ikatan tersebut perlu ada untuk
menjamin hubungan yang sehat antara anak-ibu (Achir 1985).
32
Interaksi Ayah dan Anak Keterlibatan atau kontribusi ayah di seluruh belahan dunia rendah dalam
tugas pengasuhan anak (United Nations 1995, Engel et al 1992 dalam Hastuti
2007). Namun dukungan sosial emosi amat diperlukan dari ayah ketika kondisi
ibu harus meninggalkan anak untuk waktu yang cukup lama seperti yang terjadi
pada keluarga TKW. Interaksi antara ayah dan anak menjadi sangat penting agar
anak tidak terlalu menderita, sehingga hal ini tidak menimbulkan kesulitan-
kesulitan tingkah laku dalam perkembangan kepribadian anak selanjutnya.
Kualitas Perkawinan Definisi Perkawinan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996) mengartikan
perkawinan sebagai hubungan permanen antara lelaki dan perempuan yang
diakui sah oleh masyarakat atas dasar peraturan perkawinan yang berlaku.
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 Pasal 1
tentang perkawinan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang
Maha Esa.
Perkawinan merupakan perwujudan formal antara pasangan laki-laki dan
perempuan yang akan membentuk suatu rumah tangga dan sudah merupakan
kodrat alami antara dua insan manusia yang berlainan jenis, adanya saling
ketertarikan satu sama lain untuk tujuan hidup bersama. Dengan adanya
perkawinan hendaknya setiap pasangan dapat membentuk suatu
keluarga/rumah tangga yang kekal dan bahagia (Tati 2004).
Rifai (1990) dalam Tati (2004) menegaskan bahwa perkawinan memiliki
tiga unsur penguat yakni unsur sosial, hukum, dan agama. Perkawinan yang
memiliki unsur sosial memberikan status sosial yang tinggi, lebih dihargai dari
pada mereka yang tidak menikah. Perkawinan dipandang sebagai kemaslahatan
masyarakat dalam arti menghindari perselisihan, permusuhan antara sesama
manusia. Dipandang dari sudut agama bahwa perkawinan merupakan
pembentukan manusia susila, dimana perkawinan sebagai suatu asas yang
utama dalam pergaulan atau masyarakat yang beradab, agar menjadi laki-laki
dan perempuan yang terhindar dari perbuatan yang dilarang agama. Dalam
33
agama perkawinan dianggap sebagai lembaga yang suci/sakral. Perkawinan
dipandang dari unsur hukum, bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian
yang sangat kuat, atau merupakan pertalian yang seteguh-teguhnya antara
suami istri dan turunannya, dan merupakan pertalian yang erat dalam hidup dan
kehidupan manusia.
Ada beberapa alasan seseorang melangsungkan perkawinan yaitu
menurut Turner dan Helms (1995) yaitu: (a) Adanya komitmen artinya ada
seseorang yang dapat dimilikinya secara sepenuhnya, (b) Hubungan satu lawan
satu artinya dengan pernikahan ada seseorang yang memberi dukungan secara
emosional yang diekspresikan dengan kasih sayang, kepercayaan, keintiman, (c)
Kebersamaan, (d) Cinta, (e) Kebahagiaan, dan (f) Legitimasi seksual dan anak-
anak. Ada alasan lain yaitu karena banyak manfaatnya dan keuntungan yang
diperoleh dari perkawinan.
Keunikan yang terjadi dalam hubungan perkawinan adalah meskipun
banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan seperti perbedaan emosional,
lingkungan, genetis dan kepribadian, selalu ada perkawinan yang berhasil.
Perkawinan tersebut dinikmati oleh laki-laki dan perempuan sebagai suami istri
yang bahagia. Mayoritas pasangan yang menikah memiliki tujuan hidup
bersama, berbagi dukungan fisik dan komunikasi tentang berbagai kesenangan
dan masalah (Osborne 1988 dalam Suryani 2004).
Kualitas perkawinan didefinisikan sebagai sejauh mana mutu perkawinan,
baik sebagai pandangan pasangan pada titik waktu tertentu, maupun sebagai
kombinasi perasaan yang dialami pasangan, dan ciri-ciri relasional antar
pasangan pada titik waktu tertentu (Suhardono 1998 dalam Ritonga 2007). Elder
et al. (1991) dalam Tati (2004) menilai kualitas perkawinan dalam batas-batas
kebahagian dan kepuasan serta ketidakstabilan perkawinan dalam batasan
pemikiran, aksi atau perceraian. Ada juga yang mendefinisikan kualitas
perkawinan dalam lima dimensi yaitu kecenderungan bercerai, masalah
perkawinan, kebahagiaan perkawinan, interaksi perkawinan dan
ketidaksepakatan dalam perkawinan. Menurut Conger et al. (1994), kualitas
perkawinan memiliki dua dimensi yakni kebahagiaan perkawinan dan kepuasan
perkawinan.
