tinjauan pustaka 2.1. jantung -...

47
5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Jantung Jantung merupakan sebuah organ maskular berbentuk kerucut berukuran satu kepalan tangan. Jantung terletak diantara paru-paru, tepat dibelakang sternum (tulang dada), mempunyai apeks (ujung yang runcing) yang mengarah miring ke kiri. Jantung dilapisi oleh selaput perikardium yang terdiri atas tiga lapisan yaitu lapisan terluar (epikardium), lapisan tengah yang merupakan lapisan otot (miokardium), dan lapisan dalam yaitu lapisan endotel ( endokardium) (Price and Wilson, 2006). Miokardium adalah bagian utama yang terdiri atas jaringan otot jantung. Jantung terletak dalam sebuah kantung perikardium yang mengandung cairan perikardium sebagai bantalan (Syamsudin, 2011). Gambar 2.1 Organ Jantung (Navadia, 2015) Jantung terdiri atas empat ruang yaitu dua atrium dan dua ventrikel. Darah mengalir kedalam atrium kanan melalui vena kava superior dan inferior (Aaronson and Ward, 2010). Adapun otot atrium jauh lebih kecil dan lemah dibandingkan dengan ventrikel meskipun keduanya mendapat darah dengan volume yang sama, hal ini disebabkan karena fungsi ventrikel, yakni memompa darah ke arteri pada sistem kardiovaskular. Katup-katup jantung terbagi menjadi dua jenis yaitu katup atrioventrikular dan semilunar. Katup atrioventrikular terletak antara atrium dan ventrikel yang berfungsi untuk mencegah aliran darah

Upload: phungxuyen

Post on 14-Aug-2019

242 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Jantung

Jantung merupakan sebuah organ maskular berbentuk kerucut berukuran satu

kepalan tangan. Jantung terletak diantara paru-paru, tepat dibelakang sternum

(tulang dada), mempunyai apeks (ujung yang runcing) yang mengarah miring ke

kiri. Jantung dilapisi oleh selaput perikardium yang terdiri atas tiga lapisan yaitu

lapisan terluar (epikardium), lapisan tengah yang merupakan lapisan otot

(miokardium), dan lapisan dalam yaitu lapisan endotel (endokardium) (Price and

Wilson, 2006). Miokardium adalah bagian utama yang terdiri atas jaringan otot

jantung. Jantung terletak dalam sebuah kantung perikardium yang mengandung

cairan perikardium sebagai bantalan (Syamsudin, 2011).

Gambar 2.1 Organ Jantung (Navadia, 2015)

Jantung terdiri atas empat ruang yaitu dua atrium dan dua ventrikel. Darah

mengalir kedalam atrium kanan melalui vena kava superior dan inferior

(Aaronson and Ward, 2010). Adapun otot atrium jauh lebih kecil dan lemah

dibandingkan dengan ventrikel meskipun keduanya mendapat darah dengan

volume yang sama, hal ini disebabkan karena fungsi ventrikel, yakni memompa

darah ke arteri pada sistem kardiovaskular. Katup-katup jantung terbagi menjadi

dua jenis yaitu katup atrioventrikular dan semilunar. Katup atrioventrikular

terletak antara atrium dan ventrikel yang berfungsi untuk mencegah aliran darah

6

balik dari ventrikel ke atrium, katup atrioventrikular dibagi menjadi dua yaitu

katup trikuspid yang terletak antara atrium kanan dan ventrikel kanan dan katup

bikuspid yang terletak antara atrium kiri dan ventrikel kiri, sedangkan katup

semilunaris terdiri atas tiga daun katup simetris, katup pulmonalis terletak antara

ventrikel kanan dan arteri pulmonal dan katup aorta yang terletak antara ventrikel

kiri dan aorta (Syamsudin, 2011).

2.2. Gagal Jantung

Gagal jantung merupakan suatu sindrom klinis yang disebabkan oleh

ketidakmampuan jantung dalam memompa darah secara kuat untuk memenuhi

kebutuhan metabolisme di dalam tubuh (Dipiro et.al., 2009). Gagal jantung terjadi

apabila curah jantung tidak cukup untuk memberikan oksigen yang diperlukan

oleh tubuh. Gagal jantung dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu kegagalan

sistolik dimana terjadi penurunan kerja mekanik pemompaan dan fraksi ejeksi

jantung, dan kegagalan diastolik, yaitu berkurangnya curah jantung karena

hilangnya relaksasi yang adekuat. Gagal jantung biasanya ditandai dengan adanya

gejala takikardia, penurunan toleransi saat exercise, napas yang pendek, edema

perifer dan paru, serta adanya kardiomegali (Katzung, 2012).

Gambar 2.2 Gagal Jantung (Anonim, 2007)

2.3. Epidemiologi Gagal Jantung

Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia,

pada tahun 2012 diperkirakan terdapat 17,5 juta orang meninggal karena penyakit

kardiovaskular dengan persentase 31% dari total kematian yang terjadi didunia

7

(WHO, 2015). Prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 sebesar

0,13% atau diperkirakan sekitar 229.696 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis

dokter/ gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang. Dan estimasi

prevalensi penyakit gagal jantung di Indonesia tahun 2013 sebesar 0,13% atau

diperkirakan sekitar 229.696 orang, sedangkan berdasarkan diagnosis dokter/

gejala sebesar 0,3% atau diperkirakan sekitar 530.068 orang. Berdasarkan

diagnosis/gejala, estimasi jumlah penderita penyakit gagal jantung terbanyak

terdapat di Provinsi Jawa Barat sebanyak 96.487 orang (0,3%), sedangkan jumlah

penderita paling sedikit ditemukan di Provinsi Kep. Bangka Belitung, yaitu

sebanyak 945 orang (0,1%) (Kemenkes RI, 2013).

2.4. Etiologi Gagal Jantung

Dalam menilai pasien gagal jantung, penting untuk mengetahui penyebab

yang mendasari timbulnya penyakit jantung. Pada keadaan gagal jantung, curah

jantung tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan metabolik tubuh, atau dapat

memenuhi kebutuhan, namun dengan peningkatan tekanan pengisian (preload).

Mekanisme kompensasi mungkin dapat mempertahankan curah jantung saat

istirahat, namun mungkin tidak cukup saat menjalani latihan fisik. Fungsi jantung

akhirnya menurun dan gagal jantung menjadi berat (dekompensasi). Hal ini dapat

dicetuskan oleh penyakit akut lain, stres, dan obat-obatan. Gagal jantung terutama

merupakan penyakit usia lanjut. Gagal jantung terjadi pada 2% pasien berusia

dibawah 50 tahun, namun lebih dari 10% pasien berusia di atas 65 tahun. Harapan

hidup 5 tahun <50%. Penyakit jantung iskemik dan hipertensi merupakan faktor

resiko utama (Aaronson and Ward, 2010).

Tabel II. 1 Penyebab Gagal Jantung

Gangguan Primer Contoh

Disfungsi miokard

Penyakit gagal jantung iskemik, diabetes melitus,

kehamilan kardiomiopati kongential, penyakit

miokard, misalnya amiloidosis.

Overload volume Regurgitasi katup aorta atau mitral

Overload tekanan Stenosis aorta, hipertensi

Gangguan Perikarditis konstriktif: penyakit jantung reumatik

8

Lanjutan dari tabel II.1 halaman 8

Pengisian Tamponade jantung: tekanan cairan berlebihan

dalam rongga perikard

Aritmia Fibrilasi atrium

Curah tinggi Tirotoksikosis, pintas arteriovenosa, anemia

(Aaronson and Ward,2010)

2.4.1. Disfungsi Diastolik

Disfungsi diastolik ventrikel kiri merupakan keadaan saat ventrikel kiri

kehilangan kemampuan untuk berelaksasi secara adekuat akibat kekakuan otot

jantung, sehingga jantung tidak dapat mengisi darah dengan benar selama

relaksasi (Katzung, 2012).

2.4.2. Disfungsi Sistolik

2.4.2.1. Beban Volume

Regurgitasi aorta dan mitral menyebabkan peningkatan volume diastolik

akhir dengan peningkatan tegangan dinding ventrikel dan peningkatan volume

ventrikel yang lebih tinggi dari normal. Apabila beban volume berlangsung lama,

akan terjadi hipertrofi ventrikel sehingga peningkatkan ketebalan dinding tetap

bertambah (Silbernagl dan Lang, 2007).

Regurgitasi Mitral

Hilangnya fungsi katup mitral sehingga menyebabkan sejumlah darah dari

ventrikel kiri akan mengalir kembali menuju atrium kiri selama sistol. Regurgitasi

mitral dapat menyebabkan hipertrofi eksentrik dimana volum sekuncup berkurang

sehingga meningkatkan beban akhir jantung (Navadia, 2015).

Regurgitasi Aorta

Pada keadaan regurgitasi aorta, katup aorta tidak dapat menutup rapat

sehingga mengakibatkan peningkatan beban volume. Darah yang akan diejeksikan

ke seluruh tubuh kembali lagi ke dalam ventrikel kiri. Penyebab dari regurgitasi

aorta seperti demam reumatik, endokarditis atau ateroskelrosis (Navadia, 2015).

9

2.4.2.2. Penyakit Miokard

Menurunnya kontraktilitas dapat terjadi akibat penyakit jantung koroner

(iskemik), kerusakan miosis pasca infark dan kardiomiopati yang menyebabkan

kegagalan sistolik. Akhirnya terbentuk jaringan parut yang infark sehingga

menyebabkan penambahan beban volume (Silbernagl dan Lang, 2007). Pada

jantung yang infark terjadi penurunan pompa jantung yang menimbulkan

penurunan curah jantung dan pembendungan darah ke vena (Guyton et al., 2008).

Infark Miokard

Sebagian kasus Infark miokard (MI) disebabkan karena pembentukan

thrombus dan sebagian kecil adanya penyakit inflamasi vaskular, emboli, spasme

pembuluh darah, peningkatn viskositas darah, serta peningkatan oksigen saat

istirahat (Sudoyo dkk., 2007). Setelah beberapa bulan terjadi infark pada miokard

terdapat dilatasi terhadap miokard yang memicu remodeling miokard akibat

peningkatan tegangan dinding akhir diastolik sehingga pasien beresiko terhadap

perkembangan gagal jantung kongesti (Aaronson dan Ward, 2010).

2.4.2.3. Beban Tekanan

Peningkatan tegangan menyebabkan peningkatan tekanan pada ventrikel kiri,

hal tersebut dapat terjadi pada kondisi hipertensi atau stenosis aorta. Adanya

peningkatan beban tekanan menimbulkan penurunan kontraktilitas jantung

sehingga terjadi kegagalan sistolik (Silbernagl dan Lang, 2007).

Hipertensi

Hipertensi kronis menyebabkan komplikasi berupa kerusakan organ, seperti

pada jantung, otak, ginjal, mata dan pembuluh darah perifer. Efek hipertensi

terhadap jantung termasuk hipertrofi ventrikel yang kemudian dapat berkembang

menjadi gagal jantung. Sehingga keadaan hipertensi dapat mempercepat dan

memperburuk kondisi gagal jantung (Gunawan dkk., 2011).

