tinjauan pustaka asal dan konstitusi genetik...
TRANSCRIPT
10
TINJAUAN PUSTAKA
Asal dan Konstitusi Genetik Tanaman Gandum
Gandum telah ditanam di Asia bagian barat daya, geografik pusat dari
asalnya, selama lebih dari 10.000 tahun. Spesies liarnya masih tumbuh di
Libanon, Syria, bagian utara Israel, Iraq, dan bagian timur Turki. Manusia mulai
memuliakan gandum pada awal tahun 1800-an. Semenjak itu mulai ada perbaikan
kualitas bulir dan peningkatan hasil, modifikasi dalam arsitektur tanaman serta
peningkatan ketahanan kekeringan, masa simpan, hama dan penyakit (Sleper &
Poehlman 2006)
Bukti tertua bagi penanaman gandum datangnya dari Syria, Jordan, Turki,
Armenia dan Irak. Sekitar 9000 tahun yang lalu, gandum einkorn liar ditemui dan
ditanam pada lembah subur. Sekitar 8000 tahun yang lalu, melalui mutasi
dikenallah gandum emmer dengan benih yang lebih besar, tetapi tidak mampu
disebarkan oleh angin (Wikipedia 2011). Gandum (Triticum aestivum)
merupakan spesies yang berasal dari genus Triticum, Tribe Triticeae, dan Famili
Poaceae. Triticeae merupakan Tribe dari famili Poaceae yang terdiri lebih dari 15
genus dan 300 spesies yang termasuk gandum dan barley. Genus Triticum
berkerabat dengan Hordeum, Avena, Secale, Zea, dan Oryza (Wittenberg 2004).
Spesies – spesies yang termasuk di dalam genus Triticum dikelompokkan ke
dalam tiga kelas ploidi yaitu diploid(2n=2x=14), tetraploid (2n=4x= 28) dan
heksaploid (2n=6x=42) (Gambar 1) (Sakamura 1918 dalam Wittenberg 2004;
Fehr 1987; Sleper & Poehlman 2006). Saat ini terdapat 11 spesies diploid, 12
spesies tetraploid, dan 6 spesies heksaploid yang sudah diidentifikasi dan
dideskripsikan (Sleper & Poehlman 2006). Namun hanya dua spesies dari genus
Triticum yang memiliki nilai ekonomis penting yaitu Triticum aestivum dan
Triticum turgidum. Triticum aestivum merupakan gandum yang umum dikenal
yang dimanfaatkan untuk bahan baku roti. Triticum turgidum yang dikenal
dengan gandum durum digunakan untuk membuat pasta. Wilson (1955)
mengklasifikasikan gandum berdasarkan kegunaannya yang meliputi gandum
keras (hard wheat) yang memiliki kandungan gluten dan protein tinggi serta
cocok untuk pembuatan roti; gandum lunak (soft wheat) yang memiliki
kandungan gluten dan protein yang lebih rendah, cocok untuk pembuatan kue-kue
11
kering, biskuit, dan crackers, dan gandum durum, Gandum durum : gandum yang
memiliki kandungan gluten dan protein sangat rendah, cocok untuk pembuatan
macaroni dan spaghetti. Fehr (1987) mengklasifikasikan beberapa spesies
Triticum berdasarkan kelas ploidinya (Tabel 1).
Gambar 2 Asal gandum tetraploid dan hexaploid. spesies T.turgidum, tetraploid berasal
dari kombinasi genom A dari T.monococcum dan genom B dari spesies liar,
sedang T.aestivum, hexaploid berasal dari kombinasi genom AB dari T.turgidum
dan genom D dari Ae. Tauchi.
