tinjauan pustaka - sinta.unud.ac.id ii.pdftinjauan pustaka 2.1. air dan potensi air ... contoh...

36
9 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Air dan Potensi Air Air merupakan faktor penting kehidupan manusia, setiap hari manusia diperkirakan membutuhkan air bersih minimal sebanyak 100 liter per-orang, seperti untuk keperluan minum, memasak, mandi, mencuci dan lain-lain (Taty dan Satmoko, 2007). Menurut Rai dan Menaka (2011) air merupakan unsur yang tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, salah satu pemanfaatan air terpenting adalah untuk mendukung kehidupan manusia diantaranya penggunaan air untuk budidaya tanaman pertanian secara intensif. Penggunaan air untuk pertanian secara intensif disebut irigasi. Air merupakan aspek penting di bumi. Air sangat dibutuhkan oleh manusia. Sekitar 71 % permukaan bumi ditutupi oleh air (Aldrian, 2011). Sutawan, (2001) menyatakan bahwa air merupakan salah satu unsur yang sangat penting dalam produksi pangan, jika air tidak tersedia maka produksi pangan akan berhenti. Menurut Herlambang dan Said (2005) air merupakan unsur utama kehidupan, bahkan mahluk hidup mampu bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu, namun tanpa air beberapa hari saja mahluk hidup akan mati. Asdak (2002), menyatakan air adalah bagian dari kebutuhan manusia yang esensial. Manusia membutuhkan air untuk keperluan hidup. Air dalam hal ini dimanfaatkan dan digunakan sebagai sarana untuk kelangsungan hidup manusia

Upload: vophuc

Post on 30-Mar-2019

234 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Air dan Potensi Air

Air merupakan faktor penting kehidupan manusia, setiap hari manusia

diperkirakan membutuhkan air bersih minimal sebanyak 100 liter per-orang,

seperti untuk keperluan minum, memasak, mandi, mencuci dan lain-lain (Taty

dan Satmoko, 2007). Menurut Rai dan Menaka (2011) air merupakan unsur yang

tidak dapat dipisahkan dari kehidupan manusia, salah satu pemanfaatan air

terpenting adalah untuk mendukung kehidupan manusia diantaranya penggunaan

air untuk budidaya tanaman pertanian secara intensif. Penggunaan air untuk

pertanian secara intensif disebut irigasi. Air merupakan aspek penting di bumi.

Air sangat dibutuhkan oleh manusia. Sekitar 71 % permukaan bumi ditutupi oleh

air (Aldrian, 2011).

Sutawan, (2001) menyatakan bahwa air merupakan salah satu unsur yang

sangat penting dalam produksi pangan, jika air tidak tersedia maka produksi

pangan akan berhenti. Menurut Herlambang dan Said (2005) air merupakan unsur

utama kehidupan, bahkan mahluk hidup mampu bertahan hidup tanpa makan

dalam beberapa minggu, namun tanpa air beberapa hari saja mahluk hidup akan

mati.

Asdak (2002), menyatakan air adalah bagian dari kebutuhan manusia yang

esensial. Manusia membutuhkan air untuk keperluan hidup. Air dalam hal ini

dimanfaatkan dan digunakan sebagai sarana untuk kelangsungan hidup manusia

10

yaitu untuk air minum, pertanian, perikanan, tenaga listrik, pengenceran polutan,

industry dan navigasi serta kegiatan lainnya. Pada musim kemarau terjadi

kekurangan air karena beberapa penyebab diantaranya : kondisi geografi, kondisi

pemanfaatan lahan, kondisi geologi yang mempunyai keterkaitan pengaruh iklim,

hujan, kemampuan tanah dan kualitas serta kuantitas air. Berdasarkan uraian

tersebut maka air merupakan unsur yang sangat penting dan sangat diperlukan

dalam setiap kehidupan mahluk hidup di bumi ini yang terdapat di atas dan di

bawah permukaan tanah, termasuk air hujan air, air tanah dan air laut yang berada

di daratan serta berpotensi sebagai sumber daya air yang telah ada sekarang dan

yang memenuhi kebutuhan air untuk masa yang akan datang.

Potensi air adalah potensi sumber daya air yang telah ada sekarang dan yang

memenuhi kebutuhan air untuk masa yang akan datang. Menurut Ditjen Pengairan

PU. (1994), potensi air permukaan Indonesia lebih kurang 1.789 milyar m3/tahun,

dengan sebaran: Irian Jaya 1.401 milyar m3/tahun, Kalimantan 557 milyar

m3/tahun dan Jawa 118 m3/tahun. Potensi total air tanahnya 4,7 milyar m3/tahun,

tersebar di 224 cekungan air. Sebarannya: 1,172 milyar m3/tahun di Jawa-Madura

(60 cekungan), 1 milyar m3/tahun di Sumatera (53 cekungan), 358 juta m3/tahun

di Sulawesi (38 cekungan), Irian Jaya 217 juta m3/tahun (17 cekungan),

Kalimantan 830 juta m3/tahun (14 cekungan) dan sisanya 1,123 juta m3/tahun

tersebar di beberapa pulau. Menurut Dinas PU. Bali (2012) potensi ketersediaan

air (air permukaaan dan air tanah) sebesar 7.369,77 juta m3/tahun.

11

2.2. Sungai, Karakteristik Sungai dan Bagian Sungai

2.2.1. Definisi sungai

Sungai adalah sistem pengairan air dari mulai mata air sampai ke muara

dengan dibatasi kanan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh sempadan

sungai (Sudaryoko, 1986). Sungai adalah fitur alami dan integritas ekologis, yang

berguna bagi ketahanan hidup (Brierly, 2005). Dinas PU (2012), menetapkan

bahwa sungai sebagai salah satu sumber air yang mempunyai fungsi yang sangat

penting bagi kehidupan dan penghidupan masyarakat. Sungai merupakan tempat-

tempat dan wadah-wadah serta jaringan pengaliran air mulai dari mata air sampai

muara dengan dibatasi kanan dan kirinya serta sepanjang pengalirannya oleh garis

sempadan.

Menurut Hamzah (2009) sungai adalah bagian permukaan bumi yang

letaknya lebih rendah dari tanah disekitarnya dan menjadi tempat mengalirnya air

tawar menuju ke laut, danau, rawa, atau ke sungai yang lain. Sumber air di sungai

terdiri dari air hujan, air tanah, mata air dan sisa hasil buangan limbah rumah

tangga, dan dari limbah industri. Untuk mengetahui besarnya sumber air di

sungai dapat dilihat dari besarnya debit air atau volume air di sungai.

2.2.2. Karakteristik sungai

Menurut Wikipedia (2011), karateristik dan jenis sungai di Indonesia

berdasarkan sumber air sungai, dibedakan menjadi tiga macam yaitu :

1. Sungai Hujan, adalah sungai yang airnya berasal dari air hujan atau

sumber mata air. Contohnya adalah sungai-sungai yang ada di Pulau

Jawa, Bali dan Nusa Tenggara.

12

2. Sungai Campuran, adalah sungai yang airnya berasal dari pencarian es

(gletser) dari hujan, dan sumber mata air. Contoh sungai jenis ini

adalah Sungai Digul dan Sungai Mamberano di Pulau Papua (Irian

Jaya).