Stenosis Aorta

Stenosis aorta adalah gangguan pengosongan ventrikel kiri yang disebabkan

oleh malformasi katup stenosis. Hambatan aliran darah dikatup menyebabkan

aktivasi RAAS (rennin angiotensin aldostero system) beserta mekanisme lainnya

10

untuk membentuk hipertrofi miokard sehingga berkembang kea rah patologik dan

berakhr pada gagal jantung kongesti (Sudoyo dkk., 2007).

2.4.3. Penyebab Lain

2.4.3.1. Aritmia

Aritmia merupakan gangguan ritme jantung yang dapat menimbulkan

keluhan berupa rasa tidak nyaman yang dapat muncul sesekali. Aritmia dapat

menyebabkan gejala gagal jantung hingga kematian mendadak (Neal, 2012).

Adanya aritmia menyebabkan menurunnya periode tekanan pengisian akibat

takiaritmia sedangkan bradiaritmia menyebabkan menurunnya curah jantung,

konduksi jantung yang tidak normal menyebabkan penurunan knerja jantung

(Syamsudin, 2011).

2.4.3.2. Anemia

Pada kondisi anemia, kebutuhan oksigen untuk metabolisasi jaringan hanya

dapat dipenuhi dengan peningkatan curah jantung. Pada pasien anemia, jantung

yang sakit dan kelebihan beban tidak dapat menambah volume darah untuk

dikirim ke seluruh tubuh. Sehingga diperlukan peningkatan curah jantung yang

melebihi normal. Kondisi tersebut akan memperburuk gagal jantung (Aldredge

dkk., 2013).

2.4.3.3. Tirotoksikosis

Tirotoksikosis ditandai dengan curah jantung yang tinggi. Perkembangan

gagal jantung pada seorang pasien dengan penyakit jantung terkompensasi

merupakan salah satu manifestasi klinis utama hipertiroidisme (Syamsudin, 2011).

Hormon tiroid meningkatkan metabolisme tubuh dan meningkatkan kebutuhan

oksigen yang dapat meningkatkan beban kerja jantung, mekanisme belum pasti

diketahui namun diduga hormon ini menyebabkan efek inotropik, kronotropik dan

domotropik yang mirip dengan rangsangan reseptor adrenergik (Sudoyo dkk.,

2007)

2.4.3.4. Infeksi

Pasien dengan kongestif vaskular paru akibat gagal ventrikel kiri lebih rentan

terhadap infeksi paru yang dapat memicu gagal jantung. Beban miokardium akan

bertambah akibat adanya demam, hipoksia, takikardi serta peningkatan tuntutan

11

metabolik tertentu (Syamsudin, 2011).

2.5. Patofisiologi Gagal Jantung

Untuk memahami proses patofisiologis pada gagal jantung, sebelumnya

diperlukan pemahaman dasar tentang fungsi jantung normal. Denyut jantung

dikendalikan oleh sistem saraf otonom. Stroke Volume (SV) atau volume darah

yang dikeluarkan selama sistol, tergantung pada preload, afterload, dan

kontraktilitas. Cardiac Output (CO) didefinisikan sebagai volume darah yang

dikeluarkan per satuan waktu (L / menit) dipengaruhi Heart Rate (HR) dan SV.

CO = HR × SV

Hubungan antara CO dan Mean Arterial Pressure (MAP) adalah: MAP = CO

× Systemic Vascular Resistance (SVR) sesuai mekanisme Frank-Starling,

kemampuan jantung untuk mengubah kekuatan kontraksi tergantung pada

perubahan preload. Dalam jantung normal, respon preload adalah mekanisme

kompensasi utama dalam peningkatan volume akhir diastolik untuk meningkatkan

CO. Afterload adalah suatu tekanan yang harus dihasilkan ventrikel untuk

mengeluarkan darah dari jantung keseluruh tubuh. Pasien yang mengalami

hipertensi meningkatkan afterload, sehingga meningkatkan beban kerja jantung.

Kontraktilitas adalah perubahan kekuatan kontraksi yang tergantung perubahan

pada panjang serabut miokardium. Peningkatan kontraktilitas berhubungan

dengan perubahan pajang serabut jantung dan kadar kalsium. Kontraktilitas

miokard dapat menurun jika terjadi cedera pada otot jantung, seperti pada infark

miokard akut (Dipiro JT et al, 2011).

Gangguan kontraktilitas miokardium ventrikel kiri yang menurun pada gagal

jantung akan mengganggu kemampuan pengosongan ventrikel, sehingga volume

residu ventrikel menjadi meningkat akibat berkurangnya stroke volume yang

diejeksikan oleh ventrikel kiri tersebut. Dengan meningkatnya End Diastolic

Volume (EDV), maka terjadi pula peningkatan Left Ventricle End Diastolic

Pressure (LVEDP), yang mana derajat peningkatannya bergantung pada

kelenturan ventrikel.Oleh karena selama diastolatrium dan ventrikel berhubungan

langsung, maka peningkatan LVEDP akan meningkatkan Left Atrium Pressure

(LAP), sehingga tekanan kapiler dan vena paru-paru juga akan meningkat. Jika

12

tekanan hidrostatik di kapiler paru-paru melebihi tekanan onkotik vaskular, maka

akan terjadi transudasi cairan ke interstitial dan bila cairan tersebut merembes ke

dalam alveoli, terjadilah edema paru-paru. Peningkatan tekanan vena paru yang

kronis dapat meningkatkan tekanan arteri paru yang disebut dengan hipertensi

pulmonal, yang mana hipertensi pulmonal akan meningkatkan tahanan terhadap

ejeksi ventrikel kanan. Bila proses yang terjadi pada jantung kiri juga terjadi pada

jantung kanan, akhirnya akan terjadi kongesti sistemik dan edema (Aldredge et al,

2013).

Gambar 2.3 Patofisiologi Gagal Jantung (Jackson et al, 2000; Price and Wilson,

2006; Syamsudin, 2011; Katzung, 2012)

13

2.5.1. Respon Kompensatorik

Sebagai respon terhadap gagal jantung, ada 3 mekanisme primer yang dapat

dilihat yaitu meningkatkan aktivitas adrenergik, meningkatkan beban awal akibat

sistem renin-angiotensin-aldosteron, dan hipertrofi ventrikel. Ketiga respon

kompensatorik ini mencerminkan usaha untuk mempertahankan curah jantung,

namun dengan berlanjutnya gagal jantung, kompensasi menjadi semakin kurang

efektif (Price and Wilson, 2006).

2.5.1.1 Peningkatan Aktivitas Adrenegik

Menurunnya volume sekuncup pada gagal jantung akan mengakibatkan

respon simpatis kompensatorik. Meningkatnya aktivitas adrenergik simpatik

merangsang pengeluaran katekolamin dari saraf-saraf adrenergik jantung dan

medula adrenal. Dalam keadaan normal katekolamin menghasilkan efek inotropik

positif pada ventrikel (Price and Wilson, 2006). Sistem saraf simpatik diaktifkan

pada gagal jantung sebagai kompensasi awal, dan memelihara curah jantung

(Jackson, G. et al., 2000).

2.5.1.2 Peningkatan Beban Awal Melalui Aktivitas Sistem Renin-Angiotensin

- Aldosteron.

Gambar 2.4 Sistem Renin-Angiotensin-Aldosteron (Jackson et al, 2000)

14

Aktivitas sistem renin-angiotensin-aldosteron menyebabkan retensi natrium

dan air oleh ginjal, meningkatkan volume ventrikel dan regangan serabut.

Peningkatan beban awal akan meningkatkan kontraktilitas sesuai dengan hukum

starling (Price and Wilson, 2006).

Penurunan curah jantung pada gagal jantung akan memulai serangkaian

penurunan aliran darah ginjal dan laju filtrasi glomerulus, kemudian terjadi

pelepasan renin, kemudian terjadi reaksi antara renin dan angiotensinogen dalam

darah untuk menghasilkan angiotensin I, dan angiotensin I di konversi menjadi

angiotensin II, sehingga terjadi rangsangan sekresi aldosterone dari kelenjar

adrenal, dan hal ini menyebabkan retensi natrium dan air serta peningkatan

ekskresi kalium (Jackson, G. et al., 2000). Selain itu angiotensin II juga

menghasilkan efek vasokonstriksi yang meningkatkan tekanan darah (Price and

Wilson, 2006).

2.5.1.3 Hipertrofi Ventrikel

Respon kompensasi terakhir pada gagal jantung adalah hipertrofi miokardium

atau bertambahnya tebal dinding. Hipertrofi meningkatkan jumlah sarkomer

dalam sel-sel miokardium, sarkomer bertambah secara pararel atau serial

bergantung pada jenis beban hemodinamik yang mengakibatkan gagal jantung.

Apapun susunan pasti sarkomernya, hipertrofi miokardium akan meningkatkan

kekuatan kontraksi ventrikel (Price and Wilson, 2006).

2.5.2. Efek Negatif Respon Kompensatorik

Pada awalnya respon kompensatorik memiliki efek yang menguntungkan,

namun akhirnya mekanisme kompensatorik dapat memperburuk derajat gagal

jantung. Retensi cairan yang bertujuan untuk meningkatkan kekuatan

kontraktilitas menyebabkan terbentuknya edema paru dan sistemik. Hipertrofi

miokardium dan rangsangan simpatis lebih lanjut akan meningkatkan kebutuhan

O2 miokard, apabila tidak terpenuhi akan terjadi iskemik miokard. Peristiwa yang

berkaitan ini adalah meningkatkan beban miokardium dan terus berlangsungnya

gagal jantung (Price and Wilson, 2006)

15

2.6. Klasifikasi Gagal Jantung

Klasifikasi gagal jantung dibuat berdasarkan gambaran umum yang

mendominasi sindrom klinis secara keseluruhan, hal ini juga bermanfaat untuk

menegakkan diagnosis. Menurut The New York Heart Association (NYHA)

klasifikasi gagal jantung dibagi berdasarkan jumlah aktivitas yang diperlukan

untuk memunculkan gejala seperti sesak nafas. Berikut adalah tabel klasifikasi

gagal jantung menurut NYHA.

Tabel II. 2 Klasifikasi gagal jantung menurut NYHA

Klasifikasi menurut ACC/AHA Klasifikasi menurut NYHA

Stadium A Kelas I

Memiliki risiko tinggi untuk

berkembang menjadi gagal jantung.

Tidak terdapat gangguan

struktural atau fungsional jantung.

Pasien dengan penyakit jantung tetapi

tidak ada pembatasan aktivitas fisik.

Aktivitas fisik biasa tidak

menyebabkan kelelahan berlebihan,

palpitasi, dispnea atau nyeri angina.

Stadium B Kelas II

Telah terbentuk penyakit struktur

Jantung yang berhubungan dengan

perkembangan gagal jantung, tidak

terdapat tanda dan gejala.

Pasien dengan penyakit jantung dengan

sedikit pembatasan aktivitas fisik.

Merasa nyaman saat istirahat.

Stadium C Kelas III

Gagal jantung yang simpatomatis

struktural jantung yang mendasari.

Pasien dengan penyakit jantung yang

terdapat pembatasan aktivitas fisik.

Merasa nyaman saat istirahat. Aktifitas

fisik ringan menyebabkan kelelahan,

palpitasi, dispnea atau nyeri angina.

Stadium D Kelas IV

Penyakit struktural jantung yang

lanjut serta gejala gagal jantung

yang walaupun telah mendapat

terapi.