T.monococcum
2n=2x = 14
(DD) 2n=4x = 28
(AABB)
Spesies
Diploid
3x = 21
(ABD)
Ae.tauchi T.turgidum
Gandum Tetraploid
Penggandaan Kromosom
2x = 14
(AB)
2n=2x = 14
(BB) 2n=2x = 14
(AA)
Spesies tidak
dikenal X
X
Penggandaan Kromosom
T.aestivum
Gandum Hexaploid 2n=6x = 42
(AABBDD)
12
Tabel 1. Klasifikasi Beberapa Spesies Triticum Berdasarkan Kelas Ploidi
Species Genome Status
Diploid Species (2n = 14)
T. Monoccocum var. monoccocum AA Budidaya
T. Monoccocum var. boeoticum AA spesies liar
T. Dichasians CC spesies liar
T. Tauschii DD spesies liar
T. Comosum MM spesies liar
T. Speltoides SS spesies liar
T. Umbellatum UU spesies liar
Spesies Tetraploid (2n = 4x = 28)
T. turgidum L. var. dococcon AABB Budidaya
T. turgidum L. var. durum AABB Budidaya
T. turgidum L. var. turgidum AABB Budidaya
T. turgidum L. var. polonicum AABB Budidaya
T. turgidum L. var. carthlicum AABB Budidaya
T. turgidum L. var. dicoccoides AABB spesies liar
T. timopheevii var. araraticum AAGG spesies liar
T. cylindricum DDCC spesies liar
T. ventricosum DDMM spesies liar
T. triunciale UUCC spesies liar
T. ovatum UUMM spesies liar
T. kotschyi UUSS spesies liar
Spesies Heksaploid (2n = 6x = 42)
T. aestivum L. var. aestivum AABBDD Budidaya
T. aestivum L. var. spelta AABBDD Budidaya
T. aestivum L. var. compactum AABBDD Budidaya
T. aestivum L. var. sphaerococcum AABBDD Budidaya
T. syriacum DDMMSS spesies liar
T. juvenile DDMMUU spesies liar
T. triaristatum UUMMMM spesies liar
Sumber : Fehr (1987)
Adaptasi Tanaman terhadap Perubahan Lingkungan
Adaptasi tanaman adalah kemampuan tanaman untuk menyesuaikan diri
terhadap kondisi lingkungan yang spesifik seperti kondisi suhu, cahaya, dan
ketersediaan mineral dan hara. Memahami mekanisme genetik dan fisiologis
tanaman dengan perubahan-perubahan kondisi lingkungan sangat penting untuk
menciptakan strategi yang efisien untuk mengembangkan kultivar tahan cekaman
untuk sistem produksi yang berkelanjutan.
13
Menurut Rao (2001) perbaikan adaptasi tanaman terhadap lingkungan dapat
dicapai dengan dua pendekatan umum: perubahan lingkungan pertumbuhan, atau
dengan pengembangan genotipe tanaman. Seringkali gabungan pendekatan
tersebut yang paling efektif. Peningkatan hasil panen yang dicapai oleh pemulia
tanaman umumnya terutama disebabkan pada perubahan-perubahan yang terbagi
dalam dua kategori (1) perubahan agronomi melalui perbaikan adaptasi genetik
untuk mengatasi kendala biotik utama dalam produksi tanaman (misalnya, hama
dan penyakit) dan abiotik (misalnya, suhu, kekeringan, kekurangan dan keracunan
mineral, dan salinitas) serta (2) meningkatkan potensial hasil genetik di atas
kultivar standar dalam lingkungan yang sama (Evans 1993; Miflin 2000).
Pendekatan yang paling berhasil untuk meningkatkan adaptasi tanaman
pangan dan pakan terhadap cekaman abiotik secara historis menggunakan
penilaian berbasis lapangan untuk mengidentifikasi kultivar toleran, diikuti
dengan program pemuliaan dan menyeleksi genotipe pada lingkungan
bercekaman penuh untuk mendapatkan galur-galur yang toleran serta diperoleh
karakter tanaman yang diinginkan sebagai kriteria seleksi sesuai dengan target
cekaman (Blum 1983; Hall 1992).
Sebuah program pengembangan tanaman yang efektif untuk meningkatkan
adaptasi tanaman secara genetik terhadap faktor-faktor cekaman abiotik akan
termasuk (1) mengidentifikasi plasma nutfah toleran terhadap faktor interes
cekaman abiotik, (2) karakterisasi sifat tanaman dan mekanisme yang
bertanggung jawab atas adaptasi genetik unggul, (3) menentukan mekanisme
warisan untuk sifat utama tanaman, (4) mengidentifikasi lokus sifat kuantitatif
(QTLs) terkait dengan sifat kunci yang terlibat dalam toleransi cekaman dalam
menyeleksi dengan bantuan marker (marker-assisted selection) dalam populasi
layak, dan (5) mengembangkan skema peningkatan genetik yang terintegrasi.
Identifikasi Sifat Morfofisiologis Utama
Efektivitas seleksi untuk sifat-sifat morfofisiologis tergantung pada faktor-
faktor seperti heritabilitas, korelasi genetik antara sifat-sifat, input yang
diperlukan untuk mengukur suatu sifat, intensitas seleksi dan cara di mana seleksi
diintegrasikan ke dalam program pemuliaan (Buttery et al. 1981). Penelitian
14
tentang respon tanaman pada iklim yang berbeda dan faktor-faktor cekaman
edafik menunjukkan bahwa variasi genetik tersedia untuk sejumlah sifat fisiologis
penting. Pemulia telah mencoba untuk memasukkan variasi genetik ini ke dalam
kultivar yang menunjukkan semua toleransi tanaman terhadap cekaman.
