tinjauan pustaka tenaga kerja indonesia (tki) · dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan...

39
TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Menurut Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 Pasal 1 mengenai penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, Tenaga Kerja Indonesia (TKI) adalah setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima upah. Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI bertujuan untuk: (1) Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan manusiawi; (2) Menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negeri, di negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal; (3) Meningkatkan kesejahteraan TKI dan keluarganya. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan dan negara tujuan Tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 2. Hampir 80 persen TKI yang dikirim adalah TKW yang tidak terdidik dan bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Diketahui bahwa hampir 100 persen TKI yang bekerja di Singapura, 93 persen di Arab Saudi, dan 94 persen di Hongkong adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW). Profil TKI menyajikan adanya data berdasarkan tingkat pendidikan yaitu dari 106.28 juta angkatan kerja berdasarkan Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2006, sebanyak 53.13 persen (56.47 juta) hanya tamatan SD ke bawah, sebanyak 20.61 persen (21.97 juta) lulusan SLTP, 20.64 persen (21.93 juta) lulusan SLTA, sedangkan yang pernah belajar di perguruan tinggi hanya 5.62 persen (5.97 juta) dengan kondisi 2.44 juta orang di antaranya mendapat pendidikan diploma dan sisanya sarjana (S1) (Samhadi 2007). Hal tersebut tentunya juga berdampak pada pekerjaan yang ditekuni TKI. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nusa Tenggara Barat mengatakan sekitar 97 persen dari jumlah Tenaga Kerja Indonesia (TKI) asal NTB yang bekerja di luar negeri merupakan tenaga tidak trampil (BNP2TKI 2010). Permasalahan-permasalahan selama masa penempatan yang banyak dialamai TKI/TKW antara lain: 1) Dijebak menjadi pelacur di daerah transit, 2) Diperjualbelikan antar agency di luar negeri, 3) Jenis pekerjaan tidak sesuai dengan Perjanjian Kerja (PK), 4) Jam kerja melampaui batas, tanpa ada uang lembur, 5) Tidak memegang dokumen apapun karena semua dokumen ditahan majikan, 6) Dilarang berkomunikasi dengan orang lain termasuk dengan keluarga, 7) Akomodasi dan makanan di rumah majikan tidak memadai, 8)

Upload: buimien

Post on 03-Mar-2019

225 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

  

 

 

TINJAUAN PUSTAKA

Tenaga Kerja Indonesia (TKI) Menurut Undang-Undang RI Nomor 39 Tahun 2004 Pasal 1 mengenai

penempatan dan perlindungan TKI di luar negeri, Tenaga Kerja Indonesia (TKI)

adalah setiap Warga Negara Indonesia yang memenuhi syarat untuk bekerja di

luar negeri dalam hubungan kerja untuk jangka waktu tertentu dengan menerima

upah. Penempatan dan perlindungan calon TKI/TKI bertujuan untuk: (1)

Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal dan

manusiawi; (2) Menjamin dan melindungi calon TKI/TKI sejak di dalam negeri, di

negara tujuan, sampai kembali ke tempat asal; (3) Meningkatkan kesejahteraan

TKI dan keluarganya. Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan

dan negara tujuan Tahun 2006 dapat dilihat pada Tabel 2.

Hampir 80 persen TKI yang dikirim adalah TKW yang tidak terdidik dan

bekerja sebagai pembantu rumah tangga. Diketahui bahwa hampir 100 persen

TKI yang bekerja di Singapura, 93 persen di Arab Saudi, dan 94 persen di

Hongkong adalah Tenaga Kerja Wanita (TKW). Profil TKI menyajikan adanya

data berdasarkan tingkat pendidikan yaitu dari 106.28 juta angkatan kerja

berdasarkan Sakernas Badan Pusat Statistik (BPS) Agustus 2006, sebanyak

53.13 persen (56.47 juta) hanya tamatan SD ke bawah, sebanyak 20.61 persen

(21.97 juta) lulusan SLTP, 20.64 persen (21.93 juta) lulusan SLTA, sedangkan

yang pernah belajar di perguruan tinggi hanya 5.62 persen (5.97 juta) dengan

kondisi 2.44 juta orang di antaranya mendapat pendidikan diploma dan sisanya

sarjana (S1) (Samhadi 2007). Hal tersebut tentunya juga berdampak pada

pekerjaan yang ditekuni TKI. Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nusa

Tenggara Barat mengatakan sekitar 97 persen dari jumlah Tenaga Kerja

Indonesia (TKI) asal NTB yang bekerja di luar negeri merupakan tenaga tidak

trampil (BNP2TKI 2010).

Permasalahan-permasalahan selama masa penempatan yang banyak

dialamai TKI/TKW antara lain: 1) Dijebak menjadi pelacur di daerah transit, 2)

Diperjualbelikan antar agency di luar negeri, 3) Jenis pekerjaan tidak sesuai

dengan Perjanjian Kerja (PK), 4) Jam kerja melampaui batas, tanpa ada uang

lembur, 5) Tidak memegang dokumen apapun karena semua dokumen ditahan

majikan, 6) Dilarang berkomunikasi dengan orang lain termasuk dengan

keluarga, 7) Akomodasi dan makanan di rumah majikan tidak memadai, 8)

Page 2: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

8  

 

 

Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram

(daging babi), 9) Gaji dipotong oleh PPTKIS bekerjasama dengan agency yang

besarnya melampui ketentuan, 10) Gaji tidak dibayar, 11) Memperpanjang

kontrak kerja tidak ijin dari keluarga dan menggunakan kontrak kerja yang lama,

12) Punggutan yang tinggi oleh agency saat perpanjangan kontrak kerja, 13)

Disiksa, dianiaya, makan makanan basi dan bekas, diperkosa oleh majikan atau

oleh pegawai agency, 14) Dipenjara dengan berbagai rekayasa tuduhan, 15)

Bunuh diri atau membunuh atau melakukan tindakan pidana lainnya atau karena

putus asa akibat perlakuan buruk majikan/agency, 16) Disekap oleh majikan atau

agency, 17) Mengalami PHK sepihak dan dipulangkan majikan tanpa diberikan

hak-haknya, 18) Dipulangkan sepihak oleh agency setelah usai masa

pemotongan gaji oleh agency, sehingga tak pernah menerima gaji penuh, 19)

Penipuan dengan modus medikal yang direkayasa dan akhirnya dipulangkan

karena dianggap tidak fit, 20) Mengadu ke Polisi tetapi “dikembalikan” kepada

agency/tekong, yang kemudian oleh agency/tekong dipekerjakan secara illegal,

digaji murah atau tidak digaji, bahkan dilacurkan, 21) Dideportasi tetapi tidak

pernah sampai di rumah ditangkap oleh calo kemudian diberangkatkan kembali

ke luar negeri secara illegal, 22) Pihak aparat KBRI/Konjen RI yang tidak mau

membela dan menelantarkan, 23) Penyelesaian kasus tidak tuntas dan

dipulangkan karena lamanya proses penyelesaian kasus, 24) Dikenai punggutan

oleh aparat KBRI/Konjen RI di luar negeri dengan berbagai dalih, 25) Ketiadaan

dan lambannya informasi untuk keluarga jika mengalami sakit, di penjara atau

meninggal dunia, 26) Sebelum dipulangkan dipaksa menandatangi surat yang

kemudian diketahui isinya adalah pernyataan telah menerima gaji, padahal

gajinya belum dibayar/tidak diberikan dan surat pernyataan tersebut ditulis dalam

bahasa yang tidak dimengerti oleh TKI (BNP2TKI 2008). Permasalahan-permasalahan yang dialami TKI sering mendatangkan

gangguan psikis tersendiri. Untuk menangani gangguan psikis para TKI yang

pulang ke Tanah Air ini, Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga

Kerja Indonesia (BNP2TKI) telah mendirikan Klinik Psikologi bagi TKI dengan

praktek kerja selama 24 jam di Gedung Pendataan Kepulangan (GPK) TKI,

Selapajang, Tangerang. Data menunjukkan bahwa selama kurun waktu Januari

sampai Oktober 2009, terdapat 554 TKI (14 laki-laki dan 540 perempuan) yang

menderita sakit baik fisik maupun psikologis. Diantara jumlah 554 TKI itu, 378

TKI sudah diterapi karena mengalami gangguan psikis (BNP2TKI 2010).

Page 3: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

  

9

 

Tabel 2 Penempatan Tenaga Kerja Indonesia menurut kawasan dan negara Tahun 2006

NEGARA PENEMPATAN

FORMAL TF NON FORMAL TNF JENIS KELAMIN T L P L P L P Malaysia 101600 60336 161936 5992 102171 108163 107592 162507 270099 Singapura 6 530 536 - 8539 8539 6 9069 9075 Brunai D 1530 427 1957 1 822 823 1531 1249 2780 Hong Kong - 152 152 13 13448 13461 13 13600 13613 Taiwan 2216 1540 3756 340 23994 24334 2556 25534 28090 Korea Selatan 2613 487 3100 - - - 2613 487 3100 Jepang - - - 13 8 21 13 8 21 Lain-lain 26 - 26 5 2 7 31 2 33 SUBTOTAL 107991 63472 171463 6364 148984 155348 114355 212456 326811

Saudi Arabia 3127 983 4110 18615 284702 303317 21742 285685 307427 UEA/Ad Dhabi 162 19 181 73 15240 15313 235 15259 15494 Kuwait 47 2 49 28 14648 14676 75 14650 14725 Bahrain 57 2 59 4 422 426 61 424 485 Qatar 1659 26 1685 142 3217 3359 1801 3243 5044 Oman 4 - 4 4 3519 3523 8 3519 3527 Yordania - - - 12 6456 6468 12 6456 6468 Lain-lain 3 14 17 - 2 2 3 16 19 SUBTOTAL 5059 1046 6105 18876 328206 347084 23937 329252 353189 TOTAL 11305 64518 177568 25242 477190 502432 138292 541708 680000 Sumber: Direktorat Jendral PPTKLN-Depnakertrans Keterangan: L : Laki-laki P : Perempuan TF : Total Formal TNF : Total Non Formal T : Total

Page 4: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

10  

 

 

Keluarga

Definisi Keluarga UU Nomor 10 Tahun 1992, mendefinisikan keluarga sebagai unit terkecil

dalam masyarakat yang terdiri dari suami-istri, atau suami istri dan anaknya, atau

ayah dan anaknya, atau ibu dan anaknya. Menurut Melson (1980), keluarga

adalah kelompok dari individu-individu yang mencari pemaksimalan sumberdaya

materi dan fisik agar mencapai tujuan personal dan kelompok. Saxton (1990)

mengartikan keluarga sebagai hubungan antara dua atau lebih orang melalui

kelahiran, adopsi, atau perkawinan dan hidup dalam satu rumahtangga.

Keluarga dipandang sebagai: 1) Suatu sistem interaksi antar anggota

keluarga, 2) Suatu seri interaksi yang dilakukan dua pihak (dyadic), 3) Sejumlah

interaksi antara seluruh sub kelompok asosiasi lainnya, keluarga memiliki “daya

hidup” lebih lama, serta hubungan biologis dan intergenerasi yang berkaitan

dengan ikatan kekerabatan yang lebih luas (Klein & White 1996 dalam

Puspitawati 2006).

Keluarga sejahtera adalah keluarga yang dibentuk berdasarkan atas

perkawinan yang sah, mampu memenuhi kebutuhan spiritual dan materiil yang

layak, bertaqwa kepada Tuhan YME, memiliki hubungan yang serasi, selaras

dan seimbang antar anggota dan antara keluarga dengan masyarakat dan

lingkungan. Membangun keluarga sejahtera pada hakekatnya tidak saja

mengentaskan keluarga dari kemiskinan harta atau kebutuhan fisik semata,

namun juga kebutuhan lainnya yang mencakup sosial psikologis dan

pengembangan diri untuk jangka waktu lebih lama (Anonim 1996).

Pendekatan Teori Struktural-Fungsional Para sosiolog ternama seperti William F. Ogburn dan Talcott Parsons

mengembangkan pendekatan struktural-fungsional dalam kehidupan keluarga

pada abad ke-20. Pendekatan ini mengakui adanya segala keragaman dalam

kehidupan sosial dan masing-masing akan memiliki fungsinya sendiri. Perbedaan

fungsi tidak untuk memenuhi kepentingan individu yang bersangkutan, tetapi

untuk mencapai tujuan bersama. Struktur dan fungsi yang terbentuk tidak akan

pernah lepas dari pengaruh budaya, norma, dan nilai sosial yang melandasi

sistem masyarakat (Megawangi 1999).