Studi menunjukkan apabila pasangan memiliki latar belakang (agama,
ras, sosial ekonomi) keluarga yang sama maka kualitas perkawinan akan lebih
besar. Kualitas perkawinan berhubungan positif dengan sumberdaya dan
34
kemampuan diri, seperti pendidikan, fisik dan mental yang baik, ekonomi yang
tinggi. Dukungan teman dan tetangga juga berhubungan dengan tingginya
kualitas perkawinan (Kammeyer 1987).
Banyak penelitian memperlihatkan penghormatan positif terhadap
pasangan memperbesar kualitas perkawinan. Penghormatan yang positif
ditunjukkan melalui evaluasi yang menyenangkan dari pasangan, persetujuan
tentang nilai, kepuasan seksual dan fisik yang menarik, persetujuan pada
pandangan diri, ekspresi afeksi dan cinta, hubungan yang setara,
companionship, dan penyelesaian masalah yang efektif (Kammeyer 1987).
Pasangan yang memiliki anak juga memperlihatkan peningkatan kualitas
perkawinan karena anak merupakan pelengkap dalam perkawinan.
Adanya saling pengertian antara suami istri merupakan faktor yang
penting supaya tercapai hubungan yang harmonis. Mengertikan motif-motif
tingkah lakunya, sebab-sebab mengapa pasangan berbuat demikian, mempunyai
pengertian untuk latar belakang hidup pasangannya. Jika ada saling pengertian
antara kedua belah pihak, ini menjadikan mereka lebih toleran. Dan toleransi
sangat penting untuk hubungan suami istri. Toleransi untuk kekurangan-
kekurangan, kelemahan-kelemahan, kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik dari
pihak yang lain. Penting pula untuk suatu perkawinan yang harmonis, dimana
kedua belah pihak merasakan kebahagiaan dan kepuasan, ialah jika ada saling
penghargaan antara keduanya. Penghargaan untuk kepribadian, prestasi, minat,
individualitas dari partnernya. Ini erat hubungannya dengan pengakuan diri
kedua belah pihak, bahwa masing-masing berhak atas kehidupan pribadi
(Munandar 1985).
Dari studi-studi yang telah dilakukan nyata bahwa banyak sekali faktor-
faktor yang perlu diperhatikan untuk menjamin perkawinan yang harmonis
(Munandar 1985), antara lain:
(1) Keadaan kesehatan dan warisan biologis untuk menjamin keturunan yang
sehat
(2) Latar belakang/lingkungan hidupnya, apakah berasal dari keluarga yang
bahagia atau dari brokenhome, adakah konflik-konflik dengan
orangtuanya/saudaranya, sikap/pandangan yang sehat mengenai seks dan
lain-lain
(3) Ketertarikan yang tidak banyak berbeda
(4) Norma-norma tingkah laku/falsafah hidup yang sama
35
(5) Faktor ekonomis (jika sangat berbeda dengan keadaannya sebelum
menikah, dapat menimbulkan kesukaran
(6) Apakah keduanya dari lingkungan/status sosial yang sangat berbeda
(7) Adakah perbedaan mencolok daam pendidikan, kecerdasan, umur dan lain-
lain
(8) Perbedaan dalam agama
(9) Perbedaan dalam kebudayaan, kebangsaan
Menurut Duvall (1955), perkawinan yang sukses memiliki aspek: (1)
Companionship; (2) Adaptability; dan (3) Determination to succed. Munandar
(1985) menyatakan bahwa perkawinan yang sukses ialah suatu hubungan yang
dinamis, dimana kepribadian dari kedua pasangan berkembang secara
berkelanjutan, sehingga dari hubungan tersebut tercapailah kepuasan pribadi
pada taraf yang tinggi. Karakteristik kualitas perkawinan yang sukses menurut
Sadarjoen (2009), adalah: (1) Komitmen yang terjaga; (2) Kejujuran, kesetiaan,
kepercayaan; (3) Rasa tanggungjawab; (4) Kesediaan untuk menyesuaikan diri;
(5) Fleksibilitas dan toleransi dalam setiap aspek perkawinan termasuk
kehidupan seksual; (6) Mempertimbangkan keinginan pasangan; (7) Komunikasi
yang terbuka, dengan penuh empati dan saling menghormati (respek) antar
pasangan; (8) Menjalin hubungan antar pasangan dengan cinta penuh afeksi; (9)
Pertemanan yang nyaman antar pasangan; (10) Kemampuan mengatasi krisis
dalam setiap situasi dalam kebersamaan; (11) Menjaga nilai-nilai spiritual antar
pasangan perkawinan dan keturunannya.