Selain itu, banyak metode yang diusulkan oleh ahli fisiologi untuk
memantau toleransi terhadap cekaman didasarkan pada penampilan masing-
masing sel tunggal, jaringan, organ, atau individu tanaman dan tidak memberikan
indikasi yang baik pada semua respon tanaman terhadap cekaman ketika
ditumbuhkan dalam pembibitan berjarak tanam atau dalam lingkungan yang
kompetitif di lapangan. Ceccarelli et al. (1991a) berpendapat bahwa seleksi untuk
satu sifat sering tidak berhasil, terutama pada lingkungan yang tak terduga di
mana frekuensi, waktu, dan tingkat keparahan cekaman tidak diketahui.
Simulasi pemodelan dapat membuat kontribusi penting untuk
meningkatkan adaptasi tanaman terhadap lingkungan bercekaman penuh.
Kemampuan kita untuk menilai secara akurat berbagai proses interaksi selama
siklus hidup tanaman terbatas, dan pengembangan model dapat menghapus
banyak "hunch taking" dalam memilih sifat-sifat fisiologis yang relevan untuk
manipulasi genetika (Moorby 1987; Shorter et al. 1991). Hasil benih dapat
digambarkan sebagai akumulasi laju fotosintat, intensitas atau fraksi asimilat
yang terbentuk untuk dialokasikan benih, durasi photoassimilate partitioning
untuk benih, dan sejauh mana remobilisasi dari bahan asimilasi sebelumnya ke
benih. Boote dan Tollenaar (1994) menggunakan simulasi pertumbuhan tanaman
untuk mengevaluasi hipotesis respon hasil pada banyak sifat-sifat genetis.
Dengan menggunakan pendekatan pemodelan, mereka membuat evaluasi yang
sistematis tentang pentingnya sifat tanaman sebagai efek dari 5P potensi hasil:
prior events- peristiwa sebelum (kanopi vegetatif dengan tillering yang memadai
dan penentuan posisi buah-fruiting sites), fotosintesis, partitioning, pod-filling
or grain-filling period (periode pengisian poling/biji), dan prior accumulation
(sebelum akumulasi) serta remobilization of photosynthates and minerals
(remobilisasi fotosintat dan mineral). Mereka menemukan bahwa dari lima P
terdaftar, lamanya periode pengisian polong yang paling mungkin untuk
menjelaskan peningkatan hasil sebelumnya, sekarang dan masa depan. Mereka
15
menyarankan bahwa perbaikan hasil juga berasal dari peningkatan toleransi
terhadap cekaman sejauh fotosintesis dipertahankan, pengisian biji lebih panjang,
dan mobilisasi lebih lambat.
Peningkatan Keragaman Genetik melalui Pemuliaan Mutasi
Upaya perbaikan sifat genetik dan peningkatan keragaman genetik
tanaman gandum di Indonesia selama ini hanya bertumpu pada introduksi galur-
galur homosigot atau yang telah dilepas sebagai varietas di Negara tertentu,
karena tanaman gandum pada dasarnya merupakan tanaman subtropik yang
diupayakan untuk dikembangkan diderah tropik, khususnya di Indonesia. Hal ini
merupakan penyebab utama rendahnya keragaman genetik tanaman gandum di
Indonesia. Peningkatan keragaman genetik tanaman gandum yang telah
diintroduksi, dapat dilakukan melalui hibridisasi dan induksi mutasi. Pemuliaan
secara mutasi dapat diinduksi dengan mutagen fisik atau mutagen kimia. Pada
umumnya mutagen fisik dapat menyebabkan mutasi pada tahap
kromosom,sedangkan mutagen kimia umumnya menyebabkan mutasi pada
tahapan gen atau basa nitrogen (Aisyah 2006)
Mutasi adalah suatu perubahan baik terhadap gen tunggal, terhadap sejumlah
gen atau terhadap susunan kromosom. Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian
tanaman dan fase pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak terjadi pada bagian
yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel seperti tunas, biji dan sebagainya.
Secara molekuler, dapat dikatakan bahwa mutasi terjadi karena adanya perubahan
urutan (sequence) nukleotida DNA kromosom, yang mengakibatkan terjadinya
perubahan pada protein yang dihasilkan (Poespodarsono 1988).
Pemuliaan mutasi adalah metode pemuliaan untuk meningkatkan
keragaman genetik dalam rangka perbaikan varietas tanaman yang dilakukan
dengan menggunakan mutagen fisik atau kimia (Chopra 2005). Mutagen fisik,
sebagai contoh sinar gamma, telah banyak digunakan untuk menginduksi mutasi
pada beberapa genera tanaman, diantaranya Chrysanthemum morifolium
(Yamaguchi et al. 2008), Ipomea batatas (Wang et al. 2006), Orthosiphon
stamineus (Pick Kiong et al. 2008), Saccharum sp. (Patade & Suprasanna 2008),
Sorghum bicolor (Larik et al. 2009), padi (Bibi et al. 2009), Triticum aestivum
(Singh & Balyan 2009), dan kacang-kacangan (Tah & Saxena 2009).