Page 5: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

11  

 

 

Menurut Megawangi (1999), ada tiga elemen utama dalam struktur

internal keluarga, yaitu mengacu pada:

1. Status sosial; keluarga inti terdiri dari tiga unsur utama yaitu bapak/suami

(pencari nafkah), ibu/istri (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita,

anak sekolah, remaja, dewasa) serta hubungan timbal balik antar individu

dengan status sosial berbeda.

2. Konsep peran sosial; menggambarkan peran dari masing-masing individu

atau kelompok menurut status sosialnya dalam sebuah sistem sosial.

Diferensiasi peran ini diharapkan dapat menuju suatu sistem keseimbangan

(equilibrium tendency).

3. Norma sosial; peraturan yang menggambarkan bagaimana sebaiknya

seseorang bertingkah laku dalam kehidupan sosialnya. Norma sosial berasal

dari masyarakat itu sendiri yang merupakan bagian dari kebudayaan. Akan

tetapi setiap keluarga dapat mempunyai norma sosial yang spesifik untuk

keluarga tersebut, misalnya norma sosial dalam pembagian tugas rumah

tangga, yang merupakan bagian struktur keluarga untuk mengatur tingkah

laku setiap anggota keluarganya.

Levy (Megawangi 1999) mengatakan bahwa tanpa ada pembagian tugas

yang jelas pada masing-masing aktor dengan status sosialnya, maka fungsi

keluarga akan terganggu yang selanjutnya akan mempengaruhi sistem yang

lebih besar lagi. Hal ini bisa terjadi bila ada satu posisi yang peranannya tidak

dapat dipenuhi, atau konflik akan terjadi karena adanya kesempatan siapa yang

akan memerankan tugas apa. Apabila terjadi, maka keberadaan institusi

keluarga tidak akan berkesinambungan. Persyaratan struktural yang harus

dipenuhi agar struktur keluarga sebagai sistem dapat berfungsi antara lain:

(1) Diferensiasi peran dari serangkaian tugas dan aktivitas yang harus dilakukan

dalam keluarga, maka harus ada alokasi peran untuk setiap aktor dalam

keluarga. Terminologi diferensiasi peran bisa mengacu pada umur, gender,

generasi, juga posisi status ekonomi dan politik dari masing-masing aktor.

(2) Alokasi solidaritas yang berkaitan dengan distribusi relasi antar anggota

keluarga menurut cinta, kekuatan, dan intensitas hubungan. Cinta atau

kepuasan menggambarkan hubungan antar anggota, misalnya keterikatan

emosional antara seorang ibu dan anaknya. Kekuatan mengacu pada

keutamaan sebuah relasi relatif terhadap relasi lainnya. Misalnya hubungan

antara bapak dan anak lelaki mungkin lebih utama daripada hubungan suami

Page 6: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

12  

 

 

dan istri pada suatu budaya tertentu. Intensitas adalah kedalaman relasi

antar anggota menurut kadar cinta, kepedulian, ataupun ketakutan.

(3) Alokasi ekonomi yang berkaitan dengan distribusi barang-barang dan jasa

untuk mendapatkan hasil yang diinginkan. Diferensiasi tugas juga ada dalam

hal ini terutama dalam hal produksi, distribusi, dan konsumsi dari barang dan

jasa dalam keluarga.

(4) Alokasi politik yang berkaitan dengan distribusi kekuasaan dalam keluarga

dan siapa yang bertanggungjawab atas tindakan anggota keluarga. Agar

keluarga dapat berfungsi maka distribusi kekuasaan pada tingkat tertentu

diperlukan.

(5) Alokasi integrasi dan ekspresi yang berkaitan dengan distribusi teknik atau

cara untuk sosialisasi, internalisasi, dan pelestarian nilai-nilai dan perilaku

yang memenuhi tuntunan norma yang berlaku untuk setiap anggota keluarga.

Peran dan Fungsi Keluarga serta Perubahannya Keluarga sebagai sebuah sistem mempunyai tugas dan fungsi dalam hal

menjalankan tugas-tugas, pencapaian tujuan, integrasi dan solidaritas, serta pola

kesinambungan atau pemeliharaan keluarga. Menurut seorang profesor ilmu jiwa

bernama Lidz, diferensiasi peran adalah sesuatu yang alamiah, yang sesuai

dengan determinasi biologis dan psikologis manusia (Megawangi 1999).

Peran didefinisikan sebagai persepsi tingkahlaku interpersonal yang

dihubungkan dengan pengakuan masyarakat akan diri seseorang (Kammeyer

1987). Peran juga dapat diartikan sebagai aktivitas yang dilakukan seseorang

sesuai dengan kedudukannya.

Parson dan Bales (Megawangi 1999) menyatakan bahwa peran orangtua

dalam keluarga meliputi peran instrumental yang dilakukan oleh suami atau

bapak, dan peran emosional atau ekspresif yang biasanya dipegang oleh figur

istri atau ibu. Peran instrumental dikaitkan dengan peran mencari nafkah untuk

kelangsungan hidup seluruh keluarga. Peran ini lebih memfokuskan pada

bagaimana keluarga menghadapi situasi eksternal. Dalam keluarga inti, suami

sebagai pencari nafkah diharapkan memerankan peran ini agar tujuan keluarga

secara keseluruhan dapat tercapai. Peran emosional ekspresif adalah peran

pemberi cinta, kelembutan dan kasih sayang. Peran ini bertujuan untuk

mengintegrasikan atau menciptakan suasana harmonis dalam keluarga, serta

meredam tekanan-tekanan yang terjadi karena adanya interaksi sosial antar

Page 7: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

13  

 

 

anggota keluarga atau antar individu di luar keluarga. Istri diharapkan berperan

membawa kedamaian agar integrasi dan keharmonisan dalam keluarga dapat

tercapai.

Pembagian peran ekspresif dan instrumental menurut Kammeyer (1987)

dikaitkan dengan stereotip feminin dan maskulin seseorang. Wanita selalu

distereotipkan sebagai orang yang penuh emosional, perhatian dan pengasuhan,

lebih simpati, sensitif, mudah terharu, dan peduli terhadap orang lain dan mampu

memberikan dorongan sehingga cocok untuk melakukan peran ekspresif. Shaver

and Freedman (1976), Lunneborg and Rosenwood (1972), dan Bardwick (1971)

dalam Saxton (1990) berpendapat sama bahwa orang yang berperan sebagai

caretaker adalah orang yang memiliki karakter feminin dan bertindak sebagai

tenderness, compassion, dan penuh pengertian. Karakteristik feminin selalu

ditemukan pada perempuan dan karakter ini lebih banyak ditemukan pada

perempuan daripada laki-laki.

Menurut BKKBN (1996), delapan fungsi keluarga dalam Peraturan

Pemerintah Nomor 21 Tahun 1994 tentang penyelenggaraan pembangunan

keluarga sejahtera adalah sebagai berikut:

(1) Fungsi Keagamaan, dalam keluarga dan anggotanya didorong dan

dikembangkan agar kehidupan keluarga sebagai persemaian nilai-nilai

agama dan nilai-nilai luhur budaya bangsa untuk menjadi insan-insan agamis

yang penuh iman dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

(2) Fungsi Sosial Budaya, memberikan kesempatan kepada keluarga dan

seluruh anggotanya untuk mengembangkan kekayaan budaya bangsa yang

beraneka ragam dalam satu kesatuan.

(3) Fungsi Cinta Kasih, dalam keluarga akan memberikan landasan yang kokoh

terhadap hubungan anak dengan anak, suami dengan istri, orangtua dengan

anaknya, serta hubungan kekerabatan antar generasi sehingga keluarga

sebagai wadah utama bersemainya kehidupan yang penuh kasih lahir dan

batin.

(4) Fungsi Melindungi, keluarga adalah wahana utama yang memberikan rasa

aman dan nyaman serta kehangatan bagi seluruh anggota, anak, istri

maupun suami

(5) Fungsi Reproduksi, merupakan mekanisme melanjutkan keturunan yang

direncanakan dapat menunjang terciptanya kesejahteraan manusia di dunia

yang penuh iman dan taqwa.

Page 8: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

14  

 

 

(6) Fungsi Sosialisasi dan Pendidikan, memberikan peran kepada keluarga

untuk mendidik keturunan agar bisa melakukan penyesuaian dengan alam

kehidupannya di masa yang akan datang.

(7) Fungsi Ekonomi, mengembangkan kemampuan ekonomi keluarga agar

semua anggota mampu mengembangkan kemampuan ekonominya untuk

mandiri sehingga dapat mendukung ketahanan keluarga.

(8) Fungsi Pembinaan Lingkungan, memberikan kepada setiap keluarga

kemampuan menempatkan diri secara serasi, selaras, dan seimbang sesuai

daya dukung alam dan lingkungan yang berubah secara dinamis.

Keluarga inti, sebagai kelompok primer yang terikat oleh hubungan intim

mempunyai fungsi-fungsi utama yang meliputi (Munandar 1985):

(1) Pemberian afeksi, dukungan dan persahabatan

(2) Memproduksi dan membesarkan anak

(3) Meneruskan norma-norma kebudayaan, agama dan moral pada yang muda

(4) Mengembangkan kepribadian

(5) Membagi dan melaksanakan tugas-tugas di dalam keluarga maupun

diluarnya

Menurut Guhardja dkk (1992), keluarga bertanggung jawab dalam

menjaga, menumbuhkan dan mengembangkan anggota-anggotanya. Dengan

demikian pemenuhan akan kebutuhan-kebutuhan untuk mampu bertahan,

tumbuh dan berkembang perlu tersedia, yaitu:

(1) Pemenuhan akan kebutuhan pangan, sandang, papan dan kesehatan untuk

perkembangan fisik dan sosial. (2) Kebutuhan akan pendidikan formal, informal dan nonformal untuk

pengembangan intelektual, sosial, mental, emosional dan spiritual. Menurut Maryam (2007) ada persamaan beberapa fungsi yang

dikemukakan oleh Rice dan Tucker dengan PP No. 21 Tahun 1994 yaitu: (1)

Sebagai mekanisme procreation yaitu mengadakan keturunan yang selanjutnya

menurunkan eksistensi masyarakat sebagai satu kesatuan, (2) Memiliki

kewajiban untuk memenuhi kebutuhan dasar bagi anggota keluarganya mulai

sandang, pangan, perlindungan, pendidikan, kesehatan, serta kebutuhan

emosional lainya, dan (3) Memberikan peran sosial dan keagamaan dalam

kehidupan bermasyarakat dan keikutsertaannya dalam mengabdikan norma-

norma sosial dan keagamaan melalui interaksi anak-anak dan orangtua dalam

Page 9: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

15  

 

 

keluarga dan interaksi keluarga dengan masyarakat serta interaksi dengan Yang

Maha Pencipta.

Perbedaan dari fungsi-fungsi yang telah disebutkan di atas terletak peran

orangtua (ayah dan ibu) untuk menjalankan fungsi keluarga. Parson dan Bales

membagi dengan jelas fungsi keluarga menjadi dua yaitu fungsi instrumental dan

fungsi ekspresif. Fungsi instrumental yang diperankan oleh ayah dan fungsi

ekspresif yang diperankan oleh ibu. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun

1994 tidak membagi dengan jelas masing-masing fungsi keluarga kedalam peran

ayah dan ibu, sehingga untuk menjalankan semua fungsi tersebut dilakukan

bersama-sama. Berikut ini disajikan Tabel 3 yang menjelaskan fungsi keluarga

dari berbagai sumber (Sunarti 2003).