Kebahagiaan Perkawinan Apa yang disebut kebahagiaan adalah subjektif dan individual. Setiap
pasangan menemukan norma-normanya sendiri tentang apa yang diinginkan dari
perkawinannya. Perkawinan dikatakan berhasil jika sesuai dengan norma-norma
ini dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di dalam
masyarakat. Kebahagiaan perkawinan dari pasangan suami istri, tumbuh jika
dilandasi perasaan cinta dan kasih sayang, adanya kebersamaan, saling
percaya, saling menghargai dan menghormati serta adanya pengorbanan.
Kulitas perkawinan berdimensi kebahagiaan perkawinan memiliki ciri
adanya kemampuan berkomunikasi dengan baik antar pasangan, hubungan
yang setara antar pasangan, hubungan yang baik antara mertua dan ipar,
menginginkan hadirnya anak, memiliki minat di bidang yang sama, memiliki cinta,
36
saling menghormati, kesesuaian dalam kehidupan seksual, menikmati waktu
luang bersama, hubungan penuh afeksi dan kebersamaan, dan kemampuan
untuk memberi dan menerima (Zastrow & Kirsht 1987 dalam Nurani 2004).
Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan perkawinan adalah:
(1) Keuangan: Keuangan menduduki peringkat pertama sebagai sumber utama
konflik sekalipun dalam keluarga dengan perkawinan yang stabil dan
finansial yang memadai (Landis dan Landis 1955).
(2) Keluarga dari pasangan suami-istri: dengan melakukan perkawinan,
seseorang akan mendapatkan hubungan keluarga terikat perkawinan.
Kedekatan hubungan ini bervariasi, mulai dari mertua, ipar, sepupu dari
pasangan bahkan istri suami yang lain. Baik istri maupun suami harus
menyesuaikan dirinya pada keluarga terikat perkawinan ini agar terhindar
dari benturan-benturan dengan pasangannya. Landis dan Landis (1955)
menyatakan bahwa jika hubungan mertua ipar baik maka perkawinan akan
cenderung baik.
(3) Kehidupan beragama: Kehidupan beragama berhubungan erat dengan
kepuasan perkawinan (Landis dan Landis 1955). Orang yang agresif dan
curiga terhadap orang lain karena tidak adanya keamanan dari dalam
dirinya. Keamanan dalam diri dari kepercayaan agama mungkin membantu
seseorang memahami orang lain dan menerima kebutuhannya.
(4) Komunikasi: Pada sekelompok pasangan yang bahagia ditemukan adanya
komunikasi yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan kelompok
yang kurang bahagia dalam perkawinannya. Dalam kelompok yang kurang
bahagia, seiring timbul masalah akibat komunikasi yang salah (Atwater 1985
dalam Sari 2004)
(5) Lain-lain: faktor lain yang mempengaruhi adalah penyesuaian seksual,
pengasuhan anak, sikap dan nilai terhadap perkawinan, dan pengelolaan
rumah tangga serta usia pasangan saat menikah. Karyadi (1988)
mengatakan bahwa seringkali pasangan yang menikah di bawah 20 tahun
mengalami perceraian. Persentasenya lebih tinggi dibanding dengan mereka
yang menikah di atas 20 tahun.