Menurut Wikipedia (2011) karateristik dan jenis sungai di Indonesia, berdasarkan

debit airnya atau volume airnya, sungai dibedakan menjadi :

1. Sungai Pharennial, adalah sungai yang debit airnya sepanjang tahun

relative tetap. Contoh Sungai Kapuas, Kahayan, Barito dan

Mahakam Di Kalimantan. Sungai Musi, Sungai Petanu, Sungai Saba

di Bali, Batanghari dan Indragiri di Sumatera

2. Sungai Periodik, adalah sungai yang pada musin hujan airnya banyak

sedangkan pada musim kemarau airnya kecil. Contoh sungai ini

banyak dipulau Jawa seperti Bengawan Solo, sungai Opak, Sungai

Progo, Sungai Code, dan Sungai Brantas.

3. Sungai Episodik, adalah Sungai yang pada musim kemarau airnya

kering dan pada musim hujan airnya banyak. Contoh : Sungai kalada

dipulau Sumba.

4. Sungai Ephemeral, adalah sungai yang ada airnya hanya pada saat

musim hujan, pada musim hujan airnya belum tentu banyak.

2.2.3. Debit sungai

Debit adalah jumlah volume air yang mengalir melewati suatu

penampang melintang saluran atau sungai persatuan waktu. Menurut Asdak

(2002), debit sungai adalah besarnya aliran air persatuan waktu, ukuran yang

13

umumnya digunakan adalah volume per detik (m3/detik) atau cubic feet second

(cfs). Besarnya volume air sungai tergantung pada daerah aliran sungai tersebut,

Debit aliran adalah laju aliran (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu

penampang melintang sungai persatuan waktu, debit aliran merupakan salah satu

elemen yang harus dikaji untuk pengembangan sungai. Menurut Nuryanto, (2002)

metode untuk menghitung debit aliran (Q) dapat digunakan rumus perkalian

kecepatan aliran rata-rata (V) dengan luas penampang basah aliran (A). Analisis

regresi yang memperlihatkan perubahan debit aliran dipengaruhi oleh perubahan

lebar sungai, kedalaman aliran, diameter material dasar dan kemiringan dasar

sungai. Tingkat kemiringan sungai yang dapat digunakan sebagai petunjuk tingkat

kecepatan aliran.

Kecuraman sungai di daerah hulu rata-rata lebih tinggi daripada di daerah

hilir. Semakin ke hilir sungai akan semakin landai sebelum kemudian bermuara ke

laut. Gradient sungai dapat dihitung dengan bantuan garis kontur yang memotong

sungai pada peta topografi. Pengukuran debit air di wilayah sungai dan di muara

sungai dilakukan dengan pengukuran di lapangan dimana data kecepatan dan

kedalaman sungai diperoleh dari hasil current meter dan pengukuran langsung

kedalaman sehingga diperoleh profil sungai serta kecepatan aliran tiap titik.

2.2.4. Penampang memanjang sungai

Penampang memanjang sungai terdiri dari bagian hulu sungai yang

memiliki ciri yaitu : arus sangat deras, memiliki erosi tinggi, lembah yang

terbentuk sangat curam sehingga berbentuk huruf V. Tengah sungai memiliki ciri

yaitu: ditemukan adanya meander (aliran sungai yang berbelok-belok), lembah

14

yang berbentuk tidak securam pada hulu sungai, sehingga berbentuk U. Hilir

sungai dengan ciri sebagai berikut : arus mulai melambat, arus membawa materi-

materi yang akan diendapkan, lembah pada hilir sungai semakin melebar.

Beberapa nilai kekasaran sungai yang ditetapkan oleh Stricler (ks), dan Manning

(n).

2.2.5. Panjang sungai

Panjang sungai diukur pada peta. Dalam memperkirakan panjang suatu

segmen sungai disarankan untuk mengukurnya beberapa kali dan kemudian

dihitung panjang reratanya. Panjang sungai adalah panjang yang diukur sepanjang

sungai, dari stasiun yang ditinjau atau muara sungai sampai ujung hulunya.

Sungai utama adalah sungai terbesar pada daerah tangkapan dan yang membawa

aliran menuju muara sungai.

2.2.6. Bagian-bagian sungai

Sungai dapat dikelompokkan menjadi tiga daerah yang menunjukkan sifat

dan karaktersitik dari sistem sungai yang berbeda menurut Kodoatie (2002) yaitu:

1. Daerah hulu (pegunungan); di daerah pegunungan sungai-sungai memiliki

kemiringan yang terjal (steep slope). Kemiringan terjal ini dan curah hujan

yang tinggi akan menimbulkan stream power (kuat arus) besar sehingga

debit aliran sungai sungai di daerah ini menjadi cukup besar. Periode

waktu debit aliran umumnya berlangsung cepat. Pada bagian hulu ditandai

dengan adanya erosi di Daerah Pengairan Sungai (DPS) maupun erosi

akibat penggerusan dasar sungai dan longsoran tebing. Proses sedimentasi

tebing sungai disebut degradasi. Material dasar sungai dapat berbentuk

15

boulder/batu besar, krakal, krikil dan pasir. Bentuk sungai di daerah ini

adalah braider (selempit/kepang). Alur bagian atas hulu merupakan

rangkaian jeram-jeram aliran yang deras. Penampang lintang sungai

umumnya berbentuk V.

2. Daerah transisi batas tengah sebelum bagian sampai ke daerah pantai,

kemiringan dasar sungai umumnya berkurang dari 2% karena kemiringan

memanjang dasar sungai berangsur-angsur menjadi landai (mild). Pada

daerah ini seiring dengan berkurangnya debit aliran walaupun erosi masih

terjadi namun proses sedimentasi meningkat yang menyebabkan endapan

sedimen mulai timbul, akibat pengendapan ini berpengaruh terhadap

mengecilnya kapasitas sungai (pengurangan tampang lintang sungai).

Proses degradasi (penggerusan) dan agradasi (penumpukan sedimen)

terjadi akibatnya banjir dapat terjadi dalam waktu yang relatif lama

dibandingkan dengan daerah hulu. Material dasarnya relative lebih halus

dibandingkan pada daerah pegunungan. Penampang melintang sungai

umumnya berangsur-angsur berubah dari huruf V ke huruf U.

3. Daerah hilir; sungai mulai batas transisi, daerah pantai, dan berakhir di

laut (mulut sungai/ estuary). Kemiringan di daerah hilir dari landai

menjadi sangat landai bahkan ada bagian-bagian sungai, terutama yang

mendekati laut kemiringan dasar sungai hampir mendekati 0 (nol).

Umumnya bentuk sungai menunjukkan pola yang berbentuk meander

sehingga akan menghambat aliran banjir. Proses agradasi (penumpukan

sedimen) lebih dominan terjadi. Material dasar sungai lebih halus

16

dibandingkan di daerah transisi atau daerah hulu. Apabila terjadi banjir,

periodenya lebih lama dibandingkan daerah transisi maupun daerah hulu.

2.3. Muara Sungai (Estuary)

2.3.1. Definisi muara sungai

Menurut Ross (1995) muara sungai adalah wilayah badan air

tempat masuknya satu atau lebih sungai menuju ke laut, ke samudra,

danau, bendungan, atau ke sungai lain yang lebih besar. Di wilayah

pesisir, muara sungai sangat terpengaruh oleh kondisi air daratan seperti

aliran air tawar dan sedimen, serta air lautan seperti pasang surut,

gelombang, dan masuknya air asin ke darat. Bergantung pada lokasi dan

kondisi lingkungannya, muara dapat mengandung banyak relung ekologis

dalam area kecil, dan begitu juga terkait dengan tingginya

keanekaragaman hayati. Muara sungai-sungai besar dapat membentuk

estuaria dan juga delta.