Page 10: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

  

16

 

Tabel 3 Fungsi keluarga dari berbagai sumber

BKKBN (1992) United Nation (1993) Mattesich & Hill dalam Zeitlin et al. (1995)

Rice & Tucker (1986) Roberta Berns (1997)

1. Keagamaan 2. Sosial budaya 3. Cinta kasih 4. Melindungi 5. Reproduksi 6. Sosial dan

pendidikan 7. Ekonomi 8. Pembinaan

lingkungan

1. Pengukuhan ikatan suami istri

2. Proteksi dan hubungan sosial

3. Sosialisasi dan pendidikan anak

4. Pemberian hak asasi manusia dan status

5. Perawatan dasar anak (dan lanjut usia)

6. Rekreasi dan perawatan emosi

7. Pertukaran barang dan jasa

1. Pemeliharaan fisik 2. Sosialisasi dan

pendidikan 3. Akuisisi anggota

keluarga baru melalui proteksi atau adopsi

4. Kontrol perilaku sosial dan seksual

5. Pemeliharaan moral keluarga dan motivasi untuk berperan di dalam dan di luar keluarga

6. Akuisisi anggota keluarga dewasa melalui pembentukan pasangan seksual

7. Melepaskan anggota keluarga dewasa

1. Fungsi ekspresif: memenuhi kebutuhan emosi dan perkembangan termasuk moral, loyalitas, dan sosialisasi anak

2. Fungsi instrumental: manajemen sumberdaya untuk mencapai berbagai tujuan keluarga melalui: a) proteksi dan sosialisasi anak, serta b) dukungan dan pengembangan anggota keluarga

1. Reproduksi 2. Sosialisasi atau

pendidikan 3. Penetapan peran

sosial 4. Dukungan ekonomi 5. Dukungan emosi

(Sumber: Sunarti 2001)

Page 11: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

17  

 

 

Menurut Megawangi (1993) beberapa kendala yang dihadapi keluarga

Indonesia di dalam menjalankan fungsinya antara lain:

(1) Menurunnya kualitas dan kuantitas waktu bersama untuk Family

Togetherness. Piotrowski (1978) dalam Megawangi (1993) meneliti pengaruh

keadaan lingkungan kerja terhadap kehidupan keluarga pada keluarga sosial

ekonomi rendah. Ada tiga bentuk pola yang ditemui; pertama adalah yang

disebut positive carry-over dimana suasana pekerjaan cukup menyenangkan

dan tidak terlalu melelahkan, sehingga suami atau istri yang pulang ke rumah

akan mempunyai suasana emosi yang menyenangkan didalam membina

hubungan dengan masing-masing anggota keluarga. Bentuk keluarga kedua

yang lebih banyak ditemui pada keluara working class adalah yang disebut

negatif cary over dimana suasana pekerjaan tidak menyenangkan dan

perasaan tidak berdaya untuk mengatasi keadaan sehingga waktu pulang ke

rumah dalam keadaan frustasi dan marah, yang membawa akibat negatif

pada hubungan antara suami-istri dan anak-anaknya. Kemudian bentuk yang

paling sering dijumpai adalah energy deficit. Pada bentuk ini pekerjaan

dianggap sangat membosankan dan melelahkan, sehingga sewaktu pulang

ke rumah keadaan fisik sangat capai dan tidak ada energi yang tertinggal lagi

untuk dapat berinteraksi dan berkomunikasi dengan anggota keluarga lain.

(2) Wanita yang bekerja di luar rumah. Hasil penelitian McGurk (1993) dalam

Megawangi (1993) dilaporkan bahwa ada pengaruh negatif antara lamanya

anak diasuh oleh bukan ibunya dan pembentukan bonding, bahkan akan

memberi resiko kepada anak untuk mempunyai sikap agresif dan

pembangkang. Tetapi McGurk (1993) berpendapat bahwa keadaan ini akan

sangat tergantung pada kualitas, konsistensi, dan reability dari pola

pengasuhannya. Wanita kelas sosial menengah ke atas mungkin dapat

memilih alternatif pengasuhan yang baik sehingga kemungkinan untuk dapat

menghindari pengaruh-pengaruh yang tidak diinginkan menjadi lebih besar

tetapi tidaklah demikian pada pekerja kelas bawah.

(3) Menurunnya otoritas orangtua. Sehubungan dengan menurunnya kuantitas

dan kualitas interaksi antara orangtua dan anak, dan berkurangnya bonding

antara orangtua dan anak, peran orangtua sebagai figur yang perlu dicontoh

menjadi berkurang. Pada zaman yang kompleks ini anak dihadapkan pada

bermacam-macam nilai dari lingkungannya seperti peer group, media cetak

atau elektronik, sekolah dll. Pada pihak orangtua sering terjadi sikap yang

Page 12: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

18  

 

 

ambivalen yaitu mereka merasa tidak mampu menjalankan fungsinya

sebagai orangtua di dalam mendidik anak-anaknya. Hal ini disebabkan

perubahan sosial yang cepat dan menuntut penyesuaian sikap orangtua

terhadap anak-anaknya. Akibatnya banyak orangtua yang berpaling pada

para ahli pendidik atau menyerahkan sepenuhnya kepada institusi sekolah,

termasuk juga dalam pembentukan moral anak. Karena institusi sekolah tidak

dapat secara efektif memberikan dukungan moril kepada siswa sepenuhnya

dan membentuk moral para siswa, anak-anak remaja sering mengalami

adolence crisis, sehingga banyak yang berpaling kepada peergroupnya

daripada orangtuanya. Salah satu faktor yang menyebabkan anak-anak kota

lebih agresif adalah hubungan yang tidak baik antara orangtua dan anak

kerena kurangnya waktu kebersamaan. Hasil penelitian Ancok (1993) dalam

Megawangi (1993) pada remaja Indonesia menunjukkan bahwa remaja kota

cenderung mempunyai hubungan yang kurang baik dengan ayahnya

dibandingkan dengan remaja desa.

Yusuf (2000) dalam Jatiningsih (2004) menyebutkan bahwa keluarga

yang fungsional merupakan keluarga yang telah mampu melaksanakan fungsi-

fungsinya yang ditandai oleh karakteristik: (1) Saling memperhatikan dan

mencintai, (2) Bersikap terbuka dan jujur, (3) Orangtua mau mendengarkan

anak, menerima perasaan dan menghargai pendapatnya, (4) Ada sharing

masalah atau pendapat diantara anggota keluarga, (5) Mampu berjuang

mengatasi masalah hidupnya, (6) Saling menyesuaikan diri dan mengakomodasi,

(7) Orangtua melindungi (mengayomi) anak, (8) Komunikasi antar anggota

keluarga berlangsung baik, (9) Keluarga memenuhi kehidupan psikososial anak

dan mewariskan nilai-nilai sosial budaya, dan (10) Mampu beradaptasi dengan

perubahan yang terjadi.

Rogers (1960) dalam Simamora (2005) menjelaskan perubahan fungsi

keluarga yang terjadi dewasa ini. Ada tujuh perubahan yang dimaksud:

(1) Pergeseran fungsi keluarga: Fungsi produksi, melindungi, mendidik, dan

fungsi keagamaan perlahan-lahan digantikan dengan institusi atau organisasi

di luar keluarga. Studi di Michigan, Amerika Serikat, ditemukan bahwa

keluarga berkumpul secara lengkap hanya sekitar sejam sehari dan

kebanyakan waktu tersebut dihabiskan untuk makan. Keluarga petani

kebanyakan berkumpul kurang dari waktu tersebut.

Page 13: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

19  

 

 

(2) Perubahan otoritas dalam rumah tangga: Otoritas ayah sebagai pengambil

keputusan yang dominan menurun mengiringi peningkatan persentase

jumlah wanita bekerja.

(3) Perubahan dalam pencarian pasangan: Dewasa ini romantisme menjadi inti

pencarian pasangan. Jaman dulu pencarian pasangan dapat dikatakan tidak

memiliki romantisme, pria dan wanita dijodohkan pihak keluarga dan diijinkan

bertemu sekali saja sebelum perkawinan.

(4) Perubahan sikap terhadap perceraian: Dulu perceraian dianggap kotor dan

dosa, namun perkembangan dewasa ini lebih kooperatif sehingga pasangan-

pasangan yang tidak cocok dapat dengan mudah mengajukan perceraian.

Akibatnya angka perceraian meningkat drastis. Tidak dapat dipungkiri pula

remarriage atau pernikahan kembali juga meningkat.

(5) Perlakuan terhadap kaum tua: Kaum tua atau yang sudah jompo kurang

dihoramati lagi. Kecenderungan keluarga saat ini memilih jauh dari tempat

tinggal orangtua atau mertuanya.

(6) Perubahan jumlah dan ukuran keluarga: Rata-rata ukuran keluarga sejak

Tahun 1800 menurun akibat peningkatan metode pengaturan kelahiran,

pendidikan seks dan persiapan pernikahan, dan perubahan nilai-nilai

keluarga mengenai jumlah anak yang diinginkan.

(7) Perubahan tujuan keluarga: Dulu tujuan keluarga lebih penting daripada

keinginan pribadi, sebagai praktek pengabdian terhadap keluarga dan

orangtua. Dewasa ini individualisme justru diprioritaskan ketimbang

familisme.

Menurut teori tantangan dan tanggapan Arnold Toynbee (Narwanto

2007), ketiadaan istri dalam keluarga menjadi tantangan budaya tersendiri bagi

keluarga Tenaga Kerja Wanita. Secara tradisional, pola keluarga patriarki

menempatkan istri sebagai pihak yang mengurusi pekerjaan domestik, terutama

mengasuh anak. Ketika istri menjadi Tenaga Kerja Wanita (TKW), keluarga yang

ditinggalkan melakukan proses dialektik alamiah untuk menjawab tantangan

budaya tersebut. Ketidakseimbangan dalam ekosistem keluarga itu

menghasilkan pergeseran peran gender sebagai tanggapan menuju

keseimbangan baru.

Penelitian oleh tim Pusat Studi Gender dan Keluarga STAIN Salatiga di

Gamol, Kecandran, Salatiga, Jawa Tengah, yang juga dipresentasikan di The

International Seminar of Gender Mainstreaming on Higher Education di UKSW

Page 14: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

20  

 

 

Salatiga pada Desember 2006, menunjukkan adanya kesadaran kolektif

menghadapi ketidakseimbangan tersebut. Artinya, ruang kosong yang ditinggal

istri menjadi tanggung jawab bersama antara suami, orangtua, atau kerabat yang

lain. Kesadaran kolektif tersebut menghasilkan tiga pola pergeseran peran:

(1) Suami mengambil alih peran yang ditinggal istri. Mereka mengurusi berbagai

pekerjaan domestik, termasuk mengasuh anak.

(2) Suami mengambil sebagian peran yang ditinggal istri. Mereka biasanya

dibantu ibu atau anggota keluarga lain.

(3) Suami tidak mengambil peran. Pola yang dapat dikatakan sebagai kegagalan

keluarga dalam melakukan transformasi nilai ini membuat ibu atau mertua

TKW mengambil alih peran domestik keluarga.

Analisis Gender dan Peran Perempuan Konsep Gender Gender adalah pandangan masyarakat tentang perbedaan peran, fungsi

dan tanggung jawab antara perempuan dan laki-laki yang merupakan hasil

konstruksi sosial budaya dan dapat berubah sesuai perkembangan zaman serta

dukungan masyarakat itu sendiri (UNFPA et al. 2005 dalam Puspitawati 2007).

Dalam pembahasan mengenai gender dikenal adanya dua aliran atau

teori, yaitu teori nurture dan teori nature, namun berdasarkan kedua teori

tersebut dikembangkan konsep teori yang merupakan kompromistis atau

keseimbangan yaitu teori equilibrium. Teori nurture mengungkapkan bahwa

perbedaan perempuan dan laki-laki pada hakekatnya merupakan hasil konstruksi

sosial budaya sehingga menghasilkan peran dan tugas berbeda, sedangkan teori

nature berisi bahwa perbedaan perempuan dan laki-laki adalah kodrat, sehingga

harus diterima. Perbedaan biologis ini memberikan indikasi dan implikasi bahwa

diantara kedua jenis tersebut memiliki peran dan tugas yang berbeda. Ada peran

yang dapat dipertukarkan, tetapi ada pula yang tidak bisa karena memang

berbeda secara kodrat alamiahnya. Teori equilibrium merupakan pandangan

yang tidak mempertentangkan antara kaum lelaki dan perempuan, karena

keduanya bekerjasama dalam kemitraan dan keharmonisan dikehidupan

keluarga, masyarakat, bangsa dan negara (Puspitawati 2007).

Dalam memahami konsep gender ada dua hal yang harus dipahami, yaitu

(Puspitawati 2007):

Page 15: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

21  

 

 

(1) Ketidakadilan dan diskriminasi gender merupakan kondisi tidak adil akibat

sistem dan struktur sosial dimana baik perempuan maupun laki-laki menjadi

korban dari sistem tersebut. Bentuk ketidakadilan tersebut meliputi: (1)

Marjinalisasi (peminggiran/pemiskinan), (2) Subordinasi yaitu keyakinan

bahwa salah satu jenis kelamin dianggap lebih penting atau lebih utama

dibanding dengan jenis kelamin lainnya, (3) Pandangan stereotip yang sering

kali bersifat negatif secara umum dan dapat menyebabkan ketidakadilan

karena bersumber dari pandangan gender yang menyangkut pelabelan

terhadap salah satu jenis kelamin tertentu, (4) Kekerasan terhadap

perempuan sebagai akibat dari perbedaan peran yang terjadi dalam berbagai

bentuk, (5) Beban kerja yang merupakan bentuk diskriminasi dan

ketidakadilan gender karena beban kerja yang harus dijalankan oleh salah

satu jenis kelamin tertentu.

(2) Kesetaraan dan Keadilan gender yaitu suatu kondisi dimana porsi dan siklus

sosial perempuan dan laki-laki setara, serasi, seimbang dan harmonis,

adapun kondisi ini dapat terwujud apabila terdapat perlakuan adil antara

perempuan dan laki-laki.