Menurut Olson dalam Nurani (2004), tipologi pasangan menikah
berhubungan dengan tingkat kebahagiaan pernikahan serta apakah perkawinan
tersebut bisa bertahan atau tidak. Tipologi pasangan menikah tersebut adalah:
(1) Pernikahan tanpa vitalitas, pasangan dalam tipe perkawinan ini merasa tidak
37
menemukan kepuasan dalam semua faktor yang berperan dan selalu berada
dalam keadaan labil. Pasangan tipe ini biasa menikah pada usia terlalu muda,
memiliki penghasilan rendah, dan biasanya berasal dari keluarga yang
berantakan; (2) Pasangan finansial, memiliki banyak konflik yang tidak
terselesaikan dan tidak puas dengan komunikasi dalam pernikahan dan dengan
keadaan atau kepribadian pasangan. Karir menjadi prioritas yang melebihi
keluarga, dan uang menjadi satu-satunya penghiburan; (3) Pasangan berkonflik,
pasangan merasa tidak puas dalam aspek seks, kepribadian pasangan,
komunikasi, dan pemecahan masalah yang mereka hadapi. Pasangan dari tipe
ini yang mencari kepuasan dari dimensi eksternal, seperti menekuni hobi secara
berlebihan atau mencari pelarian dalam ritual keagamaan; (4) Pasangan
tradisional, pasangan menemukan kepuasan dalam banyak aspek kehidupan
rumah tangga mereka tetapi memiliki masalah serius dalam aspek komunikasi
dan seksual. Kebahagiaan pasangan berasal dari aspek religius dan hubungan
yang baik serta kedekatan dengan kerabat dan teman-teman rumah tangga
relatif stabil dan bertahan lebih lama; (5) Pasangan seimbang, pasangan merasa
cukup pada kemampuan komunikasi dan resolusi konflik, memiliki kesamaan
aspek aktivitas waktu luang, pengasuhan anak dan seksualitas, serta lebih
mementingkan kepentingan keluarga batih; (6) Pasangan harmonis, pasangan
puas dengan pasangannya, ekspresi kasih sayang yang ditunjukkan serta
seksual, namun menganggap anak sebagai hambatan dalam hubungan; (7)
Keluarga penuh vitalitas, pasangan menunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi,
menjalin hubungan dengan baik, kepribadian yang saling melengkapi, mampu
menjalin komunikasi dengan baik, mencari solusi dari konflik, puas secara
seksual maupan secara finansial dan juga berasal dari keluarga harmonis.
Kepuasan Perkawinan Duvall & Miller (1989) dalam Nurani (2004), kepuasan perkawinan
meliputi ekspresi afeksi yang terbuka satu sama lain, terjalinnya rasa saling
percaya, tidak ada dominasi satu terhadap lainnya, komunikasi yang bebas dan
terbuka antar pasangan, kesesuaian kehidupan seksual, melakukan kegiatan
bersama dalam hal aktivitas di luar rumah, tempat tinggal relatif stabil, dan
penghasilan yang memadai.
Keluarga bahagia adalah keluarga yang memiliki iklim hidup psikologis
yang memberikan nilai-nilai kepuasan yang mendalam kepada para anggotanya,
38
sehingga dirasakan bahwa kepuasan itu diperolehnya dalam situasi yang
nyaman, penuh kehangatan, kegembiraan dan penuh rasa aman serta merasa
terlindungi. Pandangan ini menunjukan bahwa jika kepuasan terpenuhi maka
kebahagiaan pun dapat tercapai (Rifai 1999 dalam Tati 2004).
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan menurut
Rice (1983) antara lain: (1) Status pekerjaan, tingkat pendapatan dan pendidikan;
(2) Kepuasan terhadap pekerjaan; (3) Sehat mental dan fisik; (4) Menghabiskan
proporsi waktu luang dalam aktivitas kebersamaan terbesar; (5) Komunikasi
verbal dan nonverbal yang baik; (6) Mengekspresikan afeksi; (7) Saling
mempercayai satu sama lain; (8) Nyaman terhadap harapan akan peran
pasangan dalam pernikahan dan adanya peran yang fleksibel.
Menurut Blood dan Wolfe (1960) dalam Sari (2004), kepuasan dalam
perkawinan dapat dicapai dengan memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya
meliputi: (1) Kebutuhan akan self-esteem (penghargaan), (2) Kebutuhan akan
companionship (persahabatan), (3) Kebutuhan untuk dimengerti.
Penelitian yang dilakukan Fitasari (2004) menunjukkan bahwa tingkat
pendapatan akan mempengaruhi kepuasan perkawinan dimana semakin tinggi
pendapatan maka semakin tinggi pula kepuasan perkawinan. Semakin tinggi
konflik dalam keluarga maka akan semakin menurunkan tingkat kepuasan yang
dicapai keluarga.
Kondisi Anak Keterampilan Sosial Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang
sesuai dengan tuntutan sosial (Hurlock 1980). Menurut Satoto (1990) proses
menuju kesesuaian tuntutan sosial mencakup tiga komponen yaitu belajar
berperilaku dengan cara yang disetujui secara sosial, bermain dalam peranan
yang disetujui secara sosial, dan pengembangan sikap sosial. Golemen (2006)
mengemukakan bahwa keterampilan sosial merupakan modal dalam membina
suatu interaksi sosial yang baik dengan individu dan lingkungan. Menurut Hurlock
(1980) anak yang memiliki perilaku sosial yang sukses memiliki ciri-ciri mampu
bekerjasama, persaingan sehat, kemampuan berbagi, minat untuk diterima,
simpati, empati, keterikatan (depedency), persahabatan, keinginan bermanfaat,
imitasi dan perilaku lekat (attachment behavior).