Pasien dengan penyakit jantung yang

mengakibatkan ketidakmampuan untuk

melakukan aktivitas fisik apapun tanpa

ketidaknyamanan. Gejala gagal jantung

dapat muncul bahkan pada saat

istirahat. Keluhan meningkat saat

melakukan aktifitas

(Dumitru Ioana and Ooi Henry, 2015).

16

2.7. Macam-macam Gagal Jantung

2.7.1. Gagal Jantung Curah Tinggi

Pada penderita anemia berat, hipertiroid, dan penyakit paget kondisi

miokard normal namun kebutuhan metabolisme meningkat (Davey, 2006).

Jantung bekerja lebih cepat sehingga dalam keadaan istirahat curah jantung

penderita sudah lebih besar dari normal apabila metabolisme tetap meningkat

melebihi kemampuan jantung maka akan timbul gagal jantung dan curah jantung

menurun kembali namun curah jantung masih tetap besar daripada normal

(Rilantono dkk., 2001).

2.7.2. Gagal Jantung Curah Rendah

Curah jantung saat istirahat pada gagal jantung ringan masih lebih rendah

dari normal. Jantung tidak mampu memopa darah bahkan untuk jumlah aliran

darah yang kecil sekalipun untuk memenuhi kebutuhan jaringan. Akibatnya

seluruh jaringan tubuh mengalami kerusakan dan perburukan, sering kali

menimbulkan kematian dalam waktu beberapa jam sampai beberapa hari (Guyton

dkk., 2008).

2.7.3. Gagal Jantung Kiri

Pada keadaan normal terdapat sisa darah dirongga ventrikel pada akhir sistol

namun pada keadaan gagal jantung curah jantung berkurang sehingga terdapat

sisa darah yang lebih banyak dari keadaan normal. Pada fase diastol yang

berikutnya sisa darah akan bertambah lagi dengan darah yang masuk kedalam

ventrikel kiri (Rilantono dkk., 2001). Pada keadaan yang lama akan timbul

bendungan di atrium kiri hal ini akan diikuti oleh peninggian tekanan di daerah

vena pulmonalis dan pembuluh darah kapiler paru-paru (Rosenkranz dkk.,2015).

2.7.4 Gagal Jantung Kanan

Pada keadaan gagal jantung kanan, ventrikel kanan tidak dapat berkontraksi

secara optimal, penyebab utama gagal jantung kanan adalah gagal jantung kiri.

Pada gagal jantung kanan, dapat dilihat dengan adanya bendungan di vena

jugularis ekterna, vena hepatika (hepatomegali), vena peritoneum (asites), vena

lienalis (splenomegali) (Shkiri dkk., 2010). Pada pasien biasanya ditemukan piting

17

edema (Aaronson dan Ward, 2010).

2.8. Faktor Resiko Gagal Jantung

Beberapa faktor resiko seperti usia, jenis kelamin pria, dan riwayat CVD

(Cardiovaskular Disease) di keluarga bersifat mutlak, namun faktor lain seperti

merokok, dislipidemia, hipertensi, diabetes melitus, obesitas, dan inaktivitas fisik,

bersifat dapat dimodifikasi (dinamis) untuk memperbaiki progretivitas CVD.

Pendekatan ini telah terbukti dapat menurunkan kejadian CVD, dan secara khusus

disetujui karena CVD yang nyata bersifat irreversibel dan mematikan (Aaronson

and Ward, 2010).

Tabel II. 3 Faktor Resiko Gagal Jantung

Faktor resiko yang dapat dirubah Faktor resiko yang tidak dapat

dirubah

Hipertensi Usia

Diabetes mellitus Jenis kelamin

Dislipidemia Riwayat keluarga

Inaktivasi fisik

Perokok

Obesitas

(Lidenfeld dkk., 2010).

2.8.1. Faktor resiko yang tak dapat diubah

Menurut American Heart Association faktor resiko yang tidak dapat dirubah

adalah sebagai berikut:

2.8.1.1. Usia

Menurut World Heard Federation pada tahun 2011 CVD semakin umum

terjadi pada usia lanjut. Seiring dengan bertambah usia, jantung juga mengalami

perubahan fisiologis, sehingga mengalami penurunan fungsi dan bekerja kurang

efisien.

18

2.8.1.2. Jenis Kelamin Pria

Pria memiliki resiko lebih besar terkena serangan jantung daripada wanita,

dan mereka memiliki serangan sebelumnya dalam hidup. Walaupun setelah

wanita mengalami menopause, tingkat kematian akibat penyakit jantung

meningkat, namun resiko ini tidak lebih besar dibandingkan pria (AHA, 2015).

Pada saat wanita menopause terjadi penurunan estrogen, dimana estrogen itu

sendiri mempunyai banyak potensi yang menguntungkan seperti sebagai

antioksidan, menurunkan LDL, dan meningkatkan HDL serta menyebabkan

vasodilatasi dan meningkatkan produksi plasminogen, sehingga wanita paruh

baya lebih jarang mengalami CVD dibandingkan pria (Aaronson and Ward,

2010).

2.8.1.3. Riwayat Keluarga

Anak-anak dari orang tua dengan penyakit jantung lebih mungkin untuk

menderita penyakit CVD (AHA, 2015). Berbagai survei epidemiologi telah

menunjukkan adanya predisposisi famili terhadap CVD. Hal ini sebagian besar

disebabkan oleh banyak faktor resiko, misalnya hipertensi (Aaronson and Ward,

2010).

2.8.2. Faktor Resiko yang Dapat Dirubah

Faktor resiko yang dapat dirubah adalah suatu faktor yang dapat dimodifikasi

untuk memperbaiki progresivitas CVD. Pendekatan ini telah terbukti dapat

menurunkan kejadian dan keparah CVD (Aaronson and Ward, 2010).

2.8.2.1 Hipertensi

Tekanan darah tinggi dapat meningkatkan beban kerja jantung, sehingga

menyebabkan otot jantung menebal dan menjadi kaku. Dalam studi kohort

Framingham dilaporkan bahwa dari 75% kasus gagal jantung diawali oleh

penyakit hipertensi. Pria dengan hipertensi memiliki dua kali lipat peningkatan

terjadinya gagal jantung, dan tiga kali lipat pada wanita, gagal jantung yang

disebabkan oleh hipertensi diperkirakan 39% terjadi pada pria dan 59% pada

wanita (Bui et al., 2011). Semakin tinggi beban kerja jantung, yang ditambah

dengan tekanan arteri yang meningkat, juga menyebabkan penebalan dinding

ventrikel. Proses ini disebut dengan hipertrofi ventrikel kiri yang merupakan

19

penyebab sekaligus penanda kerusakan kardiovaskular yang lebih serius

(Aaronson and Ward, 2010).

2.8.2.2 Diabetes Melitus

Diabetes melitus merupakan penyakit metabolik yang terdapat pada kira-kira

5% populasi. Diabetes menyebabkan kerusakan progresif terhadap susunan

mikrovaskular maupun arteri yang lebih besar selama bertahun-tahun. Terdapat

bukti bahwa pasien DM2 mengalami kerusakan endotel maupun peningkatan

LDL teroksidasi. Kedua efek tersebut mungkin merupakan akibat dari mekanisme

yang terkait dengan hiperglikemia yang khas pada kondisi ini. Selain itu,

koagulabilitas darah meningkat pada DM2 karena peningkatan plasminogen

activator inhibitor 1(PAI-1) dan peningkatan kemampuan agregasi trombosit

(Aaronson and Ward, 2010).

2.8.2.3 Dislipidemia

Dislipidemia adalah suatu kelompok kondisi heterogen yang ditandai oleh

kadar abnormal pada satu atau lebih lipoprotein. Lipoprotein merupakan partikel

dalam darah yang mengandung kolesterol dan lipid lainnya. Lipoprotein berfungsi

untuk transfer lipid antara usus, hati, dan organ lain. Dislipidemia mencakup

kadar LDL yang berlebihan dalam plasma, yang menyebabkan peningkatan kadar

kolesterol plasma, karena LDL mengandung 70% kolesterol total plasma. Bila

kadar kolesterol plasma meningkat terutama melebihi 240 mg/dL, maka terdapat

peningkatan progresif CVD akibat peningkatan ikutan kadar LDL (Aaronson and

Ward, 2010).

2.8.2.4 Inaktivitas Fisik

Inaktivitas fisik dapat meningkatkan resiko CVD melalui berbagai

mekanisme. Kebugaran yang rendah dapat menyebabkan HDL plasma yang

menurun, tingkat tekanan darah yang lebih tinggi, dan resistensi insulin, serta

obesitas, dimana obesitas itu sendiri merupakan faktor resiko CVD. Studi

menunjukan bahwa tingkat kebugaran yang sedang sampai tinggi berkaitan

dengan penurunan mortalitas CVD setengah kalinya (Aaronson and Ward, 2010).

20

2.8.2.5 Perokok

Merokok dapat menyebabkan CVD dengan menurunkan kadar HDL,

meningkatkan koagulabilitas darah, dan merusak endotel, sehingga hal ini dapat

memacu terjadinya aterosklorosis. Selain itu terjadi stimulasi jantung yang

diinduksi oleh nikotin serta penurunan kapasitas darah pengangkut oksigen yang

dimediasi oleh karbon monoksida. Efek ini, bersama dengan peningkatan kejadian

spasme koroner, menentukan tingkat terjadinya iskemik jantung dan infark

miokard (Aaronson and Ward, 2010).

2.8.2.6 Obesitas

Orang dengan kadar lemak yang berlebihan dalam tubuh, terutama pada

bagian pinggang, potensial dapat meningkatkan resiko penyakit jantung dan

stroke, walaupun tanpa adanya faktor risiko lain. Banyak orang yang mungkin

mengalami kesulitan dalam menurunkan berat badan, namun penurunan berat

badan 3-5% secara berkelanjutan dapat mempengaruhi penurunan beberapa faktor

risiko klinis secara bermakna. Penurunan berat badan yang tinggi dapat

menguntungkan pada kondisi tekanan darah, kolesterol, dan gula darah (AHA,

2015).

2.9 Manifestasi Klinik Gagal Jantung

Pada umumnya pasien gagal jantung datang dengan fatigue dan dyspnea,

meskipun pada tahap awal gagal jantung dyspnea hanya dapat terjadi pada saat

latihan, namun seiring dengan progres penyakit, dispnea juga dapat terjadi dengan

berkurangnya aktifitas berat, bahkan dapat terjadi pada saat istirahat.

2.9.1 Edema Pulmonal

Edema pulmonari edema adalah kondisi ketika dyspnea mulai berat, sehingga

tekanan kapiler dapat mendorong cairan ke dalam alveoli, dan terjadi edema paru,

dimana kondisi ini dapat mengurangi pertukaran gas dan menyebabkan hipoksia

(Aaronson and Ward, 2010)

2.9.2 Dyspnea

Dispnea (sesak napas) adalah salah satu gejala umum yang sering dijumpai

pada pasien gagal jantung. Pada gagal jantung ringan dispnea hanya terjadi saat

21

beraktivitas (Kasper et al., 2015).

2.9.3 Orthopnea

Orthopnea didefinisikan sebagai dispnea yang terjadi pada saat berbaring,

Ortopnea umumnya dapat diatasi dengan posisi duduk tegak atau tidur dengan

penambahan bantal. Gejala ini merupakan gejala spesifik pada keadaan gagal

jantung (Kasper et al., 2015).