Analisis Gender Ada beberapa model teknik analisis gender yang dikembangkan oleh

para ahli untuk menganalisis peran di dalam keluarga dan masyarakat, antara

lain:

(1) Teknis Analisis Model Harvard. Model ini terdiri atas sebuah matiks yang

mengumpulkan data pada tingkatan mikro (masyarakat dan rumah tangga),

meliputi pembagian tiga kegiatan (kegiatan produktif, reproduktif, dan sosial

masyarakat) berdasarkan jenis kelamin, rincian sumber-sumber apa yang

dikuasai oleh laki-laki dan perempuan untuk melaksanakan kegiatannya, dan

faktor-faktor yang mempengaruhi pembagian kerja berdasarkan gender.

(2) Teknik Analisis Model Moser. Model ini mencakup penyusunan pembagian

kerja berdasarkan gender dan mengembangkan kebutuhan gender dari sudut

perempuan. Kebutuhan tersebut adalah kebutuhan praktis gender

(kebutuhan yang harus dipenuhi) dan kebutuhan strategis gender (kebutuhan

yang disebabkan posisi subordinat mereka).

Page 16: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

22  

 

 

Dukungan Sosial Manusia dalam memenuhi kebutuhan hidupnya memerlukan bantuan

atau pertolongan dari orang lain. Pertolongan dari orang lain ini biasanya disebut

sebagai dukungan sosial. Dukungan sosial bisa diperoleh dari keluarga besar,

masyarakat (tetangga), dan lembaga-lembaga masyarakat dimana orang itu

berada. Dukungan sosial sangat dibutuhkan dalam menjalani kehidupan,

termasuk dalam menjalani kehidupan perkawinan dan dalam pengasuhan anak.

Di dalam ensiklopedi sosiologi dukungan sosial diartikan sebagai pemberian

dukungan emosional dan informasi atau dukungan materi oleh orang lain atau

lingkungan sosial kepada seseorang individu yang mengalami beberapa

kesulitan atau masalah. Cutrona (1996) mengatakan bahwa dukungan sosial

adalah pemenuhan kebutuhan dasar oleh orang lain secara terus menerus untuk

kesejahteraan. Kaplan et al. (1977) dalam Cutrona (1996), mengartikan

dukungan sosial sebagai pemenuhan kebutuhan dasar seseorang (approval,

esteem, succor, dll) oleh orang lain. Safarino (1996) dalam Tati (2004)

mengatakan bahwa dukungan sosial adalah kenyamanan, perhatian,

penghargaan, atau bantuan yang diterima individu dari orang lain, baik sebagai

individu perorangan atau kelompok. Kualitas dukungan sosial yang tinggi akan

mempengaruhi kesehatan fisik dan mental yang semakin tinggi pula.

Bentuk dukungan sosial yang dibutuhkan menurut Kaplan (Cutrona 1996)

dan Safarino (Tati 2004) terdiri dari:

1) Dukungan Emosi (Emotional Support), seperti ekspresi cinta, empati dan

perhatian. Menurut Witty et al. (1992) dalam Conger et al. (1994), individu

dapat mencurahkan perasaan, kesedihan ataupun kekecewaannya pada

seseorang, yang membuat individu sebagai penerima dukungan sosial

merasa adanya keterikatan, kedekatan dengan pemberi dukungan, sehingga

menimbulkan rasa aman dan percaya.

2) Dukungan Instrumen (Instrument Support) atau Dukungan Nyata (Tangible

Assistance), seperti sumberdaya fisik (uang, tempat tinggal), termasuk juga

menyediakan waktu dan tenaga untuk mengasuh anak.

3) Dukungan Penghargaan (Esteem Support), seperti respek terhadap orang

lain, percaya kepada kemampuan orang, menghargai pikiran, perasaan, dan

tingkah laku orang lain.

4) Dukungan Informasi (Informational Support), seperti informasi tentang

kenyataan, nasihat, penilaian terhadap situasi. Dukungan informasi

Page 17: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

23  

 

 

memungkinkan individu sebagai penerima dukungan dapat memperoleh

pengetahuan dari orang lain. Pengetahuan yang diperoleh dapat berupa

bimbingan, arahan, diskusi masalah maupun pengajaran suatu keterampilan

(Felton & Berry 1992 dalam Conger et al. 1994).

Pengasuhan Keluarga sebagai tempat pertama dan utama bagi anak untuk dididik dan

dibesarkan dalam pembentukan dan perkembangan pribadi dan perilaku. Faktor

yang mempengaruhi perilaku anak salah satunya adalah pengasuhan.

Pengasuhan merupakan interaksi antara ibu dan pengasuh dengan anak sesuai

keinginan pengasuh. Pengasuhan adalah segala interaksi antara orangtua

dengan anaknya dan praktek pengasuhan yang diberikan kepada anak. Interaksi

ini meliputi segala perilaku seperti minat, nilai, sikap dan kepercayaan yang

diajarkan kepada anak-anak melalui proses pendidikan dan pengasuhan

sepanjang hidup anak (Karyadi 1988).

Menurut Sunarti (2004) pengasuhan dapat diartikan sebagai

implementasi serangkaian keputusan yang dilakukan orangtua atau orang

dewasa kepada anak, sehingga memungkinkan anak menjadi bertanggung

jawab, menjadi anggota masyarakat yang baik, memiliki karakter-karakter yang

baik. Rohner (1986) mengartikan pengasuhan sebagai salah satu bentuk pola

hubungan antara orangtua terutama ibu dengan anak, berupa kehadiran dan

perhatian ibu yang diekspresikan dalam bentuk perilaku, ucapan, ungkapan

emosi dan kasih sayang, arahan dan kegiatan perawatan ibu kepada anaknya.

Secara tradisional, beberapa faktor yang mempengaruhi kebiasaan

mengasuh dikelompokkan menjadi (Bigner 1979):

(1) Cultural influence. Beberapa studi melaporkan adanya perbedaan pada

kelompok sosial terhadap cara pengasuhannya. Ditemukan bahwa

pertumbuhan mental secara potensial mempengaruhi perbedaan gaya

bahasa (mengajar) yang digunakan oleh ibu.

(2) Personality patterns. Johnson & Medinnus (1974) dalam Bigner (1979)

melukiskan bahwa hubungan antara orangtua dan anak sebagai ikatan

emosional. Orangtua yang baik akan menghasilkan anak yang baik yang

tumbuh menjadi orang dewasa yang baik.

(3) Attitudes toward parenting. Menurut Diana Baumrind (1966) dalam Bigner

(1979), ada tiga tipe dasar pengasuhan, antara lain:

Page 18: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

24  

 

 

(a) Authoritarian attitudes, pola asuh ini merupakan bentuk interaksi antara

orangtua dan anak, dimana orangtua berusaha membentuk ,

mengendalikan dan mengevaluasi sikap juga tingkah laku anak sesuai

dengan patokan yang bersifat absolute dan baku yang diterapkan

orangtua dan ditunjukkan dengan peraturan ketat, tanpa memberi

kesempatan pada anak untuk mendapatkan penjelasan dan biasanya

disertai dengan hukuman fisik.

(b) Permissive attitudes, orangtua memberikan kebebasan kepada anak

dalam bertingkah laku. Orangtua tidak memberikan hukuman dan lebih

menerima serta menyetujui apa yang menjadi keinginan dan kemauan

anak sehingga anak dibiarkan mengatur dan menentukan sendiri apa

yang dianggapnya baik karena pengawasan dari orangtua longgar.

Aturan dan batasan yang pasti dalam hal ini tidak ada.

(c) Authoritative attitudes, orangtua memberikan peraturan dengan

menggunakan penjelasan dan penalaran pada anak untuk membantu

anak mengetahui mengapa peraturan dibuat dan mengapa anak

diharapkan untuk bertingkah laku tertentu. Dalam proses interaksi ini

terlihat adanya saling memberi dan menerima antara orangtua dan anak

sehingga anak memperoleh kesempatan untuk mengemukakan

pendapatnya pada orangtua.

(4) Role modeling. Sesuai dengan prinsip teori social learning, maka anak

sesungguhnya belajar dari mengamati tingkah laku, perbuatan, persepsi,

pemikiran, cara komunikasi dari orang dewasa yang ada di sekitarnya.

Melalui role modeling ini maka orangtua dapat mencontohkan perilaku yang

diharapkan tersebut (Hastuti 2007).

Ahli sosiologi mendeskripsikan peran istri-ibu dan suami-ayah

dihubungkan dengan peran jenis kelamin. Peran istri-ibu memiliki karakteristik

ekspresif dimana mampu mengekspresikan afeksi, kehangatan dan dukungan

emosianal kepada anggota keluarga yang lain. Disisi lain, peran suami-ayah

dikarakteristikkan oleh fungsi instrumental. Ayah dipandang sebagai pemberi

keputusan terakhir dan membuat hukuman, disiplin, dan pengontrol tingkah laku

anak. Robert Winch (Bigner 1979) mendiskusikan dua fungsi pengasuhan yang

mungkin dibagi antara ibu dan ayah. Fungsi nurturance diberikan kepada istri-ibu

(ekspresif) dimana istri-ibu melakukan pemeliharaan sehari-hari seperti memberi

makan, memandikan, dan memakaikan pakaian anak. Fungsi kedua yaitu control

Page 19: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

25  

 

 

yang dilakukan oleh suami-ayah (instrumental) dimana suami-ayah memiliki

ototitas dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan anak.

Dimensi Kehangatan (Warmth Dimension) Menururt Rohner (1986), pengasuhan dari dimensi kehangatan dapat

diekspresikan menjadi dua bentuk antara lain (Gambar 1):

1) Bentuk penerimaan orangtua (parental acceptance) yaitu berkaitan dengan

kehangatan, kasih sayang, cinta orangtua kepada anaknya, yang

diekspresikan melalui fisik dan verbal. Ekspresi fisik dari kehangatan dan

afeksi antara lain pelukan, kasih sayang, perhatian, ciuman, senyuman dan

lainnya yang mengindikasikan adanya dukungan. Ekspresi kehangatan dan

afeksi verbal antara lain pujian, mengatakan hal yang baik tentang anak,

mungkin menyanyikan lagu dan menceritakan cerita yang disukai anak.

2) Bentuk penolakan orangtua (parental rejaction) yaitu kebalikan dari dimensi

kehangatan, ada tiga bentuk antara lain: (1) hostility dan aggression, meliputi

perasaan marah, dendam, benci, iri atau dengki terhadap anak; (2)

indifference and neglect, diekspresikan ketika orangtua lalai untuk mengurus

fisik, kesehatan, pendidikan dan kebutuhan lain anak. Orangtua

mengabaikkan kebutuhan, perhatian, harapan dan ketertarikan anak; dan (3)

Undifferentiated rejection, adalah perasaan tidak dicintai dan diinginkan.

Dagun (1990) dalam Briawan dan Herawati (2005) menyatakan bahwa

partisipasi ayah dalam membina pertumbuhan fisik dan psikologis anak tidak

kalah pentingnya dengan peran ibu dalam mengasuh anak. Oleh karena itu

untuk mendapatkan anak yang tumbuh dan berkembang secara optimal perlu

pengasuhan yang lengkap dari kedua orangtuanya.

Pengasuhan yang dilakukan oleh orangtua supaya berkualitas dan

berhasil maka perlu diperhatikan: (1) Hubungan kasih sayang, (2)

Kelekatan/keeratan hubungan, (3) Hubungan yang tidak terputus, (4) Interaksi

yang memberikan rangsangan, (5) Hubungan dengan satu orang, (6) Melakukan

pengasuhan di rumah sendiri (Rutter 1984 dalam Nurani 2004).

Page 20: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

  

26

 

Gambar 1 Kerangka konseptual prinsip pengasuhan pada teori parental acceptance-rejection Sumber: Rohner (1986)

Parental Acceptance Parental Rejection

Fisik Verbal

Hostility/Aggression Indifference/Neglect Undifferentiated Rejection

Fisik Verbal

• Ciuman • Pelukan • Kasih

Sayang • Dll

• Pujian • Mengatakan hal

yang bagus tentang anak

• Dll

• Memukul • Menggigit • Menendang • Mencakar • Mencubit • Dll

• Mengutuk • Merendahkan • Mengatakan kata

yang kasar-kasar • Sindiran tajam • Meremehkan • Dll

• Tidak ada perhatian terhadap kebutuhan anak

• Tidak menyediakan kebutuhan fisik dan psikologi dalam pengasuhan

• Dll

• Anak merasa tidak dicintai, tidak dihargai atau tidak diperhatikan, dll

WARMTH DIMENTION OF PARENTING

Page 21: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

27  

 

 

Peranan Ibu dalam Pengasuhan Hubungan yang pertama dan terutama dalam kehidupan seseorang anak

adalah dengan ibunya dan dari hubungan ini anak akan membentuk pola

hubungan antara dirinya dengan orang lain sepanjang hidupnya. Hubungan yang

terjalin antara orangtua dengan anak bukan merupakan proses yang searah,

akan tetapi timbal balik karena perilaku anak dapat mempengaruhi perilaku

orangtua. Peranan orangtua khususnya ibu selaku pengasuh dan pendidik anak

dalam keluarga dapat mempengaruhi perkembangan anak secara positif maupun

negatif (Karyadi 1988). Penelitian yang dilakukan Jatiningsih (2004)

menunjukkan bahwa semakin banyak alokasi waktu yang dicurahkan ibu dalam

pengasuhan anak maka skor perkembangan sosial anak akan semakin baik.