16
Induksi Mutasi dengan Iradiasi Sinar Gamma
Induksi mutasi dimulai sejak ditemukannya sinar X, gamma dan neutron
seratus tahun yang lalu dan menjadi salah satu teknologi yang dalam perbaikan
sifat utama tanaman (Ahloowalia 2001). Semula, para pakar/pemulia tanaman
menganggap bahwa induksi mutasi merupakan suatu teknik pemuliaan yang
kurang meyakinkan. Namun, seiring dengan berkembangnya bioteknologi,
keberhasilan regenerasi sel berdasarkan teori toti potensi, dan terbentuknya
variasi somaklonal, induksi mutasi merupakan terobosan dalam pemuliaan
tanaman yang menjanjikan, khususnya bagi tanaman yang berbiak secara
vegetatif. Teknik tersebut dapat menunjang perolehan varietas mutan baru yang
bermanfaat bagi perkembangan dunia usaha.
Iradiasi sinar gamma merupakan teknologi radiasi bagian dari teknologi
nuklir yang menggunakan radioisotope. Dibandingkan zat kimia biasa,
radioisotope memiliki kelebihan sifat fisik, yaitu memancarkan sinar radioaktif.
Keberhasilan perlakuan iradiasi sangat ditentukan oleh sensitivitas genotipe yang
diiradiasi terhadap dosis radiasi yang diberikan. Tingkat sensitivitas tanaman
dipengaruhi oleh jenis tanaman, fase tumbuh, ukuran, dan bahan yang akan
dimutasi, serta sangat bervariasi antar jenis tanaman dan antar genotipe (Banerji &
Datta 1992). Broertjes dan van Harten (1988) menyatakan bahwa semakin
banyak kadar oksigen dan molekul air (H2O) berada dalam materi yang diradiasi,
maka semakin banyak pula radikal bebas yang terbentuk sehingga materi menjadi
semakin sensitif. Sensitivitas terhadap radiasi dapat diukur berdasarkan nilai LD50
(lethal dose 50) yaitu dosis yang menyebabkan kematian 50% dari populasi
tanaman yang diradiasi. Dalam induksi mutasi, beberapa studi menunjukkan
bahwa dosis optimum yang dapat menghasilkan mutan terbanyak umumnya
diperoleh di sekitar LD (Datta 2001). Untuk mendapatkan nilai lethal dosis 50
(LD50), digunakan program best curve-fit analysis, yaitu satu program analisis
statistik yang dapat digunakan untuk mencari persamaan model terbaik.
Dosis iradiasi sinar gamma dapat diukur dalam satuan Gray (Gy), 1 Gy
sama dengan 0,10 krad yakni 1 J energy per kg iradiasi yang dihasilkan
(Anonimous 1997). Dosis iradiasi juga merupakan salah satu faktor penentu
perlakuan radiasi. Dosis yang tinggi umumnya mengakibatkan kematian,
17
sedangkan pada dosis rendah umumnya hanya menyebabkan perubahan abnormal
pada fenotipe tanaman. Pengaruh dosis radiasi terhadap persen kematian,
pertumbuhan, dan fertilitas telah banyak dilaporkan. Beberapa hasil penelitian
menunjukkan bahwa biji-biji yang diradiasi sinar gamma dengan dosis yang tinggi
akan mengganggu sintesa protein (Xiuzher, 1994), keseimbangan hormon,
pertukaran gas di daun (Stoeva & Bineva 2001), pertukaran air dan aktivitas
enzim (Stoeva et al. 2001). Pada dosis sedang sampai rendah, kemampuan
adaptasi tanaman dapat dipertahankan, dan bersifat dapat balik.
Hasil penelitian Mandal dan Basu (1986) menunjukkan bahwa iradiasi
sinar gamma pada beberapa dosis yang berbeda tidak berpengaruh terhadap daya
berkecambah benih padi, tetapi berpengaruh terhadap pertumbuhan bibit,
terutama pertumbuhan akar bibit. Iradiasi sinar gamma menyebabkan
terganggunya proses pembelahan sel, mengakibatkan terbentuknya sel-sel yang
abnormal, dan menurunkan frekuensi pembelahan sel yang berakibat pada
menurunnya laju pertumbuhan bibit, serta aberasi pada sifat-sifat morfologi.