39
Megawangi (1999) berpendapat bahwa bekal paling penting bagi anak
adalah kematangan emosi-sosialnya, karena dengannya seseorang akan dapat
berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk
berhasil secara akademis sebagaimana juga dalam kehidupan sosialnya.
Kematangan emosi-sosial anak ditentukan sejak anak lahir dan sejauhmana
orangtua dapat membentuk kedekatan psikologis dengan anak-anaknya.
Menurut Berns (1997) perilaku prososial meliputi perilaku yang memberikan
manfaat bagi orang lain, seperti altruism, sharing, dan cooperation. Goleman (2007) membagi kecerdasan sosial menjadi dua yaitu:
1) Kesadaran sosial yaitu kesadaran sosial merujuk pada pemahaman keadaan
batiniah orang lain sampai memahami perasaan dan pikirannya, meliputi: (1)
empati dasar, merasakan yang dirasakan orang lain dan merasakan isyarat-
isyarat emosi nonverbal; (2) penyelarasan, mendengarkan dengan penuh
reseptivitas, menyelaraskan diri pada seseorang; (3) ketepatan empatik,
memahami pikiran, perasaan, dan maksud orang lain; (4) pengertian sosial,
mengetahui bagaimana dunia sosial bekerja. 2) Fasilitas sosial yaitu semata-mata hanya merasakan bagaimana orang lain
merasa atau mengetahui apa yang mereka pikirkan atau niatkan, yang
meliputi: (1) sinkroni, berinteraksi secara mulus pada tingkat nonverbal; (2)
presentasi diri, mempresentasikan diri sendiri secara efektif; (3) pengaruh,
membentuk hasil interaksi sosial; (4) kepedulian, peduli akan kebutuhan
orang lain dan melakukan tindakan yang sesuai dengan hal itu. Menurut Santrock dan Yussen (1989), isu-isu yang dapat dikaitkan
dengan perkembangan sosial anak adalah:
(1) Dependency yang didefinisikan sebagai ketergantungan antara satu orang
kepada yang lain yang meliputi kebutuhan untuk ditolong dan dibantu,
dipelihara dan dirawat, disayangi dan dilindungi. (2) Otonomi yang didefinisikan sebagai belajar untuk mengontrol dirinya agar
dapat mengerjakan sesuatu tanpa adanya bantuan dari orang lain. (3) Mastery yang diartikan sebagai penguasaan akan sesuatu yang merupakan
keunggulan individu. (4) Kompetensi yang diartikan sebagai kecakapan/kemahiran.
Anak-anak pada masa sekolah dasar ini masih membutuhkan
pertolongan dalam membentuk tingkah lakunya sesuai dengan situasi, kondisi
dan aturan-aturan yang semuanya baru baginya. Anak-anak membutuhkan rasa
40
aman dari kedua orangtuanya dan orang-orang dewasa di lingkungannya.
Melalui pengalaman-pengalaman di rumah inilah, anak diharapkan dapat
menyesuaikan diri dengan baik terhadap pengalaman-pengalamannya di
sekolah. Erikson mengatakan bahwa pengalaman yang terpenting pada masa
sekolah ini adalah dalam kerjasama antar teman, sikap-sikap terhadap kerja, dan
kelompok persahabatan. Bila pengalaman pada masa ini banyak membawa
perasaan cemas, maka akan menimbulkan perasaan inferiority terhadap
kemampuan dan kedudukannya diantara teman-temannya. Anak membutuhkan
perlindungan dan pengalaman yang kaya serta bervariasi dari seseorang, melalui
kecintaan dalam asuhannya (Rudyanto 2007).
Menurut Gunarsa (2003), beberapa faktor yang menentukan serta berapa
jauh akan menimbulkan masalah pada anak yang terpaksa terpisah dari ibunya
atau tokoh pengganti ibu tempat anak memperlihatkan keterikatannya adalah:
1) Lamanya dan seringnya perpisahan yang terjadi. Perpisahan yang lama
tanpa adanya tokoh pengganti pengganti akan menimbulkan akibat yang
menyulitkan dirinya maupun orang lain, secara khusus terlihat pada
kehidupan dan perwujudan emosinya. Demikian pula bilamana sering terjadi
perpisahan tanpa ada tokoh pengganti yang benar-benar bisa memenuhi
semua kebutuhan anak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang sedang
dialami pada tahapan perkembangannya.