Estuaria merupakan wilayah pesisir semi tertutup yang mempunyai

hubungan bebas dengan laut terbuka dan menerima masukan air tawar

dari daratan sebagian besar estuaria didominasi oleh substrat

berlumpur yang merupakan endapan yang dibawa oleh air tawar dan air

laut. Daerah perairan yang termasuk dalam estuaria ini adalah muara

sungai, teluk dan rawa pasang surut. Estuaria daratan pesisir merupakan

tipe estuaria yang paling umum dijumpai, dimana pembentukannya terjadi

akibat penaikan permukaan air laut yang menggenangi sungai di bagian

pantai yang landai ( Kamal, dan Suardi, 2004).

17

Menurut Nybakken (1992) estuaria merupakan badan air tempat

terjadinya pencampuran masa air laut yang dipengaruhi oleh pasang surut

dengan air tawar yang berasal dari daratan. Faktor ini menyebabkan

kondisi perairan sangat tergantung pada kondisi air laut dan air tawar yang

masuk kedalamanya. Semakin tinggi kandungan tersuspensi yang dibawa

air tersebut semakin tinggi endapan lumpur di estuaria. Muara sungai

adalah bagian hilir dari sungai yang berhubungan dengan laut. Mulut

sungai adalah bagian paling hilir dari muara sungai yang langsung

bertemu dengan laut. Muara sungai berfungsi sebagai pengeluaran atau

pembuangan debit sungai, terutama pada waktu banjir ke laut, karena

letaknya yang berada di ujung hilir, maka debit aliran di muara adalah

lebih besar dibanding pada tampang sungai di bagian hulu. Selain itu

muara sungai juga harus melewati debit yang ditimbulkan oleh pasang

surut air laut (Triatmodjo, 1999). Muara sungai berfungsi sebagai

pengeluaran / pembuangan debit sungai terutama pada waktu banjir ke

laut. Muara sungai mempunyai nilai ekonomis yang penting karena dapat

berfungsi sebagai alur penghubung antara laut dan daerah yang cukup

dalam di daratan. Permasalahan yang sering dijumpai adalah banyaknya

endapan di muara sungai sehingga tampang alirannya menjadi kecil yang

dapat mengganggu pembuangan debit sungai ke laut. Beragam kegiatan

banyak berkembang di kawasan muara sungai, seperti aktivitas pelabuhan,

pemukiman, industri, pariwisata, perikanan/pertambakan, dan lain

sebagainya. Jika pengembangan yang dilakukan kurang memperhatikan

18

aspek konservasi lingkungan akan menimbulkan dan mempercepat

terjadinya proses perubahan fisik dan biologi yang merusak kawasan

muara sungai dan pantai di sekitarnya. Permasalahan yang sering

dijumpai di daerah muara sungai adalah banyaknya endapan sedimen di

muara sungai sehingga tampang aliran kecil, yang dapat menganggu

pembuangan debit sungai ke laut. Pengaliran debit sungai tidak lancar

terbuang yang mengakibatkan banjir di daerah sebelah hulu muara.

Muara sungai atau Estuaria adalah perairan yang semi tertutup yang

berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi

dapat bercampur dengan air tawar Kombinasi pengaruh air laut dan air

tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang khas, dengan

kondisi lingkungan yang bervariasi, antara lain : tempat bertemunya arus

sungai dengan arus pasang surut, yang berlawanan menyebabkan suatu

pengaruh yang kuat pada sedimentasi, pencampuran air, dan ciri-ciri fisika

lainnya, serta membawa pengaruh besar pada biotanya. Pencampuran

kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan

khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut.

Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan

komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan

sekelilingnya. Tingkat kadar garam di daerah estuaria tergantung pada

pasang surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lain, serta

topografi daerah estuaria tersebut.

19

Estuaria secara umum mempunyai peran ekologis penting antara

lain: sebagai sumber zat hara dan bahan organik yang diangkut lewat

sirkulasi pasang surut (tidal circulation), penyedia habitat bagi sejumlah

spesies hewan yang bergantung pada estuaria sebagai tempat berlindung

dan tempat mencari makanan (feeding ground) dan sebagai tempat untuk

bereproduksi dan/atau tempat tumbuh besar (nursery ground) terutama

bagi sejumlah spesies ikan dan udang. Perairan estuaria secara umum

dimanfaatkan manusia untuk tempat pemukiman, tempat penangkapan dan

budidaya sumberdaya ikan, jalur transportasi, pelabuhan dan kawasan

industri (Bengen, 2002).

2.3.2. Karakteristik morfologi muara sungai

Menurut Triatmodjo (1999), morfologi muara sungai terdiri dari

3 (tiga) jenis yaitu : muara sungai yang didominasi oleh debit sungai.

Muara sungai ini terjadi pada sungai dengan debit sepanjang tahun cukup

besar yang bermuara ke laut dengan gelombang relative kecil. Pada waktu

air surut sedimen akan terdorong ke muara dan menyebar di laut. Muara

sungai yang didominasi oleh gerakan gelombang. Muara sungai ini

dipengaruhi oleh gelombang besar yang terjadi pada pantai berpasir dapat

menimbulkan angkutan (transport) sedimen baik dalam arah tegak lurus

maupun sejajar/sepanjang pantai. Angkutan sedimen tersebut dapat

bergerak masuk ke muara sungai dan di daerah tersebut kondisi

gelombang sudah tenang maka sedimen akan mengendap, semakin besar

gelombang semakin besar angkutan sedimen dan semakin banyak sedimen

20

yang mengendap di muara sungai. Muara sungai yang didominisi oleh

gerakan pasang surut air laut. Muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang

surut, apabila tinggi pasang surut cukup besar, volume air pasang yang

masuk ke sungai sangat besar. Air tersebut akan berakumulasi dengan air

dari hulu sungai. Pada waktu air surut, volume air yang sangat besar

tersebut mengalir keluar dalam perioda waktu tertentu yang tergantung

pada tipe pasang surut. Dengan demikian kecepatan arus selama air surut

tersebut besar, yang cukup potensial untuk membentuk muara sungai.

Muara sungai tipe ini berbentuk corong atau lonceng. Contoh dari muara

sungai yang didominasi oleh pasang surut adalah muara Sungai Sowan di

Kabupaten Jembrana

2.3.3. Strategi pengelolaan muara sungai

Strategi pengelolaan muara sungai yaitu untuk muara sungai selalu

terbuka : supaya mulut sungai selalu terbuka diperlukan dua buah jetty

panjang untuk menghindari sedimentasi di dalam alur muara sungai dan

pembentukan lidah pasir. Sedimen ini disebabkan oleh gerakan sedimen

dalam arah tegak lurus pantai dan angkutan sedimen sepanjang pantai.

Jetty dibuat cukup panjang menjorok ke laut sampai ujungnya berada pada

kedalaman dimana tidak terjadi gerak sedimen. Muara sungai boleh

tertutup dimana ada dua pilihan yaitu : mulut sungai tidak boleh berbelok

atau boleh berpindah/berbelok. Pembelokan muara sungai dapat

menyebabkan sungai semakin panjang yang secara hidraulis dapat

menguranggi kemampuannya untuk melewatkan debit. Untuk menahan

21

pembelokan muara sungai perlu dibuat jetty sedang, jetty pendek,

bangunan di tebing mulut muara sungai atau pengerukan sedimen secara

rutin (maintenance dredging), apabila muara sungai diijinkan untuk

berbelok, penanganan dapat dilakukan dengan pengerukan endapan di

mulut muara sungai (Triatmodjo, 1999).