Peranan Ayah dalam Pengasuhan Hadawi (2001) mengatakan bahwa tugas seorang ayah secara tradisional

adalah melindungi keluarga (protection) dan mencari nafkah (breadwinner)

namun kemudian diperluas dalam hal-hal yang menyangkut child management

dan pendidikan. Rudyanto (2007) mengatakan bahwa bila dibandingkan dengan

ibu, maka ayah pada permulaan kehidupan seseorang anak memang memiliki

kesempatan dan peranan yang lebih kecil dalam mengembangkan anak-

anaknya. Dengan meningkatnya usia anak, maka peranan ayah semakin banyak

dan kompleks. Ayah harus dapat mengerti keadaan anak, bertindak sebagai

teman atau rekan, membimbing perkembangan anak serta melakukan sesuatu

bersama anak. Peran ayah dalam pengasuhan mempunyai pengaruh nyata pada

tingkat perkembangan anak. Ayah berusaha mengembangkan kemampuan-

kemampuan, keahlian, mengarahkan minat dan mengembangkan kemampuan

intelektualnya. Pada umumnya peran ayah dalam pengasuhan adalah mengajak

anak bermain.

Tokoh Pengganti ibu Keterpisahan antara anak dan ibu yang relatif lama pada keluarga TKW

memerlukan pemikiran dan usaha yang tepat agar anak tidak terlalu menderita,

sehingga hal ini mungkin bisa menjadi dasar timbulnya kesulitan-kesulitan

tingkah laku dalam perkembangan kepribadian anak selanjutnya. Tokoh

pengganti ibu bisa berperan dengan baik, asalkan memiliki sifat kasih sayang

terhadap anak. Kasih sayang dengan sikap affeksional sebagai seorang dewasa

Page 22: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

28  

 

 

yang ingin mengasuh, merawat dan mendidik anak sebaik-baiknya, sesuai

dengan dasar-dasar perkembangan tingkah laku dan perkembangan kepribadian

yang ideal dan normatif (Gunarsa 2003). Hal serupa juga diungkapkan oleh

Seaman (1972) dan Wortis (1971) dalam Rice (1983), setiap anak membutuhkan

kehangatan, perhatian penuh cinta dari orang dewasa yang akan memenuhi

kebutuhan perkembangan anak. Perhatian ini dapat diberikan oleh seorang

pengganti ibu yang cakap untuk periode waktu yang cocok dengan usia anak,

penyediaan perhatian harus konsisten dan cukup.

Pada keluarga dengan latar belakang pendidikan yang tinggi, lebih

cenderung memahami dan lebih mengetahui cara pengasuhan yang baik pada

anaknya. Hal ini berhubungan dengan akses untuk mendapatkan informasi yang

lebih memungkinkan pada keluarga berpendidikan dan berpendapatan tinggi.

Dengan adanya informasi baik itu dari buku-buku bacaan, media cetak, audio,

audio visual ataupun dari rekan kerja menjadikan mereka tahu dan memahami

bagaimana cara mengasuh anak yang baik. Hal sebaliknya terjadi pada keluarga

miskin dan berpendidikan rendah yang biasanya menanggung beban hidup yang

sangat berat sehingga seringkali emosi kurang terkendali. Pada keluarga miskin

disiplin diterapkan dengan ketat. Hurlock (1980) mengatakan bahwa pendidikan

orangtua mempengaruhi pengasuhan yang diterapkan pada anak. Dengan

pendidikan tinggi yang dicapai orangtua akan lebih membantu orangtua

memahami kebutuhan anak, sehingga seringkali secara langsung akan

berpengaruh juga terhadap pemilihan pengasuhan yang diterapkan pada anak.

Orangtua yang status sosial ekonomi lebih tinggi lebih menunjukkan kehangatan

dan afeksi terhadap anaknya daripada orangtua yang berada dalam status sosial

ekonomi lebih rendah yang cenderung menekankan kepatuhan (Berns 1997).

Kedua orangtua dan anak dipengaruhi oleh jumlah anak dalam keluarga.

Lebih banyak anak maka lebih banyak interaksi dalam keluarga tetapi interaksi

antara orangtua dan anak akan semakin sedikit. Anak dalam keluarga besar

mungkin memiliki banyak sumberdaya untuk draw upon for company, teman

bermain dan keamanan emosional. Mereka mungkin juga tertarik untuk

bertanggungjawab atau perhatian kepada saudara yang lebih muda. Orangtua

pada keluarga yang lebih besar, khususnya dengan tempat tinggal yang sempit

dan sumber ekonomi yang rendah, memperlakukan anak lebih autoritarian dan

lebih senang menggunakan physical punishment dan sedikit menjelaskan

peraturan daripada keluarga yang lebih kecil (Berns 1997).

Page 23: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

29  

 

 

Interaksi dalam Keluarga Untuk melihat hubungan yang terjadi dalam keluarga digunakan konsep

interaksionalisme melalui suatu konsep interaksi dan dampak yang

ditimbulkannya. Hubungan yang terjadi dalam keluarga menurut Suleeman

(1999), dapat dilihat dari: (1) Hubungan suami-istri, (2) Hubungan orangtua-anak,

(3) Hubungan antarsaudara (siblings). Hubungan ini dapat pula ditambahkan

dengan (4) Hubungan antargenerasi.

Interaksi keluarga (orangtua dan anak) adalah hubungan antara anak dan

orangtua yang dilandasi oleh perasaan, perkataan, dan perlakuan orangtua

terhadap anak-anaknya serta strategi pendidikan budi pekerti yang dilakukan

setiap hari di rumah, mulai bayi hingga dewasa. Interaksi orangtua dan anak

diwujudkan dalam bentuk komunikasi dan bonding (Puspitasari 2006).

Ilmu sosiologi menggunakan pendekatan bahwa antar manusia harus

didahului oleh kontak dan komunikasi. Hubungan manusia ini kemudian saling

mempengaruhi antar satu dengan yang lainnya melalui pengertian yang

diungkapkan, informasi yang dibagi, semangat yang disumbangkan, yang semua

pesannya membentuk pengetahuan. Model interaksi dari proses komunikasi juga

menunjukkan perkembangan peran (role development), pengambilan peran (role-

taking) dan pengembangan diri sendiri (development of self) karena manusia

berkembang melalui interaksi sosialnya. Komunikasi manusia tersebut juga

terjadi dalam satu konteks budaya tertentu dan mempunyai batas-batas

(boundaries) tertentu (Ruben 1988 dan Liliweri 1997 dalam Puspitawati 2006).

Keluarga mempunyai interaksi kelompok yang memberikan ikatan

bonding (hubungan biologis dan hubungan intergenerasi serta ikatan

kekerabatan) yang jauh lebih lama dibandingkan dengan kelompok asosiasi

lainnya. Interaksi dalam keluarga ini lebih dipandang sebagai: (1) Suatu interaksi

umum antar anggota keluarga, (2) Suatu seri interaksi yang dilakukan oleh dua

pihak (dyadic), (3) Sejumlah interaksi antar sub kelompok keluarga: dyadic,

triadic, dan tetradic, dan (4) Sistem hubungan internal keluarga sebagai reaksi

terhadap kontrol sosial yang lebih luas (Klein dan White 1996 dalam Puspitawati

2006).

Kekompleksan dalam interaksi pasangan, dikonsepkan kedalam tiga

komponen dasar yaitu: (1) Kesesuaian dalam persepsi peran; (2) Timbal balik

peran; (3) Kesetaraan fungsi peran (Saxton 1990). Interaksi manusia pertama

kali terjadi dalam keluarga. Interaksi orangtua dan anak adalah suatu pola

Page 24: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

30  

 

 

perilaku yang mengikat orangtua dan anak secara timbal balik yang mencakup

berbagai upaya keluarga. Dalam keadaan yang normal, lingkungan pertama

yang berhubungan dengan anak adalah orangtua, saudara, dan kerabat dekat

yang tinggal serumah. Sikap orangtua mempengaruhi cara orangtua

memperlakukan anak dan perlakuan orangtua terhadap anak sebaliknya

mempengaruhi sikap dan perilaku anak terhadap orangtua. Pada dasarnya

hubungan orangtua-anak tergantung pada sikap orangtua. Sikap orangtua

sangat menentukan hubungan keluarga. Sekali hubungan terbentuk, maka

cenderung bertahan. Orangtua yang mempunyai kemampuan yang baik tentu

akan mempunyai cara, sikap, dan waktu yang tepat untuk berkomunikasi dengan

anak. Tingkah laku orangtua dapat mempengaruhi dalam pembinaan anak-anak.

Hubungan yang baik antara ayah, ibu, dan anak-anak disamping anggota

keluarga akan dapat terjalin dengan baik apabila komunikasi berjalan dengan

baik dalam lingkungan keluarga (Effendi et al. 1995 dalam Kunarti 2004).

Permasalahan keluarga yang semakin rentan akhir-akhir ini dikarenakan

semakin melemahnya kualitas komunikasi antara anggota keluarga sehingga

memudarnya fungsi keluarga dalam melindungi anggotanya dari pengaruh pihak

luar. Pengaruh luar terhadap pribadi keluarga semakin kuat akibat peningkatan

teknologi komunikasi di era informasi globalisasi (Susanto-Sunario dalam

Puspitawati 2006).

Kepergian Tenaga Kerja Wanita (TKW) dapat mengakibatkan

terganggunya fungsi-fungsi dalam keluarga. Hal ini dapat menimbulkan dampak

sosial dan psikologis tertentu bagi anggota keluarga yaitu suami dan anak. Blood

dalam Luthfiyasari (2004) menyebutkan beberapa akibat yang mungkin terjadi

antara lain berkurangnya intensitas komunikasi, melemahnya ikatan

kekerabatan, goyahnya stabilitas keluarga serta melonggarnya keterikatan moral

terhadap budaya setempat.

Keintiman diantara hubungan anggota keluarga akan sangat

mempengaruhi kehangatan terhadap keluarga (Dagun 1990 dalam Mutyahara

2005). Meluangkan waktu bersama merupakan syarat utama untuk menciptakan

komunikasi antara orangtua dan anak, sebab dengan adanya waktu bersama,

barulah keintiman dan keakraban dapat diciptakan diantara anggota.

Page 25: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

31  

 

 

Interaksi Suami dan Istri Komunikasi yang baik antara suami dan istri merupakan elemen penting

dari kualitas perkawinan (Kammeyer 1987). Kammeyer (1987) mengidentifikasi

tiga jenis komunikasi yang penting dalam hubungan suami-istri yaitu: (1) Open

and Honest Communication, pasangan mengekspresikan perasaan secara tepat

dan tidak mencampuradukkan pesan. Komunikasi tipe ini memberikan kontribusi

terhadap hubungan kualitas perkawinan; (2) Supportiveness, memperlakukan

orang yang sedang berbicara dengan penuh perhatian dan respect. Komunikasi

yang baik tergantung pada jenis dukungan dan konfirmasi (merespon secara

positif), dan studi menunjukkan bahwa ketika pasangan yang menikah

memperhatikan kualitas komunikasi mereka, kepuasan dan kualitas pernikahan

mereka lebih besar (Montgomery 1981 dalam Kammeyer 1987); (3) Self-

Disclosure, self-disclosure sama dengan open and honesty, tetapi ada beberapa

elemen perasaan dan emosi yang lebih kuat. Berbicara dengan orang lain

tentang ketakutan, harapan, dan keinginan merupakan inti dari self-disclosure.

Penelitian Hendrick (1981) dalam Kammeyer (1987) menemukan secara umum

berhubungan positif antara self-disclosure dengan kepuasan perkawinan.