2.9.4 Paroxysmal Nocturnal Dyspnea (PND)

Keadaan ini mengacu pada episode dimana pasien mengalami sesak napas

parah secara akut dan batuk yang umumnya terjadi pada malam hari, sehingga

pasien mudah terbangun dari tidurnya, gejala ini biasanya terjadi 1-3 jam setelah

pasien tidur. PND dapat bermanifestasi sebagai batuk atau mengi, mungkin karena

meningkatnya tekanan dalam arteri bronkial menyebabkan tertekannya jalan

nafas. Pasien dengan PND sering mengalami batuk terus-menerus dan mengi

walaupun pasien sudah dalam posisi tegak (Kasper et al., 2015).

Gambar 2.5 Manifestasi klinik gagal jantung (Lockwood W, 2015)

22

2.10 Diagnosa dan Pemeriksaan Klinis Gagal Jantung

Gagal jantung adalah sindrom klinis yang umum ditandai dengan dyspnea,

kelelahan, dan tanda-tanda volume overload, yang mungkin termasuk edema

perifer dan paru. Tidak ada tes diagnostik tunggal untuk gagal jantung, evaluasi

awal mencakup sejarah dan pemeriksaan fisik, radiografi thorax,

elektrokardiografi, dan penilaian laboratorium untuk mengidentifikasi penyebab

atau faktor pencetus (King et al, 2012)

2.10.1 Ekokardiografi

Elektrokardiografi menggunakan prinsip reflek struktur jantung untuk

menghasilkan gambaran jantung (Syamsudin, 2011). Ekokardiografi harus

dilakukan pada semua pasien dengan dugaan klinis gagal jantung dengan menilai

dimensi ruang, fungsi ventrikel serta abnormalitas gerakan dinding jantung.

Ekokardiografi mempunyai peran penting dalam diagnosis gagal jantung dengan

fungsi sistolik yang normal. Fungsi sistolik normal adalah dengan fraksi ejeksi >

45-50% (Siswanto dkk., 2015).

2.10.2 Chest X Ray / Foto Thorax

Pada gagal jantung yang sudah kronis kardiomegali biasanya tampak pada

foto torax. Foto thorax dapat mendeteksi terjadinya kardiomegali,kongesti paru,

efusi pleura dan mendeteksi infeksi paru yang memperberat sesak nafas (Siswanto

dkk., 2015).

2.10.3 EKG

Elektrokardiogram (EKG) adalah rekaman berupa grafis dari potensial listrik

yang dihasilkan saat jantung berkontraksi dengan alat berupa elektroda logam

yang dilekatkan pada ekstremitas dan dinding dada yang kemudin dicatat oleh alat

elektrokardiograf (Subagjo dkk., 2013). Alat ini dapat mendeteksi artmia,

gangguan konduksi dan iskemik miokard serta temuan lain terkait gangguan

metabolik yang mengancam jiwa seperti adanya hiperkalemia dan peningkatan

kemungkinan terhadap kematian jantung mendadak (Syamsudin, 2011).

23

2.10.4 Angiografi

Angiografi merupakan injeksi agen kontras radioopak ke dalam ruangan

jantung sepsifik, pembuluh darah dengan mengguanakan injeksi tangan atau

injeksi bertenaga dengan spuit otomatis. Ini memungkinkan visualisasi langsung

darah dan pembuluh dengan rontgen dan dapat digunakan untuk memeriksa fungsi

pompa jantung seta menentkan lokasi sumbatan (Aaronson dan Ward, 2010).

2.10.5 Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan Laboratorium dilakukan untuk mendiagnosis gangguan pada

kardiovaskular menggunakan sampel darah. Adanya senyawa tertentu dapat

membantu proses diagnosis apakah sudah terjadi gagal jantung atau masih dalam

pembentukan plak di arteri (Syamsudin, 2011). Pemeriksaan penunjang lainnya

dipertimbangkan sesuai kondisi klinis pasien. Seperti pemeriksaan ganguan

elektrolit namun jarang dijumpai pada pasien gagal jantung ringan sampai sedang

yang belum menjalani terapi (Siswanto dkk., 2015).

2.10.5.1 Pemeriksaan BNP (B-type Natriuretic Peptide)

Pemeriksaan laburatorium dapat dilakukan dengan pengambilan sampel urin

atau darah. Pada kondisi gagal jantung dokter dapat mengambil sampel darah

untuk mengetahui fungsi ginjal, liver, dan tiroid, serta mencari indikator penyakit

lain yang mempengaruhi jantung. Untuk mendiagnosis gagal jantung dapat

dilakuakn tes darah BNP (B-type Natriuretic Peptide) (Anonim, 2015). BNP

adalah zat yang dikeluarkan dari ventrikel untuk menanggapi perubahan tekanan

yang terjadi ketika terjadi gagal jantung dan kondisi yang memburuk. BNP pada

orang dengan gagal jantung lebih tinggi dibandingkan dengan kondisi jantung

normal. Kadar BNP dalam darah meningkat bila gejala gagal jantung memburuk,

dan menurun ketika kondisi gagal jantung mulai stabil. Tingkat BNP pada

seseorang dengan gagal jantung lebih tinggi dari pada seseorang dengan fungsi

jantung normal. Preparasi untuk menguji kadar BNP ialah, sejumlah kecil darah

diambil dan ditempatkan dalam suatu alat yang dapat mendeteksi tingkat BNP

dalam darah , tes ini memakan waktu sekitar 15 menit. Tingkat BNP membantu

untuk mengetahui adanya gagal jantung, yang membedakan dari kondisi lain

dengan gejala yang sama (Anonim, 2015). Hasil dari tes ini adalah sebagai

24

berikut:

Tabel II. 4 Hasil Pemeriksaan BNP (B-type Natriuretic Peptide) (Anonim, 2015)

Hasil Keterangan

BNP <100 pg / mL tidak ada gagal jantung

BNP 100-300 pg / mL Tanda gagal jantung mulai muncul

BNP >300 pg / mL gagal jantung ringan

BNP > 600 pg / mL gagal jantung moderat

BNP > 900 pg / mL gagal jantung berat

Gambar 2.6 Skema Diagnostik Gagal Jantung (McKelvie dkk., 2012).

25

2.11 Penatalaksanaan Gagal Jantung

Penatalaksanaan gagal jantung bertujuan untuk memperbaiki kualitas hidup

pasien, memperpanjang usia dan harapan hidup, serta memperlambat progresi

perburukan jantung (Aaronson and Ward, 2010). Tujuan dalam mendiagnosa

gagal jantung dan memberi terapi dini tidak berbeda dengan kondisi kronis

lainnya, yaitu menurunkan mortalitas dan morbiditas. Karena angka kematian

tahunan gagal jantung sangatlah tinggi, penekanan pada angka kematian ini

menjadi tujuan utama pada banyak uji klinis. Walau demikian pada kebanyakan

pasien, terutama orang tua, kemampuan untuk hidup mandiri, terbebas dari gejala

mengganggu yang tidak nyaman, dan menghindari perawatan adalah tujuan yang

seringkali seiring dengan keinginan untuk meningkatkan usia harapan hidup.

Upaya untuk mencegah timbulnya gagal jantung atau progresinya tetap

merupakan bagian yang tak terpisahkan dari manajemen terapi. Banyak uji klinis

acak gagal jantung mengevaluasi pasien dengan disfungsi sistolik dengan LVEF

35-40%. Patokan LVEF <40% ini relatif arbitrary, dan terdapat bukti yang

terbatas bahwa gagal jantung simtomatik antara LVEF 40-50% (Dickstein et al,

2008).

Dapat disimpulkan bahwa tujuan pengobatan gagal jantung antara lain :

Menurunkan mortalitas

Mempertahankan / meningkatkan kualitas hidup

Mencegah terjadinya kerusakan miokard, progresivitas kerusakan miokard,

remodelling miokard, timbulnya gejala-gejala gagal jantung dan akumulasi

cairan, dan perawatan di rumah sakit.

2.11.1 Terapi Non-Farmakologi

Selain terapi farmakologi, terapi non farmakologi juga perlu diperhatikan.

Adapun terapi non farmakologi yang perlu diperhatikan untuk mencegah resiko

gagal jantung adalah:

Diet rendah garam 2-3g/hari, atau < 2g/hari untuk gagal jantung sedang

sampai berat.

Pada pasien gagal jantung dengan diabetes, dislipidemia atau obesitas harus

diberi diet yang sesuai untuk menurunkan gula darah, lipid atau berat

26

badannya.

Menghentikan kebiasaan merokok

Istirahat dianjurkan ada gagal jantung akut atau tidak stabil.

Pada saat bepergian hindari tempat-tempat tinggi dam tempat-tempat yang

sangat panas (Nafrialdi, 2011).

2.11.2 Terapi Farmakologi

Pengobatan gagal jantung ditujukan untuk mengurangi morbiditas dan

mortalitas, mencegah memburuknya fungsi jantung juga merupakan bagian

penting dalam tatalaksana gagal jantung, dengan kata lain memperlambat progresi

remodelling miokard, dengan pemberian penghambat ACE dan β-bloker,

disamping mengurangi beban kerja jantung. Tujuan lainnya adalah mengurangi

gejala-gejala gagal jantung, sehingga dapat memperbaiki kualitas hidup pasien,

dalam hal ini diperlukan pengurangan preload cairan dengan diuretik, penurunan

resistensi perifer dengan vasodilator, dan peningkatan kontraktilitas miokard

dengan obat inotropik (Nafrialdi, 2011).

Tabel II. 5 Tujuan Terapi Gagal Jantung (Siswanto, 2015)

1. Prognosis Menurunkan mortalitas

2. Morbiditas Meringankan gejala dan tanda

Memperbaiki kualitas hidup

Menghilangkan edema dan retensi cairan

Meningkatkan kapasitas aktifitas fisik

Mengurangi kelelahan dan sesak nafas

Mengurangi kebutuhan rawat inap

Menyediakan perawatan akhir hayat

3. Pencegahan Timbulnya kerusakan miokard

Perburukan kerusakan miokard

Remodelling miokard

Timbul kembali gejala dan akumulasi cairan

Rawat inap

27

Ketidaknormalan struktur dan fungsi miokardial yang merupakan penyebab

gagal jantung dapat mengaktifkan respon biologis yang mendorong

berlangsungnya penyakit. Obat-obat yang mengurangi tekanan dinding ventrikular

atau menghambat sisitem renin-angiotensis (seperti, antagonis aldosteron, ACE I,

dan vasodilator tertentu) atau sistem saraf simpatik (misalnya, antagonis β-

adrenergik) dapat mengurangi perubahan bentuk ventrikel yang bersifat patologis.

Pendekatan terkini untuk terapi gagal jantung kongestif melibatkan pengurangan

preload, penguranga afterload, dan peningkatan keadaan inotropik (Goodman and

Gilman, 2011). Terapi farmakologis yang sering digunakan pada pasien gagal

jantung adalah ACE Inhibitor, β-bloker, glikosida jantung, dan diuretik (Aaronson

and Ward, 2010).