2.4. Daerah Aliran Sungai (DAS)

2.4.1.Pengertian DAS

Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah hamparan wilayah yang dibatasi oleh

pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima, mengumpulkan air hujan,

sedimen, dan unsur hara serta mengalirkannya melalui anak-anak sungai dan

keluar pada satu titik (Triatmodjo, 2010). Hujan yang jatuh di suatu DAS akan

berubah menjadi aliran di sungai. Dengan demikian terdapat suatu hubungan

antara hujan dan debit aliran, yang tergantung pada karakteristik DAS. Hujan

dapat diukur dengan cara yang sederhana. Jumlah data hujan jauh lebih banyak

dari pada data debit. Untuk itu perlu dicari bentuk persamaan debit aliran sebagai

fungsi curah hujan. Parameter hidrologi DAS yang diperhitungkan adalah

intensitas hujan, durasi hujan, frekuensi hujan, luas DAS dan konsentrasi aliran.

Ekosistem DAS biasanya dibagi menjadi daerah hulu, tengah dan hilir.

Secara biogeofisik daerah hulu merupakan daerah konservasi, mempunyai

kerapatan drainase lebih tinggi, dengan kemiringan lereng lebih dari 15 %, bukan

daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis

vegetasi umumnya tegakan hutan. Sementara daerah hilir DAS merupakan daerah

pemanfaatan dengan kemiringan lereng kecil (kurang dari 8 %), pada beberapa

22

tempat merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh

bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi oleh tanaman kecuali daerah

estuaria yang didominasi hutan gambut/bakau (Asdak, 2002).

2.4.2. Pengelolaan DAS.

Tiga aspek penting utama yang selalu menjadi perhatian dalam

pengelolaan DAS yaitu jumlah air (water yield), waktu penyediaan (water

regime), dan sedimen. DAS dapat dipandang sebagai suatu sistem hidrologi yang

dipengaruhi oleh peubah presipitasi (hujan) sebagai masukan ke dalam sistem.

DAS mempunyai karakteristik yang spesifik serta berkaitan erat dengan unsur-

unsur utamanya seperti jenis tanah, topografi, geologi, geomorfologi, vegetasi dan

tata guna lahan.

Karakteristik DAS dalam merespon curah hujan yang jatuh di tempat

tersebut dapat memberikan pengaruh terhadap besar kecilnya evapotranspirasi,

infiltrasi, perkolasi, aliran permukan, kandungan air tanah, dan aliran sungai

(Seyhan, 1977). Tujuan umum pengelolaan DAS adalah keberlanjutan yang

diukur dari pendapatan, produksi, teknologi dan erosi. Tujuan akhir pengelolaan

DAS adalah terwujudnya kondisi yang lestari dari sumber daya vegetasi, tanah,

air sehingga mampu memberikan manfaat yang optimal yang berkesinambungan

bagi kesejahtraan manusia. Manfaat yang optimal dan berkesinambungan akan

tercapai apabila sumber daya alam dan lingkungan dikelola dengan baik

(Mangundikoro, 1985).

23

2.5. Wilayah Sungai (WS)

Penentuan wilayah sungai didasarkan pada efektivitas pengelolaan sumber

daya air dengan kriteria: memenuhi kebutuhan konservasi sumber daya air dan

pendayagunaan sumber daya air; dan atau telah tersedianya prasarana sumber

daya air yang menghubungkan daerah aliran sungai yang satu dengan daerah

aliran sungai yang lain. Efisiensi pengelolaan sumber daya air dengan kriteria

rentang kendali pengelolaan sumber daya air. Yang dimaksud dengan rentang

kendali pengelolaan sumber daya air, misalnya besaran wilayah, besaran

organisasi, kompleksitas permasalahan. Keseimbangan pengelolaan sumber

daya air pada daerah aliran sungai basah dan daerah aliran sungai kering dengan

kriteria tercukupinya hak setiap orang untuk mendapatkan air guna memenuhi

kehidupan yang sehat, bersih, dan produktif. Daerah aliran sungai kering

adalah daerah aliran sungai (DAS) yang curah hujannya secara alamiah tidak

dapat memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan yang sehat, bersih, dan

produktif. Daerah aliran sungai basah adalah DAS yang curah hujannya secara

alamiah berlebih guna memenuhi kebutuhan air untuk kehidupan yang sehat,

dan bersih.

2.6. Pengelolaan Sumber Daya Air

Menurut Sunaryo dan Walujo (2004) visi dalam pengelolaan sumber daya air

adalah mewujudkan kemanfaatan sumber daya air bagi kesejahteraan seluruh

rakyat. Sementara misi pengelolaaan sumber daya air adalah konservasi sumber

daya air yang berkelanjutan, pendayagunaan sumber daya air yang adil untuk

berbagai kebutuhan masyarakat yang memenuhi kualitas dan kuantitas,

24

pengendalian daya rusak air, pemberdayaaan dan peneingkatan peran masyarakat,

swasta dan pemerintah dalam pengelolaan sumber daya air, peningkatan

keterbukaan dan ketersediaan data dan informasi dalam pengelolaan sumber daya

air. Dalam pengelolaan sumber daya air, digunakan asas-asas kelestarian,

keseimbangan fungsi social-ekonomi-lingkungan, kemanfaatan umum,

keterpaduan dan keserasian, keadilan, kemandirian, transparansi dan akuntabilitas.

Pengelolaan sumber daya air memiliki salah satu tujuan yaitu mendukung

pembangunan regional dan nasional yang berkelanjutan dengan mewujudkan

keberlanjutan sumber daya air. Dalam suatu pengelolaan terdapat batasan-batasan

atar ruang lingkup yang akan dicapai. Sunaryo dan Walujo (2004), menyebutkan

terdapat tujuh ruang lingkup dalam pengelolaan sumber daya air yaitu :

a. Pengelolaan daerah tangkapan hujan (watershed management) adalah

usaha-usaha yang dapat dilakukan agar fungsi kawasan resapan air dapat

tetap terjaga dengan penghijauan, terasering dan pengendalian tata guna

lahan.

b. Pengelolaan kuantitas air ( water quantity management) adalah penyediaan

air secara adil dan transparan, dimana pencapainya dilakukan melalui

kegiatan penetapan perizinan penggunaan air dan alokasi air serta

pengendalian distribusi air.

c. Pengelolaan kualitas air (water quality management) adalah upaya

menjaga kualitas air agar tetap berada dalam kondisi yang sesuai dengan

baku mutu yang telah ditetapkan.

25

d. Pengendalian banjir (flood control management) adalah upaya-upaya

pengendalian banjir seperti meminimalkan limpasan permukaan yang

terjadi ketika hujan, membatasi pemompaan air tanah yang menyebabkan

penurunan muka air tanah.

e. Pengelolaan lingkungan sungai (river environment management) adalah

upaya pengendalian penggunaan lahan di daerah sempadan sungai dan

peningkatan biota air agar fungsi sumber daya air terjaga.

f. Pengelolaan prasarana pengairan (infrastruktur management) adalah upaya

–upaya yang dapat dilakukan dalam pengelolaan fungsi sarana dan

prasaran pengairan agar tetap terjaga sesuai dengan umur dan tujuan yang

telah ditetapkan.

g. Penelitian dan Pengembangan (research and development) adalah upaya

mendukung dan meningkatkan pengelolaan sumber daya air di suatu

wilayah dengan inovasi-inovasi baik dalam bidang teknologi maupun

manajemen.