Interaksi Ibu dan Anak Pada keluarga yang suami-istri bekerja (dual erner), terutama istri, karena

istri juga berperan sebagai ibu maka perpisahan anak dan ibu akan berpengaruh

pada perkembangan anak. Penelitian Bowlby beberapa puluh tahun berselang

sampai pada kesimpulan bahwa bila dalam perkembangannya anak tidak

mendapatkan porsi kasih sayang yang cukup dari ibunya, anak akan menderita

apa yang disebut oleh Bowlby sebagai maternal deprivation yang menyebabkan

anak mengalami kesulitan emosional serta hambatan-hambatan dalam

pengembangan daya pikirnya. Bahkan perpisahan sementara atau kondisi yang

disebut partial seperetion sudah cukup mengganggu perkembangan anak. Tidak

dapat disangkal bahwa seseorang ibu yang bekerja untuk jangka waktu tertentu

akan menciptakan perpisahan dengan anaknya. Perpisahan sementara tersebut

dapat menyebabkan keterikatan secara emosional (attachment) antara anak

dengan ibunya menjadi terganggu, padahal ikatan tersebut perlu ada untuk

menjamin hubungan yang sehat antara anak-ibu (Achir 1985).

Page 26: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

32  

 

 

Interaksi Ayah dan Anak Keterlibatan atau kontribusi ayah di seluruh belahan dunia rendah dalam

tugas pengasuhan anak (United Nations 1995, Engel et al 1992 dalam Hastuti

2007). Namun dukungan sosial emosi amat diperlukan dari ayah ketika kondisi

ibu harus meninggalkan anak untuk waktu yang cukup lama seperti yang terjadi

pada keluarga TKW. Interaksi antara ayah dan anak menjadi sangat penting agar

anak tidak terlalu menderita, sehingga hal ini tidak menimbulkan kesulitan-

kesulitan tingkah laku dalam perkembangan kepribadian anak selanjutnya.

Kualitas Perkawinan Definisi Perkawinan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1996) mengartikan

perkawinan sebagai hubungan permanen antara lelaki dan perempuan yang

diakui sah oleh masyarakat atas dasar peraturan perkawinan yang berlaku.

Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia No 1 Tahun 1974 Pasal 1

tentang perkawinan, perkawinan merupakan ikatan lahir batin antara seorang

pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk

keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang

Maha Esa.

Perkawinan merupakan perwujudan formal antara pasangan laki-laki dan

perempuan yang akan membentuk suatu rumah tangga dan sudah merupakan

kodrat alami antara dua insan manusia yang berlainan jenis, adanya saling

ketertarikan satu sama lain untuk tujuan hidup bersama. Dengan adanya

perkawinan hendaknya setiap pasangan dapat membentuk suatu

keluarga/rumah tangga yang kekal dan bahagia (Tati 2004).

Rifai (1990) dalam Tati (2004) menegaskan bahwa perkawinan memiliki

tiga unsur penguat yakni unsur sosial, hukum, dan agama. Perkawinan yang

memiliki unsur sosial memberikan status sosial yang tinggi, lebih dihargai dari

pada mereka yang tidak menikah. Perkawinan dipandang sebagai kemaslahatan

masyarakat dalam arti menghindari perselisihan, permusuhan antara sesama

manusia. Dipandang dari sudut agama bahwa perkawinan merupakan

pembentukan manusia susila, dimana perkawinan sebagai suatu asas yang

utama dalam pergaulan atau masyarakat yang beradab, agar menjadi laki-laki

dan perempuan yang terhindar dari perbuatan yang dilarang agama. Dalam

Page 27: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

33  

 

 

agama perkawinan dianggap sebagai lembaga yang suci/sakral. Perkawinan

dipandang dari unsur hukum, bahwa perkawinan merupakan suatu perjanjian

yang sangat kuat, atau merupakan pertalian yang seteguh-teguhnya antara

suami istri dan turunannya, dan merupakan pertalian yang erat dalam hidup dan

kehidupan manusia.

Ada beberapa alasan seseorang melangsungkan perkawinan yaitu

menurut Turner dan Helms (1995) yaitu: (a) Adanya komitmen artinya ada

seseorang yang dapat dimilikinya secara sepenuhnya, (b) Hubungan satu lawan

satu artinya dengan pernikahan ada seseorang yang memberi dukungan secara

emosional yang diekspresikan dengan kasih sayang, kepercayaan, keintiman, (c)

Kebersamaan, (d) Cinta, (e) Kebahagiaan, dan (f) Legitimasi seksual dan anak-

anak. Ada alasan lain yaitu karena banyak manfaatnya dan keuntungan yang

diperoleh dari perkawinan.

Keunikan yang terjadi dalam hubungan perkawinan adalah meskipun

banyak perbedaan antara laki-laki dan perempuan seperti perbedaan emosional,

lingkungan, genetis dan kepribadian, selalu ada perkawinan yang berhasil.

Perkawinan tersebut dinikmati oleh laki-laki dan perempuan sebagai suami istri

yang bahagia. Mayoritas pasangan yang menikah memiliki tujuan hidup

bersama, berbagi dukungan fisik dan komunikasi tentang berbagai kesenangan

dan masalah (Osborne 1988 dalam Suryani 2004).

Kualitas perkawinan didefinisikan sebagai sejauh mana mutu perkawinan,

baik sebagai pandangan pasangan pada titik waktu tertentu, maupun sebagai

kombinasi perasaan yang dialami pasangan, dan ciri-ciri relasional antar

pasangan pada titik waktu tertentu (Suhardono 1998 dalam Ritonga 2007). Elder

et al. (1991) dalam Tati (2004) menilai kualitas perkawinan dalam batas-batas

kebahagian dan kepuasan serta ketidakstabilan perkawinan dalam batasan

pemikiran, aksi atau perceraian. Ada juga yang mendefinisikan kualitas

perkawinan dalam lima dimensi yaitu kecenderungan bercerai, masalah

perkawinan, kebahagiaan perkawinan, interaksi perkawinan dan

ketidaksepakatan dalam perkawinan. Menurut Conger et al. (1994), kualitas

perkawinan memiliki dua dimensi yakni kebahagiaan perkawinan dan kepuasan

perkawinan.

Studi menunjukkan apabila pasangan memiliki latar belakang (agama,

ras, sosial ekonomi) keluarga yang sama maka kualitas perkawinan akan lebih

besar. Kualitas perkawinan berhubungan positif dengan sumberdaya dan

Page 28: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

34  

 

 

kemampuan diri, seperti pendidikan, fisik dan mental yang baik, ekonomi yang

tinggi. Dukungan teman dan tetangga juga berhubungan dengan tingginya

kualitas perkawinan (Kammeyer 1987).

Banyak penelitian memperlihatkan penghormatan positif terhadap

pasangan memperbesar kualitas perkawinan. Penghormatan yang positif

ditunjukkan melalui evaluasi yang menyenangkan dari pasangan, persetujuan

tentang nilai, kepuasan seksual dan fisik yang menarik, persetujuan pada

pandangan diri, ekspresi afeksi dan cinta, hubungan yang setara,

companionship, dan penyelesaian masalah yang efektif (Kammeyer 1987).

Pasangan yang memiliki anak juga memperlihatkan peningkatan kualitas

perkawinan karena anak merupakan pelengkap dalam perkawinan.

Adanya saling pengertian antara suami istri merupakan faktor yang

penting supaya tercapai hubungan yang harmonis. Mengertikan motif-motif

tingkah lakunya, sebab-sebab mengapa pasangan berbuat demikian, mempunyai

pengertian untuk latar belakang hidup pasangannya. Jika ada saling pengertian

antara kedua belah pihak, ini menjadikan mereka lebih toleran. Dan toleransi

sangat penting untuk hubungan suami istri. Toleransi untuk kekurangan-

kekurangan, kelemahan-kelemahan, kebiasaan-kebiasaan yang kurang baik dari

pihak yang lain. Penting pula untuk suatu perkawinan yang harmonis, dimana

kedua belah pihak merasakan kebahagiaan dan kepuasan, ialah jika ada saling

penghargaan antara keduanya. Penghargaan untuk kepribadian, prestasi, minat,

individualitas dari partnernya. Ini erat hubungannya dengan pengakuan diri

kedua belah pihak, bahwa masing-masing berhak atas kehidupan pribadi

(Munandar 1985).

Dari studi-studi yang telah dilakukan nyata bahwa banyak sekali faktor-

faktor yang perlu diperhatikan untuk menjamin perkawinan yang harmonis

(Munandar 1985), antara lain:

(1) Keadaan kesehatan dan warisan biologis untuk menjamin keturunan yang

sehat

(2) Latar belakang/lingkungan hidupnya, apakah berasal dari keluarga yang

bahagia atau dari brokenhome, adakah konflik-konflik dengan

orangtuanya/saudaranya, sikap/pandangan yang sehat mengenai seks dan

lain-lain

(3) Ketertarikan yang tidak banyak berbeda

(4) Norma-norma tingkah laku/falsafah hidup yang sama

Page 29: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

35  

 

 

(5) Faktor ekonomis (jika sangat berbeda dengan keadaannya sebelum

menikah, dapat menimbulkan kesukaran

(6) Apakah keduanya dari lingkungan/status sosial yang sangat berbeda

(7) Adakah perbedaan mencolok daam pendidikan, kecerdasan, umur dan lain-

lain

(8) Perbedaan dalam agama

(9) Perbedaan dalam kebudayaan, kebangsaan

Menurut Duvall (1955), perkawinan yang sukses memiliki aspek: (1)

Companionship; (2) Adaptability; dan (3) Determination to succed. Munandar

(1985) menyatakan bahwa perkawinan yang sukses ialah suatu hubungan yang

dinamis, dimana kepribadian dari kedua pasangan berkembang secara

berkelanjutan, sehingga dari hubungan tersebut tercapailah kepuasan pribadi

pada taraf yang tinggi. Karakteristik kualitas perkawinan yang sukses menurut

Sadarjoen (2009), adalah: (1) Komitmen yang terjaga; (2) Kejujuran, kesetiaan,

kepercayaan; (3) Rasa tanggungjawab; (4) Kesediaan untuk menyesuaikan diri;

(5) Fleksibilitas dan toleransi dalam setiap aspek perkawinan termasuk

kehidupan seksual; (6) Mempertimbangkan keinginan pasangan; (7) Komunikasi

yang terbuka, dengan penuh empati dan saling menghormati (respek) antar

pasangan; (8) Menjalin hubungan antar pasangan dengan cinta penuh afeksi; (9)

Pertemanan yang nyaman antar pasangan; (10) Kemampuan mengatasi krisis

dalam setiap situasi dalam kebersamaan; (11) Menjaga nilai-nilai spiritual antar

pasangan perkawinan dan keturunannya.

Kebahagiaan Perkawinan Apa yang disebut kebahagiaan adalah subjektif dan individual. Setiap

pasangan menemukan norma-normanya sendiri tentang apa yang diinginkan dari

perkawinannya. Perkawinan dikatakan berhasil jika sesuai dengan norma-norma

ini dan tidak bertentangan dengan norma-norma yang berlaku di dalam

masyarakat. Kebahagiaan perkawinan dari pasangan suami istri, tumbuh jika

dilandasi perasaan cinta dan kasih sayang, adanya kebersamaan, saling

percaya, saling menghargai dan menghormati serta adanya pengorbanan.

Kulitas perkawinan berdimensi kebahagiaan perkawinan memiliki ciri

adanya kemampuan berkomunikasi dengan baik antar pasangan, hubungan

yang setara antar pasangan, hubungan yang baik antara mertua dan ipar,

menginginkan hadirnya anak, memiliki minat di bidang yang sama, memiliki cinta,

Page 30: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

36  

 

 

saling menghormati, kesesuaian dalam kehidupan seksual, menikmati waktu

luang bersama, hubungan penuh afeksi dan kebersamaan, dan kemampuan

untuk memberi dan menerima (Zastrow & Kirsht 1987 dalam Nurani 2004).

Faktor-faktor yang mempengaruhi kebahagiaan perkawinan adalah:

(1) Keuangan: Keuangan menduduki peringkat pertama sebagai sumber utama

konflik sekalipun dalam keluarga dengan perkawinan yang stabil dan

finansial yang memadai (Landis dan Landis 1955).

(2) Keluarga dari pasangan suami-istri: dengan melakukan perkawinan,

seseorang akan mendapatkan hubungan keluarga terikat perkawinan.

Kedekatan hubungan ini bervariasi, mulai dari mertua, ipar, sepupu dari

pasangan bahkan istri suami yang lain. Baik istri maupun suami harus

menyesuaikan dirinya pada keluarga terikat perkawinan ini agar terhindar

dari benturan-benturan dengan pasangannya. Landis dan Landis (1955)

menyatakan bahwa jika hubungan mertua ipar baik maka perkawinan akan

cenderung baik.