Gambar 2.7 Terapi Farmakologi Gagal Jantung (Goodman and Gilman, 2011)

Berdasarkan dari tujuan terapi gagal jantung, maka dapat dilakukan strategi

pengobatan gagal jantung berdasarkan progresi penyakitnya dan ada tidaknya

simptom pada pasien, berikut gambar untuk pengobatan gagal jantung:

28

Gambar 2.8 Strategi Pengobatan Gagal Jantung Berdasarkan Progresinya (Dipiro

et al, 2009), (Alldredge at al, 2013)

2.11.2.1 Diuretik

Diuretik adalah obat yang di gunakan pada gagal jantung akut yang selalu

disertai dengan kelebihan (overload) cairan yang bermanifestasi sebagai kongesti

paru dan edema perifer (Nafrialdi, 2011). Penurunan curah jantung dapat

menyebabkan peningkatan EDP (End-diastolic pressure) ventrikel kiri (Preload)

dan tekanan vena pulmonalis karena darah yang seharusnya di pompa keseluruh

tubuh kembali dalam sirkulasi pulmonal. Keadaan ini menyebabkan jantung

berdilatasi, dan meningkatkan tekanan kapiler pulmonal yang memacu terjadinya

akumulasi cairan pada jaringan interstisial paru. Peningkatan darah dan cairan

dalam paru menyebakan paru menjadi berat, sehingga menyebabkan dispnea. Bila

keadaan ini berat, maka peningkatan tekanan kapiler dapat mendorong cairan

kedalam alveoli (edema pulmonal), yang dapat mengurangi pertukaran gas dan

menyebabkan hipoksemia. Dari gagal jantung kiri ini dapat terjadi gagal jantung

kanan, yang kemudian disebut dengan gagal jantung kongestif. Pada gagal jantung

29

kanan CVP (Central vena Pressure) sangat meningkat, dan dapat menyebabkan

akumulasi cairan pada jaringan perifer (edema perifer), peritoneum (asites), dan

hati, yang menyebakan rasa nyeri dan perbesaran hati (hepatomegali) (Aaronson

and Ward, 2010).

Salah satu tujuan terapi gagal jantung adalah untuk memperbaiki kuliatas

hidup pasien dengan mengurangi gejala-gejala yang timbul pada gagal jantung,

seperti dispnea, ortopnea, PND, edema paru, dan edema perifer, sehingga dalam

penatalaksanaan terapi dalam hal ini dapat diberika diuretik, penggunaan diuretik

dengan cepat menghilangkan sesak napas dan meningkatkan kemampuan

melaksanakan aktivitas fisik (Nafrialdi, 2011).

Diuretik direkomendasikan pada pasien dengan retensi cairan, Diuretik

menghambat reabsorpsi natrium klorida di lokasi tertentu atau dalam tubulus

ginjal. Bumetanide, furosemide, dan torsemide bekerja di lengkung Henle,

sedangkan tiazid, metolazone, dan agen hemat kalium (misalnya spironolactone)

bekerja di bagian tubulus distal.Kemampuan obat diuretik untuk meningkatkan

ekskresi natrium dan mengurangi retensi cairan pada pasien dengan gagal jantung.

Diuretik adalah satu-satunya obat yang digunakan untuk pengobatan yang dapat

mengontrol retensi cairan. Diuretik umumnya harus dikombinasikan dengan

ACEI, β-blocker, dan antagonis aldosteron (Yancy CW et al , 2013).

Pada pasien gagal jantung diuretik mengurangi akumulasi cairan terutama di

paru dengan cara menghambat reabsorbsi natrium dan air pada tubulus ginjal

diantaranya tubulus proksimal, lengkung henle, dan tubulus distal (Kee, 2015).

Dengan berkurangnya volume cairan ektraseluler, aliran balik vena, dan tekanan

pengisian ventrikel (preload) setelah pemberian diuretik, maka edema perifer dan

kongesti paru akan berkurang (nafrialdi, 2011). Berikut merupakan pedoman

terapi gagal jantung dengan dengan gejala kongesti:

30

Gambar 2.9 Strategi Pengobatan pada Pasien Gagal Jantung Kronik Simptomatik

(NYHA II-IV) (Siswanto, 2015)

31

Gambar 2.10 Sistem Transpor Tubulus dan Tempat kerja Diuretik (Katzung,

2012)

Secara umum diuretik dibagi menjadi 2 golongan besar yaitu penghambat

mekanisme traspor elektrolit didalam tubuli ginjal dan diuretik osmotik. Untuk

diuretik osmotik tidak digunakan untuk terapi gagal jantung, dan hanya beberapa

golongan penghambat mekanisme transport elektrolit yang dapat digunakan pada

kondisi gagal jantung, diuretik kuat (loop diuretic), tiazid, dan diuretik hemat

kalium, (Nafrialdi, 2011). Berikut adalah tempat kerja spesifik kelas diuretik

berdasarkan struktur nefron padan anatomi dan fisiologi ginjal.

A. Diuretik Tiazid

Tiazid disintesis dari dalam upaya menemukan zat yang menghambat

karbonil anhydrase. Penelitian lebih lanjut bahwa benzotiadiazid berefek

langsung terhadap transport Na+ dan Cl

- di tubuli ginjal, lepas dari

penghambatanya terhadap enzim karbonil anhydrase (Nafrialdi, 2011). Tiazid

32

menghambat reabsorbsi NaCl dari sisi lumen sel epitel TCD dengan memblokade

transporter Na+/Cl

- atau NCC. Dalam TCD, blokade pemasukan Na

+ oleh tiazid

meningkatkan pertukaran Na+/Ca

2+ dimembran basolateral dan meningkatkan

reabsorbsi Ca2+

keseluruhan, proses ini diatur oleh hormone paratiroid (Katzung,

2012).

Gambar 2.11 Mekanisme kerja Diuretik Tiazid (Katzung, 2012)

Laju eksresi Na+ maksimal yang ditimbulkan oleh tiazid relatif lebih rendah

dibandingkan dengan apa yang dicapai oleh beberapa diuretik lain, hal ini

disebabkan karena 90% Na+ dalam cairan filtrat telah direabsorbsi lebih dahulu

sebelum mencapai tempat kerja tiazid (Nafrialdi, 2011).

Semua tiazid dapat diberikan secara oral, tetapi terdapat perbedaan dalam

metabolismenya. Klorotiazid, yaitu senyawa induk bersifat kurang larut dalam

lemak dan harus diberikan dalam dosis yang relatif lebih besar. Semua tiazid

diekresikan oleh sistem eksresi asam organik di tubulus proksimal dan bersaing

dengan sekresi asam urat oleh sistem sekresi tersebut. Sehingga, penggunaan

tiazid dapat menurunkan sekresi asam urat dan meningkatkan kadar asam urat

serum (Katzung). Tiazid merupakan diuretik terpilih pada pangobatan edema

akibat gagal jantung ringan sampai sedang. Indometasin dan NSIDs lain dapat

mengurangi efek diuretik tiazid karena kedua obat ini menghambat sintesis

prostaglandin vasodilator diginjal, sehingga menurunkan aliran darah ginjal dan

laju filtrasi glomerulus (Nafrialdi, 2011).

33

B. Diuretik Kuat (Loop Diuretic)

Diuretik kuat merupakan obat pilihan untuk terapi gagal jantung kongesti,

walaupun pada keadaan gagal jantung kongesti ringan juga dapat di terapi dengan

tiazid, diuretik kuat yang digunakan pada gagal jantung adalah furosemide,

torsemide, dan bumetanide. (Qavi, A.H. et al, 2015). Diuretik kuat yang

mencakup sekelompok diuretik yang efeknya sangat kuat dibandingkan dengan

diuretik lain. Adapun diuretik kuat yang digunakan pada gagal jantung adalah

furosemide, bumetanide, dan torsemide. Berikut dosis diuretik kuat untuk gagal

jantung:

Tabel II. 6 Dosis Diuretik Loop yang Digunakan pada Gagal Jantung (Alldredge

at al., 2013)

Furosemide Bumetanide Torsemide

IV Loading doses 40 mg 1 mg 20 mg

Maximum total

daily doses 600 mg 10 mg 200 mg

Celling dose

Normal renal

function 80-160 mg (IV/PO) 1-2 mg (PO/IV)

20-40 mg

(PO/IV)

Clcr 20-50 mL/min 160 mg (PO/IV) 2 mg (PO/IV) 40 mg (PO/IV)

Clcr < 20 mL/min 200mg (IV), 400mg

(PO) 8-10 mg (PO/IV) 100 mg (PO/IV)

Clcr : Creatinine clearance, IV : Intravenous, PO : Oral

1. Furosemide

a. Karakteristik Kimia, Farmakokinetika, dan Farmakodinamika

Karakteristik Kimia

Furosemide merupakan asam lemah dengan pKa 3,8 (Granero, 2010).

Sediaan injeksi di preparasi dengan bantuan natrium hidroksida hingga didapatkan

pH antara 8,0-9,3 (Sweetman, 2009). Administrasi sediaan IV harus diberikan

secara perlahan-lahan, untuk orang dewasa dapat disuntukkan dengan dosis 40 mg

34

selama 1-2 menit, maksimum administrasi untuk IV continyu 4mg/menit (Lacy,

2009).

Gambar 2.12 Struktur Kimia Furosemide (Goodman and Gilman, 2011)

Furosemide merupakan turunan asam 5-sulfamoil-2-aminobenzoat (sulfamoil

benzoat). Adapun hubungan struktur dan aktivitasnya ialah:

1. Subtituen pada posisi 3 harus bersifat asam, karena gugus karboksilat

mempunyai aktivitas diuretik optimum.

2. Gugus sulfomoil pada posisi 1 merupakan gugus fungsi untuk aktivitas

diuretik yang optimum

3. Gugus aktivitas pada posisi 6 bersifat penarik elektron, seperti gugus-

gugus Cl, CF3, dapat pula diganti dengan gugus fenoksi (C6H5-O-),

alkoksi, aniline (C6H5-NH-), benzyl, benzoil, atau C6H5-S-, dengan

disertai penurunan aktivitas.

4. Pada turunan asam 5-sulfamoil-2-aminobenzot, subtutusi pada posisi 4

amino relatif terbatas, hanya gugus furfuran, benzyl dan tienilmetil yang

menunjukkan aktivitas diuretik optimal.

5. Pada turunan asam 5-sulfamoil-2-aminobenzot, subtutuen pada posisi 5

amino relatif lebih banyak tanpa mempengaruhi aktivitas diuretik

optimum (Siswandono, 2008).

Farmakokinetika

Furosemide cukup mudah diserap disaluran pencernaan, bioavailabilitas

forusemide sekitar 60 sampai 70%. Waktu paruh furosemide sekitar 2 jam, dan

lebih panjang pada neonatal dan pasien dengan gangguan ginjal atau hati.

Furosemide 99% terikat dengan albumin plasma (Sweetman, 2009). Sekitar 65%

furosemide diekskresikan didalam urin dalam bentuk tidak berubah, sisanya

berkonjugasi dengan asam glukuronat di ginjal, dan t ½ forosemid diperpanjang

35

pada pasien dengan penyakit ginjal (Goodman and Gilman, 2011). Awal kerja

obat terjadi dalam 0,5-1 jam setelah pemberian oral, lama kerja 6-8 jam, kadar

darah maksimal dicapai 0,5-2 jam setelah pemberian oral, waktu paruh biologis

±2 jam (siswandono, 2008). Secara golongan diuretic loop mempunyai waktu

paruh eliminasi yang singkat dan tidak tersedia sediaan lepas diperlama.