2) Kondisi perawatan atau pengasuhan ketika terjadi perpisahan. Pengganti ibu
bisa berperan sebagai tokoh pada siapa anak mengalihkan objek
keterikatannya dengan ibunya ke tokoh tersebut. Adakalanya pengganti ibu
bisa memperlihatkan sikap, memperlakukan anak, memberikan jawaban dan
rangsangan yang memuaskan anak, sehingga anak lambat laun menjadi
terikat dengan tokoh pengganti ibu.
3) Sikap ibu atau tokoh setelah terjadi pertemuan kembali. Sikap ibu atau tokoh
sangat penting agar anak bisa cepat memulihkan keterikatan terhadapnya.
Sikap menerima dan mengerti bahwa anak telah kesal atau kecewa dan
membiarkan anak untuk sementara waktu menampilkan kekecewaan atau
kejengkelan akan banyak menolong anak mempercepat pulihnya kekeadaan
semula sebelum terjadi perpisahan.
4) Masa perkembangan ketika terjadi perpisahan. Perpisahan yang terjadi pada
masa pertama terjadinya keterikatan dengan ibu atau tokoh akan berakibat
lebih buruk daripada kalau perpisahan terjadi pada masa-masa yang lain.
41
5) Keadaan atau corak hubungan antara anak dengan ibu atau tokoh sebelum
terjadi perpisahan. Keterikatan yang longgar menyebabkan anak tidak terlalu
merasa kehilangan bahkan mudah untuk mencari atau memperoleh tokoh
pengganti dengan siapa ia merasa lebih terikat. Masa-masa terjadinya
keterikatan dengan orangtua atau tokoh khusus merupakan masa-masa
penting, keterpisahan bisa mempengaruhi timbulnya gangguan dalam
kepribadian bayi atau anak.
Wibono (2007) melihat adanya suatu hubungan antara penyesuaian diri
pada masa kanak-kanak dengan keberhasilan bergaul, lebih hangat dan terbuka
menghadapi orang lain dimasa dewasa. Penyesuaian diri didefinisikan sebagai
reaksi seseorang terhadap rangsangan-rangsangan dari dalam diri sendiri
maupun reaksi seseorang terhadap situasi yang berasal dari lingkungannya.
Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan anak menyesuaikan diri antara
lain:
1) Kehidupan di dalam keluarga. Bila anak dididik secara otoriter dan
kekerasan, maka anak akan merasa dendam dengan tokoh otoriter yang
dijumpainya sehingga anak mengalami kesulitan bergaul dengan tokoh
otoriter tersebut. Lain halnya dengan anak yang dibesarkan secara acuh tak
acuh, seringkali memperlihatkan sikap dan perasaan kurang peduli terhadap
orang lain.
2) Anak tidak memperoleh model yang baik di rumahnya terutama dari
orangtuanya.
Pada usia sekolah ini disebut juga sebagai usia kelompok yang ditandai
dengan adanya minat terhadap aktivitas-aktivitas teman dan meningkatnya
keinginan kuat untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan tidak puas
bila tidak bersama teman-temannya. Menurut Hurlock (1980), beberapa cara
peningkatan sosialisasi melalui keanggotaan kelompok yaitu belajar kepada
kelompok, belajar menyesuaikan diri dengan standar kelompok, belajar bermain
dan olah raga, belajar turut berbagi rasa dengan orang yang dianiaya, belajar
bersikap sportif, belajar menerima dan melaksanakan tanggungjawab, belajar
bersaing dengan orang lain, belajar perilaku sosial yang baik, belajar
bekerjasama, belajar bebas dari orang-orang dewasa. Penelitian Jatiningsih
(2004) menunjukkan bahwa perkembangan sosial anak pada buruh nelayan
yang tergolong rendah lebih banyak bila dibanding dengan anak juragan nelayan
dikarenakan keadaan ekonomi buruh nelayan juga lebih rendah bila dibanding
42
dengan juragan nelayan. Keadaan ekonomi yang cukup menyebabkan orangtua
lebih punya banyak waktu untuk membimbing anaknya karena orangtua tidak lagi
memikirkan keadaan ekonomi yang kurang. Penelitian yang dilakukan kepada keluarga nelayan ditemukan bahwa
jenis kelamin anak memiliki pengaruh nyata terhadap perkembangan sosial anak.