2.7. Ketersediaan Air dan Kebutuhan Air

2.7.1. Ketersediaan air

Ketersediaan air dalam pengertian sumber daya air pada dasarnya berasal

dari air hujan (atmosferik), air permukaan, air tanah. Hujan yang jatuh di atas

permukaan pada suatu daerah aliran sungai atau wilayah sungai sebagian

menguap kembali sesuai dengan proses iklimnya, sebagian mengalir melalui

permukaan dan sub permukaan masuk ke dalam saluran, sungai atau danau dan

sebagian lagi meresap jatuh ke tanah sebagai imbuhan (recharge) pada

26

kandungan air tanah yang ada. Aliran yang terukur di sungai atau saluran

merupakan potensi/ debit air permukaan.

Komponen ketersediaan air meliputi komponen air permukaan dan air

tanah. Untuk analisis ketersediaan air permukaan akan digunakan sebagai acuan

adalah debit andalan (dependable flow). Debit andalan adalah suatu besaran

debit pada titik kontrol (titik tinjau) di suatu sungai dimana debit tersebut

merupakan gabungan antara limpasan langsung dan aliran dasar. Debit ini

mencerminkan suatu angka yang dapat diharapkan terjadi pada titik kontrol yang

dikaitkan dengan waktu dan nilai keandalan. Beberapa metode untuk

menghitung jumlah air/ketersediaan air/potensi air:

1. Menggunakan data hujan

Metode ini digunakan untuk tahap awal, menghitung jumlah air di DAS

dengan memperkirakan :

Tebal hujan x luas Daerah Aliran Sungai (DAS) x koefisien limpasan

permukaan (runoff).

2. Menggunakan data debit

Data debit diperoleh dari :

• Pos pencatat tinggi muka air Automatic Water Level Recorder

(AWLR)

• Bendung (air yang tercatat di mercu dan intake)

• Bendungan (operasional waduk)

27

3. Menggunakan model hujan aliran (Rainfall – Runoff)

Model hujan aliran digunakan apabila di lokasi studi tidak

ditemukan pencatatan data aliran ataupun kondisi data kurang

memungkinkan untuk dilakukan analisis maka ketersediaan air/debit

dianaliss dengan metode model hubungan hujan-aliran, diantaranya

metode NRECA dan atau Mock.

4. Metode NRECA

Model NRECA adalah model hidrologi yang banyak digunakan

untuk mensimulasi hujan-limpasan yang tujuannya adalah untuk pengisian

atau memperpanjang data debit. Model NRECA (USA) yang

dikembangkan oleh Crowfort, dimana dalam model ini telah banyak

diterapkan oleh Pustlibang Pengairan pada berbagai daerah pengaliran di

Indonesia, selain parameter model relatif sedikit dan mudah dalam

pelaksanaannya serta memberikan hasil yang cukup handal. Secara umum

persamaan dasar dari model ini dirumuskan sebagai berikut:

Q = P – E + S .....................(1)

dengan:

Q = limpasan (mm)

P = hujan rata-rata DAS (mm)

E = Evapotraspirasi aktual (mm)

S = Perubahan kandungan (simpanan air dalam tanah) (mm)

Persamaan keseimbangan air di atas merupakan dasar dari model NRECA

untuk suatu daerah aliran sungai pada setiap langkah waktu, dimana hujan,

aktual evapotraspirasi dan limpasan adalah volume yang masuk kedalam

28

dan keluar pada suatu DAS untuk setiap langkah waktu tertentu.

Purnama, (2009), mengemukakan dan menyimpulkan bahwa ketersediaan

air di Pulau Bali mencapai 2.604.483.300 m3/tahun yang terdiri dari atas air

tanah sebesar 693.296.200 m3/tahun, air sungai 1.903.678.000 m3/tahun dan

mata air 7.509.600 m3/tahun. Kebutuhan air di Pulau Bali mencapai

1.213.625.300 m3/tahun, yang terdiri atas kebutuhan domestik sebesar

121.276.260 m3/tahun, industri dan hotel 20.038.068 m3/tahun, ternak

31.272.435 m3/tahun, perikanan 125.305.574 m3/tahun dan irigasi

915.733.000 m3/tahun. Kebutuhan dan ketersedian airnya, rasio neraca air

di Pulau Bali adalah 47 %, atau mendekati krisis air ( angka Indeks

Penggunaan Air/IPA berkisar 0,75-1,0). IPA adalah rasio antara penggunaan

dan ketersediaan air.

2.7.2. Kebutuhan air

Menurut Triatmodjo (2010), kebutuhan air meliputi kebutuhan air

domestik (air rumah tangga) dan non domestik (pelayanan kantor, perniangaan,

pariwisata, hidran umum, pelabuhan dan sebagainya), industri, pemeliharaan

sungai, ternak, perikanan dan irigasi. Kebutuhan air domestik dihitung

berdasarkan jumlah penduduk dan konsumsi air per kapita per hari. Penelitian

Yulistiyanto dan Kironoto (2008) menghasilkan kebutuhan air terdiri dari :

1. Kebutuhan air irigasi

Kebutuhan air irigasi sebagian besar dicukupi dari air permukaan.

Untuk lahan-lahan tertentu yang tidak dapat diari dengan air

permukaan, karena jauh atau tidak adanya sumber air permukaan,

29

lahan diairi dengan irigasi pompa. Kebutuhan air irigasi dipengaruhi

berbagai faktor seperti klimatologi, kondisi tanah, koefiisen tanaman,

pola tanam, pasoka air yang diberikan, luas daerah irigasi, efisiensi

irigasi, penggunaan kembali air drainase untuk irigasi, sistem

golongan, jadwal tanam dan lain-lain.

Kebutuhan air irigasi dihitung dengan persamaan :

KAI =�������� ��

�× A ...................... (2)

dengan :

KAI : kebutuhan air irigasi dalam liter/detik

Etc : kebutuhan air konsumtif (penyiapan lahan, pengganti

lapisan) mm/hari

IR : kebutuhan air irigasi ditingkat persawahan (mm/hari)

WLR : kebutuhan air untuk mengganti

2. Kebutuhan air non-irigasi

Jumlah dan distribusi penyebaran penduduk akan menentukan besar

kebutuhan air baku (domestik dan non domestik dan industri). Untuk

memproyeksi jumlah penduduk akan sangat sulit diperhitungkan satu

persatu. Kebiasaan yang dilakukan adalah dengan memperhitungkan

semua faktor tersebut di atas ke dalam bentuk tingkat pertumbuhan

penduduk, dimana termasuk di dalamnya adalah faktor urbanisasi

penduduk dari desa ke kota.

30

3. Kebutuhan air domestik

Kebutuhan air domestik (rumah tangga) di hitung berdasarkan

jumlah penduduk, tingkat pertumbuhan, kebutuhan air perkapita dan

proyeksi waktu yang direncanakan. Kriteria penentuan kebutuhan air

domestik yang dikeluarkan oleh Puslitbang Pengairan Departemen

Pekerjaan Umum, menggunakan parameter jumlah penduduk sebagai

penentuan jumlah air yang dibutuhkan perkapita per hari.