Akibatnya, interval pemberian dosis sering kali terlalu singkat untuk

mempertahankan kadar diuretic loop yang cukup di lumen tubulus (Goodman and

Gilman, 2011).

Tabel II. 7 Perbandingan Farmakokinetik Furosemide, Bumatenide, dan Torse

mide (Goodman and Gilman, 2011)

Obat Struktur Avaibilitas

oral

T ⁄

(jam)

Rute

Eliminasi

Furosemide

~60% ~1,5 ~65% R

~35% M*

Bumetanide

~80% ~0,8 ~62% R

~38% M

Torsemide

~80% ~3,5 ~20% R

~80% M

Farmakodinamika

Obat ini menghambat NKCC2, yaitu transporter Na+/K

+/2Cl

- di lumen, dalam

cabang asenden tebal ansa henle. Dengan mekanisme penghambatan ini diuretik

loop menurunkan reabsorbsi NaCl dan juga mengurangi potensial positif dilumen

akibat siklus kembali K+. Potensial kembali ini normalnya memicu reabsorbsi

kation divalent di ansa henle, sehingga dengan menurunnya potensial ini, diuretik

loop meningkatkan eksresi Mg2+

dan Ca2+

(Katzung, 2012). Furosemide dan

36

bumetanide mempunyai daya hambat enzim karbonik anhidrase karena keduanya

merupakan derivat sulfonamide, seperti juga tiazid dan asetazolamid, tetapi

aktivitasnya terlalu lemah untuk menyebabkan diuresis di tubuli proksimal

(Nafrialdi, 2011).

Gambar 2.13 Mekanisme Kerja Diuretik Loop (Katzung, 2012)

b. Efek Samping dan Interaksi

Efek Samping

Loop diuretic dan diuretik thiazid adalah penyebab paling umum dari

hipokalemia yang diinduksi obat, namun diuretik loop mengalami penurunan

konsentrasi kalium lebih sedikit dibandingkan tiazid. Dalam sebuah penelitian

retrospektif, 33% dari pasien usia lanjut yang menerima furosemide saja

mengalami hipokalemi, dan hanya 4% terjadi hipokalemia pada pasien yang

menerima furosemide yang di kombinasi dengan suplemen kalium. Hipokalemia

berat (Kerena efek samping furosemide) dapat meningkatkan terjadinya aritmia

jantung, fibrilasi atrium, selain itu hipokalemia juga memiliki komplikasi

serangan jantung pada pasien dengan penyakit jantung kongestif (CHD) dan juga

pada pasien dengan terapi Digoxin (Ankam, et.al, 2015).

Selain hipokalemi efek samping diuretik ialah hiperglikemia, terutama pada

diuretic loop dan diuretk tiazid dengan dosis tinggi, hal ini dapat mengganggu

efikasi obat antiglikemia (Opie, 2012). Dari sebuah penelitian pemberian

forosemid pada pasien gagal jantung non-diabetic menunjukkan bahwa forosemid

37

dengan dosis normal (20 mg dan 40 mg per hari) dapat meningkatkan nilai HbA1c

terutama pada pemberian pertama. Nilai HbA1c pada pasien gagal jantung non-

diabetic adalah <6% atau <42mmol/mol, Pasien yang mempunyai nilai HbA1c

>6-5% mempunyai resiko dua hingga tiga kali lebih besar dibandingkan pada

pasien dengan nilai HbA1c <6% dalah hal kematian akibat cardiovascular event

(25,8%), kejadian masuk rumah sakit karena memburuknya kondisi gagal jantung

(36,25%), serta kematian oleh sebab lain yang berhubungan dengan prognosisnya

(31,9%) (Swandayani, 2015).

Interaksi

Penggunaan furosemide dengan allopurinol dapat meningkatkan kadar serum

urat dan konsentrasi plasma oxypurinol, dimana. Steroid dapat menyebabkan

retensi natrium, sehingga merupakan antagonis dari semua golongan diuretik

terhadap efek utamanya yaitu natriuresis. Penggunaan nonsteroidal anti-

inflammatory drugs (NSAIDs) dapat dapat menurunkan respon ginjal terhadap

diuretic loop (Opie, 2012). Adanya makanan dapat menurunkankan kadar serum

furosemide (Lacy, 2011).

Berdasarkan penelitian Wang pada tahun 2010 menjelaskan bahwa interaksi

antara digoksin dan diuretik dapat meningkatkan resiko hospitalisasi karena

toksisitas digoksin pada pasien HF, Risiko tersebut sangat tinggi ketika digoxin

secara bersamaan di kombinasi dengan diuretic loop , thiazid dan diuretik hemat

kalium. Penggunaan digoksin-diuretik dapat menyebakan perubahan konsentrasi

elektrolit, terutama kalium. Digoksin secara reversibel menghambat natrium-

kalium ATPase (Na, K-ATPase atau pompa Na, K) dan dengan demikian terjadi

penghambatan natrium yang akan di pompa keluar sel, dan kalium yang akan

masuk kedalam sel, selain itu kalium berkompetisi dengan digoksin untuk

mengikat pompa Na, K. Ketika digoksin menghambat pompa Na, K, maka kalium

banyak di ektraselular, dan konsetrasinya akan menurun oleh pemberian diuretik,

sehingga penghambatan pompa Na, K oleh digoksin dipermudah. Akibatnya,

deplesi kalium intraseluler dapat terjadi, yang berhubungan terjadinya induksi

aritmia oleh digoksin. Selain itu penambahan diuretik hemat kalium seperti

spironolakton dapat menurunkan bersihan digoksin di ginjal, sehingga

meningkatkan kadar serum digoksin. Jika memungkinkan penggunaan bersama

38

antara digoksin dan diuretik harus dihindari. Pemberian obat golongan diuretik

(seperti furosemide dan bumetanide) bersamaan dengan makanan dapat

menurunkan bioavailabilitas dari obat tersebut, dan anagka tertinggi ditunjukkan

oleh furosemide (sekitar 30%) (Garrido and Lobera, 2012).

c. Penggunaan Loop Diuretik Pada Gagal Jantung

Dari penelitian Vazir and Cowie, 2013 menjelaskan bahwa diuretik loop

lebih efektif daripada tiazid dalam penggunaan tunggal pada menegemen HF,

tiazid lebih cenderung menyebabkan hipokalemia dan hiponatremia. Tiazid

memiliki onset dan durasi kerja yang lebih lama dibandingkan loop diuretic.

Tiazid kurang poten dibandingkan loop diuretic sehingga jarang digunakan pada

CHF dalam bentuk monoterapi (Paul, 2002). Dalam kasus gagal jantung sering

kali digunakan dalam bentuk kombinasi dengan loop diureric (Jacob, 2010).

Penggunaan loop diuretic pada gagal jantung, bila dilihat dari profil

farmakokinetik, torsemide dan bumetanide lebih menguntungkan dibandingkan

dengan furosemide. Selain itu, torsemide lebih efektif dan aman dibandingkan

furosemide pada pasien dengan HF (Wargo, 2009). Pemberian furosemide IV

pada pasien compensated heart failure biasanya menghasilkan efek diuretik yang

cepat (dalam waktu 30 menit) dengan puncak 1,5 jam. Efek ini menyebabkan

penurunan tekanan pengisian ventrikel dan memperbaiki gejala pada sebagian

besar pasien dengan ADHF. Dari rute penggunaan IV kontinyu lebih

menguntungkan dibandingkan IV bolus terkait terjadinya resistensi. Secara umum

penggunaan IV kontinyu dilaporkan menghasilkan output urin yang lebih besar,

mengurangi lama tinggal dirumah sakit, dan meningkatkan penurunan angka

kematian dibandingkan dengan penggunaan IV bolus (Felker et al, 2009).

d. Resistensi dan Manajemen Resistensi Loop Diuretic

Resistensi Loop Diuretic Pada Gagal Jantung

Penggunaan loop diuretic pada gagal jantung kongesti dapat terjadi resistensi.

Berdasarkan hasil studi analisis retrospektif dari 1153 pasien dengan CHF,

terdapat 402 pasien yang mengalami diuretic resistance dengan dosis obat

furosemide > 80 mg dan bumetanide >2mg per hari. Resisten diuretik dapat

disebabkan oleh absorbsi diuretik yang tertunda dan penurunan sekresi diuretik

39

pada lumen tubulus, yaitu site of action nya dan penggunaan obat NSAIDs

(Bruyne, 2003). Selain hal tersebut, resitensi diuretic juga disebabkan oleh

pemberian dosis yang berulang, sehingga menurunkan efek diuretik, post-diuretic

effect yang menggambarkan peningkatan retensi natrium setelah kadar loop

diuretic berkurang, dan renal adaptation dapat menyebabkan hipertrofi dan

hiperfungsi dari tubulus distal sehingga menurunkan respon terhada loop diuretic

dari waktu ke waktu (Jacob, 2010).

Manajemen Resistensi Loop Diuretic

Untuk negatasi resistensi diuretik dapat dilakukan dengan beberapa cara,

yang pertama meningkatkan kepatuhan pasien, meningkatkan dosis loop diuretic

dengan harapan bisa meningkatkan efektifitasnya, memberikan terapi kombinasi

loop diuretic dengan diuretik tiazid sehingga menghambat reabsorbsi natrium di

tubulus distal, dan menghambat terjadinya renal adaptation pada penggunaan

loop diuretic yang menyebabkan hiperfungsi tubulus distal (Jacob, 2010).

Pemberian infus kontinyu juga merupakan strategi untuk mengatasi resistensi

diuretik, yaitu dengan mencegah terjadinya retensi natrium pada saat post diuretic

effect (Bruyne, 2003).

e. Sediaan Furosemide di Indonesia

Tabel II. 8 Sediaan Furosemide di Indonesia (MIMS Indonesia, 2012) (ISO

Indonesia, 2014 )

No Merk/pabrik Dosis

Bentuk sediaan

1

DIUVA

RGracia

Pharmin

do

.

Edema Dws: 20-40 mg dosis tunggal

IV/IM. Inj IV berikan perlahan (1-2 mnt).

Dosis dapat ditingkatkan sebanyak 20 mg

setidaknya 2 jam sesudah pemberian dosis

awal hingga efek diuretik yang di inginkan

tercapai.

Edema paru 40 mg IV lambat (1-2 menit),

dapat diulang 1 jam kemuadian s/d dosis

maks 80 mg

IV/IM

Ampul 10mg/ml

X 2ml

2

EDEMIN

Ikapharmindo

Edema dws Awal 20-40 mg dosis tunggal,

dapat ditingkatkan s/d 20 mg, pemberian

IV atau IM

Ampul 10

40

tidak boleh < 2 jam setelah dosis awal.

Edema paru akut awal 40 mg IV perlahan,

dapat ditingkatkan s/d 80 mg

mg/ml x 2ml

3

FARSIX

Fahrenheit

Edema yang berhubungan dengan gagal

jantung kongestif, sirosis hepatic, peny

ginjal DWS 20-80 mg, dosis tunggal,

dinaikkan 20- 40 mg tiap 6-8 jam.