(3) Kehidupan beragama: Kehidupan beragama berhubungan erat dengan

kepuasan perkawinan (Landis dan Landis 1955). Orang yang agresif dan

curiga terhadap orang lain karena tidak adanya keamanan dari dalam

dirinya. Keamanan dalam diri dari kepercayaan agama mungkin membantu

seseorang memahami orang lain dan menerima kebutuhannya.

(4) Komunikasi: Pada sekelompok pasangan yang bahagia ditemukan adanya

komunikasi yang lebih banyak dan lebih baik dibandingkan dengan kelompok

yang kurang bahagia dalam perkawinannya. Dalam kelompok yang kurang

bahagia, seiring timbul masalah akibat komunikasi yang salah (Atwater 1985

dalam Sari 2004)

(5) Lain-lain: faktor lain yang mempengaruhi adalah penyesuaian seksual,

pengasuhan anak, sikap dan nilai terhadap perkawinan, dan pengelolaan

rumah tangga serta usia pasangan saat menikah. Karyadi (1988)

mengatakan bahwa seringkali pasangan yang menikah di bawah 20 tahun

mengalami perceraian. Persentasenya lebih tinggi dibanding dengan mereka

yang menikah di atas 20 tahun.

Menurut Olson dalam Nurani (2004), tipologi pasangan menikah

berhubungan dengan tingkat kebahagiaan pernikahan serta apakah perkawinan

tersebut bisa bertahan atau tidak. Tipologi pasangan menikah tersebut adalah:

(1) Pernikahan tanpa vitalitas, pasangan dalam tipe perkawinan ini merasa tidak

Page 31: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

37  

 

 

menemukan kepuasan dalam semua faktor yang berperan dan selalu berada

dalam keadaan labil. Pasangan tipe ini biasa menikah pada usia terlalu muda,

memiliki penghasilan rendah, dan biasanya berasal dari keluarga yang

berantakan; (2) Pasangan finansial, memiliki banyak konflik yang tidak

terselesaikan dan tidak puas dengan komunikasi dalam pernikahan dan dengan

keadaan atau kepribadian pasangan. Karir menjadi prioritas yang melebihi

keluarga, dan uang menjadi satu-satunya penghiburan; (3) Pasangan berkonflik,

pasangan merasa tidak puas dalam aspek seks, kepribadian pasangan,

komunikasi, dan pemecahan masalah yang mereka hadapi. Pasangan dari tipe

ini yang mencari kepuasan dari dimensi eksternal, seperti menekuni hobi secara

berlebihan atau mencari pelarian dalam ritual keagamaan; (4) Pasangan

tradisional, pasangan menemukan kepuasan dalam banyak aspek kehidupan

rumah tangga mereka tetapi memiliki masalah serius dalam aspek komunikasi

dan seksual. Kebahagiaan pasangan berasal dari aspek religius dan hubungan

yang baik serta kedekatan dengan kerabat dan teman-teman rumah tangga

relatif stabil dan bertahan lebih lama; (5) Pasangan seimbang, pasangan merasa

cukup pada kemampuan komunikasi dan resolusi konflik, memiliki kesamaan

aspek aktivitas waktu luang, pengasuhan anak dan seksualitas, serta lebih

mementingkan kepentingan keluarga batih; (6) Pasangan harmonis, pasangan

puas dengan pasangannya, ekspresi kasih sayang yang ditunjukkan serta

seksual, namun menganggap anak sebagai hambatan dalam hubungan; (7)

Keluarga penuh vitalitas, pasangan menunjukkan tingkat kepuasan yang tinggi,

menjalin hubungan dengan baik, kepribadian yang saling melengkapi, mampu

menjalin komunikasi dengan baik, mencari solusi dari konflik, puas secara

seksual maupan secara finansial dan juga berasal dari keluarga harmonis.

Kepuasan Perkawinan Duvall & Miller (1989) dalam Nurani (2004), kepuasan perkawinan

meliputi ekspresi afeksi yang terbuka satu sama lain, terjalinnya rasa saling

percaya, tidak ada dominasi satu terhadap lainnya, komunikasi yang bebas dan

terbuka antar pasangan, kesesuaian kehidupan seksual, melakukan kegiatan

bersama dalam hal aktivitas di luar rumah, tempat tinggal relatif stabil, dan

penghasilan yang memadai.

Keluarga bahagia adalah keluarga yang memiliki iklim hidup psikologis

yang memberikan nilai-nilai kepuasan yang mendalam kepada para anggotanya,

Page 32: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

38  

 

 

sehingga dirasakan bahwa kepuasan itu diperolehnya dalam situasi yang

nyaman, penuh kehangatan, kegembiraan dan penuh rasa aman serta merasa

terlindungi. Pandangan ini menunjukan bahwa jika kepuasan terpenuhi maka

kebahagiaan pun dapat tercapai (Rifai 1999 dalam Tati 2004).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi kepuasan perkawinan menurut

Rice (1983) antara lain: (1) Status pekerjaan, tingkat pendapatan dan pendidikan;

(2) Kepuasan terhadap pekerjaan; (3) Sehat mental dan fisik; (4) Menghabiskan

proporsi waktu luang dalam aktivitas kebersamaan terbesar; (5) Komunikasi

verbal dan nonverbal yang baik; (6) Mengekspresikan afeksi; (7) Saling

mempercayai satu sama lain; (8) Nyaman terhadap harapan akan peran

pasangan dalam pernikahan dan adanya peran yang fleksibel.

Menurut Blood dan Wolfe (1960) dalam Sari (2004), kepuasan dalam

perkawinan dapat dicapai dengan memuaskan kebutuhan-kebutuhan dasarnya

meliputi: (1) Kebutuhan akan self-esteem (penghargaan), (2) Kebutuhan akan

companionship (persahabatan), (3) Kebutuhan untuk dimengerti.

Penelitian yang dilakukan Fitasari (2004) menunjukkan bahwa tingkat

pendapatan akan mempengaruhi kepuasan perkawinan dimana semakin tinggi

pendapatan maka semakin tinggi pula kepuasan perkawinan. Semakin tinggi

konflik dalam keluarga maka akan semakin menurunkan tingkat kepuasan yang

dicapai keluarga.

Kondisi Anak Keterampilan Sosial Perkembangan sosial berarti perolehan kemampuan berperilaku yang

sesuai dengan tuntutan sosial (Hurlock 1980). Menurut Satoto (1990) proses

menuju kesesuaian tuntutan sosial mencakup tiga komponen yaitu belajar

berperilaku dengan cara yang disetujui secara sosial, bermain dalam peranan

yang disetujui secara sosial, dan pengembangan sikap sosial. Golemen (2006)

mengemukakan bahwa keterampilan sosial merupakan modal dalam membina

suatu interaksi sosial yang baik dengan individu dan lingkungan. Menurut Hurlock

(1980) anak yang memiliki perilaku sosial yang sukses memiliki ciri-ciri mampu

bekerjasama, persaingan sehat, kemampuan berbagi, minat untuk diterima,

simpati, empati, keterikatan (depedency), persahabatan, keinginan bermanfaat,

imitasi dan perilaku lekat (attachment behavior).

Page 33: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

39  

 

 

Megawangi (1999) berpendapat bahwa bekal paling penting bagi anak

adalah kematangan emosi-sosialnya, karena dengannya seseorang akan dapat

berhasil dalam menghadapi segala macam tantangan, termasuk tantangan untuk

berhasil secara akademis sebagaimana juga dalam kehidupan sosialnya.

Kematangan emosi-sosial anak ditentukan sejak anak lahir dan sejauhmana

orangtua dapat membentuk kedekatan psikologis dengan anak-anaknya.

Menurut Berns (1997) perilaku prososial meliputi perilaku yang memberikan

manfaat bagi orang lain, seperti altruism, sharing, dan cooperation. Goleman (2007) membagi kecerdasan sosial menjadi dua yaitu:

1) Kesadaran sosial yaitu kesadaran sosial merujuk pada pemahaman keadaan

batiniah orang lain sampai memahami perasaan dan pikirannya, meliputi: (1)

empati dasar, merasakan yang dirasakan orang lain dan merasakan isyarat-

isyarat emosi nonverbal; (2) penyelarasan, mendengarkan dengan penuh

reseptivitas, menyelaraskan diri pada seseorang; (3) ketepatan empatik,

memahami pikiran, perasaan, dan maksud orang lain; (4) pengertian sosial,

mengetahui bagaimana dunia sosial bekerja. 2) Fasilitas sosial yaitu semata-mata hanya merasakan bagaimana orang lain

merasa atau mengetahui apa yang mereka pikirkan atau niatkan, yang

meliputi: (1) sinkroni, berinteraksi secara mulus pada tingkat nonverbal; (2)

presentasi diri, mempresentasikan diri sendiri secara efektif; (3) pengaruh,

membentuk hasil interaksi sosial; (4) kepedulian, peduli akan kebutuhan

orang lain dan melakukan tindakan yang sesuai dengan hal itu. Menurut Santrock dan Yussen (1989), isu-isu yang dapat dikaitkan

dengan perkembangan sosial anak adalah:

(1) Dependency yang didefinisikan sebagai ketergantungan antara satu orang

kepada yang lain yang meliputi kebutuhan untuk ditolong dan dibantu,

dipelihara dan dirawat, disayangi dan dilindungi. (2) Otonomi yang didefinisikan sebagai belajar untuk mengontrol dirinya agar

dapat mengerjakan sesuatu tanpa adanya bantuan dari orang lain. (3) Mastery yang diartikan sebagai penguasaan akan sesuatu yang merupakan

keunggulan individu. (4) Kompetensi yang diartikan sebagai kecakapan/kemahiran.

Anak-anak pada masa sekolah dasar ini masih membutuhkan

pertolongan dalam membentuk tingkah lakunya sesuai dengan situasi, kondisi

dan aturan-aturan yang semuanya baru baginya. Anak-anak membutuhkan rasa

Page 34: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

40  

 

 

aman dari kedua orangtuanya dan orang-orang dewasa di lingkungannya.

Melalui pengalaman-pengalaman di rumah inilah, anak diharapkan dapat

menyesuaikan diri dengan baik terhadap pengalaman-pengalamannya di

sekolah. Erikson mengatakan bahwa pengalaman yang terpenting pada masa

sekolah ini adalah dalam kerjasama antar teman, sikap-sikap terhadap kerja, dan

kelompok persahabatan. Bila pengalaman pada masa ini banyak membawa

perasaan cemas, maka akan menimbulkan perasaan inferiority terhadap

kemampuan dan kedudukannya diantara teman-temannya. Anak membutuhkan

perlindungan dan pengalaman yang kaya serta bervariasi dari seseorang, melalui

kecintaan dalam asuhannya (Rudyanto 2007).

Menurut Gunarsa (2003), beberapa faktor yang menentukan serta berapa

jauh akan menimbulkan masalah pada anak yang terpaksa terpisah dari ibunya

atau tokoh pengganti ibu tempat anak memperlihatkan keterikatannya adalah:

1) Lamanya dan seringnya perpisahan yang terjadi. Perpisahan yang lama

tanpa adanya tokoh pengganti pengganti akan menimbulkan akibat yang

menyulitkan dirinya maupun orang lain, secara khusus terlihat pada

kehidupan dan perwujudan emosinya. Demikian pula bilamana sering terjadi

perpisahan tanpa ada tokoh pengganti yang benar-benar bisa memenuhi

semua kebutuhan anak sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan yang sedang

dialami pada tahapan perkembangannya.

2) Kondisi perawatan atau pengasuhan ketika terjadi perpisahan. Pengganti ibu

bisa berperan sebagai tokoh pada siapa anak mengalihkan objek

keterikatannya dengan ibunya ke tokoh tersebut. Adakalanya pengganti ibu

bisa memperlihatkan sikap, memperlakukan anak, memberikan jawaban dan

rangsangan yang memuaskan anak, sehingga anak lambat laun menjadi

terikat dengan tokoh pengganti ibu.

3) Sikap ibu atau tokoh setelah terjadi pertemuan kembali. Sikap ibu atau tokoh

sangat penting agar anak bisa cepat memulihkan keterikatan terhadapnya.

Sikap menerima dan mengerti bahwa anak telah kesal atau kecewa dan

membiarkan anak untuk sementara waktu menampilkan kekecewaan atau

kejengkelan akan banyak menolong anak mempercepat pulihnya kekeadaan

semula sebelum terjadi perpisahan.

4) Masa perkembangan ketika terjadi perpisahan. Perpisahan yang terjadi pada

masa pertama terjadinya keterikatan dengan ibu atau tokoh akan berakibat

lebih buruk daripada kalau perpisahan terjadi pada masa-masa yang lain.