Kebutuhan air di kota besar pada umumnya adalah > 150

liter/kapita/hari, di kota sedang 80-150 liter/kapita/hari, kota

kecamatan 60-80 liter/kapita/hari, dan desa berkisar antara 30-60

liter/kapita/hari, hasil penelitian Purnama, (2009), menghasilkan

kebutuhan air domestik di Pulau Bali sebesar 100 liter/kapita/hari.

4. Kebutuhan air untuk perkantoran

Dasar perhitungan menurut Direktorat Teknik Penyehatan, Dirjen

Cipta karya DPU. Kebutuhan air bersih untuk kantor ditetapkan 25

liter/pegawai/hari dengan pertimbangan yang didasarkan dari rata-

rata kebutuhan air diperlukan setiap karyawan kantor untuk minum,

wudhu, mencuci tangan/kaki, kakus dan lain sebagainya yang

berhubungan dengan keperluan air di kantor. Dalam penghitungan

kebutuhan air tersebut diperlukan data mengenai jumlah karyawan di

tiap-tiap kantor yang ada didaerah yang ditinjau.

31

5. Kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai/penggelontoran

Proyeksi kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai/perkantoran

saluran dietimasikan berdasarkan perkalian antara jumlah penduduk

perkotaan dengan kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai

/penggelontoran perkapita menurut Index Water Resources Demand

(IWRD), besar kebutuhan air untuk pemeliharaan sungai /saluran saat

ini adalah 330 liter/kapita/hari.

6. Kebutuhan air untuk peternakan

Kebutuhan air untuk ternak diestimasi dengan cara mengalikan

jumlah ternak dengan tingkat kebutuhan air.

7. Kebutuhan air untuk industri

Analisis kebutuhan air untuk industri dapat dihitung dengan

dua cara. Untuk wilayah yang data luas lahan rencana kawasan

industrinya diketahui, kebutuhan industri dihitung dengan

menggunakan metode penggunaan lahan industri yaitu sebesar 0,4

liter/detik/ha. Untuk wilayah yang tidak diperoleh data penggunaan

lahan industri, kebutuhan air industri dihitung dengan menggunakan

metode persamaan linier. Standar yang digunakan adalah dari

Direktorat Teknik Penyehatan, Dirjen Cipta Karya DPU, yaitu

kebutuhan air untuk industri sebesar 10% dari air konsusmsi air

domestik.

32

2.7.3. Keseimbangan air

Analisis keseimbangan air di lakukan dengan membandingkan antara

ketersediaan air sebagai potensi, jumlah air yang sudah dimanfaatkan pada

kondisi eksisting, dan kebutuhan air sebagai fungsi tempat, waktu, dan

teknologi. Analisis imbangan air dilakukan pada kondisi waktu-waktu yang

diproyeksikan di masa-masa yang akan datang. Dari analisis imbangan air ini

akan diketahui jumlah air, baik air permukaan maupun air tanah, yang masih

tersisa dan dapat dikembangkan untuk berbagai sektor pada masa mendatang,

disamping itu hasil dari analisis imbangan air ini juga dapat digunakan sebagai

rekomendasi pemanfaatan sumber daya air yang tersisa untuk berbagai sektor.

Persamaan neraca air (water balance), (Triatmodjo, 2010) sebagai berikut :

� + �� + �� − � − � − �� − �� −∆�

∆�= 0 ......................(3)

�−E – T – I - SD = Q dimana Q = P – I dan ∆S = Q1 – Q0 - E

dengan :

P : presipitasi

Q1, Qo : debit aliran masuk dan keluar

G1, Go : aliran air tanah masuk dan keluar

E : evaporasi

T : evapotranspirasi

∆S : perubahan volume tampungan untuk selang waktu ∆t.

2.8. Kualitas Air / Standar Kualitas Air

Aspek kualitas air memengang peranan penting dalam konteks pengelolaan

sumber daya air. Beberapa karakteristik atau indikator kualitas air yang

33

disarankan untuk dianalisis sehubungan pemanfaatan sumberdaya air untuk

berbagai keperluan, antara lain parameter fisika, kimia dan biologi (Effendi,

2003). Indikator atau tanda bahwa air lingkungan telah tercemar adalah adanya

perubahan atau tanda yang dapat diamati yang dapat digolongkan menjadi :

1. Pengamatan secara fisik, yaitu pengamatan pencemaran air berdasarkan

tingkat kejernihan air (kekeruhan), perubahan suhu, warna dan adanya

perubahan warna, bau dan rasa.

2. Pengamatan secara kimiawi, yaitu pengamatan pencemaran air

berdasarkan zat kimia yang terlarut dan perubahan pH.

3. Pengamatan secara biologis, yaitu pengamatan pencemaran air

berdasarkan mikroorganisme yang ada dalam air, terutama ada tidaknya

bakteri patogen. Indikator yang umum digunakan pada pemeriksaan

pencemaran air adalah pH atau konsentrasi ion hydrogen, oksigen terlarut

(Dissolved Oxygen, DO), kebutuhan oksigen biokimia (Biochemical

Oxygen Demand, BOD) serta kebutuhan oksigen kimiawi (Chemical

Oxygen Demand, COD). Pemantauan kualitas air pada sungai perlu

disertai dengan pengukuran dan pencatatan debit air agar analisis

hubungan parameter pencemaran air dan debit badan air sungai dapat

dikaji untuk keperluan pengendalian pencemarannya. Menurut Peraturan

Pemerintah No. 82/2001(PP 82/2001) memfokuskan pada pengelolaan

dari kualitas air dan pengendalian polusi air dan dalam hal ini sangat

relevan dengan studi mengenai pengembangan dan pengelolaan sumber

daya air. Lampiran dari peraturan ini menspesifikasi Standar Kualitas

34

Air Nasional (SKAN) yang pada kenyataannya standar kualitas air

lingkungan berdasarkan penggunaan yang bermanfaat dari sumber air

tawar tanpa membuat perbedaaan pada tipe dari sumber air tersebut

seperti danau atau air tanah. SKAN ini mengesampingkan pemanfaatan

air dengan standar kualitas air yang serupa lainnya baik tingkat nasional

ataupun daerah seperti dispesifikasikan pada lampiran yaitu untuk tingkat

nasional Peraturan Pemerintah no. 20/1990 (PP20/1990) dan juga standar

kualitas air tingkat daerah (provinsi) melalui Peraturan Gubernur Bali No

08 Tahun 2007 tentang Baku Mutu Lingkungan Hidup dan Kriteria Baku

Kerusakan Lingkungan Hidup.

Pemerintah provinsi bisa mengatur standar mereka sendiri yang

bisa menjadi lebih ketat dari pada SKAN dan juga bisa melibatkan nilai-

nilai standar untuk parameter tambahan yang tepat sesuai dengan

kebutuhan lokal. Pemerintah Provinsi Bali berada dalam proses

memformulasikan standar kualitas airnya sendiri berdasarkan SKAN

yang baru. SKAN yang baru memformulasikan dan menggambarkan 4

kelas untuk penggunaan air yang memberikan manfaat sebagai berikut:

• Kelas I . Air baku untuk suplai air bersih (minum) dengan pengolahan dan

semua pemanfaatan lainnya dari Kelas II sampai Kelas IV

• Kelas II. Air untuk rekreasi dan semua pemanfaatan lain dari kelas III dan

kelas IV

• Kelas III. Air untuk perikanan air tawar untuk peternakan dan pemanfaatan

dari kelas IV

35

• Kelas IV. Air untuk air Irigasi

2.9. Program Software HYMOS (Hydrological Model System) dan RIBASIM

(River Basin Simulation)

HYMOS adalah program suatu perangkat lunak yang merupakan sistem

basis data dan pengolahan data hidrologi yang terpadu. Menurut Hatmoko

(1993), RIBASIM adalah alat pemodelan untuk perencanaan wilayah sungai dan

manajemen. RIBASIM memiliki seperangkat program yang luar biasa untuk

membuat model simulasi sungai dan kondisinya. Model ini telah diterapkan

selama lebih dari 20 tahun di sejumlah negara dan dalam berbagai proyek.