Anak laki-laki memiliki perkembangan sosial yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan perempuan (Jatiningsih 2004). Seorang ayah lebih terlihat berbeda
dalam pengasuhan terhadap anak laki-laki atau perempuan dibanding ibu
(Huston 1983; Fagot 1995 dan Lamb 1981 dalam Berns 1997). Orangtua lebih
menekankan anak perempuan untuk berperilaku prososial dan sopan, sementara
anak laki-laki ditekankan pada perilaku melindungi.
Urutan kelahiran atau posisi diantara saudara kandung menentukan
rencana kehidupan yang akan ditiru. Persaingan untuk memperoleh perhatian,
hubungan yang terjadi antara saudara kandung, harapan orangtua yang berbeda
mengenai perilaku antara saudara kandung dan kepribadian anak perlu
diperhitungkan dalam keluarga (Bigner 1979). Misalnya, anak yang lahir pertama
mungkin akan meniru pola perilaku yang mempunyai kekuatan yang
bertentangan pertama dengan interaksi antara saudara kandung dan orangtua,
yang kedua dengan anggota di luar kelompok keluarganya. Urutan posisi anak di
dalam keluarga mempengaruhi penampilan anak. Anak yang lahir kemudian
cenderung diterima oleh kelompok sebaya daripada anak sulung (Hurlock 1980).
Stres Anak Stres adalah proses yang terjadi saat individu harus menyesuaikan diri
dengan suatu keadaan yang biasanya dimanifestasikan oleh sindrom spesifik.
Stres merupakan tuntutan perasaan terhadap perubahan lingkungan yang terjadi
tiba-tiba (Melson 1980).
Badran (2006) dalam Aprilianti (2007), mengelompokkan sumber stres
menjadi: (1) Sumber stres yang bersifat internal (berasal dari dalam jiwa
seseorang itu sendiri), (2) Sumber stres yang bersifat eksternal (berasal dari luar
seperti pekerjaan, hubungan dengan teman dan perbedaan pendapat dengan
mereka, pertengkaran bersama pasangan, perceraian, kematian seseorang yang
dicintai, dan mengalami suatu peristiwa yang mengejutkan).
Teori stres yang digambarkan dengan model stres ABC-X. Model stres
McCubbin dan Paterson (1980) menjelaskan perbedaan dalam adaptasi keluarga
43
pada masa setelah krisis. Setiap variabel saling berinteraksi satu dengan
lainnya.Variabel dalam model ini digambarkan sebagai berikut:
a. Faktor AA: Sumber stres bertumpuk, artinya terdapat lebih dari satu sumber
stres utama dalam keluarga
b. Faktor BB: Sumber koping keluarga, yaitu kemampuan keluarga untuk
menghadapi tuntutan-tuntutan yang dihadapi.
c. Faktor CC: Penilaian atau persepsi terhadap sumber stres, yaitu interpretasi
subjek terhadap sumber stres
d. Faktor XX: Adaptasi keluarga yang merupakan konsep utama dalam usaha
mencapai keseimbangan setelah krisis.
Stres yang terjadi pada setiap orang berbeda-beda, hal ini dapat dilihat
dari gejala-gejala yang dialaminya. Gejala stres dapat dilihat dari segi fisik
maupun ciri-ciri segi mental. Berdasarkan segi fisik dapat dilihat bahwa dalam
keadaan stres terjadi berbagai perubahan pada fisik seseorang. Para ahli
mengatakan bahwa perubahan itu diakibatkan karena adanya aktivitas besar
pada alat terpenting yang berfungsi untuk menggerakkan tubuh ketika
menghadapi suatu bahaya/reaksi refleks. Akibat adanya aktifitas itu dapat
mempengaruhi anggota tubuh lainnya yang berhubungan. Misalnya tangan
berkeringat lebih banyak, perut terasa mual, pencernaan terasa sakit, denyut
jantung naik, suara serak, sering baung air kecil. Sedangkan berdasarkan segi
mental, stres dapat mengganggu mental dan perasaan seseorang serta
menyebabkan berbagai kelainan pada dirinya sendiri seperti gampang
tersinggung, tidak percaya diri, ragu-ragu mengambil keputusan, susah tidur,
merasa lemah dan gagal (Badran 2005 dalam Aprilianti 2007).