Edema paru akut awal 40 mg IV, dosis

tambahan 20-40 mg dapat diberikan sesudah

20 mnt

Tablet dan IV

40 mg/tab

Ampul 10

mg/ml x 2ml

4

GRALIXA

Graha Farma

Edema awal 20-80 mg dosis tunggal. Dapat

ditingkatkan 20-40 mg mg tiap 6-8 jam

sesudah pemberian awal.

Tablet

40 mg/tab

5

IMPUGAN

Actavis

Awal ½ -1 tab/ hari, dianaikkan bertahan

dengan interval 6-8 jam . maksimal ¾ - 6

tab/ hr dibagi 2dosis

Inj awal 2-4 mL (IV/IM).

Edema paru 4 mL IV dapat diulang setelah

20 mnt

Tablet, IV, IM

40 mg/tab

Ampul 20

mg/2ml

6

LASIX

Sanofi Aventis

Tab Edema dws awal 20-80 mg dosis

tunggal. Dosis dapat dinaikkan secara

perlahan s/d 600 mg/hr

Amp Edema Dws 20-40 mg IV/IM dosis

tunggal

Tablet, IV, IM

40 mg/tab

Ampul 10mg/ml

x 2ml

7

NACLEX

Pharos

Tab 20-80 mg, dapat ditingkatkan 20-40 mg

tiap 6-8 jam.

Edema paru akut awal 40 mg, scr IV dosis

tunggal. Maks 80 mg

Tablet

40 mg/tab

IV/IM Ampul

10mg/ml x 2ml

8

ROXIMED

Novell

Pharma

Inj IV/IM lambat biasanya 20-40 mg dosis

tunggal, dosis lainnya dapat diberikan 2 jam

kemudian bila perlu

IV/IM Ampul

20mg/2ml

41

9

SILAX

Ethica

Edema dws 20-40 mg tunggal IV (1-2 mnt)

atau IM. Dapat ditingkatkan bertahan 20 mg

tiap 2 jam. Bila perlu dosis dapat diulang 80

m4g sesedah 1 jam

IV/IM

Ampul 10mg/ml

x 2ml

10

URESIX

INJEKSI

Caorifarmindo

Dws Edema dosis awal 20-40 mg IV/IM

lambat dosis tunggal. Dapat ditingkatkan 20

mg dengan interval 2 jam.

Edema paru 40 mg IV (1-2 mnt) bila

diperlukan

IM/IV

10mg/ml x 2ml

11

AFROSIC

Heroic

40 mg edema (jantung, paru, ginjal).

Hipertensi Mula-mula ½ -1 tab sehari,

dapat dinaikkan bertahap dengan interval 6-

8 jam

Tablet

40 mg/tab

12

FARSIRETIC

Ifars

40 mg in udema, hipertensif, perifer, edema

serebral, edema paru, edema ginjal, edema

jantung, asites hari. Dws sehari 1X 1-2 tab

atau selang sehari

Tablet

40 mg/tab

13

FUROSEMID

E

Aditima Raya

Farmindo

40 mg in edema jantung. Awal 20-80 mg

dosis tunggal, dapat diulang dengan dosis

yang sama 6-8 jam kemudian (prn). Dosis

dapat ditingkatkan 20-40 mg setiap 6-8 jam

sampai efek diuresis diharapkan, dosis dapat

diberikan 1-2X sehari, dapat ditingkatkan

sampai 600 mg pada edema parah

Tablet

40 mg/tab

14

FUROSEMID

E indofarma

40 mg/tab, 10 mg/mL inj. Dws sehari 1-2X

1- 2 tab, maks. 5 tab/hr, atau dosis awal 20-

40 mg IV/IM, edema paru akut: awal 40 mg

IV, dapat dilanjutkan 20-40 mg IV/IM

setelah 20 mnt

Tablet, IM/IV

40 mg/tab

10 mg/ml x 2ml

15

FUROSIX

Landson

40 mg/tab dan 20mg/ 2mL inj. In edema dan

hipertensi ringan s/d sedang. Dws sehari 1-

3X ½ -1 tab. Anak 1-3 mg/kgBB/hr. inj 20-

40 mg IM/IV

Tablet, IM/IV

40 mg/tab

20 mg/2ml

16 GRALIXA Furosemide 20 dan 40 mg Tablet

42

Graha farma Dws sehari X 40 mg, dosis awal 20-80 mg

dosis tunggal, dapat ditingkatkan secara

bertahap 20-40 mg setiap 6-8 jam stlh dosis

awal

40 mg/tab

17

HUSAMID

Gratia Husada

Farma

Furosemide 40 mg. edema karena gagal

jantung kongestif, sirosis hati, gagal ginjal

termasuk sindrom nefrotik, hipertetensi

Tablet

40 mg/tab

18

IMPUGAN

Alpharma

Furosemide 10 mg/ml.inj, 40 mg/tab.

Inj awal IM/IV 2-4 ml, edema paru: IV 4 ml

dapat diulang setelah 20 mnt kemudian. Tab

dosis awal ½ -1 tab sehari, dosis dapat

dinaikkan secara bertahap (interval 6-8 jam

dosis maks antara ¾ -6 tab)

Tablet IM/IV

40 mg/tab

20 mg/2ml

19

LAVERIC

Harsen

Forsemid 40 mg. dws awal sehari ½ -1 tab

selanjutnya tergantung diuresis yang terjadi

Tablet

40 mg/tab

20

MEDIRESIX

First

Medifarma

Furosemid 40 mg. Dws 1-2X 1-2 tab Tablet

40 mg/tab

21

YEKASIX

Yektria Farma

Furosemide 40 mg

Dws awal 20-80 mg dosis tunggal pagi hari

Tablet

40 mg/tab

C. Antagonis Aldosteron

Aldosteron, adalah mineralokortikoid yang dikeluarkan oleh korteks

adrenalis. Merupakan senyawa yang sangat aktif untuk menahan elektrolit, dapat

meningkatkan absorpsi kembali ion Na+ dan Cl- serta ekskresi ion K+ dalam

saluran pengumpul.(Siswandono, 2008)

Peningkatan aldosteron dalam plasma sebanyak 20 kali kadar normal dan

aktivasi Rennin Angiotensin Aldosteron System (RAAS) salah satu ciri utama

gagal jantung. Adanya aldosteron dapat memperburuk kondisi gagal jantung

selain meretensi natrium dan air sehingga dibutuhkan terapi antagonis aldosteron

(eplerenone dan spironolakton) yang dapat berikatan secara kompetitif dengan

reseptor aldosteron pada tubulus distal. Penggunaan spironolakton

direkomendasikan untuk pasien gagal jantung yang berat dan fungsi ginjal yang

baik (Aaronson dan Ward, 2010).

43

The randomized Aldactone Evaluation Study (RALES) menemukan bahwa

spironolakton mengurangi angka morbiditas dan mortalitas pada pasien gagal

jantung (NYHA KELAS III-IV) (Aldredge dkk., 2013). Diginjal antagonis

aldosteron (spironolakton, eplerenone) menghambat reabsorbsi natrium dan

ekskresi kalium. Antagonis aldosteron manghambat matriks ekstraseluler jantung

dan deposisi kolagen sehingga dapat memperbaiki fibrosis jantung dan

remodeling ventrikel. Spironolakton juga berinteraksi dengan androgen sehingga

menimbulkan efek samping ginekomastia, efek tersebut lebih rendah pada

eplerenone karena afinitasnya terhadap reseptor progesterone dan androgen lebih

rendah (Dipiro dkk, 2011). Elplerenol adalah analog spironolakton yang lebih

selektif terhadap reseptor aldosteron sehingga digunakan sebagai alternative

(Katzung, 2012). Manfaat penggunaan antagonis aldosteron tidak hanya

penghambatan fibrosis serta remodeling ventrikel tetapi juga pengurangan

proinflamasi dan stress oksidatif sistemik yang disebabkan oleh aldosteron

(Dipiro dkk, 2011).

Tabel II. 9 Dosis Antagonis Aldosteron (Lidenfeld dkk., 2010)

Obat Dosis Awal Dosis Maksimal

Spironolakton 12.5 to 25 mg qd 25 mg qd

Elprenon 25 mg qd 50 mg qd

2. Spironolakton

a. Karakteristik Kimia, Farmakodinamika, dan Farmakokinetika

Senyawa yang mempunyai struktur mirip aldosteron ini,bekerja sebagai

antagonis melalui mekanisme penghambatan bersaing pada sisi reseptor pada

saluran pengumpul, dimana terjadi pertukaran in Na+ dan K+. Penghambatan

tersebut menyebabkan eksresi ion Na+ dan Cl-, serta retensi ion K+.

Farmakokinetik

Spironolakton adalah steroid sintetik yang bekerja sebagai hambatan bersaing

dengan aldosteron. Onset dan durasi kerjanya tergantung dari respon aldosteron

pada jaringan target. Secara keseluruhan, spironolakton mempunyai onset kerja

44

yang lambat, membutuhkan waktu beberapa hari sebelum menimbulkan efek

terapeutik. Elprenon, adalah analog dari spironolakton dengan selektivitas pada

reseptor aldosteron yang ;lebih baik, telah sering digunakan pada pengobatan

hipertensi.

Gambar 2.14 Struktur Kimia Spironolakton (Goodman and Gilman, 2011)

Tabel II. 10 Perbandingan Farmakokinetik Furosemide, Bumatenide, dan Torse

mide (Goodman and Gilman, 2011)

Obat Struktur Avaibilitas

oral T ⁄ (jam)

Rute

Eliminasi

Spironolakton

~65% ~1,6 M

Elprenon

ID ~5 M

Farmakodinamik

Sel-sel epitelium di tubulus distal akhir dan duktus pengumpul mengandung

MR sitoplasma yang mempunyai afinitas tinggi terhadap aldosteron. Reseptor ini

merupakan reseptor untuk hormon steroid, hormon tiroid, vitamin D dan retinoid.

Aldosteron memasuki sel epitelium dari membran basoteral da berikatan dengan

45

MR, kompleks MR-aldosteron berpindah ke nukleus, dan selanjutnya berikatan

dengan rangkaian DNA spesifik, sehingga mengatur ekspresi berbagai produk

protein yang diinduksi oleh aldosteron ( aldosterone-induced protein). (Good and

Gillman, 2011)

Gambar 2.15 Mekanisme kerja Spironolakton (Goodman and Gilman, 2011)

Spironolakton mengurangi penyerapan Na+ di tubulus dan dukstus

koligentes. Penyerapan kalium yang diatur oleh aldosteron dan spironolakton

menganggu proses ini. Efek serupa diamati pada penanganan H+ oleh intercalated

cells di tubulus koligentes. Efek spironolakton bergantung pada produksi

prostaglandin ginjal.(Katzung, 2012)

b. Efek Samping dan Interaksi

Efek Samping

Seperti diuretik hemat K+ lainnya, spironolakton dapat menyebabkan

hiperkalema. Oleh karena itu dikontraindikasikan untuk pasien hiperkalemia dan

pasien yang beresiko tinggi mengalami hiperkalemia, baik karena penyakit atau

pemberian obat lain. Spironolakton juga dapat meginduksi asidosis metabolik

46

pada pasien sirosis. Karena struktur steroidnya, spironolakton dapat menyebabkan

genikomastia, impotensi, turunnya libido, pertumbuhan rambut abnormal, suara

yang memberat dan ketidakteraturan menstruasi. (Goodman and Gilman, 2011)

Interaksi

Salisilat dapat mengurangi sekresi kanrenon di tubulus dan menurunkan efek

spironolakton sehingga kadar kalium di tubulus sehingga kalium ikut dieksresikan

keluar. Penggunaan ACE-I dapat menaikkan resiko hiperkalemia yang merupakan

efek samping dari spironolakton

c. Sediaan Spironolakton di Indonesia

Tabel II. 11 Sediaan Spironolakton di Indonesia (ISO Indonesia, 2014 )

No Merk/pabrik Dosis

Bentuk sediaan

1

ALDACTONE

Pharmacia, searle

Spironolakton 25 mg dan 100 mg

Dws, hipertensi esensial: sehari 2

Tab dalam dosis bagi, Udem, sehari

1-8 tab dalam dosis bagi (rata-rata 4

tab sehari): anak sehari 3 mg?KgBB

dalam dosis bagi

Dus 100 tab

2

ALDAZIDE

Pharmacia,Searle

Spironolakton 25 mg, tiabutazida 25

mg

Dws, hipertensi esensial: sehari 2

Tab dalam dosis bagi, Udem, sehari

1-8 tab dalam dosis bagi (rata-rata 4

tab sehari): anak sehari 3 mg?KgBB

dalam dosis bagi

Dus 100 tab

3

IDROLATTONE

Rocella

Spironolakton 25 mg

Dws sehari 100mg dibagi dalam

beberapa dosis atau disesuaikan

dengan kebutuhan dan dapat di

perbesar hingga 400 mg sehari.