Organisasi pengelolaan air di seluruh dunia menggunakannya untuk mendukung

manajemen dan kegiatan perencanaan. Besar dan kompleks DAS telah

dimodelkan dan disimulasikan dengan RIBASIM. Secara terpisah model sub-

DAS dapat digabungkan menjadi satu main-basin. Menurut Hatmoko (1993),

RIBASIM memungkinkan pengguna untuk mengevaluasi berbagai langkah-

langkah terkait dengan infrastruktur, manajemen operasional, permintaan dan

kebutuhan hasil dalam kuantitas air dan kualitas air. RIBASIM menghasilkan pola

distribusi air, menyediakan kualitas air secara rinci dan analisis sedimentasi di

sungai, waduk dan yang lainnya. Program ini memberikan analisis sumber air,

memberikan potensi air di setiap lokasi tampungan.

RIBASIM mengikuti pendekatan terstruktur untuk perencanaan wilayah

sungai/DAS dan manajemen air. RIBASIM memiliki link dengan HYMOS

terkait basis data hidrologi dan pemodelan sistem. Bidang aplikasi RIBASIM

dirancang untuk analisis keseimbangan air di basin/sungai untuk disimulasikan,

36

kemudian menghasilkan waterbalance untuk memberikan informasi dasar

tentang ketersedian/ kuantitas air serta komposisi aliran di setiap lokasi pada

setiap saat/waktu dalam wilayah sungai. RIBASIM menyediakan sarana untuk

mempersiapkan sisa air di DAS secara detail sesuai dengan keperluan, dengan

mempertimbangkan drainase dari pertanian, pembuangan dari industry di hilir dan

penggunaan kembali air. Sejumlah parameter kinerja tampungan yang dihasilkan

untuk mengevaluasi situasi simulasi. Sebuah aplikasi baru RIBASIM adalah

model aliran routing untuk komponen dalam sistem peringatan dini untuk banjir

(FEWS).

Struktur RIBASIM didasarkan pada kerangka kerja yang terintegrasi

dengan, grafis, GIS berorientasi user-friendly. Bekerja dengan RIBASIM berarti

menerapkan pendekatan terstruktur untuk perencanaan wilayah sungai dan

manajemen air. RIBASIM berorientasi peta. Sebuah lingkungan pemodelan

fleksibel telah dirancang di mana sistem pemodelan dibuat independen dengan

menggunakan Sistem Informasi Geografis (SIG). Para pengguna air (stakeholder)

dan air digunakan untuk kegiatan yang berkaitan dengan: irigasi pertanian,

budidaya air tawar dan payau, kebutuhan air domestik, kebutuhan air kota,

kebutuhan air industri, lahan basah, dan ternak. Kerugian akibat penguapan,

rembesan, navigasi, rekreasi, alam, ekologi dan lingkungan. Hak atas air, transfer

antar cekungan/tampungan, resapan air tanah, sungai es, pembangkit tenaga air,

kebutuhan air dan perhitungan alokasi air untuk pertanian/ irigasi dan budidya air

payau termasuk dalam model komponen terpisah.

37

Pemodelan lahan basah dapat fine-tuned oleh opsi menskemakan jaringan

tertentu dan pengoperasian waduk. Aspek yang diperhitungkan dalam komponen

RIBASIM adalah simulasi pengoperasian waduk, yang digunakan untuk model

waduk tunggal dan multitujuan, danau dan waduk penyimpanan. Berbagai

pengelolaan air dan prosedur pengalokasian air dapat dimodelkan. Software

RIBASIM dapat menghitung konsentrasi zat di setiap jangkauan sungai dan

badan air, dan sisa substansi setiap penggunaan air. Setiap jumlah zat dapat

didefinisikan seperti garam, Biological Oxygen Demand, nitrogen, fosfor, bakteri,

zat beracun, dan pemurnian air diperhitungkan oleh modelling retensi di sungai

sampai di badan air, dan pengelolaan air limbah pabrik. Perhitungan ini

didasarkan pada aliran pola alokasi air, konsentrasi limbah (polusi konsentrasi zat)

pada batas sistem ditentukan sebagai hubungan antara konsentrasi substansi air

yang diambil dan dibuang dari drainase, dan daerah irigasi. Pertanian merupakan

pengguna air terbesar di sungai. Untuk alasan ini pemodelan kebutuhan air

pertanian dan alokasi merupakan elemen penting untuk analisis sumber daya air

yang terbatas di wilayah sungai.

RIBASIM mendukung berbagai metode untuk menangani berbagai jenis

permintaan. RIBASIM mendukung spesifikasi sederhana dari permintaan kotor

serta kebutuhan air pertanian lengkap, alokasi air, hasil panen dan model biaya

produksi (Delft AGRI). RIBASIM memiliki alat untuk sepenuhnya interaktif

grafis, desain rencana tanaman yang terdiri dari kombinasi budidaya, yang

dibudidayakan, ukuran daerah untuk budidaya dan tanggal mulai budidaya. Alat

ini diaktifkan dari peta, menggunakan permintaan terpadu air pertanian, alokasi

38

air, hasil panen dan biaya produksi. RIBASIM dapat digunakan untuk

perencanaan wilayah sungai dari hulu sampai hilir dan manajemen.

RIBASIM menerapkan pendekatan terstruktur untuk perencanaan wilayah

sungai/muara sungai dan manajemen air/pengelolaan. RIBASIM tidak

memerlukan perangkat lunak dari luar software. Persyaratan minimum untuk

perangkat keras disarankan adalah konfigurasi yang terdiri dari: prosesor pentium

(200 MHz atau lebih cepat satu dianjurkan), 64 Mb, RAM 400 Mb ruang disk

bebas, kartu super VGA grafis dengan Monitor yang sesuai, mouse, CD-ROM,

perangkat lunak. RIBASIM membutuhkan MICROSOFT WINDOWS 95, 98,

2000, NT, XP atau Vista. Pengunaan program RIBASIM dapat diaplikasikan di

wilayah sungai dan muara sungai seperti gambar dibawah ini.

2.10. Pengelolaan Sumber Daya Air dengan Program HYMOS dan

RIBASIM

Menurut Hatmoko (1993), pengelolaan sumber daya air di sungai

dilakukan dengan upaya-upaya strategis dengan rangkaian kegiatan sebagai

berikut :

a. Mengidentifikasi skenario pengembangan wilayah sungai dan

muara sungai sebagai basis proyeksi kebutuhan air.

b. Mengelompokkan daerah di wilayah sungai dan muara sungai

kedalam beberapa kelompok pengguna yang mengacu pada

rencana tata ruang.

c. Menganalisis kebutuhan air antar sektor pada saat ini dan

proyeksinya dimasa yang akan datang

39

d. Menganalisis ketersediaan /potensi untuk seluruh wilayah sungai

dari hulu dan hilir/muara sungai.

e. Menghitung neraca air bulanan.