Page 35: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

41  

 

 

5) Keadaan atau corak hubungan antara anak dengan ibu atau tokoh sebelum

terjadi perpisahan. Keterikatan yang longgar menyebabkan anak tidak terlalu

merasa kehilangan bahkan mudah untuk mencari atau memperoleh tokoh

pengganti dengan siapa ia merasa lebih terikat. Masa-masa terjadinya

keterikatan dengan orangtua atau tokoh khusus merupakan masa-masa

penting, keterpisahan bisa mempengaruhi timbulnya gangguan dalam

kepribadian bayi atau anak.

Wibono (2007) melihat adanya suatu hubungan antara penyesuaian diri

pada masa kanak-kanak dengan keberhasilan bergaul, lebih hangat dan terbuka

menghadapi orang lain dimasa dewasa. Penyesuaian diri didefinisikan sebagai

reaksi seseorang terhadap rangsangan-rangsangan dari dalam diri sendiri

maupun reaksi seseorang terhadap situasi yang berasal dari lingkungannya.

Banyak faktor yang mempengaruhi keberhasilan anak menyesuaikan diri antara

lain:

1) Kehidupan di dalam keluarga. Bila anak dididik secara otoriter dan

kekerasan, maka anak akan merasa dendam dengan tokoh otoriter yang

dijumpainya sehingga anak mengalami kesulitan bergaul dengan tokoh

otoriter tersebut. Lain halnya dengan anak yang dibesarkan secara acuh tak

acuh, seringkali memperlihatkan sikap dan perasaan kurang peduli terhadap

orang lain.

2) Anak tidak memperoleh model yang baik di rumahnya terutama dari

orangtuanya.

Pada usia sekolah ini disebut juga sebagai usia kelompok yang ditandai

dengan adanya minat terhadap aktivitas-aktivitas teman dan meningkatnya

keinginan kuat untuk diterima sebagai anggota suatu kelompok, dan tidak puas

bila tidak bersama teman-temannya. Menurut Hurlock (1980), beberapa cara

peningkatan sosialisasi melalui keanggotaan kelompok yaitu belajar kepada

kelompok, belajar menyesuaikan diri dengan standar kelompok, belajar bermain

dan olah raga, belajar turut berbagi rasa dengan orang yang dianiaya, belajar

bersikap sportif, belajar menerima dan melaksanakan tanggungjawab, belajar

bersaing dengan orang lain, belajar perilaku sosial yang baik, belajar

bekerjasama, belajar bebas dari orang-orang dewasa. Penelitian Jatiningsih

(2004) menunjukkan bahwa perkembangan sosial anak pada buruh nelayan

yang tergolong rendah lebih banyak bila dibanding dengan anak juragan nelayan

dikarenakan keadaan ekonomi buruh nelayan juga lebih rendah bila dibanding

Page 36: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

42  

 

 

dengan juragan nelayan. Keadaan ekonomi yang cukup menyebabkan orangtua

lebih punya banyak waktu untuk membimbing anaknya karena orangtua tidak lagi

memikirkan keadaan ekonomi yang kurang. Penelitian yang dilakukan kepada keluarga nelayan ditemukan bahwa

jenis kelamin anak memiliki pengaruh nyata terhadap perkembangan sosial anak.

Anak laki-laki memiliki perkembangan sosial yang lebih rendah bila dibandingkan

dengan perempuan (Jatiningsih 2004). Seorang ayah lebih terlihat berbeda

dalam pengasuhan terhadap anak laki-laki atau perempuan dibanding ibu

(Huston 1983; Fagot 1995 dan Lamb 1981 dalam Berns 1997). Orangtua lebih

menekankan anak perempuan untuk berperilaku prososial dan sopan, sementara

anak laki-laki ditekankan pada perilaku melindungi.

Urutan kelahiran atau posisi diantara saudara kandung menentukan

rencana kehidupan yang akan ditiru. Persaingan untuk memperoleh perhatian,

hubungan yang terjadi antara saudara kandung, harapan orangtua yang berbeda

mengenai perilaku antara saudara kandung dan kepribadian anak perlu

diperhitungkan dalam keluarga (Bigner 1979). Misalnya, anak yang lahir pertama

mungkin akan meniru pola perilaku yang mempunyai kekuatan yang

bertentangan pertama dengan interaksi antara saudara kandung dan orangtua,

yang kedua dengan anggota di luar kelompok keluarganya. Urutan posisi anak di

dalam keluarga mempengaruhi penampilan anak. Anak yang lahir kemudian

cenderung diterima oleh kelompok sebaya daripada anak sulung (Hurlock 1980).

Stres Anak Stres adalah proses yang terjadi saat individu harus menyesuaikan diri

dengan suatu keadaan yang biasanya dimanifestasikan oleh sindrom spesifik.

Stres merupakan tuntutan perasaan terhadap perubahan lingkungan yang terjadi

tiba-tiba (Melson 1980).

Badran (2006) dalam Aprilianti (2007), mengelompokkan sumber stres

menjadi: (1) Sumber stres yang bersifat internal (berasal dari dalam jiwa

seseorang itu sendiri), (2) Sumber stres yang bersifat eksternal (berasal dari luar

seperti pekerjaan, hubungan dengan teman dan perbedaan pendapat dengan

mereka, pertengkaran bersama pasangan, perceraian, kematian seseorang yang

dicintai, dan mengalami suatu peristiwa yang mengejutkan).

Teori stres yang digambarkan dengan model stres ABC-X. Model stres

McCubbin dan Paterson (1980) menjelaskan perbedaan dalam adaptasi keluarga

Page 37: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

43  

 

 

pada masa setelah krisis. Setiap variabel saling berinteraksi satu dengan

lainnya.Variabel dalam model ini digambarkan sebagai berikut:

a. Faktor AA: Sumber stres bertumpuk, artinya terdapat lebih dari satu sumber

stres utama dalam keluarga

b. Faktor BB: Sumber koping keluarga, yaitu kemampuan keluarga untuk

menghadapi tuntutan-tuntutan yang dihadapi.

c. Faktor CC: Penilaian atau persepsi terhadap sumber stres, yaitu interpretasi

subjek terhadap sumber stres

d. Faktor XX: Adaptasi keluarga yang merupakan konsep utama dalam usaha

mencapai keseimbangan setelah krisis.

Stres yang terjadi pada setiap orang berbeda-beda, hal ini dapat dilihat

dari gejala-gejala yang dialaminya. Gejala stres dapat dilihat dari segi fisik

maupun ciri-ciri segi mental. Berdasarkan segi fisik dapat dilihat bahwa dalam

keadaan stres terjadi berbagai perubahan pada fisik seseorang. Para ahli

mengatakan bahwa perubahan itu diakibatkan karena adanya aktivitas besar

pada alat terpenting yang berfungsi untuk menggerakkan tubuh ketika

menghadapi suatu bahaya/reaksi refleks. Akibat adanya aktifitas itu dapat

mempengaruhi anggota tubuh lainnya yang berhubungan. Misalnya tangan

berkeringat lebih banyak, perut terasa mual, pencernaan terasa sakit, denyut

jantung naik, suara serak, sering baung air kecil. Sedangkan berdasarkan segi

mental, stres dapat mengganggu mental dan perasaan seseorang serta

menyebabkan berbagai kelainan pada dirinya sendiri seperti gampang

tersinggung, tidak percaya diri, ragu-ragu mengambil keputusan, susah tidur,

merasa lemah dan gagal (Badran 2005 dalam Aprilianti 2007).

Prestasi Akademik Kognitif berasal dari bahasa latin “cognition” yang bermakna untuk

mengetahui. Kogitif merupakan suatu proses dari pengetahuan yang mencakup

kesadaran (awareness) dan penilaian (judgement). Kognitif berhubungan dengan

atau merupakan aktivitas intelektual yang disadari seperti berfikir (thinking),

menjelaskan (reasoning), membayangkan (imagining), mempelajari kata

(learning words) dan mengungkapkan bahasa (using language) (Webster 1993

dalam Hastuti 2006). Crain (2007) menjelaskan teori kognitif Piaget meliputi

empat periode, yaitu:

Page 38: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

44  

 

 

1) Periode I : Kepandaian Sensori-Motorik (dari lahir-2 tahun). Individu/bayi

mengorganisasikan skema tindakan fisik mereka seperti menghisap,

menggenggam, dan memukul untuk menghadapi dunia yang muncul di

hadapannya.

2) Periode II : Pikiran Pra-Operasional (2-7 tahun). Individu/anak-anak belajar

berfikir (menggunakan simbol-simbol dan pencitraan batiniah) namun pikiran

anak-anak belum sistematis dan tidak logis. Pikiran di titik ini sangat berbeda

dengan pikiran orang dewasa.

3) Periode III : Operasional kongkret (7-11 tahun). Individu/anak-anak

mengembangkan kemampuan berfikir sistematis, namun hanya ketika

mereka dapat kepada objek-objek dan aktivitas-aktivitas konkret.

4) Periode IV : Operasional Formal (11 tahun-dewasa). Individu

mengembangkan kemampuan untuk berfikir sistematis menurut rancangan

yang murni abstrak dan hipotesis.

Menurut Somantri (1978) dalam Nurani (2004) prestasi akademik anak

dapat diukur dengan melalui skor prestasi dari berbagai mata pelajaran yang

meliputi Bahasa Indonesia, Matematika, Ilmu Pengetahuan Alam (IPA), Ilmu

Pengetahuan Sosial (IPS), Bahasa Inggris, Pendidikan Agama. Skor prestasi

belajar adalah hasil yang dicapai siswa dalam waktu kurun tertentu yang

diwujudkan dalam bentuk angka yang dirumuskan dalam rapor.

Prestasi akademik yang dicapai seseorang individu merupakan hasil

interaksi antara berbagai faktor yang mempengaruhi baik dalam diri (faktor

internal) maupun dari luar diri individu (faktor eksternal). Pengenalan dan

pemahaman seseorang akan faktor-faktor yang mempengaruhi prestasi

akademik merupakan langkah yang sangat penting untuk mencapai prestasi

sebaik-baiknya (Suryabrata 2001 dalam Nurani 2004).

Faktor yang mempengaruhi prestasi akademik yaitu faktor internal dan

faktor eksternal. Faktor internal meliputi aspek fisiologis (keadaan jasmani dan

fungsi fisiologis) dan aspek psikologis (kecerdasan, prestasi yang telah dimiliki,

serta unsur kepribadian seperti sikap, kebiasaan, bakat, kebutuhan motivasi,

emosi, dan penyesuaian diri, sedangkan faktor eksternal yang mempengaruhi

prestasi belajar meliputi lingkungan sosial dan non sosial. Faktor sosial yaitu

lingkungan keluarga (hubungan individu dengan anggota keluarga, besar

keluarga, bentuk keluarga, pendidikan orangtua, keadaan ekonomi keluarga),

sekolah (fisik sekolah, fisik ruangan, kelengkapan alat pelajaran, disiplin sekolah,

Page 39: TINJAUAN PUSTAKA Tenaga Kerja Indonesia (TKI) · Dilarang menjalankan ibadah, dipaksa memasak dan makan makanan haram ... (ibu rumah tangga) dan anak-anak (anak balita, anak sekolah,

45  

 

 

metode belajar mengajar, hubungan siswa dengan guru), dan masyarakat

(kegiatan yang diikuti oleh individu seperti klub olah raga) (Hadawi 2001 dalam

Nurani 2004).

Adanya afeksi, penerimaan dan kehangatan yang diterima oleh anak dari

ayah serta ibunya terlihat dari adanya penyesuaian diri dan nilai prestasi

akademik yang baik dari anak sekolah (Hadawi 2001 dalam Nurani 2004).

Hurlock (1980) mengutarakan bahwa pekerjaan di sekolah dan sikap anak

terhadap sekolah sangat dipengaruhi oleh hubungan dengan anggota keluarga.

Hubungan keluarga yang sehat dan bahagia menimbulkan dorongan untuk

berprestasi, sedangkan hubungan yang tidak sehat dan bahagia menimbulkan

ketegangan emosional yang biasanya memberikan efek buruk pada kemampuan

berkonsentrasi dan kemampuan untuk belajar. Gunarsa dan Gunarsa (2008) juga

mengungkapkan bahwa hubungan yang terjalin antara anak dengan orangtuanya

ataupun dengan saudaranya, sikap, perhatian dan minat orangtua serta status

sosial ekonomi orangtua mempengaruhi prestasi anak di sekolah. Kajian Sarah

McLanahan dan Gary Sanderful (1994) dalam Crittenden (1999)

menginformasikan bahwa anak-anak yang tumbuh tanpa ayah dan ibu

kemungkinan mengalami dua kali lebih besar untuk putus sekolah dibandingkan

dengan anak-anak yang dibesarkan oleh kedua orangtuanya.