Pada tanaman Nicotiana iradiasi dengan dosis tinggi mengakibatkan terhambatnya
pertumbuhan tanaman, degradasi klorofil dan kerusakan morfologi pada tanaman
(Wada et al. 1998). Sebaliknya, beberapa hasil penelitian menunjukkan bahwa
perlakuan radiasi yang menggunakan dosis rendah dapat memperbaiki
perkecambahan benih. Hal ini ditunjukkan oleh hasil penelitian Sheppard
(1986a) dan Sheppard (1987b) pada gandum dan barley yang menunjukkan
bahwa dosis yang rendah dapat menstimulasi perkecambahan. Pada penelitian
lainnya dengan menggunakan kisaran dosis 1-4 krad, juga memberikan hasil yang
sama, yaitu menstimulasi perkecambahan gandum dan barley, dimana daya
berkecambah akan menurun dengan meningkatnya dosis radiasi; kecenderungan
yang sama juga ditunjukkan oleh karakter tinggi bibit (Khanna 1986).
Pertumbuhan bibit dipengaruhi oleh dosis radiasi yang digunakan. Hasil
penelitian Mahto et al. (1989) menunjukkan bahwa daya berkecambah dua
kultivar chickpea di lapang tidak dipengaruhi oleh iradiasi sinar gamma pada
dosis 15 krad, akan tetapi daya berkecambah akan menurun secara nyata dengan
meningkatnya dosis radiasi dari 30 krad menjadi 75 krad. Kawamura et al.
(1992a) melakukan penelitian terhadap biji-biji padi yang diradiasi menggunakan
18
sinar gamma dengan dosis minimal 50 krad. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
dosis radiasi berpengaruh terhadap panjang akar, tetapi tidak pada parameter daya
berkecambah. Hasil yang sama juga ditunjukkan hasil penelitian Kawamura
et al. (1992b) yang menunjukkan bahwa panjang akar dan tunas bibit gandum
lebih sensitif terhadap perlakuan iradiasi sinar gamma dibandingkan dengan
proses perkecambahan itu sendiri. Akan tetapi, hasil yang berbeda ditunjukkan
oleh hasil penelitian Irfag (2003) pada gandum (Triticum aestivum) dengan empat
dosis radiasi (100, 200, 300, dan 400 Gy) yang menunjukkan bahwa persentase
perkecambahan menurun seiring dengan kenaikan dosis radiasi. Hasil tersebut
didukung oleh hasil penelitian dari Singh dan Balyan (2009).
Perbaikan sifat gandum dengan menggunakan iradiasi sinar gamma telah
dilakukan di beberapa negara diantaranya adalah Argentina (1 mutan), Chili (1
mutan), Cina (124 mutan), Bulgaria (2 mutan), Finlandia (1 mutan), Jepang (2
mutan), Jerman (2 mutan), Rusia (36 mutan), india (4 mutan), Hongaria (1
mutan), Irak (60 mutan), Italia (2 mutan), Swiss (1 mutan), Mongolia (3 mutan),
Amerikan (3 mutan) dan Pakistan (6 mutan). Mutan gandum yang pertama tahun
1966 terhadap biji dengan iriradiasi sinar X, J, β, laser, neutron cepat, EI, MNH
dan sinar gamma meningkatkan produksi, umur genjah, tahan dingin, patogen,
rebah, lebih kerdil dan kualitas biji lebih baik (Cheng et al. 1990; Vrinten et al.
1999).
Cekaman Suhu Tinggi
Cekaman suhu tinggi sering didefinisikan sebagai kenaikan suhu yang
melebihi ambang kerusakan untuk periode waktu yang cukup menyebabkan
kerusakan yang tidak dapat balik (irreversibel) pada pertumbuhan dan
perkembangan tanaman. Secara umum, tingginya suhu lingkungan diatas 10-
150C adalah dianggap heat stress atau cekaman suhu tinggi. Namun, cekaman
suhu memiliki fungsi yang sangat kompleks (suhu dalam derajat), lamanya, dan
laju peningkatan suhu. Sejauh mana hal ini terjadi di zona iklim spesifik
tergantung pada kemungkinan dan periode suhu tinggi yang terjadi pada siang
hari dan/atau malam hari. Toleransi cekaman suhu secara umum didefinisikan
sebagai kemampuan tanaman untuk tumbuh dan menghasilkan secara ekonomi
pada suhu/temperatur tinggi (Peet & Willits 1998).
19
Cekaman suhu mengancam produksi tanaman di seluruh dunia (Hall,
2001). Emisi Gas akibat kegiatan manusia secara substansial menambah
konsentrasi gas rumah kaca terutama CO2, metana, dan nitrous oksida,
klorofluorokarbon. Model perbedaan sirkulasi global memperkirakan bahwa gas
rumah kaca dunia secara bertahap akan meningkatkan suhu rata-rata dunia.
Menurut laporan dari Inter Panel Climate Change (IPCC), suhu global akan naik
0,30C per dekade (Jones et al. 1999) mencapai sekitar 1 dan 3
0C di atas nilai
sekarang pada tahun 2025 dan 2100, dan menyebabkan pemanasan global.