2.11. Proses Pengolahan Data dengan Software RIBASIM

Proses pengolahan data dengan software RIBASIM dapat dijelaskan dengan

sistem sebagai berikut : input (masuk) data hidrologi (curah hujan, iklim, dan

suhu), ketersediaan air, kebutuhan air, dan hasil pengukuran lapangan serta

sistem pembagian air dari hulu sampai hilir. Kemudian diproses dengan software

dan menghasilkan (output) berupa : peta tentatif potensi air di masing-masing

distrit, neraca air/water balance (keseimbangan air), manajemen air dan model

pengelolaan sumber daya air. Software ini mempunyai kelebihan tampilan

interaktif, yang dapat dengan mudah memberikan infromasi imbangan/alokasi air

pada suatu daerah (Water District) dalam suatu wilayah dalam suatu wilayah

sungai (Meijer, 2011).

Model DSS-RIBASIM terdiri atas beberapa komponen, yang

dikendalikan oleh sebuah interface yang menunjukkan lokasi geografis. Adapun

komponen-komponen model antara lain sebagai berikut:

1. DSS Shell merupakan program pembuka yang memadukan program-

program lain.

2. Netter adalah editor jaringan skematisasi sistem tata air yang dapat

digunakan secara interaktif dalam menyusun jaringan dan

pemasukan data. Penyajian hasil simulasi pada setiap simpul dan

ruas sungai juga ditampilkan dalam bentuk peta skematisasi ini.

40

Skematisasi ini dilatarbelakangi oleh lapisan (layer) peta situasi

wilayah yang dapat memuat lapisan kontur, kota-kota kecamatan,

jaringan infrastruktur dan lainnya.

3. Case management tool merupakan pemberi petunjuk dalam

melaksanakan proses simulasi, sehingga masing-masing kasus

simulasi dapat dikelola secara rapi.

4. AGWAT adalah model perhitungan kebutuhan air irigasi.

5. FISHWAT adalah model kebutuhan air perikanan.

6. SIMPROC adalah model simulasi wilayah sungai untuk alokasi air.

7. WADIS adalah model distrik air (Water District).

8. DELWAQ adalah model simulasi kualitas air dari Delft Hydraulics.

Penyajian hasil simulasi secara grafis yang flexible dan dilengkapi dengan

fasilitas export ke Microsoft-Excel. Model simulasi dalam sistem sumber daya air

adalah teknik matematik dengan prosedur/algoritma aritmatik dan logika untuk

menggambarkan perilaku dinamik sistem sumber daya air dalam rangkaian

periode waktu. Secara umum langkah-langkah yang diperlukan dalam menyusun

model simulasi dalam sistem sumber daya air adalah sebagai berikut :

1. Mendefinisikan masalah.

2. Menentukan masukan (input) dan keluaran (output) model, data yang

diperlukan, ketersediaan data, pemrosesan data.

3. Mendeskripsikan sistem sumber daya air dan hubungan hidrologisnya

serta menyusun model.

41

4. Mendefinisikan parameter pada sistem awal, kemudian mengestimasi

parameter simulasi untuk dijalankan pada simulasi pertama.

5. Merencanakan kebijakan operasi sistem.

6. Menyusun program komputer.

7. Menjalankan program.

8. Menguji model.

Dalam model simulasi pengaturan sumber daya air, simulasi yang

sekurang-kurangnya dilakukan untuk dapat mengevaluasi hasil alternatif pola

pengaturan air penelitian Hatmoko dan Radhika (2010), adalah sebagai

berikut :

a. Simulasi tahap awal, yaitu dengan kondisi tanpa upaya pada kasus masa kini

yang diperlukan untuk mengecek input data sistem dan kebenaran

dijalankannya model (kalibrasi). Dalam tahap ini akan dimasukkan data

ketersediaan air sebagai data water supply pada tahun tertentu yang disusun

sedemikian rupa untuk memperoleh hasil keluaran model sama/mendekati

kenyataan yang terjadi pada tiap periode yang sama.

b. Simulasi dengan kondisi tertentu, dimana simulasi ini akan diketahui akibat

sistem kebijakan pengaturan air yang diterapkan dengan menganalisa

ketersediaan air di tiap titik pada DAS.

c. Simulasi-simulasi selanjutnya, yaitu menerapkan skenario-skenario kebijakan

pengaturan air yang baru untuk mendapatkan hasil alokasi air yang lebih baik

dan mengarah ke hasil yang optimum. Untuk lebih jelas mengenai DSS

Ribasim dapat dilihat pada Gambar 2.1.

42

2.12. Penelitian dengan Software RIBASIM

Penelitian dari Yulistianto dan Kironoto ( 2008), mengkaji mengenai

pengembangan pengelolaan sumber daya air pada wilayah sungai Progo-Opak-

Serang, dengan menggunakan software RIBASIM dengan tujuan untuk

menganalisis pengelolaan sumber daya air, dan untuk pendayagunaan sumber

daya air pada wilayah sungai Paguyaman, penelitian ini menghasilkan

pengembangan dan potensi air di wilayah sungai Paguyaman.

Penelitian Istianto dan Suripin (2010), menghasilkan pola pengelolaan

sumber daya air terpadu wilayah sungai Pemali Comal Provinsi Jawa Tengah

dengan bantuan analisis software RIBASIM. Aryati (2012) meneliti mengenai

analisis pendayagunaan sumber daya air di wilayah sungai Limboto Bolango

Bone dengan RIBASIM. Penelitian tersebut menghasilkan keseimbangan air

untuk kebutuhan air irigasi pada umumnya masih belum dapat tercukupi, kecuali

yang telah terpenuhi dengan keandalan diatas 80% adalah pada DI Alale, DI

Molalahu, dan DI Pilohayanga serta menentapkan Daerah Irigasi Alo dan Pohu

dibuatkan beberapa sumur pompa air tanah, yang sangat membantu penyediaan

air irigasi pada musim kemarau.

RIBASIM sudah dipergunakan dalam tantanan aplikasi oleh Departemen

Pekerjaan Umum yaitu : pada proyek Pengisian Waduk Cirata (1987) untuk

membantu memberikan prakiraan duga muka air pada ketiga buah waduk

tersebut untuk berbagai alternatif cara pengisian waduk Cirata. Pengembangan

43

sumber daya air di wilayah Sungai Bengawan Solo (1992) RIBASIM digunakan

untuk penyusunan skematisasi sistem tata air. Hasilnya berupa peta tata air di

DAS Bengawan Solo berdasarkan daerah irigasi.

2.12. Penelitian dengan Software RIBASIM

MAPINFO Geographical information

system

HYMOS Hydrological database and

modeling system

DSS RIBASIM

AGWAT Water

requirement for irrigated agriculture

DEMES Water

requirement domestic,

municipal and industry supply

FISHWAT Water

requirement for brackish

water aquaculture

SIMPROC

River basin simulation

model

Water allocation

within water distric and on distribution

network level

DELWAQ Water quality

model. Flow composition

on distribution

network level

(fraction simulation)

WADIS Crop

production cost and

yield

Demand Analysis Impact Analysis Allocation Analysis

Gambar. 2.1.

DSS RIBASIM (sumber : Hatmoko,W, 2010)

Module ModuleData

44