Anak: 1,5-3 mg/KgBB/hari

Dus 10 x4 tab

47

4

LETONAL

Otto

Spironolakton 25mg, 100 mg

Hipertensi essensial: sehari 50-100

mg dalam dosis tunggal atau terbagi;

lanjutkan terapi selama 2 minggu .

Gangguan udema: sehari 100 mg

dalam dosis tunggal atau terbagi.

Payah jantung kongesti: 100 mg.

Sirosis hati: sehari 100 mg (Na+/K+

urin >1), 200-400mg (Na+/K+

urin<1). Anak 3,3 mg/KgBB/hari

dalam dosis tunggal atau terbagi

Dus 10 x 10 tab

5

SPIROLA

Kalbe Farma

Spironolakton 25 mg & 100 mg

Edema 25-100 mg perhari; hipertensi

primer : 50-100 mg perhari

Dus 5 x 10

tablet

6

SPIROLACTON

Phapros

Spironolakton 25 mg; 100 mg

Dws: 50-100 mg sehari dalam dosis

bagi;selanjutnya dapat ditingkatkan

sampai 400 mg. Anak

3mg/KgBB/hari dalam dosis bagi

Dus 10 x 10 tab

25 mg & 100

mg

D. Angiotensin Converting Enzime Inhibitor (ACEI)

ACE Inhibitor merupakan vasodilator yang sesuai untuk gagal jantung,

karena dapat menurunkan resistensi arteri maupun vena dengan mencegah

peningkatan angiotensin II (vasokonstriktor) yang sering ditemukan pada gagal

jantung (Neal, 2006). ACEI menyebabkan dilatasi vena sehingga menurunkan

tekanan pengisan (preload) dan dilatasi arteriol yang dapat menurunkan afterload.

Obat-obat golongan ACE Inhibitor menghambat converting enzyme, peptidil

dipeptidase yang yang menghidrolisis angiotensin I menjadi angiotensin II dan

mengaktifkan bradikinin, suatu vasodilator yang poten. Penghambatan

angiotensin II menurunkan tekanan darah terutama dengan mengurangi tahanan

vaskular perifer (Katzung, 2012).

ACE Inhibitor diindikasikan sebagai first-line untuk semua kelas terapi gagal

jantung dengan disfungsi sistolik pada ventrikel kiri. ACE Inhibitor mempunyai

efek menurunkan preload dan afterload pada jantung dan obat golongan ini juga

48

memiliki efek tidak langsung pada sekresi aldosteron sehingga menurunkan

retensi air dan natrium (Hudson et.al., 2012). Sebagian besar ACEI diberikan

secara oral, misalanya Captopril (kelas I), ACEI pertama, merupakan bentuk aktif,

nemun juga diproses di hati untuk menghasilkan metabolit aktif. ACEI kelas II

seperti Enalopril, Ramipril, Trandolapril, sebagai pro-drug inaktif yang bersifat

lipofil dan dimetabolisme dihati untuk memperoleh metabolit aktifnya. ACEI

kelas III seperti Lisinopril bersifat aktif, larut air, dan dieksresi di ginjal dan tidak

dimetabolisme di hati (Aaronson and Ward, 2010). Efek samping yang sering

terjadi pada pemberian ACEI adalah batuk kering dan telah dilaporkan mencapan

10% angka kejadian (Hudson et al., 2012) dan angioedema, Penggunaan ACEI

dikontraindikasikan pada kehamilan trimester kedua dan ketiga, interaksi obat

yang penting meliputi interaksi dengan suplemen kalium atau dengan diuretik

hemat kalium, yang dapat menyebabkan hiperkalemia (Katzung, 2012).

E. Angiotensin Reseptor Blocker (ARB)

Angiotensin Reseptor Blocker merupakan antagonis dari angiotensin II pada

reseptor AT1, obat ini tidak tidak memiliki efek terhadap metabolisme bradikinin

sehingga merupakan penghambat yang lebih selektif terhadap efek angiotensin

dibandingkan dengan obat ACEI, batuk dan angioedema dapat terjadi namun

lebih jarang pada penggunaan penyekat reseptor angiotensin (Katzung, 2012).

Dengan mengantagonis angiotensin II, obat ini dapat merelaksasi otot polos

sehingga memicu vasodilatasi, meningkatkan eksresi garam dan air dari ginjal,

mengurangi volume plasma dan mengurangi hipertrofi seluler. Subtipe

angiotensin II yang berbeda diberi nama AT1 dan AT2, subtipe reseptor AT1

terutama berada dijaringan vaskular dan miokardial, serta di otak, ginjal, dan sel

glomerulus adrenal, yang mensekresi aldosterone, Karena reseptor AT1

memerantarai penghambatan umpan balik pelepasan renin, konsentrasi renin dan

angiotensin II meningkat selama antagonisme reseptor AT1. Akibat klinis

menigkatnya efek angiotensin II pada reseptor AT2 yang tidak terinhibisi tidak

diketahui. Data yang menunjukkan bahwa reseptor AT2 dapat menimbulkan

respon antipertumbuhan dan antipoliferatif (Goodman and Gilman, 2011).

49

F. β-Bloker

β-blocker digunakan untuk mengobati hipertensi, angina, aritmia jantung

supraventrikular, infark miokard, dan gagal jantung kronik. β-blocker

memblokade reseptor-β1 jantung. Ketika distimulasi oleh norepinefrin yang

dilepaskan pada saraf simpatis dan epinefrin dalam darah, reseptor ini

meningkatkan laju dan kekuatan kontraksi jantung, sehingga meningkatkan curah,

kerja, dan kebutuhan O2 jantung. Aktifitas reseptor-β1 meningkatkan konduksi

nodus AV dan eksitabilitas jantung, efek yang kadang menyebabkan atau memacu

aritmia jantung. Adapun aktifitas kronis sistem simpatis, seperti pada gagal

jantung kongestif, menyebabkan fibrosis dan remodeling jantung, sehingga

menyebabkan perburukan progresif fungsi jantung. Saraf simpatis juga

menstimulasi pelepasan renin melalui reseptor-β1nya, sehingga β-blocker juga

dapat menghambat pelepasa renin di ginjal (Aaronson and Ward,2010).

50

Antagonis reseptor β memperbaiki gejala-gejala, toleransi latihan, dan ukuran

fungsi ventrikel selama periode beberapa bulan pada pasien gagal jantung yang

disebabkan oleh kardiomiopati dilatasi idiopatik. Adapun obat-obat golongan

antagonis β1 selektif yang digunakan untuk gagal jantung adalah metoprolol dan

bisoprolol dan antagonis reseptor β non selektif adalah karvedilol (Goodman and

Gilman, 2011).

G. Digoksin

Efek menguntungkan dari digoxin pada pasien dengan gagal jantung

termasuk mengurangi gejala gagal jantung, meningkatkan peringkat kelas

fungsional NYHA, meningkatkan waktu maksimal latihan treadmill,

meningkatkan kinerja jantung (misalnya, peningkatan curah jantung dan indeks

kerja), dan penurunan rawat inap pasien gagal jantung. Meskipun memiliki efek

klinis yang menguntungkan ini, digoxin tidak meningkatkan kelangsungan hidup

pada CHF. Manfaat klinis digoxin pada gagal jantung karena efek inotropik

positif, kemampuannya untuk mengurangi aktivasi simpatik pada gagal jantung.

Efek inotropik positif dari digoxin biasanya telah dikaitkan dengan penghambatan

sodium / potasium-adenosine triphosphate. Penelitian klinis menunjukkan bahwa

penarikan digoxin dari pasien yang secara klinis stabil pada digoxin, diuretik, dan

ACEI meningkatkan kemungkinan memburuknya gagal jantung selama 3 bulan

berikutnya dari 5% menjadi hampir 30% .

Pada pemberian oral digoxin terabsorbsi sebanyak 65-80%. Saat berada

didalam darah seluruh glikosida jantung akan terdistribusi secara luas ke jaringan

termasuk sistem syaraf pusat. Metabolisme digoxin pada manusia tidak secara

luas (Katzung, 2015). Pada pasien dengan fungsi ginjal normal waktu paruh

eliminasi mencapai 36-48 jam sedangkan sebagian besar digoxin diekskresikan

dalam keadaan tidak berubah (Hardman dan Limbird, 2014).

Efek kardiovaskluar baik secara langsung maupun tidak langsung dimiliki

oleh digoxin selain itu terdapat efek yang tidak diinginkan yang terjadi pada

susunan syaraf pusat dan usus, dengan mekanisme hambatan terhadap natrium-

kalium (Na+/K+) adenosin trifosfatase (ATPase), adanya hambatan berperan

besar terhadap efek terapeutik (Inotropk positif) serta berperan juga terhadap efek

toksisitasnya (Katzung, 2015).

51

Digoxin memiliki mekanisme farmakologis pada jantung. Dengan hambatan

terhadap natrium-kalium (Na+/K+) adenosin trifosfatase (ATPase) sel jantung,

sehingga terjadi penurunan natrium ekstraseluler dan meningkatkan konsentrasi

kalsium intraseluler. Kalsium mengikat retikulum sarkoplasma menyebabkan

peningkatan keadaan kontraktil dari jantung (efek inotropik positif) peningkatan

kontraktilitas jantung akan meningkatkan fraksi ejeksi dan curah jantung

(Aldredge dkk., 2013). Digoxin memiliki efek neurohumoral dan otonom dengan

mengurangi perangsangan simpatik dan merangsang parasimpatis. Penghambatan

Na + / K + ATPase dalam serat aferen mengurangi aliran simpatis dari SSP.

Demikian pula, penghambatan Na+ /K + ATPase di ginjal mengurangi reabsorpsi

natrium ditubulus ginjal dan secara tidak langsung menekan sekresi renin. Hal ini

membuktikan manfaat positif dari digoxin dengan risiko yang lebih rendah pada

penggunakan dosis kecil (Dipiro dkk., 2011).