Peningkatan suhu dapat menyebabkan perubahan distribusi geografis dan
musim pertumbuhan tanaman pertanian dengan membiarkan ambang suhu untuk
awal musim dan kematangan tanaman lebih awal (Porter 2005). Suhu yang
sangat tinggi, menyebabkan kerusakan parah dan bahkan kematian sel dapat
terjadi dalam beberapa menit, yang dapat dikaitkan sebagai keruntuhan organisasi
selular (Schoffl et al. 1999). Pada suhu yang sedang, kerusakan atau kematian sel
mungkin terjadi hanya setelah paparan suhu jangka panjang. Rusak/cedera
langsung karena suhu tinggi termasuk diantaranya denaturasi protein dan
agregasi, dan peningkatan fluiditas membran lipid. Cedera tidak langsung atau
lambat akibat cekaman suhu tinggi meliputi inaktivasi enzim dalam kloroplas dan
mitokondria, hambatan sintesis protein, degradasi protein dan hilangnya
integritas membran (Howarth, 2005).
Mekanisme dan Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Suhu Tinggi
Perkembangan reproduksi tanaman dimulai dengan perubahan suatu
meristem vegetatif menjadi meristem bunga juga termasuk perkembangan struktur
bunga dan reproduksinya, pembentukan gametofit jantan dan betina, pembuahan
dan akhirnya perkembangan benih (Gambar 1). Waktu peralihan dari
perkembangan vegetatif ke reproduktif dikendalikan oleh isyarat lingkungan
seperti photoperiod (panjang hari panjang /pendek) dan suhu (vernalisation)
(Amasino 2010; Trevaskis 2010). Penyesuaian waktu berbunga merupakan
mekanisme adaptasi yang penting terhadap kondisi lingkungan agar terhindar dari
cekaman abiotik seperti es, panas dan kekeringan dalam lingkungan tertentu.
Pemuliaan untuk varietas berperiode pendek atau panjang, adalah suatu strategi
pemuliaan yang umum untuk memaksimalkan hasil dan adaptasi terhadap
lingkungan tertentu tetapi, mekanisme penghindaran dapat membatasi potensi
20
hasil ketika kondisi menguntungkan karena durasi tanaman mungkin terlalu
singkat untuk mencapai hasil maksimum. Selanjutnya, mekanisme penghindaran
tidak melindungi tanaman saat kejadian cekaman abiotik tak terduga terjadi. Hal
ini benar terutama jika peristiwa cekaman pendek dan sementara (misalnya,
dingin, panas atau kekeringan). Dalam kasus ini, mekanisme toleransi diperlukan
untuk melindungi perkembangan reproduksi dan menjamin pembentukan bulir
maksimum. Dalam kondisi lapangan, sulit untuk membedakan antara mekanisme
menghindari dan toleransi. Skrining untuk plasma nutfah toleran di lapangan
paling sering menghasilkan seleksi galur stress-avoiding dengan waktu
pembungaan yang berubah daripada galur murni toleran terhadap cekaman.
Dua komponen berkontribusi pada adaptasi tanaman terhadap suhu tinggi :
yaitu (1) penghindaran (avoidance) panas, di mana jaringan tanaman yang
mengalami iradiasi matahari tinggi atau udara panas memiliki suhu yang lebih
rendah daripada tanaman kontrol dan (2) toleransi panas, di mana fungsi tanaman
esensial dipertahankan ketika jaringan menjadi panas.
Tanaman mewujudkan mekanisme yang berbeda untuk bertahan hidup di
Gambar 3 Skema siklus resproduksi sereal dan pengaruh cekaman abiotik pada
Setiap perbedaan tahap perkembangan reproduksi (Dolferus et al. 2011)
21
bawah suhu tinggi, termasuk jangka panjang evolusi phenologi dan adaptasi
morfologi dan jangka pendek penghindaran atau mekanisme aklimatisasi seperti
mengubah orientasi daun, pendinginan melalui proses transpirasi, atau perubahan
komposisi membran lipid. Dalam banyak tanaman, pematangan awal erat
berkorelasi dengan kerugian hasil yang lebih kecil di bawah suhu tinggi, yang
dapat dikaitkan dengan keterlibatan mekanisme penghindaran (Adams et al.
2001).
Berbagai mekanisme respon tanaman terhadap cekaman suhu tinggi dan
perannya dalam cekaman, toleransi merupakan hal yang sangat dasar dan penting.
Beberapa mekanisme toleransi termasuk ion transporter, osmoprotectants,
radikal bebas, embriogenesis terlambat, protein berlimpah dan faktor-faktor yang
terlibat dalam pancaran sinyal dan kontrol transkripsional penting untuk melawan
efek cekaman (Wang et al. 2004).