Prestasi Akademik Kognitif berasal dari bahasa latin “cognition” yang bermakna untuk
mengetahui. Kogitif merupakan suatu proses dari pengetahuan yang mencakup
kesadaran (awareness) dan penilaian (judgement). Kognitif berhubungan dengan
atau merupakan aktivitas intelektual yang disadari seperti berfikir (thinking),
menjelaskan (reasoning), membayangkan (imagining), mempelajari kata
(learning words) dan mengungkapkan bahasa (using language) (Webster 1993
dalam Hastuti 2006). Crain (2007) menjelaskan teori kognitif Piaget meliputi
empat periode, yaitu:
44
1) Periode I : Kepandaian Sensori-Motorik (dari lahir-2 tahun). Individu/bayi
mengorganisasikan skema tindakan fisik mereka seperti menghisap,
menggenggam, dan memukul untuk menghadapi dunia yang muncul di
hadapannya.
2) Periode II : Pikiran Pra-Operasional (2-7 tahun). Individu/anak-anak belajar
berfikir (menggunakan simbol-simbol dan pencitraan batiniah) namun pikiran
anak-anak belum sistematis dan tidak logis. Pikiran di titik ini sangat berbeda
dengan pikiran orang dewasa.
3) Periode III : Operasional kongkret (7-11 tahun). Individu/anak-anak
mengembangkan kemampuan berfikir sistematis, namun hanya ketika
mereka dapat kepada objek-objek dan aktivitas-aktivitas konkret.
4) Periode IV : Operasional Formal (11 tahun-dewasa). Individu
mengembangkan kemampuan untuk berfikir sistematis menurut rancangan
yang murni abstrak dan hipotesis.
Menurut Somantri (1978) dalam Nurani (2004) prestasi akademik anak
dapat diukur dengan melalui skor prestasi dari berbagai mata pelajaran yang
meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu
Pengetahuan Sosial (IPS), Bahasa Inggris, Pendidikan Agama. Skor prestasi
belajar adalah hasil yang dicapai siswa dalam waktu kurun tertentu yang
diwujudkan dalam bentuk angka yang dirumuskan dalam rapor.
Prestasi akademik yang dicapai seseorang individu merupakan hasil
interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi baik dalam diri (faktor
internal) maupun dari luar diri individu (faktor eksternal). Pengenalan dan
pemahaman seseorang akan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi
akademik merupakan langkah yang sangat penting untuk mencapai prestasi
sebaik-baiknya (Suryabrata 2001 dalam Nurani 2004).
Faktor yang mempengaruhi prestasi akademik yaitu faktor internal dan
faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek fisiologis (keadaan jasmani dan
fungsi fisiologis) dan aspek psikologis (kecerdasan, prestasi yang telah dimiliki,
serta unsur kepribadian seperti sikap, kebiasaan, bakat, kebutuhan motivasi,
emosi, dan penyesuaian diri, sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi
prestasi belajar meliputi lingkungan sosial dan non sosial. Faktor sosial yaitu
lingkungan keluarga (hubungan individu dengan anggota keluarga, besar
keluarga, bentuk keluarga, pendidikan orangtua, keadaan ekonomi keluarga),
sekolah (fisik sekolah, fisik ruangan, kelengkapan alat pelajaran, disiplin sekolah,
45
metode belajar mengajar, hubungan siswa dengan guru), dan masyarakat
(kegiatan yang diikuti oleh individu seperti klub olah raga) (Hadawi 2001 dalam
Nurani 2004).
Adanya afeksi, penerimaan dan kehangatan yang diterima oleh anak dari
ayah serta ibunya terlihat dari adanya penyesuaian diri dan nilai prestasi
akademik yang baik dari anak sekolah (Hadawi 2001 dalam Nurani 2004).
Hurlock (1980) mengutarakan bahwa pekerjaan di sekolah dan sikap anak
terhadap sekolah sangat dipengaruhi oleh hubungan dengan anggota keluarga.
Hubungan keluarga yang sehat dan bahagia menimbulkan dorongan untuk
berprestasi, sedangkan hubungan yang tidak sehat dan bahagia menimbulkan
ketegangan emosional yang biasanya memberikan efek buruk pada kemampuan
berkonsentrasi dan kemampuan untuk belajar. Gunarsa dan Gunarsa (2008) juga
mengungkapkan bahwa hubungan yang terjalin antara anak dengan orangtuanya
ataupun dengan saudaranya, sikap, perhatian dan minat orangtua serta status
sosial ekonomi orangtua mempengaruhi prestasi anak di sekolah. Kajian Sarah
McLanahan dan Gary Sanderful (1994) dalam Crittenden (1999)
menginformasikan bahwa anak-anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu
kemungkinan mengalami dua kali lebih besar untuk putus sekolah dibandingkan
dengan anak-anak yang dibesarkan oleh kedua orangtuanya.