Suhu tinggi dapat menyebabkan kerusakan pra-dan pasca-panen, termasuk
suhu panas daun dan ranting, terbakar matahari pada daun, cabang dan batang,
penuaan daun dan absisi, peningkatan hambatan tajuk dan akar, kerusakan dan
perubahan warna buah dan mengurangi hasil (Guilioni et al. 1997; Ismail & Hall
1999; Vollenweider & Gunthardt –Goerg 2005). Di daerah beriklim sedang,
heat stress telah dilaporkan sebagai salah satu penyebab paling penting dalam
pengurangan hasil panen dan produksi bahan kering dalam banyak tanaman,
termasuk jagung (Giaveno & Ferrero 2003). Cekaman suhu tinggi sendiri atau
dalam kombinasi dengan kekeringan, adalah sebuah kendala umum selama
tahapan pengisian biji dan anthesis pada banyak tanaman sereal pada daerah yang
beriklim sedang. Sebagai contoh, cekaman suhu tinggi memperpanjang waktu
pengisian biji-bijian, menurunkan berat kernel gandum hingga 7% pada musim
semi (Guilioni et al. 2003). Pengurangan serupa terjadi pada pati, protein dan isi
minyak kernel jagung (Wilhelm et al. 1999) dan kualitas biji-bijian sereal lain
(Maestri et al. 2002). Pada gandum, berat dan jumlah gandum tampaknya peka
terhadap cekaman suhu tinggi, seperti jumlah butir per malai menurun dengan
meningkatnya suhu (Ferris et al. 1999).
Pada tingkat sub-seluler, modifikasi besar terjadi di kloroplas, yang
menyebabkan perubahan signifikan dalam fotosintesis. Sebagai contoh, suhu
tinggi mengurangi fotosintesis melalui perubahan struktur thylakoids (Karim et al.
1997). Penelitian mengungkapkan bahwa efek tertentu pada suhu tinggi
22
menyebabkan hilangnya membran tylakoid, ukuran atau pembengkakan grana.
Sebagai respon terhadap cekaman suhu tinggi, kloroplas dalam sel mesofil
tanaman anggur menjadi berbentuk bulat, stroma lamella menjadi bengkak, dan isi
vakuola berbentuk rumpun, sedangkan krista terganggu dan mitokondria menjadi
kosong (Zhang et al. 2005). Perubahan tersebut mengakibatkan pembentukan
antena-depleted fotosistem-II (PSII) dan karenanya mengurangi kegiatan
fotosintesis dan pernafasan (Zhang et al. 2005).
Interaksi Genetik x Lingkungan
Kajian interaksi genetik x lingkungan telah banyak dipaparkan antara lain
Finlay-Wilkinson (1963), Eberhart-Russell (1966), Luthra dan Singh (1974)
serta Freeman (1980), Gauch (1992) dan Yan (2000). Menurut Allard dan
Bradsaw (1964), interaksi genotipe lingkungan tersebut bersifat kompleks karena
bervariasinya komponen-komponen faktor lingkungan.
Yang dan Baker (1991), melukiskan interaksi genotipe x lingkungan
sebagai perbedaan yang tidak tetap diantara genotipe-genotipe yang ditanam
dalam satu lingkungan ke lingkungan yang lain. Macam interaksi tersebut
penting diketahui karena dapat menghambat kemajuan seleksi dan sering
mengganggu dalam pemilihan varietas-varietas unggul dalam suatu pengujian
varietas (Eberhart-Russell 1966) dan seringkali menyulitkan pengambilan
kesimpulan secara sahih jika suatu percobaan varietas genotipe dalam kisaran
lingkungan yang luas (Nasrullah 1981).
Pemahaman interaksi genetik x lingkungan diperlukan untuk
mengidentifikasi galur yang hasilnya tinggi untuk lingkungan spesifik atau stabil
pada lingkungan yang luas. Pemilihan galur untuk lingkungan spesifik didasarkan
pada nilai duga interaksi genetik x lingkungan yang nyata yang menggambarkan
kemampuan suatu genotip mengekspresikan sejumlah besar gen-gen yang
menguntungkan pada lingkungan tertentu sehingga diperoleh hasil yang tinggi.
Sebaliknya, pemilihan galur yang beradaptasi pada lingkungan yang luas
didasarkan pada nilai duga interaksi genetik x lingkungan tidak nyata yang
menggambarkan kemampuan suatu galur berpenampilan sama pada kondisi
lingkungan yang berbeda (Soemartono et al. 1992). Untuk mendapatkan galur
yang beradaptasi luas tersebut, perlu diperhatikan stabilitas hasil secara sistematis
23
dan kontinu mulai dari pembentukan populasi dasar sampai tahap evaluasi
(Dahlan 2004). Dari uji multilokasi tersebut, diajukan dua calon varietas jagung
unggul baru berumur sedang dengan potensi hasil tinggi. Keunggulan dan
kelemahan dari varietas yang diusulkan, diuraikan lebih lanjut pada hasil dan
pembahasan hasil uji adaptasi/multilokasi.
Stabilitas model AMMI (Adittive Main and Multiplication Interaction)
Stabilitas adalah kemampuan tanaman untuk mempertahankan daya hasil
terhadap perubahan kondisi lingkungan. Stabilitas ini dapat bersifat dinamik
artinya selalu berubah pada kisaran tertentu pada lingkungan yang berbeda,
sedangkan bersifat statis adalah kondisi dimana daya hasil suatu genotipe selalu
tetap pada berbagai lingkungan.
Dalam mengukur stabilitas hasil suatu genotipe, Finlay-Wilkinson (1963)
menggunakan koefisien regresi sebagai ukuran stabilitas, Eberhart-Russell
menggunakan rata-rata jumlah kuadrat simpangan regresi (Si2), Bilbro dan Ray
(1976) menggunakan koefisien determinasi (=R2) untuk menggantikan Si
2 dengan
pertimbangan selain R2 dapat menggambarkan ukuran variasi juga mudah
dihitung dan ditafsirkan. Lin et al. (1986) menggunakan besaran yang dinamakan
ekovalen sebagai ukuran stabilitas, Shukla (1972) menggunakan besaran yang
disebut varians stabilitas untuk menyatakan genotipe yang stabil, Gauch (1992)
menggunakan model AMMI dengan menyatakan genotipe yang stabil berdasarkan
gabungan antara analisis ragam dan analisis komponen utama. Yan (2000)
dengan menyatakan genotipe yang stabil dengan model Biplot
Analisis AMMI adalah suatu teknik analisis data percobaan dua faktor
perlakuan dengan pengaruh utama perlakuan bersifat aditif sedangkan pengaruh
interaksi di modelkan dengan model bilinier. Model Ammi digunakan untuk
menganalisis percobaan lokasi ganda. Pada dasarnya model AMMI
menggabungkan analisis ragam aditif bagi pengaruh utama perlakuan dengan
analisis komponen utama ganda dengan pemodelan bilinier bagi pengaruh
interaksi (Gauch & Zobel 1988).
24
Metode Shuttle Breeding
Metode shuttle breeding merupakan salah satu metode dalam program
pemuliaan tanaman yang betujuan untuk merakit varietas tanaman pada
lingkungan bercekaman baik biotik maupun abiotik pada wilayah yang luas.
Metode ini pada awalnya dikembangkan antar instansi. Sejumlah besar materi
genetik yang mempunyai potensi dapat mengatasi masalah dikirim ke suatu
wilayah, kemudian dievaluasi secara sistematik dengan melibatkan berbagai pihak
di wilayah tersebut. Materi genetik yang mampu bertahan dalam lingkungan
seleksi, selanjutnya dikembangkan sedangkan materi genetik lainnya
dikembalikan ke institusi penyelenggara pemuliaan untuk keperluan perbaikan
genetik. Materi genetik yang telah diperbaiki dikirimkan kembali ke wilayah
bermasalah untuk mengetahui respons seleksi tahap lanjut. Proses tersebut dapat
terjadi berulang-ulang hingga diperoleh satu atau dua materi genetik yang mantap
untuk mengatasi suatu masalah. Rangkaian kegiatan pemuliaan tersebut dikenal
dengan istilah shuttle breeding (Balitsa 2002).
Kelebihan metode shuttle breeding dalam merakit varietas untuk
lingkungan bercekaman adalah materi genetik yang digunakan dapat
dipertahankan jika salah satu lingkungan (cekamannya sangat tinggi)
menyebabkan materi genetik mati, lingkungan optimal digunakan sebagai backup
materi genetik, seleksi langsung pada lingkungan bercekaman berpotensi untuk
memaksimalkan ekspresi gen-gen yang dapat mengendalikan daya hasil maupun
daya adaptasi tanaman terhadap cekaman lingkungan (Ceccareli et al. 2007).
Kegiatan shuttle breeding menggunakan materi generasi awal dari
program pemuliaan. Seleksi tahap pertama biasanya dilakukan oleh breeder
untuk memilih individu tanaman atau sekelompok tanaman yang memiliki
karakter unggul berdasarkan penilaian tertentu. Individu-individu tanaman yang
tidak memiliki karakter unggul tidak disertakan pada seleksi berikutnya. Seleksi
selanjutnya dilaksanakan berdasarkan bercekaman yang merupakan lingkungan
target. Seleksi generasi selanjutnya individu dikembalikan pada lingkungan
optimal yang bertujuan untuk perbanyakan benih untuk seleksi selanjutnya yang
lebih luas. Hal ini dilakukan berulang-ulang hingga didapatkan materi genetik
yang betul-betul toleran pada lingkungan bercekaman.